Anda di halaman 1dari 63

PERENCANAAN WELL COMPLETION BERDASARKAN

KARAKTERISTIK RESERVOIR BATU PASIR PENGENDAPAN DELTA

PROPOSAL
KOMPREHENSIF

Disusun Oleh :
Nama : Elysa Ekaningtyas
NIM : 113140090

JURUSAN TEKNIK PERMINYAKAN


FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
YOGYAKARTA
2017
PERENCANAAN WELL COMPLETION BERDASARKAN
KARAKTERISTIK RESERVOIR BATU PASIR PENGENDAPAN DELTA

PROPOSAL
KOMPREHENSIF

Disusun Oleh :
Nama : Elysa Ekaningtyas
NIM : 113140090

Disetujui Untuk Jurusan Teknik Perminyakan


Fakultas Teknologi Mineral
UPN “Veteran” Yogyakarta,
Oleh :

Ir. Agus Widiyarso, MT


Pembimbing Komprehensif
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah


melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
proposal komprehensif yang berjudul “PERENCANAAN WELL COMPLETION
BERDASARKAN KARAKTERISTIK RESERVOIR BATUPASIR PENGENDAPAN
DELTA”. Proposal komprehensif ini disusun untuk memberikan gambaran tentang
latar belakang, tujuan dan materi yang akan dibahas didalam penyusunan
komprehensif.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang sudah
membantu baik secara moral maupun material, sehingga penyusunan proposal ini
dapat selesai.
Akhirnya, semoga proposal komprehensif ini dapat bermanfaat bagi
penulis dan semua pihak yang memerlukannya.

Yogyakarta, 25 April 2017

Elysa Ekaningtyas
NIM 113140090
I. JUDUL
“PERENCANAAN WELL COMPLETION BERDASARKAN KARAKTERISTIK
RESERVOIR BATUPASIR PENGENDAPAN DELTA”

II. LATAR BELAKANG


Delta adalah suatu deposit transisional dengan sungai sebagai
pembentuknya dan penyebarannya oleh arus air laut, dimana perkembangan delta
tergantung oleh pertambahan material. Delta akan makin berkembang jika
pertambahan material lebih besar dengan diikuti oleh kekuatan arus untuk
menyebarkannya.
Reservoir yang terbentuk pada lingkungan pengendapan delta sangat
dipengaruhi oleh tingkat heterogenitas, mekanisme pendorong jenis perangkap
dan geometri pori-pori akibat dari proses genesa dan diagenesa lingkungan
pengendapan, yang faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi dalam pola
penyebaran sumur dan ultimate recovery-nya. Reservoir batupasir yang terbentuk
pada lingkungan pengendapan delta merupakan reservoir jenis perangkap
stratigrafi berupa lensa atau berlapis-lapis (multilayer) memanjang tetapi terbatas
penyebarannya. Jenis perangkap reservoir akan mempengaruhi jenis mekanisme
pendorong, tenaga pendorong pada reservoir delta dapat berupa water drive.
Untuk dapat mengangkat fluida reservoir ke permukaaan secara optimal,
maka perlu pemilihan well completion yang cocok dengan kondisi reservoir delta
sehingga diperoleh produksi yang optimal serta untuk menghindari problem
produksi yang akan terjadi pada saat proses produksi berlangsung. Perencanaan
well completion dengan melakukan pemilihan well completion pada reservoir
delta harus benar-benar dipertimbangkan kemungkinan terjadinya problematik
produksi yang akan mengganggu proses produksi. Misalnya bila perforasi tidak
dilakukan dengan metode yang baik dan tepat, maka tentunya disamping
mengakibatkan pecahnya perforasi yang akan menimbulkan problem kepasiran,
juga akan menimbulkan problem formation damage atau kerusakan formasi.
Disamping itu, munculnya problem produksi akhirnya akan mengakibatkan
turunnya laju produksi, disamping kerusakan pada beberapa peralatan baik
peralatan didalam sumur atau di permukaan. Dengan demikian, adanya problem
produksi ini harus dicegah sedini mungkin, juga pemilihan bahan teknik untuk
peralatan.

III. MAKSUD DAN TUJUAN


Maksud :
Merencanakan Well Completion dengan optimum berdasarkan karakteristik
reservoir batu pasir pada lingkungan pengendapan delta.
Tujuan :
Dengan perencanaan well completion yang sesuai dengan karakteristik reservoir,
maka aliran fluida dari formasi produktif dasar sumur ke permukaan dapat diatur
sebaik mungkin. Lebih dari itu untuk mengoptimalkan laju produksi dari efek
pada setiap lapisan produktif

IV. DASAR TEORI


4.1. Reservoir Batupasir Delta
4.1.1. Lingkungan Pengendapan Delta
Delta adalah suatu deposit transisional dengan sungai sebagai
pembentuknya dan penyebarannya oleh arus air laut, dimana perkembangan delta
tergantung oleh pertambahan material. Delta akan makin berkembang jika
pertambahan material lebih besar dengan diikuti oleh kekuatan arus untuk
menyebarkannya. Air sungai yang membawa material-material sedimen, setelah
mencapai laut kecepatannya segera turun, sehingga sebagian besar material
sedimen terendapkan membentuk delta. Material yang lebih halus terangkat lebih
jauh dan menyebabkan delta berkembang ke arah laut.

4.1.2. Geologi Reservoir Delta


Secara geologi reservoir delta merupakan reservoir yang sangat heterogen.
Heterogenitas yang dimaksud merupakan suatu variasi (ketidakseragaman) dari
karakteristik batuan dan fluida serta kondisi reservoir dari satu lokasi ke lokasi
lain. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat dari heterogenitas
(ketidakseragaman) delta yaitu: faktor energi dari sungai, energi dari laut
(gelombang, arus pasang), material yang tertransport, geometri (bentuk)
cekungan, sedimentasi serta subsidence . Tingkat dari heterogenitas reservoir delta
ini terjadi juga didaerah channel dan bar.
Pada reservoir delta yang heterogen ini cukup prospek mengandung
sejumlah minyak dan gas bumi jika memenuhi persyaratan terakumulasinya suatu
hidrokarbon seperti strata yang bersifat porous, perlapisannya tebal. Dengan
adanya heterogenitas pada reservoir delta menyebabkan terjadinya distribusi delta
yang berbeda lokasi yang berbeda sehingga terbentuk delta yang bermacam-
macam seperi delta tameng, delta estuaria, delta kaki burung dan delta pasang
surut.
Secara kualitas yang berdasarkan ukuran butir, ukuran pori, pemilahan dan
kandungan volume claynya maka distribusi batuan pada bars cenderung lebih baik
untuk menampung hidrokarbon dibanding pada daerah channel. Sedangkan secara
kuantitas (berdasarkan jumlah penyebarannya), daerah channel cenderung lebih
baik untuk menampung hidrokarbon. Model endapan delta berbeda dengan model
endapan lainnya karena konstruksinya tidak tergantung pada distribusi atau
observasi batuan purba, tetapi telah muncul sebagian besar dari studi proses
pengendapan delta modern. Pada umumnya, sedimen yang berasal dari darat
diendapakan dalam suatu lingkungan delta pada pinggir-pinggir lempeng tektonik.
Namun demikian, persoalan dalam mengamati tentang delta adalah kesulitan
dalam menentukan bentuk komposisi tiga atau empat dimensi secara besar-
besaran untuk menentukan kontrol dengan tepat. Studi tentang pola sedimen
permukaan tidak cukup untuk mengerti adanya kekomplekan dari proses biologis,
kimia dan fisika yang bekerja dalam lingkungan delta. Dalam hal ini pengaruh
proses angin, laut alluvial, tektonik serta iklim mempunyai peranan yang cukup
penting dalam suatu sedimentasi pembentukan delta. Sehingga pada akhirnya
akan terbentuk suatu geologi reservoir delta yang mengandung perangkap
hidrokarbon yang dapat menghasilkan minyak
4.1.3. Definisi dan Syarat Terbentuknya Delta
Delta secara geologi didefinisikan sebagai suatu endapan, sebagian
endapan di darat (subarial) yang dibentuk oleh sungai yang masuk atau melawan
kumpulan air yang permanen (Barell, 1912). Hasilnya merupakan progradasi garis
pantai yang tidak teratur, dimana secara langsung dikontrol oleh sungai. Sedimen
dibentuk pada lingkungan subaerial dan laut lacustrine (danau). Disamping Itu,
biasanya secara khusus menunjukkan gradasi fasies lepas pantai yang berbutir
labih halus. Dengan demikian, yang perlu diperhatikan dari definisi diatas adalah
bahwa pengaruh sebuah sungai atau beberapa sungai sebagai sumber sedimen
utama merupakan hal yang penting.

Adapun syarat-syarat yang umumnya bisa diterima sebagai tempat akumulasinya


hidrokarbon di lingkungan delta antara lain adalah:

1. Strata reservoirnya bersifat porous.


2. Perubahan lithologi secara horizontal dan vertikal secara tiba-tiba.
3. Banyak dijumpai silt dan lumpur organik.
4. Siltstone dan caprock shale bersifat impermeable dan terendapkan
dalam kondisi transgresi marine.

