Anda di halaman 1dari 27

Acute Coronary Syndrome STEMI Inferior dan NSTEMI

Anterior Extensif dengan 1st Grade AV Block

LAPORAN KASUS

Oleh :

Linda Sekar Arum


132011101061

Pembimbing

dr. Dandy Hari Hartono Sp.JP

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER


SMF/LAB. ILMU PENYAKIT DALAM
RSD dr. SOEBANDI JEMBER
2018

i
Acute Coronary Syndrome STEMI Inferior dan NSTEMI
Anterior Extensif dengan 1st Grade AV Block

LAPORAN KASUS
Disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya
SMF Ilmu Penyakit Dalam di RSD dr.Soebandi Jember

Oleh:
Linda Sekar Arum
NIM 132011101061

Dokter Pembimbing:
dr. Dandy Hari Hartono Sp.JP

LAB/SMF ILMU PENYAKIT DALAM RSD DR. SOEBANDI


JEMBER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018

ii
DAFTAR ISI

JUDUL ................................................................................................................... i
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii
BAB 1. PENDAHULUAN ....................................................................................1
BAB 2. LAPORAN KASUS ..................................................................................3
2.1. Identitas penderita ......................................................................................3
2.2. Anamnesis .................................................................................................3
2.3. Pemeriksaan fisik .......................................................................................5
2.4. Pemeriksaan penunjang .............................................................................8
2.5. Resume ....................................................................................................12
2.6. Diagnosis kerja ........................................................................................13
2.7. Penatalaksanaan .......................................................................................13
2.8. Prognosis .................................................................................................14
2.9. Follow Up .................................................................................................14
BAB 3.PEMBAHASAN .......................................................................................15
3.1 Infark Miokard Akut .................................................................................16
3.2 AV block ...................................................................................................25
BAB 4. KESIMPULAN .......................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................34

iii
BAB 1. PENDAHULUAN

Infark miokard akut adalah proses nekrosis sel otot jantung terjadi secara akut dimulai
dari proses iskemia miokard akibat suplai oksigen dan darah yang inadekuat ke otot jantung
(Loscalzo, 2013). Iskemia miokard biasanya terjadi akibat proses trombosis arteri koroner
karena ruptur plak aterosklerosis. Plak yang mengalami ruptur kemudian memicu reaksi
trombosis dan mengakibatkan obstruksi parsial hingga total kemudian muncul iskemia
miokard (Mann et al., 2015). Pada spektrum klinisnya infark miokard masuk dalam
kelompok sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri atas angina pektoris tak stabil, infark
miokard dengan ST elevasi (STEMI), dan infark miokard tanpa ST elevasi (NSTEMI) (Mann
et al., 2015). Infark miokard akut termasuk dalam kelompok STEMI. Infark miokard akut
merupakan kegawatan kardiovaskular yang utama karena menyebabkan angka perawatan
rumah sakit dan angka kematian yang tinggi di Indonesia (Irmalita et al., 2015).
Atrioventricular block (AV block) adalah jenis aritmia blokade jantung dimana terjadi
gangguan impuls konduksi yang dapat bersifat permanen ataupun sementara tergantung dari
besarnya gangguan anatomis jantung atau fungsi konduksi jantung. AV block dibagi menjadi
3 derajat berdasarkan tingkat keparahannya (Mann et al., 2015). AV block dapat disebabkan
oleh proses infark miokard sehingga mengganggu proses konduksi di nodus atrioventrikular
jantung. AV block dapat menjadi kondisi gawat pada kondisi AV block total atau derajat III
karena mengakibatkan penurunan hemodinamik jantung, sinkop, dan memperparah keluhan
nyeri dada pada pasien dengan infark miokard (Mann et al., 2015).

1
BAB 2. LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. T
Umur : 54 tahun
Jenis kelamin : Laki-Laki
Alamat : Wuluhan, Jember
Status : Menikah
Pendidikan Terakhir : SMA
Pekerjaan : Petani
Suku : Madura
Agama : Islam
Status Pelayanan : BPJS NPBI
No. RM : 16789
Tanggal MRS : 14 Desember 2017
Tanggal pemeriksaan: 16 Desember 2017
Tanggal KRS : 18 Desember 2017

2.2 Anamnesis
Autoanamnesis dan heteroanamnesis dilakukan kepada pasien dan anak pasien pada
tanggal 14 Desember 2017 (H3MRS) di Ruang A RSDS Jember.

