Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Pterigium adalah kelainan pada konjungtiva bulbi, pertumbuhan


fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini
biasanya terdapat pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva
yang meluas ke daerah kornea. Pterigium berbentuk segitiga dengan puncak di
bagian sentral atau di daerah kornea. Pterigium mudah meradang dan bila terjadi
iritasi, maka bagian pterigium akan berwarna merah. Pterigium sering mengenai
kedua mata.1,2

Pterigium lebih sering ditemui di daerah beriklim tropis dan subtropis.


Prevalensi pterigium sesuai dengan Panduan Manajemen Klinis Perdami, insidens
pterigium cukup tinggi di daerah equator sekitar 13,1%.2 Angka prevalensi
pterigium di dunia sangat besar (0,7–31%), berkisar 1,2% ditemukan di daerah
urban pada orang kulit putih dan 23,4% di daerah tropis Barbados pada orang
kulit hitam. Di Amerika Serikat, angka prevalensi 2% (bagian Utara) sampai 7%
(bagian Selatan). Sedangkan prevalensi pterigium di Indonesia sendiri pada kedua
mata tertinggi di Sumatera Barat sekitar 9,2%, yang terendah di Provinsi DKI
Jakarta 0,4%, dan prevalensi pterigium pada salah satu mata tertinggi di Nusa
Tenggara Barat sebesar 4,1%, dan terendah di provinsi DKI Jakarta sekitar 0,2%.
Prevalensi ini berbeda-beda di antara jenis ras, luas dan lamanya paparan sinar
matahari. Umumnya angka prevalensi pterigium pada daerah tropis lebih tinggi
dibandingkan daerah lainnya.1,2

Berbagai teori patogenesis pterigium menunjukkan paparan sinar ultra


violet merupakan penyebab utama terjadinya pterigium. Hal ini sesuai dengan
peta distribusi pterigium dari Cameron, secara geografis memperlihatkan angka
kejadian pterigium, yang meningkat bila mendekati khatulistiwa (37° LU dan 37°
LS). Prevalensi penderita pterigium sebesar 22,5% dan akan terus menurun
sampai 2% pada daerah 40° LU dan LS.2,6,7 Di daerah tropis seperti Indonesia,
dengan paparan sinar matahari tinggi, resiko timbulnya pterigium 44× lebih tinggi

1
dibandingkan daerah non-tropis, dengan prevalensi untuk orang dewasa > 40
tahun adalah 16,8%; laki-laki 16,1% dan perempuan 17,6%. Hasil survei
morbiditas oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia, angka kejadian
pterigium sebesar 13,9% dan menempati urutan kedua penyakit mata.3
Etiologi dari pterigium sampai saat ini belum diketahui dengan jelas.
Namun terdapat berbagai teori yang telah diajukan yang didasarkan pada
observasi insidensi, distribusi, geografi, dan histopatologi. Faktor iritasi eksternal
yang paling mendekati sebagai bukti penyebab yaitu paparan sinar ultraviolet atau
inframerah, disamping debu, angin, asap dan udara panas. Hal ini didukung oleh
banyaknya kasus pterigium yang ditemui didaerah tropis dan sub tropis dibanding
daerah lainnya.4,5 Penderita dengan pterigium dapat tidak menunjukkan gejala
apapun (asimptomatik), bisa juga menunjukkan keluhan mata iritatif, gatal, merah,
sensasi benda asing hingga perubahan tajam penglihatan tergantung dari
stadiumnnya.6

ANATOMI
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak bagian
belakang. Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel
Goblet. Musin bersifat membasahi bola mata terutama kornea.1,7

Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :


 Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar
digerakkan dari tarsus.
 Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera di
bawahnya.

2
 Konjungtiva forniks yang merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal
dengan konjungtiva bulbi.
Konjungtiva bulbi dan konjungtiva forniks berhubungan sangat longgar
dengan jaringan di bawahnya, sehingga bola mata mudah bergerak.

ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI


Etiologi belum diketahui pasti. Penyebab pterigium belum dapat dipahami
secara jelas. Namun, pterigium banyak terjadi pada mereka yang banyak
menghabiskan waktu di luar rumah dan banyak terkena panas terik matahari.
Faktor risiko terjadinya pterigium adalah tinggal di daerah yang banyak terkena
sinar matahari, daerah yang berdebu, berpasir atau anginnya besar.
Pterigium sering ditemukan pada petani, nelayan dan orang – orang yang
tinggal di dekat daerah khatulistiwa. Jarang menyerang anak-anak. Paparan sinar
matahari dalam waktu lama, terutama sinar UV, serta iritasi mata kronis oleh debu
dan kekeringan diduga kuat sebagai penyebab utama pterigium.

