PENDAHULUAN
1
1.2. Tujuan Laporan Kasus
Tujuan dari laporan kasus ini adalah untuk menguraikan teori-teori tentang
Stroke Hemoragik mulai dari defenisi, epidemiologi, klasifikasi, faktor resiko,
patofisiologi, gejala klinis, diagnosis dan tatalaksana. Penyusunan laporan kasus ini
juga sekaligus untuk memenuhi persyaratan pelaksanaan Program Pendidikan Profesi
Dokter (P3D) di Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2. Epidemiologi
Setiap tahunnya ada sekitar 5,8 juta orang yang meninggal karena stroke dan
duapertiga dari semua kematian akibat stroke terjadi di negara-negara berkembang. Di
Amerika Serikat didapatkan 700.000 orang mengalami stroke baru atau berulang tiap
2
tahunnya. Di Indonesia, prevalensi stroke mencapai angka 8,3 per 1.000 penduduk.
Daerah yang memiliki prevalensi stroke tertinggi adalah Nanggroe Aceh Darussalam
(16,6 per 1.000 penduduk) dan yang terendah adalah Papua (3,8 per 1.000 penduduk).
Menurut Riskesdas tahun 2008, stroke menempati urutan pertama sebagai penyebab
3
kematian utama semua usia di Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh Machfoed
di beberapa rumah sakit di Surabaya diperoleh data bahwa dari 1.397 pasien yang
didiagnosa dengan stroke, 808 pria dan 589 wanita. Sebanyak 1001 (71,73%) pasien
adalah stroke iskemik dan 396 (28,27%) adalah stroke hemoragik. Umur rata-rata
untuk semua pasien stroke adalah 76,43 tahun denganumur rata-rata untuk pasien
5
stroke iskemik 77,43 tahun dan 75,21 tahun untuk stroke hemoragik.
3
2.1.3. Klasifikasi
a. Perdarahan Sub Araknoid (PSA) adalah keadaan akut dimana
terdapatnya/masuknya darah ke dalam ruangan subaraknoid, atau perdarahan
yang terjadi di pembuluh darah di luar otak, tetapi masih di daerah kepala
seperti di selaput otak atau bagian bawah otak.
b. Perdarahan Intraserebral (PIS) adalah perdarahan yang primer berasal dari
6
pembuluh darah dalam parenkim otak dan bukan disebabkan oleh trauma.
2,6
Faktor risiko yang dapat diubah :
- Hipertensi arterial
- TIA
- Stroke sebelumnya
- Bruit karotis asimtomatik
- Penyakit jantung
- Ateromatosis arkus aorta
- Diabetes mellitus
- Dislipidemia
- Merokok
4
- Konsumsi alkhohol
- Peningkatan fibrinogen
- Peningkatan homosistein
- Kadar folat serum rendah
- Obesitas.2,6
2.1.5. Patofisiologi
Pecahnya pembuluh darah di otak dibedakan menurut anatominya yaitu
perdarahan intraserebral dan subarakhnoid, sedangkan berdasarkan penyebabnya,
perdarahan intraserebral dibagi menjadi perdarahan intraserebral primer dan
sekunder. Perdarahan intraserebral primer (hipertensif) terjadi karena hipertensi
kronik yang menyebabkan vaskulopati serebral dengan akibat pecahnya pembuluh
darah di otak. Sedangkan perdarahan intraserebral sekunder (bukan hipertensi)
terjadi antara lain akibat anomali vaskular kongenital, koagulopati, obat anti
6
koagulan.
Diperkirakan 50% penyebab perdarahan intraserebral adalah hipertensi
kronik, 25% karena anomali kongenital dan sisanya penyebab lain. Pada perdarahan
intraserebral, pembuluh darah yang pecah terdapat di dalam otak atau massa pada
otak, sedangkan pada perdarahan subarakhnoid, pembuluh darah yang pecah
7
terdapat di ruang subaraknoid.
5
2.1.5.2. Perdarahan Subarakhnoid
Perdarahan ini paling sering berasal dari pecahnya aneurisma sakuler
(berry) atau adanya malformasi arterivenosa. Aneurisma yang pecah ini berasal
dari sirkulasi Willisi dan cabang-cabangnya yang terdapat di luar parenkim otak.
Pecahnya arteri dan keluarnya darah ke ruang subarakhnoid menyebabkan TIK
(Tekanan Intrakranial) meningkat mendadak dan vasospasme pembuluh darah
serebri yang berakibat disfungsi otak global (nyeri kepala, penurunan kesadaran )
8
maupun fokal (hemiparese, gangguan hemisensorik, afasia dan lainnya).
8
Terdapat beberapa jenis aneurisma yang terbentuk di arteri otak seperti :
1. Aneurisma sakuler (berry)
Aneurisma ini terjadi pada titik bifurkasio arteri intrakranial. Lokasi
tersering aneurisma sakular adalah arteri komunikans anterior (40%), bifurkasio
arteri serebri media di fisura sylvii (20%), dinding lateral arteri karotis interna
(pada tempat berasalnya arteri oftalmika atau arteri komunikans posterior
[30%]), dan basilar tip (10%). Aneurisma dapat menimbulkan defisit neurologis
dengan menekan struktur disekitarnya bahkan sebelum ruptur. Misalnya,
aneurisma pada komunikans posterior dapat menekan nervus okulomotorius,
8
menyebabkan paresis saraf kranial ketiga (pasien mengalami diplopia).