4.1.4. Proses Terbentuknya Delta


Delta terdapat pada sungai yang maengandung batuan sedimen yang
berada pada bagian dalam sungai tersebut. Bentuk umum dari endapan delta
tergantung pada:
 Apakah aliran sungai lebih pekat kedalam (aliran hyperpycnal), sama-
sama pekatnya (homopycnal) atau kurang pekat dari air laut.
 Penyabaran endapan yang berada dilaut ( dibentuk oleh gelombang dan
air pasang).
Pada aliran dari hyperpycnal terdapat sediment yang berbutir relatif kasar,
kecil, dengan bentuk delta cenderung dengan kedalaman yang curam memanjang.
Pada tempat yang jauh dari lepas pantai terdapat endapan yang menghasilkan butir
yang lebih bagus sebagian akibat dari densitasnya di bawah aliran. Pada umumnya
jenis endapan terdapat pada sungai yang mangandung sediment mengalir pada
lingkungan air tawar danau, seperti yang terjadi di dekat pegunungan Alpine atau
lingkungan Periglacial. Sebagian besar mouth bar dibentuk oleh tenaga air sungai.
Didalam aliran homopycnal marupakan campuran antara sungai dan air
laut. Hal ini sama juga dengan delta air tawar, khususnya kandungan sedimen
tinggi. Didalam air yang dangkal, terjadi friksi didasar dikarenakan perlambatan
aliran dan perkembangan dari dasar tengah bar yang tergantung dari kumpulan
penyebaran yang terbentuk menjadi dua cabang. Jadi friksi yang terjadi di mouth
bar juga cenderung membentuk kipas dan mungkin juga didominasi daya tarik
arus dipermukaan seperti ripples (riak) dan cross bedding (perlapisan silang) .
Jenis delta ini pada umumnya dicirikan dengan kedalaman yang curam pada muka
lapisan sebagian kecil kedalaman yang curam pada puncak dan dasar lapisan.
Pada daerah-daerah dimana sungai mengalir ke air laut, density dari air
sungai dan sediment lebih kecil dari pada air laut (aliran hypopycnal). Hal ini
tergantung dari relatif butiran baik dari batuan sedimen, dan cenderung dibawa
lebih jauh keluar kedalam basin (lembah sungai) seperti halnya Buoyant plume,
yang dapat menurunkan kemiringan pengendapan dan perluasan penyebaran
lingkungan pengendapan delta. Hal ini biasanya disebut Buoyancy-dominated
mouth bar (mouth bar yang dibentuk oleh gaya apung). Pada river mouth bar atau
delta dapat dibedakan menjadi beberapa bagian hal ini dipengaruhi oleh, inersia
(tenaga aliran sungai), friksi, dan gaya buoyant.
Delta dapat tersusun menjadi tiga bagian yaitu :
 Delta Plain dimana proses terbentuknya didominasi sungai
 Delta front dimana proses terbentuknya dipengaruhi oleh sungai dan basin
 Prodelta dimana proses terbentuknya didominasi basin
Pada delta Plain tersusun dari bermacam-macam channel yang tersebar
secara luas dari nonmarine sampai ke lingkungan air payau termasuk rawa-rawa,
flat air pasang surut, penyebaran didalam teluk.
Pada delta Front (muka delta) merupakan tempat lingkungan pengendapan
yang aktif didalam lingkungan delta, biasanya penyebaran pada mulut delta
dimana sedimen yang paling kasar terendapkan didalam bar. Penyebaran mouth
bar ( juga dtunjukkan seperti halnya sungai atau ditengah dasar bar) pada delta
modern secara relatif mempunyai bentuk yang kecil. Pengendapannya dipengaruhi
oleh proses lingkungan marine dan ukuran butir. Pada bagian delta yang lebih
dalam dibentuk oleh dominasi oleh batuan lempung yang secara relatif
didasarkan pada basin laut (cekungan laut) yang tenang (selang pasang surut,
kecilnya rentang tenaga gelombang). Dibutuhkan waktu yang lama untuk
memperbaiki posisi dari penyebaran channel. Seperti halnya delta kaki burung
bahwa penyebaran mouth bar yang berpasir diprogradasi kedalam bentuk bar
finger (berbentuk menjari). Hal ini berlawanan dengan sistem pengendapan pada
air dangkal yang berlumpur dan berpasir, hal ini tergantung dari penyebaran yang
lebih cepat dan terbentuknya lobe delta seperti halnya delta di Lafourche
(Gambar 4.1).
Pada prodelta terdapat material baik yang berasal dari suspensi yang secara
umum terdapat bioturbate yang baik., dan bergabung dengan ukuran butir
sedimen yang baik dari dasar basin. Adanya endapan lumpur pada beberapa
lapisan merupakan ciri-ciri (tanda) dari delta. Sebagaimana dengan halnya yang
bertentangan dengan jumlah bioturbate yang berada didasar sedimen. Dimana
terdapat pelapisan yang tersusun secara teratur, hal ini merupakan pengaruh dari
tidal (pasang surut air laut). Adanya faktor gelombang dan air pasang akan
mempengaruhi terbentuknya delta pada bagian lingkungan pengendapan alluvial.
Coleman dan Wright berpendapat bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi
terbentuknya delta di lingkungan alluvial yaitu faktor geometri dan basin,
drainage basin (kolam tempat untuk menyalurkan air), gaya tektonik, gradient
shelf dan iklim. Perubahan relatif dari tingkatan air laut yang akan berpengaruh
terhadap luas dari perkembangan delta dan kerusakan.. Orton juga menegaskan
bahwa dasar dari fasies delta dan penyebaranya dipengaruhi oleh ukuran sedimen
dan komposisinya.
Gambar 4.1
Sistem pengendapan delta di Lafourche
(Walker, Roger. G, James. N.P, 1992)

Faktor-faktor ini saling berkaitan.hal ini dapat dicontohkan pada jenis


sedimen dan laju dari penyebaran sedimen berhubungan dengan ukuran , relief
dan iklim pada drainage basin. Relief ini tergantung dari tenaga tektonik dari
drainage basin.gelombang dan tenaga air pasang berhubungan dengan eustasy,
kemiringan shelf, ukuran butir, bentuk basin dan iklim.. Jenis dan laju sediment
penyebaran dipengaruhi oleh dengan makin berkurangnya dataran pada awal
Devonian-rock. Hal ini menyebabkan tingginya laju sedimentasi dan banyaknya
delta-fan yang terbentuk.. Delta fan terbentuk dimana sungai dari alluvial masuk
kedalam laut dan tidak ada campur tangan coastal atau butiran kasar delta plain

4.1.5. Fasies

Fasies merupakan suatu tubuh batuan yang memiliki kombinasi


karakteristik yang khas dilihat dari litologi, struktur sedimen dan struktur biologi
memperlihatkan aspek fasies yang berbeda dari tubuh batuan yang yang ada di
bawah, atas dan di sekelilingnya. Fasies umumnya dikelompokkan ke dalam
facies association dimana fasies-fasies tersebut berhubungan secara genetis
sehingga asosiasi fasies ini memiliki arti lingkungan. Dalam skala lebih luas
asosiasi fasies bisa disebut atau dipandang sebagai basic architectural element
dari suatu lingkungan pengendapan yang khas sehingga akan memberikan makna
bentuk tiga dimensi tubuhnya (Walker dan James, 1992).

Menurut Slley (1985), fasies sedimen adalah suatu satuan batuan yang
dapat dikenali dan dibedakan dengan satuan batuan yang lain atas dasar geometri,
litologi, struktur sedimen, fosil, dan pola arus purbanya.

Fasies sedimen merupakan produk dari proses pengendapan batuan


sedimen di dalam suatu jenis lingkungan pengendapannya. Diagnosa lingkungan
pengendapan tersebut dapat dilakukan berdasarkan analisa faises sedimen, yang
merangkum hasil interpretasi dari berbagai data, diantaranya :

1. Geometri :
a) regional dan lokal dari seismik (misal : progradasi, regresi, reef dan
chanel)
b) intra-reservoir dari wireline log (ketebalan dan distribusi reservoir)
2. Litologi : dari cutting, dan core (glaukonit, carboneous detritus)
dikombinasi dengan log sumur (GR dan SP)
3. Paleontologi : dari fosil yang diamati dari cutting, core, atau side wall core
4. Struktur sedimen : dari core

Menurut Sam Boggs, 1987, ada lima tipe perubahan fasies vertikal yaitu:

1. Clean, No Trend Succession

Clean, No Trend Succession menunjukan tidak ada kecenderungan


peningkatan besar butir, hal ini menunjukan stabilnya kekuatan transportasi.

2. Coarsening-Upward Succession

Coarsening-Upward Succession menunjukan adanya suatu peningkatan dalam


besar butir dari suatu dasar yang erosive atau tajam. Perubahan ini
mengindikasikan peningkatan dalam kekuatan arus transportasi pada saat
pengendapan.
Gambar 4.2 Lima Tipe Perubahan Fasies Vertikal

3. Fining-Upward Succession

Fining-Upward Succession adalah perubahan besar butir ke arah atas menjadi


lebih halus ke top yang erosive atau tajam. Perubahan ini menunjukan
penurunan kekuatan arus transportasi pada saat pengendapan.

4. Rounded Base and Top Succession

Rounded Base and Top Succession menunjukan perubahan besar butir ke arah
atas menjadi lebih halus yang bulat kemudian menurun dan mengalami
perubahan besar butir pada saat penurunan kekuatan arus transportasi pada
saat pengendapan.

5. Mixed Clean and Shally, No Trend Succession

Mixed Clean and Shally, No Trend Succession menunjukan shally tidak ada
kecenderungan peningkatan besar butir.
Geometri dan penyebaran batuan ditentukan oleh fasies atau lingkungan
pengendapan. Bentuk, ukuran dan orientasi reservoir tergantung mekanisme
pengendapannya. Mempelajari lingkungan pengendapan purba umumnya dimulai
dengan penampang stratigrafi dan korelasinya untuk menandai tipe batuannya,
geometri tiga dimensinya serta struktur sedimen internalnya (Walker dan James,
1992).

1. Geometri
Umumnya geometri tergantung dari proses pengendapan yang berlangsung
pada lingkungan sedimentasinya. Seluruh bentuk dari fasies sedimen
adalah fungsi dari topografi sebelum pengendapan, geomorfologi
lingkungan pengendapan, dan sejarah setelah pengendapan.

2. Litologi
Litologi pada fasies sedimen merupakan salah satu parameter yang penting
untuk mengobservasi dan interpretasi lingkungan pengendapan.

3. Struktur sedimen
Struktur sedimen dalam lingkungan pengendapan dapat memberikan
indikasi dari kedalaman, level energi, kecepatan hidrolik dan arah arus.

4. Paleocurrent
Paleocurrent atau arus purba merupakan arus yang dapat diidentifikasi
dari pola-pola struktur sedimen yang terbentuk pada masa pengendapan
dan peleogeografis.

Ada tiga parameter dalam membedakan fasies sedimen, yaitu :

o Parameter fisik : temperatur, kedalaman air, kecepatan arus, sinar matahari,


kecepatan angin, dan arahnya.
o Parameter kimia : komposisi air (salinitas), mineralogi (auchthonus atau
allochthpnus).
o Parameter biologi : soil, tumbuhan darat, tumbuhan air, dan binatang.
4.1.6. Lingkungan Pengendapan Fluvial Delta

Fluvial merupakan aktivitas aliran sungai, terdapat empat macam sungai


yaitu straight, anastomosing, meandering dan braided. Sungai anastomosing
dipisahkan oleh pulau alluvial permanen, yang ditutupi tumbuhan yang lebat yang
distabilisasi oleh bank sungai. braiding (anyaman) juga naik dengan cepat,
fluktuasi cepat pada pemberhentian sungai, kecepatan tinggi dari pasokan sedimen
kasar, dan mudah tererosi. Sungai yang mempengaruhi sistem fluvial adalah :
1. Straight
Suatu channel dengan bentuk straight didominasi oleh lempung dengan
intensitas kelokan yang kecil, terbentuk karana perpindahan arus pada pasir atau
kelompok-kelompok bar, segmen channel jarang terbentuk pada jarak yang
panjang.
2. Anastomosing
Sungai anastomosing dipisahkan pulau alluvial yang permanen dan
ditutupi dengan tumbukan yang lebat yang distabilisasi oleh bank sungai. Braided
(anyaman) juga naik dengan cepat, fluktuasi cepat pada pemberhentian sungai,
kecepatan tinggi dari pasokan sedimen kasar dan mudah tererosi.
3. Meander
Sistem ini didominasi oleh material dengan butiran halus dan
memperlihatkan distribusi butiran menghalus ke atas. Struktur sedimen yang
berkembang merefleksikan berkurangnya arus yang bekerja, yaitu through cross
bedding pada bagian bawah dan paralel laminasi pada bagian channel.
Penampang log elektrik merefleksikan arah umum menghalus ke atas yang terbagi
ke dalam tiga subfasies utama yang menghasilkan pengendapan pada tiga
sublingkungan yang berbeda :
 Subfasies Flood Plain
Subfasies flood plain terdiri dari endapan batupasir yang sangat halus,
batulanau dan batulempung yang diendapkan pada daerah overbank
floodplain sungai. Struktur sedimen yang berkembang adalah laminasi ripple
mark dan kadang-kadang terdapat horizon batupasir yang mengisi struktur
shrinkage yang diasumsikan terdapat pada daerah subaerial.
 Subfasies Channel
Pada subfasies channel terjadi perpindahan lateral channel meander yang
mengerosi bagian luar dari tepi sungai yang cekung, menggerus dasar sungai
dan endapan sedimen pada point bar. Proses tersebut menghasilkan
karakteristik sikuen pada ukuran butir dan struktur sedimen. Pada dasar
permukaan bidang erosi diisi oleh material sedimen berbutir kasar, mud pellet
dan sisa-sisa kayu. Endapan tersebut disebut sebagai lag deposit pada dasar
channel dan ditindih oleh sikuen batupasir dengan distribusi butiran
menghalus ke atas.
 Subfasies Abandoned Channel
Pada subfasies abandoned channel terdapat endapan batupasir halus berbentuk
tapal kuda dan biasanya disebut oxbow lake yang terbentuk ketika sungai
meander memotong bagian lain dari permukaan di sekitar sungai tersebut.
Endapan pada subfasies ini serupa dengan endapan pada subfasies floodplain,
tetapi dapat dibedakan dari geometrinya yaitu endapan yang menindih abrasi
channel lag konglomerat tidak terdapat selang dengan sikuen batupasir point
bar.
4. Braided
Braided dihasilkan oleh channel dengan intensitas kelokan yang kecil dan
kaya akan material pasir yang terbentuk oleh tingkat intensitas aliran air yang
kecil diantara bar-bar channel. Struktur sedimen yang terbentuk dan
merefleksikan pengendapan pada saat itu antara lain : tabular cross bedding,
punggungan bar yang lurus memanjang dan pada log menunjukkan bentuk
blocky. Pada daerah ini, pengerosian terjadi dengan cepat dengan proses pengisian
sedimen yang cepat dikarenakan sungai pada sistem ini mempunyai kelebihan
material sedimen. Sikuen sedimentasi pada sistem braided ini pada umumnya
didominasi oleh material sedimen berbutir kasar dengan sedikit material sedimen
berbutir halus pada bagian atasnya.
Gambar 4.3. Fasies Braided Channel dilihat dari struktur sedimen dan
respon well log.

