Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN KASUS

MODIFIED RADICAL MASTECTOMY PADA


CA MAMMAE SINISTRA

Diajukan untuk memenuhi syarat Kepanitraan Klinik Stase Ilmu Anestesi dan
Reanimasi
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pembimbing :
dr. Bambang Sutanto, Sp. An

Disusun oleh :
Dista Eka Faulam Putri, S. Ked J510165041
Leny Widio Wati, S.Ked J510165006
Primatika Ambarsari, S.Ked J510165020

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI DAN REANIMASI


RUMAH SAKIT UMUM PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN

Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai


tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang
mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif
pasien gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun. Pada prinsipnya
dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa tahap yang
harus dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri dari persiapan mental dan fisik
pasien, perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan persiapan pada pada hari
operasi. Sedangkan tahap penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi, masa
anestesi dan pemeliharaan, tahap pemulihan serta perawatan pasca anestesi.
Ca mamae merupakan penyakit neoplasma ganas yang berasal dari
parenkima dimana sel-sel telah kehilangan pengendalian dan mekanisme
normalnya, sehingga mengalami pertumbuhan yang tidak normal, cepat, dan tidak
terkendali. Salah satu terapi bedah yang dapat dilakukan pada pasien ca mamae
adalah mastektomi radikal modifikasi (MRM). MRM merupakan teknik bedah
dengan mereseksi seluruh kelenjar mamae dan tetap mempertahankan m.pectoralis
mayor dan minor.
Pemilihan jenis anestesi untuk MRM ditentukan berdasarkan usia pasien,
kondisi kesehatan dan keadaan umum, sarana prasarana serta keterampilan dokter
bedah, dokter anestesi dan perawat anestesi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI MAMAE


Payudara wanita dewasa terletak di antara kosta kedua dan keenam dan
di antara tepi sternum dan garis midaxilla. Payudara terdiri dari kulit, jaringan
subkutan, dan jaringan payudara. Jaringan payudara termasuk elemen kedua
epitel dan stroma. Setiap payudara memiliki jaringan kelenjar yang terdiri dari
15 hingga 20 lobus yang disokong jaringan ikat fibrosa. Ruang antara lobus
diisi dengan jaringan adiposa, dan perbedaan jumlah jaringan adiposa ini yan
gmenyebabkan perbedaan ukuran payudara. Pasokan darah payudara berasal
dari a.mamae interna dan a.torakal lateral. Drainase limfatik payudara melalui
pleksus limfatik superficial dan pleksus limfatik profunda. Lebih dari 90%
drainase limfatik payudara melalui kelenjar getah bening aksila dengan sisanya
melalui kelenjar mamae interna.

B. CA MAMAE
Ca mamae merupakan penyakit neoplasma ganas yang berasal dari
parenkima dimana sel-sel telah kehilangan pengendalian dan mekanisme
normalnya, sehingga mengalami pertumbuhan yang tidak normal, cepat, dan
tidak terkendali.
1. Faktor Risiko
Beberapa faktor resiko yang memegang peranan penting dalam proses
kejadian ca mamae, yaitu :
a. Orang tua (ibu) yang pernah menderita ca mamae terutama pada usia
relatif muda
b. Anggota keluarga sedarah menderita ca mamae
c. Menderita tumor jinak payudara
2. Patofisiologi
Sel-sel kanker dibentuk dari sel-sel normal dalam suatu proses rumit yang
disebut transformasi, yang terdiri dari tahap inisiasi dan promosi :
a. Fase inisiasi
Pada tahap inisiasi terjadi suatu perubahan dalam bahan genetik sel
yang memancing sel menjadi ganas. Perubahan dalam bahan genetik
sel ini disebabkan oleh suatu agen yang disebut karsinogen yang dapat
berupa bahan kimia, virus, radiasi, atau sinar matahari. Kelainan
genetik dalam sel atau bahan lainnya yang disebut promotor
menyebabkan sel lebih rentan terhadap suatu karsinogen.
b. Fase promosi
Pada tahap ini suatu sel yang telah mengalami inisiasi akan berubah
menjadi ganas. Sel yang belum melewati tahap inisiasi tidak akan
terpengaruh oleh promosi. Oleh karena itu siperkukan beberapa faktor
untuk terjadinya keganasan.

3. Manifestasi klinis
Ca mamae mempunyai gambaran klinis sebagai berikut : 1) terdapat
benjolan keras yang lebih terfiksir; 2) tarikan pada kulit di atas tumor; 3)
ulserasi; 4) peau d’orange; 5) discharge dari puting susu; 6) payudara
asimetris; 7) retraksi puting sus; 8) pembesaran kelenjar getah bening
ketiak; 9) tumor satelit di kulit; 10) edema.

