Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Epilepsi ( juga disebut ‘kejang ayan’ ) ditandai dengan aktivitas


berlebihan yang tidak terkendali dari sebagian atau seluruh system saraf
pusat. Orang yang mempunyai faktor predisposisi timbulnya epilepsi akan
mendapat serangan bila nilai basal dari eksitabilitas system saraf (atau
bagian yang peka terhadap keadaan epileptic ) meningkat diatas nilai
ambang kritisnya. Selama besarnya eksitabilitas tetap dijaga dibawah nilai
ambang ini, maka serangan epilepsi tidak akan terjadi.
Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologis yang utama.
Epilepsi sering dihubungkan dengan disabilitas fisik, disabilitas mental,
dan konsekuensi psikososial yang berat bagi penyandangnya. Sebagian
besar kasus epilepsi dimulai pada masa anak-anak.
Epilepsi dapat menyerang anak-anak, orang dewasa, para orang tua
bahkan bayi yang baru lahir. Angka kejadian epilepsi pada pria lebih tinggi
dibandingkan pada wanita, yaitu 1-3% penduduk akan menderita epilepsi
seumur hidup. Di Amerika Serikat, satu di antara 100 populasi (1%)
penduduk terserang epilepsi, dan kurang lebih 2,5 juta di antaranya telah
menjalani pengobatan pada lima tahun terakhir. Menurut World Health
Organization (WHO) sekira 50 juta penduduk di seluruh dunia mengidap
epilepsi. Epilepsi sukar untuk dikendalikan secara medis atau
pharmacoresistant, sebab mayoritas pasien dengan epilepsi adalah bersifat
menentang. Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat (SSP) yang
dicirikan oleh terjadinya bangkitan (seizure, fit, attact, spell) yang bersifat
spontan (unprovoked) dan berkala. Bangkitan dapat diartikan sebagai
modifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak dan sepintas, yang berasal
dari sel-sel otak, bersifat singkron dan berirama. Bangkitnya epilepsi

1ΙPAGE
terjadi apabila proses eksitasi didalam otak lebih dominan dari pada proses
inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi,
pergeseran konsentrasi ion ekstraselular, voltage-gated ion-channel
opening, dan menguatkan sinkroni neuron sangat penting artinya dalam hal
inisiasi dan perambatan aktivitas bangkitan epileptik. Aktivitas neuron
diatur oleh konsentrasi ion didalam ruang ekstraselular dan intraselular,
dan oleh gerakan keluar masuk ion-ion menerobos membran neuron.
Epilepsi berasal dari perkataan Yunani yang berarti "serangan" atau
penyakit yang timbul secara tiba-tiba. Epilepsi merupakan penyakit yang
umum terjadi dan penting di masyarakat. Permasalahan epilepsi tidak
hanya dari segi medik tetapi juga sosial dan ekonomi yang menimpa
penderita maupun keluarganya. Dalam kehidupan sehari-hari, epilepsi
merupakan stigma bagi masyarakat. Mereka cenderung untuk menjauhi
penderita epilepsi.
Akibatnya banyak yang menderita epilepsi yang tak terdiagnosis
dan mendapat pengobatan yang tidak tepat sehingga menimbulkan dampak
klinik dan psikososial yang merugikan baik bagi penderita maupun
keluarganya. Oleh karena itu, pada tinjauan kepustakaan ini akan
dijabarkan tentang definisi, epidemiologi, etiologi, klasifikasi,
patofisiologi, gejala, diagnosis, dan terapi epilepsi

2ΙPAGE
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Epilepsi berasal dari bahasa Yunani, Epilambanmein yang berarti


serangan. Dahulu masyarakat percaya bahwa epilepsi disebabkan oleh roh
jahat dan dipercaya juga bahwa epilepsi merupakan penyakit yang bersifat
suci. Latar belakang munculnya mitos dan rasa takut terhadap epilepsi berasal
hal tersebut. Mitos tersebut mempengaruhi sikap masyarakat dan menyulitkan
upaya penanganan penderita epilepsi dalam kehidupan normal.Penyakit
tersebut sebenarnya sudah dikenal sejak tahun 2000 sebelum Masehi. Orang
pertamayang berhasil mengenal epilepsysebagai gejala penyakit dan
menganggap bahwa epilepsi merupakan penyakit yang didasari oleh adanya
gangguan di otak adalah Hipokrates. Epilepsi merupakan kelainan neurologi
yang dapat terjadi pada setiap orang di seluruh dunia (Chou, 2014)

Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai


etiologi, dengan gejala tunggal yang khas, yaitu kejang berulang akibat
lepasnya muatan listrik neuron otak secara berlebihan dan
paroksimal.Terdapat dua kategori dari kejang epilepsi yaitu kejang fokal
(parsial) dan kejang umum. Kejang fokal terjadi karena adanya lesi pada satu
bagian dari cerebral cortex, di mana pada kelainan ini dapat
disertaikehilangan kesadaran parsial. Sedangkan pada kejang umum, lesi
mencakup area yang luas dari cerebral cortex dan biasanya mengenai kedua
hemisfer cerebri. Kejang mioklonik, tonik, dan klonik termasuk dalam
epilepsi umum.

Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa


(stereotipik) yang berlebihan dan abnormal, berlangsung mendadak dan
sementara, dengan atau tanpa perubahan kesadaran. Disebabkan oleh
hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak dan bukan disebabkan oleh

3ΙPAGE
suatu penyakit otak akut.Kejang epilepsi harus dibedakan dengan sindrom
epilepsi. Kejang epilepsi adalah timbulnya kejang akibat berbagai penyebab
yang ditandai dengan serangan tunggal atau tersendiri. Sedangkan sindrom
epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis epilepsi yang ditandai
dengan kejang epilepsi berulang, meliputi berbagai etiologi, umur, onset,
jenis serangan, faktor pencetus, kronisitas (Vera, 2014)

B. EPIDEMIOLOGI

Epilepsi menempati urutan kedua dari penyakit syaraf setelah


stroke.Hampir 80% orang dengan epilepsi ditemukan dinegara berkembang,
di mana epilepsi masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama,
bukan hanya karena implikasi kesehatan tetapi juga untuk konotasi sosial,
budaya, psikologis, dan ekonomi (Harsono, 2011)

Secara umum peneilitian mendapatkan insidens 20-70 per 100.000 orang


pertahun dan prevalensi 400-1000 per 100.000 orang pertahun. Pada populasi
umum, insidens epilepsi berubah-ubah menurut umur tertinggi. Epilepsi
paling sering terjadi pada anak dan orang lebih tua (di atas 65 tahun). Pada
65% pasien, epilepsi dimulai pada masa kanak-kanak. Puncak insidensi
epilepsi terdapat pada kelompok usia 0-1 tahun, kemudian menurun pada
masa kanak-kanak, dan relatif stabil sampai usia 65 tahun. Menurut data yang
ada, insidensi per tahun epilepsi per 100.000 populasi adalah 86 pada tahun
pertama, 62 pada usia 1 – 5 tahun, 50 pada 5 – 9 tahun, dan 39 pada 10 – 14
tahun.Berdasarkan jenis kelamin, ditemukan bahwa insidensi epilepsi pada
anak laki – laki lebih tinggi daripada anak perempuan. Hasil penelitian yang
dilakukan terhadap penyandang epilepsi di Poliklinik Saraf RSUP Prof. Dr.
R. D. Kandou periode Juni 2013 – Mei 2014 didapatkanjumlah penyandang
epilepsi laki – laki sebanyak 58 orang (57,4%) dan jumlah penyandang
epilepsi perempuan sebanyak 43 orang (42,6%). Hal ini menunjukkan bahwa
penyandang epilepsi lebih banyak ditemukan pada laki - laki dibandingkan
perempuan (WHO, 2012)

4ΙPAGE
C. ETIOLOGI (Mukhopadhyay, 2012)

Berikut ini adalah daftar penyebab/faktor resiko epilepsi :

a. Idiopatik : tidak terdapat lesi struktural di otak atau defisit neurologis.


Tetapi kemungkinan mempunyai predisposisi genetic dan umumnya
berhubungan dengan usia.
b. Kriptogenik : Dianggap simptomatis tetapi penyebabnya belum diketahui.
Termasuk disini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut, dan
sindrom Sturge Weber.
c. Cedera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak. Kejang
dapat timbul pada saat terjadi cedera kepala, atau baru terjadi 2-3 tahun
kemudian. Bila serangan terjadi berulang pada saat yang berlainan baru
dinyatakan sebagai penyandang epilepsi.
d. Tumor otak merupakan penyebab epilepsi yang tidak umum, terutama
pada anak.
e. Radang atau infeksi, radang selaput otak (meningitis) atau radang otak
dapat menyebabkan epilepsi
f. Penyakit keturunan seperti fenilketonuria, sklerosis tuberosa dan
neurofibromatosis dapat menyebabkan timbulnya kejang yang berulang.

D. FAKTOR PENCETUS (Harsono,2011)


a. Kurang tidur
b. Stres emosional
c. Infeksi
d. Obat tertentu seperti antidepresan, obat sedatif.
e. Perubahan hormonal
f. Terlalu lelah
g. Alkohol

5ΙPAGE
E. PATOFISIOLOGI (Machfoed, 2011)

Sampai saat ini belum terungkapkan dengan baik dan rinci mekanisme
yang memulai atau yang mencetuskan sel neuron untuk berlepasan muatan
secara sinkron dan berlebihan. Dengan perkataan lain sampai saat ini belum
diketahui dengan baik mekanisme terjadinya bangkitan epilepsi.

a. Patofisiologi berdasarkan Mekanisme Eksitasi.


