PENDAHULUAN
1
penderita dan penyebaran HIV/AIDS dapat tertangani secara komprehensif
(Depkes, 2008).
1.3 TUJUAN
Tujuan penulisan dari makalah ini untuk memenuhi salah satu syarat penilaian
mata kuliah Ilmu Penyakit Dalam dan membantu mahasiswa dan pembaca
untuk memahami HIV/AIDS dan mempelajari lebih dalam tentang penyakit
HIV/AIDS melalui pendekatan proses keperawatan secara komprehensif.
2
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
3
pengatur ekspresi virus yang penting dalam patogenesis penyakit. Satu protein
replikasi fase awal yaitu protein Tat, berfungsi dalam transaktivasi dimana produk
gen virus terlibat dalam aktivasi transkripsional dari gen virus lainnya.
Transaktivasi pada HIV sangat efisien untuk menentukan virulensi dari infeksi
HIV. Protein Rev dibutuhkan untuk ekspresi protein struktural virus. Rev
membantu keluarnya transkrip virus yang terlepas dari nukleus. Protein Nef
menginduksi produksi khemokin oleh makrofag, yang dapat menginfeksi sel yang
lain (Brooks, 2005).
4
ini mempunyai kemampuan untuk mentransfer informasi genetik mereka dari
RNA ke DNA dengan menggunakan enzim yang disebut reverse transcriptase.
Limfosit CD4 berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang
penting. Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan respon imun yang
progresif (Borucki, 1997).
Setelah infeksi primer, terdapat 4-11 hari masa antara infeksi mukosa dan
viremia permulaan yang dapat dideteksi selama 8-12 minggu. Selama masa ini,
virus tersebar luas ke seluruh tubuh dan mencapai organ limfoid. Pada tahap ini
telah terjadi penurunan jumlah sel-T CD4. Respon imun terhadap HIV terjadi 1
minggu sampai 3 bulan setelah infeksi, viremia plasma menurun, dan level sel
CD4 kembali meningkat namun tidak mampu menyingkirkan infeksi secara
sempurna. Masa laten klinis ini bisa berlangsung selama 10 tahun. Selama masa
ini akan terjadi replikasi virus yang meningkat. Diperkirakan sekitar 10 milyar
partikel HIV dihasilkan dan dihancurkan setiap harinya. Waktu paruh virus dalam
plasma adalah sekitar 6 jam, dan siklus hidup virus rata-rata 2,6 hari. Limfosit T-
CD4 yang terinfeksi memiliki waktu paruh 1,6 hari. Karena cepatnya proliferasi
virus ini dan angka kesalahan reverse transcriptase HIV yang berikatan,
diperkirakan bahwa setiap nukleotida dari genom HIV mungkin bermutasi dalam
basis harian (Brooks, 2005).
Akhirnya pasien akan menderita gejala-gejala konstitusional dan penyakit
klinis yang nyata seperti infeksi oportunistik atau neoplasma. Level virus yang
lebih tinggi dapat terdeteksi dalam plasma selama tahap infeksi yang lebih lanjut.
HIV yang dapat terdeteksi dalam plasma selama tahap infeksi yang lebih lanjut
dan lebih virulin daripada yang ditemukan pada awal infeksi (Brooks, 2005).
Infeksi oportunistik dapat terjadi karena para pengidap HIV terjadi
penurunan daya tahan tubuh sampai pada tingkat yang sangat rendah, sehingga
beberapa jenis mikroorganisme dapat menyerang bagian-bagian tubuh tertentu.
Bahkan mikroorganisme yang selama ini komensal bisa jadi ganas dan
menimbulkan penyakit (Zein, 2006).
5
2.3 Patofisiologi
HIV masuk kedalam tubuh
Menginfeksi sel yg mempunyai molekul CO4
(limfosit T4, Monosit, Sel dendrit, Sel Langerhans)
Mengikat molekul CO4
Memiliki sel target dan memproduksi virus
Sel Limfosit T4 hancur
Imunitas tubuh menurun
Infeksi Opurtunistik
6
1. Seksual
Penularan melalui hubungan heteroseksual adalah yang paling dominan dari
semua cara penularan. Penularan melalui hubungan seksual dapat terjadi selama
senggama laki-laki dengan perempuan atau laki-laki dengan laki-laki. Senggama
berarti kontak seksual dengan penetrasi vaginal, anal (anus), oral (mulut) antara
dua individu. Resiko tertinggi adalah penetrasi vaginal atau anal yang tak
terlindung dari individu yang terinfeksi HIV.
