Anda di halaman 1dari 6

a. Ginjal : Pada sekitar 2/3 dari anak dan remaja LES akan timbul gejala lupus nefritis.

sesuai dengan jenis idiotip yang ada. Secara teoritis mungkin saja salah satu dari antiidiotip
mempunyai sifat spesifik antigen diri hingga dengan pembentukan berbagai antiidiotip dapat timbul aktivitas
autoimun. Persistensi antigen dan antibodi dalam bentuk kompleks imun juga disebabkan oleh pembersihan
yang kurang optimal dari sistem retikuloendotelial. Hal ini disebabkan antara lain oleh kapasitas sistem
retikuloendotelial dalam membersihkan kompleks interaksi antara autoantibodi dan antigen yang terlalu
banyak. Dengan adanya kadar autoantibodi yang tinggi, pengaturan produksi yang terganggu dan mekanisme
pembersihan kompleks imun yang terganggu akan menyebabkan kerusakan jaringan oleh kompleks imun.
Selama perjalanan penyakit lupus tubuh membuat beberapa jenis autoantibodi terhadap berbagai
antigen diri. Di antara berbagai jenis autoantibodi yang paling sering dijumpai pada penderita lupus adalah
antibodi antinuklear (autoantibodi terhadap DNA, RNA, nukleoprotein, kompleks protein-asam nukleat).
Umumnya titer antiDNA mempunyai korelasi dengan aktivitas penyakit lupus.
Beberapa antibodi antinuklear mempunyai aksi patologis direk, yaitu bersifat sitotoksik dengan
mengaktifkan komplemen, tetapi dapat juga dengan mempermudah destruksi sel sebagai perantara bagi sel
makrofag yang mempunyai reseptor Fc imunoglobulin. Contoh klinis mekanisme terakhir ini terlihat sebagai
sitopenia autoimun. Ada pula autoantibodi tertentu yang bersifat membahayakan karena dapat berinteraksi
dengan substansi antikoagulasi, diantaranya antiprotrombinase, sehingga dapat terjadi trombosis disertai
perdarahan. Antibodi antinuklear telah dikenal pula sebagai pembentuk kompleks imun yang sangat berperan
sebagai penyebab vaskulitis.
Autoantibodi pada lupus tidak selalu berperan pada patogenesis ataupun bernilai sebagai petanda
imunologik penyakit lupus. Antibodi antinuklear dapat ditemukan pada bukan penderita lupus, atau juga dalam
darah bayi sehat dari seorang ibu penderita lupus. Selain itu diketahui pula bahwa penyakit lupus ternyata tak
dapat ditularkan secara pasif dengan serum penderita lupus.
Adanya keterlibatan kompleks imun dalam patogenesis LES didasarkan pada adanya kompleks imun
pada serum dan jaringan yang terkena (glomerulus renal, tautan dermis-epidermis, pleksus koroid) dan aktivasi
komplemen oleh kompleks imun menyebabkan hipokomplemenemia selama fase aktif dan adanya produk
aktivasi komplemen.
Beberapa kompleks imun terbentuk di sirkulasi dan terdeposit di jaringan, beberapa terbentuk insitu (suatu
mekanisme yang sering terjadi pada antigen dengan afinitas tinggi, seperti dsDNA). Komponen C1q dapat
terikat langsung pada dsDNA dan menyebabkan aktivasi komplemen tanpa bantuan autoantibodi.
Kompleks imun menyebabkan lesi inflamasi melalui aktivasi kaskade komplemen. Akibatnya terdapat
