Diajukan untuk memenuhi syarat Kepanitraan Klinik Stase Ilmu Anestesi dan
Reanimasi
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pembimbing :
dr. Bambang Sutanto, Sp. An
Disusun oleh :
Dista Eka Faulam Putri, S. Ked J510165041
Leny Widio Wati, S.Ked J510165006
Primatika Ambarsari, S.Ked J510165020
B. CA MAMAE
Ca mamae merupakan penyakit neoplasma ganas yang berasal dari
parenkima dimana sel-sel telah kehilangan pengendalian dan mekanisme
normalnya, sehingga mengalami pertumbuhan yang tidak normal, cepat, dan
tidak terkendali.
1. Faktor Risiko
Beberapa faktor resiko yang memegang peranan penting dalam proses
kejadian ca mamae, yaitu :
a. Orang tua (ibu) yang pernah menderita ca mamae terutama pada usia
relatif muda
b. Anggota keluarga sedarah menderita ca mamae
c. Menderita tumor jinak payudara
2. Patofisiologi
Sel-sel kanker dibentuk dari sel-sel normal dalam suatu proses rumit yang
disebut transformasi, yang terdiri dari tahap inisiasi dan promosi :
a. Fase inisiasi
Pada tahap inisiasi terjadi suatu perubahan dalam bahan genetik sel
yang memancing sel menjadi ganas. Perubahan dalam bahan genetik
sel ini disebabkan oleh suatu agen yang disebut karsinogen yang dapat
berupa bahan kimia, virus, radiasi, atau sinar matahari. Kelainan
genetik dalam sel atau bahan lainnya yang disebut promotor
menyebabkan sel lebih rentan terhadap suatu karsinogen.
b. Fase promosi
Pada tahap ini suatu sel yang telah mengalami inisiasi akan berubah
menjadi ganas. Sel yang belum melewati tahap inisiasi tidak akan
terpengaruh oleh promosi. Oleh karena itu siperkukan beberapa faktor
untuk terjadinya keganasan.
3. Manifestasi klinis
Ca mamae mempunyai gambaran klinis sebagai berikut : 1) terdapat
benjolan keras yang lebih terfiksir; 2) tarikan pada kulit di atas tumor; 3)
ulserasi; 4) peau d’orange; 5) discharge dari puting susu; 6) payudara
asimetris; 7) retraksi puting sus; 8) pembesaran kelenjar getah bening
ketiak; 9) tumor satelit di kulit; 10) edema.
4. Terapi
a. Operasi ca mamae yang sering dipakai adalah:
1) Mastektomi radikal
2) Mastektomi radikal modifikasi
3) Mastektomi total
4) Mastektomi segmental plus diseksi kelenjar limfe aksila
b. Radiasi
c. Kemoterapi
d. Terapi hormonal
C. ANESTESI UMUM
Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara
sentral disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversibel).
Komponen trias anestesi yang ideal terdiri dari analgesia, hipnotik, dan
relaksasi otot. Obat anestesi yang masuk ke pembuluh darah atau sirkulasi
kemudian menyebar ke jaringan. Yang pertama terpengaruh oleh obat anestesi
ialah jaringan kaya akan pembuluh darah seperti otak, sehingga kesadaran
menurun atau hilang, hilangnya rasa sakit, dan sebagainya. Seseorang yang
memberikan anestesi perlu mengetahui stadium anestesi untuk menentukan
stadium terbaik pembedahan itu dan mencegah terjadinya kelebihan dosis.
Agar anestesi umum dapat berjalan dengan sebaik mungkin,
pertimbangan utamanya adalah memilih anestetika ideal. Pemilihan ini
didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu keadaan penderita, sifat
anestetika, jenis operasi yang dilakukan, dan peralatan serta obat yang tersedia.
Sifat anestetika yang ideal antara lain mudah didapat, murah, tidak
menimbulkan efek samping terhadap organ vital seperti saluran pernapasan
atau jantung, tidak mudah terbakar, stabil, cepat dieliminasi, menghasilkan
relaksasi otot yang cukup baik, kesadaran cepat kembali, tanpa efek yang tidak
diinginkan.