2. Melalui transfusi darah atau produk darah yang sudah tercemar dengan virus
HIV.
3. Melalui jarum suntik atau alat kesehatan lain yang ditusukkan atau tertusuk ke
dalam tubuh yang terkontaminasi dengan virus HIV, seperti jarum tato atau pada
pengguna narkotik suntik secara bergantian. Bisa juga terjadi ketika melakukan
prosedur tindakan medik ataupun terjadi sebagai kecelakaan kerja (tidak sengaja)
bagi petugas kesehatan.
4. Melalui silet atau pisau, pencukur jenggot secara bergantian hendaknya
dihindarkan karena dapat menularkan virus HIV kecuali benda-benda tersebut
disterilkan sepenuhnya sebelum digunakan.
5. Melalui transplantasi organ pengidap HIV
6. Penularan dari ibu ke anak. Kebanyakan infeksi HIV pada anak didapat dari
ibunya saat ia dikandung, dilahirkan dan sesudah lahir melalui ASI.
7. Penularan HIV melalui pekerjaan: Pekerja kesehatan dan petugas laboratorium.
Terdapat resiko penularan melalui pekerjaaan yang kecil namun defenitif, yaitu
pekerja kesehatan, petugas laboratorium, dan orang lain yang bekerja dengan
spesimen/bahan terinfeksi HIV, terutama bila menggunakan benda tajam (Fauci,
2000).
Tidak terdapat bukti yang meyakinkan bahwa air liur dapat menularkan
infeksi baik melalui ciuman maupun pajanan lain misalnya sewaktu bekerja pada
pekerja kesehatan. Selain itu air liur terdapat inhibitor terhadap aktivitas HIV
(Fauci,2000).
Menurut WHO (1996), terdapat beberapa cara dimana HIV tidak dapat ditularkan
antara lain:
7
1. Kontak fisik
Orang yang berada dalam satu rumah dengan penderita HIV/AIDS, bernapas
dengan udara yang sama, bekerja maupun berada dalam suatu ruangan dengan
pasien tidak akan tertular. Bersalaman, berpelukan maupun mencium pipi, tangan
dan kening penderita HIV/AIDS tidak akan menyebabkan seseorang tertular.
2. Memakai milik penderita
Menggunakan tempat duduk toilet, handuk, peralatan makan maupun peralatan
kerja penderita HIV/AIDS tidak akan menular.
3. Digigit nyamuk maupun serangga dan binatang lainnya.
4. Mendonorkan darah bagi orang yang sehat tidak dapat tertular HIV.
d. Kandidias orofaringeal
f. Limfadenopati generalisata
8
Menurut Mayo Foundation for Medical Education and Research (MFMER)
(2008), gejala klinis dari HIV/AIDS dibagi atas beberapa fase.
a. Fase awal
Pada awal infeksi, mungkin tidak akan ditemukan gejala dan tanda-tanda infeksi.
Tapi kadang-kadang ditemukan gejala mirip flu seperti demam, sakit kepala, sakit
tenggorokan, ruam dan pembengkakan kelenjar getah bening. Walaupun tidak
mempunyai gejala infeksi, penderita HIV/AIDS dapat menularkan virus kepada
orang lain.
b. Fase lanjut
Penderita akan tetap bebas dari gejala infeksi selama 8 atau 9 tahun atau lebih.
Tetapi seiring dengan perkembangan virus dan penghancuran sel imun tubuh,
penderita HIV/AIDS akan mulai memperlihatkan gejala yang kronis seperti
pembesaran kelenjar getah bening (sering merupakan gejala yang khas), diare,
berat badan menurun, demam, batuk dan pernafasan pendek.
c. Fase akhir
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah
terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir
pada penyakit yang disebut AIDS.
2.6 Komplikasi
a. Oral Lesi
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis,
peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral, nutrisi,
dehidrasi, penurunan berat badan, keletihan dan cacat.
b. Neurologik
Kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung Human
Immunodeficiency Virus (HIV) pada sel saraf, berefek perubahan
kepribadian, kerusakan kemampuan motorik, kelemahan, disfasia, dan
isolasi sosial.