6
2. Aneurisma fusiformis
Pembesaran pada pembuluh darah yang terbentuk memanjang disebut
aneurisma fusiformis. Aneurisma tersebut umumnya terjadi pada segmen
intrakranial arteri karotis interna, trunkus utama arteri serebri media dan arteri
basilaris. Aneurisma fusiformis dapat disebabkan oleh arterosklerosis dan atau
hipertensi. Aneurisma fusiformis yang besar pada arteri basillaris dapat menekan
batang otak. Aliran yang lambat di dalam aneurisma fusiformis dapat mempercepat
pembentukan bekuan intra-aneurismal terutama pada sisi-sisinya. Aneurisma ini
biasanya tidak dapat ditangani secara pembedahan saraf, karena merupakan
pembesaran pembuluh darah normal yang memanjang dibandingkan struktur
patologis (seperti aneurisma sakular) yang tidak memberikan kontribusi pada suplai
8
darah serebral.
3. Aneurisma mikotik
Aneurisma mikotik umumnya ditemukan pada arteri kecil di otak.
Terapinya terdiri dari terapi infeksi yang mendasarinya dikarenakan hal ini biasa
disebabkan oleh karena infeksi. Aneurisma mikotik kadang-kadang mengalami
8
regresi spontan, struktur ini jarang menyebabkan perdarahan subarakhnoid.
Malformasi arterivenosa adalah anomali vaskuler yang terdiri dari
jaringan pleksiform abnormal tempat arteri dan vena terhubungkan oleh satu atau
lebih fistula. Pada malformasi ini, arteri berhubungan langsung dengan vena
tanpa melalui kapiler yang menjadi perantaranya. Pada kejadian ini vena tidak
dapat menampung tekanan darah yang datang langsung dari arteri, akibatnya
vena akan merenggang dan melebar karena langsung menerima aliran darah
tambahan yang berasal dari arteri. Pembuluh darah yang lemah nantinya akan
mengalami ruptur dan berdarah sama halnya seperti yang terjadi pada aneurisma.
Malformasi ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu kongenital dan yang didapat.
Malformasi yang didapat dapat terjadi akibat trombosis sinus, trauma atau
8
kraniotomi.
7
2.1.6. Gejala Klinis
2.1.6.1. Perdarahan Intraserebral
Gejala yang sering dijumpai pada perdarahan intraserebral adalah nyeri
kepala yang berat, mual, muntah dan sering dijumpai defisit neurologis.
Biasanya tidak dijumpai darah pada pemeriksaan lumbal punksi. Serangan sering
kali di siang hari, waktu beraktivitas dan saat emosi/marah. Kesadaran biasanya
menurun dan cepat masuk koma (65% terjadi kurang dari setengah jam, 23%
9
antara setengah sampai satu jam dan 12% terjadi setelah 3 jam).
2.1.7. Diagnosis
2.1.7.1. Diagnosis Perdarahan Intraserebral (PIS)
Gejalanya bervariasi tergantung lokasi perdarahan dan jumlah jaringan
otak yang terkena. Gejalanya biasanya berkembang mendadak, tanpa peringatan,
sering selama aktivitas. Kadang kala gejala tersebut dapat berkembang dalam
pola yang bertahap, atau mungkin akan bertambah buruk seiring berjalannya
10
waktu.
Gejalanya meliputi:
Perubahan kewaspadaan (tingkat kesadaran)
Apatis
Mengantuk, lesu, pingsan
Kesulitan berbicara atau mengerti ucapan
Kesulitan menelan
8
Kesulitan menulis atau membaca
Sakit kepala
Hilangnya koordinasi
Kehilangan keseimbangan
Kehilangan kemampuan motorik halus
Mual, muntah
Perubahan sensasi
Kelumpuhan wajah
Mati rasa atau kesemutan
Penglihatan berkurang, kehilangan semua atau sebagian penglihatan
Penglihatan ganda
Pupil mata ukurannya berbeda
7,10
Gerakan mata tak terkendali
9
Pusing (10%)
Nyeri orbital (7%)
Diplopia (4%)
Kehilangan fungsi penglihatan (4%)
7,10
Tanda-tanda yang hadir sebelum SAH meliputi:
Gangguan sensori atau gangguan motorik (6%)
Kejang (4%)
Ptosis (3%)
Adanya desah (3%)
Disfasia (2%)
SIRIRAJ
(2,5 x derajat kesadaran) + (2 x muntah) + (2 x nyeri kepala) + (0,1 x
tekanan diastolic) – (3 x penanda ateroma) – 12
Dimana
Derajat kesadaran -> 0 = CM; 1 = somnolen; 2 =
sopor/koma Muntah -> 0 = tidak ada; 1 = ada
Nyeri kepala -> 0 = tidak ada; 1 = ada
Ateroma -> 0 = tidak ada; 1 = salah satu atau lebih (diabetes,
angina, penyakit pembuluh darah)
Hasil Skor > 1 : perdarahan supratentorial. Skor < 1 : infark serebri.
10
GADJAH MADA
Penurunan Kesadaran Nyeri Kepala Babinski Jenis Stroke
+ + + Perdarahan
+ - - Perdarahan
- + - Perdarahan
- - + Iskemia
- - - Iskemia
2.1.8. Penatalakasanaan
11
2.1.8.1. Penatalaksanaan Umum
1. Stabilisasi Jalan Napas dan Pernapasan
0
- Letakkan kepala pasien pada posisi 30 , kepala dan dada pada satu bidang;
ubah posisi tidur setiap 2 jam; mobilisasi dimulai bertahap bila
hemodinamik sudah stabil.
