0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
49 tayangan10 halaman
ECT (electroconvulsive therapy) atau terapi kejut listrik merupakan pengobatan psikiatri yang menggunakan energi listrik untuk menimbulkan kejang pada pasien. ECT efektif pada 75% pasien dengan gangguan jiwa berat seperti depresi klinis dan skizofrenia katatonik yang tidak respons terhadap obat. ECT dapat meningkatkan kadar zat BDNF di otak dan menimbulkan efek terapeutik, meski mekanisme pastinya belum
ECT (electroconvulsive therapy) atau terapi kejut listrik merupakan pengobatan psikiatri yang menggunakan energi listrik untuk menimbulkan kejang pada pasien. ECT efektif pada 75% pasien dengan gangguan jiwa berat seperti depresi klinis dan skizofrenia katatonik yang tidak respons terhadap obat. ECT dapat meningkatkan kadar zat BDNF di otak dan menimbulkan efek terapeutik, meski mekanisme pastinya belum
ECT (electroconvulsive therapy) atau terapi kejut listrik merupakan pengobatan psikiatri yang menggunakan energi listrik untuk menimbulkan kejang pada pasien. ECT efektif pada 75% pasien dengan gangguan jiwa berat seperti depresi klinis dan skizofrenia katatonik yang tidak respons terhadap obat. ECT dapat meningkatkan kadar zat BDNF di otak dan menimbulkan efek terapeutik, meski mekanisme pastinya belum
FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS NGUDI WALUYO 2017 A. Pengertian ECT atau yang lebih dikenal dengan elektroshock atau terapi kejut listrik adalah suatu terapi psikiatri yang menggunakan energi shock listrik dalam usaha pengobatannya. Diperkirakan hampir 1 juta orang di dunia mendapat terapi ECT setiap tahunnya dengan intensitas antara 2-3 kali seminggu. ECT efektif pada hampir 75% pasien yang menjalankan prosedur dengan benar. Terapi ECT adalah suatu pengobatan untuk menimbulkan kejang grand mal secara artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui electrode yang dipasang pada satu atau dua temples. (Stuart Sundeen, 1998). Electro Convulsive Therapy/ ECT merupakan suatu pengobatan untuk penyakit psikiatri berat dimana pemberian arus listrik singkat pada kepala digunakan untuk kejang tonik klonik umum. (Szuba and Doupe, 1997). ECT bertujuan untuk menginduksi suatu kejang klonik yang dapat memberi efek terapi (therapeutic clonic seizure) setidaknya selama 15 detik. Kejang yang dimaksud adalah suatu kejang dimana seseorang kehilangan kesadarannya dan mengalami rejatan. Tentang mekanisme pasti dari kerja ECT sampai saat ini masih belum dapat dijelaskan dengan memuaskan. Namun beberapa penelitian menunjukkan kalau ECT dapat meningkatkan kadar serum brain-derived neurotrophic factor (BDNF) pada pasien depresi yang tidak responsif terhadap terapi farmakologis. Terapi ini menghasilkan kejang-kejang karena pengaruh aliran listrik yang diberikan pada pasien melalui elektroda-elektroda pada lobus frontalis. Dalam electroconvulsive terapi, arus listrik dikirim melalui kulit kepala ke otak. Elektroda ditempatkan pada kepala pasien dan dikendalikan, menyebabkan kejang-kejang singkat di otak. Pada saat terapi ini dijalankan, pasien akan kejang-kejang dan kehilangan kesadaran, kemudian kejang-kejang lambat laun hilang. Sebelum ECT, pasien diberi relaksan otot setelah anestesi umum. Bila ECT dilakukan dengan benar, akan menyebabkan pasien kejang, dan relaksasi otot diberikan untuk membatasi respon otot selama episode. Karena otot rileks, penyitaan biasanya akan terbatas pada gerakan kecil tangan dan kaki. Pasien dimonitor secara hati-hati selama perawatan. Pasien terbangun beberapa menit kemudian, tidak ingat kejadian seputar perlakuan atau perawatan, dan sering bingung. B. Prinsip Terapi Secara umum, diperlukan 2 atau 3 kali perawatan sebelum efek terlihat, dan 4-5 kali pengobatan untuk perbaikan nyata. Kini, jumlah tindakan yang dilakukan merupakan rangkaian yang bervariasi pada tiap pasien tergantung pada masalah pasien dan respons terapeutik sesuai hasil pengkajian selama tindakan. 