Teori yang dikemukakan :4,5,6,7,9


1. Paparan sinar matahari (UV)
Paparan sinar matahari merupakan faktor yang penting dalam perkembangan
terjadinya pterigium. Hal ini menjelaskan mengapa insidennya sangat tinggi
pada populasi yang berada pada daerah dekat equator dan pada orang –orang
yang menghabiskan banyak waktu di lapangan.
2. Iritasi kronik dari lingkungan (udara, angin, debu)

3
Faktor lainnya yang berperan dalam terbentuknya pterigium adalah
alergen, bahan kimia berbahaya, dan bahan iritan (angin, debu, polutan).
UV-B merupakan mutagenik untuk p53 tumor supressor gen pada stem
sel limbal. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta over produksi
dan memicu terjadinya peningkatan kolagenasi, migrasi seluler, dan
angiogenesis. Selanjutnya perubahan patologis yang terjadi adalah degenerasi
elastoid kolagen dan timbulnya jaringan fibrovaskuler subepitelial. Kornea
menunjukkan destruksi membran Bowman akibat pertumbuhan jaringan
fibrovaskuler.

Pterigium dapat tidak memberikan keluhan atau akan memberikan keluhan


mata iritatif, gatal, merah, sensasi benda asing dan mungkin menimbulkan
astigmatisme atau obstruksi aksis visual yang akan memberikan keluhan
gangguan penglihatan.1,5,7,10
Berdasarkan luas perkembangannya diklasifikasikan menjadi:
Gradasi klinis menurut Youngson
Derajat 1 : Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea.
Derajat 2 : Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2
mm melewati kornea.
Derajat 3 : Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi
pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil
sekitar 3-4 mm).
Derajat 4 : Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan.

4
Berdasarkan progresifitas tumbuhnya :
Stasioner : relatif tidak berkembang lagi (tipis, pucat, atrofi)
Progresif : berkembang lebih besar dalam waktu singkat

GEJALA KLINIS
 Mata sering berair dan tampak merah
 Merasa seperti ada benda asing
 Timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterigium
tersebut, biasanya astigmatisme with the rule ataupun astigmatisme
irreguler sehingga mengganggu penglihatan
 Pada pterigium yang lanjut (derajat 3 dan 4) dapat menutupi pupil dan
aksis visual sehingga tajam penglihatan menurun

PENATALAKSANAAN
Karena munculnya pterigium akibat paparan lingkungan, penatalaksanaan
kasus dengan tanpa gejala atau iritatif yang sedang dengan kacamata anti UV dan
pemberian air mata buatan/topical lubricating drops. Pasien disarankan untuk
menghindari daerah yang berasap atau berdebu. Pterigium dengan inflamasi atau
iritasi diobati dengan kombinasi dekongestan/antihistamin (seperti Naphcon-A)
dan/atau kortikosteroid topikal potensi sedang 4 kali sehari pada mata yang
terkena.7,10
Indikasi operasi eksisi pterigium yaitu karena masalah kosmetik dan atau
adanya gangguan penglihatan, pertumbuhan pterigium yang signifikan (> 3-4
mm), pergerakan bola mata yang terganggu/terbatas, dan bersifat progresif dari
pusat kornea/aksis visual.6,7,10

5
Operasi mikro eksisi pterigium bertujuan mencapai keadaan yang anatomis,
secara topografi membuat permukaan okuler rata. Teknik operasi yang umum
dilakukan adalah menghilangkan pterigium menggunakan pisau tipis dengan
diseksi yang rata menuju limbus. Meskipun teknik ini lebih disukai dilakukan
diseksi ke bawah bare sclera pada limbus, akan tetapi tidak perlu diseksi eksesif
jaringan Tenon, karena kadang menimbulkan perdarahan akibat trauma terhadap
jaringan otot. Setelah eksisi, biasanya dilakukan kauter untuk hemostasis sclera.
Beberapa teknik operasi antara lain :
 Bare Sclera : tidak ada jahitan atau menggunakan benang absorbable
untuk melekatkan konjungtiva pada sklera superfisial di depan insersi
tendon rektus, meninggalkan area sklera yang terbuka. (teknik ini
menghasilkan tingkat rekurensi 40% - 50%).
 Simple Closure : tepi bebas dari konjungtiva dilindungi (efektif jika defek
konjungtiva sangat kecil)
 Sliding flap : insisi L-shaped dilakukan pada luka sehingga flap
konjungtiva langsung menutup luka tersebut.
 Rotational flap : insisi U-shaped dibuat membuat ujung konjungtiva
berotasi pada luka.
 Conjunctival graft : graft bebas, biasanya dari konjungtiva bulbar superior
dieksisi sesuai ukuran luka dan dipindahkan kemudian dijahit.
 Amnion membrane transplantation : mengurangi frekuensi rekuren
pterigium, mengurangi fibrosis atau scar pada permukaan bola mata dan

