Anda di halaman 1dari 7

Patofisiologi

Terdapat berbagai kondisi yang menyebabkan anemia pada lansia.


Penyebab tersering dari anemia pada lansia yaitu akibat defisiensi besi dengan atau
tanpa kehilangan darah, penyakit inflamasi kronik, dan penyakit ginjal kronis.
Penyebab lain dari anemia pada lansia yaitu defisiensi folat atau vitamin B-12,
penyakit pada sumsum tulang (sindrom myelodisplastik, anemia aplastik,
paroxysmal nocturnal hemoglobinuria, sindrom myeloproliferative, leukemia akut
atau kronis, lymphoma), hipotiroidisme, hipersplenisme, dan anemia hemolitik.
Meskipun telah dilakukan evaluasi yang lengkap, terdapat sejumlah kecil kasus
anemia pada lansia yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya (unexplained). Berikut
tabel prevalensi penyebab anemia pada lansia. (S Artz, 2015).
Penyebab Prevalensi
Defisiensi besi 15-23%
Penyakit inflamasi kronik 15-35%
Penyakit ginjal kronik 8%
Endokrinopati Kurang dari 5%
Defisiensi folat atau vitamin B-12 0-14%
Sindrom myelodisplastik 0-5%
Anemia yang tidak dapat dijelaskan 17-45%

a. Anemia defisiensi besi


Mengidentifikasi anemia defisiensi besi pada lansia sangat penting dan
kondisinya dapat diperbaiki. Defisiensi besi pada lansia sering disebabkan oleh
adanya kehilangan darah secara kronis di gastrointestinal akibat mengonsumsi obat
anti-inflamasi nonsteroid sehingga memicu gastritis, ulcer, kanker colon,
diverticula, dan angiodisplasia. Kehilangan darah kronis akibat kanker di saluran
genitourinary, hemoptisis kronis, dan gangguan pendarahan dapat menyebabkan
defisiensi besi tetapi kasusnya jarang. Semua gangguan tersebut sebenarnya dapat
memicu penyerapan zat besi yang tidak adekuat. Selain itu, asupan zat besi yang
tidak memadai juga dapat memicu anemia defisiensi besi pada lansia. (L. Smith,
2000).
b. Anemia akibat penyakit inflamasi kronik
Anemia penyakit kronik terutama muncul terkait dengan proses inflamasi,
sehingga muncul istilah anemia akibat penyakit inflamasi kronik. Anemia akibat
penyakit inflamasi kronik merupakan anemia hypoproliferative yang ditandai
dengan rendahnya serum besi dan cadangan besi yang adekuat. Penanda inflamasi
yang terlibat dalam anemia inflamasi kronik meliputi tumor nekrosis faktor alpha
(TNF-alpha), interleukin-1 (IL-1), interferon gamma (IFN-gamma), dan IL-6.
Proses inflamasi dapat menghambat erythropoiesis melalui berbagai mekanisme.
Penemuan hepcidin telah secara jelas mengklarifikasi patofisiologi dari anemia
akibat penyakit inflamasi kronik. Hepcidin merupakan 25-peptida asam amino yang
di sintesis oleh hepar dan berguna sebagai pengatur utama homeostasis besi.
Hepcidin secara langsung menghambat ferroportin yaitu protein yang mengangkut
besi keluar dari cadangan besi pada sel. Proses inflamasi, terutama peran IL-6, dapat
memicu ekspresi dari hepcidin. Adanya peningkatan ekspresi hepcidin tersebut
dapat memicu terjadinya anemia inflamasi kronik. Tidak semua kondisi atau
bahkan kondisi yang menyebabkan anemia, memerlukan diagnosis anemia
inflamasi kronik. Misalnya, anemia akibat insufisiensi ginjal atau disfungsi
endokrin tidak dianggap sebagai anemia inflamasi kronik. (Agarwal N, 2009).

