PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUAN
Didalam pendahuluan akan dijelaskan tentang latar belakang penulisan, tujuan penulisan,
manfaat penulisan, serta sistematika penulisan.
BAB II PEMBAHASAN
Didalam bagian ini akan dijelaskan tentang Pengertian masyarakat madani, Konsep
masyarakat madani, Karakteristik masyarakat madani, Masyarakat madani dan penegakan hak-
hak sipil keagamaan di Indonesia, dan tentang Cita-cita masyarakat madani : Teori dan Praktek.
Istilah masyarakat Madani sebenarnya telah lama hadir di bumi, walaupun dalam
wacana akademi di Indonesia belakangan mulai tersosialisasi. "Dalam bahasa Inggris ia lebih
dikenal dengan sebutan Civil Society". Sebab, "masyarakat Madani", sebagai terjemahan kata
civil society atau al-muftama' al-madani. ....Istilah civil society pertama kali dikemukakan oleh
Cicero dalam filsafat politiknya dengan istilah societies civilis, namun istilah ini mengalami
perkembangan pengertian. Kalau Cicero memahaminya identik dengan negara, maka kini
dipahami sebagai kemandirian aktivitas warga masyarakat madani sebagai "area tempat berbagai
gerakan sosial" [seperti himpunan ketetanggaan, kelompok wanita, kelompok keagamaan, dan
kelompk intelektual] serta organisasi sipil dari semua kelas [seperti ahli hukum, wartawan,
serikat buruh dan usahawan] berusaha menyatakan diri mereka dalam suatu himpunan, sehingga
mereka dapat mengekspresikan diri mereka sendiri dan memajukkan pelbagai kepentingan
mereka. Secara ideal masyarakat madani ini tidak hanya sekedar terwujudnya kemandirian
masyarakat berhadapan dengan negara, melainkan juga terwujudnya nilai- nilai tertentu dalam
kehidupan masyarakat, terutama keadilan, persamaan, kebebasan dan kemajemukan [pluralisme]
[Masykuri Abdillah, 1999:4]. Sedangkan menurut, Komaruddin Hidayat, dalam wacana
keislaman di Indonesia, adalah Nurcholish Madjid yang menggelindingkan istilah "masyarakat
madani" ini, yang spirit serta visinya terbakukan dalam nama yayasan Paramadinah [terdiri dari
kata "para" dan "madinah", dan atau "parama" dan "dina"]. Maka, secara "semantik" artinya kira-
kira ialah, sebuah agama [dina] yang excellent [paramount] yang misinya ialah untuk
membangun sebuah peradaban [madani] [Kamaruddin Hidayat, 1999:267-268
Kata madani sepintas orang mendengar asosiasinya dengan kata Madinah, memang
demikian karena kata Madani berasal dari dan terjalin erat secara etimologi dan terminologi
dengan Madinah yang kemudian menjadi ibukota pertama pemerintahan Muslim. Maka,
"Kalangan pemikir muslim mengartikan civil society dengan cara memberi atribut keislaman
madani [attributive dari kata al-Madani]. Oleh karena itu, civil society dipandang dengan
masyarakat madani yang pada masyarakat idial di [kota] Madinah yang dibangun oleh Nabi
Muhammad SAW. Dalam masyarakat tersebut Nabi berhasil memberlakukan nilai-nilai
keadilan, prinsip kesetaraan hukum, jaminan kesejahteraan bagi semua warga, serta perlindungan
terhadap kelompok minoritas. Dengan begitu, kalangan pemikir Muslim menganggap
masyarakat [kota] Madinah sebagai prototype masyarakat ideal produk Islam yang dapat
dipersandingkan dengan masyarakat ideal dalam konsep civil society"[Thoha Hamim, 1999:4].
Menurut Komaruddin Hidayat, bagi kalangan intelektual Muslim kedua istilah
[masyarakat agama dan masyarakat madani] memilki akar normatif dan kesejarahan yang sama,
yaitu sebuah masyarakat yang dilandasi norma-norma keagamaan sebagaimana yang diwujudkan
Muhammad SAW di Madinah, yang berarti "kota peradaban", yang semula kota itu bernama
Yathrib ke Madinah difahami oleh umat Islam sebagai sebuah manifesto konseptual mengenai
upaya Rasulullah Muhammad untuk mewujudkan sebuah masyarakat Madani, yang
diperhadapkan dengan masyarakat Badawi dan Nomad [Kamaruddin Hidayat, 1999:267]. Untuk
kondisi Indonesia sekarang, kata Madani dapat diperhadapkan dengan istilah masyarakat
Modern.