2.2.1 Keluhan Utama


Nyeri Ulu hati

2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien mengeluh nyeri di ulu hati sejak H1SMRS disertai dengan sesak. Nyeri ulu
hati dirasakan amat sakit seperti seperti dipukul benda tumpul yang panas. Nyeri
bersifat hilang timbul dan timbulnya mendadak tidak pada waktu tertentu. Saat
muncul nyeri bertahan sekitar 20 menit. Saat nyeri pada ulu hati timbul, dada sebelah
kiri juga terasa nyeri dan terasa berat seperti tertimpa benda berat kemudian muncul
sesak. Nyeri di dada menjalar sampai ke pundak hingga punggung kiri pasien. Nyeri
tidak berubah saat posisi pasien tidur atau duduk. Pasien juga mengeluhkan berdebar
debar dan terkadang jantungnya terasa seperti berhenti. Sesak napas yang dirasakan
pada pasien timbul hanya saat nyeri ulu hati tersebut timbul. Kondisi sesak tidak

2
dipengaruhi dan berubah dengan perubahan posisi. Pasien 5 tahun sebelumnya pernah
mengatakan ada riwayat tekanan darah tinggi dan nyeri dada yang sama namun
sekarang lebih sakit. Pasien mengeluhkan batuk kering sejak H1MRS dan muncul saat
pasien dalam posisi tidur terlentang. Pasien juga mengeluhkan pusing, badan lemas,
malas makan, dan rasa mual sejak H1 SMRS. Pasien dapat BAK dan BAB dengan
baik selama MRS.

2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien memiliki riwayat hipertensi dan penyakit jantung koroner pada 5 tahun SMRS.

2.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga


Kedua orang tua pasien tidak memiliki riwayat penyakit jantung Saudara pasien juga
tidak memiliki riwayat penyakit jantung.

2.2.5 Riwayat Pengobatan


Pasien berobat di klinik dekat rumah dan Puskesmas T Jember 5 tahun SMRS karena
hipertensi dan mendapat pengobatan dengan simvastatin dan captopril selama 1 tahun
dan dilakukan pengobatan dengan simvastatin dan captopril selama 1 tahun. Pasien
tidak rutin memeriksakan kondisi kesehatan jantungnya dan hanya periksa ketika
muncul keluhan.

2.2.6 Riwayat Sosial, Lingkungan, dan Ekonomi


Pasien adalah seorang ibu rumah tangga. Saat ini pasien tinggal satu rumah bersama
dengan anak perempuannya, menantu, dan cucunya. Pasien tidak terlalu banyak
beraktivitas dan berinteraksi dengan orang-orang di luar rumah dan hanya membantu
keluarganya di rumah karena kondisi badannya sudah tidak kuat. Kondisi ekonomi
keluarga pasien cukup.

2.2.7 Anamnesis Sistem


a. Sistem serebrospinal : pusing (+)
b. Sistem kardiovaskular : nyeri dada kiri (+)
c. Sistem respirasi : sesak napas (+), batuk (+)
d. Sistem gastrointestinal : nyeri ulu hati (+), mual (+), nafsu makan
menurun, BAB (+) lancar
e. Sistem urogenital : BAK (+) lancar
f. Sistem muskuloskeletal : kesemutan pada kedua kaki, nyeri di pundak kiri

3
sampai punggung kiri

2.3 Pemeriksaan Fisik (Tanggal 16 Desember 2017)


2.3.1 Pemeriksaan Umum
a. Keadaan Umum : lemah
b. Kesadaran : kompos mentis
c. Tanda Vital : TD : 120/80 mmHg
N : 72 x/menit regular, kuat angkat
RR : 20 x/menit
Tax : 36,6oC
d. Pernapasan : sesak (-), batuk (-)
e. Kulit : edema (-), sianosis (-), ikterus (-), anemis (-)
f. Kelenjar limfe : pembesaran KGB (-), pembesaran kelejar tiroid (-)
g. Otot : akral hangat (+) pada ekstremitas superior dan inferior, edema
(-) pada ekstremitas inferior dan superior, paresthesia (+) pada
kedua ekstremitas inferior
h. Tulang : tidak ada deformitas dan krepitasi
i. Status gizi : BB : 56 kg
TB : 158 cm
IMT : 22,4 kg/m2

2.3.2 Pemeriksaan Khusus


a. Kepala
1) Bentuk : persegi, simetris
2) Rambut : putih beruban, lurus, tipis, mudah dicabut
3) Mata : konjungtiva anemis : -/-
sklera ikterus : -/-
eksoftalmus : -/-
refleks cahaya : +/+
mata berkunang : -/-
4) Hidung : sekret (-), bau (-), pernapasan cuping hidung (-),
perdarahan (-)
5) Telinga : sekret (-), bau (-), perdarahan (-)
6) Mulut : mukosa bibir sianosis (-), bau (-), luka (-)

4
b. Leher
1) KGB : tidak ada pembesaran
2) Tiroid : tidak ada pembesaran
3) JVP : tidak meningkat
c. Dada
1) Jantung :
a) Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
b) Palpasi : iktus kordis teraba di ICS VI AAL S, kuat angkat
c) Perkusi : redup di ICS II PSL D s/d ICS 2 PSL S (batas jantung atas)
serta IV MCL D s/d ICS VII AALS
d) Auskultasi : S1S2 tunggal, reguler, suara tambahan (-)
2) Paru :
Ventral Dorsal
Inspeksi: Inspeksi:
 Simetris  Simetris
 Retraksi -/-  Retraksi -/-
 Ketinggalan gerak -/-  Ketinggalan gerak -/-