c. Anemia akibat insufisiensi ginjal


Penyakit ginjal kronik merupakan penyebab penting anemia pada lansia
mengingat fungsi ginjal menurun seiring bertambahnya usia. Penurunan produksi
EPO ginjal merupakan faktor utama yang menyebabkan anemia pada penyakit
ginjal kronik.
Ginjal yang mengalami kerusakan tidak mampu menghasilkan EPO yang
adekuat. Akibatnya, sumsum tulang akan membuat lebih sedikit sel darah merah,
sehingga terjadilah anemia. Bila darah memiliki lebih sedikit sel darah merah maka
kebutuhan oksigen untuk tubuh juga tidak adekuat. (C. Stivelman, 2014).
Gambar 1. Anemia in chronic kidney disease (C. Stivelman, 2014)

d. Anemia akibat defisiensi nutrient


Kekurangan vitamin B-12 pada lansia jarang diakibatkan oleh asupan yang
tidak adekuat, kecuali pada vegetarian ketat. Penyebab yang umum adalah akibat
penurunan absorpsi usus terhadap vitamin B-12. Anemia pernisiosa merupakan
contoh klasik dari kelainan yang menyebabkan berkurangnya penyerapan usus
terhadap vitamin B-12. Hal tersebut terjadi karena kurangnya faktor intrinsik akibat
penghancuran sel parietal lambung oleh autoimmune antibodi. Terdapat satu studi
yang mengungkapkan bahwa selain anemia pernisiosa, penyerapan vitamin B-12
yang tidak memadai juga ditemukan pada pasien yang melakukan gastrektomi
parsial, pasien dengan kelainan usus halus, dan pertumbuhan bakteri yang
berlebihan pada usus. Untuk mengidentifikasi penyebab penyerapan vitamin B-12
yang tidak memadai maka dapat dilakukan uji Schilling.
Tidak seperti defisiensi vitamin B-12, defisiensi folat biasanya berkembang
sebagai akibat asupan makanan yang tidak adekuat. Tubuh menyimpan folat sangat
sedikit, hanya cukup untuk empat sampai enam bulan. Seperti kekurangan vitamin
B-12, defisiensi folat secara klasik menyebabkan anemia makrositik, walaupun
proporsi yang signifikan (25%) pasien lansia dengan defisiensi folat memiliki
anemia normositik. Gejala defisiensi folat hampir tidak dapat dibedakan dari
defisiensi vitamin B-12. Perbedaan antara defisiensi folat dan defisiensi vitamin B-
12 adalah tingkat serum folat dapat mengelirukan. Konsentrasi folat sel darah
merah lebih dapat diandalkan daripada kadar serum dan juga harus pertimbangkan
tingkat serum homosistein meningkat pada 90% pasien dengan defisiensi folat. Jika
kadar asam metylmalonic juga meningkat maka defisiensi vitamin B-12 harus
dipertimbangkan. (Agarwal N, 2009).

e. Sindrom myelodisplastik
Sindrom myelodisplastik merupakan penyebab anemia yang relatif jarang,
namun merupakan penyebab yang lebih umum pada lansia daripada pasien usia
muda. Dulu sindrom ini digunakan untuk menggambarkan pre-leukemia, ditandai
oleh kegagalan dalam perkembangan salah satu garis sel sumsum tulang sehingga
membatasi pelepasan dari sel-sel fungsional. Anemia terjadi apabila garis sel darah
merah terpengaruh. Sindrom myelodisplastik harus menjadi pertimbangan
diagnostik ketika kelainan sel darah putih atau platelet menyertai anemia. Diagnosis
sindrom ini biasanya dilakukan dengan biopsi sumsum tulang. (C Besa, 2017).