Obat anestesi umum yang ideal mempunyai sifat-sifat antara lain pada
dosis yang aman mempunyai daya analgesik relaksasi otot yang cukup, cara
pemberian mudah, mulai kerja obat yang cepat dan tidak mempunyai efek
samping yang merugikan. Selain itu obat tersebut harus tidak toksik, mudah
dinetralkan, mempunyai batas keamanan yang luas.
b. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan psikis : gelisah,takut, kesakitan
2) Keadaan gizi : malnutrisi atau obesitas
3) Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat, terapi
cairan yang diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah
pembedahan.
4) Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta
suhu tubuh.
5) Jalan nafas (airway). Jalan nafas diperiksa untuk mengetahui
adanya trismus, keadaan gigi geligi, adanya gigi palsu, gangguan
fleksi ekstensi leher, deviasi ortopedi dan dermatologi. Ada pula
pemeriksaan mallampati, yang dinilai dari visualisasi pembukaan
mulut maksimal dan posisi protusi lidah. Pemeriksaan mallampati
sangat penting untuk menentukan kesulitan atau tidaknya dalam
melakukan intubasi. Penilaiannya yaitu:
i. Mallampati I : palatum molle, uvula, dinding posterior
oropharynk, tonsilla palatina dan tonsilla pharingeal
ii. Mallampati II : palatum molle, sebagian uvula, dinding
posterior uvula
iii. Mallampati III : palatum molle, dasar uvula
iv. Mallampati IV : palatum durum saja
6) Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung
7) Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu, ronki dan mengi
8) Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia,
atau tanda regurgitasi.
9) Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal, sianosis,
adanya jari tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di tempat-tempat
pungsi vena atau daerah blok saraf regional
5. Induksi
Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai
tercapainya stadium pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan
tahap pemeliharaan anestesi untuk mempertahankan atau memperdalam
stadium anestesi setelah induksi.
Pada kasus ini digunakan obat induksi :
a. Propofol
Propofol (2,6-diisoprophylphenol) adalah campuran 1% obat
dalam air dan emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide
telur dan 2,25% glyserol. Dosis yang dianjurkan 2,5 mg/kgBB untuk
induksi tanpa premedikasi3.
Propofol memiliki kecepatan onset yang sama dengan barbiturat
intravena lainnya, namun pemulihannya lebih cepat dan pasien dapat
diambulasi lebih cepat setelah anestesi umum. Selain itu, secara
subjektif, pasien merasa lebih baik setelah postoperasi karena propofol
mengurangi mual dan muntah postoperasi. Propofol digunakan baik
sebagai induksi maupun mempertahankan anestesi dan merupakan agen
pilihan untuk operasi bagi pasien rawat jalan. Obat ini juga efektif
dalam menghasilkan sedasi berkepanjangan pada pasien dalam keadaan
kritis. Penggunaan propofol sebagai sedasi pada anak kecil yang sakit
berat (kritis) dapat memicu timbulnya asidosis berat dalam keadaan
terdapat infeksi pernapasan dan kemungkinan adanya skuele
neurologik.
Pemberian propofol (2mg/kg) intravena menginduksi anestesi
secara cepat. Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan,
tetapi jarang disertai plebitis atau trombosis. Anestesi dapat
dipertahankan dengan infus propofol yang berkesinambungan dengan
opiat, N2O dan/atau anestetik inhalasi lain.
Propofol dapat menyebabkan turunnya tekanan darah yang cukup
berarti selama induksi anestesi karena menurunnya resitensi arteri
perifer dan venodilatasi. Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik
kira-kira 80% tetapi efek ini disebabkan karena vasodilatasi perifer
daripada penurunan curah jantung. Tekanan sistemik kembali normal
dengan intubasi trakea.