6
pada penelitian, mengungkapkan penekanan TGF–β pada konjungtiva dan
fibroblast pterigium.
 Lamellar keratoplasty, excimer phototerapeutic keratectomy dan
menggunakan gabungan angiostatic steroid.

DIAGNOSIS BANDING
 Pinguekula
Merupakan degenerasi hialin jaringan submukosa konjungtiva
 Pseudopterigium
Merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang cacat. Sering
terjadi pada proses penyembuhan tukak kornea

PROGNOSIS
Eksisi pada pterigium pada penglihatan dan kosmetik adalah baik.
Prosedur yang baik dapat ditolerir pasien dan disamping itu pada beberapa hari
post operasi pasien akan merasa tidak nyaman, kebanyakan setelah 48 jam pasca
operasi pasien bisa memulai aktivitasnya. Bagaimanapun juga, pada beberapa
kasus terdapat rekurensi dan risiko ini biasanya karena pasien yang terus terpapar
radiasi sinar matahari, juga beratnya atau derajat pterigium. Pasien dengan
pterygia yang kambuh lagi dapat mengulangi pembedahan eksisi dan grafting.7,10

KOMPLIKASI
Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut:
 Gangguan penglihatan
 Kemerahan
 Iritasi
 Gangguan pergerakan bola mata

7
BAB II
LAPORAN KASUS

A. Identitas Penderita

Nama : DD

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 60 tahun

TTL : Manado, 29 Desember 1955

Alamat : Wanea

Pekerjaan : Pesiunan

Suku : Minahasa

Bangsa : Indonesia

Agama : Kristen Katholik

Pemeriksaan : 13 April 2016

B. Anamnesis
Keluhan Utama: Penglihatan kabur pada mata kanan
Penglihatan kabur pada mata kanan dialami penderita sejak ± 4 bulan yang lalu,
awalnya terdapat bintik putih kecil pada bola mata kanan sejak ± 3 tahun yang
lalu yang semakin membesar menutupi bagian mata yang berwarna hitam
sehingga mengganggu penglihatan. Penderita juga mengeluh rasa gatal pada mata
kanan, disertai mata berair dan rasa perih serta mata merah yang menganggu
aktivitas sehari-hari. Sakit kepala (-), mual (-), muntah (-). Riwayat trauma pada
mata disangkal oleh penderita.Penderita mengaku belum pernah mengalami
penyakit seperti ini sebelumnya. Riwayat penggunaan kacamata selama ± 2 tahun.
Riwayat peyakit keluarga, hanya penerita yang sakit seperti ini. Riwayat penyakit
dahulu, hipertensi ± 10 tahun terkontrol.

8
C. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis

1.Keadaan Umum : Baik

2.Kesadaran : Compos Mentis

3.Tanda Vital : Tekanan Darah : 110/80 mmHg

Nadi : 78 x/menit

Pernapasan : 18 x/menit

Suhu : 36oC

4.Kepala : Konjungtiva anemis (-/-)

Sklera ikterik (-/-)

Pupil bulat, isokor kiri=kanan, refleks cahaya +/+


normal

5.Leher : tidak ada kelainan

6.Thoraks : tidak ada kelainan

7.Abdomen : tidak ada kelainan

8.Ekstremitas : akral hangat

Status psikiatri
Penderita bersikap kooperatif, selama dilakukan pemeriksaan ekspresi
wajah dan sikap yang ditunjukkan baik.

