Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sistem kekebalan tubuh sangat mendasar peranannya bagi kesehatan, tentunya harus
disertai dengan pola makan sehat, cukup berolahraga, dan terhindar dari masuknya senyawa
beracun ke dalam tubuh. Sekali senyawa beracun hadir dalam tubuh, maka harus segera
dikeluarkan.
Kondisi sistem kekebalan tubuh menentukan kualitas hidup. Dalam tubuh yang sehat
terdapat sistem kekebalan tubuh yang kuat sehingga daya tahan tubuh terhadap penyakit juga
prima. Pada bayi yang baru lahir, pembentukan sistem kekebalan tubuhnya belum sempurna
dan memerlukan ASI yang membawa sistem kekebalan tubuh sang ibu untuk membantu daya
tahan tubuh bayi. Semakin dewasa, sistem kekebalan tubuh terbentuk sempurna. Namun, pada
orang lanjut usia, sistem kekebalan tubuhnya secara alami menurun. Itulah sebabnya timbul
penyakit degeneratif atau penyakit penuaan.
Pola hidup modern menuntut segala sesuatu dilakukan serba cepat dan instan. Hal ini
berdampak juga pada pola makan. Sarapan di dalam kendaraan, makan siang serba tergesa, dan
malam karena kelelahan tidak ada nafsu makan. Belum lagi kualitas makanan yang
dikonsumsi, polusi udara, kurang berolahraga, dan stres. Apabila terus berlanjut, daya tahan
tubuh akan menurun, lesu, cepat lelah, dan mudah terserang penyakit. Karena itu, banyak orang
yang masih muda mengidap penyakit degeneratif.
Kondisi stres dan pola hidup modern sarat polusi, diet tidak seimbang, dan kelelahan
menurunkan daya tahan tubuh sehingga memerlukan kecukupan antibodi. Gejala menurunnya
daya tahan tubuh sering kali terabaikan sehingga timbul berbagai penyakit infeksi, penuaan
dini pada usia produktif.

1.2 Rumusan masalah


a. Bagaimana sejarah imunologi?
b. Apa pengertian imunologi?
c. Apa fungsi sistem imun?
d. Bagaimana respon imun?
e. Apa saja jenis-jenis imun?
f. Apa yang dimaksud dengan antigen dan antibody?
g. Apa yang dimaksud sistem komplemen?
h. Apa saja sel-sel sistem imun?
i. Bagaimana reaksi hipersensitivitas?

1
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana sejarah imunologi
2. Untuk mengetahui pengertian imunologi
3. Untuk mengetahui fungsi sistem imun
4. Untuk mengetahui bagaimana respon imun
5. Untuk mengetahui apa saja jenis-jenis imun
6. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan antigen dan antibody
7. Untuk mengetahui apa yang dimaksud sistem komplemen
8. Untuk mengetahui apa saja sel-sel sistem imun
9. Untuk mengetahui bagaimana reaksi hipersensitivitas

BAB II
ISI

2.1 SEJARAH IMUNOLOGI

Pada mulanya imunologi merupakan cabang mikrobiologi yang mempelajari respons


tubuh, terutama respons kekebalan, terhadap penyakit infeksi. Pada tahun 1546, Girolamo
Fracastoro mengajukan teori kontagion yang menyatakan bahwa pada penyakit infeksi
terdapat suatu zat yang dapat memindahkan penyakit tersebut dari satu individu ke individu
lain, tetapi zat tersebut sangat kecil sehingga tidak dapat dilihat dengan mata dan pada waktu
itu belum dapat diidentifikasi.

1. Edwar Jenner
Pada tahun 1798, Edward Jenner mengamati bahwa seseorang dapat terhindar dari
infeksi variola secara alamiah, bila ia telah terpajan sebelumnya dengan cacar sapi (cow pox).
Sejak saat itu, mulai dipakailah vaksin cacar walaupun pada waktu itu belum diketahui
bagaimana mekanisme yang sebenarnya terjadi. Memang imunologi tidak akan maju bila tidak
diiringi dengan kemajuan dalam bidang teknologi, terutama teknologi kedokteran. Dengan
ditemukannya mikroskop maka kemajuan dalam bidang mikrobiologi meningkat dan mulai
dapat ditelusuri penyebab penyakit infeksi. Penelitian ilmiah mengenai imunologi baru dimulai
setelah Louis Pasteur pada tahun 1880 menemukan penyebab penyakit infeksi dan dapat
membiak mikroorganisme serta menetapkan teori kuman (germ theory) penyakit. Penemuan
ini kemudian dilanjutkan dengan diperolehnya vaksin rabies pada manusia tahun 1885. Hasil
karya Pasteur ini kemudian merupakan dasar perkembangan vaksin selanjutnya yang
merupakan pencapaian gemilang di bidang imunologi yang memberi dampak positif pada
penurunan morbiditas dan mortalitas penyakit infeksi pada anak.
2. Robert Koch

2
Pada tahun 1880, Robert Koch menemukan kuman penyebab penyakit tuberkulosis.
Dalam rangka mencari vaksin terhadap tuberkulosis ini, ia mengamati adanya reaksi tuberkulin
(1891) yang merupakan reaksi hipersensitivitas lambat pada kulit terhadap kuman tuberkulosis.
Reaksi tuberkulin ini kemudian oleh Mantoux (1908) dipakai untuk mendiagnosis penyakit
tuberkulosis pada anak. Imunologi mulai dipakai untuk menegakkan diagnosis penyakit pada
anak. Vaksin terhadap tuberkulosis ditemukan pada tahun 1921 oleh Calmette dan Guerin yang
dikenal dengan vaksin BCG (Bacillus Calmette-Guerin). Kemudian diketahui bahwa tidak
hanya mikroorganisme hidup yang dapat menimbulkan kekebalan, bahan yang tidak hidup pun
dapat menginduksi kekebalan.

3. Alexander Yersin Dan Roux


Setelah Roux dan Yersin menemukan toksin difteri pada tahun 1885, Von Behring dan
Kitasato menemukan antitoksin difteri pada binatang (1890). Sejak itu dimulailah pengobatan
dengan serum kebal yang diperoleh dari kuda dan imunologi diterapkan dalam pengobatan
penyakit infeksi pada anak. Pengobatan dengan serum kebal ini di kemudian hari berkembang
menjadi pengobatan dengan imunoglobulin spesifik atau globulin gama yang diperoleh dari
manusia.

4. Clemens von pirquet


Dengan pemakaian serum kebal, muncullah secara klinis kelainan akibat pemberian
serum ini. Dua orang dokter anak, Clemens von pirquet dari Austria dan Bela Shick dari
Hongaria melaporkan pada tahun 1905, bahwa anak yang mendapat suntikan serum kebal
berasal dari kuda terkadang menderita panas, pembesaran kelenjar, dan eritema yang
dinamakan penyakit serum (serum sickness). Selain itu peneliti Perancis, Charles Richet dan
Paul Portier (1901) menemukan bahwa reaksi kekebalan yang diharapkan timbul dengan
menyuntikkan zat toksin pada anjing tidak terjadi, bahkan yang terjadi adalah keadaan
sebaliknya yaitu kematian sehingga dinamakan dengan istilah anafilaksis (tanpa pencegahan).
Mulailah imunologi dilibatkan dalam reaksi lain dari kekebalan akibat pemberian toksin atau
antitoksin. Clemens von pirquet dari Austria (1906) memakai istilah reaksi alergi untuk reaksi
imunologi ini. Pada tahun 1873 Charles Blackley mempelajari penyakit hay fever, yaitu
penyakit dengan gejala klinis konjungtivitis dan rinitis, serta melihat bahwa ada hubungan
antara penyakit ini dengan serbuk sari (pollen). Oleh Wolf Eisner (1906) dan Meltzer (1910),
penyakit ini dinamakan anafilaksis pada manusia (human anaphylaxis).
Pada tahun 1911-1914, Noon dan Freeman mencoba mengobati penyakit hay
fever dengan cara terapi imun yaitu menyuntikkan serbuk sari subkutan sedikit demi sedikit.
Dasarnya pada waktu itu dianggap bahwa serbuk sari mengeluarkan toksin, dengan harapan
agar terbentuk antitoksin netralisasi. Sejak itu cara tersebut masih dipakai untuk mengobati
penyakit alergi terhadap antigen tertentu yang dikenal dengan cara desensitisasi. Akan tetapi