Setelah pemberian propofol secara intravena, waktu paruh
distribusinya adalah 2-8 menit, dan waktu paruh redistribusinya kira-
kira 30-60 menit. Propofol cepat dimetabolisme di hati 10 kali lebih
cepat daripada thiopenthal pada tikus. Propofol diekskresikan ke dalam
urin sebagai glukoronid dan sulfat konjugat, dengan kurang dari 1%
diekskresi dalam bentuk aslinya. Klirens tubuh total anestesinya lebih
besar daripada aliran darah hepatik, sehingga eliminasinya melibatkan
mekanisme ekstrahepatik selain metabolismenya oleh enzim-enzim
hati. Propofol dapat bermanfaat bagi pasien dengan gangguan
kemampuan dalam memetabolisme obat-obat anestesi sedati yang
lainnya. Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke
otak, metabolisme otak dan tekanan intrakranial akan menurun.
Keuntungan propofol karena bekerja lebih cepat dari tiopental dan
konvulsi pasca operasi yang minimal.
Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat. Obat ini
didistribusikan cepat dan dieliminasi secara cepat. Hipotensi terjadi
sebagai akibat depresi langsung pada otot jantung dan menurunnya
tahanan vaskuler sistemik. Propofol tidak mempunyai efek analgesik.
Dibandingkan dengan tiopental waktu pulih sadar lebih cepat dan
jarang terdapat mual dan muntah. Pada dosis yang rendah propofol
memiliki efek antiemetik.
Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi
pernafasan, apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem
kardiovaskuler berupa hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi,
hipertensi. Pada susunan syaraf pusat adanya sakit kepala, pusing,
euforia, kebingungan, dll. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi nyeri
sehingga saat pemberian dapat dicampurkan lidokain (20-50 mg).
c. Fentanyl
Fentanil merupakan salah satu preparat golongan analgesik
opioid dan termasuk dalam opioid potensi tinggi dengan dosis 100-150
mcg/kgBB, termasuk sufentanil (0,25-0,5 mcg/kgBB). Bahkan sekarang
ini telah ditemukan remifentanil, suatu opioid yang poten dan sangat
cepat onsetnya, telah digunakan untuk meminimalkan depresi
pernapasan residual. Opioid dosis tinggi yang deberikan selama operasi
dapat menyebabkan kekakuan dinding dada dan larynx, dengan
demikian dapat mengganggu ventilasi secara akut, sebagaimana
meningkatnya kebutuhan opioid potoperasi berhubungan dengan
perkembangan toleransi akut. Maka dari itu, dosis fentanyl dan
sufentanil yang lebih rendah telah digunakan sebagai premedikasi dan
sebagai suatu tambahan baik dalam anestesi inhalasi maupun intravena
untuk memberikan efek analgesi perioperatif.
Sebagai analgesik, potensinya diperkirakan 80 kali morfin.
Lamanya efek depresi nafas fentanil lebih pendek dibanding meperidin.
Efek euphoria dan analgetik fentanil diantagonis oleh antagonis opioid,
tetapi secara tidak bermakna diperpanjang masanya atau diperkuat oleh
droperidol, yaitu suatu neuroleptik yang biasanya digunakan bersama
sebagai anestesi IV. Dosis tinggi fentanil menimbulkan kekakuan yang
jelas pada otot lurik, yang mungkin disebabkan oleh efek opioid pada
tranmisi dopaminergik di striatum. Efek ini di antagonis oleh nalokson.
Fentanyl biasanya digunakan hanya untuk anestesi, meski juga dapat
digunakan sebagai anelgesi pasca operasi. Obat ini tersedia dalam
bentuk larutan untuk suntik dan tersedia pula dalam bentuk kombinasi
tetap dengan droperidol1. Fentanyl dan droperidol (suatu butypherone
yang berkaitan dengan haloperidol) diberikan bersama-sama untuk
menimbulkan analgesia dan amnesia dan dikombinasikan dengan
nitrogen oksida memberikan suatu efek yang disedut sebagai
neurolepanestesia.