4.1.7. SISTEM DELTA


Delta merupakan garis pantai yang menjorok ke laut, terbentuk oleh
adanya sedimentasi sungai yang memasuki laut, danau atau laguna dan pasokan
sedimen lebih besar daripada kemampuan pendistribusian kembali oleh proses
yang ada pada cekungan pengendapan (Elliot, 1986 dalam Allen, 1997). Menurut
Boggs (1987), delta diartikan sebagai suatu endapan yang terbentuk oleh proses
sedimentasi fluvial yang memasuki tubuh air yang tenang. Dataran delta
menunjukkan daerah di belakang garis pantai dan dataran delta bagian atas
didominasi oleh proses sungai dan dapat dibedakan dengan dataran delta bagian
bawah didominasi oleh pengaruh laut, terutama penggenangan tidal. Delta
terbentuk karena adanya suplai material sedimentasi dari sistem fluvial. Ketika
sungai-sungai pada sistem fluvial tersebut bertemu dengan laut, perubahan arah
arus yang menyebabkan penyebaran air sungai dan akumulasi pengendapan yang
cepat terhadap material sedimen dari sungai mengakibatkan terbentuknya delta.
Bersamaan dengan pembentukan delta tersebut, terbentuk pula morfologi delta
yang khas dan dapat dikenali pada setiap sistem yang ada. Morfologi delta secara
umum terdiri dari tiga, yaitu : delta plain, delta front dan prodelta.

4.1.7.1. Delta Plain


Delta plain merupakan bagian delta yang bersifat subaerial yang terdiri
dari channel yang sudah ditinggalkan. Delta plain merupakan baigan daratan dari
delta dan terdiri atas endapan sungai yang lebih dominan daripada endapan laut
dan membentuk suatu daratan rawa-rawa yang didominasi oleh material sedimen
berbutir halus, seperti serpih organik dan batubara. Pada kondisi iklim yang
cenderung kering (semi-arid), sedimen yang terbentuk didominasi oleh lempung
dan evaporit. Daratan delta plain tersebut digerus oleh channel pensuplai material
sedimen yang disebut fluvial distributaries dan membentuk suatu percabangan.
Gerusan-gerusan tersebut biasanya mencapai kedalaman 5-10 meter dan
menggerus sampai pada sedimen delta front. Sedimen pada channel tersebut
disebut sandy channel dan membentuk distributary channel yang dicirikan oleh
batupasir lempungan. Sublingkungan delta plain dibagi menjadi :
1. Upper Delta Plain
Pada bagian ini terletak diatas area tidal atau laut dan endapannya secara umum
terdiri dari :
 Endapan distributary channel
Endapan distributary channel terdiri dari endapan braided dan
meandering, levee dan endapan point bar. Endapan distributary channel
ditandai dengan adanya bidang erosi pada bagian dasar urutan fasies dan
menunjukkan kecenderungan menghalus ke atas. Struktur sedimen yang
umumnya dijumpai adalah cross bedding, ripple cross stratification, scour
and fill dan lensa-lensa lempung. Endapan point bar terbentuk apabila
terputus dari channel-ya. Sedangkan levee alami berasosiasi dengan
distributary channel sebagai tanggul alam yang memisahkan dengan
interdistributary channel. Sedimen pada bagian ini berupa pasir halus dan
rombakan material organik serta lempung yang terbentuk sebagai hasil
luapan material selama terjadi banjir.
 Lacustrine delta fill dan endapan interdistributary flood plain
Endapan interdistributary channel merupakan endapan yang terdapat
diantara distributary channel. Lingkungan ini mempunyai kecepatan arus
paling kecil, dangkal, tidak berelief dan proses akumulasi sedimen lambat.
Pada interdistributary channel dan flood plain area terbentuk suatu
endapan yang berukuran lanau sampai lempung yang sangat dominan.
Struktur sedimennya adalah laminasi yang sejajar dan burrowing structure
endapan pasir yang bersifat lokal, tipis dan kadang hadir sebagai pengaruh
gelombang .

Gambar 4.4. Fasies Lacustrine delta fill dilihat dari struktur sedimen dan
respon well log.

2. Lower Delta Plain


Lower delta plain terletak pada daerah dimana terjadi interaksi antara
sungai dengan laut, yaitu dari low tidemark sampai batas kehadiran yang
dipengaruhi pasang-surut. Pada lingkungan ini endapannya meliputi endapan
pengisi teluk (bay fill deposit) meliputi interdistributary bay, tanggul alam, rawa
dan crevasse slay, serta endapan pengisi distributary yang ditinggalkan.

Gambar 4.5. Fasies Bay Fill dilihat dari struktur sedimen dan respon well log

4.1.7.2. Delta Front


Delta front merupakan sublingkungan dengan energi yang tinggi dan
sedimen secara tetap dipengaruhi oleh adanya proses pasang-surut, arus laut
sepanjang pantai dan aksi gelombang. Delta front terbentuk pada lingkungan laut
dangkal dan akumulasi sedimennya berasal dari distributary channel. Batupasir
yang diendapkan dari distributary channel tersebut membentuk endapan bar yang
berdekatan dengan teluk atau mulut distributary channel tersebut. Pada
penampang stratigrafi, endapan bar tersebut memperlihatkan distribusi butiran
mengkasar ke atas dalam skala yang besar dan menunjukkan perubahan fasies
secara vertikal ke atas, mulai dari endapan lepas pantai atau prodelta yang
berukuran butir halus ke fasies garis pantai yang didominasi batupasir. Endapan
tersebut dapat menjadi reservoir hidrokarbon yang baik. Diantara bar pada mulut
distributary channel akan terakumulasi lempung lanauan atau lempung pasiran
dan bergradasi menjadi lempung ke arah laut.
Menurut Coleman (1969) dan Fisher (1969) dalam Galloway (1990),
lingkungan pengendapan delta front dapat dibagi menjadi beberapa sublingkungan
dengan karakteristik asosiasi fasies yang berbeda, yaitu :
 Subaqueous Levees
Merupakan kenampakan fasies endapan delta front yang berasosiasi
dengan active channel mouth bar. Fasies ini sulit diidentifikasi dan
dibedakan dengan fasies lainnya pada endapan delta masa lampau.
 Channel
Channel ditandai dengan adanya bidang erosi pada bagian dasar urutan
fasies dan menghalus ke atas. Struktur sedimen yang umumnya dijumpai
adalah cross bedding, ripple cross stratification, scoure and fill.
 Distributary Mouth Bar
Pada lingkungan ini terjadi pengendapan dengan kecepatan yang paling
tinggi dalam sistem pengendapan delta. Sedimen umumnya tersusun atas
pasir yang diendapkan melalui proses fluvial. Strukur sedimen yang dapat
dijumpai antara lain : current ripple, cross bedding dan massive graded
bedding.
 Distal Bar
Pada distal bar, urutan fasies cenderung menghalus ke atas, umumnya
ersusun atas pasir halus. Struktur sedimen yang umumnya dijumpai antara
lain : laminasi, perlapisan silang siur tipe through.
Gambar 4.6. Fasies Distributary Mouth Bar dilihat dari struktur sedimen dan
respon well log.

4.1.7.3. Prodelta
Prodelta merupakan sublingkungan transisi antara delta front dan endapan
normal marine shelf yang berada di luar delta front. Prodelta merupakan
kelanjutan delta front ke arah laut dengan perubahan litologi dari batupasir bar ke
endapan batulempung dan selalu ditandai oleh zona lempungan tanpa pasir.
Daerah ini merupakan bagian distal dari delta, dimana hanya terdiri dari
akumulasi lanau dan lempung dan biasanya sendiri serta fasies mengkasar ke atas
memperlihatkan transisi dari lempungan prodelta ke fasies yang lebih batupasir
dari delta front. Litologi dari prodelta ini banyak ditemukan bioturbasi yang
merupakan karakteristik endapan laut. Struktur sedimen bioturbasi bermacam-
macam sesuai dengan ukuran sedimen dan kecepatan sedimennya. Struktur
deformasi sedimen dapat dijumpai pada lingkungan ini, sedangkan struktur
sedimen akibat aktivitas gelombang jarang dijumpai. Prodelta ini kadang-kadang
sulit dibedakan dengan endapan paparan (shelf), tetapi pada prodelta ini
sedimennya lebih tipis dan memperlihatkan pengaruh proses endapan laut yang
tegas.

4.1.8. KLASIFIKASI DELTA


Menurut Galloway (1975) dan Serra (1990), berdasarkan proses yang
berpengaruhi didalamnya, delta dapat diklasifikasikan menjadi 3 , yaitu :
4.1.8.1. Fluvial Dominated Delta
Ini terjadi jika gelombang, arus pasang surut, dan arus sepanjang pantai
lemah, volume sedimen yang dibawa dari sungai tinggi, maka akan terjadi
progradasi yang cepat ka arah laut dan akan berkembang suatu variasi
karakteristik dari lingkungan pengendapan yang didominasi sungai.
o Geometri : channel (delta plain) dan sheet (delta front). Kontinuitas tubuh
batupasir jelek (channel) sampai sedang (distributary mount bar).
o Litologi dan struktur :
- Channel fasies : batupasir dengan cross bedding (through dan plannar),
kontak dasar erosi, rip-up clast/fragmen batubara, sekuen halus ke atas.
- Marsh fasies : batubara, batulempung dengan rootles.
- Bay fasies : batulempung dengan acak binatang.
- Crevasse-splay facies : sekuen kasar ke atas (sortasi baik ke atas).
- Distributary mount bar : batupasir dengan cross laimnasi, paralel laminasi.
- Bar facies : climbing ripple, mika melimpah, material karbon, struktur
deformasi.
- Distal bar fasies : batulanau dan batulempung, paralel laminasi, climbing
ripple, material karbon, struktur deformasi, acak binatang.
- Prodelta facies : batulempung dengan struktur deformasi.
- Refleksi seismik : oblique dan sigmoid clinoform.
Pada bagian ini mempunyai bentuk channel dan sheet dengan kontinuitas tubuh
pasir jelek sampai sedang. Delta yang didominasi sungai dicirikan dengan
batupasir dan batulanau yang masif sampai berlapis baik dan mungkin
memperlihatkan graded bedding. Pasir delta front memperlihatkan banyaknya
pengaruh sungai dalam pengendapan distribusi lingkungan mouth bar. Jumlah
bioturbasi bervariasi tergantung pada rata-rata sedimentasi dan ukuran butir dari
suplai sedimen. Variasi pembelokan dalam sistem fluvial biasanya menghasilkan
suatu pengkasaran ke arah atas yang tidak teratur.
Progradasi ke arah laut yang sangat cepat membuat delta tipe ini memiliki
sekuen coarsening upward (mengkasar keatas). Geometri endapan yang dihasilkan
dari tipe delta ini yaitu berbentuk lobate dengan mekanisme akresi lateral yang
kuat sehingga menghasilkan lentikuler units. Batupasir cenderung menjadi
lentikuler sampai tabular untuk distributary mount bar, bergradasi menjadi sand
sheets.

