Anda di halaman 1dari 18

STEP 1

1. Angiodema : pembengkakan di bawah permukaan kulit yang merupakan reaksi dari alergi.
2. Ketorolac : suatu obat NSAID yang digunakan intravena, Intramuskular atau oral yang
digunakan untuk pengobatan nyeri jangka pendek.
3. Inotropin :Obat untuk memperkuat kontraksi miokardium.

STEP 2

1. Mengapa setelah mendapatkan suntikan ketorolac pasien menjadi sesak nafas hebat dan
pusing (farmakodinamik dan efek samping lainnya)?
2. Apakah semua obat NSAID memiliki efek samping seperti soal diatas?
3. Mengapa oleh perawat jaga pasien dibaringkan dan dielevasikan kedua tungkainya?
4. Kenapa pada kedua kelopak mata terdapat angiodema dan urtikaria di seluruh tubuh?
5. Mengapa pada kondisi yang buruk pasien diberikan inotropin dan vasopresor serta injeksi
kortikosteroid dan anti histamin, injeksi adrenalin,oksigenasi dan loading cairan melalui infus
(penatalaksanaan syok)?
6. Apa kemungkinan dari hasil ECG?
7. Bagaimana tanda-tanda syok anafilatik (didapatkan nafas cuping hidung, retraksi subcostal,
wheezing, fase ekspirasi memanjang dan muka kebiruan)?
8. Stadium-stadium syok anafilaktik?
9. Etiopatologi dari syok anafilaktik?
10. Macam-macam syok?
11. Patofisiologi syok?

STEP 3

1. Mengapa setelah mendapatkan suntikan ketorolac pasien menjadi sesak nafas hebat dan
pusing (farmakodinamik dan efek samping lainnya)?
Jadi ketorolac memiliki reaksi hipersensitivitas  mengakibatkan spasme bronkus sampai
syok anafilaktik jadi ketorolac diberikan pada dosis rendah
Efek lain pada GIT mengakibatkan ulserasi peptic juga dapat pada ginjal(kegagalan depresi
pada volume ginjal), resiko perdarahan (ketorolac menghambat fungsi trombosit)

Merupakan salah satu NSAID menghambat sikloksigenase sehingga asam arakidonat akan
terkonsentrasi pada jalur lipooksigenase  akan terjadi leukotrien menyebabkan
Vasodilatasimenyebabkan ekstravasasi cairanedem laringsesak nafas.

Obat lewat injeksi  lewat aliran darah tidak lewat hepar sehingga langsung ke seluruh
tubuh jadi cepat sesak.

DILENGKAPI!!!

Ketorolac Tromethamine adalah suatu NSAID. Ia memiliki aktifitas anti-inflamasi, analgetik dan
antipiretik. Cara kerjanya diperkirakan dengan menghambat sintesis prostaglandin dalam jaringan
melalui penghambatan siklooksigenase, enzim yang mengkatalisis pembentukan
prekursorprostaglandin (endoperoksida) dari asam arakhidonat.
http://www.obatinfo.com/2010/01/xevolac-injeksi.html

Efek samping di bawah ini terjadi pada uji klinis dengan Ketorolac IM 20
dosis dalam 5 hari.

Insiden antara 1 hingga 9% :


Saluran cerna : diare, dispepsia, nyeri gastrointestinal, nausea.
Susunan Saraf Pusat : sakit kepala, pusing, mengantuk, berkeringat.

a. Efek pada gastrointestinal


Ketorolac tromethamine dapat menyebabkan ulcerasi peptic, perdarahan dan
perlubangan lambung. Sehingga Ketorolac tromethamine dilarang untuk pasien yang
sedang atau mempunyai riwayat perdarahan lambung dan ulcerasi peptic.
b. Efek pada ginjal
Ketorolac tromethamine menyebabkan gangguan atau kegagalan depresi volume pada
ginjal, sehingga dilarang diberikan pada pasien dengan riwayat gagal ginjal.
c. Resiko perdarahan
Ketorolac tromethamine menghambat fungsi trombosit, sehingga terjadi gangguan
hemostasis yang mengakibatkan risiko perdarahan dan gangguan hemostasis.
d. Reaksi hipersensitivitas
Dalam pemberian Ketorolac tromethamine bias terjadi reaksi hypersensitivitas dari
hanya sekedar spasme bronkus hingga shock anafilaktik, sehigga dalam pemberian
Ketorolac tromethamine harus diberikan dosis awal yang rendah.
http://www.hexpharmjaya.com/page/ketorolac.aspx

2. Apakah semua obat NSAID memiliki efek samping seperti soal diatas?
Tergantung alergi atau tidak ( jika dikulit ada steven johnson syndrome dan pada tubuh
anafilatik)
Rx.hipersensitivitas tipe 1

Sistem imun merupakan contoh aktivitas biologi yang sangat kompleks. Pengenalan, memori, serta
kespesifikkan terhadap benda asing merupakan inti imunologi. Reaksi hipersensitivitas merupakan
suatu keadaan dimana terjadi perubahan pada peningkatan reaktivitas respon imunitas tubuh
terhadap suatu substan atau antigen tertentu.2 Tahun 1963, Gell dan Coombs mengklasifikasikan
hipersensitivitas menjadi empat tipe reaksi (tipe I, II, III, dan IV), yang dibedakan tergantung pada
tingkat keparahan dan latensi (lama atau periode waktu) dari setiap reaksi.1,2,3