4. Terapi
a. Operasi ca mamae yang sering dipakai adalah:
1) Mastektomi radikal
2) Mastektomi radikal modifikasi
3) Mastektomi total
4) Mastektomi segmental plus diseksi kelenjar limfe aksila
b. Radiasi
c. Kemoterapi
d. Terapi hormonal

C. ANESTESI UMUM
Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara
sentral disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversibel).
Komponen trias anestesi yang ideal terdiri dari analgesia, hipnotik, dan
relaksasi otot. Obat anestesi yang masuk ke pembuluh darah atau sirkulasi
kemudian menyebar ke jaringan. Yang pertama terpengaruh oleh obat anestesi
ialah jaringan kaya akan pembuluh darah seperti otak, sehingga kesadaran
menurun atau hilang, hilangnya rasa sakit, dan sebagainya. Seseorang yang
memberikan anestesi perlu mengetahui stadium anestesi untuk menentukan
stadium terbaik pembedahan itu dan mencegah terjadinya kelebihan dosis.
Agar anestesi umum dapat berjalan dengan sebaik mungkin,
pertimbangan utamanya adalah memilih anestetika ideal. Pemilihan ini
didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu keadaan penderita, sifat
anestetika, jenis operasi yang dilakukan, dan peralatan serta obat yang tersedia.
Sifat anestetika yang ideal antara lain mudah didapat, murah, tidak
menimbulkan efek samping terhadap organ vital seperti saluran pernapasan
atau jantung, tidak mudah terbakar, stabil, cepat dieliminasi, menghasilkan
relaksasi otot yang cukup baik, kesadaran cepat kembali, tanpa efek yang tidak
diinginkan.
Obat anestesi umum yang ideal mempunyai sifat-sifat antara lain pada
dosis yang aman mempunyai daya analgesik relaksasi otot yang cukup, cara
pemberian mudah, mulai kerja obat yang cepat dan tidak mempunyai efek
samping yang merugikan. Selain itu obat tersebut harus tidak toksik, mudah
dinetralkan, mempunyai batas keamanan yang luas.

1. Macam-macam Teknik Anestesi


a. Open drop method: Cara ini dapat digunakan untuk anestesik yang
menguap, peralatan sangat sederhana dan tidak mahal. Zat anestetik
diteteskan pada kapas yang diletakkan di depan hidung penderita
sehingga kadar yang dihisap tidak diketahui, dan pemakaiannya boros
karena zat anestetik menguap ke udara terbuka.
b. Semi open drop method: Hampir sama dengan open drop, hanya
untuk mengurangi terbuangnya zat anestetik digunakan masker.
Karbondioksida yang dikeluarkan sering terhisap kembali sehingga
dapat terjadi hipoksia. Untuk menghindarinya dialirkan volume fresh
gas flow yang tinggi minimal 3x dari minimal volume udara semenit.
c. Semi closed method: Udara yang dihisap diberikan bersama oksigen
murni yang dapat ditentukan kadarnya kemudian dilewatkan pada
vaporizer sehingga kadar zat anestetik dapat ditentukan. Udara napas
yang dikeluarkan akan dibuang ke udara luar. Keuntungannya
dalamnya anestesi dapat diatur dengan memberikan kadar tertentu dari
zat anestetik, dan hipoksia dapat dihindari dengan memberikan volume
fresh gas flow kurang dari 100% kebutuhan.
d. Closed method: Cara ini hampir sama seperti semi closed hanya udara
ekspirasi dialirkan melalui soda lime yang dapat mengikat CO2,
sehingga udara yang mengandung anestetik dapat digunakan lagi.
Dalam memberikan obat-obatan pada penderita yang akan menjalani
operasi maka perlu diperhatikan tujuannya yaitu sebagai premedikasi,
induksi, maintenance, dan lain-lain.

2. Persiapan Pra Anestesi


Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan
(elektif/darurat) harus dipersiapkan dengan baik. Kunjungan pra anestesi
pada bedah elektif dilakukan 1-2 hari sebelumnya, dan pada bedah darurat
sesingkat mungkin. Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan
menjalani operasi dan pembedahan baik elektif dan darurat mutlak harus
dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut. Adapun tujuan kunjungan
pra anestesi adalah:
a. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai
dengan fisik dan kehendak pasien.
c. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology):
ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa
kelainan faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka
mortalitas 2%.
ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan
sedang sebagai akibat kelainan bedah atau proses
patofisiologis. Angka mortalitas 16%.
ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas
harian terbatas. Angka mortalitas 38%.
ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam
jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal :
insufisiensi fungsi organ, angina menetap. Angka
mortalitas 68%.
ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan
operasi hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup
dalam 24 jam tanpa operasi / dengan operasi. Angka
mortalitas 98%.
ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil
(didonorkan)

Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri


dari kegawatan otak, jantung, paru, ibu dan anak.

3. Pemeriksaan praoperasi anestesi


a. Anamnesis
1) Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, alamat, dll.
2) Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi.
3) Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat menjadi
penyulit anestesi seperti alergi, diabetes melitus, penyakit paru
kronis (asma bronkhial, pneumonia, bronkhitis), penyakit jantung,
hipertensi, dan penyakit ginjal.
4) Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat,
dan obat yang sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi
dengan obat anestetik seperti kortikosteroid, obat antihipertensi,
antidiabetik, antibiotik, golongan aminoglikosid, dan lain lain.
5) Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya yang terdiri dari tanggal,
jenis pembedahan dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif
pasca bedah.
6) Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi tindakan
anestesi seperti merokok, minum alkohol, obat penenang, narkotik
7) Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti hipertensi
maligna.
8) Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan umum,
pernafasan, kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal, hematologi,
neurologi, endokrin, psikiatrik, ortopedi dan dermatologi.

b. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan psikis : gelisah,takut, kesakitan
2) Keadaan gizi : malnutrisi atau obesitas
3) Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat, terapi
cairan yang diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah
pembedahan.
4) Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta
suhu tubuh.
5) Jalan nafas (airway). Jalan nafas diperiksa untuk mengetahui
adanya trismus, keadaan gigi geligi, adanya gigi palsu, gangguan
fleksi ekstensi leher, deviasi ortopedi dan dermatologi. Ada pula
pemeriksaan mallampati, yang dinilai dari visualisasi pembukaan
mulut maksimal dan posisi protusi lidah. Pemeriksaan mallampati
sangat penting untuk menentukan kesulitan atau tidaknya dalam
melakukan intubasi. Penilaiannya yaitu:
i. Mallampati I : palatum molle, uvula, dinding posterior
oropharynk, tonsilla palatina dan tonsilla pharingeal
ii. Mallampati II : palatum molle, sebagian uvula, dinding
posterior uvula
iii. Mallampati III : palatum molle, dasar uvula
iv. Mallampati IV : palatum durum saja
6) Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung
7) Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu, ronki dan mengi
8) Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia,
atau tanda regurgitasi.
9) Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal, sianosis,
adanya jari tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di tempat-tempat
pungsi vena atau daerah blok saraf regional

c. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang lain


1) Lab rutin :
- Pemeriksaan lab. Darah
- Urine : protein, sedimen, reduksi
- Foto rongten ( thoraks )
- EKG
2) Pemeriksaan khusus, dilakukan bila ada indikasi :
- EKG pada anak
- Spirometri pada tumor paru
- Tes fungsi hati pada ikterus
- Fungsi ginjalpada hipertensi
- AGD, elektrolit.
4. Premedikasi Anestesi
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun
tujuan dari premedikasi antara lain :
a. Memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.
b. Menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam
c. Membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam
d. Memberikan analgesia, misal : fentanyl, pethidin
e. Mencegah muntah, misal : droperidol, ondansetron
f. Memperlancar induksi, misal : pethidin
g. Mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin
h. Menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : tracurium, sulfas
atropin.
i. Mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan
hiosin.
Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis pasien
yang ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan demikian
maka pemilihan obat premedikasi yang akan digunakan harus selalu
dengan mempertimbangkan umur pasien, berat badan, status fisik, derajat
kecemasan, riwayat pemakaian obat anestesi sebelumnya, riwayat
hospitalisasi sebelumnya, riwayat penggunaan obat tertentu yang
berpengaruh terhadap jalannya anestesi, perkiraan lamanya operasi,
macam operasi, dan rencana anestesi yang akan digunakan2.

5. Induksi
Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai
tercapainya stadium pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan
tahap pemeliharaan anestesi untuk mempertahankan atau memperdalam
stadium anestesi setelah induksi.
Pada kasus ini digunakan obat induksi :
a. Propofol
Propofol (2,6-diisoprophylphenol) adalah campuran 1% obat
dalam air dan emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide
telur dan 2,25% glyserol. Dosis yang dianjurkan 2,5 mg/kgBB untuk
induksi tanpa premedikasi3.
Propofol memiliki kecepatan onset yang sama dengan barbiturat
intravena lainnya, namun pemulihannya lebih cepat dan pasien dapat
diambulasi lebih cepat setelah anestesi umum. Selain itu, secara
subjektif, pasien merasa lebih baik setelah postoperasi karena propofol
mengurangi mual dan muntah postoperasi. Propofol digunakan baik
sebagai induksi maupun mempertahankan anestesi dan merupakan agen
pilihan untuk operasi bagi pasien rawat jalan. Obat ini juga efektif
dalam menghasilkan sedasi berkepanjangan pada pasien dalam keadaan
kritis. Penggunaan propofol sebagai sedasi pada anak kecil yang sakit
berat (kritis) dapat memicu timbulnya asidosis berat dalam keadaan
terdapat infeksi pernapasan dan kemungkinan adanya skuele
neurologik.
Pemberian propofol (2mg/kg) intravena menginduksi anestesi
secara cepat. Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan,
tetapi jarang disertai plebitis atau trombosis. Anestesi dapat
dipertahankan dengan infus propofol yang berkesinambungan dengan
opiat, N2O dan/atau anestetik inhalasi lain.
Propofol dapat menyebabkan turunnya tekanan darah yang cukup
berarti selama induksi anestesi karena menurunnya resitensi arteri
perifer dan venodilatasi. Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik
kira-kira 80% tetapi efek ini disebabkan karena vasodilatasi perifer
daripada penurunan curah jantung. Tekanan sistemik kembali normal
dengan intubasi trakea.
Setelah pemberian propofol secara intravena, waktu paruh
distribusinya adalah 2-8 menit, dan waktu paruh redistribusinya kira-
kira 30-60 menit. Propofol cepat dimetabolisme di hati 10 kali lebih
cepat daripada thiopenthal pada tikus. Propofol diekskresikan ke dalam
urin sebagai glukoronid dan sulfat konjugat, dengan kurang dari 1%
diekskresi dalam bentuk aslinya. Klirens tubuh total anestesinya lebih
besar daripada aliran darah hepatik, sehingga eliminasinya melibatkan
mekanisme ekstrahepatik selain metabolismenya oleh enzim-enzim
hati. Propofol dapat bermanfaat bagi pasien dengan gangguan
kemampuan dalam memetabolisme obat-obat anestesi sedati yang
lainnya. Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke
otak, metabolisme otak dan tekanan intrakranial akan menurun.
Keuntungan propofol karena bekerja lebih cepat dari tiopental dan
konvulsi pasca operasi yang minimal.
Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat. Obat ini
didistribusikan cepat dan dieliminasi secara cepat. Hipotensi terjadi
sebagai akibat depresi langsung pada otot jantung dan menurunnya
tahanan vaskuler sistemik. Propofol tidak mempunyai efek analgesik.
Dibandingkan dengan tiopental waktu pulih sadar lebih cepat dan
jarang terdapat mual dan muntah. Pada dosis yang rendah propofol
memiliki efek antiemetik.
Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi
pernafasan, apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem
kardiovaskuler berupa hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi,
hipertensi. Pada susunan syaraf pusat adanya sakit kepala, pusing,
euforia, kebingungan, dll. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi nyeri
sehingga saat pemberian dapat dicampurkan lidokain (20-50 mg).