6. Pemeliharaan
a. Nitrous Oksida (N2O)
Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak
iritatif, tidak berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah
terbakar/meledak, dan tidak bereaksi dengan soda lime absorber
(pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi yang kurang kuat, tetapi
dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini tidak larut
dalam darah. Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh
karena itu pada operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan
zat relaksasi otot. Terhadap SSP menimbulkan analgesi yang berarti.
Depresi nafas terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi karena
Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh.
Hipoksia difusi dapat dicegah dengan pemberian oksigen konsentrasi
tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya
dipakai perbandingan atau kombinasi dengan oksigen. Penggunaan
dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2 adalah
sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%3.
b. Isoflurane
Isofluran (foran, aeran) merupakan halogenasi eter yang pada
dosis anestesi atau subanestesi menurunkan laju metabolisme otak
terhadap oksigen, tetapi meninggikan aliran darah otak dan tekanan
intrakranial. Peninggian aliran darah otak dan tekanan intracranial ini
dapat dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi, sehingga
isofluran banyak digunakan untuk bedah otak.
Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal,
sehingga digemari untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak
digunakan pada pasien dengan gangguan coroner. Isofluran dengan
konsentrasi >1% terhadap uterus hamil menyebabkan relaksasi dan
kurang responsive jika diantisipasi dengan oksitosin, sehingga dapat
menyebabkan perdarahan pasca persalinan. Dosis pelumpuh otot
dapat dikurangi sampai 1/3 dosis biasa jika menggunakan isofluran.
7. Intubasi Endotrakeal
Suatu tindakan memasukkan pipa khusus ke dalam trakea, sehingga jalan
nafas bebas hambatan dan nafas mudah dikendalikan. Intubasi trakea
bertujuan untuk :1
a. Mempermudah pemberian anestesi.
b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas.
c. Mencegah kemungkinan aspirasi lambung.
d. Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial.
e. Pemakaian ventilasi yang lama.
f. Mengatasi obstruksi laring akut.
8. Terapi Cairan
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati
jumlah dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif
bertujuan untuk1.
a. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama
operasi.
b. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang
diberikan.
Pemberian cairan operasi dibagi :
a. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah,
penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti
pada ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan
cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiap
kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan bertambah 10-15 %.
b. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan
cairan pada dewasa untuk operasi :
Ringan = 4 ml/kgBB/jam.
Sedang = 6 ml/kgBB/jam
Berat = 8 ml/kgBB/jam.
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari
10 % EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid. Apabila
perdarahan lebih dari 10 % maka dapat dipertimbangkan pemberian
plasma / koloid / dekstran.
c. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan
selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.
9. Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan
anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room
yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih
sadar merupakan batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal
atau masih memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan demikian
pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang
disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan
perlu dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan
pembedahan. Beberapa cara skoring yang biasa dipakai untuk anestesi
umum yaitu cara Aldrete dan Steward, dimana cara Steward mula-mula
diterapkan untuk pasien anak-anak, tetapi sekarang sangat luas
pemakaiannya, termasuk untuk orang dewasa. Sedangkan untuk regional
anestesi digunakan skor Bromage.
5 Warna Kemerahan 2
Kulit Pucat agak suram
1
Sianosis
0
BAB III
STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. E.P
Usia : 61 Tahun
Alamat : Wonogiri
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
No. RM :
B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Pasien mengeluhkan adanya benjolan dan nyeri di payudara kiri
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan adanya rasa nyeri didaerah dada sebelah kiri. Keluhan
sudah dirasakan ± sudah sejak 1 tahun yang lalu. Awalnya pasien tidak
mengeluhkan nyeri, tetapi lama kelamaan tumbuh massa yang disertai juga
rasa nyeri. Rasa nyeri yang dirasakan pasien tidak dirasakan terus menerus
dan dirasa tidak mengganggu aktivitasnya sehari-hari. Pasien juga mengaku
tidak ada hal yang memperberat maupun memperingan keluhan yang
diderita.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat Hipertensi : disangkal
b. Riwayat Asma : disangkal
c. Riwayat Alergi : diakui (penisilin)
d. Riwayat DM : disangkal
e. Riwayat Penyakit Jantung : disangkal
f. Riwayat Trauma : disangkal
g. Riwayat Operasi : disangkal
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Vital Sign
- Keadaan umum : Sedang
- Berat badan : 60 kg
- Tinggi badan : 157 cm
- Tekanan darah : 163/85 mmHg
- Nadi : 70 x/menit
- RR : 18 x/menit
- Suhu : 36,0
2. Status generalis
- Cranium : dalam batas normal.