- Pemantauan secara terus menerus terhadap status neurologis, nadi, tekanan
darah, suhu tubuh, dan saturasi oksigen dianjurkan dalam 72 jam, pada pasien
dengan defisit neurologis yang nyata.
- Pemberian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi oksigen
95%. Terapi oksigen diberikan pada pasien hipoksia. Pasien stroke iskemik
akut yang nonhipoksia tidak mernerlukan terapi oksigen.
2. Stabilisasi Hemodinamik
- Berikan cairan kristaloid atau koloid intravena (hindari pernberian cairan
hipotonik seperti glukosa).
- Optimalisasi tekanan darah
Bila tekanan darah sistolik <120 mmHg dan cairan sudah mencukupi, maka
obat-obat vasopressor dapat diberikan secara titrasi seperti dopamin dosis
sedang/ tinggi, norepinefrin atau epinefrin dengan target tekanan darah
sistolik berkisar 140 mmHg. Pemantauan jantung (cardiac monitoring)
11
harus dilakukan selama 24 jam pertama setelah serangan stroke iskemik.
Bila terdapat adanya penyakit jantung kongestif, segera atasi (konsultasi
kardiologi).
4. Pengendalian Kejang
Bila kejang, berikan diazepam bolus lambat intravena 5-20 mg dan diikuti
oleh fenitoin, loading dose 15-20 mg/kg bolus dengan kecepatan maksimum 50
mg/menit. Bila kejang belum teratasi, maka perlu dirawat di ICU.
lebih dari 38,50C. Pada pasien febris atau berisiko terjadi infeksi, harus dilakukan
12
kultur dan hapusan (trakea, darah dan urin) dan diberikan antibiotik. Jika memakai
kateter ventrikuler, analisa cairan serebrospinal harus dilakukan untuk mendeteksi
meningitis. Jika didapatkan meningitis, maka segera diikuti terapi antibiotik.
6. Penatalaksanaan Hipertensi
- Pada pasien PIS akut (AHA/ASA, class IIb, Level of evidence C), apabila
TDS >200 mmHg atau MAP (mean arterial pressure) >150 mmHg, tekanan
darah diturunkan dengan menggunakan obat antihipertensi intravena secara
kontinu dengan pemantauan tekanan darah setiap 5 menit.
- Apabila TDS >180 mmHg atau MAP > 130 mmHg dngan disertai gejala atau
tanda peningkatan TIK, dilakukan pemantauan TIK. Tekanan darah
diturunkan dengan menggunakan obat antihipertensi intravena secara kontinu
atau intermitten dengan pemantauan tekanan perfusi serebral ≥60 mmHg.
- Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg tanpa disertai gejala atau
tanda peningkatan TIK, tekanan darah diturunkan secara hati-hati dengan
menggunakan obat antihipertensi secara kontinu atau intermitten dengan
pemantauan tekanan darah setiap 15 menit hingga MAP 110 mmHG atau
tekanan darah 160/90 mmHg. Penurunan TDS hingga 140 mmHg masih
diperbolehkan. (AHA/ASA, class IIa, Level of evidence B)
- Pada pasien PIS dengan TDS 150-220 mmHg, penurunan tekanan darah
dengan cepat hingga TDS 140 mmHg cukup aman (AHA/ASA, class IIa,
Level of evidence B). setelah kraniotomi, tekanan MAP adalah 100 mmHg.
- Penanganan nyeri termasuk upaya penting dalam penurunan tekanan darah
pada penderita stroke PIS.
- Pemakaian obat antihipertensi parentral golongan penyekat beta (labetolol
dan esmolol), penyekat kanal kalsium (nikardipin dan diltiazem) intravena,
digunakan dalam upaya diatas.
- Hidralasin dan nitroprusid sebaiknya tidak digunakan karena mengakibatkan
peningkatan TIK, meskipun bukan kontraindikasi mutlak.
- Pada PSA aneurisma, tekanan darah harus dipantau dan dikendalikan bersama
pemantauan tekanan perfusi serebral untuk mencegah risiko terjadi stroke
13
iskemik sesudah PSA serta perdarahan ulang (AHA/ASA, class I, Level of
evidence B). Untuk mencegah terjadinya PSA berulang, pada pasien stroke
PSA akut, tekanan darah diturunkan hingga TDS 140-160 mmHg. Sedangkan
TDS 160-180 mmHg sering digunakan sebagai target TDS dalam mencegah
risiko terjadinya vasospasme, namun hal ini bersifat individual, tergantung
pada usia pasien, berat ringannya kemungkinan vasospasme, dan
komorbiditas kardiovaskular.
- Calcium channel blocker (nimodipine) telah diakuui dalam berbagai panduan
penatalaksanaan PSA karena dapat memperbaiki keluaran fungsional pasien
apabila vasospasme serebral telah terjadi.
- Terapi hiperdinamik dengan ekspansi volume, dan induksi hipertensi dapat
dilakukan dalam penatalaksanaan vasospasme serebral pada PSA aneurisma
(AHA/ASA, class IIa, Level of evidence B), tetapi target rentang tekanan
darah belum jelas.
- Penurunan tekanan darah pada stroke akut dapat dipertimbangkan hingga
lebih rendah dari target diatas pada kondisi tertentu yang mengancam target
organ lainnya, misalnya diseksi aorta, infark miokard akut, edema paru, gagal
ginjal akut, dan ensefalopati hipertensif. Target penurunan tersebut adalah 15-
25% pada jam pertama, dan TDS 160/90 mmHg dalam 6 jam pertama.