Palpasi: P: Palpasi:
 Fremitus raba  Fremitus raba
N N N N
N N N N
N N N N

Perkusi : Perkusi :
S S S S
S S S S
S S S S
R S S R R S S R
R R R R

5
Ventral Dorsal
Auskultasi : Auskultasi :
V V V V
V V V V
V V V V
↓ V V ↓ ↓ V V ↓
↓ ↓ ↓ ↓

Rhonki Rhonki
- - - -
- - - -
- - - -
- - - - - - - -
- - - -

Wheezing Wheezing
- - - -
- - - -
- - - -
- - - - - - - -
- - - -

Tabel 2.1 Pemeriksaan Paru Pasien


c. Perut
1) Inspeksi : datar
2) Auskultasi : bising usus (+), 16 x/menit
3) Palpasi : soepel, hepatomegali (-), splenomegali (-), nyeri tekan
abdomen (-)
4) Perkusi : timpani
d. Anggota Gerak
1) Superior : akral hangat +/+, edema -/-
2) Inferior : akral hangat +/+, edema -/-

6
2.4 Pemeriksaan Penunjang
2.4.1 Pemeriksaan Laboratorium
Tabel 2.2 Hasil Laboratorium Pasien Tanggal 14 Desember 2017
Jenis Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Normal Satuan Metode
Hematologi
Hematologi
Lengkap ( HLT)
Hemoglobin 12.8 13.5-17.5 gr/dL Oto/man*drabkins
Lekosit 5.1 109/L Oto/man*truk
Hematokrit 35.8 % Oto mikro
Trombosit 320 109/L Oto/man*indirect

Elektrolit ISE
Natrium 137.3 Mmol/L
Kalium 3.64 Mmol/L ISE
Klorida 100.4 Mmol/L ISE
Kalsium 2.28 Mmol/L Arsene III
Magnesium 0.67 Mmol/L Xylidyl blue
Ginjal
Kreatinin Serum 1.3 Mg/dL Jaffe Oto
BUN 11 Mg/dL GLDH Oto
Urea 24 Mg/dL GLDH Oto

Tabel 2.4 Hasil Laboratorium Pasien Tanggal 14 Desember 2017


Jenis Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Normal Satuan Metode
LAIN – LAIN
Troponin -1 Positip Negatip Imunokromatografi

2.4.2 Foto Thorax

7
Gambar 2.1 Foto Thorax Tanggal 14/12/2017
a. Bacaan dari foto : -
b. Yang didapat pada foto :
1) Identitas pasien :
Nama : Ny. Suparni
Usia : 54 tahun
2) Tanggal pengambilan foto : 14/12/2017
3) Marker, posisi foto : tidak ada, posteroanterior
4) Intensitas, inspirasi : lebih karena thorax masih terlihat, kurang, 6 costae anterior
tampak, 10 costae posterior tidak tampak, posisi tepat diatas diafragma
5) Trakea : tidak tampak adanya deviasi
6) Sudut costophrenicus : dextra tampak tajam, sinistra tidak tampak
7) Diafragma kanan cembung, diafragma kiri cembung dan bersinggungan dengan
jantung.
8) Cardio thoracic ratio (CTR) : 2 + 4 = 69% (cardiomegali)
8,7
9) Jantung : - ukuran : membesar
- batas jantung kanan atas ICS 2 PSL dextra, kanan bawah ICS 4 PSL
dextra
- batas jantung kiri atas ICS 2 PSL sinistra, kiri bawah ICS 6 AAL sinistra
- pinggang jantung terlihat
- vaskular membesar
10) Paru : ICS melebar, radiolusen, corak bronkovaskuler meningkat
2.4.3 EKG

8
Gambar 2.2 EKG Tanggal 14/12/2017

Gambar 2.3 EKG Tanggal 15/12/17 (RSDS Jember)

9
Gambar 2.5 EKG Tanggal 15/12/2017 (RSDS Jember)

Gambar 2.6 EKG Tanggal 18/12/2017

2.5 Resume
2.5.1 Temporary Problem List
1) Anamnesis
a. Wanita usia 68 tahun
b. Nyeri dada tipikal angina
c. Nyeri ulu hati

10
d. Mual
e. Lemas
f. Riwayat hipertensi (+) sejak 5 tahun yang lalu
2) Pemeriksaan Fisik
a. Batas jantung melebar
b. Perkusi paru kanan dan kiri redup
3) Pemeriksaan Penunjang
a. Foto Thorax (14/12/17) cardiomegali (CTR 69%)
b. EKG (14/12/17) frekuensi 90x/menit, left axis deviation (LAD), serta ST
elevasi di segmen lead II, III, dan avF, St depresi lead 1, AVL, V2-V6.
2.5.2 Permanent Problem List
1) ACS STEMI Inferior
2) ACS NSTEMI Anterior
3)

2.6 Diagnosis Kerja


ACS STEMI Inferior + PVC
2.7 Tatalaksana
2.7.1 Planning Diagnostik
1) Pemeriksaan foto thorax
2) Elektrokardiogram (EKG)
3) Pemeriksaan ekokardiografi
4) Pemeriksaan profil lipid (trigliserida, HDL, LDL)
2.7.2 Planning Terapi
1) P/O aspirin tablet 2x80 mg pada dosis awal dilanjutkan dosis rumatan 1x80 mg
2) Suplemen O2 selama 6 jam pertama
3) NTG tablet sublingual dapat diberikan sampai 3x dengan interval 5 menit
4) Morfin sulfat 1-5 mg IV perlahan tiap 10-30 menit jika nyeri dada tidak
menghilang dengan NTG
5) Clopidogrel 300 mg dilanjut dosis rumatan 75 mg/hari
6) Reperfusi dengan PCI
7) Infus PZ 1000cc/24 jam 14 tpm makro
8) P/O Atorvastatin 20 mg 0-0-1

