Anda di halaman 1dari 6

Studi kasus penyelesaian sampah di lampung

Permasalahan

merupakan limbah yang timbul dari aktivitas manusia baik di rumah, kantor, pasar, tempat umum, dan
sebagainya; yang jumlahnya akan masih terus meningkat untuk negara sedang berkembang seperti
Indonesia. Besarnya timbulan sampah dipengaruhi oleh tingkat ekonomi suatu masyarakat/bangsa.
Semakin tinggi kemampuan ekonomi akan membuat semakin tinggi tingkat konsumtivitas yang
berdampak pada semakin besarnya timbulan sampah. Sampah yang tidak dikelola akan berpotensi
menyebabkan berbagai gangguan lingkungan baik yang ditimbulkan oleh berkembangnya binatang
seperti lalat dan tikus yang merupakan vektor penyebaran berbagai penyakit menular; juga pencemaran
udara, tanah, dan air oleh lindi, asap maupun bau.

Berdasarkan hasil dari berbagai studi dan evaluasi yang telah dilaksanakan di kota-kota di Indonesia,
telah dilakukan identifikasi masalah-masalah pokok dalam pengelolaan sampah antara lain:

· Bertambah kompleksnya masalah persampahan sebagai konsekuensi logis dari pertambahan


penduduk

· Peningkatan kepadatan penduduk menuntut pula peningkatan metode/pola pengelolaan sampah


yang lebih baik

· Keheterogenan tingkat sosial budaya penduduk menambah kompleksnya permasalahan

· Partisipasi masyarakat yang pada umumnya masih kurang terarah dan terorganisasi secara baik

Pengelolaan sampah dimaksudkan untuk mengamankan sampah agar tidak menimbulkan berbagai
gangguan seperti di atas sehingga kualitas pengelolaan yang dilakukan akan menentukan kualitas/derajat
kesehatan lingkungan yang ada. Tata cara dan perilaku masyarakat dalam pengelolaan sampah
menggambarkan kualitas budaya masyarakat setempat yang diantaranya dapat dilihat dari cara
masyarakat membuang sampahnya.

Permasalahan pengelolaan persampahan menjadi sangat serius di perkotaan akibat kompleksnya


permasalahan yang dihadapi dan kepadatan penduduk yang tinggi, sehingga pengelolan persampahan
sering lebih diprioritaskan penanganannya di daerah perkotaan. Hal ini bukan berarti bahwa penanganan
persampahan di desa menjadi tidak penting; namun demikian penanganan sampah di perdesaan masih
sangat mungkin untuk dilakukan secara alamiah yaitu berupa penangan individual seperti ditanam atau
dibakar. Hal ini dimungkinkan oleh karena kepadatan bangunan yang relatif rendah dan daya dukung
alam yang lebih tinggi.
Persoalan sampah akan tetap merupakan salah satu persoalan rumit yang dihadapi oleh para Stake
Holder sebagai pengelola kota dalam memenuhi dan menyediakan sarana dan prasarana perkotaannya.
Selain persoalan bagaimana menyingkirkan sampah secara baik agar kota menjadi bersih dan tidak
mengganggu lingkungan, namun secara bersamaan pula muncul persoalan bagaimana daerah yang
kebetulan terpilih untuk lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPA) tidak mengalami degradasi
kualitas lingkungan akibat adanya TPA tersebut.

Setiap aktivitas manusia baik secara pribadi maupun kelompok, baik di rumah, kantor, pasar dan dimana
saja berada, pasti akan menghasilkan sisa yang tidak berguna dan menjadi barang buangan. Sampah
merupakan konsekuensi adanya aktivitas manusia dan setiap manusia pasti menghasilkan buangan atau
sampah (Hidayati, 2004:1).

Populasi penduduk yang semakin meningkat akan mengakibatkan peningkatan volume sampah seiring
perkembangan kegiatan masyarakat baik dari aktivitas industri, perdagangan, rumah tangga dan
individu.

Semakin banyak populasi dan perkembangan aktivitas di suatu wilayah akan menambah volume dan
jenis sampah yang di hasilkan. Sampah adalah limbah yang bersifat padat terdiri dari zat organik dan zat
anorganik yang dianggap tidak berguna lagi dan harus dikelola agar tidak membahayakan lingkungan dan
melindungi investasi pembangunan.Kehadiran sampah merupakan salah satu persoalan yang dihadapi
oleh masyarakat dan pengelola wilayah, terutama dalam hal penyediaan sarana dan prasarananya.
Sampah merupakan produk akhir sampingan yang tidak bisa dielakan sebagai bagian dari siklus
kehidupan. Berdasarkan sifatnya sampah meliputi : Sampah organik - dapat diurai (degradable) Sampah
anorganik - tidak terurai (undegradable).

