Pelayanan Pasien
Pelayanan Pasien
PENDAHULUAN
1.1. Tujuan utama rumah sakit adalah memberikan perawatan yang terbaik untuk pasien. Agar dapat
memberikan dukungan dan respon yang baik sesuai dengan kebutuhan pasien, juga untuk
menjalankan prinsip ”satu level perawatan yang bermutu” keseragaman pemberian pelayanan
kepada pasien tanpa membedakan waktu, faktor ekonomi, sosial, agama, ras, suku, bangsa, maka
dibutuhkan adanya perencanaan dan koordinasi kerja yang baik.
1.2. Dilain pihak pasien dengan masalah yang sama berhak mendapatkan mutu pelayanan yang sama
disemua unit di rumah sakit. Mengingat hal ini maka diperlukan adanya kebijakan dan prosedur
disetiap unit agar dapat memberikan pelayanan yang seragam setiap hari maupaun saat hari
minggu atau hari libur besar. Dengan perawatan yang seragam akan memberikan dampak, baik
pada efisiensi dan memudahkan dalam melakukan evaluasi.
2. TUJUAN
2.1. Menyediakan acuan kerja untuk menjamin pemberian pelayanan yang sama untuk semua pasien
3. RUANG LINGKUP
Kebijakan ini berlaku bagi semua staff rumah sakit: dokter, perawat, penunjang medik dan staff
lainnya yang memberikan pelayanan pada pasein.
4.3. Manager Keperawatan, Bertanggung jawab untuk memastikan Kebijakan Perawatan Pasien
berjalan dengan tepat dan dimonitor
5. DEFINISI
5.1. Perawatan pasien adalah semua tindakan yang diberikan pada pasien seperti tindakan medis
dan, pengobatan, tindakan perawatan serta tindakan lainnya yang diberikan pada pasien sejak
pasien masuk rumah sakit sampai pasien pulang dari rumah sakit
5.2. Pelayanan kesehatan perorangan adalah setiap kegiatan pelayanan kesehatan yang diberikan
oleh tenaga kesehatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah, mengobati
penyakit, dan memulihkan kesehatan.
5.3. Tenaga kesehatan adalah tenaga dokter, perawat, bidan, perawat gigi, apoteker, asisten
apoteker, fisioterapis, refraksionis, optisien, terapis wicara dan radiografer
5.4. Pelayanan Medis adalah pelayanan kesehatan individual yang dilandasi ilmu klinik, merupakan
upaya kesehatan perorangan yang meliputi aspek pencegahan primer, pencegahan skunder
meliputi deteksi dini dan pengobatan serta pembatasan cacat dan pencegahan tersier berupa
rehabilitasi medik yang secara maksimal dilakukan oleh dokter. (KepMenKes RI No.
666/MENKES/SK/VI/2007)
5.5. Rawat Inap adalah pelayanan kesehatan perorangan yang meliputi observasi, diagnosa,
pengobatan, keperawatan, rehabilitasi medik dengan menginap diruang rawat inap pada sarana
kesehatan yang oleh karena penyakitnya penderita harus menginap. (KepMenKes RI No.
666/MENKES/SK/VI/2007)
6. PERNYATAAN KEBIJAKAN
6.1. Akses, ketepatan pelayanan dan pengobatan tidak tergantung pada kemampuan pasien
untuk membayar atau sumber pembiayannya.
6.1.1. Semua pasien yang datang ke Unit Emergency harus melalui Triage dan segera diberikan
pertolongan pertama tanpa membedakan suku, agama dan status sosial ekonomi
6.1.2. Setiap pasien yang datang berobat ke Unit Emergency dengan kasus gawat maupun tidak
gawat harus diberikan pelayanan yang cepat, tepat dan efisien
6.1.3. Terhadap pasien yang gawat dilakukan perawatan, tindakan dan observasi kegawatan
secara intensif oleh dokter dan perawat sampai dengan kondisi klinis pasien stabil, tanpa
mempertimbangkan biaya dan sumber pembiayaannya
6.1.4. Pada pasien yang sudah dalam perawatan namun mengalami kesulitan dalam
pembiayaan perawatannya, maka yang bersangkutan dianjurkan untuk berkonsultasi
dengan bagian keuangan rumah sakit. Pada kondisi demikian perawatan, tindakan dan
observasi yang diberikan kepada pasien tetap sama seperti kepada pasien lainnya.