Hipersensitivitas tipe I, merupakan suatu reaksi tipe cepat (immediate immune reaction) terhadap
suatu antigen tertentu. Sel mast dan basopil sangat berperan pada reaksi tipe ini. Setelah terekspose
antigen, sel mast dan basopil melakukan proses degranulasi, kemudian mengeluarkan substan
tertentu yang akan memicu terjadinya inflamasi (Gambar 1A). Antigen akan berinteraksi dengan
molekul IgE yang terikat dengan afinitas tinggi dengan suatu reseptor pada permukaan sel mast,
disebut sebagai crystallizable reseptor (Fc). Hal inilah yang akan memicu terjadinya degranulasi. Sel
mast yang tergranulasi akan mengeluarkan berbagai mediator inflamasi diantaranya histamine,
proteoglycans, protease serine, dan leukotrine. Pelepasan mediator inflamasi secara cepat akan
bermanifestasi klinis berupa urtikaria, kemerahan, hay fever, dan angioedema (bengkak pada bibir,
kelopak mata, tenggorokan, dan lidah). Semua manifestasi tersebut sering dikenal dengan istilah
reaksi anaphilaksis atau alergi. Pada beberapa kasus, reaksi alergi atau anaphilaksis ini,
bermanifestasi berat, sehingga dapat menghalangi jalan nafas (airway) atau menyebabkan
terjadinya aritmia jantung.

http://www.idijembrana.or.id/index.php?module=artikel&kode=15

3. Mengapa oleh perawat jaga pasien dibaringkan dan dielevasikan kedua tungkainya?
Mengelevasikan kedua tungkai disebut TRENDELENBURG  meningkatkan venous return
meneaikan tekanan darah.

POSISI TRENDELENBURG
Friedrich Trendelenburg mempopulerkan posisi operasi dengan head down 45o sekitar tahun
1870an dengan tujuan meningkatkan akses menuju pelvis disebabkan isi abdomen akan
bergeser ke arah cephal mengikuti gravitasi. Istilah “ Trendelenburg ”sekarang ini mencakup
setiap derajat head down, tanpa memperhitungkan apakah pasien berbaring supine, lateral
atau prone. Semua posisi head down sekarang dikenal, meskipun , secara potensial berbahaya
pada penyakit jantung, paru, okular, dan penyakit susunan saraf pusat, dan secara esensial
tidak berguna untuk resusitasi volume vaskuler.