- Leher : dalam batas normal.
- Thorax : SDV (-/-), Rho (-/-), Wheezing (-/-), Bunyi Jantung I-II
reguler
- Abdomen : dalam batas normal
- Ekstremitas : Akral hangat pada ke empat extremitas
- Urogenital : BAK dalam batas normal.
- BAB : dalam batas normal.
- Genitalia : dalam batas normal
D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
23 September 2017
Hasil Nilai Rujukan Keterangan
Leukosit 6.2 3.6-11.0 High
Eritrosit 4.55 3.80-5.20
Hemoglobin 13.2 11.7-15.5 Low
Hematokrit 40.0 35-47 Low
MCV 87.9 80-100
MCH 29.0 26-34
Limfosit 23.9 25-40 Low
MCHC 33.0 32-36
Trombosit 396 140-440
Monosit 5.6 2-8
Netrofil 69.1 50-70 High
Golongan darah
Golongan darah O
Rhesus Positif
Kimia Klinik
SGOT 22 < 27
SGPT 21 < 34
ureum 24 13.0-43.0
Kreatinin 0.63 0,6-1.1 Low
Glukosa sewaktu 171 70-140
Sero imunologi
E. DIAGNOSIS KLINIS
Ca Mammae Sinistra
F. TINDAKAN/PENATALAKSANAAN
1. Tindakan operasi Modified Radical Mastectomy (MRM) hari Rabu jam
08.25
2. Puasa 6 jam preoperasi
3. Konsul ke dokter anestesi
4. Pemberian antibiotik
5. O2 2 liter permenit
6. Ketorolac 30mg
7. Inf RL 24 tpm
G. ASSESMENT MEDIS ANESTESI DAN SEDASI
Diagnosa preoperatif : Ca Mammae Sinistra
Macam operasi : Modified Radical Mastectomy (MRM)
Tanggal operasi : 27 September 2017
1. Keadaan Prainduksi
Berat badan : 60 Kg
Tinggi badan : 157 cm
Tekanan darah : 163/85 mmHg
Respirasi : 20x/menit
Nadi : 70 x/menit
SpO2 : 98%
Alergi : ya (penisilin)