b. Atrakurium Basylate (Notrixum)


Merupakan obat pelumpuh otot nondepolarisasi berikatan dengan
reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tidak menyebabkan depolarisasi,
hanya menghalangi asetilkolin menempatinya, sehingga asetilkolin
tidak dapat bekerja. Atrakurium memiliki struktur benzilisoquinolin
yang memiliki beberapa keuntungan antara lain metabolisme di dalam
darah melalui suatu reaksi yang disebut eliminasi hoffman yang tidak
tergantung fungsi hati dan gfungsi ginjal, tidak mempunyai efek
akumulasi pada pemberian berulang, tidak menyebabkan perubahan
fungsi kardiovaskuler yang bermakna.

c. Fentanyl
Fentanil merupakan salah satu preparat golongan analgesik
opioid dan termasuk dalam opioid potensi tinggi dengan dosis 100-150
mcg/kgBB, termasuk sufentanil (0,25-0,5 mcg/kgBB). Bahkan sekarang
ini telah ditemukan remifentanil, suatu opioid yang poten dan sangat
cepat onsetnya, telah digunakan untuk meminimalkan depresi
pernapasan residual. Opioid dosis tinggi yang deberikan selama operasi
dapat menyebabkan kekakuan dinding dada dan larynx, dengan
demikian dapat mengganggu ventilasi secara akut, sebagaimana
meningkatnya kebutuhan opioid potoperasi berhubungan dengan
perkembangan toleransi akut. Maka dari itu, dosis fentanyl dan
sufentanil yang lebih rendah telah digunakan sebagai premedikasi dan
sebagai suatu tambahan baik dalam anestesi inhalasi maupun intravena
untuk memberikan efek analgesi perioperatif.
Sebagai analgesik, potensinya diperkirakan 80 kali morfin.
Lamanya efek depresi nafas fentanil lebih pendek dibanding meperidin.
Efek euphoria dan analgetik fentanil diantagonis oleh antagonis opioid,
tetapi secara tidak bermakna diperpanjang masanya atau diperkuat oleh
droperidol, yaitu suatu neuroleptik yang biasanya digunakan bersama
sebagai anestesi IV. Dosis tinggi fentanil menimbulkan kekakuan yang
jelas pada otot lurik, yang mungkin disebabkan oleh efek opioid pada
tranmisi dopaminergik di striatum. Efek ini di antagonis oleh nalokson.
Fentanyl biasanya digunakan hanya untuk anestesi, meski juga dapat
digunakan sebagai anelgesi pasca operasi. Obat ini tersedia dalam
bentuk larutan untuk suntik dan tersedia pula dalam bentuk kombinasi
tetap dengan droperidol1. Fentanyl dan droperidol (suatu butypherone
yang berkaitan dengan haloperidol) diberikan bersama-sama untuk
menimbulkan analgesia dan amnesia dan dikombinasikan dengan
nitrogen oksida memberikan suatu efek yang disedut sebagai
neurolepanestesia.

6. Pemeliharaan
a. Nitrous Oksida (N2O)
Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak
iritatif, tidak berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah
terbakar/meledak, dan tidak bereaksi dengan soda lime absorber
(pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi yang kurang kuat, tetapi
dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini tidak larut
dalam darah. Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh
karena itu pada operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan
zat relaksasi otot. Terhadap SSP menimbulkan analgesi yang berarti.
Depresi nafas terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi karena
Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh.
Hipoksia difusi dapat dicegah dengan pemberian oksigen konsentrasi
tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya
dipakai perbandingan atau kombinasi dengan oksigen. Penggunaan
dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2 adalah
sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%3.

b. Isoflurane
Isofluran (foran, aeran) merupakan halogenasi eter yang pada
dosis anestesi atau subanestesi menurunkan laju metabolisme otak
terhadap oksigen, tetapi meninggikan aliran darah otak dan tekanan
intrakranial. Peninggian aliran darah otak dan tekanan intracranial ini
dapat dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi, sehingga
isofluran banyak digunakan untuk bedah otak.
Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal,
sehingga digemari untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak
digunakan pada pasien dengan gangguan coroner. Isofluran dengan
konsentrasi >1% terhadap uterus hamil menyebabkan relaksasi dan
kurang responsive jika diantisipasi dengan oksitosin, sehingga dapat
menyebabkan perdarahan pasca persalinan. Dosis pelumpuh otot
dapat dikurangi sampai 1/3 dosis biasa jika menggunakan isofluran.