14
2.1.8.2. Perdarahan Intra Serebal (PIS)
Pasien dengan defisiensi berat faktor koagulsi atau trombositopenia berat
sebaiknya mendapat terapi pengganti faktor koagulasi atau trombosit
12
(AHA/ASA, Class I, Level of Evidance C).
Pasien dengan perdarahan Intrakranial dan penigkatan INR terkait obat
antikoagulan oral sebaiknya tidak diberikan warfarin, tetapi mendapat terapi
untuk menggantikan vitamin K-dependent factor untuk mengkoreksi INR,
Serta mendapat vitamin K intravena (AHA/ASA,Class I, Level of Evidance
12
C).
Apabila terjadi gangguan Koagulasi maka dapat dikoreksi sebagai berikut:
Vitamin K 10 mg IV diberikan pada penderita dengan peningkatan INR dan
diberikan dalam waktu yang sama dengan terapi yang lain karena efek akan
timbul 6 jam kemudian. Kecepatan pemberian <1mg/menit untuk
meminimalkan resiko anafilaksis.
FFP 2-6 unit diberikan untuk mengkoreksi defesiensi faktor pembekuan
darah bila ditemukan dengan cepat memperbaiki INR atau Aptt. Terapi FFP
13
ini untuk mengganti pada kehilangan faktor koagulasi.
Faktor VIIa rekombinan tidak mengganti semua faktor pembekuan, dan
walaupun INR menurun, Pembekuan bisa jadi tidak membaik.Oleh karena
itu, Faktor VIIa rekombinan tidak secara rutin direkomendasikan sebagai
agen tunggal untuk mengganti antikoagulan oral pada perdarahan intrakranial.
13
(AHA/ASA, Class III, Level of Evidance C.)
Kegunaan dari transfusi trombosit pada pasien perdarahan intrakranial dengan
riwayat pengunaan antiplatelet masih tidak jelas dan dalam tahap penelitian.
13
(AHA/ASA,ClassIIB, Level of Evidance).
Untuk mencegah tromboemboli vena pada pasien dengan perdarahan
intrakranial, sebaiknya mendapat penumatic intermittent compression selain
12,13
dengan stoking elastis (AHA/ASA, Class I, Level of evidance B).
15
Setelah dokumentasi penghentian perdarahan, LMWH atau UFH subkutan
dosis rendah dapat dipertimbangkan untuk pencegahan tromboemboli vena
pada pasien dengan mobilitas yang kurang setelah satu hingga empat hari
13
pasca awitan.(AHA/ASA, Class IIB, Level of evidance B)
Efek heparin dapat diatasi dengan pemberian protamin sulfat 10-50 mg IV
13
dalam waktu 1-3 menit.
16
b. Istirahat di tempat tidur (AHA.ASA,Class IIB , Level of evidance B)
c. Terapi antifibrinolitik (epsilon-aminocaproic acid : Loading d4 mg IV,
kemudian diikuti infus kontinu 1g/jam atau asam treksenamat loading 1 g IV
kemudian dilanjutkan 1 g setiap 6 jam sampai anuerisma tertutup atau
biasanya disarankan selma 72 jam).
d. Pengikatan (ligasi) karotis tidak bermanfaat untuk mencegah perdarah
berulang (AHA/ASA, Class III, Level of Evidence A).
14
e. Penggunaan Koil Intraluminal dan balon masih dalam uji coba.
2.1.9. Prognosis
Sekitar 35% dari orang meninggal ketika memiliki perdarahan
subarachnoid akibat aneurisme. 15% lainnya meninggal karena mengakibatkan
kerusakan otak yang luas dalam waktu beberapa minggu karena pendarahan dari
pecahnya kedua. Orang yang bertahan hidup selama 6 bulan tetapi yang tidak
memiliki operasi untuk aneurisma memiliki kesempatan 3% lain pecah setiap
17
tahun. Pandangan ini lebih baik bila penyebabnya adalah kelainan arteriovenosa.
Kadang-kadang, perdarahan disebabkan oleh cacat kecil yang tidak terdeteksi oleh
angiography cerebral karena cacat telah tertutup dengan sendirinya. Dalam kasus
tersebut, prospek sangat baik. Beberapa orang kembali sebagian besar atau seluruh
fungsi mental dan fisik setelah perdarahan subarachnoid. Namun, banyak orang
terus memiliki gejala seperti lemah, lumpuh, atau kehilangan sensasi pada satu sisi
16,1
tubuh atau aphasia.
18
BAB 3
LAPORAN KASUS
3.1. Anamnesis
3.1.1.Identitas Pribadi
Nama : Tn. KG
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 67 tahun
Suku bangsa : Batak
Agama : Kristen Protestan
Alamat : Desa Ujung Deleng
Status : Duda
Pekerjaan : Petani
Tgl masuk : 19 Desember 2017
Tgl keluar :
3.1.2. Anamnesa
Keluhan umum : Penurunan kesadaran
Telaah :
Hal ini dialami O.S sejak ± 3 jam sebelum masuk rumah sakit. Terjadi
secara tiba-tiba saat O.S sedang beraktifitas ringan. Menurut keluarga O.S.
mengalami kelemahan anggota gerak sebelah kanan bersamaan dengan penurunan
kesadaran. Mulut mencong ke kanan juga dialami O.S secara tiba-tiba. Riwayat
nyeri kepala dijumpai, nyeri yang dirasakan di seluruh kepala berdenyut dan tidak
hilang dengan obat penghilang nyeri.