faktor kemotaktik (C3a, C5a), adanya granulosit dan makrofag sehingga terjadi inflamasi, seperti vaskulitis.
Beberapa faktor terlibat dalam deposit kompleks imun pada LES, antara lain banyaknya antigen, respon
autoantibodi yang berlebih dan penurunan pembersihan kompleks imun karena inefisiensi atau kelelahan
sistem retikuloendotelial. Penurunan fungsi ini dapat disebabkan oleh penurunan reseptor komplemen CR1
pada permukaan sel. Pada lupus nefritis, lesi ginjal mungkin terjadi karena mekanisme pertahanan di daerah
membran basal glomerulus, yaitu ikatan langsung antara antibodi dengan membran basal glomerulus, tanpa
intervensi kompleks imun.
Pasien dengan LES aktif mempunyai limfositopenia T, khususnya bagian CD4+ yang mengaktivasi CD8+
(Tsupressor) untuk menekan hiperaktif sel B. Terdapat perubahan (shift) fenotip sitokin dari sel Th0 ke sel Th2.
Akibatnya sitokin cenderung untuk membantu aktivasi sel B melalui IL-10, IL-4, IL-5 dan IL-6.
Autoantibodi yang terdapat pada LES ditujukan pada antigen yang terkonsentrasi pada permukaan sel
apoptosis. Oleh karena itu abnormalitas dalam pengaturan apoptosis mempunyai peranan penting dalam
patogenesis LES. Pada LES terjadi peningkatan apoptosis dari limfosit. Selain itu, terjadi pula persistensi sel
apoptosis akibat defek pembersihan (clearance). Kadar C1q yang rendah mencegah ambilan sel apoptosis oleh
makrofag. Peningkatan ekspresi Bcl-2 pada sel T dan protein Fas pada CD8+ mengakibatkan peningkatan
apoptosis dan limfositopenia.
Meskipun hormon steroid (sex hormone) tidak menyebabkan LES, namun mempunyai peranan
penting dalam predisposisi dan derajat keparahan penyakit. Penyakit LES terutama terjadi pada perempuan
antara menars dan menopause, diikuti anak-anak dan setelah menopause. Namun, studi oleh Cooper dkk
menyatakan bahwa menars yang terlambat dan menopause dini juga dapat mendapat LES, yang menandakan
bahwa pajanan estrogen yang lebih lama bukan risiko terbesar untuk mendapat LES.
Adanya defisiensi relatif hormon androgen dan peningkatan hormon estrogen merupakan
karakteristik pada LES. Anak-anak dengan LES juga mempunyai kadar hormon FSH (Follicle-stimulating
hormone), LH (Luteinizing hormone) dan prolaktin yang meningkat. Pada perempuan dengan LES, juga
terdapat peningkatan kadar 16 alfa hidroksiestron dan estriol. Frekuensi LES juga meningkat saat kehamilan
trimester ketiga dan postpartum. Pada hewan percobaan hormon androgen akan menghambat perkembangan
penyakit lupus pada hewan betina, sedangkan kastrasi prapubertas akan mempertinggi angka kematian
penderita jantan.
Fakta bahwa sebagian kasus bersifat sporadis tanpa diketahui faktor predisposisi genetiknya belum
dapat diungkapkan secara jelas, menunjukkan faktor lingkungan juga berpengaruh. Infeksi dapat menginduksi
respon imun spesifik berupa molecular mimicry yang mengacau regulasi sistem imun.