3
mekanisme yang sekarang dianut adalah berdasarkan pembentukan antibodi penghambat
(blocking antibody).
Dengan penemuan reaksi tuberkulin, Schloss (1912) dan von Pirquet (1915) melakukan
uji gores (scratch test) pada kulit untuk diagnosis penyakit alergi pada anak. Talbot (1914),
seorang dokter anak, dengan uji gores melihat adanya hu- bungan antara asma anak dengan
telur. Cooke (1915) memodifikasi uji gores dengan uji intrakutan, dan melaporkan juga bahwa
faktor keturunan memegang peranan pada penyakit alergi. Pada tahun 1913, Shick juga
memperkenalkan uji kulit untuk menentukan kepekaan seseorang terhadap kuman difteri,
sehingga makin banyak fenomena imun diterapkan dalam uji diagnostik penyakit anak.
Pada tahun 1923, Cooke dan Coca mengajukan konsep atopi (strange disease) terhadap
sekumpulan penyakit alergi yang secara klinis mempunyai manifestasi sebagai hay fever,
asma, dermatitis, dan mempunyai predisposisi diturunkan. Mulailah ilmu alergi-imunologi
diterapkan dalam kelainan dan penelitian di bidang alergi klinis. Rackemann (1918) melihat
bahwa sebagian besar asma pada anak mempunyai dasar alergi dan dinamakan asma tipe
ekstrinsik. Prausnitz dan Kustner (1921) menyatakan bahwa zat yang menimbulkan sensitisasi
kulit pada uji kulit dapat ditransfer melalui serum penderita. Memang pada waktu itu
mekanisme alergi yang tepat belum diketahui. Kini berkat penelitian yang telah dilakukan,
proses selular dan molekular yang terjadi pada penyakit alergi dapat dijabarkan. Berbagai
macam bentuk kelainan klinis berdasarkan reaksi alergi-imunologi makin banyak ditemukan,
terutama dengan bertambah banyaknya obat yang dipakai untuk pengobatan dan diagnosis
penyakit.
Dengan ditemukannya komplemen oleh Bordet (1894), uji diagnostik yang memakai
fenomena imun berkembang lagi dengan uji fiksasi komplemen (1901), seperti pada penyakit
sifilis. Pada tahun 1896, Widal secara in vitro mendemonstrasikan bahwa serum penderita
demam tifoid dapat mengaglutinasi basil tifoid.
Setelah Landsteiner (1900) menemukan golongan darah ABO, dan disusul dengan
golongan darah rhesus oleh Levine dan Stenson (1940) , maka kelainan klinis berdasarkan
reaksi imun semakin dikenal. Pada masa itu, fenomena imun yang terjadi baru dapat dijabarkan
dengan istilah imunologi saja. Baru pada tahun 1939, 141 tahun setelah penemuan Jenner,
Tiselius dan Kabat menemukan secara elektroforesis bahwa antibodi terletak dalam spektrum
globulin gama yang kemudian dinamakan imunoglobulin (Ig). Dengan cara
imunoelektroforesis diketahui bahwa imunoglobulin terdiri atas 5 kelas yang diberi nama IgA,
IgG, IgM, IgD dan IgE (WHO, 1964), dan kemudian diketahui bahwa masing-masing kelas
tersebut mempunyai subkelas. Pada tahun 1959 Porter dan Edelman menemukan struktur
imunoglobulin, dan tahun 1969 Edelman pertama kali melaporkan urutan asam amino molekul
imunoglobulin yang lengkap. Reagin, yaitu faktor yang dianggap berperan pada penyakit
alergi, baru ditemukan strukturnya oleh Kimishige dan Teneko Ishizaka pada tahun 1967 dan
merupakan kelas imunoglobulin E (IgE). Sekarang banyak penelitian dilakukan mengenai

4
regulasi sintesis IgE, dengan harapan dapat menerapkannya dalam mengendalikan penyakit
atopi.

5. Metchnikoff
Pada tahun 1883, Metchnikoff sebenarnya telah mengatakan bahwa pertahanan tubuh
tidak saja diperankan oleh faktor humoral, tetapi leukosit juga berperan dalam pertahanan
tubuh terhadap penyakit infeksi. Pada waktu itu peran leukosit baru dikenal fungsi
fagositosisnya. Beliaulah yang menemukan sel makrofag. Sekarang kita mengetahui bahwa sel
makrofag aktif berperan pada imunitas selular untuk eliminasi antigen. Baru pada tahun 1964,
Cooper dan Good dari penelitiannya pada ayam menyatakan bahwa sistem limfosit terdiri atas
2 populasi, yaitu populasi yang perkembangannya bergantung pada timus dan dinamakan
limfosit T, serta populasi yang perkembangannya bergantung pada bursa fabricius dan
dinamakan limfosit B. Tetapi pada waktu itu belum dapat dibedakan antara limfosit T dan
limfosit B. Limfosit T berperan dalam hipersensitivitas lambat pada kulit dan penolakan
jaringan, sedangkan limfosit B dalam produksi antibodi.

2.2 PENGERTIAN
Sistem imun adalah sistem perlindungan pengaruh luar biologis yang dilakukan oleh sel
dan organ khusus pada suatu organisme. Jika sistem kekebalan bekerja dengan benar, sistem
ini akan melindungi tubuh terhadap infeksi bakteri dan virus, serta menghancurkan sel kanker
dan zat asing lain dalam tubuh. Jika sistem kekebalan melemah, kemampuannya melindungi
tubuh juga berkurang, sehingga menyebabkan patogen, termasuk virus yang menyebabkan
demam dan flu, dapat berkembang dalam tubuh. Sistem kekebalan juga memberikan
pengawasan terhadap sel tumor, dan terhambatnya sistem ini juga telah dilaporkan
meningkatkan resiko terkena beberapa jenis kanker.

2.3 FUNGSI SISTEM IMUN


Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit dengan menghancurkan dan
menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan virus, serta
tumor) yang masuk ke dalam tubuh, Menghilangkan jaringan atau sel yg mati atau rusak untuk
perbaikan jaringan, Mengenali dan menghilangkan sel yang abnormal. Dan Sasaran utama
yaitu bakteri patogen dan virus. Leukosit merupakan sel imun utama (disamping sel plasma,
makrofag, dan sel mast).

2.4 RESPONS IMUN


Tahap :
Deteksi dan mengenali benda asing, Komunikasi dengan sel lain untuk berespons,
Rekruitmen bantuan dan koordinasi respons dan estruksi atau supresi penginvasi

5
2.5. JENIS-JENIS SISTEM IMUN
1. Sistem imun non spesifik ,natural atau sudah ada dalam tubuh (pembawaan )
Merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam melawan mikroorganisme. Disebut
nonspesifik karena tidak ditujukan terhadap mikroorganisme tertentu.
Terdiri dari:
a) Pertahanan fisik/mekanik
Kulit, selaput lendir , silia saluran pernafasan, batuk, bersin akan mencegah masuknya
berbagai kuman patogen kedalam tubuh. Kulit yang rusak misalnya oleh luka bakar dan selaput
lendir yang rusak oleh asap rokok akan meninggikan resiko infeksi.
b) Pertahanan biokimia
Bahan yang disekresi mukosa saluran nafas, kelenjar sebaseus kulit, kel kulit, telinga,
spermin dalam semen, mengandung bahan yang berperan dalam pertahanan tubuh secara
biokimiawi. asam HCL dalam cairan lambung , lisozim dalam keringat, ludah , air mata dan
air susu dapat melindungi tubuh terhadap berbagai kuman gram positif dengan
menghancurkan dinding selnya. Air susu ibu juga mengandung laktoferin dan asam neuraminik
yang mempunyai sifat antibacterial terhadap E. coli dan staphylococcus.
Lisozim yang dilepas oleh makrofag dapat menghancurkan kuman gram negatif dan hal
tersebut diperkuat oleh komplemen. Laktoferin dan transferin dalam serum dapat mengikat zan
besi yang dibutuhkan untuk kehidupan kuman pseudomonas.
c) Pertahanan humoral
Berbagai bahan dalam sirkulasi berperan pada pertahanan tubuh secara humoral.
Bahan-bahan tersebut adalah:
Komplemen
Komplemen mengaktifkan fagosit dan membantu destruktif bakteri dan parasit karena:
 Komplemen dapat menghancurkan sel membran bakteri
 Merupakan faktor kemotaktik yang mengarahkan makrofag ke tempat bakteri
 Komponen komplemen lain yang mengendap pada permukaan bakteri
memudahkan makrofag untuk mengenal dan memfagositosis (opsonisasi).
Interferon
Adalah suatu glikoprotein yang dihasilkan oleh berbagai sel manusia yang mengandung
nukleus dan dilepaskan sebagai respons terhadap infeksi virus. Interveron mempunyai sifat anti
virus dengan jalan menginduksi sel-sel sekitar sel yang terinfeksi virus sehingga menjadi
resisten terhadap virus. Disamping itu, interveron juga dapat mengaktifkan Natural Killer
cell (sel NK). Sel yang diinfeksi virus atau menjadi ganas akan menunjukkan perubahan pada
permukaannya. Perubahan tersebut akan dikenal oleh sel NK yang kemudian membunuhnya.
Dengan demikian penyebaran virus dapat dicegah.