Riwayat muntah menyembur tidak dijumpai. Riwayat kejang tidak
dijumpai. Riwayat stroke sebelumnya disangkal. Riwayat darah tinggi dijumpai
Menurut keluarga O.S selama ini O.S tidak pernah memeriksakan kesehatannya
sehingga darah tinggi O.S baru diketahui ± 3 tahun yang lalu saat
O.S.memeriksakan diri ke puskesmas. Keluarga O.S mengakui O.S tidak teratur
minum obat darah tinggi. Riwayat penyakit gula dan kolesterol tidak jelas.
19
Riwayat sakit jantung disangkal. Riwayat demam maupun trauma tidak dijumpai.
20
Kulit dan selaput lendir : Kulit hangat, CRT < 3’
Kelenjar dan Getah Bening : Tidak dijumpai pembesaran KGB
Persendian : Normal
3.2.4. Genitalia
Toucher : Tidak dilakukan pemeriksaan
21
Transiluminasi: Tidak dilakukan pemeriksaan
22
Nistagmus : Sulit dinilai
Pupil
Lebar : 3 mm 3 mm
Bentuk : Bulat, isokor Bulat, isokor
Refleks cahaya langsung : + +
Refleks cahaya tidak langsung: + +
Rima palpebra : Sulit dinilai
Deviasi conjugate : - -
Fenomena doll’s eyes : + +
Strabismus : Sulit dinilai
Nervus VII
Motorik
Mimik : Sudut mulut jatuh ke kanan
Kerut kening : Sulit dinilai
23
Menutup mata : Sulit dinilai
Meniup sekuatnya : Sulit dinilai
Memperlihatkan gigi : Sulit dinilai
Tertawa : Sulit dinilai
Sensorik
Pengecapan 2/3 depan lidah : Sulit dinilai
Produksi kelenjar lidah : Sulit dinilai
Hiperakusis : Sulit dinilai
Refleks stapedial : Tidak dilakukan pemeriksaan
Nervus IX, X
Pallatum mole : Medial
Uvula : Medial
Disfagia : Sulit dinilai
Disartria : Sulit dinilai
Disfonia : Sulit dinilai
Refleks muntah : (+)
24
Pengecapan 1/3 belakang lidah : Sulit dinilai
Nervus XII
Lidah
Tremor : (-)
Atrofi : (-)
Fasikulasi : (-)
Ujung lidah sewaktu istirahat : Medial
Ujung lidah sewaktu dijulurkan : Sulit dinilai
25
3.3.7. Test Sensibilitas
Eksteroseptif : Sulit dinilai
Proprioseptif : Sulit dinilai
Fungsi kortikal untuk sensibilitas
Stereognosis : Tidak dilakukan pemeriksaan
Pengenalan dua titik : Tidak dilakukan pemeriksaan
Grafestesia : Tidak dilakukan pemeriksaan
3.3.8. Refleks
Refleks fisiologis Kanan Kiri
Biceps : +++ ++
Triceps : +++ ++
Radioperiost : +++ ++
APR : +++ ++
KPR : +++ ++
Strumple : +++ ++
Refleks patologis
Babinski : + -
Oppenheim : - -
Chaddock : - -
Gordon : - -
Schaefer : - -
Hoffman- tromner : - -
Klonus lutut : - -
Klunus kaki : - -
Refleks primitif : (-)
3.3.9. Koordinasi
Lenggang : Sulit dinilai
26
Bicara : Sulit dinilai
Menulis : Sulit dinilai
Percobaan apraksia : Tidak dilakukan pemeriksaan
Mimik : Asimetris
Test telunjuk-telunjuk : Sulit dinilai
Test telunjuk- hidung : Sulit dinilai
Diadokhokinesia : Tidak dilakukan pemeriksaan
Test tumit- lutut : Tidak dilakukan pemeriksaan
Test Romberg : Tidak dilakukan pemeriksaan
3.3.10. Vegetatif
Vasomotorik : Tidak dilakukan pemeriksaan
Sudomotorik : Tidak dilakukan pemeriksaan
Pilo- erector : Tidak dilakukan pemeriksaan
Miksi : Tidak dilakukan pemeriksaan
Defekasi : Tidak dilakukan pemeriksaan
Potens dan libido : Tidak dilakukan pemeriksaan
3.3.11. Vertebra
Bentuk
Normal :+
Scoliosis :-
Hiperlordosis :-
Pergerakan
Leher : Normal
Pinggang : Tidak dilakukan pemeriksaan
27
Test naffziger : Tidak dilakukan pemeriksaan
28
Reseptif : Sulit dinilai
Apraksia : Sulit dinilai
Agnosia
Agnosia visual : Sulit dinilai
Agnosia jari-jari : Sulit dinilai
Akalkulia : Tidak dilakukan pemeriksaan
Disorientasi kanan-kiri: (-)
29
Kelebihan basa : -3.0 U/l (-2 - +2)
Saturasi O2 : 99.0 % (95-100)
Metabolisme Karbohidrat
Glukosa Darah Sewaktu 128 mg/dL (<200)
Elektrolit
Natrium : 133 mEq/L (135-155)
Kalium : 4.2 mEq/L (3,6-5,5)
Klorida : 105 mEq/L (96-106)
Ginjal
BUN : 14 mg/dL (9-21)
Ureum : 30 mg/dL (19-44)
Kreatinin : 0.96 mg/dL (0,7-1,3)
3.4.2. Radiologi
Foto Thorax :
30
Kedua sinus costophrenicus lancip, kedia diafragma licin. Tidak tampak infiltrat
pada kedua lapangan paru. Jantung ukuran normal CTR > 50%. Trakea di tengah.
Tulang-tulang dan soft tissue baik.