7. Intubasi Endotrakeal
Suatu tindakan memasukkan pipa khusus ke dalam trakea, sehingga jalan
nafas bebas hambatan dan nafas mudah dikendalikan. Intubasi trakea
bertujuan untuk :1
a. Mempermudah pemberian anestesi.
b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas.
c. Mencegah kemungkinan aspirasi lambung.
d. Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial.
e. Pemakaian ventilasi yang lama.
f. Mengatasi obstruksi laring akut.

8. Terapi Cairan
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati
jumlah dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif
bertujuan untuk1.
a. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama
operasi.
b. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang
diberikan.
Pemberian cairan operasi dibagi :
a. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah,
penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti
pada ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan
cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiap
kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan bertambah 10-15 %.
b. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan
cairan pada dewasa untuk operasi :
Ringan = 4 ml/kgBB/jam.
Sedang = 6 ml/kgBB/jam
Berat = 8 ml/kgBB/jam.
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari
10 % EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid. Apabila
perdarahan lebih dari 10 % maka dapat dipertimbangkan pemberian
plasma / koloid / dekstran.
c. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan
selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.

9. Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan
anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room
yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih
sadar merupakan batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal
atau masih memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan demikian
pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang
disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan
perlu dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan
pembedahan. Beberapa cara skoring yang biasa dipakai untuk anestesi
umum yaitu cara Aldrete dan Steward, dimana cara Steward mula-mula
diterapkan untuk pasien anak-anak, tetapi sekarang sangat luas
pemakaiannya, termasuk untuk orang dewasa. Sedangkan untuk regional
anestesi digunakan skor Bromage.

Tabel 1. Aldrete Scoring System

No. Kriteria Skor

1 Aktivitas  Mampu menggerakan empat ekstremitas 2


Motorik  Mampu menggerakan dua ekstremitas
1
 Tidak mampu menggerakan ekstremitas
0

2 Respirasi  Mampu napas dalam, batuk, dan tangis 2


 Sesak atau pernapasan terbatas
1
 Henti napas
0

3 Tekanan  Berubah sampai 20 % dari prabedah 2


Darah  Berubah sampai 20-50 % dari prabedah
1
 Berubah sampai > 50 % dari prabedah
0

4 Kesadaran  Sadar baik dan orientasi baik 2


 Sadar setelah dipanggil
1
 Tak ada tanggapan terhadap rangsangan
0

5 Warna  Kemerahan 2
Kulit  Pucat agak suram
1
 Sianosis
0
BAB III
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. E.P
Usia : 61 Tahun
Alamat : Wonogiri
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
No. RM :

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Pasien mengeluhkan adanya benjolan dan nyeri di payudara kiri
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan adanya rasa nyeri didaerah dada sebelah kiri. Keluhan
sudah dirasakan ± sudah sejak 1 tahun yang lalu. Awalnya pasien tidak
mengeluhkan nyeri, tetapi lama kelamaan tumbuh massa yang disertai juga
rasa nyeri. Rasa nyeri yang dirasakan pasien tidak dirasakan terus menerus
dan dirasa tidak mengganggu aktivitasnya sehari-hari. Pasien juga mengaku
tidak ada hal yang memperberat maupun memperingan keluhan yang
diderita.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat Hipertensi : disangkal
b. Riwayat Asma : disangkal
c. Riwayat Alergi : diakui (penisilin)
d. Riwayat DM : disangkal
e. Riwayat Penyakit Jantung : disangkal
f. Riwayat Trauma : disangkal
g. Riwayat Operasi : disangkal
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Vital Sign
- Keadaan umum : Sedang
- Berat badan : 60 kg
- Tinggi badan : 157 cm
- Tekanan darah : 163/85 mmHg
- Nadi : 70 x/menit
- RR : 18 x/menit
- Suhu : 36,0
2. Status generalis
- Cranium : dalam batas normal.
- Leher : dalam batas normal.
- Thorax : SDV (-/-), Rho (-/-), Wheezing (-/-), Bunyi Jantung I-II
reguler
- Abdomen : dalam batas normal
- Ekstremitas : Akral hangat pada ke empat extremitas
- Urogenital : BAK dalam batas normal.
- BAB : dalam batas normal.
- Genitalia : dalam batas normal

D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
23 September 2017
Hasil Nilai Rujukan Keterangan
Leukosit 6.2 3.6-11.0 High
Eritrosit 4.55 3.80-5.20
Hemoglobin 13.2 11.7-15.5 Low
Hematokrit 40.0 35-47 Low
MCV 87.9 80-100
MCH 29.0 26-34
Limfosit 23.9 25-40 Low
MCHC 33.0 32-36
Trombosit 396 140-440
Monosit 5.6 2-8
Netrofil 69.1 50-70 High
Golongan darah
Golongan darah O
Rhesus Positif
Kimia Klinik
SGOT 22 < 27
SGPT 21 < 34
ureum 24 13.0-43.0
Kreatinin 0.63 0,6-1.1 Low
Glukosa sewaktu 171 70-140
Sero imunologi