Keberadaan sampah tidak diinginkan bila dihubungkan dengan faktor kebersihan, kesehatan,
kenyamanan dan keindahan (estetika). Tumpukan onggokan sampah yang mengganggu kesehatan dan
keindahan lingkungan merupakan jenis pencemaran yang dapat digolongkan dalam degradasi lingkungan
yang bersifat sosial (R. Bintarto, 1983:57).

Sampah organik atau sampah yang mudah terurai biasanya merupakan bagian terbesar dari sampah
rumah tangga. Cara penanganan sampah ini seharusnya dilakukan dengan meminimalkan bangkitan
sampah perkotaan, yaitu mengurangi jumlah sampah, mendaur ulang dan memanfaatkan sampah yang
masih berguna, (Suganda, Kompas, 7 Desember 2004).

Proses penanganan sampah dimulai dari proses pengumpulan sampai dengan tempat pembuangan akhir
(TPA) secara umum memerlukan waktu yang berbeda sehingga diperlukan ruang untuk menampung
sampah pada masing-masing proses tersebut. Guna memenuhi kebutuhan ruang dalam menetapkan
lokasi TPA seringkali dijumpai masalah-masalah besar yang perlu ditangani dengan seksama, seperti
ketersediaan lahan, konflik kepentingan dan penurunan mutu lingkungan.

Permasalahan-permasalahan tersebut terjadi akibat penetapan lokasi TPA dan pada awal
perencanaannya tidak disesuaikan dengan kriteria pemilihan lokasinya dan dalam pelaksanaan
pengelolaannya tidak sesuai standar teknologi pengolahan yang berlaku. Menurut Damanhuri (2005:2)

Penyelesaian masalah

Setidaknya terdapat tiga sistem, yakni dikubur (balapres), dibakar (incenerated), dan sanitary landfill
(menggunakan pelapis geotekstil). Menurut konsepnya, semua sistem dan teknologi tersebut cukup
aman dari sudut lingkungan hidup. Karya teknologi modern tersebut mulai menjadi bermasalah, begitu
dikelola dengan manajemen yang kurang optimal dan tidak profesional. Masalah utama yang dikeluhkan
sebagian besar warga, justru bukan di lokasi pembuangan atau pemusnahan sampah, melainkan ketika
diangkut menggunakan truk dari tempat pembuangan sampah sementara (Pasar, Komplek pemukiman
dll) ke TPA. Pencemaran lingkungan terjadi pada proses pengangkutan sampah ke TPA yang dilakukan
tidak sesuai dengan kriteria teknis yang berlaku. Sampah organik yang diangkut masih basah dan
mengandung banyak air lindi (leachate) dan tercecer sepanjang perjalanan. Pencemaran ini
menimbulkan aroma tak sedap yang dihirup warga dan pengguna jalan.

Akumulasi sampah di suatu wilayah baik kota maupun kabupaten sebagaimana kita ketahui, berasal dari
keluaran unit terkecil penghasil sampah yang saat ini hampir semuanya belum melakukan penerapan
system pemilahan sampah secara 3R (Recycle, Reuse, Reduce). Sampah rumah tangga masih dianggap
oleh masyarakat Indonesia sebagai material yang harus dibuang dan belum dianggap sebagai sesuatu
yang bisa di berdayakan kembali. Pemikiran seperti di atas merupakan pemicu awal lahirnya masalah
sampah di suatu wilayah. Persepsi masyarakat urban yang kini mendominasi populasi beberapa kota di
Indonesia, memang tidak pernah menghadapi masalah sampah di daerah asalnya. Perilaku komunitas
urban ini terbawa ke level pusat bisnis komersial dan pusat-pusat keramaian kota (seperti pasar, bahkan
Mall serta pusat pertokoan lainnya). Besarnya sumbangan sampah rumah tangga terhadap suatu kota
(hingga 65%) telah berakibat langsung pada munculnya masalah sampah di perkotaan.