Golongan darah :O
Suhu : 36,0oC
GCS : 15
Rh : positif
Hb : 13,2
AL : 6,2
2. Pemeriksaan Fisik
Jalan nafas : normal
Anamnesis : autoanamnesis
3. Status fisik ASA
ASA 2
4. Penatalaksanaan Anestesi
Jenis Anestesi :General Anestesi
Teknik Anestesi :General Anestesi dengan intubasi Endotraceal Tube
Posisi : Supine
Premedikasi :-
Induksi : Fentanyl 75mg, Propofol 100mg, Notrixum 25mg
Medikasi tambahan : Ketorolac 30 mg, Ondancentron 4mg
Maintanance : O2 2L, N2O 2L, Isofluran 2 vol %
Respirasi : Spontan
5. Monitoring durante operasi
Obat obatan
- Ondancentron 4 mg
- Ketorolac 30 mg
Infus / darah
- Ringer Laktat
Keterangan
- Induksi jam 08.25
- Pasien siap insisi jam 08.28
- Insisi mulai jam 08.29
- Operasi selesai jam 09.29
- Pasien keluar kamar operasi 09.35
6. Pemantauan Tanda Vital
H. LAPORAN PEMBEDAHAN
1. Dokter Bedah I : dr. Joko., Sp. Onk
2. Dokter Anestesi : dr. Bambang., Sp. An.
3. Diagnosis Pra Bedah : Ca Mammae Sinistra
4. Diagnosis Pasca Bedah: Post Ca Mammae Sinistra
5. Nama Prosedur : Modified Radical Mastectomy
6. Jenis Pembedahan : Bersih
7. Operasi ke :1
8. Profilaksis : Ya
9. Jenis Antibiotik : Ceftriaxone
10. Waktu Pemberian : 1 jam sebelum operasi
11. Uraian Pembedahan
Sesuai dengan instruksi kerja
a. Pasien dalam general anestesi
b. Disinfeksi lapangan operasi
c. Dilakukan insisi pada tumor mammae
d. Mastektomi dimulai dari bagian medial ke lateral
e. Diseksi axilla
f. Evaluasi perdarahan
g. Jahit, lapis demi lapis
h. Pasang drain
i. Tutup luka operasi
j. Selesai
12. Komplikasi : Perdarahan
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien Ny. E.P, 61 tahun datang ke ruang operasi untuk menjalani operasi
MRM pada tanggal 27 September 2017 dengan diagnosis pre operatif ca mamae
sinistra. Dari anamnesis terdapat keluhan nyeri di payudara kiri. Pemeriksaan fisik
dari tanda vital didapatkan tekanan darah 163/85 mmHg; nadi 70x/menit; respirasi
18x/menit; suhu 36OC. Dari pemeriksaan laboratorium hematologi yang dilakukan
tanggal 23 September 2017 dengan hasil: Hb 13.2 g/dl; golongan darah O,
Hematoktit 40% , leukosit 6.2 ribu/uL, trombosit 396 ribu/uL dan HBsAg (-). Dari
hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang disimpulkan bahwa
pasien masuk dalam ASA II.
Pemberian maintenance cairan sesuai dengan berat badan pasien yaitu
2cc/kgBB/jam, sehingga kebutuhan per jam dari penderita adalah 120 cc/jam.
Sebelum dilakukan operasi pasien dipuasakan selama 6-8 jam. Tujuan puasa untuk
mencegah terjadinya aspirasi isi lambung karena regurgitasi atau muntah pada saat
dilakukannya tindakan anestesi akibat efek samping dari obat- obat anastesi yang
diberikan sehingga refleks laring mengalami penurunan selama anestesia.
Penggantian puasa juga harus dihitung dalam terapi cairan ini yaitu 6 x
maintenance. Sehingga kebutuhan cairan yang harus dipenuhi selama 6 jam ini
adalah 720 cc/6jam.
Operasi MRM dilakukan pada tanggal 27 September 2017. Pasien dikirim
dari bangsal ke ruang IBS. Pasien masuk keruang OK 2 pada pukul 08.15 WIB
dilakukan pemasangan NIBP dan O2 dengan hasil TD 163/85 mmHg; Nadi
70x/menit, dan SpO2 99%. Selanjutnya pasien ini diberikan fentanyl 75mg,
propofol 100 mg, dan notrixum 25 mg untuk merelaksasikan otot-otot pernapasan.
Karena dilakukan operasi MRM, maka dokter anestesi memilih untuk dilakukan
intubasi endotrakeal agar tidak mengganggu operator sepanjang operasi dilakukan
dan supaya pasien tetap dianestesi dan dapat bernafas dengan adekuat.
Pasien disungkupkan dengan sungkup muka yang telah terpasang pada
mesin anestesi yang menghantarkan gas (isoflurane) dengan ukuran 2 vol% dengan
oksigen dari mesin ke jalan napas pasien sambil melakukan bagging selama kurang
lebih 2 menit untuk menekan pengembangan paru dan juga menunggu kerja dari
pelemas otot sehingga mempermudah dilakukannya pemasangan endotrakheal
tube.