Patofisiologi epilepsi berdasarkan mekanisme imbalans eksitasi dan
inhibisi. Aktivitas kejang sangat dipengaruhi oleh perubahan eksitabilitas
sel-sel saraf dan hubungan antar sel-sel saraf. Kejang dapat dipicu oleh
eksitasi ataupun inhibisi pada sel saraf. Glutamat yang dilepaskan dari
terminal presinaps akan berikatan dengan reseptor glutamat yang disebut
reseptor inotropik glutamat (iGluRs) yang memiliki beberapa sub tipe
yaitu NMDA (N-methyl-Daspartate) dan non-NMDA (kainate dan amino-
3-hydroxy-5-methyl-isoxasole propionic acid atau AMPA). Ikatan
glutamat dengan reseptor non-NMDA akan menghasilkan neurotransmisi
eksitasi tipe cepat yang disebut excitatory postsynaptic potential (EPSP).
Sementara itu, ikatan glutamat dengan reseptor NMDA akan menghasilkan
tipe EPSP yang lebih lambat.
b. Patofisiologi berdasarkan Mekanisme Inhibisi
Neurotransmitter inhibisi primer pada otak adalah GABA. GABA
yang dilepaskan akan berikatan dengan reseptor GABAA dan
menyebabkan masuknya ion Cl- ke dalam sel neuron. Masuknya ion Cl ini
akan meningkatkan muatan negatif dalam neuron postsinaps dan
mengakibatkan hiperpolarisasi, perubahan pada potensial membran ini
disebut inhibitory postsinaptic potential (IPSP). Reseptor GABAB terletak
pada terminal presinaptik dan membran postsinaptik. Jika diaktifkan oleh
GABA presinaptik maupun postsinaptik maka reseptor GABABakan
menyebabkan IPSP. IPSP berperan dalam menurunkan cetusan elektrik sel
saraf. Penurunan komponen sistem GABA-IPSP ini akan mengakibatkan
eksitasi dan mencetuskan epilepsi.

6ΙPAGE
c. Patofisiologi berdasarkan Mekanisme Iktogenesis
Mekanisme iktogenesis terjadi akibat perubahan plastisitas seluler dan
sinaps serta akibat perubahan pada lingkungan ekstraseluler. Mekanisme
iktogenesis diawali dengan adanya sel-sel neuron abnormal yang
mempengaruhi neuron sekitarnya dan membentuk suatu critical mass,
yang bertanggung jawab dalam mekanisme epilepsi. Sampai saat ini teori
tentang iktogenesis ini masih diperdebatkan.Eksitabilitas merupakan kunci
utama padamekanisme iktogenesis, eksitasi dapat berasal dari neuron
individual, lingkungan neuronal atau populasi neuronal. Ketiga penyebab
ini berinteraksi satu sama lain selama satu episode iktal tertentu.
d. Patofisiologi pada Membran Sel Neuron
Potensial membran sel neuron bergantung pada permeabilitas sel
tersebut terhadap ion natrium dan kalium. Membran neuron permeabel
sekali terhadap ion kalium dan kurang permeabel terhadap ion natrium,
sehingga didapatkan konsentrasi kalium yang lebih tinggi dibanding
konsentrasi natrium.
Potensial membran ini dapat diganggu dan berubah oleh berbagai
hal misalnya perubahan konsentrasi ion ekstraseluler, stimulasi mekanis
ataupun kimiawi, perubahan pada membran akibat lesi atau kelainan
genetik.
Bila keseimbangan terganggu, sifat semi-permeabel berubah,
sehingga membiarkan ion natrium dan kalium berdifusi melalui membran
dan mengakibatkan perubahan kadar ion dan perubahan potensial yang
menyertainya. Potensial aksi terbentuk di permukaan sel, dan menjadi
stimulus yang efektif pada bagian membran sel lainnya dan menyebar
sepanjang akson. Tampaknya semua konvulsi, apapun pencetus atau
penyebabnya, disertai berkurangnya ion kalium dan meningkatnya ion
natrium didalam sel.

7ΙPAGE
Silbernagl S. Color Atlas of Pathophysiology. New York: Thieme. 2000

F. KLASIFIKASI & MANIFESTASI KLINIK (Priguna Sidharta, 2014)


1. Menurut Commision of Clasification and Terminology of the
Internasional League Against Epilepsy, 1981 untuk tipe serangan
epilepsi:

a. Serangan Parsial
1.) Serangan Parsial Sederhana
i. Manifestasi Motorik
Kejang ini menyebabkan perubahan pada aktivitas otot.
Sebagai contoh, seseorang mungkin mengalami gerakan
abnormal seperti jari tangan menghentak atau kekakuan pada