Sistem pengelolaan sampah yang ada sekarang ini masih bersifat konvensional dan menganut paham
bahwa sampah sebagai material yang harus dibuang begitu saja tanpa memperhatikan proses pemilahan
(Sampah organik - dapat diurai (degradable), sampah anorganik - tidak terurai (non-degradable) bahan
beracun dan berbahaya/B3), Para petugas kebersihan sampai saat ini hanya memilih dan memilah
barang-barang yang dapat dijual langsung ke tempat barang bekas.
Sistem transportasi pengangkutan sampah pada proses pengumpulannya dari unit terkecil (antara lain;
rumah tangga, perkantoran pusat bisnis komersial dan pusat-pusat keramaian kota seperti pasar, bahkan
Mall serta pusat pertokoan lainnya) menuju tempat pembuangan sampah sementara berupa bak
sampah (yang terbuat dari beton atau bak truk sampah dengan kondisi terbuka). Selanjutnya diangkut ke
tempat pembuangan sampah akhir dengan menggunakan transportasi truk tertutup biasa atau bahkan
terkadang menggunakan truk sampah terbuka. Secara umum akan menimbulkan beberapa
permasalahan pencemaran lingkungan di mulai dari tempat sumber sampah yang diambil, tempat
pembuangan sampah sementara dan jalur transportasi sampai TPA, yang dimiliki oleh masing-masing
kabupaten kota di Provinsi Lampung.

Salah satu permasalahan diakibatkan oleh tempat pembuangan sementara sampah yang masih terbuka
sehingga menimbulkan bau yang tidak enak serta mengundang bibit penyakit. Demikian pula pada saat
pengangkutan menuju TPA sering kali sampah yang diangkut tercecer baik material maupun air lindi yang
menimbulkan polusi sepanjang jalan yang dilalui truk sampah tersebut. Pengelolaan sampah yang telah
sampai di TPA masing-masing Kabupaten kota di provinsi Lampung masih menggunakan teknologi yang
sederhana yakni ditumpuk untuk dikumpulkan selanjutnya dikubur atau dibakar tanpa memproyeksikan
pemanfaatan yang mempunyai nilai lebih seperti pembuataan pupuk sampah atau kompos dan
pemanfaatan sumber energi terbarukan .

TPA yang dimiliki oleh masing-masing kabupaten kota di Provinsi Lampung masih berupa hamparan
tanah kosong yang sudah tinggi tertimbun oleh volume sampah yang semakin hari bertambah. TPA yang
ada belum memiliki sarana dan prasarana pengolahan sampah dengan pengelolaan yang sistematis dan
terorganisir. Masing-masing wilayah baik kabupaten kota belum memiliki TPA yang mampu mengolah
sampah lebih optimal sehingga menghasilkan nilai lebih seperti kompos dan sumber bahan baku Bio
energi.

Permasalahan sampah lainnya, yang lambat laun tapi pasti akan menimpa kabupaten kota di provinsi
lampung adalah ketersediaan Lahan untuk mendukung keberadaan TPA. Populasi penduduk yang
semakin bertambah mengakibatkan ruang lahan untuk TPA akan semakin terbatas, oleh karena itu
diperlukan kerja sama dan koordinasi antar wilayah untuk penyediaan dan pembangunan sarana
prasarana TPA secara bersama-sama dan saling menguntungkan.

Keberadaan suatu lahan tempat pembuangan akhir sampah (TPA) sampai saat ini masih merupakan
suatu kebutuhan penting dalam sistem pengelolaan sampah yang dikembangkan di hampir setiap kota di
Indonesia. Saat ini lebih dari 86% TPA di Indonesia dioperasikan secara open dumping, 12% secara
controlled landfill, dan tidak lebih dari 2% menerapkan metode sanitary landfill.
Dalam kaitan dengan hal tersebut tercetus konsep dalam menangani permasalahan pengelolaan sampah
secara terpadu khususnya bertujuan dalam hal penyediaan lahan TPA yang akan digunakan dan dikelola
bersama. Model Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) ini sebagai untuk memberikan deskripsi
awal dalam mempersiapkan sarana prasarana Tempat Pembuangan Akhir sampah yang mampu
mengakomodir pelayanan pengelolaan sampah dari beberapa daerah secara terpadu hal ini dilatar
belakangi Kehadiran sampah merupakan salah satu persoalan yang dihadapi oleh masyarakat dan
pengelola wilayah, terutama dalam hal penyediaan sarana dan prasarananya.