11
2.7.3 Planning Monitoring
1) Observasi keluhan utama dan tanda vital
2) EKG basal

2.7.4 Planning Edukasi


1) Istirahat yang cukup
2) Menjelaskan tentang penyakit yang diderita pasien kepada keluarga penyebab,
perjalanan penyakit, perawatan, prognosis, komplikasi serta usaha pencegahan
komplikasi
3) Mengedukasi pasien untuk selalu kontrol ke poli jantung dan penyakit dalam
4) Menjaga kondisi lingkungan sekitar pasien agar mendukung penyembuhan pasien

2.8 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad Sanationam : dubia ad malam

BAB 3. PEMBAHASAN

Text Book Pasien


Infark Miokard Akut Inferior
Anamnesa
 Nyeri dada tipikal +
 Nyeri ulu hati +
 Sesak napas +
 Mual +
 Pusing +
 Mudah lelah +
Pemeriksaan Fisik
 Batas jantung melebar +
 Bradikardia atau takikardia ireguler -
 Bunyi S1 jantung menurun -
Pemeriksaan Penunjang
 Foto thorax  cardiomegali +
 ST elevasi/ST depresi +
 ST elevasi/depresi pada lead II,III, +
dan avF
 Gelombang Q patologis -

12
 Biomarker jantung +

1st grade AV block


Pemeriksaan Fisik
 Bunyi S1 jantung menurun -
Pemeriksaan Penunjang
 PR interval memanjang (>0,2 detik /
+
> 1 kotak besar)

Tabel 3.1 Tabel Perbandingan Textbook dan Pasien

3.1 Infark Miokard Akut


3.1.1 Definisi
Infark miokard akut adalah proses nekrosis pada sel-sel otot jantung akibat dari
persediaan oksigen dan darah yang inadekuat pada otot jantung (Loscalzo, 2013). Proses
infark ini didahului oleh proses iskemia pada miokard. Proses iskemia miokard biasanya
terjadi akibat proses aterosklerosis pada pembuluh darah koroner pada jantung. Proses ini
akan mengakibatkan peningkatan resistensi pembuluh darah koroner sehingga terjadi
gangguan aliran darah koroner (Mann et al., 2015). Pada spektrum klinis nya infark miokard
masuk dalam kelompok sindrom koroner akut yang terdiri atas angina pektoris tak stabil,
infark miokard akut dengan ST elevasi, dan infark miokard akut tanpa ST elevasi (Mann et
al., 2015). Di Indonesia Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan suatu masalah
kardiovaskular yang utama karena menyebabkan angka perawatan rumah sakit dan angka
kematian yang tinggi (Irmalita et al., 2015). Diagnosis klinis infark miokard akut terdiri atas
kombinasi adanya bukti nekrosis pada miokard yang didapat dari pemeriksaan biomarker,
EKG, atau pencitraan.
3.1.2 Etiologi
Etiologi dari infark miokard akut meliputi :
 aterosklerosis;
 penyakit arteri koroner (arteritis, trauma arteri koroner, penebalan arteri koroner,
diseksi aorta);
 proses emboli arteri koroner akibat endokarditis, prolaps katup mitral, trombus
pada ventrikel kiri, atrium kiri, dan vena pulmonal;
 anomali kongenital arteri koroner;

13
 disproporsi permintaan-suplai oksigen pada miokard akibat stenosis aorta,
intoksikasi karbon monoksida, insufisiensi aorta, tirotoksikosis, prolonged
hypotension; dan
 kelainan hematologi (polisitemia vera, trombositosis, DIC, hiperkoagulopati)
3.1.3 Patogenesis
Proses awal terjadinya aterosklerosis pada dipengaruhi oleh penimbunan lipoprotein
di dalam daerah intima pembuluh darah. Sebagaimana diketahui pembuluh darah terdiri atas
3 lapisan yaitu tunika intima, tunika media, dan tunika adventitia. Di dalam tunika intima
terdapat sen endotelium yang berhubungan langsung dengan aliran darah dan kerusakan pada
sel tersebut akan berakibat pada gangguan aliran darah. Akumulasi lipoprotein tersebut akan
berinteraksi dengan glikoaminoglikans pada tunika intima dan terjadi proses modifikasi
oksidatif dan glikasi. Proses ini akan menimbulkan stres oksidatif pada pembuluh darah dan
memicu pelepasan mediator proinflmasi yaitu sitokin yang akan meningkatkan ekspresi
molekul adhesi. Adanya molekul perekat tersebut akan mengakibatkan leukosit menempel di
sel endotelium dan berikatan dengan lipoprotein. Reseptor pemangsa yang ada didalam
tunika intima kemudian memakan ikatan antara sel endotelium dan lipoprotein yang telah
mengalami oksidasi dan glikasi lalu terbentuk sel busa (Rilantono et al., 2015).
Akibatnya sel-sel yang ada didalam tunika intima akan digantikan oleh sel busa.
Proses berikutnya yang terjadi adalah migrasi dari sel otot polos pada tunika media menuju
tunika intima untuk menggantikan peran sel endotelium di tunika intima. Sel otot polos
tersebut juga memicu akumulasi matriks ekstraseluler disertai pembentukan fibrosis yang
berakibat penyempitan lumen pembuluh darah (Rilantono et al., 2015).