Kesimpulan : Kardiomegali
Head CT-Scan:
31
3.5. Diagnosis
DIAGNOSA FUNGSIONAL : Somnolen + Hemiparese dextra
DIAGNOSA ANATOMI : Intracerebral (Basal ganglia)
DIAGNOSA ETIOLOGI : Hipertensi
DIAGNOSA BANDING : 1. Stroke hemoragik
2. Stroke iskemik
DIAGNOSA KERJA : Somnolen + Hemiparese dextra e.c
Stroke Hemoragik
(SIRIRAJ STROKE SCORE : (2.5x1) +
(2x0) + (2x1) + (0.1x170) – (3x0) = +4 )
3.6. Penatalaksanaan
1. Bed Rest + Head up 30º
2. O2 2-4 l/i via nasal kanul
3. NGT dan kateter terpasang
4. IVFD Ringer Solution 20 tetes/menit
5. IVFD Mannitol 20 gtt/i loading 250 cc selanjutnya 125 cc/6 jam
6. Inj. Furosemid 1 amp /12 jam
7. Inj. Ranitidine 1 amp/12 jam
32
BAB 4
FOLLOW UP
Tangga S O A P
l
19 Penurunan Sensorium: Somnolen -Bed rest elevasi
+
Desem Kesadaran Somnolen kepala 30º
hemiparese
ber TD :150/100mg dextra ec -IVFD Rsol 20gtt/I
stroke
2017 HR:108 x/i -Inj. Furosemide 1
hemoragik
RR:24x/i amp/12 jam
T:37oC -IVFD Mannitol 20 %
N. II,III : refleks 125 cc/ 6 jam
cahaya +/+, pupil -Inj Ranitidine 1
isokor Ø=3mm amp/12 Jam
N. - Amlodipin 1x10mg
III,IV,VI:Doll’s
eye phenomen (+)
N.V: Reflex
kornea (+) normal
N. VII:sudut
mulut jatuh ke
kanan
N. IX, X:lidah
terletak di medial
(+)
Refleks Fisiologis
:B/T+++/++
+++/++.
APR/KPR: ++/++
++/++.
Refleks Patologis:
33
H/T : -/- -/-
Babinski: +/-
Refleks motorik :
sdn, kesan
lateralisasi ke
kanan ++/++ ++/++
34
Refleks Fisiologis
:B/T++/++
++/++.
APR/KPR: ++/++
++/++.
Refleks Patologis:
H/T : -/- -/-
Babinski: -/-
Refleks motorik :
sdn, kesan
lateralisasi ke
kanan
21Dese Penurunan Sensorium: apatis Apatis + -Bed rest elevasi
mber Kesadaran TD :180/120mg hemiparese kepala 30’
2017 HR:88 x/i dextra ec -IVFD Rsol 20gtt/I
RR:24x/i stroke -IVFD Mannitol 20 %
T:37oC hemoragik 125 cc/ 6 jam
Tanda . -Inj Ranitidine 1
peningkatan TIK amp/12 Jam
(-) - KSR 3x600 mg.
Rangsangan -Amlodipin 1x10mg
Menigeal (-) -Valsatran 1x160mg
N. II,III : refleks - furosemide tab 2x1
cahaya +/+, pupil
isokor Ø=3mm
N.
III,IV,VI:Doll’s
eye phenomen (+)
N.V: Reflex
kornea (+) normal
N. VII: sudut
35
mulut jatuh ke
kanan
N. IX, X:lidah
istirahat medial
(+)
Refleks Fisiologis
:B/T++/++
++/++.
APR/KPR: ++/++
++/++.
Refleks Patologis:
H/T : -/- -/-
Babinski: -/-
Refleks motorik :
sdn, kesan
lateralisasi ke
kanan
22Dese Penurunan Sensorium: apatis Apatis + -Bed Rest Elevasi
mber Kesadaran TD :160/90mg hemiparese Kepala 30’
2017 HR:78 x/i dextra ec -IVFD Rsol 20gtt/I
RR:20x/i stroke -Inj Ranitidine 1
T:36,8oC hemoragik amp/12 Jam
Tanda - KSR 2x1.
peningkatan TIK -Amlodipin 1x10mg
(-) -Valsatran 1x160mg
Rangsangan - Furosemide tab 2x1
Menigeal (-)
N. II,III : refleks
cahaya +/+, pupil
isokor Ø=3mm
N.
36
III,IV,VI:Doll’s
eye phenomen (+)
N.V: Reflex
kornea (+) normal
N. VII: sudut
mulut jatuh ke
kanan
N. IX, X:lidah
istirahat medial
(+)
Refleks Fisiologis
:B/T++/++
++/++.
APR/KPR: ++/++
++/++.
Refleks Patologis:
H/T : -/- -/-
Babinski: -/-
Refleks motorik :
sdn, kesan
lateralisasi ke
kanan
23 Penurunan Sensorium: apatis Apatis + -Bed rest elevasi
Desem Kesadaran TD :150/80mg hemiparese kepala 30’
ber HR:88 x/i dextra ec -IVFD Rsol 20gtt/I
2017 RR:24x/i stroke -Inj Ranitidine 1
T:37oC hemoragik amp/12 Jam
Tanda - KSR 2x1.
peningkatan TIK -Amlodipin 1x10mg
(-) -Valsatran 1x160mg
Rangsangan - Furosemide tab 2x1
37
Menigeal (-)
N. II,III : refleks
cahaya +/+, pupil
isokor Ø=3mm
N.