1. Biasanya diberikan satu terapi per hari berselang-seling. 2. Rentang jumlah yang paling umum dilakukan pada pasien dengan gangguan afektif atau depresi antara 6 sampai 12 kali, mania dan katatonik membutuhkan 10-20 terapi, sedangkan pada pasien skizofrenia biasanya diberikan sampai 30 kali. ECT biasanya diberikan sampai tiga kali seminggu atau setiap beberapa hari, selama dua hingga empat minggu. Jika efektif, perubahan perilaku sudah mulai terlihat setelah 2-6 terapi. 3. Antidepresan rumatan, antipsikotik dan lithium dilanjutkan sesudah ECT berhasil karena dapat mencegah kekambuhan. Tanpa medikasi, angka kekambuhan tinggi. 4. ECT harus segera dihentikan setelah pasien pulih atau jika mereka mengatakan mereka tidak ingin menjalaninya lagi. C. Indikasi Pemberian ECT ECT adalah suatu prosedur yang serius, gunakan hanya pada keadaan yang direkomendasikan. Sangat tidak bijaksana jika kita melakukannya pada setiap pasien yang tidak membaik. Electroconvulsive terapi digunakan untuk mengobati : 1. Gangguan afek yang berat : pasien dengan penyakit depresi berat atau penyakit mental lainnya dan gangguan bipolar (mania) yang tidak berespon terhadap obat anti depresan atau pada pasien yang tidak dapat menggunakan obat karena cukup beresiko (terutama pada orang tua yang memiliki kondisi medis). ECT adalah salah satu cara tercepat untuk mengurangi gejala pada orang yang menderita mania atau depresi berat. ECT umumnya digunakan sebagai langkah terakhir ketika penyakit tidak merespon obat atau psikoterapi. Pasien dengan depresi menunjukkan respons yang baik dengan ECT 80-90% dibandingkan dengan antidepresan 70% atau lebih). Terapi ECT biasanya tidak efektif untuk mengobati depresi yang lebih ringan, yaitu gangguan disritmik atau gangguan penyesuaian dengan perasaan alam depresi. 2. Gangguan skizofrenia (Katatonia, stupor, paranoid, kegaduhan akut) : skizofrenia katatonik tipe stupor atau tipe excited memberika respon yang baik dengan ECT. Cobalah anti psikotik terlebih dahulu, tetapi jika kondisinya mengancam kehidupan (delirium hyperexcited), segera lakukan ECT. Pasien psikotik akut (terutama tipe skizoafektif) yang tidak berespons pada medikasi saja mungkin akan membaik jika ditambahkan ECT, tetapi pada sebagian besar skizofrenia kronis, ECT tidak terlalu berguna/ tidak efektif. 3. Pasien dengan bunuh diri yang aktif dan tidak mungkin menunggu pengobatan untuk dapat mencapai efek terapeutik. ECT juga digunakan ketika pasien parah menimbulkan ancaman bagi diri mereka sendiri atau orang lain dan itu berbahaya bila menunggu sampai obat-obatan berpengaruh. 4. Jika efek sampingan ECT yang diantisipasikan lebih rendah daripada efek terapi pengobatan, seperti pada pasien lansia dengan blok jantung/ gangguan hantaran jantung yang sudah ada sebelumnya dan selama masa kehamilan khususnya trimester pertama (ECT lebih aman untuk kehamilan). Namun diperlukan pertimbangan khusus jika ingin melakukan ECT bagi ibu hamil, anak-anak dan lansia karena terkait dengan efek samping yang mungkin ditimbulkannya. 5. Pada pasien hypoaktivitas dan hiperaktivitas, kurang tidur, gangguan makan/minum dan perilaku bunuh diri dan lain-lain. D. Kontra Indikasi Pemberian ECT Pasien dengan gangguan mental disertai adanya gangguan system kardiovaskuler dan adanya tumor pada otak. 1. Resiko sangat tinggi Pasien dengan masalah pernapasan berat yang tidak mampu mentolerir efek anestesi umum. Peningkatan tekanan intracranial (karena tumor otak, hematoma, stroke yang berkembang, aneurisma yang besar, infeksi SSP), ECT dengan cepat meningkatkan tekanan SSP dan resiko herniasi tentorium. Selalu periksa adanya papiledema sebelum melakukan ECT. Infark Miokard baru atau penyakit miokard berat : ECT sering menyebabkan aritmia (aritmia menimbulkan CVP pasca kejang atau kapan saja saat melakukan prosedur ECT) berakibat fatal jika terdapat kerusakan otot jantung. Tunggu hingga enzim dan EKG stabil. 