Fisiologi Posisi Trendelenburg


Walter Cannon menegaskan manfaat dari posisi Trendelenburg pada penanganan syok pada
awal tahun 1900-an. Kepercayaan itu menyatakan bahwa setiap posisi head-down
meningkatkan venous return dan memperbaiki aliran darah serebral. Memposisikan pasien
dewasa pada posisi Trendelenburg ringan 150 hanya menghasilkan 1,8% perubahan total
volume sentral; perubahan yang kecil seperti ini tidak memiliki efek klinis yang penting.
Beberapa penelitian setelahnya juga mempertanyakan validitas dari posisi ini pada
penanganan syok dimana pasien yang hipotensi nengalami perubahan hemodinamik yang
bertambah buruk dan peningkatan mortalitas ketika mereka diposisikan pada posisi
Trendelenburg. Pada sukarelawan dan pasien yang sehat normotensi, posisi head-down tilt
menghasilkan peningkatan tekanan pengisian jantung, tidak terdapat perubahan atau sedikit
peningkatan pada cardiac output, dan tidak terdapat perubahan yang signifikan pada tekanan
arteri karena baroreseptor aorta dan karotis memicu vasodilatasi sistemik dan sedikit
penurunan pada denyut nadi. Peningkatan cardiac output , jika ditemukan, terjadi akibat dari
peningkatan stroke volume dari peningkatan awal venous return, tetapi efek ini hanya
berlangsung sementara dan akan menghilang dalam waktu sepuluh menit. Cardiac output
dapat meningkat atau lebih sering menurun jika pasien hipotensi diposisikan head down.
Penurunan yang berarti pada tekanan arteri dapat dilihat ketika cardiac output bervariasi dari
+ 52 % hingga – 14 % pada kelompok pasien hipotensi yang diposisikan Trendelenburg 10o .
Tidak ada perkembangan yang berarti pada transport oksigen atau rasio ekstraksi oksigen
pada pasien kritis yang mengalami hipotensi yang diposisikan pada posisi Trendelenburg.
Adanya sedikit peningkatan pada tekanan darah tidak berhubungan dengan peningkatan pada
aliran darah atau oksigenasi jaringan.
Pada pasien yang tidak dianastesi, tidak ditemukan adanya perubahan pada cardiac output,
MAP, resistensi vaskuler sistemik, dan oksigenasi jika pasien diposisikan Trendelenburg 10o
atau 30 o . Sebagian besar penelitian mengkonfirmasi pasien sehat yang dianastesi tidak
mengalami perubahan hemodinamik yang menetap. Insuflasi peritoneal dengan
karbondioksida menghasilkan peningkatan yang signifikan pada resistensi vaskuler sistemik
juga penurunan cardiac index dan ejeksi fraksi yang signifikan , dibandingkan dengan
standar. Posisi Trendelenburg ringan sering digunakan pada insersi infus vena sentral,
dikarenakan vena jugularis kurang kolaps akibat peningkatan tekanan intaravakuler. Diameter
vena jugularis interna mengalami peningkatan dengan posisi head-down, tetapi maneuver ini
kurang efektif bila dibandingkan dengan abdominal binder atau penggunaan manuver
Valsava. Posisi head-down lebih dari 20o tidak meningkatan area persilangan vena jugularis
interna, meskipun kompresi hepatik dilakukan atau tidak. Kompresi hepatik dan Valsava
inspirasi positif efektif mendilatasi vena jugularis interna, yang memfasilitasi kanulasi vena
pada pasien supine, jika posisi Trendelenburg tidak dianjurkan atau tidak mungkin dilakukan.
Efek posisi Trendelenburg yang paling nyata pada sistem respirasi adalah adanya interfensi
mekanik pada gerakan dada dan pembatasan ekspansi paru. Dengan kepala dan dada yang
berada pada tingkat yang lebih rendah dari abdomen, maka berat organ viscera abdomen akan
menggangu pergerakan diafragma dan mengurangi volume paru. Posisi head-down 10o
menyebabkan penurunan tidal volume sebesar 3%, dimana posisi Trendelenburg 20o atau 30o
menyebabkan pengurangan sebesar 12%. Adanya peningkatan yang berarti pada dead space
fisiologis dapat dilihat pada pasien yang diposisikan Trendelenburg 20o. Gradient end tidal
darah CO2 arteri mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan posisi supine. Perubahan
pada gas intapulmonar dan distribusi darah pulmonal mungkin berhubungan dengan dead
space fisiologis dan perbedaan gradien CO2.
Sebuah penelitian pada 10 anak yang dianestesi dengan paralisis, yang berusia antara 1-15
tahun, yang menjalani operasi laparaskopi, ditemukan bahwa posisi head-down menginduksi
penurunan komplians paru rata-rata 17%, yang kemudian akan menurun hingga 27% dari
normalnya selama insuflasi CO2 intraabdominal. Secara respektif terdapat peningkatan yang
concomitant pada peak inspiratory pressure ( PIP) sekitar 19% dan 32% selama posisi
Trendelenburg dan insuflasi peritoneum. Perubahan komplians paru dan PIP kembali ke nilai
standar setelah CO2 dikeluarkan dari kavum peritoneal dan pasien dikembalikan ke posisi
supine. Respirasi sebaiknya dikontrol ketika anak diposisikan head-down karena kerja
pernapasan selama napas spontan diperkirakan meningkat dan pengurangan pada volume
paru menpredisposisi paru untuk mengalami atelektasis. Ini lebih sering terjadi pada anak
kecil. Kekuatan diafragma dan otot abdominal memberi kontribusi yang utama pada tekanan
negatif intrapleural. Tekanan hidrostatik yang dipengaruhi oleh isi abdomen pada diafragma
akan menyulitkan pergerakan dan menyebabkan kerja pernapasan yang lebih besar. Sebagai
tambahan, pada neonatus dan infant, peningkatan komplians dinding dada mengurangi
volume paru istirahat, membuat FRC semakin sulit dipertahankan. Volume tertutup biasanya
lebih tinggi pada neonatus dan infant bila dibandingkan dengan orang dewasa karena adanya
penurunan jaringan elastis. Teknik pernapasan spontan pada infant yang dianestesi
menyebabkan shunting dan hipoksemia, dimana pengurangan volume paru akan
menghasilkan pernapasan tidal yang kurang bila dibandingkan volume penutupan dan
berkembangnya penutupan alveoli. Itulah sebabnya, pasien pediatrik seharusnya dikontol
pernapasannya pada posisi head-down untuk memastikan oksigenasi dan ventilasi yang
optimal.
Perfusi serebral dapat dipengaruhi karena tekanan vena serebral mengalami peningkatan
akibat efek gravitasi. Perpindahan cairan serebrospinalis dari kanalis spinalis ke kranial dapat
mempredisposisi untuk terjadinya peningkatan tekanan intrakranial pada pasien. Pasien sehat
yang diposisikan Trendelenburg 30o tidak mengalami perubahan yang berarti atau hanya
sedikit penurunan pada aliran darah arteri serebral media yang mengakibatkan penurunan
tekanan perfusi serebral ( CPP ). Penurunan CPP mungkin merupakan hasil dari penurunan
CO dan MAP dan peningkatan tekanan vena sentralis. Selama tekanan darah dipertahankan,
autoregulasi serebral terpelihara dan oksigenasi serebral terjamin. Peningkatan tekanan vena
jugularis interna yang terjadi pada posisi head-down bersifat sementara, yang berlangsung
kurang dari 10 menit. Walaupun penurunan yang tidak berarti pada perfusi serebral dan
pengisian vena serebral yang sementara tidak memberikan efek samping pada sisrkulasi
serebral pada pasien dengan autoregulasi serebral yang normal, sedangkan pada pasien
dengan penyakit intrakranial dapat mengalami hipertensi intrakranial. Perubahan tekanan
intraranial ( ICP ) yang dihasilkan pada posisi head-down 45o pada kelinci yang mengalami
anestesi dengan paralisis mendekati 200% dan secepat mungkin diposisikan Trendelenburg.
Munculnya hipotensi, baik yang disengaja maupun tidak dengan posisi head-down,
sebaiknya dianggap beresiko pada setiap pasien karena CPP dapat lebih rendah dibawah batas
autoregulasi dan menghasilkan iskemia serebral. Setiap proses yang meningkatkan tekanan
intratorakal seperti penggunaan manuver ventilasi yang berlebihan ( seperti PEEP ) juga
dapat meningkatkan pengisian vena serebral yang dapat menuju ke edema cerebral.

