Jhsebfkhsdfkhfhflhf 6
Jhsebfkhsdfkhfhflhf 6
sesuai dengan jenis idiotip yang ada. Secara teoritis mungkin saja salah satu dari antiidiotip
mempunyai sifat spesifik antigen diri hingga dengan pembentukan berbagai antiidiotip dapat timbul aktivitas
autoimun. Persistensi antigen dan antibodi dalam bentuk kompleks imun juga disebabkan oleh pembersihan
yang kurang optimal dari sistem retikuloendotelial. Hal ini disebabkan antara lain oleh kapasitas sistem
retikuloendotelial dalam membersihkan kompleks interaksi antara autoantibodi dan antigen yang terlalu
banyak. Dengan adanya kadar autoantibodi yang tinggi, pengaturan produksi yang terganggu dan mekanisme
pembersihan kompleks imun yang terganggu akan menyebabkan kerusakan jaringan oleh kompleks imun.
Selama perjalanan penyakit lupus tubuh membuat beberapa jenis autoantibodi terhadap berbagai
antigen diri. Di antara berbagai jenis autoantibodi yang paling sering dijumpai pada penderita lupus adalah
antibodi antinuklear (autoantibodi terhadap DNA, RNA, nukleoprotein, kompleks protein-asam nukleat).
Umumnya titer antiDNA mempunyai korelasi dengan aktivitas penyakit lupus.
Beberapa antibodi antinuklear mempunyai aksi patologis direk, yaitu bersifat sitotoksik dengan
mengaktifkan komplemen, tetapi dapat juga dengan mempermudah destruksi sel sebagai perantara bagi sel
makrofag yang mempunyai reseptor Fc imunoglobulin. Contoh klinis mekanisme terakhir ini terlihat sebagai
sitopenia autoimun. Ada pula autoantibodi tertentu yang bersifat membahayakan karena dapat berinteraksi
dengan substansi antikoagulasi, diantaranya antiprotrombinase, sehingga dapat terjadi trombosis disertai
perdarahan. Antibodi antinuklear telah dikenal pula sebagai pembentuk kompleks imun yang sangat berperan
sebagai penyebab vaskulitis.
Autoantibodi pada lupus tidak selalu berperan pada patogenesis ataupun bernilai sebagai petanda
imunologik penyakit lupus. Antibodi antinuklear dapat ditemukan pada bukan penderita lupus, atau juga dalam
darah bayi sehat dari seorang ibu penderita lupus. Selain itu diketahui pula bahwa penyakit lupus ternyata tak
dapat ditularkan secara pasif dengan serum penderita lupus.
Adanya keterlibatan kompleks imun dalam patogenesis LES didasarkan pada adanya kompleks imun
pada serum dan jaringan yang terkena (glomerulus renal, tautan dermis-epidermis, pleksus koroid) dan aktivasi
komplemen oleh kompleks imun menyebabkan hipokomplemenemia selama fase aktif dan adanya produk
aktivasi komplemen.
Beberapa kompleks imun terbentuk di sirkulasi dan terdeposit di jaringan, beberapa terbentuk insitu (suatu
mekanisme yang sering terjadi pada antigen dengan afinitas tinggi, seperti dsDNA). Komponen C1q dapat
terikat langsung pada dsDNA dan menyebabkan aktivasi komplemen tanpa bantuan autoantibodi.
Kompleks imun menyebabkan lesi inflamasi melalui aktivasi kaskade komplemen. Akibatnya terdapat
faktor kemotaktik (C3a, C5a), adanya granulosit dan makrofag sehingga terjadi inflamasi, seperti vaskulitis.
Beberapa faktor terlibat dalam deposit kompleks imun pada LES, antara lain banyaknya antigen, respon
autoantibodi yang berlebih dan penurunan pembersihan kompleks imun karena inefisiensi atau kelelahan
sistem retikuloendotelial. Penurunan fungsi ini dapat disebabkan oleh penurunan reseptor komplemen CR1
pada permukaan sel. Pada lupus nefritis, lesi ginjal mungkin terjadi karena mekanisme pertahanan di daerah
membran basal glomerulus, yaitu ikatan langsung antara antibodi dengan membran basal glomerulus, tanpa
intervensi kompleks imun.
Pasien dengan LES aktif mempunyai limfositopenia T, khususnya bagian CD4+ yang mengaktivasi CD8+
(Tsupressor) untuk menekan hiperaktif sel B. Terdapat perubahan (shift) fenotip sitokin dari sel Th0 ke sel Th2.
Akibatnya sitokin cenderung untuk membantu aktivasi sel B melalui IL-10, IL-4, IL-5 dan IL-6.
Autoantibodi yang terdapat pada LES ditujukan pada antigen yang terkonsentrasi pada permukaan sel
apoptosis. Oleh karena itu abnormalitas dalam pengaturan apoptosis mempunyai peranan penting dalam
patogenesis LES. Pada LES terjadi peningkatan apoptosis dari limfosit. Selain itu, terjadi pula persistensi sel
apoptosis akibat defek pembersihan (clearance). Kadar C1q yang rendah mencegah ambilan sel apoptosis oleh
makrofag. Peningkatan ekspresi Bcl-2 pada sel T dan protein Fas pada CD8+ mengakibatkan peningkatan
apoptosis dan limfositopenia.
