Anda di halaman 1dari 14

“PENGARUH KEPEMIMPINAN EFEKTIF dan BUDAYA PERUSAHAAN

TERHADAP TINGKAT KETERIKATAN KARYAWAN”

BAB - III

3.1. KAJIAN PUSTAKA

3.1.1. Pengertian Budaya Perusahaan

Budaya Perusahaan atau Budaya Organisasi telah di definisikan dalam beberapa perumusan dari
sudut pandang yang berbeda-beda. Pengertian Budaya Organisasi (untuk selanjutnya dituliskan
sebagai Budaya Perusahaan) menurut Richard M. Hodgetts (2006: hal.154) di definisikan sebagai
nilai-nilai yang di bagikan dan dipercayai yang memampukan para anggota organisasi untuk
mengerti peran mereka dan norma-norma dari organisasi (the shared values and beliefs that
enable members to understand their roles and the norms of the organization).

Sejumlah karakteristik penting yang terkait dengan Budaya Perusahaan telah di ringkaskan
sebagai berikut:
1. Perilaku reguler yang diamati, yang dipahami sebagai bahasa, terminologi dan ritual yang
telah terbiasa digunakan.
2. Norma-norma yang di cerminkan dengan hal-hal seperti sejumlah pekerjaan yang harus
diselesaikan dan tingkat kerjasama antara manajemen dan para karyawan.
3. Nilai-nilai yang dominan yang ditangani oleh Perusahaan dan diharapkan oleh para peserta di
dalamnya untuk dibagikan, seperti misalnya barang atau jasa yang berkualitas tinggi, tingkat
ketidak hadiran yang rendah, dan efisiensi yang tinggi.
4. Sebuah filosofi yang telah di tetapkan dan dipercaya pada perusahaan-perusahaan multi
nasional mengenai bagaimana karyawan dan pelanggan harus diperlakukan.
5. Peraturan-peraturan disampaikan kepada karyawan mengenai hal-hal yang boleh dan tidak
boleh dilakukan berkenaan dengan hal-hal seperti produktifitas, hubungan pelanggan, dan
kerjasama antar group dalam Perusahaan.
6. Iklim organisasi, atau keseluruhan atmosfir perusahaan yang di refleksikan oleh para
partisipan ketika berinteraksi satu sama lain, perilaku diri mereka dengan pelanggan, dan
bagaimana mereka merasa diperlakukan oleh manajemen.

Dimensi-dimensi yang terkandung dalam Budaya Perusahaan (Dimensions of Corporate Culture)


Motivasi (Motivation)
Aktifitas Keluaran/hasil
Bersifat konsisten dan teliti. Berusaha akurat dan Menjadi yang terdepan. Mengejar tujuan dan
perhatian pada hal-hal yang detil. Berusaha sasaran yang jelas. Melakukan inovasi dan
memperbaiki dan mencapai kesempuranaan. kemajuan.
Melakukan hal dengan benar.
Hubungan (Relationship)
Pekerjaan (Job) Orang (Person)

1
Menempatkan kepentingan pekerjaan diatas Menempatkan kepentingan individu diatas
kepentingan individu kepentingan pekerjaan
Identitas
Korporasi Profesional
Melekatkan diri kepada Perusahaan dan harapan- Mengejar tujuan-tujuan dan harapan dari setiap
harapan Perusahaan. praktik kerja yang professional
Komunikasi
Terbuka Tertutup
Menstimulasi dan menggerakkan pertukaran Memantau dan mengendalikan proses pertukaran
informasi dan pendapat secara penuh dan terbuka. dan aksesbilitas dari informasi dan pendapat.
Pengendalian
Ketat Tanpa Kendali
Patuh kepada aturan dan sistim serta prosedur yang Bekerja dengan fleksibilitas dan beradaptasi sesuai
ditentukan secara jelas dengan kebutuhan dan situasi
Perilaku
Konvensional Pragmatis
Menempatkan keahlian-keahlian dan standard Menempatkan permintaan dan harapan dari
organisasi sebagai hal yang utama. pelanggan sebagai hal yang utama. Melakukan apa
yang diminta pelanggan.
Sumber: Lisa Hoecklin, Managing Cultural Differences: Strategies for Competitive Advantage (Workingham,
England: Addison-Wesley, 1995), p.146