Gambar 3.1 Proses Aterogenesis (Loscalzo, 2013)


3.1.4 Faktor Risiko
Faktor Risiko dari infark miokard akut terdiri atas :

14
• Merokok
• Kadar kolesterol total dan LDL yg tinggi atau dislipidemia
• Hipertensi
• Diabetes mellitus
• Usia lanjut
• Menopause
• Pernah infark miokard dan/atau stroke

3.1.5 Gejala
Gejala yang paling sering dikeluhkan adalah nyeri dada. Untuk mengetahui nyeri dada
yang tipikal angina perlu diketuahui karakteristik nyeri dada, waktu serangan, durasi, dan
frekuensi serangan, perubahan tempo nyeri dada, serta faktor yang menyebabkan eksaserbasi
atau serangan akut nyeri dada. Nyeri yang tipikal angina umumnya terlokalisir terutama (tapi
tidak selalu) di daerah precordium, menyebar ke lengan, leher, punggung, atau epikardium,
tidak berubah dengan posisi atau pergerakan tubuh, sering terasa seperti menekan,
“constricting” atau “crushing”, episode nyeri dada > 20 menit, dan dapat diikuti sesak,
pusing, mual, atau berkeringat. Pada beberapa orang disertai pula dengan nyeri ulu hati
dengan rasa seperti terbakar pada lambung.
3.1.6 Diagnosis
1) Anamnesis
Ditemukan gejala-gejala tipikal angina (nyeri dada, nyeri ulu hati, muak muntah).
2) Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat kita amati pada TTV di nadi dapat ditemukan nadi
ireguler bradikardi atau takikardi. Pada pemeriksaan jantung di auskultasi, dapat
kita temukan bunyi S1 jantung menurun menandakan adanya pemanjangan PR
interval. Bunyi S2 yang splitting menandakan adanya disfungsi ventrikel. Dapat
pula ditemukan adanya S3 gallop dan s4 serta murmur terutama pada kasus
STEMI.
3) EKG
Pada pemeriksaan EKG yang perlu ditentukan adakah irama (apakah sinus atau
ireguler), adanya ST elevasi/depresi, adanya Left Branch Bundle Block, adanya T
inversi, serta ada tidaknya gelombang q patologis. Pada EKG juga dapat
ditentukan segmen jantung yang mengalami infark :

15
Lead Segmen yang mengalami infark
• II ,III, aVF Inferior
• V1,V2,V3 Anteroseptal
• V1-V4 Anterior
• V1- V6 Anterior ekstensif
• I,aVL ,V5,V6 Lateral
• I, V6 Apikal
• V7-V9 Posterior
• V4R Ventrikel kanan
4) Biomarker
Penggunaan biomarker berfungsi untuk mendeteksi ada tidaknya kerusakan otot
jantung berdasarkan reaksi kimianya. Biomarker yang umumnya digunakan
adalah CKMB, troponin I, dan troponin T. Peningkatan kadar marker menandakan
adanya kerusakan miokard. Troponin I dan Troponin T adalah marker sensitif dan
kadarnya yang meningkat berhubungan dengan prognosis yang lebih berat
5) Angiografi koroner
Angiografi koronermemberikan informasi mengenai keberadaan dan tingkat
keparahan PJK, sehingga dianjurkan segera dilakukan untuk tujuan diagnostik
pada pasien dengan risiko tinggi dan diagnosis banding yang tidak jelas.

16
Gambar 3.2 Langkah Diagnostik Infark Miokard (Mann et al., 2015)

3.1.7 Tatalaksana
Tatalaksana pada infark miokard akut meliputi :
1) Pemberian antiplatelet Aspirin 160 mg)
2) Pain killer (morfin)
3) Suplemen O2
• Pemberian suplemen O2 diberikan pada pasien dengan desaturasi O2 (SaO2
<90%)
• Suplemen O2 mungkin membatasi injury miokard atau bahkan mengurangi
elevasi ST
• Pemberian suplemen O2 rutin > 6 jam pertama terutama pada kasus tanpa
komplikasi
4) Terapi anti iskemia
• Nitrat
• Beta blocker (jika tidak ada kontraindikasi)
• Atagonis kalsium (untuk kasus UAP/NSTEMI)
5) Antiplatelet dan antikoagulan