Dari paparan di atas dapat dikatakan bahwa, bentuk masyarakat madani adalah suatu
komunitas masyarakat yang memiliki "kemandirian aktivitas warga masyarakatnya" yang
berkembang sesuai dengan potensi budaya, adat istiadat, dan agama, dengan mewujudkan dan
memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip kesetaraan [persamaan], penegakan hukum, jaminan
kesejahteraan, kebebasan, kemajemukan [pluralisme], dan perlindungan terhadap kaum
minoritas. Dengan demikian, masyarakat madani merupakan suatu masyarakat ideal yang dicita-
citakan dan akan diwujudkan di bumi Indonesia, yang masyarakatnya sangat plural.
2.3. KARAKTERISTIK MASYARAKAT MADANI
Adapun karakteristiknya pertama, Free Public Sphere adalah adanya ruang publik yang
bebas sebagai sarana dalam mengemukakan pendapat. Pada ruang publik yang bebaslah individu
dalam posisinya yang setara mampu melakukan transaksi – transaksi wacana dan praksis politik
tanpa mengalami distorsi dan kehawatiran. Persyarat ini dikemukakan oleh Arendit dan
Habermal lebih lanjut dikatakan bahwa ruang publik secara teoritis bisa diartikan sebagai
wilayah dimana masyarakat sebagai warga negara memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan
publik. Warga negara berhak melakukan kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan
pendapat berserikat, berkumpul serta mempublikasikan informasi kepada publik.
Kedua, Demokrasi merupakan satu entitas yang menajdi penegak wacana masyarakat
madani, diaman dalam menjalani kehidupan, warga negara memiliki kebebasan penuh untuk
meyakinkan aktifitas kesehariannya, termasuk berinteraksi dengan lingkungannya. Demokrasi
berarti masyarakat dapat berlaku santun dalam pola hubungan berinteraksi dengan masyarakat
sekitarnya dengan tidak mempertimbangkan suku, ras, dan agama. Prasarat demokratis ini
banyak di kemukakan oleh para pakar yang mengkaji fenomena masyarakat madani. Bahkan
demokrasi merupakan salah satu syarat mutlak bagi penegakan masyarakat madani.
Ketiga, toleransi meupakan sikap yang dikembangkan dalam masyarakat madani untuk
menunjukkan sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas yang dikemukakan orang lain.
Toleransi ini memungkinkan akan adanya kesadaran masing – masing individu untuk
menghargai dan menghormati pendapat serta aktifitas yang dilakukan oleh kelompok masyarakat
yang lain berbeda. Toleransi menurut Nurcholish Madjid merupakan persoalan ajaran dan
kewajiban melaksanakan ajaran itu. Jika toleransi menghasilkan adanya tata cara pergaulan yang
“enak” anatra berbagai kelompok yang berbeda – beda, maka hasil itu harus dipahami sebagai
“hikmah” atau “manfaat” dari pelaksanaan ajaran yang benar.
Azyumardi Azra pun menyebutkan bahwa masyarakat madani (civil society) lebih dari
sekedar gerakan – gerakan pro demokrasi. Masyarakat madani juga mengacu ke hidupan yang
berkualitas dan tamaadun (civil). Civilitas meniscayakan ideransi, yakni kesediaan individu –
individu untuk menerasi pandangan – pandangan politik dan sikap sosial yang berbeda.
Empat, Pluralisme merupakan satuan prasarat penegakan masyarakat madani, maka
pluralisme harus dipahami secara mengakar dengan menciptakan sebuah tatacara kehidupan
yang menghargai dan menerima kemajemukan dalam konteks kehidupan sehari – hari pluralisme
tidak bisa dipahami hanya dengan sikap mengakui dan menerima kenyataan masyarakat yang
majemuk, tetapi harus disertai dengan sikap yang tulus untuk menerima kenyataan pluralisme itu
sebagai bernilai positifdan merupakan rahmat Tuhan.
Menurut Nurcholis Madjid, konsep pluralisme ini merupakan prasyarat bagi tegaknya
masyarakat madani. Pluralisme menurutnya adalah pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan –
ikatan keadaan. Bahkan pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia
antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengembangan.
Lebih lanjut Nurcholish mengatakan bahwa sikap penuh pengertian kepada orang lain itu
diperlukan dalam masyarakat yang majemuk, yakni masyarakat yang tidak menolitik.
Kelima, keadilan sosial merupakan keadilan yang menyebutkan kesimbangan dan
pembagian yang proposional terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup
seluruh aspek kehidupan.
Dalam pemikiran mengenai format bernegara menuju Indonesia Baru Pasca Orde Baru
(era reformasi ) teridentifikasi konsep masyarakat madani yang telah berkembang sebagai
alternatif pendekatan, karena masyarakat madani berisikan nilai – nilai dan konsep – konsep
dasar tetentu yang berguna dalam rangka pemberdayaan masyarakat atau lebih menyeimbangkan
posisi dan peran penentuan yang tetap terasa pada perwujudan cita – cita berbangsa dan
bernegara sebagaimana di amanatkan UUD 1945.