3.1.2. Karakteristik Budaya


David C. Thomas (“Cultural Intelligence”, 2006: h.24) menuliskan ada beberapa karakteristik
dasar yang berlaku pada berbagai budaya:
1. Budaya adalah dibagikan (Culture is shared): secara definisi, budaya adalah sesuatu yang
dimiliki secara umum oleh kelompok, yang mana biasanya tidak disediakan bagi orang yang
berada diluar kelompok. Hal ini adalah semacam pemrograman mental yang diadakan secara
umum yang memungkinkan masing-masing anggota didalam kelompok berinteraksi satu
sama lain dengan kedekatan yang khusus.
2. Budaya di pelajari dan bertahan (Culture is learned and is enduring): Pemrograman mental
dari sebuah kelompok dipelajari oleh anggota-anggota kelompoknya dalam waktu yang lama
pada saat yang bersamaan dengan mereka berinteraksi dengan lingkungannya.
3. Budaya adalah pengaruh yang kuat terhadap perilaku (Culture is a powerful influence on
behavior): pemrograman mental yang terlibat dalam budaya adalah sangat kuat. Walaupun
ketika seseorang mempertanyakan secara aspek rasional dari budaya atau mencari cara
untuk menerapkan fleksibilitas budaya melakukan beberapa hal berbeda dengan budaya
lain, namun orang akan memiliki tendensi alami untuk kembali kepada akar budaya mereka.
4. Budaya adalah sistematis dan terorganisasi (Culture is systematic and organized): Budaya
tidak bersifat acak. Budaya adalah sebuah sistem yang terorganisasi atas nilai-nilai, sikap,
kepercayaan, dan makna yang terhubung satu sama lainnya ke dalam konteks lingkungan.
5. Aspek terbesar dari Budaya bersifat tidak terlihat (Culture is largery invisible): apa yang
terlihat dalam konteks budaya seperti misalnya bahasa, kebiasaan, pakaian, hanyalah
sebagian kecil dari bagian terbesar yang tidak terlihat bagaikan pucuk gunung es. Hal

2
terpenting dalam budaya bukanlah apa yang terlihat di permukaan, namun nilai-nilai yang
terkandung didalam makna (tersirat), serta asumsi-asumsi yang di ekspresikan. Maka untuk
memahami sebuah budaya, bukan hanya melihat hal-hal yang terlihat di permukaan saja,
namun hal terpenting adalah memahami bagian atau elemen budaya yang tidak terlihat -
seperti misalnya nilai-nilai yang tersirat, struktur sosial, cara dan pola berpikir – adalah hal-
hal yang terpenting.
6. Budaya dapat bersifat “Ketat” atau “Longgar” (Culture may be “Tight” or “Loose”): Budaya
dapat bersifat “Ketat”, misalnya memiliki kesamaan dan persetujuan bersama yang
berdasarkan kepada populasi yang homogen, atau dominasi dari kepercayaan agama
tertentu. Contohnya misalnya Negara Jepang. Sebaliknya, contoh budaya bersifat “Longgar”
misalnya seperti di Negara Amerika yang memiliki berbagai ragam latar belakang budaya,
yang dilatar belakangi dorongan untuk kebebasan berpikir dan bertindak.

3.1.3. Tipe-Tipe Budaya Perusahaan


Fons Trompenaars dalam bukunya Riding the Waves of Culture (1994; h.154), membagi empat
cirri khas tipe Budaya Perusahaan. Dalam praktik sehari-hari, Budaya Perusahaan tidak selalu
dapat di golongkan secara tepat dalam empat tipe Budaya Perusahaan ini, namun dapat
membantu kita menguji dan memahami bagaimana individu berhubungan satu dengan lainnya,
berpikir, belajar, berubah, termotivasi, dan mengatasi konflik atau masalah.
1. Budaya Keluarga: budaya yang karakteristik nya sangat kuat menekankan pada hirarki dan
orientasi kepada manusia (people oriented). Dalam budaya ini, karyawan bukan hanya
menghormati individu yang berwenang, namun juga meminta bimbingan/tuntunan dan
persetujuan dari orang tersebut. Dalam hal ini manajemen mengasumsikan hubungan
patrilineal dengan karyawan, menjaga karyawan, dan memastikan bahwa mereka
diperlakukan dengan baik serta hubungan kerja yang berkelanjutan.
2. Budaya Menara Eiffel: budaya yang karakteristik nya yang sangat kuat menekankan kepada
hirarki dan berorientasi kepada tugas. Dibawah budaya perusahaan ini, pekerjaan-pekerjaan
di definisikan secara baik, karyawan memahami apa yang harus mereka lakukan, dan semua
di kordinasikan dari atas. Sebagai hasilnya, budaya perusahaan ini – sama seperti Menara
Eiffel – bentuknya meruncing, kecial diatas, dan besar/luas dibagian bawah.
3. Budaya Peluru Kendali: budaya yang karakteristik nya sangat kuat menekankan mengenai
persamaan di tempat kerja dan berorientasi kepada tugas. Budaya perusahaan ini
berorientasi pada pekerjaan, yang biasanya ditangani oleh team atau grup-grup proyek.
Berbeda dengan budaya Menara Eiffel, karyawan dalam budaya Peluru Kendali melakukan
apapun yang perlu dilakukan untuk memastikan bahwa pekerjaan diselesaikan.
4. Budaya Inkubator: budaya yang karakteristik nya sangat kuat dalam hal persamaan dan
berorientasi kepada manusia. Budaya ini didasarkan pada anggapan bahwa peran dari
organisasi untuk melayani sebagai inkubator bagi ekspresi-diri, dan pemenuhan diri masing-
masing anggota perusahaan; sebagai hasilnya, jenis perusahaan ini tidak terlalu memiliki
struktur yang formal.