6
C-Reactive Protein (CRP)
Peranan CRP adalah sebagai opsonin dan dapat mengaktifkan komplemen. CRP
dibentuk oleh badan pada saat infeksi. CRP merupakan protein yang kadarnya cepat meningkat
(100 x atau lebih) setelah infeksi atau inflamasi akut.
CRP berperanan pada imunitas non spesifik, karena dengan bantuan Ca++ dapat
mengikat berbagai molekul yang terdapat pada banyak bakteri dan jamur.
d) Pertahanan seluler
Fagosit/makrofag dan sel NK berperanan dalam sistem imun non spesifik seluller.
Fagosit
Meskipun berbagai sel dalam tubuh dapat melakukan fagositosis tetapi sel utama yang
berperaan dalam pertahanan non spesifik adalah sel mononuclear (monosit dan makrofag) serta
sel polimorfonuklear seperti neutrofil.
Dalam kerjanya sel fagosit juga berinteraksi dengan komplemen dan sistem imun
spesifik. Penghancuran kuman terjadi dalam beberapa tingakt sebagai berikut:
Kemotaksis, menangkap, memakan (fagosistosis), membunuh dan mencerna.
Kemotaksis adalah gerakan fagosit ketempat infekis sebagai respon terhadap berbagai factor
sperti produk bakteri dan factor biokimiawi yang dilepas pada aktivasi komplemen. Antibody
seperti pada halnya dengan komplemen C3b dapat meningkatkan fagosistosis (opsonisasi).
Antigen yang diikat antibody akan lebih mudah dikenal oleh fagosit untuk kemudian
dihancurkan. Hal tersebut dimungkinkan oleh adanya reseptor untuk fraksi Fc dari
immunoglobulin pada permukaan fagosit.

Natural Killer cell (sel NK)


Sel NK adalah sel limfoid yang ditemukan dalam sirkulasi dan tidak mempunyai cirri sel
limfoid dari siitem imun spesifik, maka karenan itu disebut sel non B non T (sel NBNT) atau
sel poplasi ketiga.
Sel NK dapat menghancurkan sel yang mengandung virus atau sel neoplasma dan interveron
meempunyai pengaruh dalam mempercepat pematangan dan efeksitolitik sel NK.

2. Sistem imun spesifik atau adaptasi


Mempunyai kemampuan untuk mengenal benda asing. Benda asing yang pertama kali
muncul dikenal oleh sistem imun spesifik sehingga terjadi sensitiasi sel-sel imun tersebut. Bila
sel imun tersebut berpapasan kembali dengan benda asing yang sama, maka benda asing yang
terakhir ini akan dikenal lebih cepat, kemudian akan dihancurkan olehnya. Oleh karena sistem
tersebut hanya mengahancurkan benda asing yang sudah dikenal sebelumnya, maka sistem itu
disebut spesifik.sistem imun spesifik dapat bekerja sendiri untuk menghancurkan benda asing
yang berbahaya, tetapi umumnya terjalin kerjasama yang baik antara antibodi, komplemen ,
fagosit dan antara sel T makrofag.

7
Sistem imun spesifik ada 2 yaitu;

a) Sistem imun spesifik humoral


Yang berperanan dalam sistem imun humoral adalah limfosit B atau sel B. sel B
tersebut berasal dari sel asal multipoten. Bila sel B dirangsang oleh benda asing maka sel
tersebut akan berproliferasi dan berkembang menjadi sel plasma yang dapat menbentuk zat anti
atau antibody. Antibody yang dilepas dapat ditemukan didalam serum. Funsi utama antibody
ini ialah untuk pertahanan tehadap infeksi virus, bakteri (ekstraseluler), dan dapat menetralkan
toksinnya.
b) Sistem imun spesifik selular
Yang berperanan dalam sistem imun spesifik seluler adalah limfosit T atau sel T. sel
tersebut juga berasal dari sel asal yang sama dari sel B. factor timus yang disebut timosin dapat
ditemukan dalam peredaran darah sebagai hormon asli dan dapat memberikan pengaruhnya
terhadap diferensiasi sel T diperifer. Berbeda dengan sel B , sel T terdiri atas beberapa sel
subset yang mempunyai fungsi berlainan. Fungsi utama sel imun spesifik adalah untuk
pertahanan terhadap bakteri yang hidup intraseluler, virus, jamur, parasit, dan keganasan.
Imunitas spesifik dapat terjadi sebagai berikut:
Alamiah
 Pasif
Imunitas alamiah pasif ialah pemindahan antibody atau sel darah putih yang
disensitisasi dari badan seorang yang imun ke orang lain yang imun, misalnya melalui plasenta
dan kolostrum dari ibu ke anak.
 Aktif
Imunitas alamiah katif dapat terjadi bila suatu mikoorgansme secara alamiah masuk
kedalam tubuh dan menimbulkan pembentukan antibody atau sel yang tersensitisasi.
Buatan
 Pasif
Imunitas buatan pasif dilakukan dengan memberikan serum, antibody, antitoksin
misalnya pada tetanus, difteri, gangrengas, gigitan ular dan difesiensi imun atau pemberian sel
yang sudah disensitisasi pada tuberkolosis dan hepar.

 Aktif
Imunitas buatan aktif dapat ditimbulkan dengan vaksinasi melalui pemberian toksoid
tetanus, antigen mikro organism baik yang mati maupun yang hidup.

2.6 ANTIGEN DAN ANTIBODI


1. Antigen
a) Pengertian

8
Antigen molekul asing yang dapat menimbulkan respon imun spesifik dari limfosit
pada manusia dan hewan. Antigen meliputi molekul yang dimilki virus, bakteri, fungi,
protozoa dan cacing parasit. Molekul antigenic juga ditemukan pada permukaan zat-zat asing
seperti serbuk sari dan jaringan yang dicangkokkan. Sel B dan sel T terspesialisasi bagi jenis
antigen yang berlainan dan melakukan aktivitas pertahanan yang berbeda namun saling
melengkapi (Baratawidjaja 1991: 13; Campbell,dkk 2000: 77).

b) Letak Antigen
Antigen ditemukan di permukaan seluruh sel, tetapi dalam keadaan normal, sistem
kekebalan seseorang tidak bereaksi terhadap sel-nya sendiri. Sehingga dapat dikatakan antigen
merupakan sebuah zat yang menstimulasi tanggapan imun, terutama dalam produksi antibodi.
Antigen biasanya protein atau polisakarida, tetapi dapat juga berupa molekul Iainnya.
Permukaan bakteri mengandung banyak protein dan polisakarida yang bersifat antigen,
sehingga antigen bisa merupakan bakteri, virus, protein, karbohidrat, sel-sel kanker, dan racun.

c) Karakteristik
Karakteristik antigen yang sangat menentukan imunogenitas respon imun adalah sebagai
berikut:
 Asing (berbeda dari self )
Pada umumnya, molekul yang dikenal sebagai self tidak bersifat imunogenik, jadi untuk
menimbulkan respon imun, molekul harus dikenal sebagai nonself.
 Ukuran molekul
Imunogen yang paling poten biasanya merupakan protein berukuran besar. Molekul
dengan berat molekul kurang dari 10.000 kurang bersifat imunogenik dan yang berukuran
sangat kecil seperti asam amino tidak bersifat imunogenik.
 Kompleksitas kimiawi dan struktural
Jumah tertentu kompleksitas kimiawi sangat diperlukan, misalnya homopolimer asam
amino kurang bersifat munogenik dibandingkan dengan heteropolimer yang mengandung dua
atau tiga asam amino yang berbeda.
 Determinan antigenic (epitop)
Unit terkecil dari antigen kompleks yang dapat dikat antibody disebut dengan determinan
antigenic atau epitop. Antigen dapat mempunyai satu atau lebih determinan. Suatu determinan
mempunyai ukuran lima asam amino atau gula.
 Tatanan genetic penjamu
Dua strain binatang dari spesies yang sama dapat merespon secara berbeda terhadap
antigen yang sama karena perbedaan komposisi gen respon imun.
 Dosis, cara dan waktu pemberian antigen

9
Respon imun tergantung kepada banyaknya natigen yang diberikan, maka respon imun
tersebut dapat dioptmalkan dengan cara menentukan dosis antigen dengan cermat (termasuk
jumlah dosis), cara pemberian dan waktu pemberian (termasuk interval diantara dosis yang
diberikan)

d) Pembagian Antigen
 Secara fungsional
 Imunogen, yaitu molekul besar (disebut molekul pembawa).
 Hapten, yaitu kompleks yang terdiri atas molekul kecil.