Meskipun hormon steroid (sex hormone) tidak menyebabkan LES, namun mempunyai peranan
penting dalam predisposisi dan derajat keparahan penyakit. Penyakit LES terutama terjadi pada perempuan
antara menars dan menopause, diikuti anak-anak dan setelah menopause. Namun, studi oleh Cooper dkk
menyatakan bahwa menars yang terlambat dan menopause dini juga dapat mendapat LES, yang menandakan
bahwa pajanan estrogen yang lebih lama bukan risiko terbesar untuk mendapat LES.
Adanya defisiensi relatif hormon androgen dan peningkatan hormon estrogen merupakan
karakteristik pada LES. Anak-anak dengan LES juga mempunyai kadar hormon FSH (Follicle-stimulating
hormone), LH (Luteinizing hormone) dan prolaktin yang meningkat. Pada perempuan dengan LES, juga
terdapat peningkatan kadar 16 alfa hidroksiestron dan estriol. Frekuensi LES juga meningkat saat kehamilan
trimester ketiga dan postpartum. Pada hewan percobaan hormon androgen akan menghambat perkembangan
penyakit lupus pada hewan betina, sedangkan kastrasi prapubertas akan mempertinggi angka kematian
penderita jantan.
Fakta bahwa sebagian kasus bersifat sporadis tanpa diketahui faktor predisposisi genetiknya belum
dapat diungkapkan secara jelas, menunjukkan faktor lingkungan juga berpengaruh. Infeksi dapat menginduksi
respon imun spesifik berupa molecular mimicry yang mengacau regulasi sistem imun.
2.8 Penatalaksanaan
Jika gejala lupus disebabkan karena obat, maka menghentikan penggunaan obat bisa menyembuhkannya,
walaupun diperlukan waktu berbulan-bulan.
- Untuk mengatasi artritis dan pleurisi diberikan obat anti peradangan non-steroid.
- Untuk mengatasi ruam kulit digunakan krim kortikosteroid.
- Untuk gejala kulit dan artritis kadang digunakan obat anti malaria (hydroxycloroquine).
- Jika penderita sangat sensitif terhadap sinar matahari, sebaiknya pada saat bepergian menggunakan
tabir surya, pakaian panjang ataupun kacamata.
Untuk manifestasi penyakit dalam fase akut seperti demam, kemerahan, dan nyeri otot dapat
diberikan Hydroxychloroquine , NSAID ( Ibuprofen , Naproxen , Fenoprofen , Ketoprofen , Dexketoprofen ,
Indomethacin , Ketorolac , Diclofenac , Piroxicam , Meloxicam , Mefenamic acid , Etoricoxib ,Celecoxib ) dan
steroid (Methylprednisolone , Prednisone ) . sedangkan untuk menangani kondisi kronis dapat diberikan obat
seperti Methotrexate , Cyclophosphamide , Belimumab , Rituximab , Azathioprine dan Mycophenolate.
(http://medicastore.com/penyakit/538/Lupus_Eritematosus_Sistemik.html)
Azathioprine
1-3 mg/kg/hari PO 4 kali sehari
Non-steroidal anti-inflam-matory drugs (NSAIDs)
Naproxen
7-20 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis maksimal 500-1000 mg/hari
Tolmetin
15-30 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis maksimal 1200-1800 mg/hari
Diclofenac
< 12 tahun : tak dianjurkan
> 12 tahun : 2-3 mg/kg/hari PO digagi 2 dosis maksimal 100-200 mg/hari
Suplemen Kalsium dan vitamin D
Kalsium karbonat
< 6 bulan : 360 mg/hari
6-12 bulan : 540 mg/hari
1-10 bulan : 800 mg/hari
11-18 bulan : 1200 mg/hari
Calcifediol
< 30 kilogram : 20 mcg PO 3 kali/minggu
> 30 kilogram : 50 mcg PO 3 kali/minggu
Anti-hipertensi
Nifedipin
0.25-0.5 mg/kg/dosis PO dosis awal, tak lebih dari 10 mg, diulang tiap 4-8 jam.
Enalapril
0.1 mg/kg/hari PO 4 kali sehari atau 2 kali sehari bisa ditingkatkan bila perlu, maksimum
0.5 mg/kg/hari
Propranolol
0.5-1 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis, dapat ditingkatkan bertahap dalam 3-7 hari dengan
dosis biasa 1-5 mg/kg/hari
(http://www.pediatrik.com/isi03.php?page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&html=
07110-yljr220.htm)
2.9. Komplikasi
Systemic Lupus Erythemathosus (SLE), menimbulkan komplikasi seperti Lupus otak, Lupus paru-paru, Lupus
pembuluh darah jari-jari tangan atau kaki, Lupus kulit, Lupus ginjal, Lupus jantung, Lupus darah, Lupus otot,
Lupus retina, Lupus sendi, dan jaringan serta organ lainnya.
(http://www.syamsidhuhafoundation.org/care_for_lupus_detailarticle-summary-sdf-media-workshop-article)
2.10. Prognosis
Beberapa tahun terakhir ini prognosis penderita lupus semakin membaik, banyak penderita yang
menunjukkan penyakit yang ringan.
Wanita penderita lupus yang hamil dapat bertahan dengan aman sampai melahirkan bayi yang normal, tidak
ditemukan penyakit ginjal ataupun jantung yang berat dan penyakitnya dapat dikendalikan. Angka harapan
hidup 10 tahun meningkat sampai 85%.
Prognosis yang paling buruk ditemukan pada penderita yang mengalami kelainan otak, paru-paru, jantung dan
ginjal yang berat. (http://medicastore.com/penyakit/538/Lupus_Eritematosus_Sistemik.html)