3
3.1.4. Kepemimpinan

3.1.4.1. Pengertian Kepemimpinan

Menurut Jerald Greenberg (2008:h.501), Pemimpin, adalah individu di dalam sebuah organisasi
yang memegang peranan terbesar untuk mempengaruhi orang lain. Sedangkan Kepemimpinan,
adalah sebuah proses dimana seorang individu mempengaruhi anggota kelompok lainnya guna
memenuhi tujuan-tujuan organisasi atau kelompok.

Pengertian kepemimpinan menurut Richard M. Hodgetts (2006: hal.398) adalah suatu proses
untuk mempengaruhi orang lain untuk mengarahkan upaya-updaya yang mereka lakukan guna
mencapai tujuan tertentu atau tujuan-tujuan secara umum.

3.1.4.2. Latar Belakang Filosofi Kepemimpinan

Pelopor teori kepemimpinan, Douglas McGregor menyebutkan dua jenis asumsi manajer dalam
mengarahkan anak buah mereka dengan cara yang paling efektif. Dikenal dengan Teori X dan Y.
1. Manajer yang menganut Teori X: Manajer yang percaya bahwa orang pada dasarnya adalah
malas, dan oleh karena itu tindakan disiplin dan hukuman harus diterapkan agar mereka
bekerja.
2. Manajer yang menganut Teori Y: Manajer yang percaya bahwa dalam kondisi yang tepat,
orang tidak hanya akan bekerja keras, namun juga akan mencari tanggung jawab yang lebih
serta tantangan.
William Ouchi menawarkan tambahan perspektif filosofi kepemimpinan, yang disebutkan
sebagai “Teori Z”, hal tersebut menggabungkan bersama Teori Y dan teknik manajemen Jepang
modern. Manajer Teori Z percaya bahwa pekerja mencari kesempatan untuk berpartisipasi
dalam manajemen dan termotivasi oleh kerja team serta pembagian tanggung jawab (William
Ouchi, Theory Z: How American Management Can Meet the Japanese Challenge, New York:
Addison-Wesley; 1981).

3.1.4.3. Perilaku Kepemimpinan dan Gaya Kepemimpinan

Menurut Hodgetss (2006: h.400) Pola perilaku Kepemimpinan dapat diterjemahkan ke dalam
tiga gaya kepemimpinan yang secara umum dikenal sebagai berikut:
1. Kepemimpinan Otoriter (Authoritarian Leadership): adalah menggunakan perilaku yang
berpusat kepada pekerjaan, yang di rancang untuk memastikan pemenuhan pekerjaan. Tipe
kepemimpinan ini biasanya menggunakan cara komunikasi satu arah, dari manajer kepada
anak buahnya.
2. Kepemimpinan Paternalistik (Paternalistic leadership): adalah menggunakan perilaku yang
berpusat kepada pekerjaan namun dibarengi dengan hal yang mementingkan dan
memperhatikan hal-hal yang berpusat kepada karyawan.

4
3. Kepemimpinan Partisipatif (Participative leadership): adalah menggunakan pendekatan baik
perilaku yang berpusat kepada pekerjaan, dan perilaku yang berpusat kepada orang.
Participative leaders biasanya mendorong orang-orang mereka untuk memainkan peran yang
aktif dalam mengontrol pekerjaan mereka; dan biasanya wewenang sangat di desentralisasi.
3.1.4.4. Teori Kepemimpinan Situasional (Situational Leadership Theory)
Jerald Greenberg (“Behavior in Organisations”, 2008: h.522) menyampaikan hasil penelitian para
peneliti mengenai teori Kepemimpinan Situasional. Teori ini menyarankan bahwa gaya
kepemimpinan yang paling efektif – baik dalam hal pendelegasian, partisipasi, menjual ide, atau
menyampaikan – tergantung dari sejauh mana pengikut membutuhkan bimbingan dan
pengarahan, dan dukungan emosional. Pemimpin menjadi efektif saat mereka memilih gaya
kepemimpinan yang tepat sesuai dengan situasi yang mereka hadapi (Hersey, P. & Blanchard,
K.H. (1988), Management of organizational behavior. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall). Secara
spesifik hal ini akan tergantung dari kedewasaan para pengikut – yaitu, kesiapan mereka dalam
menerima tanggung jawab untuk perilaku mereka sendiri. Hal ini, pada gilirannya berdasar pada
dua variabel, yaitu (1) perilaku tugas (task behavior) tingkatan dimana para pengikut memiliki
pengetahuan atas pekerjaan dan keahlian yang sesuai – yaitu, kebutuhan mereka akan
bimbingan dan pengarahan; dan (2) perilaku hubungan (relationship behavior) tingkatan dimana
para pengikut bersedia untuk bekerja tanpa menerima pengarahan dari orang lain – yaitu
kebutuhan mereka akan dukungan emosional.