6.2. Akses pada ketepatan pelayanan oleh petugas kesehatan tidak bergantung pada hari dan
waktu kerja
6.2.1. Pada setiap unit pelayanan tersedia jadwal tugas yang mencerminkan jumlah, jenis atau
kategori serta penentuan penanggung jawab atau koordinator jaga pada setiap hari dan
shift jaga
6.2.2. Diluar jam kerja kantor dan hari libur ada petugas (dokter, perawat, petugas lainnya) yang
bersedia di panggil untuk menangani pasien dan kebutuhannya
6.2.3. Diluar jam kerja kantor dan hari libur ada petugas sebagai Duty Officer yang bekerja untuk
mengkoordinasikan semua kegiatan dan menjamin proses pelayanan tetap berjalan baik
6.3. Ketergantungan kondisi pasien menentukan sumber daya yang dialokasikan untuk
memenuhi kebutuhan pasien
6.3.1. Semua pasien yang datang ke Unit Emergency harus melalui Triage untuk menentukan
tingkat kegawatan dan pemberian pelayanan sesuai kategori pasien
6.3.2. Pada setiap kategori ketergantungan pasien tersedia fasilitas / sumber daya yang sesuai
6.3.3. Penentuan petugas yang menangani pasien berdasarkan kompetensi yang dimiliki dan
tingkat ketergantungan pasien
6.4. Tingkat pelayanan yang diberikan kepada pasien adalah sama diseluruh RS.
6.4.1. Tersedia sistim dan prosedur yang berlaku sama diseluruh unit pelayanan di RS
6.4.2. Semua pasien yang masuk ke rumah sakit untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhannya dan sesuai dengan cakupan
pelayanan yang di sediakan oleh rumah sakit
6.4.3. Semua order pemeriksaan dan penunjang lain yang di order untuk pasien harus dituliskan
oleh dokter (mengacu pada kebijakan Medical record)
6.4.4. Pada pasien yang memerlukan tindakan pelayanan anaestesi mendapat perlakukan yang
sama
6.4.5. Proses asuhan pada pasien ditetapkan dengan pengkajian hingga evaluasi. Proses
perencanaan dibuat berdasarkan pengkajian data awal yang dibuat berdasarkan
kebutuhan pasien. Perencanaan asuhan dibuat tidak lebih dari 24 jam setelah pasien
masuk perawatan.
6.4.6. Dalam pelayanan medis, pemantauan dilakukan oleh Case Manager, antara lain:
i. Diagnosa harus ditegakan paling lama 72 jam setelah pasein masuk rawat
ii. Menyarankan dilakukannya peninjauan kasus (Case review) pada pasien yang telah
dirawat > 7 hari. Case review tersebut akan dihadiri oleh;
DPJP,
Dokter lain yang teribat,
Sub Komite Mutu - Komite Medik
Manager Medik
iii. DPJP harus membuat Rencana perawatan (care plan) untuk setiap pasien yang
dirawat
6.4.7. DPJP harus melakukan pengkajian ulang (Re-assessment) pasien rawat inap sesuai
dengan Kebijakan Pengkajian & Pengkajian Ulang Pasien
6.4.8. Perkembangan asuhan pasien dievaluasi dan direvisi sesuai dengan pengkajian ulang
yang dilakukan oleh setiap tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan.
6.5. Pasien dengan kebutuhan pelayanan keperawatan yang sama menerima pelayanan
keperawatan yang setingkat diseluruh Rumah Sakit.
6.5.1. Petugas dalam memberikan pelayanan keperawatan menghargai harkat dan martabat
manusia, keunikan klien, dan tidak terpengaruh oleh pertimbangan kebangsaan,
kesukuan, warna kulit, umur, jenis kelamin, aliran politik dan agama yang dianut serta
kedudukan sosial.
6.5.2. Tersedia stándar pelayanan medik dan standar asuhan keperawatan yang sama diseluruh
unit pelayanan keperawatan
6.5.3. Semua pelayanan yang diberikan kepada pasien baik pelayanan medis maupun
pelayanan perawatan terintegrasi dan di dokumentasikan dalam medical record pasien
yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan.