17
• Clopidogrel 300 mg, Ticlopidine Menghambat aktivasi platelet
• Heparin atau Low Molecular Weight Heparin (LMWH)
6) Tatalaksana Gawat Darurat
Penatalaksanaan STEMI dimulai sejak kontak medis pertama, baik untuk diagnosis
dan pengobatan. Yang dimaksud dengan kontak medis pertama adalah saat pasien pertama
diperiksa oleh paramedis, dokter atau pekerja kesehatan lain sebelum tiba di rumah sakit, atau
saat pasien tiba di unit gawat darurat, sehingga seringkali terjadi dalam situasi rawat jalan.
Diagnosis kerja infark miokard harus telah dibuat berdasarkan riwayat nyeri dada
yang berlangsung selama 20 menit atau lebih yang tidak membaik dengan pemberian
nitrogliserin. Adanya riwayat PJK dan penjalaran nyeri ke leher, rahang bawah atau lengan
kanan memperkuat dugaan ini. Pengawasan EKG perlu dilakukan pada setiap pasien dengan
dugaan STEMI. Diagnosis STEMI perlu dibuat sesegera mungkin melalui perekaman dan
interpretasi
EKG 12 sadapan, selambat-lambatnya 10 menit dari saat pasien tiba untuk
mendukung penatalaksanaan yang berhasil. Gambaran EKG yang atipikal pada pasien
dengan tanda dan gejala iskemia miokard yang sedang berlangsung menunjukkan perlunya
tindakan segera. Sebisa mungkin, penanganan pasien STEMI sebelum di rumah sakit dibuat
berdasarkan jaringan layanan regional yang dirancang untuk memberikan terapi reperfusi
secepatnya secara efektif, dan bila fasilitas memadai sebanyak mungkin pasien dilakukan
IKP. Pusat-pusat kesehatan yang mampu memberikan pelayanan Intervensi Koroner Perkutan
(IKP) primer harus dapat memberikan pelayanan setiap saat (24 jam selama 7 hari) serta
dapat memulai IKP primer sesegera mungkin di bawah 90 menit sejak panggilan inisial.
Semua rumah sakit dan Sistem Emergensi Medis yang terlibat dalam penanganan pasien
STEMI harus mencatat dan mengawasi segala penundaan yang terjadi dan berusaha untuk
mencapai dan mempertahankan target kualitas berikut ini:
1. Waktu dari kontak medis pertama hingga perekaman EKG pertama ≤10 menit
2. Waktu dari kontak medis pertama hingga pemberian terapi reperfusi:
• Untuk fibrinolisis ≤30 menit
• Untuk IKP primer ≤90 menit (≤60 menit apabila pasien datang dengan awitan kurang dari
120 menit atau langsung dibawa ke rumah sakit yang mampu melakukan IKP)
Pencegahan delay amat penting dalam penanganan STEMI karena waktu paling
berharga dalam infark miokard akut adalah di fase sangat awal, di mana pasien mengalami
nyeri yang hebat dan kemungkinan mengalami henti jantung. Defibrilator harus tersedia
apabila ada pasien dengan kecurigaan infark miokard akut dan digunakan sesegera mungkin

18
begitu diperlukan. Selain itu, pemberian terapi pada tahap awal, terutama terapi reperfusi,
amat bermanfaat.
Terapi reperfusi segera, baik dengan IKP atau farmakologis, diindikasikan untuk
semua pasien dengan gejala yang timbul dalam 12 jam dengan elevasi segmen ST yang
menetap atau Left Bundle Branch Block (LBBB) yang (terduga) baru. Terapi reperfusi (sebisa
mungkin berupa IKP primer) diindikasikan apabila terdapat bukti klinis maupun EKG adanya
iskemia yang sedang berlangsung, bahkan bila gejala telah ada lebih dari 12 jam yang lalu
atau jika nyeri dan perubahan EKG tampak tersendat.
Dalam menentukan terapi reperfusi, tahap pertama adalah menentukan ada tidaknya
rumah sakit sekitar yang memiliki fasilitas IKP. Bila tidak ada, langsung pilih terapi
fibrinolitik. BIla ada, pastikan waktu tempuh dari tempat kejadian (baik rumah sakit atau
klinik) ke rumah sakit tersebut apakah kurang atau lebih dari (2 jam). Jika membutuhkan
waktu lebih dari 2 jam, reperfusi pilihan adalah fibrinolitik. Setelah fibrinolitik selesai
diberikan, jika memungkinkan pasien dapat dikirim ke pusat dengan fasilitas IKP.
a) Intervensi koroner perkutan primer
IKP primer adalah terapi reperfusi yang lebih disarankan dibandingkan dengan
fibrinolisis apabila dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit dari waktu
kontak medis pertama. IKP primer diindikasikan untuk pasien dengan gagal jantung akut
yang berat atau syok kardiogenik, kecuali bila diperkirakan bahwa pemberian IKP akan
tertunda lama dan bila pasien datang dengan awitan gejala yang telah lama.
Stenting lebih disarankan dibandingkan angioplasti balon untuk IKP primer. Tidak
disarankan untuk melakukan IKP secara rutin pada arteri yang telah tersumbat total lebih dari
24 jam setelah awitan gejala pada pasien stabil tanpa gejala iskemia, baik yang telah maupun
belum diberikan fibrinolisis.
Bila pasien tidak memiliki indikasi kontra terhadap terapi antiplatelet dual (dual
antiplatelet therapy-DAPT) dan kemungkinan dapat patuh terhadap pengobatan, drug-eluting
stents (DES) lebih disarankan daripada bare metal stents (BMS).
1. Farmakoterapi periprosedural
Pasien yang akan menjalani IKP primer sebaiknya mendapatkan terapi antiplatelet
ganda (DAPT) berupa aspirin dan penghambat reseptor ADP sesegera mungkin sebelum
angiografi (Kelas I-A), disertai dengan antikoagulan intravena (Kelas I-C). Aspirin dapat
dikonsumsi secara oral (160-320 mg). Pilihan penghambat reseptor ADP yang dapat
digunakan antara lain:
1. Ticagrelor (dosis loading 180 mg,lalu dosis pemeliharaan 90 mg 2 kali sehari) (Kelas I-B).