3.1.5. Hubungan Budaya Perusahan terhadap Kepemimpinan

Hodgetts (International Management – Culture, Strategy, and Behavior, 2008: p.421) menuliskan
hasil studi GLOBE (Global Leadership and Organizational Behavior Effectiveness), sebuah
organisasi yang melakukan penelitian di berbagai negara dan evaluasi atas atribut-atribut budaya
serta perilaku kepemimpinan terhadap lebih dari 17.000 manajer dari 825 organisasi di 62 negara.
Studi yang dilakukan oleh GLOBE, menemukan bahwa ada atribut-atribut kepemimpinan tertentu
yang diakui dan diterima secara universal di seluruh budaya yang ada, dan atribut kepemimpinan
lainnya dipandang efektif hanya di budaya tertentu. Dari antara atribut-atribut kepemimpinan
yang ditemukan efektif di berbagai jenis budaya adalah sikap dapat dipercaya (trustworthy), jujur,
memiliki integritas; memiliki pandangan jauh ke depan dan perencanaan masa depan; bersikap
positif, dinamis, bersikap mendorong dan memotivasi, serta membangun kepercayaan diri; dan
mampu bersikap komunikatif, mampu mengkoordinasikan dan integrator team kerja.

Sebagai ringkasan atas temuan hasil penelitian GLOBE, para peneliti menyimpulkan bahwa nilai-
nilai budaya mempengaruhi preferensi kepemimpinan, dengan banyak hasil intuisi yang
diprediksikan. Secara spesifik, kelompok sosial yang membagikan nilai-nilai yang serupa, memiliki
preferensi atribut kepemimpinan atau gaya kepemimpinan yang serupa, atau mendukung nilai-
nilai budaya tersebut.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Farough Amin Mozaffari, yaitu studi atas hubungan
antara Budaya Perusahaan dan Kepemimpinan (A Study of Relationship between Organizational

5
Culture and Leadership, International Conference on Applied Economics – ICOAE 2008), studi
menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara Budaya Perusahaan dengan Gaya Kepemimpinan;
semakin serupa antara Budaya Perusahaan dengan Gaya Kepemimpinan maka keahlian manajerial
akan semakin efektif. Lebih jauh ditemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
keahlian manajerial dan efektifitas menunjukkan bahwa budaya memiliki efek yang tidak langsung
terhadap efektifitas. Budaya Perusahaan, yang terkonsep dalam kerangka nilai-nilai dalam
persaingan (Quinn & Rohrbaugh 1981), berpotensi membantu pemahaman lebih jauh hubungan
antara keahlian manajerial dan efektifitas.

Nilai-nilai utama sebuah organisasi dimulai dari kepemimpinannya, yang kemudian berkembang
menjadi gaya kepemimpinan. Para anak buah akan dipimpin oleh nilai-nilai tersebut dan perilaku
dari para pemimpinnya. Ketika penyatuan perilaku yang kuat, nilai-nilai, dan keyakinan telah
dikembangkan, maka budaya perusahaan yang kuat akan muncul. Para pemimpin harus
menghargai fungsi mereka dalam mempertahankan budaya organisasi. Hal ini akan kembali lagi
menyakinkan bahwa perilaku yang konsisten diantara para anggota organisasi, akan mengurangi
konflik-konflik dan menciptakan suasana kerja yang harmonis bagi para karyawan.

3.1.6. Teori Keterikatan Karyawan (Employee Engagement)

Menurut jurnal Frank Catteeuw (2007) Keterikatan karyawan adalah tingkat dimana karyawan
merasa puas dengan pekerjaan mereka, merasa dihargai, dan merasakan kolaborasi serta
kepercayaan. Karyawan yang merasakan keterikatan akan bertahan bersama perusahaan lebih
lama, dan secara berkesinambungan menemukan cara-cara baru untuk memberikan nilai tambah
kepada perusahaan dengan cara yang lebih cerdas, dan lebih efektif. Hasil akhirnya adalah
perusahaan yang berkinerja tinggi dimana karyawan merasa puas dan sejahtera, dan pada
akhirnya produktifitas akan meningkat dan bertahan dalam jangka panjang (“Engagement is the
degree to which employees are satisfied with their jobs, feel valued, and experience collaboration
and trust. Engaged employees will stay with the company longer, and continually find smarter,
more effective ways to add value to the organization. The end result is a high-performing
company where people are flourishing and productivity is increased and sustained.”) Catteeuw,
Frank; Flynn, Eileen; Vonderhorst, James, “Employee Engagement: Boosting Productivity in
Turbulent Times”, Organization Development Journal; summer 2007

Pemahaman Keterikatan Karyawan adalah bagaimana seorang karyawan “menggunakan berbagai


tingkatan diri sendiri baik secara fisik, kognitif dan secara emosional dalam kinerja sesuai peranan
tugas mereka masing-masing” (“how people can use varying degrees of their selves – physically,
cognitively and emotionally in work role performances.”) Employee Engagement, Kahn (1990)

Alpha Measure mendefinisikan Keterikatan Karyawan sebagai tingkat komitmen dan keterlibatan
yang dimiliki karyawan kepada perusahaan dan nilai-nilai organisasi. (“the level of commitment
and involvement an employee has towards his organization and its values.”)