2. Resiko sedang Osteoartritis berat, osteoporosis atau fraktur yang baru : siapkan selama terapi (pelemas otot) Penyakit kardiovaskuler (misal hipertensi, angina aneurisma/ Angina tidak terkontrol, aritmia, Gagal jantung kongestif), berikan premedikasi dengan hati-hati, dokter spesialis jantung hendaknya berada di sana. ECT untuk sementara meningkatkan tekanan darah, sehingga hipertensi primer berat harus terkontrol, paling tidak sebelum setiap pengobatan. Infeksi berat, cedera serebrovaskular (Cerebrovascular accident/ CVA) baru, kesulitan bernafas yang kronis, ulkus peptic yang akut, Osteoporosis berat, fraktur tulang besar, glaukoma, retinal detachment. E. Efek Samping dari Pemberian ECT Efek samping ECT secara fisik hampir mirip dengan efek samping dari anesthesia umum. Secara psikis efek samping yang paling sering muncul adalah kebingungan dan memory loss (75% kasus) setelah beberapa jam kemudian (biasanya hilang satu minggu sampai beberapa bulan setelah perawatan). Biasanya ECT akan menimbulkan amnesia retrograde terhadap peristiwa tepat sebelum masing-masing pengobatan dan anterograde, gangguan kemampuan untuk mempertahankan informasi baru. Beberapa ahli juga menyebutkan bahwa ECT dapat merusak struktur otak. Namun hal ini masih diperdebatkan karena masih belum terbukti secara pasti. Efek samping khusus yang perlu diperhatikan: a) Cardiovaskuler : 1) Segera : stimulasi parasimpatis (bradikardi, hipotensi) 2) Setelah 1 menit : Stimulasi simpatis (tachycardia, hipertensi, peningkatan konsumsi oksigen otot jantung, dysrhythmia) 3) ECT dapat menyebabkan serangan jantung, stroke, atau kematian (kasus yang sangat jarang). Orang dengan masalah jantung tertentu biasanya tidak diindikasikan untuk ECT. b) Efek Cerebral : 1) Peningkatan konsumsi oksigen. 2) Peningkatan cerebral blood flow 3) Peningkatan tekanan intra cranial 4) Amnesia (retrograde dan anterograde) – bervariasi, dimulai setelah 3-4 terapi, berakhir 2-3 bulan atau lebih. Lebih berat pada terapi dengan metode bilateral, jumlah terapi yang semakin banyak, kekuatan listrik yang meningkat dan adanya organisitas sebelumnya. c) Efek lain : 1) Peningkatan tekanan intra okuler 2) Peningkatan tekanan intragastric 3) Kebingungan (biasanya hanya berlangsung selama jangka waktu yang singkat), pusing. 4) Mual, Headache/sakit kepala, nyeri otot. 5) Fraktur vertebral dan ekstremitas dan Rahang sakit. Efek ini dapat berlangsung dari beberapa jam sampai beberapa hari dan jarang terjadi bila relaksasi otot baik. 6) Resiko anestesi pada ECT. 7) Kematian dengan angka mortalitas 0,002%. F. Perlengkapan Untuk Terapi ECT 1) Perlengkapan dan peralatan tindakan, termasuk perekat electrode dan gel, kasa, alcohol, larutan garam (saline), electrode EEG, dan kertas grafik. 2) Perlengkapan untuk memantau, termasuk Elektro Kardio Graf (EKG) dan electrode EKG. 3) Alat pengukur tekanan darah (2), stimulator saraf perifer dan oksimeter denyut nadi. 4) Stetoskop. 5) Palu reflex. 6) Peralatan untuk intravena. 7) Balok penggigit dengan tempatnya. 8) Alat pengikat dengan kasur yang keras dan berisi pengaman dengan tempat berbaring yang dapat diangkat bagian kaki dan kepala. 9) Peralatan penghisap lendir (suction). 10) Perlengkapan ventilasi, termasuk selang, masker. Saluran udara oral, perlengkapan intubasidengan system pemberian oksigen yang dapat memberikan tekanan oksigen positif. 11) Obat-obat untuk keadaan darurat sebagaimana yang direkomendasikan oleh staf anestesi. 