9. DOKUMEN TERKAIT
9.1. Kebijakan Penerimaan dan Akses Pasien
9.2. Kebijakan Pengkajian dan Pengkajian Ulang Pasien
9.3. Kebijakan Pelayanan Emergency
10. REFERENSI
10.1. Undang Undang Republik Indonesia No 36 tahun 2009 tentang Kesehata
PANDUAN
PELAYANAN KASUS EMERGENSI
PENDAHULUAN
Penilaian awal korban cedera kritis akibat cedera multipel merupakan tugas
yang menantang, dan tiap menit bisa berarti hidup atau mati. Sistem Pelayanan
Tanggap Darurat ditujukan untuk mencegah kematian dini (early) karena trauma
yang bisa terjadi dalam beberapa menit hingga beberapa jam sejak cedera
(kematian segera karena trauma, immediate, terjadi saat trauma. Perawatan kritis,
intensif, ditujukan untuk menghambat kematian kemudian, late, karena trauma
yang terjadi dalam beberapa hari hingga beberapa minggu setelah trauma).
Kematian dini diakibatkan gagalnya oksigenasi adekuat pada organ vital
(ventilasi tidak adekuat, gangguan oksigenisasi, gangguan sirkulasi, dan perfusi
end-organ tidak memadai), cedera SSP masif (mengakibatkan ventilasi yang tidak
adekuat dan / atau rusaknya pusat regulasi batang otak), atau keduanya. Cedera
penyebab kematian dini mempunyai pola yang dapat diprediksi (mekanisme
cedera, usia, sex, bentuk tubuh, atau kondisi lingkungan). Tujuan penilaian awal
adalah untuk menstabilkan pasien, mengidentifikasi cedera / kelainan pengancam
jiwa dan untuk memulai tindakan sesuai, serta untuk mengatur kecepatan dan
efisiensi tindakan definitif atau transfer kefasilitas sesuai.
Setiap bencana selalu menampilkan bahaya dan kesulitannya masing-
masing. Yang akan dibicarakan berikut ini antara lain adalah petunjuk umum
dalam mengelola korban bencana disamping untuk kegawatan sehari-hari.
Mungkin diperlukan modifikasi oleh pemegang komando bila dianggap diperlukan
perubahan.Bencana adalah setiap keadaan dimana jumlah pasien sakit atau cedera
melebihi kemampuan sistem gawat darurat yang tersedia dalam memberikan
perawatan adekuat secara cepat dalam usaha meminimalkan kecacadan atau
kematian (korban massal), dengan terjadinya gangguan tatanan sosial, sarana,
prasarana (Bencana kompleks bila disertai ancaman keamanan). Bencana mungkin
disebabkan oleh ulah manusia atau alam. Keberhasilan pengelolaan bencana
memerlukan perencanaan sistem pelayanan gawat darurat lokal, regional dan
nasional, pemadam kebakaran / rescue, petugas hukum dan masyarakat.
Kesiapan rumah sakit serta kesiapan pelayanan spesialistik harus disertakan
dalam mempersiapkan perencanaan bencana. Secara nasional kegiatan
penanggulangan gawat darurat sehari-hari maupun dalam bencana diatur dalam
Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT S/B) yang harus
diterapkan oleh semua fihak termasuk masyarakat awam, dibagi kedalam
subsistem pra rumah sakit, rumah sakit dan antar rumah sakit.
Proses pengelolaan bencana diatur dalam Sistem Komando Bencana. Kendali
biasanya ditangan Bakornas-PB (Banas) / Satkorlak-PB / Satlak-PB, namun bisa
juga pada penegak hukum seperti pada kasus kriminal / terorisme atau
penyanderaan. Kelompok lain bisa membantu pemegang kendali. Jaringan
transportasi dan komunikasi antar instansi harus sudah dimiliki untuk mendapatkan
pengelolaan bencana yang berhasil.
Respons Tingkat I : Bencana terbatas yang dapat dikelola oleh petugas sistim
gawat darurat dan penyelamat lokal tanpa memerlukan bantuan dari luar
organisasi.
Respons Tingkat II : Bencana yang melebihi atau sangat membebani petugas sistim
gawat darurat dan penyelamat lokal hingga membutuhkan pendukung sejenis serta
koordinasi antar instansi. Khas dengan banyaknya jumlah korban.