 Pembagian antigen menurut epitop


 Unideterminan, univalent yaitu hanya satu jenis determinan atau epitop pada
satu molekul.
 Unideterminan, multivalent yaitu hanya satu determinan tetapi dua atau lebih determian
tersebut ditemukan pada satu molekul.
 Multideterminan, univalent yaitu banyak epitop yang bermacam-macam tetapi hanya satu
dari setiap macamnya (kebanyakan protein).
 Multideterminan, multivalent yaitu banyak macam determinan dan banyak dari setiap
macam pada satu molekul (antigen dengan berat molekul yang tinggi dan kompleks secara
kimiawi). (Baratawidjaja 1991: 14)
 Pembagian antigen menurut spesifisitas
 Heteroantigen, yaitu antigen yang terdapat pada jaringan dari spesies yang berbeda.
 Xenoantigen yaitu antigen yang hanya dimiliki spesies tertentu.
 Alloantigen (isoantigen) yaitu antigen yang spesifik untuk individu dalam satu spesies.
 Antigen organ spesifik, yaitu antigen yang dimilki oleh organ yang sama dari spesies yang
berbeda.
 Autoantigen, yaitu antigen yang dimiliki oleh alat tubuh sendiri (Baratawidjaja 1991: 14-15;
Sell : 9–10).
 Pembagian antigen menurut ketergantungan terhadap sel T
 T dependent yaitu antigen yang memerlukan pengenalan oleh sel T dan sel B untuk dapat
menimbulkan respons antibodi. Sebagai contoh adalah antigen protein.
 T independent yaitu antigen yang dapat merangsang sel B tanpa bantuan sel Tuntuk
membentuk antibodi. Antigen tersebut berupa molekul besar polimerik yang dipecah di dalam
badan secara perlahan-lahan, misalnya lipopolisakarida, ficoll, dekstran, levan, dan flagelin
polimerik bakteri.(Baratawidjaja 1991: 15).
 Pembagian antigen menurut sifat kimiawi
 Hidrat arang (polisakarida)

10
Hidrat arang pada umumnya imunogenik. Glikoprotein dapat menimbulkan respon imun
terutama pembentukan antibodi. Respon imun yang ditimbulkan golongan darah ABO,
mempunyai sifat antigen dan spesifisitas imun yang berasal dari polisakarida pada permukaan
sel darah merah.
 Lipid
Lipid biasanya tidak imunogenik, tetapi menjadi imunogenik bila diikat oleh
protein carrier. Lipid dianggap sebagai hapten, sebagai contoh adalah sphingolipid.
 Asam nukleat
Asam nukleat tdak imunogenik, tetapi menjadi imunogenik bila diikat oleh
protein carrier. DNA dalam bentuk heliksnya biasanya tidak imunogenik. Respon imun
terhadap DNA terjadi pada penderita dengan SLE.
 Protein
Kebanyakan protein adalah imunogenik dan pada umunya multideterminan
univalent.(Baratawidjaja 1991: 15)

e) Reaksi Antigen dan Antibodi


Dalam lingkungan sekitar kita terdapat banyak substansi bermolekul kecil yang bisa
masuk ke dalam tubuh. Substansi kecil tersebut bisa menjadi antigen bila dia melekat pada
protein tubuh kita yang dikenal dengan istilah hapten. Substansi-substansi tersebut lolos dari
barier respon non spesifik (eksternal maupun internal), kemudian substansi tersebut masuk dan
berikatan dengan sel limfosit B yang akan mensintesis pembentukan antibodi.
Sebelum pertemuan pertamanya dengan sebuah antigen, sel-sel-B menghasilkan
molekul immunoglobulin IgM dan IgD yang tergabung pada membran plasma untuk berfungsi
sebagai reseptor antigen. Sebuah antigen merangsang sel untuk membuat dan menyisipkan
dalam membrannya molekul immunoglobulin yang memiliki daerah pengenalan spesifik untuk
antigen itu. Setelah itu, limfosit harus membentuk immunoglobulin untuk antigen yang sama.
Pemaparan kedua kali terhadap antigen yang sama memicu respon imun sekunder yang segera
terjadi dan meningkatkan titer antibodi yang beredar sebanyak 10 sampai 100 kali kadar
sebelumnya. Sifat molekul antigen yang memungkinkannya bereaksi dengan antibodi disebut
antigenisitas. Kesanggupan molekul antigen untuk menginduksi respon imun disebut
imunogenitas.

Terdapat berbagai kategori Interaksi antigen-antibodi, kategori tersebut antara lain:


 Primer
Interaksi tingkat primer adalah saat kejadian awal terikatnya antigen dengan antibodi pada
situs identik yang kecil, bernama epitop.
 Sekunder
Interaksi tingkat sekunder terdiri atas beberapa jenis interaksi, di antaranya:

11
 Netralisasi
Adalah jika antibodi secara fisik dapat menghalangi sebagian antigen menimbulkan effect
yang merugikan. Contohnya adalah dengan mengikat toksin bakteri, antibody mencegah zat
kimia ini berinteraksi dengan sel yang rentan.
 Aglutinasi
Adalah jika sel-sel asing yang masuk, misalnya bakteri atau transfusi darah yang tidak cocok
berikatan bersama-sama membentuk gumpalan
 Presipitasi
Adalah jika komplek antigen-antibodi yang terbentuk berukuran terlalu besar, sehingga tidak
dapat bertahan untuk terus berada di larutan dan akhirnya mengendap.
 Fagositosis
Adalah jika bagian ekor antibodi yang berikatan dengan antigen mampu mengikat reseptor
fagosit (sel penghancur) sehingga memudahkan fagositosis korban yang mengandung antigen
tersebut.
 Sitotoksis
Adalah saat pengikatan antibodi ke antigen juga menginduksi serangan sel pembawa antigen
oleh killer cell (sel K). Sel K serupa dengan natural killer cell kecuali bahwa sel K
mensyaratkan sel sasaran dilapisi oleh antibodi sebelum dapat dihancurkan melalui proses
lisis membran plasmanya.
 Tersier
Interaksi tingkat tersier adalah munculnya tanda-tanda biologik dari interaksi antigen-
antibodi yang dapat berguna atau merusak bagi penderitanya.
2. Antibodi
a) Pengertian
Antibodi adalah protein immunoglobulin yang disekresi oleh sel B yang teraktifasi oleh
antigen. Antibodi merupakan senjata yang tersusun dari protein dan dibentuk untuk melawan
sel-sel asing yang masuk ke tubuh manusia. Senjata ini diproduksi oleh sel-sel B, sekelompok
prajurit pejuang dalam sistem kekebalan. Antibodi akan menghancurkan musuh-musuh
penyerbu.

b) Fungsi
 Untuk mengikatkan diri kepada sel-sel musuh, yaitu antigen.
 Membusukkan struktur biologi antigen tersebut lalu menghancurkannya.

c) Sifat Antibodi
Antibodi mempunyai sifat yang sangat luar biasa, karena untuk membuat antibodi
spesifik untuk masing-masing musuh merupakan proses yang luar biasa, dan pantas dicermati.
Proses ini dapat terwujud hanya jika sel-sel B mengenal struktur musuhnya dengan baik. Dan,

12
di alam ini terdapat jutaan musuh (antigen). Dia mengetahui polanya berdasarkan perasaan.
Sulit bagi seseorang untuk mengingat pola kunci, walau cuma satu, Akan tetapi, satu sel B
yang sedemikian kecil untuk dapat dilihat oleh mata, menyimpan jutaan bit informasi dalam
memorinya, dan dengan sadar menggunakannya dalam kombinasi yang tepat.

d) Proses Pembentukan Antibodi


 Antibodi terbentuk secara alami di dalam tubuh manusia dimana substansi tersebut
diwariskan dari ibu ke janinnya melalui inntraplasenta. Antibody yang dihasilkan pada bayi
yang baru lahir titier masih sangat rendah, dan nanti antibody tersebut berkembang seiring
perkembangan seseorang.
 Pembentukan antibody karena keterpaparan dengan antigen yang menghasilkan reaksi
imunitas, dimana prosesnya adalah:
Misalnya bakteri salmonella. Saat antigen (bakteri salmonella) masuk ke dalam tubuh, maka
tubuh akan meresponnya karena itu dianggab sebagai benda asing. karena bakteri ini sifatnya
interseluler maka dia tidak sanggup untuk di hancurkan dalam makrofag karena bakteri ini juga
memproduksi toksinsebagai pertahanan tubuh. Oleh karena itu makrofag juga memproduksi
APC yang berfungsi mempresentasikan antigen terhadap limfosit.agar respon imun
berlangsung dengan baik.Ada dua limfosit yaitu limfosit B dan limfosit T.

e) Klasifikasi Antibodi
 IgG (Imuno globulin G)
IgG merupakan antibodi yang paling umum. Dihasilkan hanya dalam waktu beberapa
hari, ia memiliki masa hidup berkisar antara beberapa minggu sampai beberapa tahun. IgG
beredar dalam tubuh dan banyak terdapat pada darah, sistem getah bening, dan usus. Mereka
mengikuti aliran darah, langsung menuju musuh dan menghambatnya begitu terdeteksi.
Mereka mempunyai efek kuat anti-bakteri dan penghancur antigen. Mereka melindungi tubuh
terhadap bakteri dan virus, serta menetralkan asam yang terkandung dalam racun.
Selain itu, IgG mampu menyelip di antara sel-sel dan menyingkirkan bakteri serta musuh
mikroorganis yang masuk ke dalam sel-sel dan kulit. Karena kemampuannya serta ukurannya
yang kecil, mereka dapat masuk ke dalam plasenta ibu hamil dan melindungi janin dari
kemungkinan infeksi. Jika antibodi tidak diciptakan dengan karakteristik yang memungkinkan
mereka untuk masuk ke dalam plasenta, maka janin dalam rahim tidak akan terlindungi
melawan mikroba. Hal ini dapat menyebabkan kematian sebelum lahir. Karena itu, antibodi
sang ibu akan melindungi embrio dari musuh sampai anak itu lahir.