4.1.8.2. Wave Dominated Delta


Delta yang didominasi gelombang dan biasanya terdiri dari rangkaian
fasies yang saling berhubungan dan mengkasar ke atas secara menerus yang
merupakan karakteristik dari pantai yang dipengaruhi gelombang. Struktur
sedimen yang umum dijumpai antara lain : ripple dan humocky yang merupakan
indikator pengendapan yang tinggi.
Pada lingkungan dengan aktivitas gelombang kuat, endapan mount bar
secara menerus mengalami reworked menjadi suatu seri superimposed coastal
barriers. Tubuh pasir akan cenderung paralel terhadap garis pantai berbeda
dengan delta dominasi sungai yang mendekati tegak lurus terhadap pantai.
Litologi dan struktur sedimen :
a. fasies pantai dan pantai penghalang (barrier beach) dominan.
b. Fasies distributary mount bar termodifikasi/reworked menjadi
punggungan pantai.
c. Secara keseluruhan menunjukkan sekuen mengkasar ka atas.
d. Struktur yang dijumpai pada tipe ini adalah perlapisan tipis, paralel
laminasi, dan cross bedding satu arah, struktur flaser, slumps, struktur alga,
bioturbasi dengan intensitas tinggi pada bagian atas dan mudcrack pada
shale.
4.1.8.3. Tide-Influence Delta
Merupakan area dimana tingkat pasang surut tinggi, sehingga aliran balik
(yang terjadi dalam distributary channel selama kondisi banjir dan surut)
kemungkinan akan terjadi sumber energi utama yang memisah sedimen.
o Geometri : channel dan ridge, kontinuits batupasir berukuran butir kasar-
sedang, arah sebaran tegak lurus panatai.
o Litologi dan struktur :
- Tidal channel dan ridge facies sangat dominan.
- Channel facies : batupasir dengan sortasi baik, herringbone, cross
bedding.
- Sekuen yang dijumpai pada delta tipe ini yaitu coarsening upward
yang diikuti dengan fining upward, tanpa batas yang jelas, tergantung
pada posisi delta.
Lingkungan ini menunjukkan kombinasi pengaruh dari sungai, gelombang dan
proses pasang-surut. Lingkungan ini mempunyai bentuk geometri channel dan
ridge dengan kenampakan kontinuitas batupasir jelek sampai sedang dengan
penyebaran tegak garis pantai. Struktur sedimen yang umumnya berkembang
adalah laminasi dan ripple. Masuknya pasang-surut pada delta front yang
berprogradasi, seperti pada Mahakam juga memeperlihatkan beberapa pengasaran
ke atas. Smith, et al (1990) dalam Allen (1997) telah mendiskripsikan ritme
pasang-surut dengan indikator pasang-surut dalam pasir delta front adalah
hearingbone cross bedding.

4.2. Well Completion


4.2.1. Pengertian Dan Tujuan Well Completion
Well Completion adalah pekerjaan tahap akhir atau pekerjaan
penyempurnaan untuk mempersiapkan suatu sumur pemboran menjadi sumur
produksi. Untuk mendapatkan hasil produksi yang optimum dan mengatasi efek
negatif dari setiap lapisan produktif maka harus dilakukan pemilihan metode well
completion yang tepat dan ukuran peralatan yang sesuai untuk setiap sumur. Jenis
well completion antara sumur satu dengan lainnya selalu bervariasi, tergantung
dari faktor yang dipertimbangkan.

Gbr. 25. Lingkungan Estuarin.


Tujuan dari well completion adalah mengatur aliran fluida dari formasi
produktif dasar sumur ke permukaan sebaik mungkin.

4.2.2. Jenis-jenis Well Completion

Well completion berdasarkan fungsi dan tujuannya dapat dibagi menjadi


tiga bagian, yaitu formation completion, tubing completion dan wellhead
completion yang akan dibahas satu persatu di bawah ini.

4.2.2.1. Formation Completion

Merupakan jenis komplesi yang bertujuan untuk memaksimalkan aliran


fluida dari reservoar ke dalam lubang sumur. Berdasarkan pemasangan peralatan
dan fungsinya maka formation completion dapat dibagi menjadi beberapa metode,
yaitu : open hole completion, sand exclution completion, dan perforated casing
completion.

4.2.2.1.1. Open Hole Completion

Open hole completion merupakan metode yang paling sederhana dan


paling murah yaitu dengan membuka seluruh formasi produktifnya, casing
dipasang dan disemen di atas lapisan produktifnya sehingga formasi produktif
tidak tertutup secara mekanis, sehingga aliran fluida reservoar dapat langsung
masuk ke dalam lubang sumur tanpa penghalang.

Gambar 4.7
Open Hole Completion (Allen, 1982)
Keuntungan metode ini :

1. Laju produksi dapat maksimum


2. Sumur mudah untuk dilakukan pemboran yang lebih dalam
3. Tidak memerlukan biaya perforasi
4. Penggantian sistem komplesi mudah dilakukan
5. Interpretasi log memberikan hasil yang cukup baik
Kelemahan metode ini :

1. Produksi gas dan air sulit dikontrol


2. Lebih banyak workover atau clean-out
3. Sukar dilakukan stimulasi secara selektif

4.2.2.1.2. Perforated Casing Completion

Metode ini sering dilakukan pada formasi yang kurang kompak. Perforasi
tersebut sekaligus sebagai penghubung antara formasi produktif terhadap lubang
sumur sehingga minyak dapat mengalir dan masuk ke dalam sumur.

Gambar 4.8
Perforated Casing Completion (Allen, 1982)

Keuntungan perforated completion adalah :

1. Produksi gas dan air yang berlebihan dapat dikontrol


2. Lubang sumur mudah untuk diperdalam lagi
3. Stimulasi dapat dilakukan secara selektif
4. Aliran pasir dapat ditahan oleh casing
5. Daerah produktif dapat diseleksi dengan perforasi
6. Frekwensi workover lebih sedikit
Kerugian perforated completion adalah :

1. Biaya untuk perforasi cukup mahal


2. Kemungkinan kerusakan formasi lebih besar
3. Hasil interpretasi log kurang teliti
4. Timbulnya gangguan dari hasil perforasi

4.2.2.1.3. Liner Completion


Merupakan metode yang digunakan untuk menyelesaikan sumur-sumur
yang mempunyai problem kepasiran dan formasi yang kurang kompak. Beberapa
metode tersebut adalah metode screen liner, gravel pack dan sand consolidation.

A. Metode Screen Liner

Pemasangan liner di depan interval zone perforasi merupakan metode


pemecahan problem kepasiran secara mekanis yang paling murah dan sederhana.
Pipa-pipa saringan tersebut dapat berupa pipa bercelah yaitu pipa saringan dengan
celah-celah yang horizontal maupun vertikal, pipa saringan anyaman kawat yaitu
pipa yang saringannya dibuat dari anyaman kawat, pre-pack screen yaitu pipa
saringan yang terdiri dari dua buah pipa konsentris dimana ruangan diantaranya
diisi gravel.

B. Gravel pack completion

Metode ini digunakan bila screen liner yang digunakan masih belum bisa
mengatasi masalah kepasiran, terutama untuk formasi unconsolidated sand.
Pemilihan ukuran screen diambil dari analisa ukuran butir sample core. Gravel
yang baik harus dapat menahan invasi partikel halus dari formasi dan berkwalitas
tinggi. Gravel pack completion dapat juga dilakukan secara open hole atau
perforated.

C. Sand Consolidation
Masalah kepasiran juga terjadi di dalam formation completion yang secara
alamiah tidak terkonsolidated. Dalam hal ini para ahli mencoba untuk
meningkatkan pengontrolan pasir dengan menggunakan konsolidasi batuan. Cara
ini dikenal dengan sand consolidation.

Metode sand consolidation umumnya dilakukan pada lapisan tipis dengan


butiran yang relatif besar, permeabilitas seragam (uniform) dan clean sand.

Prinsip dari metode ini adalah menginjeksikan bahan kimia ke dalam


lapisan pasir dimana bahan kimia ini sewaktu mengeras akan memberikan daya
ikat yang kuat antara butiran pasir yang lepas-lepas tersebut, dan akhirnya akan
memperbaiki sementasi antara butiran pasir tersebut.

4.2.2.2. Tubing Completion

Tujuan tubing completion adalah mempersiapkan sumur supaya fluida


yang telah ada di dasar sumur dapat mengalir ke permukaan dengan rate yang
optimal. Berdasarkan pada jumlah production string dan lapisan yang diproduksi
pada saat yang bersamaan, maka metode tubing completion dapat dibedakan
menjadi tiga jenis, yaitu : single completion, multiple completion dan comingle
completion. Selain ketiga tipe tersebut masih terdapat jenis lain yaitu : permanent
completion yang didasarkan pada cara pemasangan dari production string-nya.

4.2.2.2.1. Single Completion

Merupakan metode completion yang hanya menggunakan satu production


string dimana sumurnya hanya memiliki satu lapisan produktif. Jadi walaupun
sumur mempunyai beberapa zona produktif, tetapi bila hanya satu zona saja yang
diproduksikan secara bergantian melalui satu production string, maka metode
tersebut termasuk single completion.

Gambar 4.9. menunjukkan susunan umum dari casing, tubing dan packer
untuk sistem single completion.
Gambar 4.9
Single Completion (Allen, 1982)

4.2.2.2.2.Commingle Completion

Metode ini dilakukan untuk sumur yang memiliki lebih dari satu lapisan
atau zone produktif dan diproduksikan melalui production string. Jenis-jenis
commingle completion antara lain :

A. Single Tubing with Single Packer

Merupakan cara produksi yang dipakai untuk sumur yang mempunyai dua
zone produktif. Kedua zone dibatasi dengan sebuah packer. Lapisan atau zone
bawah diproduksikan melalui tubing, sedangkan zone atas fluidanya
diproduksikan melalui annulus antar tubing dan casing seperti yang terlihat pada
Gambar 4.10.

Gambar 4.10. Commingle Completion dengan Single Tubing Single Packer


(Buzzarde, Jr., LE., 1972)
B. Single Tubing With Dual Packer
Digunakan apabila mempunyai dua zone produktif dan kedua fluida dari
atas dan bawah dialirkan ke permukaan melalui satu tubing dengan menggunakan
cross-over choke.

Gambar 4.11
Commingle Completion dengan Single Tubing Dual Packer
(Buzzarde, Jr., LE., 1972)

C. Single Tubing Single Packer With Extra Tubing

Dalam jenis ini extra tubing digunakan untuk menginjeksikan zat-zat


kimia. Yang lebih jelasnya terlihat pada Gambar 4.12.

Gambar 4.12 Commingle Completion


Dengan Single Tubing Single Packer dan Extra Tubing
(Buzzarde, Jr., LE., 1972)
D. Single Tubing With Multiple Packer
Merupakan metode yang digunakan untuk memproduksikan fluida
reservoar dari tiga atau lebih zone produktif melalui satu tubing. Masing-masing
zone dipisahkan dengan packer. Fluida dari zone atas masuk ke dalam tubing
melalui coupling. Single tubing with multiple packer dapat dilihat pada Gambar
4.13.

Keuntungan dan kelemahan dalam menggunakan metode commingle


completion ini antara lain :

1. Masing-masing bagian dari alat produksi dapat dibuka dan ditutup dengan
wire-line
2. Pengontrolan aliran dari masing-masing zona sulit dilakukan
3. Untuk melakukan treatment atau perforasi ulang, sulit dilakukan tanpa
mematikan sumur dan mengangkat tubing.

Gambar 4.13
Commingle Completion dengan Tubing Multiple Packer
(Allen, 1982)
4.2.2.2.3. Multiple Completion

Merupakan metode yang digunakan untuk sumur yang memiliki lebih dari
satu zone atau lapisan produktif, dimana tiap-tiap zone produktif diproduksikan
sendiri-sendiri secara terpisah sesuai dengan produktivitas serta jarak masing-
masing zone, sehingga dapat memaksimalkan perolehan minyak. Dengan cara
multiple completion ini pengontrolan produksi dari masing-masing zona dan juga
kerusakan alat dan formasi dapat dilakukan dengan mudah. Tetapi kerugiannya
terletak pada besarnya biaya yang dikeluarkan, karena tiap-tiap zona harus
memiliki peralatan sendiri, juga peralatan untuk menanggulangi masalah scale
atau korosi.