Respons Tingkat III : Bencana yang melebihi kemampuan sumber sistim gawat
darurat dan penyelamat baik lokal atau regional. Korban yang tersebar pada
banyak lokasi sering terjadi. Diperlukan koordinasi luas antar instansi.
TRIASE.
Triase adalah proses khusus memilah pasien berdasar beratnya cedera atau
penyakit (berdasarkan yang paling mungkin akan mengalami perburukan klinis
segera) untuk menentukan prioritas perawatan gawat darurat medik serta prioritas
transportasi (berdasarkan ketersediaan sarana untuk tindakan). Artinya memilih
berdasar prioritas atau penyebab ancaman hidup. Tindakan ini berdasarkan
prioritas ABCDE yang merupakan proses yang sinambung sepanjang pengelolaan
gawat darurat medik.
Proses triase inisial harus dilakukan oleh petugas pertama yang tiba /
berada ditempat dan tindakan ini harus dinilai ulang terus menerus karena status
triase pasien dapat berubah. Bila kondisi memburuk atau membaik, lakukan
retriase. Triase harus mencatat tanda vital, perjalanan penyakit pra RS, mekanisme
cedera, usia, dan keadaan yang diketahui atau diduga membawa maut. Temuan
yang mengharuskan peningkatan pelayanan antaranya cedera multipel, usia
ekstrim, cedera neurologis berat, tanda vital tidak stabil, dan kelainan jatung-paru
yang diderita sebelumnya. Survei primer membantu menentukan kasus mana yang
harus diutamakan dalam satu kelompok triase (misal pasien obstruksi jalan nafas
dapat perhatian lebih dibanding amputasi traumatik yang stabil).
Tag Triase
Tag (label berwarna dengan form data pasien) yang dipakai oleh petugas
triase untuk mengindentifikasi dan mencatat kondisi dan tindakan medik terhadap
korban.
*) tenaga dan fasilitas pusat pelayanan, pasien dengan peluang hidup terbesar
dengan paling sedikit manghabiskan waktu, peralatan dan persediaan, ditindak
lebih dulu. Ketua Tim Medik mengatur Sub Tim Triase dari Tim Tanggap Pertama
(First Responders) untuk secara cepat menilai dan men tag korban. Setelah
pemilahan selesai, Tim Tanggap Pertama melakukan tindakan sesuai kode pada
tag.
(Umumnya tim tidak mempunyai tugas hanya sebagai petugas triase, namun juga
melakukan tindakan pasca triase setelah triase selesai).
1. Pertahankan keberadaan darah universal dan cairan.
2. Tim tanggap pertama harus menilai lingkungan atas kemungkinan bahaya,
keamanan dan jumlah korban dan kebutuhan untuk menentukan tingkat respons
yang memadai (Rapid Health Assessment / RHA).
3. Beritahukan koordinator propinsi (Kadinkes Propinsi) untuk mengumumkan
bencana serta mengirim kebutuhan dan dukungan antar instansi sesuai yang
ditentukan oleh beratnya kejadian (dari kesimpulan RHA).
4. Kenali dan tunjuk pada posisi berikut bila petugas yang mampu tersedia :
- Petugas Komando Bencana.
- Petugas Komunikasi.
- Petugas Ekstrikasi/Bahaya.
- Petugas Triase Primer.
- Petugas Triase Sekunder.
- Petugas Perawatan.
- Petugas Angkut atau Transportasi.
5. Kenali dan tunjuk area sektor bencana :
- Sektor Komando / Komunikasi Bencana.
- Sektor Pendukung (Kebutuhan dan Tenaga).
- Sektor Bencana.
- Sektor Ekstrikasi / Bahaya.
- Sektor Triase.
- Sektor Tindakan Primer.
- Sektor Tindakan Sekunder.
- Sektor Transportasi.
6. Rencana Pasca Kejadian Bencana :
7. Kritik Pasca Musibah.
8. CISD (Critical Insident Stress Debriefing).
Sektor Tindakan Sekunder bisa berupa Sektor Tindakan Utama dimana korban
kelompok merah dan kuning yang menunggu transport dikumpulkan untuk lebih
mengefisienkan persedian dan tenaga medis dalam resusitasi-stabilisasi.
TINDAKAN DAN EVAKUASI MEDIK
Tim Medik dari Tim Tanggap Pertama (bisa saja petugas yang selesai
melakukan triase) mulai melakukan stabilisasi dan tindakan bagi korban berdasar
prioritas triase, dan kemudian mengevakuasi mereka ke Area Tindakan Utama
sesuai kode prioritas. Kode merah dipindahkan ke Area Tindakan Utama terlebih
dahulu.