 IgA (Imuno globulin A)


Antibodi ini terdapat pada daerah peka tempat tubuh melawan antigen seperti air mata,
air liur, ASI, darah, kantong-kantong udara, lendir, getah lambung, dan sekresi usus. Kepekaan

13
daerah tersebut berhubungan langsung dengan kecenderungan bakteri dan virus yang lebih
menyukai media lembap seperti itu. Secara struktur, IgA mirip satu sama lain. Mereka
mendiami bagian tubuh yang paling mungkin dimasuki mikroba. Mereka menjaga daerah itu
dalam pengawasannya layaknya tentara andal yang ditempatkan untuk melindungi daerah
kritis.
Antibodi ini melindungi janin dari berbagai penyakit pada saat dalam kandungan. Setelah
kelahiran, mereka tidak akan meninggalkan sang bayi, melainkan tetap melindunginya. Setiap
bayi yang baru lahir membutuhkan pertolongan ibunya, karena IgA tidak terdapat dalam
organisme bayi yang baru lahir. Selama periode ini, IgA yang terdapat dalam ASI akan
melindungi sistem pencernaan bayi terhadap mikroba. Seperti IgG, jenis antibodi ini juga akan
hilang setelah mereka melaksanakan semua tugasnya, pada saat bayi telah berumur beberapa
minggu.
 IgM (Imuno globulin M)
Antibodi ini terdapat pada darah, getah bening, dan pada permukaan sel B. Pada saat
organisme tubuh manusia bertemu dengan antigen, IgM merupakan antibodi pertama yang
dihasilkan tubuh untuk melawan musuh. Janin dalam rahim mampu memproduksi IgM pada
umur kehamilan enam bulan. Jika musuh menyerang janin, jika janin terinfeksi kuman
penyakit, produksi IgM janin akan meningkat. Untuk mengetahui apakah janin telah terinfeksi
atau tidak, dapat diketahui dari kadar IgM dalam darah.

 IgD (Imuno globulin D): IgD juga terdapat dalam darah, getah bening, dan pada
permukaan sel B. Mereka tidak mampu untuk bertindak sendiri-sendiri. Dengan menempelkan
dirinya pada permukaan sel-sel T, mereka membantu sel T menangkap antigen.

 IgE (Imuno globulin E)


IgE merupakan antibodi yang beredar dalam aliran darah. Antibodi ini bertanggung jawab
untuk memanggil para prajurit tempur dan sel darah lainnya untuk berperang. Antibodi ini
kadang juga menimbulkan reaksi alergi pada tubuh. Karena itu, kadar IgE tinggi pada tubuh
orang yang sedang mengalami alergi.

2.7 SISTEM KOMPLEMEN


Sistem komplemen adalah suatu sistem yang terdiri dari seperangkat kompleks protein
yang satu dengan lainnya sangat berbeda. Pada kedaan normal komplemen beredar di sirkulasi
darah dalam keadaan tidak aktif, yang setiap saat dapat diaktifkan melalui dua jalur yang tidak
tergantung satu dengan yang lain, disebut jalur klasik dan jalur alternatif. Aktivasi sistem
komplemen menyebabkan interaksi berantai yang menghasilkan berbagai substansi biologik

14
aktif yang diakhiri dengan lisisnya membran sel antigen. Aktivasi sistem komplemen tersebut
selain bermanfaat bagi pertahanan tubuh, sebaliknya juga dapat membahayakan bahkan
mengakibatkan kematian, hingga efeknya disebut seperti pisau bermata dua. Bila aktivasi
komplemen akibat endapan kompleks antigen-antibodi pada jaringan berlangsung terus-
menerus, akan terjadi kerusakan jaringan dan dapat menimbulkan penyakit.
Komplemen sebagian besar disintesis di dalam hepar oleh sel hepatosit, dan juga oleh
sel fagosit mononuklear yang berada dalam sirkulasi darah. Komplemen C l juga dapat di
sintesis oleh sel epitel lain diluar hepar. Komplemen yang dihasilkan oleh sel fagosit
mononuklear terutama akan disintesis ditempat dan waktu terjadinya aktivasi. Sebagian dari
komponen protein komplemen diberi nama dengan huruf C: Clq, Clr, CIs, C2, C3, C4, C5, C6,
C7, C8 dan C9 berurutan sesuai dengan urutan penemuan unit tersebut, bukan menurut cara
kerjanya

1. Aktivasi Komplemen
a) Aktivasi komplemen jalur klasik
Aktivasi komplemen melalui jalur klasik atau disebut pula jalur intrinsik, dibagi
menjadi 3 tahap.
 Regulasi jalur klasik, terjadi melalui 2 fase, yaitu melalui aktivitas C1 inhibitor dan
penghambatan C3 konvertase.

 Aktivitas C1 inhibitor
Aktivitas proteolitik C1 dihambat oleh C1 inhibitor (C1 INH). Sebagian besar C1 dalam
peredaran darah terikat pada C1 INH. Ikatan antara C1 dengan kompleks antigen-antibodi akan
melepaskan C1 dari hambatan C1 INH.

 Penghambatan C3 konvertase Pembentukan C3 konvertase dihambat oleh beberapa


regulator.
b) Aktivasi komplemen jalur alternatif
Aktivasi jalur alternatif atau disebut pula jalur properdin, terjadi tanpa melalui tiga
reaksi pertama yang terdapat pada jalur klasik (C1 ,C4 dan C2) dan juga tidak memerlukan
antibodi IgG dan IgM. Pada keadaan normal ikatan tioester pada C3 diaktifkan terus menerus
dalam jumlah yang sedikit baik melalui reaksi dengan H2O2 ataupun dengan sisa enzim
proteolitik yang terdapat sedikit di dalam plasma. Komplemen C3 dipecah menjadi frclgmen
C3a dan C3b. Fragmen C3b bersama dengan ion Mg++ dan faktor B membentuk C3bB.
Fragmen C3bB diaktifkan oleh faktor D menjadi C3bBb yang aktif (C3 konvertase) (Lihat
Gambar 5-2). Pada keadaan normal reaksi ini berjalan terus dalam jumlah kecil sehingga tidak
terjadi aktivasi komplemen selanjutnya. Lagi pula C3b dapat diinaktivasi oleh faktor H dan
faktor I menjadi iC3b, dan selanjutnya dengan pengaruh tripsin zat yang sudah tidak aktif ini

15
dapat dilarutkan dalam plasma (lihat Gambar 5-3 ) . Tetapi bila pada suatu saat ada bahan atau
zat yang dapat mengikat dan melindurlgi C3b dan menstabilkan C3bBb sehingga jumlahnya
menjadi banyak, maka C3b yang terbentuk dari pemecahan C3 menjadi banyak pula, dan
terjadilah aktivasi komplemen selanjutnya. Bahan atau zat tersebut dapat berupa
mikroorganisme, polisakarida (endotoksin, zimosan), dan bisa ular. Aktivasi komplemen
melalui cara ini dinamakan aktivasi jalur alternatif. Antibodi yang tidak dapat mengaktivasi
jalur klasik misalnya IgG4, IgA2 dan IgE juga dapat mengaktifkan komplemen melalui jalur
alternatif. Jalur alternatif mulai dapat diaktifkan bila molekul C3b menempel pada sel sasaran.
Dengan menempelnya C3b pada permukaan sel sasaran tersebut, maka aktivasi jalur alternatif
dimulai; enzim pada permukaan C3Bb akan lebih diaktifkan, untuk selanjutnya akan
mengaktifkan C3 dalam jumlah yang besar dan akan menghasilkan C3a dan C3b dalam jumlah
yang besar pula. Pada reaksi awal ini suatu protein lain, properdin dapat ikut beraksi
menstabilkan C3Bb; oleh karena itu seringkali jalur ini juga disebut sebagai jalur properdin.
Juga oleh proses aktivasi ini C3b akan terlindungi dari proses penghancuran oleh faktor H dan
faktor I. Tahap akhir jalur alternatif adalah aktivasi yang terjadi setelah lingkaran aktivasi C3.
C3b yang dihasilkan dalam jumlah besar akan berikatan pada permukaan membran sel.
Komplemen C5 akan berikatan dengan C3b yang berada pada permukaan membran sel dan
selanjutnya oleh fragmen C3bBb yang aktif akan dipecah menjadi C5a dan C5b. Reaksi
selanjutnya seperti yang terjadi pada jalur altematif (kompleks serangan membran).