A. Parallel Dual Completion

Dalam metode ini menggunakan dua buah tubing dengan dua buah packer
sebagai pemisah antar zone, dimana tubing dipasang secara paralel, seperti terlihat
pada Gambar 4.14.

Gambar 4.14
Two Packer Two Tubing String Parallel Dual Completion (Allen,1982)

B. Parallel Dual With Two Alternate Completion

Dalam metode ini komplesi didasari pada letak dari dua lapisan reservoar
yang akan dipilih untuk komplesi, maka dapat diproduksikan melalui rangkaian
tubing yang paling panjang atau pendek (Gambar 4.14) sesuai dengan jenis fluida
masing-masing reservoar.

Gambar 4.15
Dual Well dengan Two Alternated Completion (Allen, 1982)
C. Triple Completion

Dilakukan untuk tiga zona produktif, dengan tiga buah string dan packer,
namun komplesi dapat dilakukan dengan dua atau tubing yang telah ada.
Keuntungan dari metode ini adalah laju produksi yang dapat diperoleh cukup
besar, tetapi karena terdapat dua atau tiga tubing dan packer, maka
pemasangannya sulit dan modal yang digunakan cukup besar

Keuntungan dari metode multiple completion :

1. Kerusakan dari masing-masing lapisan mudah terdeteksi


2. Kelakuan dari masing-masing lapisan dapat diperkirakan
3. Masing-masing lapisan dapat diproduksikan sesuai dengan kapasitasnya
4. Diperoleh minyak yang maksimal dari tiap-tiap lapisan
5. Pemilihan dan perencanaan artificial lift dapat dilakukan dengan baik dan
teliti
Sedangkan kelemahan dari metode multiple completion ini adalah antara
lain sebagai berikut :

1. Biayanya cukup mahal bila dibandingkan dengan single completion


2. Kemungkinan penerapan artificial lift perlu biaya tinggi karena tiap lapisan
memerlukan peralatan sendiri.
4.2.2.3. Wellhead Completion
Wellhead atau kepala sumur adalah istilah yang digunakan untuk
menguraikan peralatan yang terpaut pada bagian atas dari rangkaian pipa di dalam
suatu sumur untuk menahan dan menopang rangkaian pipa, menyekat daripada
masing-masing casing dan tubing serta untuk mengontrol produksi sumur.

4.2.2.3.1. Single Completion


Metode single completion jenis peralatanya dibagi menjadi dua:

A. Tubing Head Untuk Single Completion


Tubing head ditempatkan diatas casing head dan berfungsi untuk
menggantungkan tubing dan memberikan suatu pack off antara tubing string dan
production string.
Gambar 4.16
Rangkaian Peralatan wellhead Completion (Buzzarde, Jr., LE., 1972)

Disamping itu juga memberikan hubungan annulus casing dan tubing


melalui outlet samping. Pemilihan tubing head untuk single completion maupun
untuk multiple completion didasarkan pada perencanaan mangkuk tubingnya.

B. Chistmas-tree Untuk Single completion


Chistmas-tree merupakan suatu susunan dari katup-katup (valve) dan
fitting yang ditempatkan diatas tubing head untuk mengatur serta mengalirkan
fluida dari sumur. Berdasarkan jenis komplesi sumurnya, christmas-tree
dibedakan untuk single completion dan multiple completion. Untuk komplesi
sumur single completion, berdasarkan bentuk dan jumlah wing valve/single
string), christmas tree berlengan dua (dual wing/dual string).

4.3. Perhitungan Perencanaan Well Completion


A. Perhitungan Laju Produksi Pada Fully Penetrating
Tingkat pemboran di dalam formasi sangat berpengaruh terhadap besarnya
laju produksi yang dihasilkan. Fully penetrating well merupakan sumur dimana
pemboran menembus seluruh ketebalan formasi produtif.
Untuk kondisi ini dimana aliran fluida membentuk aliran radial, maka
penentuan rate dengan menggunakan persamaan yang dikemukan oleh Darcy,
sebagai berikut :
7,082 . k . h . (Pe - Pwf)
q = .................................................... (4-1)
o . Bo . ln (re / rw)
keterangan :
q : rate produksi, BPD
k : permeabilitas effektif minyak, md
h : ketebalan formasi produtif, ft
Pe : tekanan formasi pada jarak re dari sumur, psi
Pwf : tekanan dasar sumur, psi
o : viscositas minyak, cp
Bo : faktor volume formasi minyak, STB/bbl
rw : jari-jari sumur, ft
re : jari-jari pengurasan, ft
Fully penetrating well umumnya diterapkan pada sumur dengan
mekanisme pendorong reservoir berupa depletion drive dimana tidak ada
akumulasi air ataupun gas.
B. Perhitungan Rate Produksi Pada Partially
Penetrating
Partialy Penetrating well merupakan sumur dengan lubang bornya hanya
mencapai sebagian dari ketebalan formasi produktif. Untuk kondisi ini dimana
aliran fluida tidak lagi bergerak radial penuh tetapi ada juga terjadi aliran sperical
sehingga rumus yang diterapkan pada fully penetrating well tidak bisa digunakan.
Untuk itu Craft dan Hawkins telah melakukan penyelidikan dengan berdasarkan
Electric Model dan menghasilkan perumusan perhitungan laju produksi dengan
persamaan sebagai berikut :
7,082 . k . h . f .(Pe - Pwf)  rw 
q = 1 + 7 Cos (f . 90 0 ) ............. (4-2)
o . Bo . ln (re / rw)  2fh 
Sedangkan produktivity ratio dinyatakan sebagi berikut :
 r 
PR = f  1 + 7 w Cos (f . 90 0 ) ........................................................... (4-3)
 2fh 
keterangan :
f : fraksi penetrasi = D/h, tanpa satuan
D : Jarak kedalaman penetrasi/lubang bor, ft
Pw = Pwf
Penerapan partially penetrating well biasanya pada reservoir water drive untuk
menghindari produksi air yang tinggi.

Gambar 4.17
Partially Penetrating Well Water Drive
(Buzarde.L.E.,1972)

4.3.1. Perforated Casing Completion


Dalam metoda ini casing produksi dipasang menembus formasi produktif
dan disemen yang selanjutnya diperforasi pada interval-interval yang diinginkan.
Dengan adanya casing formasi yang mudah gugur dapat ditahan.
Perforated casing completion umunya digunakan pada formasi-formasi
dengan faktor sementasi (m) sebesar 1,4.
Untuk mendapatkan laju aliran yang seefisien mungkin, maka dalam
melakukan perencanaan perforasi dilakukan perhitungan secara cermat. Hal ini
agar tidak terjadi hambatan dalam mengalirkan fluida formasi ke dasar sumur.
Penentuan dan perhitungan dalam perforasi, antara lain :
A. Perhitungan dan Penentuan Interval Perforasi
Penentuan interval perforasi dimaksudkan untuk mendapatkan suatu posisi
dan panjang rangkaian perforasi optimum yang memberikan laju produksi
maksimum tanpa ikut terproduksinya air dan gas. Ada beberapa metoda yang
dapat digunakan untuk menentukan interval dan posisi perforasi, diantaranya
metode ini yang dikembangkan oleh Chaney dan metode yang dikemukakan oleh
Chierici.
 Metode Chaney et. al.

Metode ini menggunakan dasar teori Muskat, bahwa suatu hasil analisa matematis
dan studi potentiometris analyzer dari water dan gas coning. Dari hasil analisa
satu set kurva dapat dikembangkan untuk menghitung laju produksi kritis pada
sumur-sumur yang mempunyai GOC, WOC atau keduanya. Kurva ini hanya
berlaku untuk kondisi reservoir yang homogen.

 Metode Chierici et. al.

Metoda ini menggunakan suatu model potentiometric yang didasarkan pada teori
water dan gas coning dari Muskat. Beberapa anggapan dari metoda ini adalah
sebagai berikut :
1. Reservoir homogen, ukuran aquifier terbatas sehingga tidak merupakan tenaga
pendorong.
2. Gas cap berkembang dengan kecepatan yang relatif kecil, sehingga gradien
potensial di gas cap dapat diabaikan.
3. Dibawah kondisi statis, permukaan kontak antara fluida adalah horisontal.
4. Fluida reservoir incompressible.
5. Pengaruh tekanan kapiler dapat diabaikan.
Dengan beberapa anggapan tersebut diatas, maka oil-water dan gas-oil
interface (t1 dan t2) akan stabil apabila laju produksi minyak melalui sumur
produksi tidak lebih besar dari harga yang memberikan pada persamaan berikut :
h 2  pow K rw
Qow  3,073 x 10 3  , rde ,  , w ................................... (4-4)
o  g

h 2  pog K rw
Qog  3,073 x 10 3  , rde ,  , o .................................... (4-5)
o  g

keterangan :
Qow = laju produksi maksimum minyak tanpa terjadi water coning, STB/hari
Qog = laju produksi maksimum minyak tanpa terjadi gas coning, STB/hari.
h = ketebalan zona minyak, ft.
kro = permeabilitas efektif minyak horizontal, md.
rDe = re/h (kvo/kro) = parameter jari-jari pengurasan.
e = b/h = parameter interval perforasi, ft.
dg = hcg/h.
hcg = jarak batas air-minyak ke puncak perforasi, ft.
hcw = hcw/h.
hcw = jarak batas air-minyak ke puncak perforasi, ft.
kvo = permeabilitas efektif minyak vertikal, md.
Ψ = fungsi tidak berdimensi.
re = jari-jari pengurasan, feet.
Dari persamaan di atas, suatu syarat untuk tidak berproduksinya air dan
gas bebas ke permukaan adalah :
Qo  Qow atau Qo  Qog