TRANSPORTASI KORBAN
Koodinator Transportasi mengatur kedatangan dan keberangkatan serta
transportasi yang sesuai. Koordinator Transportasi bekerjasama dengan
Koordinator Medik menentukan rumah sakit tujuan, agar pasien trauma serius
sampai kerumah sakit yang sesuai dalam periode emas hingga tindakan definitif
dilaksanakan pada saatnya. Ingat untuk tidak membebani RS rujukan melebihi
kemampuannya. Cegah pasien yang kurang serius dikirim ke RS utama. (Jangan
pindahkan bencana ke RS).
PERIMETER
Perimeter Terluar.
Mengontrol kegiatan keluar masuk lokasi. Petugas keamanan mengatur perimeter
sekitar lokasi untuk mencegah masyarakat dan kendaraan masuk kedaerah
berbahaya. Perimeter seluas mungkin untuk mencegah yang tidak berkepentingan
masuk dan memudahkan kendaraan gawat darurat masuk dan keluar.
PENILAIAN AWAL.
Penilaian awal mencakup protokol persiapan, triase, survei primer,
resusitasi-stabilisasi, survei sekunder dan tindakan definitif atau transfer ke RS
sesuai. Diagnostik absolut tidak dibutuhkan untuk menindak keadaan klinis kritis
yang diketakui pada awal proses. Bila tenaga terbatas jangan lakukan urutan
langkah-langkah survei primer. Kondisi pengancam jiwa diutamakan.
Survei Primer.
Langkah-langkahnya sebagai ABCDE (airway and C-spine control,
breathing, circulation and hemorrhage control, disability, exposure/environment).
Jalan nafas merupakan prioritas pertama. Pastikan udara menuju paru-paru tidak
terhambat. Temuan kritis seperti obstruksi karena cedera langsung, edema, benda
asing dan akibat penurunan kesadaran. Tindakan bisa hanya membersihkan jalan
nafas hingga intubasi atau krikotiroidotomi atau trakheostomi.
Nilai pernafasan atas kemampuan pasien akan ventilasi dan oksigenasi.
Temuan kritis bisa tiadanya ventilasi spontan, tiadanya atau asimetriknya bunyi
nafas, dispnea, perkusi dada yang hipperresonans atau pekak, dan tampaknya
instabilitas dinding dada atau adanya defek yang mengganggu pernafasan.
Tindakan bisa mulai pemberian oksigen hingga pemasangan torakostomi pipa dan
ventilasi mekanik.
Nilai sirkulasi dengan mencari hipovolemia, tamponade kardiak, sumber
perdarahan eksternal. Lihat vena leher apakah terbendung atau kolaps, apakah
bunyi jantung terdengar, pastikan sumber perdarahan eksternal sudah diatasi.
Tindakan pertama atas hipovolemia adalah memberikan RL secara cepat melalui 2
kateter IV besar secara perifer di ekstremitas atas. Kontrol perdarahan eksternal
dengan penekanan langsung atau pembedahan, dan tindakan bedah lain sesuai
indikasi.
Tetapkan status mental pasien dengan GCS dan lakukan pemeriksaan
motorik. Tentukan adakah cedera kepala atau kord spinal serius. Periksa ukuran
pupil, reaksi terhadap cahaya, kesimetrisannya. Cedera spinal bisa diperiksa
dengan mengamati gerak ekstremitas spontan dan usaha bernafas spontan. Pupil
yang tidak simetris dengan refleks cahaya terganggu atau hilang serta adanya
hemiparesis memerlukan tindakan atas herniasi otak dan hipertensi intrakranial
yang memerlukan konsultasi bedah saraf segera.
Tidak adanya gangguan kesadaran, adanya paraplegia atau kuadriplegia
menunjukkan cedera kord spinal hingga memerlukan kewaspadaan spinal dan
pemberian metilprednisolon bila masih 8 jam sejak cedera (kontroversial). Bila
usaha inspirasi terganggu atau diduga lesi tinggi kord leher, lakukan intubasi
endotrakheal.