Komplikasi Posisi Head-Down

 Regurgutasi atau muntah, dan aspirasi isi lambung, merupakan penyebab morbiditas
dan mortalitas yang penting pada anestesi. Secara umum dapat diterima bahwa
sfingter bawah esofagus merupakan mekanisme proteksi utama dalam pencegahan
regurgitasi. Kecenderungan untuk mengalami regurgitasi dilawan oleh barier tekanan
antara esofagus bagian bawah dan tekanan lambung. Efek head-down 15o dan 30o
pada pasien sehat yang berada di bawah pengaruh anestesi umum menunjukkan
peningkatan tekanan lambung dan esofagus bagian bawah sehingga barier tekanan
tidak mengalami perubahan yang berarti. Penggunaan posisi Trendelenburg tidak
menpredisposisi untuk terjadi regurgitasi gastroesofageal. Meskipun demikian, pasien
dengan riwayar refluks gastroesofageal memiliki resiko tinggi untuk regurgitasi ketika
diposisikan Trendelenburg. Penelitian pada hewan menunjukkan bahwa babi dengan
tekanan sfingter esofagus bawah yang rendah sebelum induksi anestesi mengalami
regurgitasi jika diposisikan head-down dengan pneumopeitoneum 15 mmHg.
 Trauma pleksus brakhialis ( tingkat insidens 0,16% ) dilaporkan terjadi pada
penggunaan penyanggah bahu ketika lengan pasien diekstensikan 90o. Peregangan
atau kompresi bundle neurovaskuler retrolavikular dipercaya bertanggungjawab
terhadap terjadinya defist neurologis. Sanggahan oleh kaki selama posisi head-down
ditambah posisi litotomi dibuat seadekuat mungkin untuk mencegah penekanan pada
nervus peroneal komunis.
 Jika posisi ini akan diakhiri, posisi ETT sebaiknya dikonfirmasi untuk menghindari
intubasi bronkhial yang disebabkan oleh pergeseran mediastinum kearah cephal dan
pergeseran carina. Resiko malposisi trakea pada pasien pediatrik biasanya lebih tinggi
karena jarak antara korda vokalis dan carina lebih pendek. Bahkan fleksi dan ekstensi
leher sederhana dapat menyebabkan pergeseran ETT yang berarti, yang dapat menuju
ke intubasi bronkhial atau ekstubasi yang tidak disengaja.
 Peningkatan tekanan vena serebral dan tekanan intraokular dan intrakranial dapat
dipresipitasi oleh posisi Trendelenburg.
Posisi Pasien

Pasien dengan masalah Airway dan Breathing diposisikan duduk tegak (sit up) sehingga akan membuat
pernafasan lebih mudah. Berbaring lurus (lying flat) dengan atau tanpa menaikkan kaki (leg elevation),
digunakan untuk pasien dengan tekanan darah rendah (masalah sirkulasi). Jangan posisikan pasien duduk atau
berdiri jika mereka merasa seperti mau pingsan, dapat mengakibatkan henti jantung (cardiac arrest). Pasien
yang masih bernafas tetapi tidak sadar, diposisikan miring satu sisi (on their side) untuk recovery. Pasien hamil
diposisikan miring ke kiri untuk mencegah terjadinya kompresi caval (vena cava).

http://www.idijembrana.or.id/index.php?module=artikel&kode=15

4. Kenapa pada kedua kelopak mata terdapat angiodema dan urtikaria di seluruh tubuh?
Reaksi alerg : alergen masuk  diikat oleh IgE  diikat oleh basofil  membentuk granula
 degranulasi  muncul mediator (histamin,serotonin,bradikinin)terjadi spasme bronkus
dan peningkatan premeabilitas pada saluran nafas dan sekresi mukus pada saluran nafas
serta jika pada kulit terjadi reaksi inflamasi.

Angiodema : peningkatan vaskuler pada jaringan pada lapisan dermis yang dalam pada
subkutan tidak gatal karena sedikit saraf
Urtikaria : peningkatan vaskuler pada jaringan pada lapisan dermis yang supervisial pada dan
berbatas tegas gatal karena banyak saraf

Hipersensitivitas tipe 1  alergen masuk  terjadi bertemu makrofag  di presentasikan


ke limfosit tlimfosit T mengeluarkan sitokin yang dapat menginduksi limfosit b  berubah
menjadi sel plasma IgE yang spesifik  terjadi reaksi inflamasi histamin memiliki 2
(reseptor H1 peningkatan premeabilitas dan H2 sekresi mukus pada saluran
nafas)Ekstravasasi eosinofileosinofil merangsang saraf menyebabkan gatal(urtikaria)

Angiodema dan urtikaria :


Antigen akan berinteraksi dengan molekul IgE yang terikat dengan afinitas tinggi dengan
suatu reseptor pada permukaan sel mast, disebut sebagai crystallizable reseptor (Fc). Hal inilah yang
akan memicu terjadinya degranulasi. Sel mast yang tergranulasi akan mengeluarkan berbagai
mediator inflamasi diantaranya histamine, proteoglycans, protease serine, dan leukotrine. Pelepasan
mediator inflamasi secara cepat akan bermanifestasi klinis berupa urtikaria, kemerahan, hay fever,
dan angioedema (bengkak pada bibir, kelopak mata, tenggorokan, dan lidah). Semua manifestasi
tersebut sering dikenal dengan istilah reaksi anaphilaksis atau alergi. Pada beberapa kasus, reaksi
alergi atau anaphilaksis ini, bermanifestasi berat, sehingga dapat menghalangi jalan nafas (airway)
atau menyebabkan terjadinya aritmia jantung.