9
Enselophaty akut, karena reaksi terapeutik, hipoksia, hipoglikemia,
ketidakseimbangan elektrolit, meningitis/ensefalitis. Dengan efek : Sakit
kepala, Malaise, Demam, Paralise, Total/Parsial.
Infark serebral kornea sifilis meningovaskuler, hipotensi sistemik, dan
maranik endokarditis.
Neuropati karena imflamasi demielinasi oleh serangan Human
Immunodeficienci Virus (HIV)
c. Gastrointestinal
Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma,
dan sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan, anoreksia,
demam, malabsorbsi, dan dehidrasi.
Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma, sarcoma Kaposi, obat illegal,
alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik,
demam atritis.
Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal
yang sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri
rectal, gatalgatal dan siare.
d. Respirasi
Infeksi karena Pneumocystic Carinii, cytomegalovirus, virus influenza,
pneumococcus, dan strongyloides dengan efek nafas pendek, batuk, nyeri,
hipoksia, keletihan, gagal nafas.
e. Dermatologik
Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis karena
xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan efek nyeri,gatal,rasa
terbakar, infeksi skunder dan sepsis.
f. Sensorik
Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan
Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan
pendengaran dengan efek nyeri.
10
2.7 Pencegahan
Menurut Muninjaya (1998), tiga cara untuk pencegahan HIV/AIDS adalah
Puasa (P) seks (abstinensia), artinya tidak (menunda) melakukan hubungan seks,
Setia (S) pada pasangan seks yang sah (be faithful/fidelity), artinya tidak
berganti-ganti pasangan seks, dan penggunaan Kondom (K) pada setiap
melakukan hubungan seks yang beresiko tertular virus AIDS atau penyakit
menular seksual (PMS) lainnya. Ketiga cara tersebut sering disingkat dengan
PSK.
Bagi mereka yang belum melakukan hubungan seks (remaja) perlu
diberikan pendidikan. Selain itu, paket informasi AIDS untuk remaja juga perlu
dilengkapi informasi untuk meningkatkan kewaspadaaan remaja akan berbagai
bentuk rangsangan dan rayuan yang datang dari lingkungan remaja sendiri
(Muninjaya, 1998).
Mencegah lebih baik daripada mengobati karena kita tidak dapat
melakukan tindakan yang langsung kepada si penderita AIDS karena tidak adanya
obat-obatan atau vaksin yang memungkinkan penyembuhan AIDS. Oleh karena
itu kita perlu melakukan pencegahan sejak awal sebelum terinfeksi. Informasi
yang benar tentang AIDS sangat dibutuhkan agar masyarakat tidak mendapat
berita yang salah agar penderita tidak dibebani dengan perilaku yang tidak masuk
akal (Anita, 2000).
Peranan pendidikan kesehatan adalah melakukan intervensi faktor perilaku
sehingga perilaku individu, masyarakat maupun kelompok sesuai dengan nilai-
nilai kesehatan. Pengetahuan kesehatan akan berpengaruh kepada perilaku sebagai
hasil jangka menengah (intermediate impact) dari pendidikan kesehatan.
Kemudian perilaku kesehatan akan berpengaruh pada peningkatan indikator
kesehatan masyarakat sebagai keluaran (outcome) pendidikan kesehatan.
(Notoadmodjo, 2007)
Paket komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang masalah AIDS
adalah salah satu cara yang perlu terus dikembangkan secara spesifik di Indonesia
khususnya kelompok masyarakat ini. Namun dalam pelaksanaannya masih belum
konsisten (Muninjaya, 1998).
11
Upaya penanggulangan HIV/AIDS lewat jalur pendidikan mempunyai arti yang
sangat strategis karena besarnya populasi remaja di jalur sekolah dan secara
politis kelompok ini adalah aset dan penerus bangsa. Salah satu kelompok sasaran
remaja yang paling mudah dijangkau adalah remaja di lingkungan sekolah (closed
community) (Muninjaya, 1998).