Setelah pasien di intubasi dengan mengunakan endotrakheal tube (ET),
maka dialirkan isofluran 2 vol%, oksigen sekitar 2 L/menit, dan N2O 2 L/menit
sebagai anestesi rumatan. Sesaat setelah operasi selesai gas anestesi diturunkan
untuk menghilangkan efek anestesi perlahan-lahan dan untuk membangunkan
pasien. Juga diharapkan agar pasien dapat melakukan nafas spontan saat operasi
selesai.
Operasi selesai tepat jam. Lalu mesin anestesi diubah ke manual supaya
pasien dapat melakukan nafas spontan. Gas isofluran dihentikan karena pasien
sudah nafas spontan dan adekuat. Kemudian dilakukan ekstubasi endotracheal
secara cepat untuk menghindari penurunan saturasi lebih lanjut.
Perdarahan pada operasi ini kurang lebih 300 cc. Sebelum selesai
pembedahan dilakukan pemberian analgetik, injeksi ketorolac 30 mg diindikasikan
untuk penatalaksanaan jangka pendek terhadap nyeri akut sedang sampai berat
setelah prosedur pembedahan, serta diberikan antimuntah ondancentron 4 mg
bertujuan untuk anti emetik.
Pada pukul 09.29 WIB, pembedahan selesai dilakukan, dengan pemantauan
akhir TD 117/75mmHg; Nadi 85x/menit, dan SpO2 99%. Pembedahan dilakukan
selama 60 menit dengan perdarahan ± 300 cc. Pasien kemudian dibawa ke ruang
pemulihan (Recovery Room). Selama di ruang pemulihan, jalan nafas dalam
keadaan baik, pernafasan spontan dan adekuat serta kesadaran compos mentis.
Tekanan darah selama 15 menit pertama pasca operasi stabil yaitu 118/70 mmHg.
Dari hasil kunjungan pra anestesi baik dari anamnesis, pemeriksaan fisik akan
dibahas masalah yang timbul, baik dari segi bedah maupun anestesi.
Pada penderita ini telah dilakukan persiapan yang cukup, antara lain :
a. Puasa lebih dari 6 jam (pasien sudah puasa selama 6 jam)
b. Pemeriksaan laboratorium darah
Permasalahan yang ada adalah :
Bagaimana memperbaiki keadaan umum penderita sebelum
dilakukan anestesi dan operasi.
Macam dan dosis obat anestesi yang bagaimana yang sesuai dengan
keadaan umum penderita.
2. Induksi
a. Pemberian fentanyl
b. Digunakan Propofol 100 mg bolus karena memiliki efek induksi yang
cepat, dengan distribusi dan eliminasi yang cepat. Selain itu juga
propofol dapat menghambat transmisi neuron yang hancur oleh GABA.
Obat anestesi ini mempunyai efek kerjanya yang cepat dan dapat
dicapai dalam waktu 30 detik.
c. Pemberian Notrixum 50 mg bolus sebagai pelemas otot untuk
mempermudah pemasangan Endotracheal Tube.
3. Maintenance
Dipakai N2O dan O2 dengan perbandingan 2L/2L, serta isofluran 2 vol %.
4. Terapi Cairan
Perhitungan kebutuhan cairan pada kasus ini adalah (Berat Badan 60 kg)
a. Defisit cairan karena puasa 6 jam
(2 cc/jam x 60 kg x 6 jam) = 720 cc
Cairan ini sudah terpenuhi karena walaupun pasien puasa tapi tetap
mendapat infus.
BAB V
KESIMPULAN
1. Brash, P.G., Cullen, B.F., Stoelting, R.K., Cahalan, M.K., Stock, M.C.
2009. Handbook of Clinical Anesthesia. 6th edition. USA : Lippincott
Williams & Wilkins
8. American Cancer Society. Breast cancer facts and figures. 2006. World
Wide Web.