8ΙPAGE
sebagian tubuh. Gerakan ini mungkin akan meluas atau tetap
pada satu sisi tubuh (berlawanan dengan area otak yang
terganggu) atau meluas pada kedua sisi. Contoh yang lain
adalah kelemahan dimana dapat berpengaruh pada saat
berbicara. Penderita mungkin bisa atau tidak menyadari
gerakan ini.
ii. Manifestasi Sensorik
Kejang ini menyebabkan perubahan perasaan. Orang dengan
kejang sensori mungkin mencium atau merasakan sesuatu yang
sebenarnya tidak ada disitu, mendengar bunyi berdetak,
berdering atau suara seseorang ketika suara yang sebenarnya
tidak ada, atau merasakan sensasi seperti ditusuk jarum atau
mati rasa (kebas). Kejang mungkin terasa sangat menyakitkan
pada beberapa pasien. Mereka akan merasa seperti berputar.
Mereka juga mungkin mengalami ilusi. Untuk singkatnya
mereka mungkin percaya bahwa mobil yang sedang diparkir
bergerak pergi atau suara seseorang seperti teredam ketika
seharusnya terdengar jelas.
iii. Manifestasi Autonomic
Kejang ini menyebabkan perubahan pada bagian system saraf
yang secara otomatis mengendalikan fungsi tubuh. Kejang ini
biasanya meliputi perasaan asing atau tidak nyaman pada
perut, dada dan kepala, perubahan pada denyut jantung dan
pernafasan, berkeringat.
iv. Manifestasi Psikis
Kejang ini merubah cara berpikir seseorang, perasaan dan
pengalaman akan sesuatu. Mereka mungkin bermasalah
dengan memori, kata yang terbalik saat berbicara,
ketidakmampuan untuk menemukan kata yang tepat atau
bermasalah dalam memahami percakapan atau tulisan. Mereka
mungkin dengan tiba-tiba merasa takut, depresi atau bahagia

9ΙPAGE
dengan alasan yang tidak jelas. Beberapa pasien mungkin
merasa seperti mereka berada diluar tubuhnya atau merasa
dejavu (pernah mengalami sebelumnya).
2.) Serangan Parsial Kompleks (disertai gangguan kesadaran)
i. Gambaran parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran:
kesadaran mula-mula baik kemudian baru menurun
ii. Dengan penurunan kesadaran sejak serangan,
kesadaranmenurun sejak permulaan serangan
3.) Serangan parsial yang berkembang menjadi serangan umum
(tonik, klonik, tonik-klonik)

b. Serangan Umum
1.) Tonic-Clonic Convulsion = Grand Mal
Kejang ini dimulai dengan suara jeritan yang tidak wajar.
Kemudian penderita akan jatuh dan setiap otot terlihat lebih aktif.
Giginya mencengkeram. Penderita terlihat pucat, dan dalam
waktu singkat akan berubah kebiruan. Sesaat setelah dia jatuh,
tangan dan badan bagian atas akan mulai menghentak sedangkan
kakinya menjadi lebih atau kurang kaku. Ini adalah bagian
terlama dari kejang ini. Pada akhirnya kejangnya berhenti dan dia
jatuh kedalam tidur yang dalam.
Umumnya kejang tonik klonik terjadi selama 1-3 menit.
Kejang yang berakhir lebih dari 30 menit atau tiga kali kejang
tanpa periode jeda yang normal mengindikasikan kondisi yang
berbahaya disebut juga sebagai status epileptikus. Kejang ini
disebut juga sebagai grand mall. Seperti namanya kejang ini
merupakan gabungan dari kejang tonik dan kejang klonik. Fase
tonik datang pertama ditandai dengan semua otot menjadi kaku.
Udara secara paksa dikeluarkan dari pita suara yang
menyebabkan tangisan atau erangan. Orang tersebut akan
kehilangan kesadaran dan jatuh kelantai. Lidah dan pipi bagian

10 Ι P A G E
dalam mungkin tergigit. Jadi ludah yang bercampur darah
mungkin keluar dari mulut. Wajah orang tersebut mungkin akan
berubah jadi kebiruan. Setelah fase tonik akan terjadi fase klonik.
Tangan dan kaki biasanya akan mulai menghentak dengan cepat
dan berirama, gerakan menekuk dan relaksasi pada siku, pangkal
paha dan lutut. Setelah beberapa menit gerakan menghentak akan
melambat dan berhenti. Isi kandung kemih dan perut terkadang
ikut keluar saat tubuh relaksasi. Kesadaran kembali perlahan dan
orang tersebut mungkin mengantuk, bingung, atau depresi.
Penderita yang mengalami kejang ini dapat anak-anak maupun
orang dewasa.
2.) Abscense Attacks = Petit Mal
Jenis yang jarang umumnya hanya terjadi pada masa anak-
anak atau awal remaja. Bangkitan ini ditandai dengan gangguan
kesadaran mendadak (absence) dalam beberapa detik (sekitar 5-10
detik) dimana motorik terhenti dan penderita diam tanpa reaksi.
Seragan ini biasanya timbul pada anak-anak atau awal remaja.
Penderita tiba-tiba melotot, atau matanya berkedip-kedip, dengan
kepala terkulai kejadiannya cuma beberapa detik, dan bahkan
sering tidak disadari Pada waktu kesadaran hilang, tonus otot
skeletal tidak hilang sehingga penderita tidak jatuh. Pasca
serangan, penderita akan sadar kembali dan biasanya lupa akan
peristiwa yang baru dialaminya. Pada pemeriksaan EEG akan
menunjukan gambaran yang khas yakni “spike wave” yang
berfrekuensi 3 siklus per detik yang bangkit secara menyeluruh.