f. Ganguan Hematologis Primer Lainnya


Berbagai gangguan hematologis primer lainnya memiliki anemia sebagai
salah satu manifestasinya. Thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP), meskipun
jarang, sebaiknya dipertimbangkan pada setiap pasien anemia terutama ketika
kegawatdaruratan medis ini membutuhkan intervensi cepat. Sering, pasien
memiliki gejala lain, termasuk trombositopenia, perubahan status mental, dan
penurunan kemampuan ginjal.
Pasien usia tua dengan leukemia akut bisa memiliki lebih banyak penyakit
dibandingkan pasien usia muda. Pasien-pasien ini bisa saja menunjukkan jumlah
sel darah putih yang rendah, tinggi, bahkan normal meskipun pada kebanyakan
individu jumlah sel darah putihnya tidak normal. Fakta ini menekankan pentingnya
menampilkan perbandingan pada semua pasien dengan Complete Blood Count yang
abnormal.
Chronic lymphocytic leukemia (CLL) sering diderita oleh orang tua.
Meskipun kebanyakan pasien akan mengalami peningatan sel darah putih atau
adanya limfadenopati, beberapa pasien menunjukkan tanda anemia hemolitik
autoimun dan bisa memiliki sedikit fakta CLL yang berhubungan.
Multiple myeloma sebaiknya juga dipertimbangkan terutama pada pasien
dengan peningkatan kadar globin. Pasien-pasien dengan anemia aplastic akan
memiliki kadar sel darah putih yang rendah dengan maupun tanpa penurunan
jumlah trombosit. Pasien dengan myelofibrosis akan mengalami anemia sebagai
abnormalitas yang menonjol.
Anemia juga bisa menjadi tanda tanda infiltrasi sumsum tulang akibat
limfoma. Tidak jarang pada pasien, limfadenopati tidak teraba namun pada CT scan
ditemukan limfadenopati internal. Pada pasien ini pengukuran kadar LDH
sangatlah penting. (L. Smith, 2000).

g. Penyakit thyroid
Hipotiroidisme dapat mengurangi massa sel darah merah dan menyebabkan
anemia normokromik. Terkadang, hipotiroidisme dan hipertiroidisme dihubungkan
dengan anemia pernicious. Hubungan derajat disfungsi tiroid dengan terjadinya
anemia sebenarnya masih belum jelas. Umumnya, semakin parah disfungsi tiroid,
kemungkinan terjadinya anemia semakin tinggi. Percobaan terapi pada
abnormalitas tiroid perlu dilakukan untuk menentukan peran abnormalitas tiroid
dalam menurnkan konsentrasi Hb. (Parulska E, et al., 2017).

h. Anemia pada Lansia yang tidak dapat dijelaskan


Terkadang, anemia pada lansia tidak memiliki etiologi yang jelas. Penelitian
pada pasien anemia lansia selama 30 tahun menunjukkan anemia yang tidak
memiliki etiologi yang jelas mengambil bagian sekitar 15% - 45%. Bahkan dengan
tes serum ferritin, methymalonic acid, dan reseptor transferrin terlarut, jumlah yang
signifikan menunjukkan pasien anemia lansia yang didiagnosis dengan anemia
yang tidak dapat dijelankan.
Anemia ini tidak hanya memiliki etiologi yang tidak jelas namun juga
patofisiologi yang tidak jelas. Beberapa data penelitian membedakan anemia yang
tidak dapat dijelaskan ini dengan anemia akibat inflamasi kronis. Data tersebut
antara lain C-reactive protein (CRP) meningkat 27% pada pasien dengan anemia
akibat inflamasi kronis, sedangkan pada anemia yang tidak dapat dijelaskan
meningkat hanya sekitar 9%. Pada penelitian terkait kondisi komorbid inflamasi,
rata-rata CRP pada pasien dengan anemia akibat inflamasi kronis adalah 36.9
mg/dL sedangkan pada anemia yang tidak dapat dijelaskan sekitar 6.0 mg/dL.
Anemia yang tidak dapat dijelaskan ini juga perlu dibedakan dengan
myelodysplastic syndrome menurut penelitian anemia pada lansia, 17% kasus
anemia yang tidak dapat dijelaskan memiliki abnormalitas hematologis yang
berhubungan dengan myelodysplastic syndrome. Hal lain yang terkait dengan
myelodysplastic syndrome antara lain MCV lebih dari 100 fL, jumlah leukosit
kurang dari 3000/uL, dan jumlah platelet kurang dari 150000/uL. (Makipour, et al.,
2008).