Menurut Scarlett Surveys, Keterikatan Karyawan adalah keterikatan emosional positif maupun
negative dari karyawan yang dapat diukur terkait pekerjaannya, rekan kerjanya, dan organisasi,

6
yang akan mempengaruhi dengan sangat signifikan atas keinginannya untuk belajar dan
menunjukkan kinerja yang baik dalam pekerjaannya. (“Employee Engagement is a measurable
degree of an employee’s positive or negative emotional attachment to his job, colleagues and
organization which profoundly influences his willingness to learn and perform at work.”)

Menurut Schmidt et al (1993), Keterikatan Karyawan adalah versi yang di perbaharui dari
kepuasan kerja, yang pada dasarnya karyawan terlibat didalamnya, komitmen, dan kepuasan
dengan pekerjaan. (“employee engagement as a modernized version of job satisfaction, which is
basically an employee’s involvement with, commitment to and satisfaction with work.”)

Menurut Hay Group, Keterikatan Karyawan diintisarikan dari dua komponen: Komitmen –
kesetiaan emosional dan niat untuk tetap bertahan dengan organisasi dan Usaha yang semata-
mata diputuskan mutlak – kemauan untuk bertindak melebihi dan melampaui persyaratan
pekerjaan formal. (“Engagement is comprised of two components: Commitment – affective
attachment to and intention to remain with an organization and Discretionary Effort – the
willingness to go above and beyond formal job requirements.”)

3.1.7. Kunci Penggerak utama Keterikatan Karyawan


Berdasarkan atas 12 (dua belas) studi penelitian utama yang dilakukan firma penelitian seperti
Gallup, Towers Perrin, Blessing White, The Corporate Leadership Council dan lainnya; didapatkan
dari 4 (empat) studi penelitian menyebutkan 8 (Delapan) kunci penggerak utama dari Keterikatan
Karyawan yang diintisarikan dari 26 faktor penggerak secara kolektif. Hal tersebut adalah:
1. Kepercayaan dan Integritas – para manajer harus mampu berkomunikasi secara baik dan
melakukan apa yang mereka katakan (go by their words).
2. Sifat dari pekerjaan – para karyawan harus menemukan pekerjaan mereka cukup menantang
untuk memberi motivasi diri sendiri.
3. Keterkaitan antara kinerja karyawan dengan kinerja perusahaan – karyawan harus memiliki
pemahaman yang jelas bagaimana mereka dapat memberikan kontribusi kepada kinerja
perusahaan.
4. Kesempatan perkembangan karir – karyawan harus memiliki jenjang karir dan pertumbuhan
karir.
5. Kebanggaan pada perusahaan – karyawan harus merasa dihargai dan di libatkan dengan
organisasi.
6. Teman / Rekan Kerja – hubungan dengan rekan-rekan kerja secara signifikan meningkatkan
level Keterikatan Karyawan.
7. Pengembangan Karyawan – organisasi harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan
untuk mengembangkan pengetahuan, keahlian, serta perilaku karyawan.
8. Hubungan kerja dengan manajer – karyawan harus merasa nyaman dengan manajernya dan
menghargai hubungan kerja yang baik dengan atasannya.
Beberapa faktor penggerak lain yang memberikan kontribusi dalam hal meningkatkan keterikatan
karyawan seperti misalnya:

7
1. Budaya menghargai dimana pekerjaan yang baik diberikan penghargaan.
2. Umpan balik (feedback), konseling dan mentoring.
3. Imbalan yang adil, penghargaan, dan skema insentif.
4. Kepemimpinan yang efektif.
5. Harapan kerja yang jelas (clear job expectations)
6. Perlengkapan kerja yang memadai untuk memenuhi tanggung jawab kerja.
7. Motivasi.
Artikel “Employee Engagement – A review of current research and its implication” yang diterbitkan
Conference Board, didasarkan atas 12 studi penelitian utama yang diadakan perusahaan riset
Gallup, Towers Perrin, Blessing White, The Corporate Leadership Council, tahun 2006.

3.1.8. Hubungan Budaya Perusahaan terhadap Employee Engagement

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Denison Consulting, ditemukan hasil penelitian
bahwa Keterikatan adalah hasil dari Budaya Perusahaan yang sehat (Engagement is an outcome of
a healthy culture). Denison Consulting melakukan penelitian antara bulan Januari dan Juli 2010
atas 9.464 individu dari 90 perusahaan melalui proses melengkapi Survey Budaya Perusahaan
(Denison Organizational Culture Survey) serta Modul Penelitian Keterikatan Karyawan (Denison
Engagement Content Module). Dengan menggunakan analisa multiple regression ditemukan hasil
bahwa indeks Visi, Nilai-Nilai Utama Budaya Perusahaan (Core Values), Pengembangan Kapabilitas
(Capability Development), dan Pemberdayaan (Empowerment) merupakan faktor-faktor terkuat
yang diperkirakan mempengaruhi Keterikatan Karyawan.

Dikarenakan adanya peralihan dari perekonomian dunia dari berdasarkan ekonomi industrial ke
perekonomian yang berdasarkan ilmu pengetahuan (knowledge-based), karyawan dihargai bukan
hanya atas apa yang mereka produksi, namun juga apa yang mereka ketahui/kuasai. Memiliki
budaya perusahaan yang berkinerja tinggi (high performing business culture) merupakan
keunggulan daya saing (competitive advantage) bagi organisasi dimasa kini. Setiap karyawan
dapat memberi pengaruh kepada penguatan budaya perusahaan, atau bahkan melemahkannya.