MANIFESTASI KLINIS

Tiga bentuk yang paling umum dari angioedema adalah edema subkutan, serangan
edema abdominal, dan edema laring.
1. Edema Subkutan
Angioedema sub-cutan pada Hae jarang terjadi, tidak gatal, dan terjadi pembengkakan
non-erythematous kulit, tidak disertai dengan urtikaria, dan dialami oleh hampir 100% dari
pasien bergejala selama hidup mereka. Hal ini paling sering dilihat pada ekstremitas (45%
dari serangan melibatkan edema extremital) tetapi juga dapat melibatkan pada wajah, leher,
alat kelamin, dan tubuh (edema kulit terjadi pada 50% dari semua serangan HAE) .
Angioedema sub cutan sembuh secara spontan, biasanya dalam waktu 2 sampai 4 hari.
Mekanikal trauma dan infeksi saluran nafas umum faktor curah pada anak-anak.

2. Serangan Abdominal
Serangan abdominal mirip suatu gangguan perut akut dan menyebabkan operasi tidak
berdasar. Manifestasi klinis termasuk rasa sakit perut menyebar, muntah, diare, dan ileus dan
bisa mengakibatkan shock hipovolemik. Tidak adanya demam adalah perbedaan penting
petunjuk diagnostik. Hemokonsentrasi dapat mengakibatkan peningkatan jumlah sel darah
putih, namun berbeda dengan gangguan inflamasi, hal ini terkait dengan tingginya sel darah
merah dan jumlah platelet, hemoglobin dan hematokrit tinggi meningkat, dan memperpendek
waktu koagulasi. Abdomen adalah lokalisasi paling sering kedua pada serangan akut HAE,
48% dari berhubungan dengan abdomen dan / atau usus. Sembilan puluh tujuh persen pasien
mengalami manifestasi gejala yang sugestif dari perut menyerang selama masa hidup mereka.
Pentingnya mengenali serangan abdominal HAE pada pasien pediatrik tidak dapat ditekankan
cukup. Pada sebagian kecil kasus, nyeri perut mungkin mencerminkan awal dari serangan
akut abdomen HAE, yang dapat menjadi yang pertama dan satu-satunya manifestasi dari
penyakit ini. Sering kali, juga disertai oleh edema subkutan.

3. Edema laring
Meskipun angioneurotic edema laring jarang (0,9% dari semua serangan HAE), ini
adalah manifestasi yang mengancam nyawa dari defisiensi C1-inhibitor karena risiko yang
akan datang mati lemas. Biasanya, itu terjadi untuk pertama kalinya pada pasien yang berusia
20-an hingga pertengahan, menimpa sekitar setengah dari pasien dengan HAE selama hidup
mereka, dan telah dilaporkan sejak usia 3 tahun. Pada anak-anak, formasi edema memiliki
kecenderungan untuk wajah dan leher, dan dapat berkembang melibatkan uvula, soft palate,
atau laring. Karena diameter kecil saluran-saluran udara atas pada anak-anak, yang relatif
sedikit bengkak mukosanya, menyebabkan obstruksi substansial, sehingga mati lemas dapat
terjadi segera. Manifestasi klinis termasuk suara serak, stridor, dyspnea, sensasi globus,
disfagia, dan perubahan suara. Membangun definitif diagnosis biasanya memerlukan
konsultasi dengan seorang Dokter Ahli THT (Telinga, hidung, dan tenggorokan). Karena
laringoskopi tidak langsung biasanya sulit dilakukan pada bayi, adanya gejala-gejala yang
tercantum di atas harus dianggap sebagai bukti edema laring.
http://www.idijembrana.or.id/index.php?module=artikel&kode=15

5. Mengapa pada kondisi yang buruk pasien diberikan inotropin dan vasopresor serta injeksi
kortikosteroid dan anti histamin, injeksi adrenalin,oksigenasi dan loading cairan melalui infus
(penatalaksanaan syok)?
ES vasodilatasi vasopreson(meningkatkan vasokontriksi pembuluh darah) dan inotropin
(meningkatkan CO)  meningkatkan TD

Injeksi adrenalin (berpengaruh meningkatkan TD dan menyempitkan pembuluh darah dan


melebarkan bronkus bekerjan menghambat pelepasan histamin dan mediator lain.
Mekanisme kerjanya meningkatam cAMP pada sel mast dan basofil menghambat
terjadinya degranulasi serta pelepasan histamin dan mediator lainnya.

Urutan pelaksanaan syok anafilaktik


A. Adrenalin (Im 0,3-0,5 mg larutan 1:1000 diulangi 5-10 menit dosis ulangan
diperlukan  iM tidak efektiv diberikan iv dosis 0,1-0,2 mg dilarutkan dalam spuit
dengan Nacl fisiologis diberikan secara perlahan)
B. Aminopilin (jika bronkospasme tidak dapat dihentikan)(250 mg diberikan perlahan
secara 10 menit iv dilanjutkan 150 mg lagi melalui drip infus kalau diperlukan)
C. Antihistamin (efeknya hanya untuk menetralkan saja bukan menghentikan
produksi cAMP)
D. Kortikosteroid

Terapi suportif

a. Oksigenase
b. Tredelenburg
c. Infus
d. Resusitasi jantung

Menghentikan kontak alergen  perhatikan jalan nafasnya  diberikan epinefrin 0,5 mg-
1mg dan diulangselama 5-10 menit  diberikan anti histamin 10-20 mg Iv

kortikosteroid 100-200 mg IV dengan cara lambat  pada bronkospasme aminophilin 250


mg Iv secara lambat

Rekombinan human activty protein-c dianjurkan.