2.8 Penatalaksanaan
Belum ada penyembuhan untuk AIDS, jadi perlu dilakukan pencegahan
Human Immunodeficiency Virus (HIV) untuk mencegah terpajannya Human
Immunodeficiency Virus (HIV), bisa dilakukan dengan :
a. Melakukan abstinensi seks/melakukan hubungan kelamin dengan pasangan
yang tidak terinfeksi.
b. Memeriksa adanya virus paling lambat 6 bulan setelah hubungan seks terakhir
yang tidak terlindungi.
c. Menggunakan pelindung jika berhubungan dengan orang yang tidak jelas status
Human Immunodeficiency Virus (HIV) nya.
d. Tidak bertukar jarum suntik, jarum tato, dan sebagainya.
e. Mencegah infeksi kejanin / bayi baru lahir.
f. Apabila terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka terapinya yaitu:
a. Pengendalian Infeksi Opurtunistik
Bertujuan menghilangkan, mengendalikan, dan pemulihan infeksi opurtunistik,
nasokomial, atau sepsis. Tidakan pengendalian infeksi yang aman untuk
mencegah kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab sepsis harus
dipertahankan bagi pasien di lingkungan perawatan kritis.
b. Terapi AZT (Azidotimidin)
Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT yang efektif terhadap
AIDS, obat ini menghambat replikasi antiviral Human Immunodeficiency Virus
(HIV) dengan menghambat enzim pembalik traskriptase. AZT tersedia untuk
pasien AIDS yang jumlah sel T4 nya <>3 . Sekarang, AZT tersedia untuk pasien
dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV) positif asimptomatik dan sel T4 >
500 mm3
12
c. Terapi Antiviral Baru
Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas system imun dengan
menghambat replikasi virus / memutuskan rantai reproduksi virus pada prosesnya.
Obat-obat ini adalah :
Didanosine
Ribavirin
Diedoxycytidine
Recombinant CD 4 dapat larut
d. Vaksin dan Rekonstruksi Virus
Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen tersebut seperti interferon,
maka perawat unit khusus perawatan kritis dapat menggunakan keahlian dibidang
proses keperawatan dan penelitian untuk menunjang pemahaman dan keberhasilan
terapi AIDS.
e. Pendidikan untuk menghindari alcohol dan obat terlarang, makan-
makanan sehat,hindari stress,gizi yang kurang,alcohol dan obat-obatan yang
mengganggu fungsi imun
f. Menghindari infeksi lain, karena infeksi itu dapat mengaktifkan sel T
dan mempercepat reflikasi Human Immunodeficiency Virus (HIV).
13
Kerusakan Respon Imun Seluler (Limfosit T )
Terapi Radiasi, Defisiensi Nutrisi, Penuaan, Aplasia Timik, Limpoma,
Kortikosteroid, Globulin Anti Limfosit, Disfungsi Timik Congenital.
Kerusakan Imunitas Humoral (Antibodi)
Limfositik Leukemia Kronis, Mieloma, Hipogamaglobulemia Congenital,
Protein- Liosing Enteropati (Peradangan Usus)
b. Pemeriksaan Fisik (Objektif) dan Keluhan (Sujektif)
Aktifitas/Istirahat
Gejala : Mudah Lelah, Intoleran Activity, Progresi Malaise, Perubahan Pola
Tidur.
Tanda : Kelemahan Otot, Menurunnya Massa Otot, Respon Fisiologi Aktifitas
(Perubahan TD, Frekuensi Jantung dan Pernafasan ).
Sirkulasi
Gejala : Penyembuhan yang Lambat (Anemia), Perdarahan Lama pada Cedera.
Tanda : Perubahan TD Postural, Menurunnya Volume Nadi Perifer,
Pucat/Sianosis, Perpanjangan Pengisian Kapiler.
Integritas dan Ego
Gejala : Stress berhubungan dengan Kehilangan, Mengkuatirkan Penampilan,
Mengingkari Diagnosa, Putus Asa,dan sebagainya.
Tanda : Mengingkari, Cemas, Depresi, Takut, Menarik Diri, Marah.
Eliminasi
Gejala : Diare Intermitten, Terus–Menerus, Sering Dengan atau Tanpa Kram
Abdominal, Nyeri Panggul, Rasa Terbakar Saat Miksi
Tanda : Feces Encer Dengan atau Tanpa Mucus atau Darah, Diare Pekat dan
Sering,
Nyeri Tekan Abdominal, Lesi atau Abses Rectal, Perianal, Perubahan Jumlah,
warna, dan Karakteristik Urine.