2. Efek Biologik Komplemen


Fungsi sistem komplemen pada pertahanan tubuh dapat dibagi dalam dua golongan
besar, 1) lisis sel sasaran oleh kompleks serangan membran, dan 2) sifat biologik aktif fragmen
yang terbentuk selama aktivasi.
a) Sitolisis
Pada aktivasi sitolisis ini (kompleks serangan membran) yang berfungsi adalah C5-C9.
Mekanisme ini sangat penting bagi pertahanan tubuh melawan mikrooorganisme. Proses lisis
ini dapat melalui jalur alternatif maupun jalur klasik.

b) Sifat biologik aktif


Opsonisasi dan peningkatan fungsi fagositosis
Fagositosis yang diperkuat oleh proses opsonisasi C3b dan iC3b mungkin merupakan
mekanisme pertahanan utama terhadap infeksi bakteri dan jamur secara sistemik Fagositosis
ini juga lebih meningkat bilamana bakteri disamping berikatan dengan komplemen juga
berikatan dengan antibodi IgG atau IgM. Melekatnya antibodi dan fragmen komplemen pada
reseptor spesifik yang terdapat pada sel fagosit tidak hanya menyebabkan opsonisasi, tetapi
juga memacu untuk terjadinya fagositosis.
Anafilaksis dan kemotaksis

16
C3a, C4a dan C5a disebut anafilatoksin oleh karena dapat memacu sel mast dan sel
basofil untuk melepaskan mediator kimia yang dapat meningkatkan permeabilitas dan
kontraksi otot polos vaskular. Reseptor C3a dan C4a terdapat pada permukaan sel mast, sel
basofil, otot polos dan limfosit. Reseptor C5a terdapat pada permukaan sel mast, basofil,
netrofil, monosit, makrofag, dan sel endotelium.
Melekatnya anafilatoksin pada reseptor yang terdapat pada otot polos menyebabkan kontraksi
otot polos tersebut. Untuk mekanisme ini C5a adalah yang paling poten dan C4a adalah yang
paling lemah.
C5a juga mempunyai sifat yang tidak dimiliki oleh C3a dan C4a; oleh karena C5a juga
mempunyai reseptor yang spesifik pada permukaan sel-sel fagosit maka C5a dapat menarik
sel-sel fagosit tersebut bergerak ke tempat mikroorganisme, benda asing atau jaringan yang
rusak; proses ini disebut kemotaksis. Juga setelah melekat C5a dapat merangsang metabolisme
oksidatif dari sel fagosit tersebut sehingga dapat meningkatkan daya untuk memusnahkan
mikroorganisme atau benda asing tersebut

Proses peradangan
Kombinasi dari semua fungsi yang tersebut diatas mengakibatkan terkumpulnya sel-sel
dan serum protein yang diperlukan untuk terjadinya proses dalam rangka memusnahkan
mikroorganisme atau benda asing tersebut; proses ini disebut peradangan.

Pelarutan dan eliminasi kompleks imun


Kompleks imun dalam jumlah kecil selalu terbentuk dalam sirkulasi, dan dapat
meningkat secara dramatis bilamana terdapat peningkatan antigen. Kompleks imun ini
bilamana berlebihan dapat membahayakan oleh karena dapat mengendap pada dinding
pembuluh darah, mengaktivasi komplemen dan menimbulkan kerusakan jaringan.
Pembentukan kompleks imun bilamana berlebihan, tidak hanya membutuhkan Fab dari
imunoglobulin tetapi juga interaksi dengan Fc. Oleh karena itu pengikatan komplemen pada
Fc immunoglobulin suatu kompleks imun dapat membuat ikatan antigen-antibodi yang sudah
terbentuk menjadi lemah.
Untuk menetralkan terbentuknya kompleks imun yang berlebihan ini, sistem
komplemen dapat meningkatkan fungsi fagosit. Fungsi ini terutama oleh reseptor yang terdapat
pada permukaan eritrosit. Kompleks imun yang beredar mengaktifkan komplemen dan
mengaktifkan fragmen C3b yang menempel pada antigen. Kompleks tersebut akan berikatan
dengan reseptor pada permukaan eritrosit. Pada waktu sirkulasi eritrosit melewati hati dan
limpa, maka sel fagosit dalam limpa dan hati (sel Kupffer) dapat membersihkan kompleks imun
yang terdapat pada permukaan sel eritrosit tersebut.

3. Regulasi

17
Aktivasi komplemen dikontrol melalui tiga mekanisme utama, yaitu
a) komponen komplemen yang sudah diaktifkan biasanya ada dalam bentuk yang tidak stabil
sehingga bila tidak berikatan dengan komplemen berikutnya akan rusak,
b) adanya beberapa inhibitor yang spesifik misalnya C1 esterase inhibitor, faktor I dan faktor
H,
c) pada permukaan membran sel terdapat protein yang dapat merusak fragmen komplemen
yang melekat.

Regulasi jalur klasik Regulasi jalur klasik terutama terjadi melalui 2 fase, yaitu melalui
aktivitas C1 inhibitor dan penghambatan C3 konvertase.

Regulasi jalur alternatif


Jalur altematif juga di regulasi pada berbagai fase oleh beberapa protein dalam sirkulasi
maupun yang terdapat pada permukaan membran. Faktor H berkompetisi dengan faktor B dan
Bb untuk berikatan dengan C3b. Juga CR1 dan DAF dapat berikatan dengan C3b sehingga
berkompetisi dengan faktor B. Dengan adanya hambatan ini maka pembentukan C3 konvertase
juga dapat dihambat. Faktor I, menghambat pembentukan C3bBb; dalam fungsinya ini faktor
I dibantu oleh kofaktor H, CR1 dan MCP. Faktor I memecah C3b dan yang tertinggal melekat
pada permukaan sel adalah inaktif C3b (iC3b), yang tidak dapat membentuk C3 konvertase,
selanjutnya iC3b dipecah menjadi C3dg dan terakhir menjadi C3d.

2.8 SEL-SEL SISTEM IMUN

1. Sel-Sel Sistem Imun Nonspesifik


Sel sistem imun non spesifik bereaksi tanpa memandang apakah agen pencetus pernah
atau belum pernah dijumpai. Reaksinya pun tidak perlu diaktivasi terlebih dahulu seperti pada
sistem imun spesifik. Lebih jauh lagi respon imun non spesifik merupakan lini pertama
pertahanan terhadap berbagai faktor yang mengancam. Sel-sel yang berperan dalamnsistem
imun nonspesifik adalah sel fagosit, sel nol, dan sel mediator.
a) Sel Fagosit
Sel fagosit terbagi dua jenis, yaitu fagosit mononuclear dan fagosit polimorfonuklear.
Fagosit mononuclear terdiri dari sel monosit dan sel makrofag, sedangkan fagosit
polimorfonuclear terdiri dari neutrofil dan eusinofil.

Sel Monosit dan Sel Makrofag


Persentase sel monosit dalam sel darah putih berkisar 5 %. Monosit bersirkulasi dalam
darah hanya selama beberapa jam, kemudian bermigrasi ke dalam jaringan, dan berkembang
menjadi makrofaga (macrophage) besar (pemangsa besar). Makrofaga jaringan, yang

18
merupakan sel-sel fagositik terbesar, adalah fagosit yang sangat efektif dan berumur panjang.
Sel-sel ini menjulurkan kaki semu (psedopodia) yang panjang yang dapat menempel ke
polisakarida pada permukaan mikroba dan menelan mikroba itu, sebelum kemudian dirusak
oleh enzim-enzim di dalam lisosom makrofaga itu.
Beberapa makrofaga bermigrasi ke seluruh tubuh, sementara yang lain tetap tinggal
secara permanen dalam jaringan tertentu: dalam paru-paru (makrofaga alveoli), hati (sel-sel
Kupffer), ginjal (sel-sel mesangial), otak (sel-sel mikroglia), jaringan ikat (histiosit), dan pada
limpa, nodus limfa, serta jaringan limfatik. Mikroorganisme, fragmen mikroba, dan molekul
asing yang memasuki darah menghadapi makrofaga ketika mereka terjerat dalam bangun limpa
yang mirip dengan jarring, sementara yang berada dalam cairan jaringan mengalir ke dalam
limfa dan disaring melalui nodus limfa.
Namun, beberapa mikroba telah mengevolusikan mekanisme untuk menghindari
perusakan oleh sel fagositik. Beberapa bakteri mempunyai kapsul bagian luar yang tidak dapat
ditempeli makrofaga. Contoh bakteri tersebut adalah Mycobacterium tuberculosis, yang
bersifat resisten terhadap perusakan oleh lisosom dan bahkan dapat bereproduksi di dalam
makrofaga.