3.) Myoclonic Seizure

Bangkitan mioklonik muncul akibat adanya gerakan


involuntar sekelompok otot skelet yang muncul secara tiba-tiba
dan biasanya hanya berlangsung sejenak. Gambaran klinis yang

11 Ι P A G E
terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau keempat
anggota gerak yang berulang dan terjadinya cepat.

4.) Atonic Seizure

Jarang terjadi pasien tiba-tiba kehilangan kekuatan otot dan


jatuh tiba-tiba.

5.) Klonik Seizure

Kejang dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan


pemulaan fokal dan multifokal yang berpindah-pindah. Kejang
klonik fokal berlangsung 1– 3 detik, terlokalisasi, tidak disertai
gangguan kesadaran dan biasanya tidak diikuti oleh fase tonik.
Bentuk kejang ini dapat disebabkan oleh kontusio cerebri akibat
trauma fokal pada bayi besar dan cukup bulan atau oleh
ensepalopati metabolik.

6.) Tonik Seizure

Berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan


tonik umum dengan ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai
deserebrasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah dengan
bentuk dekortikasi.

c. Serangan tidak tergolongkan


Termasuk golongan ini adalah bangkitan pada bayi berupa
gerakan bola mata yang ritmik, mengunyah-ngunyah, gerakan seperti
berenang, menggigil, atau pernapasan yang mendadak berhenti
sementara. (Vera, 2014)

2. Menurut ILAE 1989 untuk Epilepsi dan Sindrom Epilepsi (Priguna


Sidharta, 2014)
a. Berkaitan dengan letak fokus

12 Ι P A G E
1) Idiopatik (primer)
 Epilepsi benigna dengan gelombang paku di sentrotemporal
(Rolandik benigna)
 Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital
 Epilepsi primer saat membaca
2) Simtomatik (Sekunder)

 Lobus temporalis
 Lobus frontalis
 Lobus parietalis
 Lobus oksipitalis
 Epilepsi parsial kontinua yang kronis progresif pada anak-anak
(Kojenikow’s Syndrome)
 Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu
rangsangan (kurang tidur, alkohol, obat-obatan, hiperventilasi,
refleks epilepsi, stimulasi fungsi kortikal tinggi, membaca)
 Kriptogenik

b. Epilepsi Umum(Priguna Sidharta, 2014)


1) Idiopatik (primer)

- Kejang neonatus familial benigna


- Kejang neonatus benigna
- Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
- Epilepsi absans pada anak
- Epilepsi absans pada remaja
- Epilepsi mioklonik pada remaja
- Epilepsi dengan serangan tonik klonik pada saat terjaga
- Epilepsi tonik klonik dengan serangan acak

2) Kriptogenik atau Simtomatik

- Sindroma West (spasmus infantil dan hipsaritmia)

13 Ι P A G E
- Sindroma Lennox Gastaut
- Epilepsi mioklonik astatik
- Epilepsi absans mioklonik

3) Simtomatik
i. Etiologi non spesifik

- Ensefalopati mioklonik dini


- Ensefalopati pada infantile dini dengan dengan burst
suppression
- Epilepsi simtomatis umum lainnya yang tidak termasuk di
atas

ii. Etiologi / sindrom spesifik

- Malformasi serebral
- Gangguan metabolisme

c. Epilepsi dan Sindrom yang Tidak Dapat Ditentukan Fokal atau


Umum
1) Serangan umum dan fokal

 Serangan neonatal
 Epilepsi mioklonik berat pada bayi
 Sindroma Taissinare
 Sindroma Landau Kleffner

2) Tanpa gambaran tegas fokal atau umum

d. Epilepsi berkaitan dengan situasi (sindrom khusus)

1) Kejang demam
2) Bangkitan kejang/status epileptikus yang timbul hanya sekali
isolated

14 Ι P A G E
3) Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolic akut,
atau toksis, alkohol, obat-obatan, eklamsia, hiperglikemi
nonketotik.
4) Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesfik (epilepsi refrektorik).