2.6. Pemeriksaan & interpretasi


Pemeriksaan untuk menentukan adanya penyakit ini bervariasi, diantaranya:
1. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah bisa menunjukkan adanya antibodi antinuklear, yang terdapat pada hampir
semua penderita lupus. Tetapi antibodi ini juga juga bisa ditemukan pada penyakit lain. Karena itu
jika menemukan antibodi antinuklear, harus dilakukan juga pemeriksaan untuk antibodi terhadap
DNA rantai ganda. Kadar yang tinggi dari kedua antibodi ini hampir spesifik untuk lupus, tapi tidak
semua penderita lupus memiliki antibodi ini. Pemeriksaan darah untuk mengukur kadar komplemen
(protein yang berperan dalam sistem kekebalan) dan untuk menemukan antibodi lainnya, mungkin
perlu dilakukan untuk memperkirakan aktivitas dan lamanya penyakit.
2. Ruam kulit atau lesi yang khas
3. Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau pericarditis
4. Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya gesekan pleura atau jantung
5. Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein
6. Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis sel darah
7. Biopsi ginjal
8. Pemeriksaan saraf.

Pemeriksaan penunjang antara lain :


1. Hematologi
Ditemukan anemia, leukopenia, trombositopenia
2. Kelainan imunologis
Ditemukan sel LE, antibodi antinuklir, komplemen serum menurun, anti DNA, ENA (ex-tractable
nuclear antigen), faktor reumatoid, krioglobulin, dan uji lues yang positif semu.
3. Histopatologi
 Umum :
Lesi yang dianggap karakteristik untuk SLE ialah badan hematoksilin, lesi onion-skin pada
pembuluh darah limpa dan endokarditis verukosa Libman-Sacks.
 Ginjal :
2 bentuk utama ialah glomerulus proliferatil difus dan nefritis penyakit SLE membranosa.
 Kulit :
Pemeriksaan imunofluoresensi direk menunjukkan deposit igG granular pada demo-epidermal
junction, baik pada lesi kulit yang aktif (90 %) maupun pada kulit yang tak terkena (70 %) (penyakit
SLE band test). Yang paling karakteristik untuk SLE ialah jika ditemukan pada kulit yang tidak
terkena dan tidak terpajan (non-exposed areas).

2.7. Diagnosis & diagnosis banding


2.7.1. DIAGNOSIS
Pada tahun 1982, American Rheumatism Association (ARA) menetapkan kriteria baru untuk klasifikasi
penyakit SLE eritematosus sistemik. Kriteria ini merupakan perbaikan dari kriteria yang lama, yang diajukan
pada tahun 1971.
Diagnosis SLE dapat ditegakkan jika pada salah satu periode pengamatan ditemukan 4 kriteria atau
lebih dari 11 kriteria dibawah ini, baik secara berturut-turut maupun serentak.
1. Ruam (rash) di daerah malar
Ruam berupa eritema terbatas, rata atau meninggi, letaknya di daerah malar, biasanya tidak
mengenai lipat nasolabialis.
2. Lesi diskoid
Lesi ini berupa bercak eritematosa yang meninggi dengan sisik keratin yang melekat disertai
penyumbatan folikel. Pada lesi yang lama mungkin terbentuk sikatriks.
3. Fotosensitivitas
Terjadi lesi kulit sebagai akibat reaksi abnormal terhadap cahaya matahari. Hal ini diketahui
melalui anamnesis atau melalui pengamatan dokter.
4. Ulserasi mulut
Ulserasi di mulut atau nasofaring, biasanya tidak nyeri, diketahui melalui pemeriksaan.
5. Artritis
Artritis non-erosit yang mengenai 2 sendi perifer ditandai oleh nyeri, bengkak atau efusi.
6. Serositis
a. Pleuritis
Adanya riwayat nyeri pleural atau terdengarnya bunyi gesekan pleura oleh dokter atau adanya
efusi pleura.
b. Perikarditis
Diperoleh dari gambaran EKG atau terdengarnya bunyi gesekan perikard atau adanyaa efusi
perikard.
7. Kelainan ginjal
a. Proteinuria yang selalu > 0,5 g/hari atau > 3+ , atau
b. Ditemukan silinder sel, mungkin eritrosit, hemoglobulin granular, tubular atau campuran.
8. Kelainan neurologis
a. Kejang yang timbul spontan tanpa adanya obat-obat yang dapat menyebabkan atau kelainan
metabolik seperti uremia, ketosidosis dan gangguan keseimbangan elektrolit, atau
b. Psikosis yang timbul spontan tanpa adanya obat-obat yang dapat menyebabkannya atau
kelainan metabolik seperti uremia, ketosidosis dan gangguan keseimbangan elektrolit.
9. Kelainan hematologik
a. Anemia hemolitik dengan retikulositosis, atau
b. Leukopenia, kurang dari 4000/mm3 pada 2 kali pemeriksaan atau lebih, atau
c. Limfopenia, kurang dari 1500/mm3 pada 2 kali pemeriksaan atau lebih, atau
d. Trombositopenia, kurang dari 100.000/mm3, tanpa adanya obat yang mungkin
menyebabkannya.
10. Kelainan imunologi
a. Adanya sel LE, atau
b. Anti DNA : antibodi terhadap native DNA (anti-dsDNA) dengan titer abnormal, atau
c. Anti-Sm : adanya antibodi terhadap antigen inti otot polos, atau
d. Uji serologi untuk sifilis yang positif semu selama paling sedikit 6 bulan dan diperkuat oleh uji
imobilisasi Treponema palidum atau uji fluoresensi absorpsi antibodi treponema.
11. Antibodi antinuklear
Titer abnormal antibodi antinuklear yang diukur dengan cara imunofluoresensi atau cara lain
yang setara pada waktu yang sama dan dengan tidak adanya obat-obat yang berkaitan dengan
sindrom penyakit SLE karena obat.