Tahap akhir survei primer adalah eksposur pasien dan mengontrol
lingkungan segera. Buka seluruh pakaian untuk pemeriksaan lengkap. Pada saat
yang sama mulai tindakan pencegahan hipotermia yang iatrogenik biasa terjadi
diruang ber AC, dengan memberikan infus hangat, selimut, lampu pemanas, bila
perlu selimut dengan pemanas.
Prosedur lain adalah tindakan monitoring dan diagnostik yang dilakukan
bersama survei primer. Pasang lead ECG dan monitor ventilator, segera pasang
oksimeter denyut. Monitor memberi data penuntun resusitasi. Setelah jalan nafas
aman, pasang pipa nasogastrik untuk dekompresi lambung serta mengurangi
kemungkinan aspirasi cairan lambung. Katater Foley kontraindikasi bila urethra
cedera (darah pada meatus, ekimosis skrotum / labia major, prostat terdorong
keatas). Lakukan urethrogram untuk menyingkirkan cedera urethral sebelum
kateterisasi.
Survei Sekunder.
Formalnya dimulai setelah melengkapi survei primer dan setelah memulai fase
resusitasi. Pada saat ini kenali semua cedera dengan memeriksa dari kepala hingga
jari kaki. Nilai lagi tanda vital, lakukan survei primer ulangan secara cepat untuk
menilai respons atas resusitasi dan untuk mengetahui perburukan. Selanjutnya cari
riwayat, termasuk laporan petugas pra RS, keluarga, atau korban lain.
Bila pasien sadar, kumpulkan data penting termasuk masalah medis sebelumnya,
alergi dan medikasi sebelumnya, status immunisasi tetanus, saat makan terakhir,
kejadian sekitar kecelakaan. Data ini membantu mengarahkan survei sekunder
mengetahui mekanisme cedera, kemungkinan luka bakar atau cedera karena suhu
dingin (cold injury), dan kondisi fisiologis pasien secara umum.
PENUTUP.
Indonesia adalah super market bencana. Semua petugas medis bisa terlibat dalam
pengelolaan bencana. Semua petugas wajib melaksanakan Sistim Komando
Bencana dan berpegang pada SPGDT-S/B pada semua keadaan gawat darurat
medis baik dalam keadaan bencana atau sehari-hari. Semua petugas harus waspada
dan memiliki pengetahuan sempurna dalam peran khusus dan pertanggung-
jawabannya dalam usaha penyelamatan pasien.
Karena banyak keadaan bencana yang kompleks, dianjurkan bahwa semua petugas
harus berperan-serta dan menerima pelatihan tambahan dalam pengelolaan bencana
agar lebih terampil dan mampu saat bencana sebenarnya.
RUJUKAN.
1. Seri PPGD. Penanggulangan Penderita Gawat Darurat / General Emergency Life
Support (GELS). Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT).
Cetakan Ketiga. Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan
R.I. 2006.
2. Penanggulangan Kegawatdaruratan sehari-hari & bencana. Departemen
Kesehatan R.I. Jakarta : Departemen Kesehatan, 2006.
3. Tanggap Darurat Bencana (Safe Community). Departemen Kesehatan R.I.
Jakarta : Departemen Kesehatan, 2006.
4. Prosedur Tetap Pelayanan Kesehatan Penanggulangan Bencana dan
Penaanganan Pengungsi. Departemen Kesehatan R.I. Pusat Penanggulangan
Masalah Kesehatan. Tahun 2002.
5. Advanced Trauma Life Support. Course for Physicians 6th. edition. American
College of Surgeons, 55 East Erie Street, Chicago, IL 60611-2797.
6. Multiple Casualty Insidents. Available at
http://www.vgernet.net/bkand/state/multiple.html.
PEMBUATAN LAPORAN OPERASI
STANDAR
PROSEDUR OPERASIONAL
Lili Ernani, S.E., M.Kes.
NIP : 196307141984102013
Pengertian Keadaan Terminal adalah suatu keadaan sakit dimana menurut akal sehat tidak tidak
ada harapan lagi bagi si sakit untuk sembuh.
Kematian adalah suatu keadaan terputusnya hubungan tubuh dengan dunia luar yang
ditandai dengan tidak adanya denyut nadi, tidak bernafas selama beberapa menit dan
ketiadaan segala refleks, serta ketiadaan kegiatan otak dan sudah dinyatakan oleh
dokter yang berwenang.