HbsAg 0.00 <0,13 nonreaktif

>= 0,13 reaktif

E. DIAGNOSIS KLINIS
Ca Mammae Sinistra

F. TINDAKAN/PENATALAKSANAAN
1. Tindakan operasi Modified Radical Mastectomy (MRM) hari Rabu jam
08.25
2. Puasa 6 jam preoperasi
3. Konsul ke dokter anestesi
4. Pemberian antibiotik
5. O2 2 liter permenit
6. Ketorolac 30mg
7. Inf RL 24 tpm
G. ASSESMENT MEDIS ANESTESI DAN SEDASI
Diagnosa preoperatif : Ca Mammae Sinistra
Macam operasi : Modified Radical Mastectomy (MRM)
Tanggal operasi : 27 September 2017
1. Keadaan Prainduksi
Berat badan : 60 Kg
Tinggi badan : 157 cm
Tekanan darah : 163/85 mmHg
Respirasi : 20x/menit
Nadi : 70 x/menit
SpO2 : 98%
Alergi : ya (penisilin)
Golongan darah :O
Suhu : 36,0oC
GCS : 15
Rh : positif
Hb : 13,2
AL : 6,2
2. Pemeriksaan Fisik
Jalan nafas : normal
Anamnesis : autoanamnesis
3. Status fisik ASA
ASA 2
4. Penatalaksanaan Anestesi
 Jenis Anestesi :General Anestesi
 Teknik Anestesi :General Anestesi dengan intubasi Endotraceal Tube
 Posisi : Supine
 Premedikasi :-
 Induksi : Fentanyl 75mg, Propofol 100mg, Notrixum 25mg
 Medikasi tambahan : Ketorolac 30 mg, Ondancentron 4mg
 Maintanance : O2 2L, N2O 2L, Isofluran 2 vol %
 Respirasi : Spontan
5. Monitoring durante operasi
 Obat obatan
- Ondancentron 4 mg
- Ketorolac 30 mg
 Infus / darah
- Ringer Laktat
 Keterangan
- Induksi jam 08.25
- Pasien siap insisi jam 08.28
- Insisi mulai jam 08.29
- Operasi selesai jam 09.29
- Pasien keluar kamar operasi 09.35
6. Pemantauan Tanda Vital

7. Intruksi pasca anestesi dan sedasi


 Posisi : Supine
 Analgesia : Ketorolac 30 mg iv
 Antimuntah : Ondancentron 4 mg iv
 Infus : RL + Petidine 100mg 24 tpm
 Makan/minum : post operasi sadar penuh tidak mual pasien boleh
minum
 Pemantauan tensi, nadi, napas tiap 15 menit selama 1 jam.