2.7.2. DIAGNOSIS BANDING


o Artritis reumatoid dan penyakit jaringan ikat lainnya
o Endokarditis bakterial subakut
o Septikemia disebabkan gonokokus/ meningokokus yang disertai artritis dan lesi kulit
o Reaksi terhadap obat
o Limfoma
o Leukimia
o Trombotik trombositopenik purpura
o Sarkoidosis
o Lues II
o Sepsis bakterial
http://www.scribd.com/doc/20356053/5/G-DIAGNOSIS-BANDING

2.8 Penatalaksanaan
Jika gejala lupus disebabkan karena obat, maka menghentikan penggunaan obat bisa menyembuhkannya,
walaupun diperlukan waktu berbulan-bulan.
- Untuk mengatasi artritis dan pleurisi diberikan obat anti peradangan non-steroid.
- Untuk mengatasi ruam kulit digunakan krim kortikosteroid.
- Untuk gejala kulit dan artritis kadang digunakan obat anti malaria (hydroxycloroquine).
- Jika penderita sangat sensitif terhadap sinar matahari, sebaiknya pada saat bepergian menggunakan
tabir surya, pakaian panjang ataupun kacamata.

Untuk manifestasi penyakit dalam fase akut seperti demam, kemerahan, dan nyeri otot dapat
diberikan Hydroxychloroquine , NSAID ( Ibuprofen , Naproxen , Fenoprofen , Ketoprofen , Dexketoprofen ,
Indomethacin , Ketorolac , Diclofenac , Piroxicam , Meloxicam , Mefenamic acid , Etoricoxib ,Celecoxib ) dan
steroid (Methylprednisolone , Prednisone ) . sedangkan untuk menangani kondisi kronis dapat diberikan obat
seperti Methotrexate , Cyclophosphamide , Belimumab , Rituximab , Azathioprine dan Mycophenolate.
(http://medicastore.com/penyakit/538/Lupus_Eritematosus_Sistemik.html)

Obat-obat yang sering digunakan pada penderita LES


Antimalaria
Hidroksiklorokin 3-7 mg/kg/hari PO sebagai garam sulfat (maksimal 400 mg/hari)
Kortiko-steroid
Prednison
Dosis harian(1 mg/kg/hari); prednison dosis alternate yang lebih tinggi (5 mg/kg/hari, tak
lebih 150-250 mg); prednison dosis rendah harian (0.5 mg/kg)/hari yg digunakan bersama
methylprednisolone dosis tinggi intermitten (30 mg/kg/dosis, maksimum mg) per
minggu
Obat imuno-supresif
Siklofosfamid
500-750 mg/m2 IV 3 kali sehari selama 3 minggu. maksimal 1 g/m2. Harus diberikan IV
dengan infus terpasang, dan dimonitor. Monitor lekosit pada 8-14 hari mengikuti setiap
dosis (lekosit dimaintenance > 2000-3000/mm3)