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG (Grochoski, 2015)


a. Elektroensefalogragi (EEG)
Pemeriksaan EEG tidak sepenuhnya mendukung ataupun menyingkirkan
diagnosa epilepsi, kurang lebih 5% pasien tanpa epilepsi mempunyai
kelainan pada EEG, dan hanya 50% pasien dengan epilepsi memiliki
aktivitas epileptiform pada rekaman EEG pertamanya. EEG sangat
berperan dalam menegakkan diagnosis epilepsi dan memberikan informasi
berkaitan dengan sindrom epilepsi, serta dalam menentukan lokasi atau
fokus kejang khususnya pada kejang fokal. Prosedur standar yang
digunakan pada pemeriksaan EEG adalah rekaman EEG saat tidur (sleep
deprivation), pada kondisi hiperventilasi dan stimulasi fotik, dimana ketiga
keadaan tersebut dapat mendeteksi aktivitas epileptiform.
b. MRI
MRI merupakan pemeriksaan pencitraan yang sangat penting pada kasus-
kasus epilepsi karena MRI dapat memperlihatkan struktur otak dengan
sensitivitas yang tinggi. Gambaran yang dihasilkan oleh MRI dapat
digunakan untuk membedakan kelainan pada otak, seperti gangguan
perkembangan otak (sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal), tumor
otak, kelainan pembuluh darah otak (hemangioma kavernosa) serta
abnormalitas lainnya. Tetapi MRI tidak selalu dilakukan pada semua
epilepsi .
c. CT Scan
CT Scan sering memberikan hasil yang normal pada kebanyakan kasus
epilepsi, CT Scan merupakan pemeriksaan penunjang yang cukup penting
karena dapat menunjukkan kelainan pada otak seperti atrofi jaringan otak,

15 Ι P A G E
jaringan parut, tumor dan kelainan pada pembuluh darah otak seperti
perdarahan, infark.

Selain ketiga prosedur standar diatas dikenal pula rekaman Video-EEG dan
ambulatory EEG, yang dapat memperlihatkan aktivitas elektrik pada otak
selama kejang berlangsung (Vera, 2014)

H. DIAGNOSIS (Harsono, 2011)

Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan


hasil pemeriksaan EEG dan radiologis. Namun demikian, bila secara
kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis)
sudah dapat ditegakkan
1) Anamnesis
Anamnesis juga memunculkan informasi tentang trauma kepala
dengan kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan
metabolik, malformasi vaskuler dan obat-obatan tertentu . Anamnesis
(auto dan aloanamnesis), meliputi:
a. Gejala sebelum, selama dan paska serangan
b. Faktor pencetus
c. Frekuensi serangan
d. Pola / bentuk bangkitan
e. Lama serangan
f. Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
g. Usia saat serangan terjadinya pertama
h. Terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap OAE
sebelumnya
i. Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
j. Riwayat terapi sebelumnya
k. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

16 Ι P A G E
2) Pemeriksaan Fisik Umum Dan Neurologis
Pemeriksaan fisik umum untuk mencari tanda-tanda gangguan yang
berkaitan dengan epilepsi, misalnya:
 Trauma kepala
 Tanda-tanda infeksi
 Kelainan congenital
 Kecanduan alcohol atau napza
 Kelainan pada kulit (neurofakomatosis)
 Tanda-tanda keganasan.

Pemeriksaan neurologis untuk mencari tanda defisit neurologis fokal


atau difus yang dapat berhubungan dengan epilepsi. Jika dilakukan
dalam beberapa menit setelah bangkitan, maka akan tampak
pascabangkitan terutama tanda fokal yang tidak jarang dapat menjadi
petunjuk lokalisasi, seperti:
 Afasia pascaiktal
 Paresis Todd

3) Pemeriksaan Penunjang
a. Elektro ensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan
merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan
untuk rnenegakkan diagnosis epilepsi. Adanya kelainan fokal pada
EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak,
sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.
Rekaman EEG dikatakan abnormal.
 Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang
sama di kedua hemisfer otak.
 Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih
lambat dibanding seharusnya misal gelombang delta.

17 Ι P A G E
 Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak
normal, misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-
ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat yang timbul
secara paroksimal. Bentuk epilepsi tertentu mempunyai
gambaran EEG yang khas, misalnya spasme infantile
mempunyai gambaran EEG hipsaritmia, epilepsi petit mal
gambaran EEG nya gelombang paku ombak 3 siklus per detik
(3 spd), epilepsi mioklonik mempunyai gambaran EEG
gelombang paku/ tajam/lambat dan paku majemuk yang
timbul secara serentak (sinkron).

b. Rekaman Video EEG


Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita
yang sedang mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan
diagnosis dan lokasi sumber serangan. Rekaman video EEG
memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis dan EEG, serta
memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis
yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk
penderita yang penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta
bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan lokasi
fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada
persiapan operasi.

c. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan
untuk melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila
dibandingkan dengan CT Scan maka MRl lebih sensitif dan secara
anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk
membandingkan hipokampus kanan dan kiri.

d. Pemeriksaan Laboratorium

18 Ι P A G E
Pemeriksaan hematologis
Pemeriksaan ini mencakup hemoglobin, leukosit dan hitung
jenis, hematokrit, trombosit, apusan darah tepi, elektrolit
(natrium, kalium, kalsium, magnesium), kadar gula darah
sewaktu, fungsi hati (SGOT/SGPT), ureum, kreatinin dan
albumin.
 Awal pengobatan sebagai salah satu acuan dalam
menyingkirkan diagnosis banding dan pemilihan
OAE
 Dua bulan setelah pemberian OAE untuk
mendeteksi efek samping OAE
 Rutin diulang setiap tahun sekali untuk memonitor
efek samping OAE, atau bila timbul gejala klinis
akibat efek samping OAE.