Makanan/Cairan
Gejala : Anoreksia, Mual Muntah, Disfagia
Tanda : Turgor Kulit Buruk, Lesi Rongga Mulut, Kesehatan Gigi dan Gusi yang
Buruk, Edema
14
Hygiene
Gejala : Tidak dapat menyelesaikan AKS
Tanda : Penampilan tidak rapi, Kurang Perawatan Diri.
Neurosensoro
Gejala : Pusing, Sakit Kepala, Perubahan Status Mental, Kerusakan Status Indera,
Kelemahan Otot, Tremor, Perubahan Penglihatan.
Tanda : Perubahan Status Mental, Ide Paranoid, Ansietas, Refleks Tidak Normal,
Tremor, Kejang, Hemiparesis, Kejang.
Nyeri / Kenyamanan
Gejala : Nyeri Umum / Local, Rasa Terbakar, Sakit Kepala, Nyeri Dada Pleuritis.
Tanda : Bengkak Sendi, Nyeri Kelenjar, Nyeri Tekan, Penurunan Rentan Gerak,
Pincang.
Pernafasan
Gejala : ISK Sering atau Menetap, Napas Pendek Progresif, Batuk, Sesak pada
Dada.
Tanda : Takipnea, Distress Pernapasan, Perubahan Bunyi Napas, adanya Sputum.
Keamanan
Gejala : Riwayat Jatuh, Terbakar, Pingsan, Luka, Transfuse Darah, Penyakit
Defisiensi Imun, Demam Berulang, Berkeringat Malam.
Tanda : Perubahan Integritas Kulit, Luka Perianal/Abses, Timbulnya Nodul,
Pelebaran Kelenjar Limfe, Menurunya Kekuatan Umum, Tekanan Umum.
Seksualitas
Gejala : Riwayat berprilaku Seks Beresiko Tinggi, Menurunnya Libido,
Penggunaan Pil Pencegah Kehamilan.
Tanda : Kehamilan, Herpes Genetalia
Interaksi Sosial
Gejala : Masalah yang ditimbulkan oleh Diagnosis, Isolasi, Kesepian, adanya
Trauma AIDS
Tanda : Perubahan Interaksi
Penyuluhan / Pembelajaran
15
Gejala : Kegagalan dalam Perawatan, Prilaku Seks Beresiko Tinggi,
Penyalahgunaan Obat-obatan IV, Merokok, Alkoholik.
c. Pemeriksaan Diagnostik
Tes Laboratorium
Telah dikembangkan sejumlah tes diagnostik yang sebagian masih bersifat
penelitian. Tes dan pemeriksaan laboratorium digunakan untuk mendiagnosis
Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan memantau perkembangan penyakit
serta responnya terhadap terapi Human Immunodeficiency Virus (HIV).
1. Serologis
Tes antibody serum
Skrining Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan ELISA. Hasil tes positif,
tapi bukan merupakan diagnosa.
Tes blot western
Mengkonfirmasi diagnosa Human Immunodeficiency Virus (HIV).
Sel T limfosit
Penurunan jumlah total.
Sel T4 helper.
Indikator system imun jumlah <200>.
T8 (sel supresor sitopatik).
Rasio terbalik (2:1) atau lebih besar dari sel suppressor pada sel helper (T8 ke T4)
mengindikasikan supresi imun.
P24 ( Protein pembungkus Human ImmunodeficiencyVirus (HIV ) )
Peningkatan nilai kuantitatif protein mengidentifikasi progresi infeksi.
Kadar Ig.
Meningkat, terutama Ig A, Ig G, Ig M yang normal atau mendekati normal.
Reaksi rantai polimerase.
Mendeteksi DNA virus dalam jumlah sedikit pada infeksi sel perifer monoseluler.
Tes PHS.
Pembungkus hepatitis B dan antibody, sifilis, CMV mungkin positif.
2. Budaya
16
Histologis, pemeriksaan Sitologis Urine, Darah, Feces, Cairan Spina, Luka,
Sputum, dan Sekresi, untuk Mengidentifikasi adanya infeksi : Parasit, Protozoa,
Jamur, Bakteri, Viral.