Jawab :
Sampai sekarang adrenalin masih merupakan obat pilihan pertama untuk
mengobati syok anafilaksis. Obat ini berpengaruh untuk meningkatkan
tekanan darah, menyempitkan pembuluh darah, melebarkan bronkus, dan
meningkatkan aktivitas otot jantung. Adrenalin bekerja sebagai penghambat
pelepasan histamin dan mediator lain yang poten. Mekanisme kerja adrenalin
adalah meningkatkan cAMP dalam sel mast dan basofil sehingga
menghambat terjadinya degranulasi serta pelepasan histamine dan mediator
lainnya. Selain itu adrenalin mempunyai kemampuan memperbaiki
kontraktilitas otot jantung, tonus pembuluh darah perifer dan otot polos
bronkus. Adrenalin selalu akan dapat menimbulkan vasokonstriksi pembuluh
darah arteri dan memicu denyut dan kontraksi jantung sehingga menimbulkan
tekanan darah naik seketika dan berakhir dalam waktu pendek.
Pemberian adrenalin secara intramuskuler pada lengan atas, paha, ataupun
sekitar lesi pada sengatan serangga merupakan pilihan pertama pada
penatalaksanaan syok anafilaktik. Adrenalin memiliki onset yang cepat
setelah pemberian intramuskuler. Pada pasien dalam keadaan syok, absorbsi
intramuskuler lebih cepat dan lebih baik dari pada pemberian subkutan.
Berikan 0,5 ml larutan 1 :1000 (0,3-0,5 mg) untuk orang dewasa dan 0,01
ml/kg BB untuk anak. Dosis diatas dapat diulang beberapa kali tiap 5-15
menit, sampai tekanan darah dan nadi menunjukkan perbaikan.
Tabel 2.1. Dosis Adrenalin Intramuskular untuk Anak-anak

Adrenalin sebaiknya tidak diberikan secara intravena kecuali pada keadaan


tertentu saja misalnya pada saat syok (mengancam nyawa) ataupun selama
anestesia. Pada saat pasien tampak sangat kesakitan serta kemampuan
sirkulasi dan absorbsi injeksi intramuskuler yang benar-benar diragukan,
adrenalin mungkin diberikan dalam injeksi intravena lambat dengan dosis 500
mcg (5 ml dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) diberikan dengan
kecepatan 100 mcg/menit dan dihentikan jika respon dapat dipertahankan.
Pada anak-anak dapat diberi dosis 10 mcg/kg BB (0,1 ml/kg BB dari
pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) dengan injeksi intravena lambat
selama beberapa menit. Beberapa penulis menganjurkan pemberian infus
kontinyu adrenalin 2-4 ug/menit. Individu yang mempunyai resiko tinggi untuk
mengalami syok anafilaksis perlu membawa adrenalin setiap waktu dan
selanjutnya perlu diajarkan cara penyuntikkan yang benar. Pada kemasan
perlu diberi label, pada kasus kolaps yang cepat orang lain dapat memberikan
adrenalin tersebut. (Pamela, adrenalin, draholik)

Kortikosteroid
Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan respon keradangan, kortikosteroid tidak
banyak membantu pada tata laksana akut anafilaksis dan hanya digunakan pada reaksi
sedang hingga berat untuk memperpendek episode anafilaksis atau mencegah anafilaksis
berulang. Glukokortikoid intravena baru diharapkan menjadi efektif setelah 4-6 jam
pemberian. Metilprednisolon 125 mg intravena dpt diberikan tiap 4-6 jam sampai kondisi
pasien stabil (yang biasanya tercapai setelah 12 jam), atau hidrokortison intravena 7-10
mg/Kg BB, dilanjutkan dengan 5 mg/kgBB setiap 6 jam, atau deksametason 2-6 mg/kg BB.
Apabila terjadi bronkospasme yang menetap diberikan aminofilin intravena 4-7 mg/Kg BB
selama 10-20 menit, dapat diikuti dengan infus 0,6 mg/Kg BB/jam, atau aminofilin 5-6 mg/Kg
BB yang diencerkan dalam 20 cc dextrosa 5% atau NaCl 0,9% dan diberikan perlahan-lahan
sekitar 15 menit. Pilihan yang lain adalah bronkodilator aerosol (terbutalin, salbutamol).
Larutan salbutamol atau agonis β2 yang lain sebanyak 0,25 cc-0,5 cc dalam 2-4 ml NaCl
0,99% diberikan melalui nebulisasi.
Apabila tekanan darah tidak naik dengan pemberian cairan, dapat diberikan vasopresor
melalui cairan infus intravena. Larutan 1 ml epineprin 1:1000 dalam 250 ml dextrosa
(konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infus 1-4 mg/menit atau 15-60 mikrodrip/menit
(dengan infus mikrodrip), bila diperlukan dosis dapat dinaikan sampai dosis maksimum 10
mg/ml, atau aramin 2-5 mg bolus IV pelan-pelan, atau levarterenol bitartrat 4-8 mg/liter
dengan dekstrosa 5% dengan kecepatan 2ml/menit, atau Dopamin 0,3-1,2 mg/Kg BB/jam
secara infus dengan dextrosa 5%.

Antihistamin
Pemberian antihistamin berguna untuk menghambat proses vasodilatasi dan
peningkatan peningkatan permeabilitas vaskular yang diakibatkan oleh pelepasan
mediator dengan cara menghambat pada tempat reseptor-mediator tetapi bukan
bukan merupakan obat pengganti adrenalin. Tergantung beratnya penyakit,
antihistamin dapat diberikan oral atau parenteral. Pada keadaan anafilaksis berat
antihistamin dapat diberikan intravena. Untuk AH2 seperti simetidin (300 mg) atau
ranitidin (150 mg) harus diencerkan dengan 20 ml NaCl 0,9% dan diberikan dalam
waktu 5 menit. Bila penderita mendapatkan terapi teofilin pemakaian simetidin harus
dihindari sebagai gantinya dipakai ranitidin. Anti histamin yang juga dapat diberikan
adalah dipenhidramin intravena 50 mg secara pelan-pelan (5-10 menit), diulang tiap
6 jam selama 48 jam.