Status Oftalmikus

a. Pemeriksaan Subjektif
VOD 2/60 dikoreksi dengan lensa sferis 𝑆- 3.00 menjadi 6/9, PH (-)

Add 𝑆 +3.00

9
VOS 6/9 dikoreksi dengan lensa sferis 𝑆 c- 0.50 x 90 menjadi 6/6

Add 𝑆 +3.00

Form sense:

Sentral -distance vision (snellen chart) : VOD 2/60, VOS 6/6

Near Vision : N 14 – N 18

Colour sense – tes ischihara : N/ N

Light sense – pen light : N/ N

Light projection – pen light : N/ N

b. Pemeriksaan Objektif
 Segmen Anterior
- Inspeksi ODS : Benjolan dikonjungtiva bulbi bagian nasal (+) berwarna
putih kelabu bentuk segitiga dengan puncak melewati limbus tapi
belum melewati setengah jarak antara limbus dan pupil. Permukaan
kornea tidak rata, bilik mata depan cukup dalam, iris normal, pupil
bulat, refleks cahaya (+) normal, lensa jernih.
- Palpasi OD : Nyei tekan (-), tumor (-), tekanan intra okular 14,6 mmHg
- Palpasi OS : Nyei tekan (-), tumor (-), tekanan intra okular 12,2 mmHg
 Segmen Posterior : Refleks fundus mata kiri dan kanan (+) uniform
 Pemeriksaan Slit lamp OD
Pada okulus dextra, kornea ditutupi oleh jaringan fibrovaskular
berbentuk segitiga yang puncaknya sudah melewati limbus kornea tapi
tidak lebih dari 2mm, COA dalam, lensa jernih. Pada oculus dextar
jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga yang puncaknya hanya berbatas
pada limbus kornea, COA dalam, lensa jernih.

10
JENIS PEMERIKSAAN
1. Obliqus Ilumiation
OD
Kornea : Jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga, berwarna merah
COA : Dalam
Iris : Normal
Lensa (kekeruhan) : Jernih

2. Direct Opthalmoscope
OD
Kornea : Jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga, berwarna merah
COA : Dalam
Lensa (kekeruhan) : Jernih
Badan Kaca : Jernih
Refleks Fundus : (+) uniform
P. darah : Normal
Makula lutea : Refleks fovea (+) Normal

3. Slit lamp
OD
Konjungtiva bulbi : Jaringan fibrovaskular bagian nasal (+)
Kornea : Jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga, berwarna merah
COA : Dalam
Iris : Normal
Lensa (kekeruhan) : Jernih

RESUME
Seorang laki-laki, 60 tahun, datang ke poli mata RSUP Prof. Dr. R. D.
Kandow, dengan keluhan penglihatan kabur pada mata kanan dialami penderita
sejak ± 4 bulan yang lalu, awalnya terdapat bintik putih kecil pada bola mata

11
kanan sejak ± 3 tahun yang lalu yang semakin membesar menutupi bagian mata
yang berwarna hitam sehingga mengganggu penglihatan. Penderita juga mengeluh
rasa gatal pada mata kanan, disertai mata berair dan rasa perih serta mata merah
yang menganggu aktivitas sehari-hari. Sakit kepala (-), mual (-), muntah (-).
Riwayat trauma pada mata disangkal oleh penderita. Pendeita mengaku belum
pernah mengalami penyakit seperti ini sebelumnya. Riwayat penggunaan
kacamata selama ± 2 tahun. Riwayat peyakit keluarga, hanya penerita yang sakit
seperti ini. Riwayat penyakit dahulu, hipertensi ±10 tahun terkontrol.
Pada pemeriksaan oftalmologi, snellen chart didapatkan VOD 2/60 dan
VOS 6/9. Pemeriksaan slit lamp didapatkan kornea OD murni ditutupi oleh
membran berbentuk segitiga yang puncaknya sudah melewati limbus kornea tetapi
tidak melewati 2mm.

DIAGNOSIS
OD : Pterigium St II + Miopia + Presbiopia
OS : Astigmatisma Miopia Simplex + Presbiopia

PENATALAKSANAAN
Penatalaksaan bersifat non bedah yaitu diberikan edukasi untuk
mengurangi iritasi atau paparan terhadap siar ultraviolet, debu, dan angina. Jika
pterigium mengami infalmasi dapat berobat dan diberikan kombinasi antibiotik
dan steroid 3 kali tetes per hari pada hari pada kedua mata selama 5-7 hari.
Lubricant Eyedrops 3 kali tetes per hari pada kedua mata.