B. Perhitungan Density Perforasi


Density perforasi adalah jumlah lubang perforasi per satuan panjang (ft).
Untuk mencegah terjadinya coning, faktor utama yang harus dibatasi adalah laju
produksi water awal dari sumur tersebut akan membandingkan laju produksi dari
sumur yang diperforasi (Qp) terhadap produktivitas sumur bila dikomplesi secara
terbuka (Qo).
Besarnya productivity ratio dinyatakan oleh Muskat sebagai berikut :
re
Qp ln
rw
 ......................................................................... (4-6)
Qo re
C  ln
rw
keterangan :
Qp = laju produksi maksimal sumur perforasi
Qo = laju produksi sumur bila diselesaikan secara open hole
C = faktor skin perforasi dan formasi
Dengan demikian terlihat bahwa, produktivitas awal dari suatu formasi
dipengaruhi oleh faktor-faktor :
- Skin karena lumpur bor dan semen
- Perforasi, yang meliputi pola, kedalaman dan diameter perforasi.
Di dalam perforasi dikenal dua macam pola perforasi yaitu :
- Pola sederhana (simple)
- Pola tangga (staggred)
Dalam menentukan density perforasi yang digunakan, Mc Dowell dan
Muskat telah mengadakan penelitian untuk mencari hubungan antara produktivity
ratio (Qp/Qo) dengan density perforasi untuk beberapa jarak penetrasi radial dan
diameter casing serta diameter perforasi tertentu
C. Perhitungan Diameter Perforasi
Pada gambar dibawah ini menunjukan bahwa untuk mendapatkan rate
sebesar 100 bbl/day, dengan kedalaman penetrasi perforasi 12 inchi (305 mm) dan
dimeter lubang perforasi sebesar 0,375 inchi (9,5) dibutuhkan drowdown (P)
sebesar 1,0 psi.
Jadi dengan menggunakan persamaan Fanning dapat ditentukan diameter
lubang perforasi pada rate (laju aliran) yang diinginkan, dengan catatan bahwa
parameter-parameter yang lain sesuai seperti yang tertera pada grafik, yaitu :
 f (friction faktor) = 0.85
 L (perforation lengtih) = 12
 (spesific gravity minyak) = 0.85
Gambar 4.18
Produktivity Ratio Diameter Lubang Perforasi
(Gatlin.C.,1960)
D. Perhitungan Faktor Skin Perforasi
Laju aliran dari formasi ke dalam sumur pada perforated casing
completion, dipengaruhi oleh kerusakan (damage) dan lubang perforasi. Dalam
hal ini keduanya dapat dikatakan sebagai skin yang sama secara kuantitatif dapat
berharga positif atau negatif. Untuk selanjutnya masing-masing dinyatakan
sebagai skin damage (Sd) dan skin perforasi (Sp). Sedangkan hasil dari analisa tes
tekanan memberikan harga skin total (St), keterangan :
St = Sd + Sp ....................................................................................... (4-7)
keterangan :
S = St untuk sumur berselubung (bercasing)
St = Sd atau Sp = 0 untuk open hole completion
Teori analisa fluida menuju ke sumur menganggap geometri aliran radial dengan
batas-batas r = rw (dinding formasi) dan r = re (batas pengurasan). Apabila faktor
skin diperhitungkan sebagai kehilangan tekanan, maka persamaan menjadi :
7,08kh Pr  Pwt 
q
  ln re   1  S
................................................................. (4-8)
 rw  2
Dalam hal ini, makin kecil diameter perforasi, semakin besar skin
perforasinya. Dan makin banyak lubang juga makin dalam perforasinya, maka
skin semakin kecil
E. Perhitungan Pressure Drop Perforasi
Salah satu penyebab rendahnya productivitas sumur pada perforated
completion adalah karena program pelubangan selubung (perforasi) yang tidak
memadai. Apabila kondisi ini terjadi, akan berakibat timbulnya suatu hambatan
terhadap aliran atau bertambahnya penurunan tekanan (pressure drop) dalam
formasi. Oleh karena itulah, Carl Granger dan Kermit Brown telah menggunakan
analisa Nodal untuk mengevaluasi besarnya penurunan tekanan melalui lubang
perforasi, pada berbagai harga density perforasi.
Analisa Nodal disini, diterapkan untuk Standart Perforated Well, dengan
menganggap perforated hole turn 90° dan tidak terjadi damage zone disekeliling
lubang bor. Anggapan-anggapan lain yang digunakan dalam mengevaluasi
pressure drop melalui lubang perforasi ini adalah :
1. Permeabilitas dari crushed zone atau compact zone adalah :
a. 10% dari permeabilitas formasi apabila diperforasi dengan tekanan
overbalanced (tekanan hidrostatis dalam lubang bor lebih besar daripada
tekanan formasi).
b. 40% dari permeabilitas formasi, apabila diperforasi dengan tekanan
underbalanced (tekanan hidrostatis dalam lubang bor lebih kecil daripada
tekanan formasi).
2. Ketebalan crushed zone adalah 1/2 inch.
3. Infinite reservoir adalah, sehingga Pwfs tetap pada sisi dari compact zone,
jadi pada closed outer boundary, konstanta – 3/4 pada persamaan Darcy
dihilangkan
Untuk mengevaluasi presure drop melalui lubang perforasi digunakan persamaan
dari Jones, Blount dan Gazle.
Persaman dibawah ini hanya berlaku untuk sumur minyak pada umumnya,
yaitu sebagai berikut :
Pwfs – Pwf = aq2 + bq = P ............................................................................. (4-9)

atau,
  1 1   
2.30 x 10 Bo  o  rp  re   o  o  ln re r 
4 2

  2
P   p 
q  3
q
Lp 7.08 x 10 L p K p

 4  1 1 
2.30 x 10 Bo  o  rp  re 
 
a
Lp

 
 o  o  ln re r 
b  p 
3
7.08 x 10 L p K p
-1=
2.33 x 1010
β = turbulence factor, ft 1.201
Kp

keterangan :
Bo = faktor volume formasi, bbl/STB
ρo = densitas minyak, lb/cuft
Lp = perforation length, ft
Kp = permeabilitas compact zone, md (kp = 0,1 k formasi, jika overbalanced
dan kp = 0,4 k formasi, jika kondisi underbalanced).
rp = jari-jari lubang perforasi, ft
re = jari-jari compact zone, ft (re = rp + 0,5 inch)
μo = viscositas minyak, cp.
Tekanan dasar sumur merupakan faktor yang dipertimbangkan dalam
perencanaan perforasi sumur, karena hal ini berpengaruh pada efek pembersihan
lubang perforasi. Tekanan dasar sumur ini terbagi atas Pressure Differential dan
Pressure Limitation.

4.3.2. Sand Exclusion Type Completion


Metode ini digunakan dengan maksud mencegah terproduksinya pasir dari
formasi produktif yang kurang kompak. Metode-metode yang umum digunakan
untuk menanggulangi masalah kepasiran adalah liner completion, gravel pack
completion yang biasa dikombinasikan dengan screen liner dan consolidation
completion.
A. Perhitungan Ukuran Lubang pada Screen
Untuk menganalisa besar butir dapat dilakukan dengan cara yaitu sample
yang diambil dari side wall coring ditumbuk agar butiran-butiran pasirnya
terpisah. Kemudian dimasukkan kedalam alat analisa butiran yang tersusun
dengan sieve opening yang berbeda dimana ukuran yang paling besar diletakkan
paling atas dan yang lebih kecil diletakkan dibawahnya.
Dengan adanya getaran dari vibrator maka diperoleh butiran-butiran pasir
pada tiap-tiap saringan tersebut selanjutnya butiran-butiran pasir dari masing-
masing saringan ditimbang.
Prosen berat kumulatif pasir yang tertahan pada sagan (sieve) diplot
terhadap log dari pada ukuran masing-masing saringan pada kertas grafik. Plot
dapat juga dilakukan untuk prosen berat pasir pada masing-masing saringan
terhadap ukuran masing-masing saringan. Penentuan ukuran pelubangan pada
screen liner biasanya didasarkan pada diameter butiran (pasir) pada persen
kumulatipnya. Beberapa peneliti yang memberikan batasan mengenai ukuran
lubang pada screen liner sebagai berikut:
Wilson : W = d 10 .............................................................................(4-10)
Coberly : W = 2d10..............................................................................(4-11)
Gill : W = d 15 .............................................................................(4-12)
De Priester : 0,050 in. s W s d 20 ..............................................................(4-13)
keterangan :
W = ukuran pelubangan screen liner, inch
d10 = diameter butir pasir pada titik 10 % berat kumulatif pada kurva distribusi, in
d15 = diameter butir pasir pada titik 15 % berat kumulatif pada kurva ditribusi, in
d20 = diameter butir pasir pada titik 20 % berat kumulatif pada kurva distribusi, in
Selain ukuran lebar celah, faktor penting lainnya adalah perencanaan
diameter screen yang akan digunakan. Perencanana dimeter screen dimaksudkan
untuk memperoleh produktivitas yang tinggi dan kemudian pengoperasikan pada
sand control dengan gravel pack. Beberapa petunjuk yang digunakan untuk
merencanakan diameter screen pada sumur-sumur yang dipasang casing, antara
lain adalah :
1. Secara praktis, diameter luar (OD) screen paling tidak berukuran 2 inch
lebih kecil dibanding diameter dalam (ID casing)
2. Screen tidak membutuhkan diameter yang lebih besar dari diameter
production string.
Tabel (IV-2) dibawah ini menunjukkan diameter screen yang dianjurkan
untuk setiap diameter casing tertentu.
Disamping hal tersebut di atas, berikut ini adalah beberapa petunjuk yang
digunakan untuk merencanakan diameter dari screen pada open hole completion,
yaitu :
1. Diameter luar screen paling tidak berukuran 4 inch lebih kecil dibanding
diameter lubang sumur
2. Screen tidak selalu membutuhkan diameter yang lebih besar dari diameter
production string

B. Perhitungan Ukuran Lubang Gravel Pack


Dalam penentuan ukuran gravel yang akan digunakan, beberapa ahli
memberikan pendapat sebagai berikut :
1. Coberly menyarankan bahwa ukuran diameter gravel terbesar adalah 10 kali
dari pada ukuran diameter pasir formasi dan 10% berat kumulatif pada sieve
analisis (10xd10)
2. Tausch dan Corley menyarankan, bahwa ukuran diameter gravel (D) adalah
lebih kecil dari 6d10 dan lebih besar dari 4d10.
Untuk ukuran slot ada beberapa pendapat (rumus) yang dapat dikemukakan di sini
antara lain :
Coberley dan Wagner : W = D100 .................................................. (4-14)
Tausch dan Corley : W = D50 ................................................... (4-15)
 D1  D2 
H.J. Ayres : W  2  Ds   ............................ (4-16)
 2 
keterangan :
Ds = diameter gravel terkecil
D1 = diameter gravel terbesar
Pendekatan lain dalam menentukan ukuran gravel beserta screen slot-nya
diberikan oleh David H. Schwartz dengan memperhatikan parameter-parameter
berikut ini :

- analisa butiran pasir formasi-uniformity dari pasir formasi.


- kecepatan aliran aliran fluida ke dalam lubang screen.
- harga perbandingan gravel terhadap pasir (G-S ratio).

C. Pressure Drop pada Gravel Pack


Untuk mengevaluasi pressure drop pada gravel pack completion ini,
digunakan persamaan dari Joness, Blount dan Glazo seperti terlihat dibawah ini :

 Completion Pressure Drop Equation


Persamaan ini hanya beraku untuk sumur minyak pada umumnya sebagai berikut :
Pwfs  Pwf  aq 2  bq  P ................................................................. (4-17)

keterangan :
9.08 x 10 13 b B o r o L
a
A
 o Bo L
b
1.127 x 10 3 k o

1.47 x 10 7
b = turbulence factor, ft-1 = 0.55
ko
keterangan :
Pwf = tekanan aliran dasar sumur, psi
Pwfs = tekanan aliran dasar sumur pada permukaan pasir (sandface), psi
Q = laju aliran, bbl/day
Bo = faktor volume formasi, bbl/STB
ro = densitas minyak, lb/cuft
L = length of linear flow fat, ft
ko = permeabilitas dari gravel, md
rp = jari-jari lubang perforasi, ft
mo = viscositas minyak, cp

4.3.3. Perhitungan Perencanaan Tubing Completion


Dasar dari perencanaan tubing completion adalah vertical flow
performance, karena menjadi dasar utama dalam penentuan ukuran tubing dan
analisa kehilangan tekanan pada tubing.