6. Apa kemungkinan dari hasil ECG?

7. Bagaimana tanda-tanda syok anafilatik (didapatkan nafas cuping hidung, retraksi subcostal,
wheezing, fase ekspirasi memanjang dan muka kebiruan)?

Sistem pernafasan :
a. Bersin
b. Hidung tersumbat
c. Batuk
d. Udem laring

Sistem Sirkulasi

a. Efek sekunder dari sistem respirasi

Gejala hipotensi paling menonjol (vasodilatasi PD perifer dan meningkatnya permeabilitas


kapiler)

Gangguan pada kulit (urtikaria,angioderma,edem)

Gangguan pada GIT ( mual, muntah, kram, diare)

8. Stadium-stadium syok anafilaktik?


Presyok : hilang plasma darah 10-15 % 750 ml pusing takikardi ringan TD sistemiknya 90-100
mmHg sistol
Ringan : plasma darah 20-25 % 1000-1200 mL gelisah keringat dingin haus takikardi (lebih
dari 100) sama diuresis berkurang TD sisto 80-90 mmHg
Sedang : 30-35% plasma darah hilang 1500-1750 mL gelisah pucat dingin oliguri takikardi
sistolik 80-70 mmHg
Berat : kehilangan plasma darah 35-50% 1750-2250 mL pucat sianosis dingin pada
ekstremitas tachipneu kolaps pembuluh darah takikardi anuria sistolik kadang tidak
teraba/0-40 mmHg
9. Etiopatologi dari syok anafilaktik?
Respon hipersensitivitas yang diperantai oleh IgE yang ditandai dengan curah jantung dan
tekanan arteri yang menurun hebat  suatu antigen antibodi yang timbul stelah suatu
antugen yang sensitif pada pembuluh darah.
10. Macam-macam syok?
Syok hipovolemik ( diakibatkan karena menurunnya TD intravaskuler atau kurangnya cairan
diakibatkan karena perdarahan (syok hemoragik) dan diare berat)

Syok normovolemik :

a. Syok kardiogenik ( gangguan fungsi jantung acute miokard infark)


b. Syok obstriktif (gangguan pengisian ventrikel kanan)
c. Syok distributif ( gangguan distributif volume vaskuler diakibatkab oleh resistensi dan
permeabilitas PD termasuk (syok neurogenik,anafilaktik,dan sepsis)

Syok

Syok merupakan suatu kegagalan sirkulasi yang ditandai dengan tidak adekuatnya
perfusi jaringan, yang secara klinis ditandai dengan penurunan tekanan darah
sistolik (< 80 mmHg), perubahan status mental, oliguria dan akral yang dingin.

Syok berdasaran etiologinya dibagi dalam 4 klasifikasi yaitu :

A. Syok hipovolomik

Yaitu syok akibat menurunnya volume intravaskuler oleh karena hilangnya


darah/plasma (mis:diare, perdarahan)

B. Syok cardiogenik

Yaitu syok akibat gangguan fungsi jantung (aritmia, gangguan fungsi katup, infark
miokard akut dengan komplikasi)

C. Syok Obsruktif

Yaitu syok akibat adanya gangguan pengisian ke ventrikel kanan (tamponade


jantung, emboli paru)

D. Syok distributive

Yaitu gangguan distribusi volume vascular akibat perubahan resisten an


permeabilitas pembuluh darah (syok neurogenik, anafilaksis dan septic).
DEFENISI

Syok adalah gangguan sistem sirkulasi yang menyebabkan tidak adekuatnya perfusi
dan oksigenasi jaringan atau suatu sindrom klinis akibat kegagalan akut fungsi
sirkulasi yang menyebabkan ketidakcukupan perfusi jaringan dan oksigenasi jaringan
dengan akibat gangguan mekanisme homeostasis

11. Patofisiologi syok anafilaktik?


Reaksi alergi : alergen masuk  diikat oleh IgE  diikat oleh basofil  membentuk granula
 degranulasi  muncul mediator (histamin,serotonin,bradikinin)terjadi spasme bronkus
dan peningkatan premeabilitas pada saluran nafas dan sekresi mukus pada saluran nafas
serta jika pada kulit terjadi reaksi inflamasi.

Angiodema : peningkatan vaskuler pada jaringan pada lapisan dermis yang dalam pada
subkutan tidak gatal karena sedikit saraf
Urtikaria : peningkatan vaskuler pada jaringan pada lapisan dermis yang supervisial pada dan
berbatas tegas gatal karena banyak saraf

Hipersensitivitas tipe 1  alergen masuk  terjadi bertemu makrofag  di presentasikan


ke limfosit tlimfosit T mengeluarkan sitokin yang dapat menginduksi limfosit b  berubah
menjadi sel plasma IgE yang spesifik  terjadi reaksi inflamasi histamin memiliki 2
(reseptor H1 peningkatan premeabilitas dan H2 sekresi mukus pada saluran
nafas)Ekstravasasi eosinofileosinofil merangsang saraf menyebabkan gatal(urtikaria)

12. Pemeriksaan ABCDE apa saja ?

II. ETIOLOGI
A. Syok Kardiogenik

1). Disebabkan oleh Disritmia

1. Bradidisritmia

2. Takidisritmia

2). Disebabkan oleh factor mekanis jantung


1. Lesi regurgitasi

 Insufisiensi aorta atau mitralis akut

 Rupture septum interventrikularis

 Aneurisma ventrikel kiri masif

2. Lesi obstruktif

 Obstruksi saluran keluar ventrikel kiri, seperti stenosis katup aorta congenital atau di dapat,
dan kardiomiopati hipertrofi obstruktif

 Obstruksi saluran masuk ventrikel kiri, seperti stenosis mitralis, miksoma atrium kiri,
thrombus atrium.