i. Kekurangan EPO
Sekresi EPO endogen yang tidak adekuat dapat menyebaban terjadinya
anemia. Bahkan tanpa adanya gangguan filtrasi pada ginjal, fungsi endokrin sebagai
dasar pengukuran respon EPO endogen dapat terganggu. Contohnya anak dengan
sindrom nefritik, sebelum penurunan fungsi ginjal yang signifikan, sudah terlihat
adanya respon EPO endogen terhadap anemia. Respon EPO yang sama juga terjadi
pada pasien diabetes yang tidak tergantung penurunan filtrasi glomerular. Pada
akhirnya, pemberian angiotensin-converting enzyme (ACE) dapat menekan sekresi
EPO dan anemia presipitat.

Penurunan fungsi ginjal dapat menjadi salah satu tanda penuaan yang
semakin terlihat jika terjadi bersamaan dengan hipertensi dan diabetes. Defisiensi
EPO yang berhubungan dengan dengan kerusakan ginjal dapat berkontribusi pada
anemia yang tidak dapat dijelaskan. (L. Babitt & Y. Lin, 2012).

j. Hormon Sex

Hb secara umum berbeda antara laki-laki dan perempuan berhubungan


dengan efek eritropoesis yang dikaitkan dengan testosterone. Hal ini dapat
dibuktikan dengan fakta bahwa setelah orchiectomy atau terapi deprivasi androgen
untuk kanker prostat, Hb akan turun rata-rata 1.2 g/dL sampai 1.5 g/dL.
Testosteron akan menurun seiring pertambahan usia. Penurunan Hb yang
lebih banyak pada pria dibanding wanita yang berhubungan dengan penurunan
hormone testosterone akibat penuaan dapat menyebabkan anemia yang tidak dapat
dijelaskan. Jika dilakukan penggantian testosterone, Hb pria lansia dapat
meningkat. Studi epidemiologi menunjukkan bahwa pria dengan kadar testosterone
yang rendah akan lebih rentan terhadap anemia. (L. Smith, 2000).

Bibliography
Agarwal N, P. J., 2009. Anemia of chronic disease (anemia of inflammation). Acta
Haematologica, 122(2–3), hh. 103–108.

C Besa, E., 2017. Myelodysplastic Syndrome. [Online]


Available at: https://emedicine.medscape.com/article/207347-overview
[Diakses pada: 16 Januari 2018].

C. Stivelman, J., 2014. Anemia in Chronic Kidney Disease. [Online]


Available at: https://www.niddk.nih.gov/health-information/kidney-disease/chronic-
kidney-disease-ckd/anemia
[Diakses pada: 16 Januari 2018].

L. Babitt, J. & Y. Lin, H., 2012. Mechanisms of Anemia in CKD. J Am Soc Nephrol, 23(10),
hh. 1631–1634.

L. Smith, D., 2000. Anemia in the Elderly. Am Fam Physician, 62(7), hh. 1565-1572.

Makipour, S., Kanapuru, B. & B. Ershler, W., 2008. Unexplained Anemia in the Elderly.
Semin Hematol, 45(4), hh. 250-254.

Parulska E, S., A, H. & M, R., 2017. Anemia in thyroid diseases. Pol Arch Intern Med,
127(5), hh. 352-360.

S Artz, A., 2015. Anemia in Elderly Persons. [Online]


Available at: https://emedicine.medscape.com/article/1339998-overview#a4
[Diakses pada: 16 Januari 2018].

Anda mungkin juga menyukai