19
2. Clopidogrel (disarankan dengan dosis lebih tinggi yaitu dosis loading 600 mg diikuti 150
mg per hari), bila ticagrelor tidak tersedia atau diindikasikontrakan (Kelas I-C).
Antikoagulan intravena harus digunakan dalam IKP primer. Pilihannya antara lain:
1. Heparin tidak terfraksi (dengan atau tanpa penghambat reseptor GP Iib/IIIa rutin) harus
digunakan pada pasien yang tidak mendapatkan bivarlirudin atau enoksaparin (Kelas I-C).
2. Enoksaparin (dengan atau tanpa penghambat reseptor GP Iib/IIIa) dapat lebih dipilih
dibandingkan heparin yang tidak terfraksi (Kelas IIb-B).
3. Fondaparinuks tidak disarankan untuk IKP primer (Kelas III-B).
4. Tidak disarankan menggunakan fibrinolisis pada pasien yang direncanakan untuk IKP
primer (Kelas III-A).
b) Terapi fibrinolitik
Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama pada tempat yang
tidak dapat melakukan IKP pada pasien STEMI dalam waktu yang disarankan. Terapi
fibrinolitik direkomendasikan diberikan dalam 12 jam sejak awitan gejala pada pasien-pasien
tanpa indikasi kontra apabila IKP primer tidak bisa dilakukan oleh tim yang berpengalaman
dalam 120 menit sejak kontak medis pertama (Kelas I-A). Pada pasien-pasien yang datang
segera (<2 jam sejak awitan gejala) dengan infark yang besar dengan risiko perdarahan
rendah,
fibrinolisis perlu dipertimbangkan bila waktu antara kontak medis pertama dengan inflasi
balon lebih dari 90 menit (Kelas IIa-B). Fibrinolisis harus dimulai pada ruang gawat darurat.
Agen yang spesifik terhadap fibrin (tenekteplase, alteplase, reteplase) lebih
disarankan dibandingkan agen-agen yang tidak spesifik terhadap fibrin (streptokinase) (Kelas
I-B). Aspirin oral atau intravena harus diberikan (Kelas I-B). Clopidogrel diindikasikan
diberikan sebagai tambahan untuk aspirin (Kelas I-A).
Antikoagulan direkomendasikan pada pasien-pasien STEMI yang diobati dengan fibrinolitik
hingga revaskularisasi (bila dilakukan) atau selama dirawat di rumah sakit hingga 5 hari
(Kelas I-A). Antikoagulan yang digunakan dapat berupa:
1. Enoksaparin subkutan (lebih disarankan dibandingkan heparin tidak terfraksi) (Kelas I-A).
2. Heparin tidak terfraksi diberikan secara bolus intravena sesuai berat badan dan infus
selama 3 hari (Kelas I-C).
3. Pada pasien-pasien yang diberikan streptokinase, Fondaparinuks intravena secara bolus
dilanjutkan dengan dosis subkutan 24 jam kemudian (Kelas IIa-B).
Pemindahan pasien ke pusat pelayanan medis yang mampu melakukan IKP setelah
fibrinolisis diindikasikan pada semua pasien (Kelas I-A). IKP “rescue”diindikasikan segera