3) . Miopati

 Gangguan kontraktilitas ventrikel kiri, seperti pada infark miokardium akut atau
kardiomiopati kongestif

 Gangguan kontraktilitas ventrikel kanan yang disebabkan oleh infark ventrikel kanan

 Gangguan relaksasi atau kelenturan ventrikel kiri, seperti pada kardiomiopati restriktif atau
hipertrofik

B. Syok Obstruktif*

1. Tamponade pericardium

2. Koarktasio aorta

3. Emboli paru

4. Hipertensi pulmonalis primer


* Disebabkan oleh factor-faktor ekstrinsik terhadap katup-katup jantung dan
miokardium

C. Syok Oligemik

1. Perdarahan

2. Kekurangan cairan akibat muntah, diare, dehidrasi, diabetes mellitus, diabetes insipidus,
kerusakan korteks adrenal, peritonitis, pancreatitis, luka bakar, adenoma vilosa, ascites, atau
feokromositoma

D. Syok Distributif

1. Septicemia

 Endotoksik

 Akibat infeksi spesifik, seperti demam dengue

2. Metabolic atau toksik

 Gagal ginjal

 Gagal hati

 Asidosis atau alkalosis berat

 Overdosis obat

 Intoksikasi logam berat

 Sindrom syok toksik (kemungkinan disebabkan oleh eksotoksin stafilokok)

 Hipertermia maligna

3. Endokrinologik

 Diabetes mellitus tak terkontrol dengan koma ketoasidosis atau hiperosmolar

 Kerusakan korteks adrenal

 Hipotiroidisme

 Hiperparatiroidisme atau hipoparatiroidisme

 Diabetes insipidus

 Hipoglikemia akibat kelebihan insulin eksogen atau akibat tumor sel beta
4. Mikrosirkulasi, akibat berubahnya viskositas darah

 Polisitemia vera

 Sindrom hiperviskositas, termasuk myeloma multiple, makroglobulinemia, dan


krioglobulinemia

 Anemia sel sabit

 Emboli lemak

5. Neurogenik

 Seebral

 Spinal

 otonom

6. Anafilaktik
III. KLASIFIKASI

Berdasarkan mekanismenya, syok diklasifikasikan sebagai berikut

1. Syok kardiogenik

2. Syok obtruktif

3. Syok oligemik

4. Syok distributive

Berdasarkan penyebabnya, syok diklasifikasikan sebagai berikut

1. Syok hipovolemik, yaitu kondisi medis atau bedah dimana terjadi kehilangan cairan dengan
cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ, disebabkan oleh volume sirkulasi yang
tidak adekuat dan berakibat pada perfusi yang tidak adekuat.

2. Syok kardiogenik

3. Syok neurogenik

4. Syok septic

5. Syok anafilatik

IV. MANIFESTASI KLINIK


Secara umum, manifestasi klinik syok adalah sebagai berikut

1. System Kardiovaskuler
Manifestasi klinik berupa:

 Gangguan sirkulasi perifer berupa pucat dan ekstremitas dingin. Kurangnya pengisian vena
perifer lebih bermakna dibandingkan penurunan tekanan darah.

 Nadi cepat dan halus

 Tekanan darah rendah

 Vena perifer kolaps

 CVP rendah

2. System Respirasi
Manifestasi klinik berupa pernapasan cepat dan dangkal.

3. System Saraf Pusat


Manifestasi klinik berupa perubahan mental pasien

4. Sistem Saluran Cerna


Manifestasi klinik berupa mual dan muntah.

5. System Saluran Kencing


Manifestasi klinik berupa berkurangnya produksi urin. Normal rata-rata produksi urin
pasien dewasa adalah 60 ml/jam ( 1/5-1 ml/kg/jam)

V. PATOFISIOLOGI

Berbagai mekanisme dapat menyebabkan terjadinya syok. Curah jantung yang


berkurang karena gagal jantung atau karena perdarahan, vasodilatasi karena
berbagai sebab seperti rangsangan simpatis parasimpatis, reaksi antigen dan
antibody dapat menyebabkan pengisian pembuluh darah tidak maksimal, sehingga
biasanya ditemukan manifestasi klinik berupa vena perifer kolaps dan CVP yang
rendah.. Hal ini menyebabkan pasokan darah tidak mampu memenuhi kebutuhan
darah.

Keadaan ini dikompensasi oleh tubuh dengan berbagai cara. Diantaranya dengan
vasokonstriksi pembuluh darah perifer sehingga ekstremitas tampak pucat dan
dingin, jantung berusaha berkontraksi lebih cepat untuk menghasilkan curah jantung
lebih banyak sehingga nadi menjadi cepat walaupun halus. Kondisi ini juga
menyebabkan kebutuhan akan oksigen semakin meningkat, sehingga pasien
bernafas denga cepat dan dangkal.

Selain itu, kompensasi tubuh juga dapat berupa retensi cairan di ginjal, sehingga
produksi urin pasien menjadi berkurang dari normal.

VI. PENATALAKSANAAN

Sistematika penatalaksanaan syok Hipovolemik

ALERGI
STEP 4

SYOK ANAFILAKTIK

PEMERIKSAAN
ABCDE

SUPORTIF FARMAKOLOGI

Anda mungkin juga menyukai