Sel Neutrofil
Neutrofil merupakan sel fagosit yang berasal dari sel bakal myeloid dalam sumsum
tulang. Jumlahnya sekitar 60-70% dari semua sel darah putih (leukosit). Neutrofil adalah
fagosit pertama yang tiba, diikuti oleh monosit darah, yang berkembang menjadi makrofaga
besar dan aktif. Sel-sel yang dirusak oleh mikroba yang menyerang membebaskan sinyal
kimiawi yang menarik neutrofil dari darah untuk datang. Neutrofil itu akan memasuki jaringan
yang terinfeksi, lalu menelan dan merusak mikroba yang ada disana. (Migrasi menuju sumber
zat kimia yang mengundang ini disebut kemotaksis). Di dalam neutrofil terdapat enzim lisozim
dan laktoferin untuk menghancurkan bakteri atau benda asing lainnya yang telah difagositosis.
Setelah memfagositosis 5-20 bakteri, neutrofil mati dengan melepaskan zat-zat limfokin yang
mengaktifasi makrofag. Biasanya, neutrofil hanya berada dalam sirkulasi kurang dari 48 jam
karena neutrofil cenderung merusak diri sendiri ketika mereka merusak penyerang asing.

Sel Eusinofil
Sama seperti sel fagosit lainnya, sel eosinofil berasal dari sel bakal myeloid. Ukuran sel
ini sedikit lebih besar daripada neutrofil dan berfungsi juga sebagai fagosit. Eosinofil berjumlah
2-5% dari sel darah putih. Peningkatan eosinofil di sirkulasi darah dikaitkan dengan keadaan-
keadaan alergi dan infeksi parasit internal (contoh, cacing darah atau Schistosoma mansoni).
Walaupun kebanyakan parasit terlalu besar untuk dapat difagositosis oleh eosinofil atau oleh
sel fagositik lain, namun eosinofil dapat melekatkan diri pada parasit melalui molekul
permukaan khusus, dan melepaskan bahan-bahan yang dapat membunuh banyak parasit. Selain

19
itu, eosinofil juga memiliki kecenderungan khusus untuk berkumpul dalam jaringan yang
memiliki reaksi alergi. Kecendrungan ini disebabkan oleh faktor kemotaktik yang dilepaskan
oleh sel mast dan basofil yang menyebabkan eosinofil bermigrasi kearah jaringan yang
meradang. Sel fagosit terutama makrofag dan neutrofil; memiliki peran besar dalam proses
peradangan. Untuk melaksanakan fungsi tersebut sel fagosit juga berinteraksi dengan
komplemen dan sistem imun spesifik lainnya.
b) Sel Nol
Sel Natural Killer (Sel NK) merupakan golongan limfosit tapi tidak mengandung
petanda seperti pada permukaan sel B dan sel T. Oleh karena itu disebut sel nol. Sel ini beredar
dalam pembuluh darah sebagai limfosit besar yang khusus, memiliki granular spesifik yang
memiliki kemampuan mengenal dan membunuh sel abnormal, seperi sel tumor dan sel yang
terinfeksi oleh virus. Sel NK berperan penting dalam imunitas nonspesifik pada patogen
intraseluler. Sel jenis khusus mirip limfosit yang diproduksi di dalam sumsum tulang ini juga
tersedia di limpa, nodus limfa, dan timus dan merupakan 10 % – 20 % bagian dari limfosit
perifer. Bentuknya lebih besar dari limfosit B dan limfosit T.

c) Sel Mediator
Sel yang termasuk sel mediator adalah sel basofil, sel mast, dan trombosit. Sel tersebut
disebut sebagai mediator dikarenakan melepaskan berbagai mediator yang berperan dalam
sistem imun.

Sel basofil dan sel mast


Basofil adalah jenis leukosit yang paling sedikit jumlahnya dan diduga juga dapat
berfungsi sebagai fagosit. Sel basofil secara struktural dan fungsional mirip dengan sel mast,
yang tidak pernah beredar dalam darah tapi tersebar di jaringan ikat di seluruh tubuh. Awalnya
sel basofil dianggap berubah menjadi sel mast dengan bermigrasi dari sistem sirkulasi, tapi
para peneliti membuktikan bahwa basofil berasal dari sumsum tulang sedangkan sel mast
berasal dari sel prekursor yang terletak di jaringan ikat. Ada dua macam sel mast yaitu
terbanyak sel mast jaringan dan sel mast mukosa. Yang pertama ditemukan di sekitar pembuluh
darah dan mengandung sejumlah heparin dan histamine. Sel mast yang kedua ditemukan di
slauran cerna dan napas. Proliferasinya dipacu IL-3 dan IL-4 dan ditingkatkan pada infeksi
parasit. Baik sel basofil maupun sel mast memiliki reseptor untuk IgE dan karenanya dapat
diaktifkan oleh alergen spesifik yang berkaitan dengan antibodi IgE. Kemudian bila terdapat
alergen spesifik berikutnya yang bereaksi dengan antibodi, maka perlekatan keduanya
menyebabkan sel mast atau basofil rupture dan melepaskan banyak sekali histamin, bradikinin,
serotonin, heparin, substansi anafilaksis yang bereaksi lambat, dan sejumlah enzim lisosomal.

20
Bahan-bahan inilah yang menyebabkan manifestasi alergi. Selain itu keduanya pun dapat
membentuk dan menyimpan heparin dan histamin.

Trombosit
Trombosit adalah fragmen sel yang berasal dari megakariosit besar di sumsum tulang
belakang. Trombosit berperan dalam pembatasan daerah yang meradang, dimana apabila
terpajan ke tromboplastin jaringan di jaringan yang cedera maka fibrinogen, yang telah
diaktifkan melalui proses berjenjang yang melibatkan pengaktifan suksesif faktor-faktor
pembekuan, diubah menjadi fibrin. Fibrin inilah yang membentuk bekuan cairan interstitiumdi
ruang-ruang di sekitar bakteri dan sel yang rusak.

2. Sel-sel Sistem Imun Spesifik


a) Sel T
Karakteristik Sel T
 Sel T tidak mengeluarkan antibodi. Sel –sel ini harus berkontak langsung dengan sasaran
suatu proses yang dikenal sebagai immunitas yang diperantarai oleh sel (cell-mediated
immunity, imunitas seluler).
 Bersifat klonal dan sangat spesifik antigen. Di membran plasmanya, setiap Sel T memiliki
protein-protein reseptor unik.
 Sel T diaktifkan oleh antigen asing apabila antigen tersebut disajikan di permukaan suatu
sel yang juga membawa penanda identitas individu yang bersangkutan, yaitu, baik antigen
asing maupun antigen diri harus terdapat di permukaan sel sebelum sel T dapat mengikuti
keduanya.
 Tidak semua turunan sel T yang teraktivasi menjadi sel T efektor. Sebagian kecil tetap
dorman, berfungsi sebagai cadangan sel T pengingat yang siap merespon secara lebih cepat
dan kuat apabila antigen asing tersebut muncul kembali di sel tubuh.
 Selama pematangan di timus, sel T mengenal antigen asing dalam kombinasi dengan
antigen jaringan individu itu sendiri, suatu pelajaran yang diwariskan ke semua turunan sel T
berikutnya
 Diperlukan waktu beberapa hari setelah pajanan antigen tertentu sebelum sel T teraktivasi
besiap untuk melancarkan serangan imun seluler.

Subpopulasi sel T
Ketika sel T terpajan ke kombinasi antigen spesifik, sel-sel dari sel klon sel T
komplementer berproliferisai dan berdiferensiasi selama beberapa hari, menghasilkan
sejumlah besar sel T teraktivasi yang melaksanakan berbagai respons imunitas seluler.
Terdapat tiga subpopulasi sel T, tergantung pada peran mereka setelah diaktifkan oleh antigen.