Resep Kacamata

OD: S-3.00 OS : c-0.50x90


Add  +3.00 Add  +3.00

12
PROGNOSIS
Prognosis ad vitam : bonam
Prognosis ad fungsiovarum : dubia
Prognosis ad canatiovarum : dubia

ANJURAN PEMERIKSAAN
 Menggunakan kacamata saat beraktivitas di luar rumah dan mengendarai
sepeda motor
 Pakai obat teratur

FOTO KLINIS PASIEN

13
BAB III
DISKUSI

Diagnosis pada kasus ini ditegakkan berdasarkan anamnesis dan


pemeriksaan oftalmologi. Dari anamnesis didapatkan adanya penglihatan kabur
pada mata kanan, disertai rasa gatal dan mata berair serta mata merah. Hal ini
sesuai kepustakaan yang menyebutkan bahwa keluhan subjektif pada penderita
pterigium bervariasi mulai dari tanpa keluhan sampai timbul gejala berupa adanya
sesuatu yang mengganjal, mata merah, perih, gatal, panas, sering keluar air mata
dan penurunan ketajaman penglihatan. Mata merah, gatal, sering keluar air mata
dan perih dapat terjadi akibat iritasi pada pterigium. Penglihatan kabur mulai
terjadi pada pterigium stadium II, pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi
tidak lebih dari 2 mm melewati kornea.1,5
Penyebab pterigium yang pasti sampai saat ini belum jelas, tetapi diduga
disebabkan oleh iritasi faktor eksternal, yaitu sinar ultraviolet (UV–A dan UV–B)
atau inframerah, disamping debu, angin dan udara panas. Beberapa teori
mengemukakan pendapat yang dapat dikategorikan, yaitu :
1. Paparan sinar matahari (UV)
2. Iritasi kronik dari lingkungan (udara, angin dan debu)
Faktor ini pula ditemukan pada anamnesis pasien ini. Penderita
mengemukakan sering beraktivitas di luar rumah, menjelaskan adanya paparan
sinar matahari. Kemudian riwayat mengendarai sepeda motor (naik ojek) tanpa
mengenakan kacamata, menambah riwayat paparan angin kencang, debu ataupun
polutan.
Pada awalnya pterigium tampak sebagai suatu jaringan dengan banyak
pembuluh darah sehingga warnanya merah, kemudian menjadi suatu membran
tipis dan berwarna putih. Bagian sentral yang melekat pada kornea dapat tumbuh
memasuki kornea dan menggantikan epitel, juga membran Bowman dengan
jaringan elastis dan hialin. Pertumbuhan ini berlanjut dan mendekati pupil, yang
dapat memperparah gangguan penglihatan pada seorang penderita pterigium.
Pada pemeriksaan oftalmologi, secara subjektif ditemukan penglihatan
kedua mata penderita sudah tidak seperti orang normal. Penderita juga tidak

14
ditemukan mengalami buta warna total maupun parsial. Sedangkan pada
pemeriksaan objektif, ditemukan adanya benjolan pada konjungtiva bulbi mata
kanan. Benjolan berupa jaringan fibrovaskuler berbentuk segitiga dengan dasar
pada konjungtiva bulbi dan puncak telah melewati limbus ±1mm. Temuan ini
sesuai kepustakaan mengarah pada pterigium derajat II.
Menyatukan semua data, penderita di diagnosis dengan pterigium grade II
occulus dekstra, karena terdapat pada mata kanan dengan puncak sudah melewati
limbus ±2mm.
Prinsip penanganan pterigium dapat hanya dengan observasi dan
pemberian obat – obatan jika pterigium masih derajat I atau II. Lebih lanjut,
tindakan pembedahan berupa mikro eksisi dilakukan bertujuan untuk mencapai
keadaan anatomis, secara topografi membuat permukaan okuler rata. Teknik
operasi yang dilakukan adalah menghilangkan pterigium menggunakan pisau tipis
dengan diseksi rata menuju limbus.
Prognosis pada penderita ini adalah dubia ad bonam. Tertunjang dari
kepustakaan yang menyatakan bahwa pada umumnya pterigium bertumbuh secara
perlahan dan jarang sekali menyebabkan kerusakan yang bermakna, terkecuali
bila penderita telah berada pada stadium IV, dimana tindakan pembedahan
sekalipun tetap tidak bisa mengembalikan penglihatan penderita kembali akibat
besarnya kemungkinan pembentukan scar yang mengganggu penglihatan. Karena
itu prognosis pasien ini adalah baik.
Pada penderita ini dianjurkan untuk selalu memakai kacamata pelindung
atau topi pelindung bila keluar rumah. Terutama jika sedang bekerja dianjurkan
menggunakan proteksi terhadap matanya.
Diharapkan agar penderita sedapat mungkin menghindari faktor pencetus
timbulnya pterigium seperti sinar matahari, polutan, zat asam, angin kencang dan
debu serta rajin merawat dan menjaga kebersihan kedua mata. Hal ini sesuai
kepustakaan bahwa untuk mencegah pterigium terutama bagi mereka yang sering
beraktivitas di luar rumah dapat menggunakan kacamata atau topi pelindung
untuk menghindari kontak dengan sinar matahari, debu, udara panas dan angin.