Model Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) yang ingin dicapai sebagai berikut:

1. Menginventarisir permasalahan sampah pada wilayah studi berdasarkan data dan informasi hasil
observasi.

2. Membuat alternatif bakal calon lokasi TPST di wilayah studi.

3. Menyusun suatu model sistem pengelolaan dan pengolahan Tempat Pembuangan Sampah Terpadu
meliputi manajemen dan pemanfaatannya.

Model Sistem Pengelolaan Tempat Pembuangan Sampah Terpadu diharapkan dapat sebagai masukan
dan arahan untuk merealisasikan Tempat Pembuangan Sampah Akhir Terpadu yang menjadi sebuah
kebutuhan untuk mengatasi permasalahan Sampah antar wilayah kabupaten dan kota di provinsi
Lampung dalam jangka waktu panjang ke depan.

Sesuai dengan Undang-Undang No.18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, Tempat Pengolahan
Sampah Terpadu (TPST) adalah, tempat dilaksanakannya kegiatan pengumpulan, pemilahan,
penggunaan ulang, pendauran ulang, pengolahan, dan pemrosesan akhir sampah.

Selanjutnya, kegiatan penanganan sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b meliputi:

a. pemilahan dalam bentuk pengelompokan dan pemisahan sampah sesuai dengan jenis, jumlah,
dan/atau sifat sampah;

b. pengumpulan dalam bentuk pengambilan dan pemindahan sampah dari sumber sampah ke tempat
penampungan sementara atau tempat pengolahan sampah terpadu;

c. pengangkutan dalam bentuk membawa sampah dari sumber dan/atau dari tempat penampungan
sampah sementara atau dari tempat pengolahan sampah terpadu menuju ke tempat pemrosesan akhir;

d. pengolahan dalam bentuk mengubah karakteristik, komposisi, dan jumlah sampah; dan/atau
e. pemrosesan akhir sampah dalam bentuk pengembalian sampah dan/atau residu hasil pengolahan
sebelumnya ke media lingkungan secara aman.

Model sistem TPST yang diharapkan oleh pengguna jasa mempunyai sifat diantaranya:

1. Bersifat sistematis, pengelola/mangement persampahan terorganisir dengan jelas dari unit terkecil
pengumpul dari tiap produsen sampah (Pemukiman, pertokoaan dan pusat-pusat keramaian, pabrik dll)
sampai ke Tempat Pembuangan sampah sementara (TPS) kemudian diangkut dengan system transportasi
yang ramah lingkuingan dan aman sampai dengan ke TPST, termasuk Organisasi Pengelola/management
yang melakukan pengolahan di TPST.

2. Sistem TPST yang terintegrasi disini, sistem pengelolaan sampah ini mampu memenuhi penyelesaian
permasalahan sampah dengan optimalisasi pemanfaatan tanpa menimbulkan pencemaran. Terintegrasi
disini juga memiliki pengertian mampu menciptakan sistem pengelolaan bersama antara kabupaten/kota
baik sebagai pengguna maupun yang memiliki wilayah yang dijadikan TPS terpadu tersebut.tanpa
menimbulkan konflik kepentingan masing-masing kabupaten kota yang tergabung dalam satu system
pengelolaan.

3. Mampu memberikan manfaat, dengan adanya TPST ini mampu membuka lapangan pekerjaan yang
baru dan mengurangi angka pengangguran dan kriminalitas sehingga menyerap tenaga kerja dan
memberi keuntungan ekonomis serta meningkatkan peran serta bagi masyarakat sekitar.

4. Konsep pengelolaan sampah yang ramah lingkungan juga harus Berdaya guna, melalui sistem TPST
ini sampah akan dipilah sesuai jenisnya untuk diolah lebih lanjut , melalui konsep 3 R (Recycle, Reuse
dan Reduce) memiliki nilai tambah menjadi pupuk kompos, bahan baku yang bisa didaur seperti bahan
plastic atau kertas, bahan baku biogas yang menghasilkan energi terbarukan.

Manfaat hasil Studi Model Sistem Pengelolaan Tempat Pembuangan Sampah Terpadu diharapkan dapat
sebagai masukan dan arahan untuk merealisasikan Tempat Pembuangan Sampah Akhir Terpadu yang
menjadi sebuah kebutuhan untuk mengatasi permasalahan Sampah antar wilayah kabupaten dan kota di
provinsi Lampung dalam jangka waktu panjang ke depan.

Anda mungkin juga menyukai