III,IV,VI:Doll’s
eye phenomen (+)
N.V: Reflex
kornea (+) normal
N. VII: sudut
mulut jatuh ke
kanan
N. IX, X:lidah
istirahat medial
(+)
Refleks Fisiologis
:B/T++/++
++/++.
APR/KPR: ++/++
++/++.
Refleks Patologis:
H/T : -/- -/-
Babinski: -/-
Refleks motorik :
sdn, kesan
lateralisasi ke
kanan
24 Penurunan Sensorium: apatis Apatis + -Bed rest elevasi
Desem Kesadaran TD :150/100mg hemiparese kepala 30’
ber HR:98 x/i dextra ec -IVFD Rsol 20gtt/I
2017 RR:24x/i stroke -IVFD Mannitol 20 %
38
T:37oC hemoragik 125 cc/ 6 jam
Tanda -Inj Ranitidine 1
peningkatan TIK amp/12 Jam
(-) - KSR 2x1.
Rangsangan -Amlodipin 1x10mg
Menigeal (-) -Valsatran 1x160mg
N. II,III : refleks - Furosemide tab 2x1
cahaya +/+, pupil
isokor Ø=3mm
N.
III,IV,VI:Doll’s
eye phenomen (+)
N.V: Reflex
kornea (+) normal
N. VII: sudut
mulut jatuh ke
kanan
N. IX, X:lidah
istirahat medial
(+)
Refleks Fisiologis
:B/T++/++
++/++.
APR/KPR: ++/++
++/++.
Refleks Patologis:
H/T : -/- -/-
Babinski: -/-
Refleks motorik :
sdn, kesan
lateralisasi ke
39
kanan
25 -28 Penurunan Sensorium: apatis Apatis + -Bed rest elevasi
Desem Kesadaran TD :150/100mg hemiparese kepala 30’
ber HR:98 x/i dextra ec -IVFD Rsol 20gtt/I
2017 RR:24x/i stroke -IVFD Mannitol 20 %
T:37oC hemoragik 125 cc/ 6 jam
Tanda -Inj Ranitidine 1
peningkatan TIK amp/12 Jam
(-) -Inj. Transamin
Rangsangan 500mg/8jam
Menigeal (-) -Inj. Omeprazole
N. II,III : refleks 40mg/12jam
cahaya +/+, pupil - KSR 2x1.
isokor Ø=3mm -Amlodipin 1x10mg
N. -Valsatran 1x160mg
III,IV,VI:Doll’s - Furosemide Tab 2x1
eye phenomen (+)
N.V: Reflex
kornea (+) normal
N. VII: sudut
mulut jatuh ke
kanan
N. IX, X:lidah
istirahat medial
(+)
Refleks Fisiologis
:B/T++/++
++/++.
APR/KPR: ++/++
++/++.
Refleks Patologis:
40
H/T : -/- -/-
Babinski: -/-
Refleks motorik :
sdn, kesan
lateralisasi ke
kanan
41
BAB 5
DISKUSI KASUS
Teori Kasus
Faktor risiko stroke secara umum di Faktor risiko yang dijumpai pada kasus
bedakan menjadi faktor risiko yang yakni :
tidak bisa diubah (non-modifiable Faktor risiko yang tidak dapat diubah :
- Usia tua umur pasien : 67 tahun
risk factors) dan faktor risiko yang
- Jenis kelamin : laki-laki
dapat diubah (modifiable risk factor).
42
- Merokok
- Konsumsi alkhohol
- Peningkatan fibrinogen
- Peningkatan homosistein
- Kadar folat serum rendah
- Peningkatan antibodi
antikardiolipin, kontrasepsi oral
dan obesitas.
Diagnosis Pada pasien ini dijumpai penurunan
kesadaran secara tiba-tiba sewaktu
Diagnosis stroke dapat ditegakkan
pasien beraktifitas.
berdasarkan riwayat dan keluhan
utama pasien.
Pemeriksaan Umum
Beberapa gejala/tanda yang
mengarah kepada diagnosis stroke Tekanan darah : 170/110 mmHg
antara lain : hemiparesis, gangguan Nadi : 72 x/menit
sensorik satu sisi tubuh, Frekuensi nafas : 20x/menit
hemianopia atau buta mendadak, Temperatur : 36,0°C
diplopia, vertigo, afasia, disfagia, Kulit dan selaput lendir : Kulit hangat,
disartria, ataksia, kejang atau CRT < 2’
penurunan kesadaran yang Kelenjar dan Getah Bening : Tidak
keseluruhannya terjadi secara dijumpai pembesaran KGB
mendadak. Persendian : Normal
43
Perkusi : Dalam batas normal
Auskultasi : Dalam batas normal
Transiluminasi: Dalam batas normal
Rangsangan Meningeal
Kaku kuduk : (-)
Tanda Kernig : (-)
Tanda Brudzinski I : (-)
Tanda Brudzinski I I : (-)
Muntah : (-)
Sakit kepala : (+)
Kejang : (-)
Sistem Motorik
Trofi : Eutrofi
Sikap (duduk-berdiri-berbaring) :
Berbaring
Gerakan spontan abnormal
• Tremor : (-)
• Khorea : (-)
44
• Ballismus : (-)
• Mioklonus : (-)
• Atetosis : (-)
• Distonia : (-)
• Spasme : (-)
• Tic : (-)
• Dll : (-)
Refleks
Refleks fisiologis
Biceps : +++ ++
Triceps : +++ ++
Radioperiost : +++ ++
APR : +++ + +
KPR : +++ ++
Strumple : +++ ++
Refleks patologis
Babinski :+ -
Oppenheim :- -
Chaddock :- -
Gordon :- -
Schaefer :- -
H/T :- -
45
Klonus lutut :- -
Klonus kaki :- -
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Hb/Eri/Leu/Ht/Trombo = 15,9/5,21x
106/13.610/ 46/ 245.000