21
 Sel Tc (cytotocic)
Sel T yang menghancurkan sel penjamu yang memiliki antigen asing, misalnya sel
tubuh yang dimasuki oleh virus, sel kanker, dan sel cangkokan.
 Sel Th (helper)
Berperan menolong sel B dalam memproduksi antibodi, memperkuat aktivitas sel T
sitotoksik dan sel T penekan (supresor) yang sesuai, dan mengaktifkan makrofag.
 Sel Ts (supperssor)
Sel T yang menekan produksi antibodi sel B dan aktivitas sel T sitotoksik dan penolong.
Sebagian besar dati milyaran Sel T diperkirakan tergolong dalam subpopulasi penolong dan
penekan, yang tidak secara langsung ikut serta dalam destruksi patogen secara imunologik.
Kedua subpopulasi tersebut disebut sel T regulatorik, karena mereka memodulasi aktivitas sel
B dan Sel T sitotoksik serta aktivitas mereka sendiri dan aktivitas makrofag.
 Sel Tdh (delayed hypersensitivity)
Merupakan sel yang berperan pada pengerahan makrofag dan sel inflamasi lainnya
ketempat terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Dalam fungsinya, sel Tdh sebenarnya
menyerupai sel Th.
 Limfokin
Dalam biakan sel limfosit T dapat ditemukan berbagai bahan yang mempunyai efek
biologic. Bahan-bahan tersebut disebut limfokin dan dilepas sel T yang disensitisasi. Beberapa
jenis limfokin yaitu: interleukin, interferon, factor supresor, factor penolong , dan sebagainya.

b) Sel B
Sel B merupakan 5-15 % dari jumlah seluruh limfosit dalam sirkulasi. Fungsi utamanya
ialah memproduksi antibodi. Sel B ditandai dengan adanya immunoglobulin yang dibentuk
didalam sel dan kemudian dilepas, tetapi sebagian menempel pada permukaan sel yang
selanjutnya berfungsi sebagai reseptor antigen. Kebanyakan sel perifer mengandung IgM dan
IgD dan hanya beberapa sel yang mengandung IgG, IgA, dan IgE, pada permukaannya. Sel B
dengan IgA banyak ditemukan dalam usus. Antibody permukaan tersebut dapat ditemukan
dengan teknik imunofluoresen.

2.9 REAKSI HIPERSENSITIVITAS


Pada keadaan normal, mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun selular
tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau gangguan
mekanisme ini, akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi
hipersensitivitas.

22
Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu
tipe I hipersensitif anafilaktik, tipe II hipersensitif sitotoksik yang bergantung antibodi, tipe III
hipersensitif yang diperani kompleks imun, dan tipe IV hipersensitif cell-
mediated (hipersensitif tipe lambat). Selain itu masih ada satu tipe lagi yang disebut sentivitas
tipe V atau stimulatory hipersensitivity. Pembagian reaksi hipersensitivitas oleh Gell dan
Coombs adalah usaha untuk mempermudah evaluasi imunopatologi suatu penyakit. Dalam
keadaan sebenarnya seringkali keempat mekanisme ini saling mempengaruhi. Aktivasi suatu
mekanisme akan mengaktifkan mekanisme yang lainnya.

1. Reaksi Hipersentivitas Tipe I


Reaksi hipersensitivitas tipe I atau anafilaksis atau alergi yang timbul segera sesudah
badan terpajan dengan alergen. Semula diduga bahwa tipe I ini berfungsi untuk melindungi
badan terhadap parasit tertentu terutama cacing. Istilah alergi pertama kali diperkenalkan oleh
Von Pirquet pada tahun 1906, yang diartikan sebagai reaksi pejamu yang berubah. Pada reaksi
ini allergen yang masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan respon imun dengan dibentuknya
Ig E.

Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut :


a) Fase Sensitasi
Waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada
permukaan sel mastosit dan basofil.
b) Fase Aktivasi
Waktu selama terjadi pajanan ulang dengan antigen yang spesifik, mastosit melepas isinya
yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi.
c) Fase Efektor
Waktu terjadi respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek bahan- bahan yang dilepas
mastosit dengan aktivasi farmakologik.
IgE yang sudah dibentuk, biasanya dalam jumlah sedikit, segera diikat oleh mastosit/basofil.
IgE yang sudah ada permukaan mastosit akan menetap untuk beberapa minggu. Sensitasi dapat
juga terjadi secara pasif apabila serum (darah) orang yang alergik dimasukkan ke dalam kulit
atau sirkulasi orang normal.

2. Reaksi Hipersensitivitas Tipe II


Reaksi hipersensitivitas tipe II atau Sitotoksis terjadi karena dibentuknya antibodi jenis
IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Reaksi ini dimulai dengan
antibodi yang bereaksi baik dengan komponen antigenik sel, elemen jaringan atau antigen atau
hapten yang sudah ada atau tergabung dengan elemen jaringan tersebut. Kemudian kerusakan
diakibatkan adanya aktivasi komplemen atau sel mononuklear. Mungkin terjadi sekresi atau

23
stimulasi dari suatu alat misalnya thyroid. Contoh reaksi tipe II ini adalah distruksi sel darah
merah akibat reaksi transfusi, penyakit anemia hemolitik, reaksi obat dan kerusakan jaringan
pada penyakit autoimun. Mekanisme reaksinya adalah sebagai berikut :
a) Fagositosis sel melalui proses apsonik adherence atau immune adherence
b) Reaksi sitotoksis ekstraseluler oleh sel K (Killer cell) yang mempunyai reseptor untuk Fc
c) Lisis sel karena bekerjanya seluruh sistem komplemen

3. Reaksi Hipersensitivitas Tipe III


Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun adalah reaksi yang terjadi bila
kompleks antigen-antibodi ditemukan dalam jaringan atau sirkulasi/ dinding pembuluh darah
dan mengaktifkan komplemen. Antibodi yang bisa digunakan sejenis IgM atau IgG sedangkan
komplemen yang diaktifkan kemudian melepas faktor kemotatik makrofag. Faktor kemotatik
yang ini akan menyebabkan pemasukan leukosit-leukosit PMN yang mulai memfagositosis
kompleks-kompleks imun. Reaksi ini juga mengakibatkan pelepasan zat-zat ekstraselular yang
berasal dari granula-granula polimorf, yakni berupa enzim proteolitik, dan enzim-enzim
pembentukan kinin.
Antigen pada reaksi tipe III ini dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten
(malaria), bahan yang terhirup (spora jamur yang menimbulkan alveolitis alergik ekstrinsik)
atau dari jaringan sendiri (penyakit autoimun). Infeksi dapat disertai dengan antigen dalam
jumlah berlebihan, tetapi tanpa adanya respons antibodi yang efektif.

4. Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV


Reaksi tipe IV disebut juga reaksi hipersensitivitas lambat, cell mediatif immunity
(CMI), Delayed Type Hypersensitivity (DTH) atau reaksi tuberculin yang timbul lebih dari 24
jam setelah tubuh terpajan dengan antigen. Reaksi terjadi karena sel T yang sudah disensitasi
tersebut, sel T dengan reseptor spesifik pada permukaannya akan dirangsang oleh antigen yang
sesuai dan mengeluarkan zat disebut limfokin. Limfosit yang terangsang mengalami
transformasi menjadi besar seperti limfoblas yang mampu merusak sel target yang mempunyai
reseptor di permukaannya sehingga dapat terjadi kerusakan jaringan.
Antigen yang dapat mencetuskan reaksi tersebut dapat berupa jaringan asing (seperti reaksi
allograft), mikroorganisme intra seluler (virus, mikrobakteri, dll). Protein atau bahan kimia
yang dapat menembus kulit dan bergabung dengan protein yang berfungsi sebagai carrier.
Selain itu, bagian dari sel limfosit T dapat dirangsang oleh antigen yang terdapat di permukaan
sel di dalam tubuh yang telah berubah karena adanya infeksi oleh kuman atau virus, sehingga
sel limfosit ini menjadi ganas terhadap sel yang mengandung antigen itu (sel target). Kerusakan
sel atau jaringan yang disebabkan oleh mekanisme ini ditemukan pada beberapa penyakit
infeksi kuman (tuberculosis, lepra), infeksi oleh virus (variola, morbilli, herpes), infeksi jamur
(candidiasis, histoplasmosis) dan infeksi oleh protozoa (leishmaniasis, schitosomiasis).

24
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sistem imun adalah sistem perlindungan pengaruh luar biologis yang dilakukan oleh sel dan
organ khusus pada suatu organisme. Jika sistem kekebalan bekerja dengan benar, sistem ini
akan melindungi tubuh terhadap infeksi bakteri dan virus, serta menghancurkan sel kanker dan
zat asing lain dalam tubuh. Jika sistem kekebalan melemah, kemampuannya melindungi tubuh
juga berkurang, sehingga menyebabkan patogen, termasuk virus yang menyebabkan demam
dan flu, dapat berkembang dalam tubuh. Sistem kekebalan juga memberikan pengawasan
terhadap sel tumor, dan terhambatnya sistem ini juga telah dilaporkan meningkatkan resiko
terkena beberapa jenis kanker.

25
DAFTAR PUSTAKA

http://zahra-sanjaya.blogspot.co.id/2012/06/makalah-dasar-dasar-imunologi.html
file:///G:/Dasar_dasar_imunologi.htm
file:///G:/Tabel-2-sistem_imunologi.htm
file:///G:/imunologi.htm
file:///G:/Fungsi%20 imunologi _dasar.htm

26

Anda mungkin juga menyukai