iii. Pemeriksaan kadar OAE


Pemeriksaan ini idealnya untuk melihat kadar OAE dalam
plasma saat bangkitan belum terkontrol, meskipun sudah
mencapai dosis terapi maksimal atau untuk memonitor
kepatuhan pasien.
e. Gold standar :
a) EEG iktal dengan subdural atau depth EEG
b) Longterm video EEG monitoring

I. DIFFERENTIAL DIAGNOSIS (Sharma, 2013)


1. Sinkop (misalnya: aritmia jantung, vasovagal syncop, dysautonomia)
2. Sturge Weber syndrome
3. Transient Iskemik attack
4. Paroksismal dyskinesia
5. Gangguan psikiatri ( gangguan konversi, malingering, serangan panik)
6. Kejang demam sederhana, Kejang demam kompleks

19 Ι P A G E
7. Migraine
8. Stroke emboli

J. PENATALAKSANAAN (Machfoed, 2011)


a. Non farmakologi
1) Amati faktor pemicu
2) Hindari faktor pemicu misalnya: stress, konsumsi alkohol, jadwal
tidur yang tidak tepat, terlambat makan.
3) Diet ketogenik adalah diet tinggi lemak, cukup protein, dan rendah
karbohidrat, yang akan menyediakan cukup protein untuk
pertumbuhan, terapi kurang karbohidrat untuk kebutuhan metabolisme
tubuh. Dengan demikian tubuh akan menggunakan lemak sebagai
sumber energi, yang pada gilirannya akan menghasilkan senyawa
keton.
4) Pembedahan
b. Farmakologi
Tatalaksana farmakologi untuk epilepsi bersifat jangka panjang
didasarkan atas pemberian OAE yang sebenarnya memiliki potensi toksik.
Dengan demikian, setiap kali memutuskan untuk memberikan OAE
kepada penderita epilepsi, hal-hal berikut ini harus selalu diperhatikan:
i. Risk-benefit ratio, harus selalu dievaluasi secara terus menerus
ii. Penggunaan OAE harus sehemat mungkin dan sedapat mungkin
dalam jangka waktu yang pendek
iii. Memilih obat yang paling spesifik untuk jenis serangan yang akan
diobati.
Terapi dimulai dengan monoterapi. Pemberian obat dimulai dari dosis
rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif tercapai atau timbul
efek samping, kadar obat dalam plasma ditentukan bila bangkitan tidak
terkontrol dengan dosis efektif, jika sudah dosis maksimum OAE tidak
dapat mengontrol bangkitan, ditambahkan OAE kedua.Bila OAE kedua
telah mencapai kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap

20 Ι P A G E
perlahan-lahan. Penambahan OAE ketiga baru dilakukan setelah terbukti
bangkitan tidak dapat diatasi dengan pengguanaan dosis maksimal kedua
OAE pertama.
Syarat umum untuk menghentikan OAE sbb : dapat didiskusikan
dengan pasien atau keluarganya setelah 3 tahun bebas kejang, dilakukan
secara bertahap diturunkan 25% dari dosis semua setiap bulan dalam
jangka waktu 3-6 bulan, bila digunakan lebih dari satu OAE maka
penghentian OAE dimulai dari OAE yang kedua bukan yang utama.

Berikut di bawah ini jenis OAE berdasarkan jenis bangkitan :

Jenis OAE lini OAE lini OAE yang OAE yang


bangkitan pertama kedua dipertimbang dihindari
kan
Tonik Sodium Clobazam Phenobarbital Carbamazepine
Valproate Levetiracetam Phenytoin Oxcarbazepine
Lamotrigine Topiramate

Atonik Sodium Clobazam Phenobarbital Carbamazepine


Valproate Levetiracetam Phenytoin Oxcarbazepine
Lamotrigine Topiramate Acetazolamide Phenytoin
Fokal Carbamazepine Clobazam Clonazepam
Dengan / Oxcarbazepine Gabapentin Phenobarbital
Tanpa Sodium Levetiracetam Acetazolamide
Umum Valproate Phenytoin
Sekunder Topiramate Tiagabine
Lamotrigine
Tonik Carbamazepine Clobazam Clonazepam
Klonik Phenobarbital Levetiracetam Acetazolamide
Phenytoin Oxcarbazepine
Valproate Lamotrigine
Topiramate

21 Ι P A G E
Absance Sodium Clobazam Carbamazepine
Valproate Topiramate Gabapentin
Lamotrigine Oxcarbazepine
Mioklonik Sodium Clobazam Carbamazepi ne
Valproate Topiramate Gabapentin
Topiramate Levetiracetam Oxcarbazepine
Lamotrigine
Piracetam