4.3.3.1.Perhitungan Ukuran Tubing Completion


Dalam hal ini akan dikemukakan pengempirisan penentuan ukuran secara
grafis dan gilbert. Dimana pada prinsipnya penentuan ukuran tubing yang mampu
memberikan laju produksi terbesar dan masih dalam kapasitas produksi
formasinya untuk ukuran tubing tersebut.
Ukuran tubing tersebut dapat ditentukan dengan menghitung tekanan
aliran dasar sumur (Pwf), pada berbagai laju produksi yang telah dimisalkan, baik
dari grafik IPR formasi atau ditentukan dari memisahkan harga THP (Tubing
Head Pressure).
Misalkan laju produksi dan ukuran tubing yang sesuai dengan grafik
Gilbert, maka dapat ditentukan equivalent depth untuk harga THP yang tentukan
GLR-nya, dari grafik Gilbert. Dengan menambahkan kedalaman tubing terhadap
equivalent depth didapat equivalent depth Pwf. Dari sini didapat Pwf untuk harga q
yang dimisalkan dengan mengembalikan equivalent depth Pwf ke harga Pwf.
Dengan cara yang sama, dimisalkan laju produksi yang lain akan diperoleh P wf
lain. Kemudian dibuat grafik untuk beberapa harga q permisalan dan P wf masing-
masing didapat pada grafik IPR. Perpotongan antara P wf terhadap q dengan IPR
adalah merupakan harga laju produksi optimum untuk ukuran tubing yang
dimisalkan. Kemudian dengan menggunakan ukuran tubing yang lain akan
didapat kurva yang lain dari Pwf versus q, terhadap IPR. Dari sini didapat ukuran
tubing yang sesuai untuk sumur yang bersangkutan. Cara ini dilukiskan pada
Gambar 4.19. Cara kedua dalam menentukan ukuran tubing adalah dengan
memisalkan laju produksi yang terdapat dalam grafik Gilbert, kemudian harga P wf
untuk masing-masing laju produksi dicari dari IPR maka dapat dicari harga
equivalent depth Pwf.
Gambar 4.19
Grafik dalam menentukan laju produksi untuk ukuran tubing dan
IPR tertentu.
(Nind.T.E.W.,1964)

Selanjutnya equivalent depth THP dicari dengan menggunakan equivalent


depth Pwf dengan panjang tubing yang digunakan. Kemudian dicari harga THP
yang sebenarnya. Perpotongan kurva IPR terhadap q dengan garis horizontal THP
merupakan laju produksi optimum untuk ukuran tubing yang diinginkan. Hal ini
diperlihatkan pada Gambar 4.19.

4.3.3.2.Perhitungan Pressure Loss pada Tubing


Perhitungan kehilangan tekanan selama terjadi aliran melalui pipa vertikal
(tubing) telah dilakukan oleh beberapa peneliti, antara lain : Poettman dan
Carpenter, Gilbert, Hagerdon dan Brown serta Beggs dan Brill.
 Metode Poettman dan Carpenter
Poettman dan Carpenter mengembangkan metode semi empiris
berdasarkan persamaan keseimbangan energi serta data dari 34 sumur minyak
flowing dan 15 sumur minyak gas-lift yang menggunakan tubing 2’’, 2,5’’ dan
3’’. Minyak, air dan gas dianggap sebagai satu fasa dan tidak korelasi liquid hold
up. Selain daripada itu juga dianggap aliran minyak, air dan gas merupakan aliran
turbulen. Kehilangan energi yang terjadi sepanjang aliran tersebut, dikorelasikan
dengan pembilang daripada bilangan Reynold, seperti terlihat pada Gambar 4.20.
Gambar 4.20.
Grafik dalam menentukan laju produksi untuk ukuran tubing tertentu
dan THP tertentu. (Nind.T.E.W.,1964)

4.3.4. Perhitungan Perencanaan Well Head Completion


Titik potong dalam merencanakan well head completion adalah memilih
well head yang sesuai dengan rentang tekanan dan menentukan diameter choke
yang dibutuhkan di samping pula pemilihan x-mastree yang akan digunakan.

4.3.4.1. Perencanaan Well Head


Perencanaan ukuran well head dipilih per-bagian dimulai dari lower most
casing head yang dirancang bagian dalamnya dapat memberikan lubang masih
terbuka luas agar peralatan yang diturunkan ke bawah permukaan tidak merusak
tubing head. Dalam perencanaan ukuran atau kekuatan dari lower most casing
head yang akan dipergunakan adalah bergantung dari ukuran casing yang dipakai
dan harus mempunyai tekanan kerja minimal sama dengan tekanan formasinya.
Disamping itu dalam merencanakan lower most casing head harus dapat
menerima casing hanger tanpa menimbulkan kerusakan casing dan rangkaiannya,
serta ukuran flange yang digunakan harus tepat. Sebagai contoh ukuran dari
flange 12” adalah untuk tekanan herja 300 psi, bilaukuran casing yang digunakan
ukuran 11¾” atau 13 3/8” Sedangkan dalam perencanaan ukuran dan kekuatan
intermediate, casing head bergantung dari rangkaian casing yang digantungnya
dan harus mempunyai tekanan kerja minimal sama dengan tekanan permukaan
maksimumnya yang menyebabkan kerusakan formasi pada dasar rangkaian casing
intermediate dan tekanan kerja intermediate casing head mempunyai ukuran 6”
s/d 20”, yang digunakan untuk menopang ukuran casing dari 4 ½” s/d 13 3/8”.
Intermediate casing head digunakan pada tekanan kerja 960, 2000, 3000 dan
5000 psi.

Sebagai tambahan dalam perencanaan intermediate casing head harus


memperhatikan beberapa faktor, antara lain bahwa bagian bawah flange dari
intermediate casing head, sementara bagian atas flange intermediate casing head
harus cocok ukuran dan tekanan kerjanya dengan alat-alat yang dipasang casing
spool tersebut. Lebih dari itu, ukuran dan tekanankeja serta jenisnya harus cocok
dengan ukuran lubang saluran keluar (outlet). Sedangkan casing hanger yang
berfungsi untuk menggantungkan rangkaian casing berikutnya, bergantung dari
penampang flange dan ukuran dari casing yang digantung.

Dalam perencanaan dan kekuatan tubing head bergantung dari ukuran


casing yang digunakan harus mempunyai tekanan kerja yang mampu menahan
tekanan aliran fluida formasi. harus diperhatikan pula beberapa hal, seperti ukuran
flange bagian bawah dari tubing head dan tekanan kerjanya harus sesuai dengan
flange bagian atas dari casing head atau cross over flange yang telah dipasang
sebelumnya. Tubing head yang dipilih harus dapat memberikan terusan yang luas,
sehingga rangkaian casing produksi dan pemasangan alat-alat artificial lift dapat
masuk jika diperlukan.

4.3.4.2.Perencanaan Christmas-Tree
Perencanaan x-mas tree sangat mempengaruhi oleh kondisi tekanan sumur,
disamping pula oleh jumlah komplesi yang digunakan.

Kondisi tekanan perlu diperhatikan karena x-mas tree dalam standart API
diklasifikasikan berdasarkan kesanggupan dalam menahan tekanan kerja. Setiap
x-mass tree mempunyai seri dan tekanan kerja masing-masing.

• Seri 400 untuk tekanan kerja 960 psi.


• Seri 400 untuk tekanan kerja 2000 psi dan
seterusnya.
Choke performance merupakan bagian analisa ulah kerja sumur sembur
alam pada kepala sumur yang meliputi kehilangan tekanan akibat penyempitan
diameter pipa pada bagian tertentu (surface choke). Selain dipasang pada
peralatan kepala sumur, biasanya dipasang pula tubing pada tubing di dasar sumur
(subsurface choke). Hal terpenting dalam perencanaan choke adalah perencanaan
ukuran dan perhitungan pressure drop yang terjai pada choke.

Tujuan utama pemasangan choke adalah untuk mengatur laju produksi


yang sesuai perencanaan. Pemilihan choke di lapangan minyak dilakukan
sedemikian rupa hingga bagian tekanan down stream di dalam flow line tidak
berdampak jelek terhadap tekanan kepala sumur dan kelakuan produksi sumur.
Tekanan kepala sumur sedikitnya dua kali lebih besar dari tekanan flow line.
Untuk pemilihan ukuran choke yang sesuai denan laju produksi yang
direncanakan, dapat ditentukan dengan dua metode.

 Analisa Menurut Gilbert

Teoritis, Gilbert menurunkan suatu persamaan untuk menentukan diameter


choke, yaitu:

CxR 05 xq
Pwh  ................................................................................... (4-18)
S2

keterangan :

Pth = Tubing head pressure, psi

C = Konstanta yang besarnya diambil dari harga 600

S = Ukuran choke per 64”

R = Gas liguid ratio, MCF/bbl

Jika menggunakan data lapangan, Gilbert menurunkan persamaan sebagai berikut:


435 xR 0564 xq
Pwh  ............................................................................
S 180
(4-19)

Keterangan :

q = Laju produksi cairan total, bbl/day

Penentuan ukuran choke dengan menggunakan Ros Formula prinsipnya adalah


sama dengan metode Gilbert, akan tetapi Ros menggunakan Formula untuk
mengembangkan aliran gas cairan kritis yang melalui suatu hambatan. Dalam
bentuk sederhana persamaan tersebut adalah:

Pwh  17.4q ( R 05 ) /( S 2 ) ...................................................................... (4-20)

Keterangan :

Pwh = Tekanan kepala tubing, psi

Q = laju produksi minyak, STB/day

0.00504Tz ( Rp  Rs
R
BoP

Rp = Gas oil ratio, SCF/STB

Rs = Kelarutan gas dalam minyak pada tekanan tubing dan temperatur 85o F

Bo = FVF minyak pada tekanan tubing dan temperatur 85o F

P = P1/4636.8

P1 = Tekanan tubing, lb/ft2

S = Ukuran choke, 1/64 inchi

Disamping perencanaan ukuran choke yang digunakan, maka masalh


penting lannya dalam choke performance adalah adanya masalah penurunan
tekanan atau pressure drop yang terjadi di choke. Hal ini perlu diperhatikan karena
menyangkut masalah aliran fluida yang akan menuju ke separator. Untuk
menentukan besarnya penurunan tekanan melalui choke (surface choke),
dilakukan dengan analisa modal, dimana surface choke ini merupakan nodee
(titik) solusinya.

4.3.4.3. Perencanaan Ukuran Choke


Choke performance merupakan bagian analisa ulah kerja sumur sembur
alam pada kepala sumur yang meliputi kehilangan tekanan akibat penyempitan
diameter pipa pada bagian tertentu (surface choke). Selain dipasang pada
peralatan kepala sumur, biasanya dipasang pula tubing pada tubing di dasar sumur
(subsurface choke). Hal terpenting dalam perencanaan choke adalah perencanaan
ukuran dan perhitungan pressure drop yang terjadi pada choke.
Tujuan utama pemasangan choke adalah untuk mengatur laju produksi
yang sesuai perencanaan. Pemilihan choke di lapangan minyak dilakukan
sedemikian rupa hingga bagian tekanan down stream di dalam flow line tidak
berdampak jelek terhadap tekanan kepala sumur dan kelakuan produksi sumur.
Tekanan kepala sumur sedikitnya dua kali lebih besar dari tekanan flow line.
Untuk pemilihan ukuran choke yang sesuai denan laju produksi yang
direncanakan, dapat ditentukan dengan dua metode.
Analisa Menurut Gilbert
Teoritis, Gilbert menurunkan suatu persamaan untuk menentukan diameter
choke, yaitu:
CxR 05 xq
Pwh  ……………..………………………………………. (4-21)
S2
Keterangan :
Pth = Tubing head pressure, psi
C = Konstanta yang besarnya diambil dari harga 600
S = Ukuran choke per 64”
R = Gas liguid ratio, MCF/bbl
Jika menggunakan data lapangan, Gilbert menurunkan persamaan sebagai berikut:
435 xR 0564 xq
Pwh  ..………..…………………………………………. (4-22)
S 180
Keterangan :
q = Laju produksi cairan total, bbl/day

4.4. Perencanaan Well Completion pada Reservoir Batupasir Delta


Selanjutnya dalam mengangkat hidrokarbon dari suatu formasi reservoir
delta setelah dilakukan pemboran maka dilakukan pemilihan dan perencanaan
well completion. Pemilihan well completion yang dimaksud untuk mengubah
sumur pemboran menjadi sumur produksi. Disamping itu dalam pemilihan well
completion harus dipertimbangkan kemungkinan terjadinya problematik produksi,
sehingga diharapkan akan dihasilkan fluida reservoir secara maksimal, dengan
biaya produksi seminimal mungkin.
Reservoir delta adalah merupakan reservoir yang lapisan-lapisan
produktifnya pada umumnya didominasi oleh batupasir (sandstone) dengan shale
ataupun silt sebagai cap rocknya.
Batupasir yang terdapat pada suatu reservoir delta dapat berupa sebagai
lensa atau berlapis-lapis (multilayer) yang terbentuk oleh perbedaan variasi
lithologi yang berakibat terjadinya perbedaan permebilitas. Struktur lensa atau
berlapis-lapis (multilayer) ini biasanya dijumpai sebagai kantong-kantong pasir
didalam lapisan shale, dimana telah mengalami siklus transgresi-regresi sehingga
banyak terdapat pembajian.
Disamping memperhatikan karakteristik batuannya, maka harus
diperhatikan pula karakteristik fluidanya, misalnya komposisi minyak buminya
(parafinik atau tidak), kandungan ion air formasinya serta kandungan gas-nya.
Dengan demikian akan didapatkan karakteristik lapisan atau formasinya. Dalam
hal ini tentunya berhubungan dengan ada atau tidaknya problem produksi pada
formasi tersebut, karena biasanya dalam suatu formasi delta terdapat beberapa
lapisan produkiitf yang masing-masing lapisan kadangkala mempunyai problem
produksi sendiri-sendiri, sehingga memerlukan penanganan secara sendiri-sendiri
pula. Misalnya satu lapisan menimbulkan problem kepasiran sedang lapisan
lainnya menimbulkan problem korosi, hal ini sangat erat hubungannya dengan
pemilhan well completion.sehingga diharapkan laju produksi yang optimal dapat
dicapai.
V. METODOLOGI PENULISAN
Metodologi yang digunakan dalam penyusunan dan penulisan komprehesif
ini adalah studi pustaka dan diskusi. Studi pustaka dilakukan dengan bahan-bahan
yang diperoleh dari literatur-literatur, jurnal ataupun karya tulis lain yang
berhubungan dengan judul komprehensif ini. Diskusi dilakukan terutama dengan
dosen pembimbing baik mengenai aspek teknologi, keteraturan penuturan maupun
tata cara penulisan.