BAB IV

15
BAB IV
PENUTUP

Demikianlah telah dibahas suatu laporan kasus dengan judul : Pterigium


grade II mata kanan, pada penderita seorag laki-laki, 60 tahun yang datang ke
poliklinik mata RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado.

DAFTAR PUSTAKA

16
1. Demartini DR, DW Vastine. Pterygium. In : Abbott RL, editor. Surgical
interventions Corneal and External diseases . Pterigium:. Pada Abbott RL,
editor penyakit Bedah. Intervensi Kornea dan Eksternal. Grune and Straton:
Orlando, USA; 1987. Grune dan Straton: Orlando, USA; 1987.
2. Fong KS, Balakrishnan V, Chee SP, Tan DT. KS Fong, V Balakrishnan, SP
Chee, DT Tan. Refractive change following pterygium surgery. CLAO J
1998;24:115-7. Bias perubahan setelah operasi pterigium;. CLAO J 1998.
3. Maheshwari S. Effect of pterygium excision on pterygium-induced astigmatism.
Indian J Ophthalmol 2003;51:187-8. Maheshwari S. Pengaruh eksisi
pterygium pada pterygium-Silindris diinduksi;. India J Ophthalmol 2003.
4. Hansen A, Norn M. Astigmatism and surface phenomena in pterygium. Acta
Ophthalmol (Copenh) 1980;58:174-81. Hansen A, Norn M. astigmatisma dan
fenomena permukaan di pterigium.. Acta Ophthalmol (Copenh) 1980.
5. Lin A, Stern G. Correlation between pterygium size and induced corneal
astigmatism. Cornea 1998;17:28-30. Lin A, Stern G. Korelasi antara ukuran
pterygium dan astigmatisme kornea diinduksi; Kornea.998.
6. Stern G, Lin A. Effect of pterygium excision on induced corneal topographic
abnormalities. Cornea 1998;17:23-7. Stern G, Lin A. Pengaruh eksisi
pterygium pada kelainan yang disebabkan topografi kornea;. Cornea 1998.
7. Tomidokoro A, Miyata K, Sakaguchi Y, Samejima T, Tokunaga T, Oshika T.
Effects of pterygium on corneal spherical power and astigmatism . Tomidokoro
A, Miyata K, Sakaguchi Y, T Samejima, Tokunaga T, Oshika T. Pengaruh
pterygium daya bola kornea dan astigmatisme. Ophthalmology
2000;107:1568-71. Ophthalmology 2000.
8. Cinal A, Yasar T, Demirok A, Topuz H. The effect of pterygium surgery on
corneal topography. Ophthalmic Surg Lasers 2001;32:35-40. Cinal A, T Yasar,
Demirok A, Topuz H. Pengaruh operasi pterygium pada topografi kornea;.
Kedokteran Laser 2001 Surg 40.
9. Yagmar M, Altan A, Ozcan MD, Sari S, Ersoz RT. Yagmar M, Altan A,
Ozcan MD, S Sari, RT Ersoz. Visual acuity and corneal topographic changes
related with pterygium surgery. J Refract Surg 2005;21:166-70. Visual

17
ketajaman dan perubahan topografi kornea terkait dengan operasi
pterigium;. Membiaskan J Surg 2005.
10. Oldenburg JB, Garbus J, McDonnell JM, McDonnell PJ. JB Oldenburg, Garbus
J, JM McDonnell, McDonnell PJ. Conjunctival pterygia. Konjungtiva
pterygia. Mechanism of corneal topographic changes. Cornea 1990;9:200-4.
Mekanisme perubahan topografi kornea;. Cornea 1990 9:200-4

18

Anda mungkin juga menyukai