Di pertengahan 1990, ditemukan bahwa tidak ada satu organisasi pun - baik yang kecil maupun
yang besar – memiliki satu budaya saja, namun kecenderungannya memiliki kultur/budaya yang
berbeda di banyak fungsi, para manajer dan supervisor. Perusahaan mengetahui hal tersebut
namun hanya memiliki sedikit kendali atas budaya yang sudah ada. Hal tersebut tidak berarti
mereka tidak mampu menemukan manajer-manajer dan supervisor yang terbaik. Budaya tidak
dapat dibentuk begitu saja melalui pernyataan visi dan misi. Namun pada saat organisasi
mencapai budaya yang diinginkan, para karyawan yang memiliki perilaku dan kebiasaan yang
selaras dengan budaya yang diinginkan akan merasa terikat (engaged) dan mereka yang tidak bisa
sesuai dengan hal tersebut, akan meninggalkan atau dipaksa meninggalkan perusahan karena
dorongan budaya. Tujuan organisasi harus mencapai target karyawan yang tepat. Seiring dengan
perubahan budaya perusahaan, bagi kelompok karyawan yang tepat yang tetap bersama dengan

8
perusahaan, akan menghasilkan tingkat nilai Keterikatan Karyawan (the engagement score) yang
tinggi.

3.1.8.1. Aspek dari Keterikatan Karyawan:


Studi penelitian global menyarankan adanya tiga aspek mendasar dari Keterikatan Karyawan:
1. Aspek Para Karyawan dan pengalaman psikologis unik yang dialami masing-masing karyawan
2. Aspek Pengusaha / Perusahaan dan kemampuan mereka untuk menciptakan kondisi yang
mendukung Keterikatan Karyawan
3. Aspek interaksi antar karyawan di semua level / tingkatan.
Abhijit Siddhanta; Debalina Roy (Ghosh); “Employee engagement – Engaging the 21st century
workforce”, Asian Journal of Management Research, 2010.

3.1.9. Hubungan Kepemimpinan terhadap Employee Engagement

Banyak konsultan dan pihak akademisi setuju bahwa atasan langsung dari seorang karyawan
memainkan peranan kunci dalam mempengaruhi tingkat keterikatan dari karyawan tersebut
(Frank et al., 2004; Gopal, 2004; Gibbons, 2006; Sardo, 2006; Stairs, Galpin, Page, and Linley, 2006;
Jones, Wilson, and Jones, 2008; Amos, Ristow, Ristow, and Pearse, 2009; Schneider et al., 2009).
Secara fakta, Buckingham dan Coffman (1999) mengklaim bahwa hubungan antara individu
dengan atasan langsungnya adalah faktor yang paling kuat mempengaruhi dari tingkat keterikatan
karyawan tersebut (an individual’s relationship with his/her supervisor is the strongest influencer
of his/her engagement). Selain diambil sebagai ukuran untuk memprediksikan keterikatan
karyawan, para atasan langsung juga memiliki pengaruh tidak langsung kepada faktor lain yang
bisa berpengaruh pada tingkat keterikatan karyawan, seperti misalnya komunikasi yang kuat,
kepercayaan dan integritas, serta pemberdayaan pekerjaan (Towers Perrin, 2003; Robinson,
Perryman, and Hayday, 2004; Shaw and Bastock, 2005; Baumruk et al., 2006; CIPD, 2006a; Stairs
et al., 2006; Schneider et al., 2009).

Bates (2004) percaya bahwa peran dari atasan langsung semakin meningkat dalam kaitannya
dengan peran mereka yang signifikan dalam menciptakan keterikatan karyawan, karena atasan lini
pertama merupakan titik kontak utama antara organisasi dengan karyawan. Ia menjelaskan bahwa
sifat dari kekaryawanan telah berubah di era post-industrialisme, dari yang bersifat “paternalistik”
ke peran yang bersifat “partnership” (kemitraan). Hubungan kemitraan ini menggantikan ide
tradisional yaitu gaya kepemimpinan otokrasi dengan gaya kepemimpinan yang menampilkan
ikatan emosional antara atasan dengan karyawan, yang didalamnya termasuk: nilai-nilai yang
dibagikan, tujuan-tujuan, saling memperhatikan dan saling menghormati satu sama lain.