12) Berbagai obat-obatan yang tidak disiapkan oleh staf anestesi untuk pengobatan medic selama ECT seperti labetalol, emolol, glikopirolate, karein, kurare, midazolam, diazepam, thiopental sodium (pentotal), metoheksital sodium (brevital) dan suksinilkolin. G. Persiapan ECT 1) Informed consent / izin tindakan 2) Pasien dipuasakan minimal 5 jam 3) Kandung kemih klien dikosongkan 4) Pemeriksaan fisik dan riwayat medis standar 5) Pemeriksaan laboratorium sesuai riwayat medis 6) Pemeriksaan EKG dan EEG 7) Evaluasi ahli anestesi akan resiko penggunaan anestesi H. Prosedur Pelaksanaan E.C.T 1) Premedikasi dengan injeksi atropin 0,6 – 1,2 mg I.M atau S.C 2) Pemeriksaan gigi geligi dan pemasangan tounge spatel 3) Anestesi dengan tiopental / penthotal 3mg/kgbb I.V, ketamin 6-10 mg/kgbb i.M. 4) Diberi perelaksasi otot suksinil kholin (0,5-1,5 mg/kg) I. Efek Samping ECT 1) Gangguan memori sementara 2) Sakit kepala 3) Nyeri otot 4) Peningkatan permiabilitas sawar otak (blood brain barrier) 5) Apnue 6) Cardiac Arrythmia 7) Sistem Kardiovaskuler a. Efek parasimpatetik (stlh ECT) yaitu bradikardi sp asistole; pas >50 th- supraventriculair ectopic at atrial fibrilasi (vagal) b. Glandula suprarenal melepas katekolamin: HR, TD ↑, segera ↓ begitu jika sudah tidak kejang. TD naik lagi 1 jam (50 th), 5 mnt HR ↓. 55% kel kardiovaskuler, perubahan gelombang T dan ST depresi. c. 90% pasien ECT aman, diberikan kepada pasien hipertensi pulmonalis, subakut myocard infark, aneurisma aorta, Takatsubo’s syndrom. Pace maker , “device abort aritmia” bukan kontra indikasi, transplantasi jantung juga aman. 8) Sistem Respirasi a. Efek anestesi yaitu efek fisiologis b. Muscle relaxan: henti nafas- oksigen c. Penyakit paru: eksaserbasi asma, PPO 9) Gigi geligi Gigi patah: menyumbat saluran nafas 10) Sistim Muskuloskeletal a. Sebelum ada curare, succinil choline: fraktur tulang panjang dan tulang belakang. b. Gangguan sendi temporomandibuler. c. Setelah anestesi: mialgia karena fasikulas. J. Pelaksanaan ECT 1. Setelah alat sudah disiapkan, pindahkan klien ke tempat dengan permukaan rata dan cukup keras. Posisikan hiperektensi punggung tanpa bantal. Pakaian dikendorkan, seluruh badan di tutup dengan selimut, kecuali bagian kepala. 2. Berikan natrium metoheksital (40-100 mg IV). Anestetik barbiturat ini dipakai untuk menghasilkan koma ringan. 3. Berikan pelemas otot suksinikolin atau Anectine (30-80 mg IV) untuk menghindari kemungkinan kejang umum. 4. Kepala bagian temporal (pelipis) dibersihkan dengan alkohol untuk tempat elektrode menempel. 5. Kedua pelipis tempat elektroda menempel dilapisi dengan kasa yang dibasahi caira Nacl. 6. Klien diminta untuk membuka mulut dan masang spatel/karet yang dibungkus kain dimasukkan dan klien diminta menggigit 7. Rahang bawah (dagu), ditahan supaya tidak membuka lebar saat kejang dengan dilapisi kain. 8. Persendian (bahu, siku, pinggang, lutu) di tahan selama kejang dengan mengikuti gerak kejang. 9. Pasang elektroda di pelipis kain kasa basah kemudia tekan tombol sampai timer berhenti dan dilepas. 10. Menahan gerakan kejang sampai selesai kejang dengan mengikuti gerakan kejang (menahan tidak boleh dengan kuat). 11. Bila berhenti nafas berikan bantuan nafas dengan rangsangan menekan diafragma. 12. Bila banyak lendir, dibersihkan dengan slim siger. 13. Kepala dimiringkan. 14. Observasi sampai klien sadar. 15. Dokumentasikan hasil di kartu ECT dan catatan keperawatan. K. Setelah ECT 1. Observasi dan awasi tanda vital sampai kondisi klien stabil. 2. Jaga keamanan klien. 3. Bila klien sudah sadar bantu mengembalikan orientasi klien sesuai kebutuhan, biasanya timbul kebingungan pasca kejang 15-30 menit. DAFTAR PUSTAKA
Guze B, Richelmer S, Siegel DJ. : The Handbook of Psychiatry, California : UCLA
Neuropsychiatric Institute, Year Book Medical Publisher, 1990. Sadock BJ, Sadock VA. : Pocket Handbook of Clinical Psychiatry, Fourth Edition, Baltimore : Williams and Wilkins, 2005. Waldinger R.J. : Psychiatry for medical student, Washington, DC : American Psychiatry Press, 1997 Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. : Kaplan and Sadock’s synopsis of psychiatry, Baltimore : Williams and Wilkins, 1997. Tomb David.A. : House Officer Series, Baltimore : Williams and Wilkins, 1999.