20
setelah fibrinolisis gagal, yaitu resolusi segmen ST kurang dari 50% setelah 60 menit disertai
tidak hilangnya nyeri dada (Kelas I-A). IKP emergency diindikasikan untuk kasus dengan
iskemia rekuren atau bukti adanya reoklusi setelah fibrinolisis yang berhasil (Kelas I-B). Hal
ini ditunjukkan oleh gambaran elevasi segmen ST kembali.
Angiografi emergensi dengan tujuan untuk melakukan revaskularisasi diindikasikan untuk
gagal jantung/pasien syok setelah dilakukannya fibrinolisis inisial (Kelas I-A). Jika
memungkinkan, angiografi dengan tujuan untuk melakukan revaskularisasi (pada arteri yang
mengalami infark) diindikasikan setelah fibrinolisis yang berhasil (Kelas I-A). Waktu
optimal angiografi untuk pasien stabil setelah lisis yang berhasil adalah 3-24 jam (Kelas IIa-
A).
c) Koterapi antikogulan
1. Pasien yang mendapat terapi reperfusi fibrinolisis, sebaiknya diberikan terapi antikoagulan
selama minimum 48 jam (Kelas II-C) dan lebih baik selama rawat inap, hingga maksimum 8
hari (dianjurkan regimen non UFH bila lama terapi lebih dari 48 jam karena risiko heparin-
induced thrombocytopenia dengan terapi UFH berkepanjangan (Kelas II-A)
2. Pasien STEMI yang tidak mendapat terapi reperfusi, dapat diberikan terapi antikoagulan
(regimen non-UFH) selama rawat inap, hingga maksimum 8 hari pemberian (Kelas IIa-B)
3. Strategi lain yang digunakan adalah meliputi LMWH (Kelas IIa-C) atau fondaparinuks
(Kelas IIa-B) dengan regimen dosis sama dengan pasien yang mendapat terapi fibrinolisis.
4. Pasien yang menjalani IKP Primer setelah mendapatkan antikoagulan berikut ini
merupakan rekomendasi dosis:
• Streptokinase (Sk) 1,5 juta U dalam 100 mL Heparin i.v. Sebelum Sk
• Dextrose 5% atau larutan selama 24-48 atau salin 0,9% dalam waktu 30- jam anistreplase
• 60 menit
• Alteplase (tPA) Bolus 15 mg intravena
• Heparin i.v. 0,75 mg/kg selama 30 menit, selama 24-48 kemudian 0,5 mg/kg selama jam
• 60 menit. Dosis total tidak lebih dari 100 mg
• Bila telah diberikan UFH, berikan bolus UFH tambahan sesuai kebutuhan untuk
mendukung prosedur, dengan pertimbangan GP IIb/IIIA telah diberikan (Kelas II-C).
• Bila telah diberikan enoksaparin, dosis subkutan terakhir diberikan dalam 8 jam, tak perlu
dosis tambahan, bila dosis subkutan terakhir antara 8-12 jam, maka ditambahkan enoxapain
intravena 0,3 mg/kg (Kelas II-B)
• Bila telah diberikan fondaparinuks, diberikan antikoagulan tambahan dengan aktivitas anti
IIa dengan pertimbangan telah diberikan GP IIb/ IIIa (Kelas II-C)

21
5. Karena adanya risiko trombosis kateter, fondaparinuks tidak dianjurkan digunakan sebagai
antikoagulan tunggal pendukung IKP, sebaiknya ditambahkan antikoagulan lain dengan
aktivitas anti IIa (Kelas III-C)

22
BAB IV. KESIMPULAN

Infark miokard akut adalah proses nekrosis pada sel-sel otot jantung akibat dari
persediaan oksigen dan darah yang inadekuat pada otot jantung (Loscalzo, 2013). Proses
infark ini didahului oleh proses iskemia pada miokard. Proses iskemia miokard biasanya
terjadi akibat proses aterosklerosis pada pembuluh darah koroner pada jantung. Proses ini
akan mengakibatkan peningkatan resistensi pembuluh darah koroner sehingga terjadi
gangguan aliran darah koroner (Mann et al., 2015). Untuk mengenali infark miokard akut dan
spektrumya kita perlu mempelajari karakteristik gejala (nyeri dada), melakukan kombinasi
pemeriksaan EKG, biomarker, dan teknik pencitraan lainnya. Tatalaksana pada infark
miokard akut meliputi pemberian antiplatelet, pain killer (morfin),suplemen O2, terapi anti
iskemia (nitrat, beta blocker, antagonis kalsium (untuk kasus UAP/NSTEMI)), antiplatelet,
dan antikoagulan, serta terapi fibrinolitik dan reperfusi.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Mann, Douglas L., Zipes, Douglas P., Libiw, Peter, Bonow, Robert O., Braunwald,
Eugene. 2015. Braunwald’s Heart Disease: A Texboook of Cardiovascular Medicine 10th
Edition. Philadelphia: Elsevier.

2. Rilantono, Lily I. 2015. Penyakit Kardiovaskular (PKV) 5 Rahasia. Jakarta : Badan


Penerbit FK Universitas Indonesia.

3. Setiati, Siti Prof. Dr. dr. , M.Epid., Sp.PD, (K) Ger, Alwi Idrus, Sudoyo, Aru W.,
Simadibrata K., Marcellus, Setiyohadi, Bambang, Syam, Ari Fahrial. 2014. Buku Ajar
Penyakit Dalam Edisi VI Jilid 2. Jakarta : Interna Publishing.

4. Rilantono, Lily R. 2012. Penyakit Vaskular. Jakarta: Badan Penerbit FK Universitas


Indonesia.

5. Hamm CW et al. 2011. ESC guidlines for the management of acute coronary syndrome
in patients presenting without persistent ST segment elevation. The European Society of
Cardiology.

6. Jennings LK, White MM. 2009. Platelet Aggregation. Elsavier. USA.


495-507.

7. Darmojo B. Penyakit Kardiovaskuler pada Lanjut Usia. Dalam : Darmojo B, Martono


HH, editor. Buku Ajar Geriatri. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2004. h. 262-264

8. Hardiman A. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pengendalian


Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. 2007. h. 2-9.

9. Irmalita. 2014. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Jakarta : PERKI.

24

Anda mungkin juga menyukai