Tabel 1: Pemilihan Obat Anti Epilepsi (OAE) Berdasarkan Jenis Bangkitan

Obat Mekanisme kerja


Karbamazepin Blok sodium channel konduktan pada neuro, bekerja juga pada
reseptor NMDA, asetilkolin
Fenitoine Blok sodium channel dan inhibisi aksi konduktan kalsium dan
klorida
Fenobarbital Meningkatkan aktivitas reseptor GABA, menurunkan
konduktan natrium, kalsium, kalium
Valproate Diduga aktivitas GABA glutaminergik, menurunkan ambang
konduktan kalsium
Gabapentine Modulasi kalsium channel
Lamotrigine Blok konduktan natrium
Topiramate Blok sodium channel, meningkatkan refluks GABA

Tabel 2: Mekanisme kerja OAE

Obat Dosis awal Dosis Rumatan Jumlah


Dosis/Hari
Carbamazepine 400-600 mg/hari 400-1600mg/hari 2-3x
Phenytoin 200-300 mg/hari 200-400mg/hari 1-2x
Asam valproat 500-1000 mg/hari 500-2500mg/hari 2-3x

22 Ι P A G E
Phenobarbital 50-100 mg/hari 50-200mg/hari 1x
Clonazepam 1mg/hari 4mg/hari 1-2x
Clobazam 10mg/hari 10-30mg/hari 2-3x
Topiramate 100mg/hari 100-400mg/hari 2x
Gabapentine 900-1800mg/hari 900-3600mg/hari 2-3x
Lamotrigine 50-100mg/hari 20-200mg/hari 1-2x
Levetiracetam 1000- 1000- 2x
2000mg/hari 3000mg/hari

Tabel 3 : OAE dengan Dosis

Obat Efek Samping Mengancam Jiwa Efek Samping Minor


Carbamazepine Anemia Aplastik, Hepatotoksisitas, Dizziness, Ataksia, Diplopia,
Sindroma Steven Johnson, Mual,Kelelahan,
Lupuslike Syndrome Agranulositosis, Leukopenia,
Hiponatremia
Phenytoin Anemia Aplastik, Gangguan Hipertrofi Gusi, Hirsutisme,
Fungsi Hati, SJS, Lupuslike Ataksia, Nistagmus, Diplopia,
Syndrome, Disfungsi Cerebellar
Phenobarbital Hepatotoksik, Gangguan Jaringan Mengantuk, Ataksia,
Ikat Dan Sumsum Tulang, SJS Nistagmus, Ruam Kulit,
Depresi, Hiperaktif Dan
Gangguan Belajar Pada Anak.
Asam valproat Hepatotoksisitas, Hiperamonemia, Mual, Muntah, Rambut
Leukopenia, Trombositopenia, Menipis, Tremor, Amenorhea,
Pankreatitis Peningkatan Bb, Konstipasi
Levetiracetam Belum Diketahui Mual, Nyeri Kepala,
Dizziness, Mengantuk,
Gangguan Perilaku, Agitasi

23 Ι P A G E
Gabapentin Teratogenik Somnolen, Kelelahan, Ataksia,
Dizziness, Peningkatan Bb,
Gangguan Perilaku
Lamotrigine SJS, Gangguan Hepar Akut, Ruam, Dizziness, Tremor,
Kegagalan Multi Organ. Ataksia, Diplopia, Pandangan
Kabur, Nyeri Kepala.
Topiramate Batu Ginjal, Hipohidrosis, Gangguan Kognitif, Kesulitan
Gangguan Fungsi Hati, Menemukan Kata, Dizziness,
Teratogenik Ataksia, Nyeri Kepala,
Kelelahan

Tabel 4 : Efek Samping Obat OAE

K. KOMPLIKASI (Chou, 2014)


a. Kematian mendadak
b. Status epileptikus
c. Masalah kesehatan mental menjadi mudah depresi

L. PROGNOSIS
Ketika pasien telah bebas kejang untuk beberapa tahun, hal ini mungkin
untuk menghentikan pengobatan anti kejang, tergantung pada umur pasien
dan tipe epilepsy yang diderita. Hampir seperempat pasien yang bebas kejang
selama tiga tahun akan tetap bebas kejang setelah menghentikan pengobatan
yang dilakukan dengan mengurangi dosis secara bertahap. Lebih dari
setengah pasien anak-anak dengan epilepsy dapat menghentikan pengobatan
tanpa perkembangan pada kejang.(Harsono, 2011)

24 Ι P A G E
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Epilepsi didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-tanda klinis yang
muncul disebabkan gangguan fungsi otak secara intermiten, yang terjadi akibat
lepas muatan listrik abnormal atau berlebihan dari neuron-neuron secara
paroksismal. Manifestasi serangan atau bangkitan epilepsi secara klinis dapat
dicirikan sebagai berikut yaitu gejala yang timbulnya mendadak, hilang
spontan dan cenderung untuk berulang.

25 Ι P A G E

Anda mungkin juga menyukai