Team pemimpin/manajemen yang memiliki keterikatan yang kuat terhadap perusahaan, dan
menerapkan kompetensi Kepemimpinan yang efektif, merupakan unsur yang sangat esensial
dalam keterikatan karyawan (employee engagement). Ada 10 kapabilitas kepemimpinan yang
sangat penting (critical leadership capabilities) yang esensial dalam keterikatan karyawan, yaitu:
1. Membangun Kepercayaan

9
2. Membangun rasa kepercayaan diri karyawan
3. Berkomunikasi secara efektif
4. Membangun lingkungan kerja yang menyenangkan dan pemenuhan pengetahuan
5. Fleksibel dalam memahami kebutuhan individu
6. Mengembangkan bakat dan melatih anggota-anggota team
7. Memacu tingkat kinerja yang berkualitas tinggi
8. Menguasai pengetahuan yang diperlukan
9. Mengawasi issu-issu yang berkenaan dengan keterikatan karyawan
10.Mengindentifikasikan anggota-anggota team yang sesuai untuk team kerja.
Karyawan akan tinggal bekerja lebih lama serta memberikan kontribusi yang lebih besar kepada
perusahaan apabila mereka memiliki hubungan yang baik dan dialog yang terbuka dengan atasan
langsung mereka. (Johnson, Meg, “Workforce Deviance and the Business Case for Employee
Engagement”, The Journal for Quality and Participation; July 2011; 34,2; ABI/INFORM Research
pg.11)

Sebagai kontradiksi atas fakta yang dikemukakan sebelumnya, apabila faktor kepemimpinan
dalam sebuah organisasi, lemah atau buruk, menjadi penyebab atau sumber dari masalah
karyawan yang tidak memiliki keterikatan (Ashok Gopal, “Disengaged Employees Cost Singapore
$4.9 Billion,” Gallup Management Journal, October 9, 2003). Secara ringkas, konsensus yang
dihasilkan dari penelitian menyatakan bahwa atasan langsung memiliki peran yang krusial dalam
menggerakan keterikatan karyawan.

3.1.10. Budaya Perusahaan dan Kepemimpinan secara bersama-sama berpengaruh kepada Keterikatan
Karyawan

Gary Yukl (2006: h.304) menuliskan bahwa para pemimpin dapat mempengaruhi budaya
perusahaan dengan berbagai pendekatan. Tipe-tipe pendekatan yang berbeda dalam memberikan
pengaruh, dapat dikelompokkan dalam dua kategori besar yaitu:
1. Perilaku Pemimpin (Leadership Behavior): pendekatan yang melibatkan tindakan langsung
dari pemimpin. Pemimpin mengkomunikasikan nilai-nilai mereka, ketika menerangkan visi
organisasi, membuat pernyataan-pernyataan dan ide-ide yang penting, serta
memformulasikan tujuan-tujuan jangka panjang dan strategi untuk mencapai tujuan-tujuan
tersebut. Termasuk didalam perilaku pemimpin ini adalah peran pemimpin menjadi role-
model (panutan) bagi anggota organisasi, serta bagaimana cara dan perilaku mereka dalam
bereaksi terhadap krisis.
2. Program, System, Struktur, dan Bentuk Budaya: anggaran-anggaran formal, sesi yang
terencana, laporan-laporan, prosedur penilaian kinerja, serta program pengembangan
manajemen dapat digunakan untuk menekankan nilai-nilai budaya dan keyakinan terhadap
perilaku yang dianggap sesuai bagi organisasi. Program orientasi karyawan baru, dapat
digunakan untuk media sosialisasi dan mengajarkan mengenai budaya perusahaan. Program

10
training dapat di desain untuk meningkatkan keahlian pekerjaan, namun juga digunakan untuk
mengajarkan kepada peserta training mengenai ideologi dari perusahaan.
Peran pemimpin dan budaya perusahaan secara bersama-sama menjadi dasar pelaksanaan
strategi keterikatan kerja (employee engagement). Dua peran utama para pemimpin baik dalam
lini manajer maupun supervisor, yang perlu dilakukan untuk mempercepat proses terjadinya
keterikatan karyawan adalah sebagai berikut:
Peran #1: Mengkaitkan para Karyawan dengan Organisasi (Connecting Employees with the
Organization): menyediakan informasi mengenai arah kebijakan perusahaan agar para
karyawan mengerti bagaimana memberikan kontribusi untuk kesuksesan organisasi.
Peran #2: Memberikan bimbingan mengenai Pekerjaan dan Kinerja yang diharapkan kepada para
Karyawan: memberikan umpan balik yang seimbang dan akurat (providing fair and
accurate feedback) dan membantu karyawan mencari solusi-solusi atas tantangan-
tantangan pekerjaan mereka (helping employees find solutions to job challenges).
Catteeuw, Frank; Flynn, Eileen; Vonderhorst, James, “Employee Engagement: Boosting
Productivity in Turbulent Times”, Organization Development Journal; summer 2007.

3.1.11. Pengertian Perusahaan Market Research

Menurut Asosiasi Marketing Amerika, “Riset Pemasaran (Marketing Research) adalah fungsi yang
menghubungkan antara konsumen, pelanggan dan masyarakat kepada pihak pemasar melalui
informasi-informasi yang digunakan untuk mengindentifikasi dan menentukan kesempatan-
kesempatan pemasaran dan permasalahan yang ada, untuk menghasilkan, memperbaiki, dan
melakukan evaluasi tindakan-tindakan pemasaran; mengawasi kinerja pemasaran; dan
meningkatkan pemahaman pemasaran sebagai sebuah proses.”

Riset Pemasaran memainkan peran yang sangat signifikan dalam mengidentifikasi kebutuhan
pelanggan dan memenuhinya dalam cara yang paling memungkinkan. Tugas utama dari Riset
Pemasaran adalah pengumpulan dan analisa informasi secara sistematis.