Azathioprine
1-3 mg/kg/hari PO 4 kali sehari
Non-steroidal anti-inflam-matory drugs (NSAIDs)
Naproxen
7-20 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis maksimal 500-1000 mg/hari

Tolmetin
15-30 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis maksimal 1200-1800 mg/hari

Diclofenac
< 12 tahun : tak dianjurkan
> 12 tahun : 2-3 mg/kg/hari PO digagi 2 dosis maksimal 100-200 mg/hari
Suplemen Kalsium dan vitamin D
Kalsium karbonat
< 6 bulan : 360 mg/hari
6-12 bulan : 540 mg/hari
1-10 bulan : 800 mg/hari
11-18 bulan : 1200 mg/hari

Calcifediol
< 30 kilogram : 20 mcg PO 3 kali/minggu
> 30 kilogram : 50 mcg PO 3 kali/minggu
Anti-hipertensi
Nifedipin
0.25-0.5 mg/kg/dosis PO dosis awal, tak lebih dari 10 mg, diulang tiap 4-8 jam.

Enalapril
0.1 mg/kg/hari PO 4 kali sehari atau 2 kali sehari bisa ditingkatkan bila perlu, maksimum
0.5 mg/kg/hari

Propranolol
0.5-1 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis, dapat ditingkatkan bertahap dalam 3-7 hari dengan
dosis biasa 1-5 mg/kg/hari
(http://www.pediatrik.com/isi03.php?page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&html=
07110-yljr220.htm)

2.9. Komplikasi
Systemic Lupus Erythemathosus (SLE), menimbulkan komplikasi seperti Lupus otak, Lupus paru-paru, Lupus
pembuluh darah jari-jari tangan atau kaki, Lupus kulit, Lupus ginjal, Lupus jantung, Lupus darah, Lupus otot,
Lupus retina, Lupus sendi, dan jaringan serta organ lainnya.
(http://www.syamsidhuhafoundation.org/care_for_lupus_detailarticle-summary-sdf-media-workshop-article)

2.10. Prognosis
Beberapa tahun terakhir ini prognosis penderita lupus semakin membaik, banyak penderita yang
menunjukkan penyakit yang ringan.
Wanita penderita lupus yang hamil dapat bertahan dengan aman sampai melahirkan bayi yang normal, tidak
ditemukan penyakit ginjal ataupun jantung yang berat dan penyakitnya dapat dikendalikan. Angka harapan
hidup 10 tahun meningkat sampai 85%.
Prognosis yang paling buruk ditemukan pada penderita yang mengalami kelainan otak, paru-paru, jantung dan
ginjal yang berat. (http://medicastore.com/penyakit/538/Lupus_Eritematosus_Sistemik.html)

LI 3. Sabar dan ikhlas dalam menghadapi musibah


” Dan mintalah pertolongan ( kepada ) Allah dengan sabar dan sholat. Dan sesungguhhya yang demikian itu
sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusu’ , ( yaitu ) orang-orang yang menyakini , bahwa mereka
akan menemui Robb-nya dan bahwa mereka akan kembali kepad-Nya ” ( QS Al Baqarah : 45 -46 )
” Jika diantara kalian tertimpa musibah, hendaknya berkata : ” Sesunggunya kami milik Allah dan
sesunguhnya kami akan kembali pada-Nya, Ya Allah saya hanya mencari pahala dari musibah ini di sisi-Mu,
maka berikanlah kepada-ku pahala itu, dan gantikanlah aku dengan sesuatu yang lebih baik dari musibah ini ”
( HR Abu Daud )

Anda mungkin juga menyukai