RENCANA DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR

HALAMAN PERSEMBAHAN

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR

DAFTAR TABEL

DAFTAR LAMPIRAN

BAB

I. PENDAHULUAN
II. KARAKTERISTIK RESERVOIR
2.1.Karakteristik Reservoir
2.1.1.Komposisi Kimia Batu Pasir
2.1.1.1.Orthoquarzite
2.1.1.2.Graywacke
2.1.1.3.Arkose
2.2.2. Komposisi kimia Batuan Karbonat
2.1.3. Komposisi Kimia Batuan Shale
2.1.4. Sifat Fisik Batuan Reservoir
2.1.4.1.Porositas
2.1.4.2.Saturasi
2.1.4.3.Permeabilitas
2.1.4.4.Wettabilitas
2.1.4.5.Tekanan Kapiler
2.1.4.6.Kompresibilitas
2.2.Karakteristik Fluida Reservoir
2.2.1.Komposisi Kimia Fluida Hidrokarbon
2.2.1.1.Komposisi Kimia Hidrokarbon
2.2.1.2.Komposisi Kimia Air Formasi
2.2.2.Sifat-sifat Fisik Fluida Reservoir
2.2.2.1.Sifat Fisik Gas
A. Densitas Gas
B. Viskositas Gas
C. Faktor Volume Formasi Gas
D. Kompressibilitas Gas
E. Kelarutan Gas Dalam Minyak
2.2.2.2.Sifat Fisik Minyak
A. Densitas Minyak
B. Viskositas Minyak
C. Faktor Volume Formasi Minyak
D. Kompressibilitas Minyak
2.2.2.3.Sifat Fisik Air Formasi
A. Densitas Air Formasi
B. Viskositas Air Formasi
C. Faktor Volume Formasi Air Formasi
D. Kompressibilitas Air Formasi
E. Kelarutan Gas Dalam Air Formasi
2.3.Kondisi Reservoir
2.3.1.Tekanan Reservoir
2.3.2.Temperatur Reservoir
2.4.Jenis-jenis Reservoir
2.4.1.Berdasarkan Perangkap Geologi
2.4.1.1.Perangkap Stratigrafi
2.4.1.2.Perangkap Struktur
2.4.1.3.Perangkap Kombinasi
2.4.2.Berdasarkan Kelakuan Fasa
2.4.2.1.Reservoir Minyak Berat
2.4.2.2.Reservoir Minyak Ringan
2.4.2.3.Reservoir Gas Kondensat
2.4.2.3.Reservoir Gas Basah
2.4.2.4.Reservoir Gas Kering
2.4.3.Berdasarkan Mekanisme Pendorong
2.4.3.1.Water Drive
2.4.3.2.Gas Cap Drive
2.4.3.3.Depletion Drive
2.4.3.4.Segregation Drive
2.4.3.5.Combination Drive
III. LINGKUNGAN PENGENDAPAN DELTA
3.1. Lingkungan Pengendapan Delta
3.2. Geologi Reservoir Delta
3.2.1. Definisi dan Syarat Terbentuknya
3.2.2. Proses Terbentuknya Delta
3.2.3. Morfology Basic Delta
3.2.4. Klasifikasi Delta
3.2.4.1. Bentuk-Bentuk Khusus Delta
3.2.5. Rangkaian Fasies Pada Sistem Pengendapan Delta
3.2.5.1. Urutan-Urutan Prodelta Dan Delta Front
3.2.5.2. Delta Yang Didominasi Sungai
3.2.5.3. Delta Yang Didominasi Oleh Gelombang
3.2.5.4. Delta yang Dipengaruhi Oleh Air Pasang
3.2.5.5. Distribusi Channel Dan Bar
3.2.5.6. Penyebaran Channel Pada Rangkaian Delta Plain
3.2.5.7. Area Interdistribusi
3.2.5.8. Area Interdistribusi Pada Delta Yang Didominasi
Sungai
3.2.5.9. Area Interdistribusi Di Delta Akibat Gelombang
3.2.5.10.Area Interdistribusi Pada Delta Akibat Pasang
3.2.6. Arsitekture Stratigrafis Dan Variabilitas Penampang Lateral
3.2.7. Bidang (Tract) Pada Sistem Delta
3.2.8. Kendali Auto siklus dan Allo Siklus Pada Pengendapan Delta
3.2.9. Contoh Lain Kendali Allo Siklus Pada perkembangan Delta
3.2.10. Fasies
IV. ALIRAN FLUIDA DALAM MEDIA BERPORI
4.1. Aliran Fluida Dalam Media Berpori
4.1.1. Aliran Fluida Linier
4.1.2. Aliran Fluida Radial
4.1.2.1.Aliran Radial Untuk Perlapisan Linier
4.1.2.2.Lapisan Radial Untuk Perlapisan Berseri
4.2. Productivity Index (PI)
4.2.1. Pengertian Productivity Index
4.2.2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi PI
4.3.Inflow Performance Relationship (IPR)
4.3.1.IPR Satu Fasa
4.3.2.IPR Dua Fasa
4.3.3.IPR Untuk Formasi Berlapis
4.4.Uji Sumur
4.4.1.Pressure Build Up Test
4.4.2.Pressure Drawdown Test
V. WELL COMPLETION
5.1.Pengertian dan Tujuan Well Completion
5.2.Jenis-Jenis Well Completion
5.2.1. Formation Completion / Down-Hole Completion
5.2.1.1.Open Hole Completion
5.2.1.2.Perforated Casing Completion
5.2.1.3.Sand Exclusion Type
5.2.2. Tubing Completion
5.2.2.1Single Completion
5.2.2.2.Commingle Completion
5.2.2.3.Multiple Completion
5.2.2.4.Tubingless Completion
5.2.3. Well Head Completion
5.2.3.1.Single Completion
5.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pemilihan Jenis Well
Completion
5.3.1.Formation Completion
5.3.1.1.Kondisi Reservoir
5.3.1.2.Kekompakan Batuan dan Problem Kepasiran
5.3.1.3.Produktivity Index dan MER
5.3.1.4.Kestabilan Formasi
5.3.1.5.Sand Free Flow Rate
5.3.1.6.Pengaruh Peralatan
5.3.2. Tubing Completion
5.3.2.1.Jumlah Lapisan Produktif dan Produktivitas Formasi
5.3.2.2.Pemilihan Ukuran dan Jumlah Tubing
5.3.2.3.Pressure Loss Dalam Tubing
5.3.2.4.Pemilihan Ukuran Tubing dan Choke
5.3.2.5.Sifat Fluida Produksi
5.3.2.6.Pemiliharaan Kemampuan Produktivitas Formasi
5.3.2.7.Kemungkinan Penggunaan Artificial Lift
5.3.2.8.Kemungkinan Operasi Treatment dan Workover
5.3.3. Well Head Completion
5.3.3.1.Kondisi Tekanan Reservoir
5.3.3.2.Laju Produksi Sumur
5.4. Down-Hole Equipment
5.4.1.Pengertian Dan tujuan Down-Hole Equipment
5.4.2.Alat Dan Fungsi
5.5.Perhitungan Perencanaan Well Completion
5.5.1.Perhitungan Perencanaan Formation Completion
5.5.1.1.Open Hole Completion
5.5.1.2.Perforated Casing Completion
5.5.1.3.Sand Exclusion Type Completion
5.5.2.Perhitungan Perencanaan Tubing Completion
5.5.2.1.Perhitungan Ukuran Tubing Completion
5.5.2.2.Perhitungan Pressure Loss pada Tubing
5.5.3.Perhitungan Perencanaan Well Head Completion
5.5.3.1.Perencanaan Well Head
5.5.3.2.Perencanaan Christmas Tree
5.5.3.3.Perencanaan Ukuran Choke
VI. PEMBAHASAN
VII. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA

1. Allen, T.O. and Robert, A.P., “Production Operation Well Completion,


Workover and Stimulation”, Oil and Gas Consultant International, Inc., New York,
1960

2. Amyx, J.W., Bass, D.M, Jr., Whitting, R.L., “Petroleum


Reservoir Engineering”, McGraw-Hill Book Company, New York, Toronto,
London, 1960.

3. Brown, Kermit E. ; “The Technology Of Artificial Lift Method”, Vol. 1, Pen Well
Book, Tulsa, Oklahoma, 1977.

4. Burcik, E.J.,”Properties of Petroleum Reservoir Fluids”, John Willey &


Sons Inc., New York, 1960
5. Buzzarde, Jr., LE., “Well Completion Practice”, Production Operation Course
I., Well Completion SPE of AIME, Dallas, Texas, 1972
6. Craft, B.C., Hawkins, M.F., “Applied Petroleum Reservoir Engineering”, Prentice
Hall Inc., Englewood Clifft, New Jersey, 1962.

7. Gatlin Carl, “Petroleum Engineering, Drilling and Well Completion”,


Prentice Hall, New Jersey, 1960.

8. Koesoemadinata,R. P., “Geologi Minyak dan Gas Bumi”, Jilid 1 dan 2,


Penerbit ITB,Bandung, 1980

9. Lee, John,”Well Testing”, SPE of AIME, 1 Printing New York, 1982.

10. McCain, William, C.S., William, D., “The Properties of Petroleum Fluid”,
Petroleum Publishing Company, Tulsa, Oklahoma, 1974.

11. Nind, T.E.W., “Principle of Oil Well Production”, Mc Graw Hill Book
Company Inc., New York., 1998
12. Pettijon, F.J, “Sedimentary Rock”, Second Edition, Harper and Brother Publishing,
New York. 1957`

13. Pirson, S.J,’’Hand Book of Well Log Analysis for Oil and Gas formation
Evaluation’’, Prentice Hall Inc. Englewood Cliffs, new Jersey, 1963.

14. Pudjo Sukarno, DR. Ir. ; “Handout Teknik Produksi”, Institut Teknologi Bandung,
Bandung. Uren, L.C,’’Petroleum Production Engineering, Oil Field
Development’’, Mc. Graw Hill Book Company, Inc, New York, London, 1953.

15. Walker, Rogers. G, James N.p, “Facies models : Response To Sea Level Change”
, Geological Association of Canada, Ontario, 1992

Anda mungkin juga menyukai