H. LAPORAN PEMBEDAHAN
1. Dokter Bedah I : dr. Joko., Sp. Onk
2. Dokter Anestesi : dr. Bambang., Sp. An.
3. Diagnosis Pra Bedah : Ca Mammae Sinistra
4. Diagnosis Pasca Bedah: Post Ca Mammae Sinistra
5. Nama Prosedur : Modified Radical Mastectomy
6. Jenis Pembedahan : Bersih
7. Operasi ke :1
8. Profilaksis : Ya
9. Jenis Antibiotik : Ceftriaxone
10. Waktu Pemberian : 1 jam sebelum operasi
11. Uraian Pembedahan
Sesuai dengan instruksi kerja
a. Pasien dalam general anestesi
b. Disinfeksi lapangan operasi
c. Dilakukan insisi pada tumor mammae
d. Mastektomi dimulai dari bagian medial ke lateral
e. Diseksi axilla
f. Evaluasi perdarahan
g. Jahit, lapis demi lapis
h. Pasang drain
i. Tutup luka operasi
j. Selesai
12. Komplikasi : Perdarahan
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien Ny. E.P, 61 tahun datang ke ruang operasi untuk menjalani operasi
MRM pada tanggal 27 September 2017 dengan diagnosis pre operatif ca mamae
sinistra. Dari anamnesis terdapat keluhan nyeri di payudara kiri. Pemeriksaan fisik
dari tanda vital didapatkan tekanan darah 163/85 mmHg; nadi 70x/menit; respirasi
18x/menit; suhu 36OC. Dari pemeriksaan laboratorium hematologi yang dilakukan
tanggal 23 September 2017 dengan hasil: Hb 13.2 g/dl; golongan darah O,
Hematoktit 40% , leukosit 6.2 ribu/uL, trombosit 396 ribu/uL dan HBsAg (-). Dari
hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang disimpulkan bahwa
pasien masuk dalam ASA II.
Pemberian maintenance cairan sesuai dengan berat badan pasien yaitu
2cc/kgBB/jam, sehingga kebutuhan per jam dari penderita adalah 120 cc/jam.
Sebelum dilakukan operasi pasien dipuasakan selama 6-8 jam. Tujuan puasa untuk
mencegah terjadinya aspirasi isi lambung karena regurgitasi atau muntah pada saat
dilakukannya tindakan anestesi akibat efek samping dari obat- obat anastesi yang
diberikan sehingga refleks laring mengalami penurunan selama anestesia.
Penggantian puasa juga harus dihitung dalam terapi cairan ini yaitu 6 x
maintenance. Sehingga kebutuhan cairan yang harus dipenuhi selama 6 jam ini
adalah 720 cc/6jam.
Operasi MRM dilakukan pada tanggal 27 September 2017. Pasien dikirim
dari bangsal ke ruang IBS. Pasien masuk keruang OK 2 pada pukul 08.15 WIB
dilakukan pemasangan NIBP dan O2 dengan hasil TD 163/85 mmHg; Nadi
70x/menit, dan SpO2 99%. Selanjutnya pasien ini diberikan fentanyl 75mg,
propofol 100 mg, dan notrixum 25 mg untuk merelaksasikan otot-otot pernapasan.
Karena dilakukan operasi MRM, maka dokter anestesi memilih untuk dilakukan
intubasi endotrakeal agar tidak mengganggu operator sepanjang operasi dilakukan
dan supaya pasien tetap dianestesi dan dapat bernafas dengan adekuat.
Pasien disungkupkan dengan sungkup muka yang telah terpasang pada
mesin anestesi yang menghantarkan gas (isoflurane) dengan ukuran 2 vol% dengan
oksigen dari mesin ke jalan napas pasien sambil melakukan bagging selama kurang
lebih 2 menit untuk menekan pengembangan paru dan juga menunggu kerja dari
pelemas otot sehingga mempermudah dilakukannya pemasangan endotrakheal
tube.
Setelah pasien di intubasi dengan mengunakan endotrakheal tube (ET),
maka dialirkan isofluran 2 vol%, oksigen sekitar 2 L/menit, dan N2O 2 L/menit
sebagai anestesi rumatan. Sesaat setelah operasi selesai gas anestesi diturunkan
untuk menghilangkan efek anestesi perlahan-lahan dan untuk membangunkan
pasien. Juga diharapkan agar pasien dapat melakukan nafas spontan saat operasi
selesai.
Operasi selesai tepat jam. Lalu mesin anestesi diubah ke manual supaya
pasien dapat melakukan nafas spontan. Gas isofluran dihentikan karena pasien
sudah nafas spontan dan adekuat. Kemudian dilakukan ekstubasi endotracheal
secara cepat untuk menghindari penurunan saturasi lebih lanjut.
Perdarahan pada operasi ini kurang lebih 300 cc. Sebelum selesai
pembedahan dilakukan pemberian analgetik, injeksi ketorolac 30 mg diindikasikan
untuk penatalaksanaan jangka pendek terhadap nyeri akut sedang sampai berat
setelah prosedur pembedahan, serta diberikan antimuntah ondancentron 4 mg
bertujuan untuk anti emetik.
Pada pukul 09.29 WIB, pembedahan selesai dilakukan, dengan pemantauan
akhir TD 117/75mmHg; Nadi 85x/menit, dan SpO2 99%. Pembedahan dilakukan
selama 60 menit dengan perdarahan ± 300 cc. Pasien kemudian dibawa ke ruang
pemulihan (Recovery Room). Selama di ruang pemulihan, jalan nafas dalam
keadaan baik, pernafasan spontan dan adekuat serta kesadaran compos mentis.
Tekanan darah selama 15 menit pertama pasca operasi stabil yaitu 118/70 mmHg.

Dari hasil kunjungan pra anestesi baik dari anamnesis, pemeriksaan fisik akan
dibahas masalah yang timbul, baik dari segi bedah maupun anestesi.

A. PERMASALAHAN DARI SEGI BEDAH


1. Kemungkinan perdarahan durante dan post operasi.
2. Iatrogenik (resiko kerusakan organ akibat pembedahan)
Dalam mengantisipasi hal tersebut, maka perlu dipersiapkan jenis dan teknik
anestesi yang aman untuk operasi yang lama, juga perlu dipersiapkan darah
untuk mengatasi perdarahan.
Pada pasien ini teknik mastektomi yang digunakan adalah mastektomi radikal
modifikasi menggunakan electocauter dimana perdahan durante operasi dan
post operasi lebih sedikit karena pemotongan jaringan maupun hemostasis
dilakukan dalam satu prosedur.

B. PERMASALAHAN DARI SEGI ANESTESI

1. Pemeriksaan pra anestesi

Pada penderita ini telah dilakukan persiapan yang cukup, antara lain :
a. Puasa lebih dari 6 jam (pasien sudah puasa selama 6 jam)
b. Pemeriksaan laboratorium darah
Permasalahan yang ada adalah :
 Bagaimana memperbaiki keadaan umum penderita sebelum
dilakukan anestesi dan operasi.

 Macam dan dosis obat anestesi yang bagaimana yang sesuai dengan
keadaan umum penderita.