3. Neurologis
EEG, MRI, CT Scan Otak, EMG (Pemeriksaan Saraf)
4. Tes Lainnya
Sinar X dada
Menyatakan perkembangan filtrasi interstisial dari PCP tahap lanjut atau adanya
komplikasi lain
Tes Fungsi Pulmonal
Deteksi awal pneumonia interstisial
Skan Gallium
Ambilan difusi pulmonal terjadi pada PCP dan bentuk pneumonia lainnya.
Biopsis
Diagnosa lain dari sarcoma Kaposi
Brankoskopi / pencucian trakeobronkial
Dilakukan dengan biopsy pada waktu PCP ataupun dugaan kerusakan paru-paru
Tes Antibodi
Jika seseorang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka system
imun akan bereaksi dengan memproduksi antibody terhadap virus tersebut.
Antibody terbentuk dalam 3–12 minggu setelah infeksi, atau bisa sampai 6–12
bulan. Hal ini menjelaskan mengapa orang yang terinfeksi awalnya tidak
memperlihatkan hasil tes positif. Tapi antibody ternyata tidak efektif, kemampuan
mendeteksi antibody Human Immunodeficiency Virus (HIV) dalam darah
memungkinkan skrining produk darah dan memudahkan evaluasi diagnostic.
Pada tahun 1985 Food and Drug Administration (FDA) memberi lisensi
tentang uji–kadar Human Immunodeficiency Virus (HIV) bagi semua pendonor
darah atau plasma. Tes tersebut, yaitu :
1. Tes Enzym – Linked Immunosorbent Assay ( ELISA)
Mengidentifikasi antibody yang secara spesifik ditujukan kepada virus Human
Immunodeficiency Virus (HIV). ELISA tidak menegakan diagnosa AIDS tapi
17
hanya menunjukkan bahwa seseorang terinfeksi atau pernah terinfeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV). Orang yang dalam darahnya terdapat antibody
Human Immunodeficiency Virus (HIV) disebut seropositif.
2. Western Blot Assay
Mengenali antibody Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan memastikan
seropositifitas Human Immunodeficiency Virus (HIV)
3. Indirect Immunoflouresence
Pengganti pemeriksaan western blot untuk memastikan seropositifitas.
4. Radio Immuno Precipitation Assay ( RIPA )
Mendeteksi protein dari pada antibody.
2. DIAGNOSA
1. Kekurangan volume cairan
2. Resiko Infeksi
3. Hipertermia
4. Gangguan Citra Tubuh
18
c. Hilangkan melembabkan
makanan yang mukosa.
potensial c. Mungkin
menyebabkan dapat
diare, yakni mengurangi
yang pedas/ diare.
makanan
berkadar lemak d. Meningkatkan
tinggi, kacang, asupan nutrisi
kubis, susu. secara
d. Berikan adekuat.
makanan yang a. Mengurangi
membuat insiden muntah,
pasien menurunkan
berselera. jumlah
keenceran feses
Kolaborasi
mengurangi
a. Berikan obat-
kejang usus dan
obatan sesuai
peristaltik.
indikasi :
b. Mewaspadai
antiemetikum,
adanya
antidiare atau
gangguan
antispasmodik.
elektrolit dan
b. Pantau hasil
menentukan
pemeriksaan
kebutuhan
laboratorium.
elektrolit.
c. Berikan
c. Diperlukan
cairan/elektrolit
untuk
melalui selang
mendukung
makanan atau
volume
IV.
sirkulasi,
19
terutama jika
pemasukan oral
tidak adekuat.
20
jarum suntik demam yang
dan mata pisau terjadi untuk
secara ketat menunjukkan
dengan bahwa tubuh
menggunakan bereaksi pada
wadah proses infeksi
tersendiri. ang baru
dimana obat
Kolaborasi
tidak lagi
dapat secara
a. Beriakan
efektif
antibiotik atau
mengontrol
agen
infeksi yang
antimikroba,
tidak dapat
misal :
disembuhkan.
trimetroprim
e. Mencegah
(bactrim atau
inokulasi yan
septra), nistasin,
g tak
pentamidin atau
disengaja dari
retrovir.
pemberi
perawatan.
Menghambat
proses infeksi.