Perusahaan Riset Pemasaran yang menyediakan jenis riset studi pelayanan penuh (full service
market research agency) adalah perusahaan riset pemasaran yang mampu melaksanakan semua
elemen dari proyek penelitian dari mulai awal studi sampai dengan penyelesaian pelaporan dan
rekomendasi kepada klien.

3.2. Rerangka Pemikiran

Budaya Perusahaan Pemimpin

Gaya
Karyawan
Kepemimpinan
11
Keterikatan Karyawan
yang diinginkan

3.3. Hipotesis

3.3.1. Hubungan antara Budaya Perusahaan dengan Keterikatan Karyawan


Berkenaan dengan pembahasan mengenai keterkaitan antara Budaya Perusahaan dan
Keterikatan Karyawan, maka hipotesa pertama adalah: Budaya Perusahaan yang dibentuk akan
memiliki korelasi positif terhadap Keterikatan Karyawan pada perusahaan.
3.3.2. Hubungan antara Kepemimpinan dan Keterikatan Karyawan
Berkenaan dengan pembahasan mengenai keterkaitan antara Kepemimpinan dan Keterikatan
Karyawan, maka hipotesa kedua adalah: ada hubungan korelasi yang kuat dan positif antara
Kepemimpinan yang efektif dengan Keterikatan Karyawan.
3.3.3. Budaya Perusahaan bersama-sama dengan Kepemimpinan Berpengaruh pada Keterikatan
Karyawan
Budaya Perusahaan dan Kepemimpinan secara simultan bersama-sama berpengaruh terhadap
Keterikatan Karyawan.

Budaya Perusahaan
(X1)
Keterikatan
Karyawan
(Y)
Gaya Kepemimpinan
(X2)

12
Relationship between organizational culture and leadership behavior

Hypothesis 1- Organizational culture is positively correlated with leadership behavior.

Relationship between leadership behavior and job satisfaction

Job satisfaction has been associated with nurses who perceive their managers as supportive and caring.
A supportive manager shares values, believes in a balance of power, and provides opportunities for
open dialogue with nurses [21], which in turn reduces the chances of internal conflicts. This type of
leader is successful in his or her role and is supportive and responsive to clinical nurses, thereby
preserving power and status within the hospital system. Such leaders are valued throughout the
organization and have executive power to do what they see as necessary to create a positive
environment for nursing [22]. Accordingly, they have a measurable effect on the morale and job
satisfaction of nurses [23].

Hypothesis 2 - Leadership behavior is positively correlated with Employee Engagement.

Relationship between organizational culture and job satisfaction

Organizational culture expresses shared assumptions, values and beliefs, and is the social glue holding
an organization together [24]. A strong culture is a system of rules that spells out how people should
behave [25]. An organization with a strong culture has common values and codes of conduct for its
employees, which should help them accomplish their missions and goals. Work recognition and job
satisfaction can be achieved when employees can complete the tasks assigned to them by the
organization.

Hypothesis 3 -.Organizational culture is positively correlated with job satisfaction.

The measurement of organizational culture, leadership behavior and job satisfaction

A structured questionnaire was compiled based on similar studies published in international journals
[26,27]. Twenty-three factors regarding organizational culture were taken from Tsui et al. [26], a study
based on two groups of MBA students from two universities in Beijing, China. Our research was focused
on clinical nurses in hospitals; therefore, refinements were made to the questionnaire designed by Tsui
et al. [26] to cater for our particular research objective. The study invited three directors or supervisors
from the medical center to validate the questionnaire. Lastly, there were 22 questions in the
organizational culture section.

Thirty items regarding leadership behavior were taken from Strange & Mumford [27], and the questions
structured using this literature. However, the proposed test was not empirically studied. Nurses from
hospital A were used as a pilot study sample. Four question items were deleted to improve the validity
of the questionnaire: "People will have an extreme reaction to the leader"; "Followers will sacrifice
themselves for the leader and/or the leader's vision"; "The leader is motivated by the accomplishment

13
of his vision"; and "The leader will take into account the needs of the organization in his decision
making."

Vroom [28] classified job satisfaction into 7 dimensions: organizational, promotion, job content,
superior, reward, working environment and working partners. We took into consideration that nurses'
salary increases are based on promotion. Furthermore, a large number of variables in organization
culture and leadership behavior were covered by this research. To prevent too few number nurses from
responding to the questionnaires, we asked only 4 job satisfaction dimensions out of a total of 12 items:
job recognition, reward and welfare, superior and working partners.

Conclusion

Culture within an organization is very important, playing a large role in whether or not the organization
is a happy and healthy place to work [20]. Through communicating and promoting the organizational
vision to subordinates, and in getting their acknowledgement of the vision, it is possible to influence
their work behavior and attitudes. When there is good interaction between the leader and subordinates,
there will be contributions to team communication and collaboration, and encouragement of
subordinates to accomplish the mission and objectives assigned by the organization, which in turn
enhances job satisfaction.

14

Anda mungkin juga menyukai