Dalam mempersiapkan operasi pada penderita perlu dilakukan :


 Pemasangan infus untuk terapi cairan sejak pasien masuk RS. Pada
pasien ini diberikan cairan Ringer Laktat 20 tetes per menit, terhitung
sejak pasien mulai puasa hingga masuk ke ruang operasi. Puasa paling
tidak 6 jam untuk mengosongkan lambung, sehingga bahaya muntah dan
aspirasi dapat dihindarkan. Terdapat tiga jenis cairan berdasarkan tujuan
terapi, yaitu:
1. Cairan rumatan (maintenance)
Bersifat hipotonis: konsentrasi partikel terlarut < konsentrasi cairan
intraseluler (CIS); menyebabkan air berdifusi ke dalam sel. Tonisitas
<270 mOsm/kg. Misal: Dekstrosa 5 %, Dekstrosa 5 % dalam Salin
0,25 %
2. Cairan pengganti (resusitasi, substitusi)
Bersifat isotonis: konsentrasi partikel terlarut = CIS; no net water
movement melalui membran sel semipermeabel Tonisitas 275 – 295
mOsm/kg. Misal : NaCl 0,9 %, Lactate Ringer’s, koloid
3. Cairan khusus
Bersifat hipertonis: konsentrasi partikel terlarut > CIS; menyebabkan
air keluar dari sel, menuju daerah dengan konsentrasi lebih tinggi
Tonisitas > 295 mOsm/kg. Misal: NaCl 3 %, Mannitol, Sodium-
bikarbonat, Natrium laktat hipertonik
Berdasarkan kepustakaan disebutkan bahwa dehidrasi isotonik
merupakan jenis dehidrasi yang paling sering terjadi (80%). Pada
pasien ini diberikan resusitasi cairan berupa Ringer Laktat dengan
tujuan untuk memperbaiki volume sirkulasi dan pemilihan cairan ini
berdasarkan pertimbangan kompartemen yang mengalami defisit.
 Jenis anestesi yang dipilih adalah anestesi umum karena pada kasus ini
diperlukan hilangnya kesadaran, rasa sakit, amnesia dan mencegah resiko
aspirasi dengan menggunakan induksi fentanyl, propofol, dan notrixum.
Teknik anestesinya semi closed inhalasi dengan pemasangan
endotrakheal tube.
 Selama operasi dipasang ET teknik cepat.

2. Induksi
a. Pemberian fentanyl
b. Digunakan Propofol 100 mg bolus karena memiliki efek induksi yang
cepat, dengan distribusi dan eliminasi yang cepat. Selain itu juga
propofol dapat menghambat transmisi neuron yang hancur oleh GABA.
Obat anestesi ini mempunyai efek kerjanya yang cepat dan dapat
dicapai dalam waktu 30 detik.
c. Pemberian Notrixum 50 mg bolus sebagai pelemas otot untuk
mempermudah pemasangan Endotracheal Tube.

3. Maintenance
Dipakai N2O dan O2 dengan perbandingan 2L/2L, serta isofluran 2 vol %.

4. Terapi Cairan
Perhitungan kebutuhan cairan pada kasus ini adalah (Berat Badan 60 kg)
a. Defisit cairan karena puasa 6 jam
(2 cc/jam x 60 kg x 6 jam) = 720 cc
Cairan ini sudah terpenuhi karena walaupun pasien puasa tapi tetap
mendapat infus.
BAB V
KESIMPULAN

Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi


yang melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita mengetahui
kondisi pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat
mengantisipasinya.
Pada makalah ini disajikan kasus penatalaksanaan anestesi umum pada
operasi mastektomi radikal modifikasi pada penderita perempuan, usia 61 tahun,
status fisik ASA II, dengan diagnosis ca mamae sinistra yang dilakukan teknik
anestesi umum dengan ET.
Untuk mencapai hasil maksimal dari anestesi seharusnya permasalahan
yang ada diantisipasi terlebih dahulu sehingga kemungkinan timbulnya komplikasi
anestesi dapat ditekan seminimal mungkin.
Dalam kasus ini selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang
berarti baik dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang
pemulihan juga tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan serius.
Secara umum pelaksanaan operasi dan penanganan anestesi berlangsung
dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Brash, P.G., Cullen, B.F., Stoelting, R.K., Cahalan, M.K., Stock, M.C.
2009. Handbook of Clinical Anesthesia. 6th edition. USA : Lippincott
Williams & Wilkins

2. Muhardi, M, dkk. (1989). Anestesiologi, Bagian Anastesiologi dan Terapi


Intensif, FKUI. Jakarta: CV Infomedia.

3. Hines, R.L., Marschall, K.E. 2008. Stoelting’s Anesthesia and Co-existing


Disease. 5th edition. NY : Elsevier

4. Wirdjoatmodjo, K., 2000. Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar untuk


Pendidikan S1 Kedokteran. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

5. Handoko, Tony. 1995. Anestetik Umum. Dalam :Farmakologi dan Terapi


FKUI, edisi ke- 4. Jakarta: Gaya baru.

6. Latief, S, dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi, edisi kedua. Jakarta :


Balai Penerbit FKUI

7. Singletary, SE., Connoly, James.2006. Breast Cancer Staging. USA. CA


Cancer Journal. 56:37-47.

8. American Cancer Society. Breast cancer facts and figures. 2006. World
Wide Web.

Anda mungkin juga menyukai