pH/pCO2/pO2/HCO3/Total
CO2/ BE/SaO2 = 7,410/ 33/ 163/ 20,9/
21,9/ -3,0/ 99
KGDs = 128
BUN/ Ureum/ Creatinin = 14/ 30/ 0,96
Na/ K/ Cl = 133/ 4,2/ 105
Foto Thoraks
Kesimpulan : Kardiomegali
CT-Scan Kepala
Kesimpulan : Left ganglia huge
hemmorhage
Penatalaksanaan Umum Terapi :
Bed Rest + Head up 30˚
- Stabilisasi jalan nafas
IVFD Ringer Solution 20
- Stabilisasi hemodinamik
tetes/menit
- Pengendalian TIK IVFD Mannitol 20 % 125 cc/6
46
Inj. Omeprazole 40mg/12jam
- Penatalaksanaan hipertensi
KSR 2 x 1
- Penatalaksanaan hipotensi
Amlodipin 1 x 10 mg
Valsatran 1 x 160 mg
Furosemid Tab 2 x 1
47
BAB 6
KESIMPULAN
6.1. Kesimpulan
KG, laki-laki, 67 tahun datang tanggal 19 Desember 2017 dengan keluhan
penurunan kesadaran. Hal ini dialami O.S sejak ± 3 jam sebelum masuk rumah
sakit. Terjadi secara tiba-tiba saat O.S sedang beraktifitas ringan. Menurut
keluarga O.S. mengalami kelemahan anggota gerak sebelah kanan bersamaan
dengan penurunan kesadaran. Mulut mencong ke kanan (+) secara tiba-tiba.
Riwayat nyeri kepala dijumpai, nyeri yang dirasakan di seluruh kepala berdenyut
dan tidak hilang dengan obat penghilang nyeri. Riwayat muntah menyembur (-).
Riwayat kejang (-). Riwayat stroke sebelumnya (-). Riwayat darah tinggi (+)
dengan riwayat pengobatan tidak teratur. Riwayat penyakit gula dan kolesterol
tidak jelas. Riwayat sakit jantung (-). Riwayat demam (-), riwayat trauma (-).
RPT : Hipertensi
RPO : Tidak Jelas
6.2. Penatalaksanaan
Bed Rest + Head up 30˚
IVFD Ringer Solution 20 tetes/menit
IVFD Mannitol 20 % 125 cc/6 jam
Inj Ranitidine 1 amp/12 jam
Inj. Transamin 500mg/8jam
Inj. Omeprazole 40mg/12jam
KSR 2x1.
Amlodipin 1 x 10 mg
Valsatran 1 x 160 mg
Furosemid Tab 2 x 1
48
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. The atlas of heart desease and stroke. CDC.
2004. Overview
2. American Heart Association. Risk factor for stroke. American Heart
Associaton. 2015. p1
3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.
Riset Kesehatan Dasar. 2013. p93 – 94
4. Mansjoer, A,.Suprohaita, Wardhani WI,.& Setiowulan. 2014. Kapita Selekta
Kedokteran.Edisi 4 Jilid 2. Media Aesculapius, Jakarta.
5. Machfoed, M.H. 2003. The Latest Clinical Epidemiological Data of Ischemic
and Hemorrhagic Stroke Patients in Surabaya and Surroundings. A Hospital
Based Study. Folia Medica Indonesia, 39:242-50
6. Dongoran RA, 2007, stroke iskemik, available
http://www.eprints.undip.ac.id/29401/3/Bab_2.pdf
7. Baehr M, Frotcsher M. Diagnosis Topik Neurologi DUUS Anatomi,
Fisiologi, Tanda, Gejala. 4th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2012.
8. Price, A,S, Wilson M. L, 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
penyakit. Alih Bahasa : dr. Brahm U. Penerbit. Jakarta : EGC.
9. David A, Michael J, Roger P: Clinical Neurology. 5th Ed. San Francisco:
McGraww-Hill; 2006.
10. Bahan Kedokteran. Diagnosis Stroke. .[cited 2017 June 8]. Avaliable from :
https://bahankedokteran.wordpress.com/2012/07/21/stroke/
11. PERDOSSI. 2011. Guideline Stroke.
12. AHA/ASA. Guideline 2010. Guidelinea for the Management of Spontaneus
Intracerebral Hemoorhage in Adults 2010 update. Stroke 2011.
13. Guideline stroke Indonesia. Penatalaksanaan Perdarahan Intraserebral dan
Perdarahan Subarakhnoid. 2011, 82-89.
14. Bederson JB, Connoly es, et all, Guidelines For The Management of
Aneurysmal Subarachnoid Hemorrhage, American Heart Association. Dallas,
2009; 1-18
15. Samuels MA, Ropper AH. Samuel’s Manual of Neurologic Therapeutics. 8th
ed. Philadephia: Lippinciott Williams & Wilkins; 2010.p.387-393.
16. David s Liben Skind, Prognose stroke hemoragik. [cited 2017 November 15].
Avaliable from: http://emedicine.medscape.com/article/1916662-
overview#a8
17. Langhorne P, Stott D, Robertson L, MacDonald J, Jones L, McAlpine C, et
al. 2012. Medical Complications After Stroke. Available from:
http://stroke.ahajournals.org/content/31/6/1223.full. Accessed November 15,
2017.
49