Beberapa
obat-obatan
ditargetkan
untuk
organisme
tertentu, obat-
obatan lainya
21
ditargetkan
untuk mening
katkan fungsi
imun
3 Hipertermi Setelah dilakukan a. Pantau adanya a. Menghindari
tindakan keperawatan tanda-tanda resiko yang
selama 3x24 jam kejang dan fatal akibat
pasien menunjukkan hidrasi peningkatan
suhu tubuh dalam b. Pantau TTV suhu tubuh
rentang normal (36,5- c. Lepaskan b. Mengetahui
37,5 C) pakaian yang perkembangan
Kriteria Hasil : berlebih pasien
a. Suhu tubuh normal d. Gunakan c. Mengurangi
(36,5-37,5 C) kompres produksi
b. TTV normal dingin/hangat panasyang
c. Warna kulit sesuai kenaikan berlebih
kemerahan (norma) suhu tubuh d. Menuunkan
d. Tidak mengalami e. Anjurkan cairan suhu tubuh
distres pernafasan, per oral yang e. Menhindai
gelisah, atau letargi adekuat dehidrasi
f. Kolaborasikan akibat
pemberian peningkatan
antipiretik, suhu tubuh
sesuai indikasi f. Menrunkan
suhu tubuh
4 Gangguan setelah dilakukan a. Kaji mekanisme a. Mengetahui
Citra Tubuh tindakan keperawatan koping klien koping yang
selama 3x24 jam b. Bina hubungan dipergunakan
pasien menunjukkan saling percaya klien dalam
konsep diri yang baik. dengan klien menghadapi
22
Kriteria Hasil : c. Beri masalahnya
a. Klien dapat kesempatan untuk
menerima klien untuk menentukan
keadaannya mengunkapkan tindakan yang
b. Klien tidak malu perasaannya akan diberikan
bergaul d. Berikan b. Kepercayaan
c. Klien tidak merasa motivasi pada akan dapat
rendah diri klien bahwa menyebabkan
masalah kulit klien kooperatif
yang diderita atas tindakan
akan dapat yang dilakukan
diatasi dengan c. Menunjukkan
kesadaran klien penerimaan dan
untuk berobat memudahkan
e. Berikan untuk belajar
alternatif dan untuk
pemecahan mas mengetahui
alah keadaan
psikologi sklien
d. Meningkatkan
kepercayaan
diri klien dan
merangsang
klien untuk
menuntaskan
pengobatan
yang harus
dilakukan
e. Memudahkan
klien untuk
beradaptasi
23
terhadap
keadaan yang
dialaminya saat
ini
Kolaborasi
a. Melakukan pemberian obat-
obatan sesuai indikasi :
antiemetikum, antidiare atau
antispasmodik.
b. Memantau hasil pemeriksaan
laboratorium.
24
c. Meberikan cairan/elektrolit
melalui selang makanan atau
IV.
2 Resiko Infeksi a. Memantau adanya infeksi : S : Psien
demam, mengigil, diaforesis, mengatakan
batuk, nafas pendek, nyeri oral mengerti untuk
atau nyeri menelan. mencegah tidak
b. Mengajarkan pasien atau terjadi inkesi HIV
pemberi perawatan tentang O : pasien tampak
perlunya melaporkan lebih baik
kemungkinan infeksi.
c. Memantau jumlah sel darah
putih dan diferensial.
d. Memantau tanda-tanda vital
termasuk suhu.
Kolaborasi
Memberiakan antibiotik atau agen
antimikroba, misal : trimetroprim
(bactrim atau septra), nistasin,
pentamidin atau retrovir
3 Hipertermia a. Memantau adanya tanda-tanda S : pasien
kejang dan hidrasi mengatakan sudah
b. Memantau TTV tidak demam
c. Melepaskan pakaian yang O : TTV pasien
berlebih Normal
d. Menganjurkan kompres
dingin/hangat sesuai kenaikan
suhu tubuh
e. Menganjurkan cairan per oral
yang adekuat
25
f. Berkolaborasikan pemberian
antipiretik, sesuai indikasi
26
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
27
DAFTAR PUSTAKA
Dianawati, Ajen. 2003. Pendidikan seks untuk remaja. Jakarta : Kawan Pustaka
Djaerban, Zubairi. 2000. membidik AIDS : Ikhtiar memahamiHIV dan ODHA.
Yogyakarta : Galang press Yogyakarta
Granich., Reyben dan Jonathan Mermin. 2003. Ancaman HIV dan Kesehatan
Masyarakat. Yogyakarta : INSIST PRESS
Harahap, W, Syaiful. 2000. pers meliput AIDS. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan
28