Adapun nilai – nilai dasar masyarakat madani antara lain adalah kebutuhan,
kemerdekaan, hak asasi dan martabat manusia, kebangsaan, demokrasi, kemajemukan,
kebersamaan, persatuan dan kesatuan, kesejahteraan, keadilan dan supermasi hukum, dan
sebagainya.
Menciptakan masyarakat madani merupakan peluang bagi agama. Menurut Ayatullah
Khomuni, ada keterkaitan erat antara agama dan politik. Masyarakat madani dapat juga
dikatakan sebagai sebuah “revolusi”.
Dalam rangka memberdayakan masyarakat untuk memikul tanggung jawab
pembangunan, peran pemerintah dapat ditingkatkan antara melalui :
1. Pengurangan hambatan dan landasan – landasan bagi kreatifikasi dan partisipasi masyarakat.
2. Perluasan akses, pelayanan untuk menunjang berbagai kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat.
3. Penghargaan program untuk lebih meningkatkan kemampuan dan memberikan kesempatan
kepada masyarakat berperan aktif dalam memanfaatkan dan mendayagunakan sumber daya
produktif yang tersedia sehingga memiliki nilai tambah tinggi, guna meningkatkan kesejahteraan
mereka.
2.4. MASYARAKAT MADANI dan PENEGAKAN HAK-HAK SIPIL
KEAGAMAAN DI INDONESIA
Menuju masyarakat madani melalui penegakan hak – hak sipil keagamaan dimana negara
Indonesia adalah negara hukum yang diartikan sebagai negara dimana tindakan pemerintah
maupun rakyatnya didasarkan atas hukum untuk mencegah adanya tindakan kesewenang –
wenangan dari pihak penguasa dan tindakan rakyat menurut kehendak sendiri.
Sebagai unsur – unsur yang klasik yang dipakai dalam negara yaitu diakuinya adanya hak
– hak asasi yang harus dilindungi oleh pihak penguasa dan sebagai jaminannya ialah diadakan
pembagian kekuasaan.
Negara hukum mempunyai 4 unsur :
1. Hak – hak asasi
2. Pembagian kekuasaan.
3. Adanya undang – undang bagi tindakan pemerintah.
4. Peradilan administrasi yang berdiri sendiri.
Untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah bentrokan – bentrokan dalam masyarakat
negara harus melaksanakan penertiban. Dapat dikatakan bahwa negara bertindak sebagai
stabilisator.
Negara adalah alat dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan –
hubungan manusia dalam masyarakat dan mentertibkan gejala – gejala kekusaan manusia dalam
masyarakat dan gejala – gejala kekuasaan dalam masyrakat. Negara menetapkan cara- cara dan
batas – batas sampai dimana kekuasaan dapat digunakan dalma kehidupan. Pengendalian ini
berdasarkan sistem hukum dan dengan peraturan pemerintah serta segala alat – alat
perlengkapan.
Untuk menegaskan kedudukan agama ini maka telah disebutkan bahwa neagara Republik
Indonesia berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada “Ketuhaan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh
Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan, serta dengan mewujudkan Suatu
Keadilan Sosial Bagi Sleuruh Rakyat Indonesia”.
Prinsip Ketuhanan ini menegaskan bahwa masing – masing orang Indonesia hendaknya
bertuhan . Mereka yang beragama Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al – Masih,
yang beragama Islam menjalankan ibadahnya menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, umat
Hindu menjalankan ibadahnya menurut kitab – kitab yang ada padanya, begitu pula umat Budha.
Nilai – nilai ketuhanan menuntut tumbuhnya sikap dan perbuatan yang sesuai dengan norma
– norma dan moral yang diajarkan oleh agama – agama yang bersumber dari Tuhan. Hal ini
mengingat bahwa agama adalah dasar dan asas moral bangsa dan masyarakat yang berfilsafah
pancasila. Untuk itu maka nilai – nilai agama mendapat tempat interprestasi dan implementasi
dalam pancasila sebagai dasar filsafah dan ideologi ngara. Bangsa Indonesia diakui sebagai
bangsa yang beragama.
Indonesia adalah negara serba ganda (plural stabe). Bangsa Indonesia telah hidup dengan
keserbagandan ini sejak zaman leluhur. Dari bisa di telusuri kembali sejarah bangsa Indonesia
sejak zaman leluhur itu, tidak terdapat fakta tentang adanya usaha – usaha untuk
mempermasalahkan keserbagandaan ini.
Dalam membangun dan membina masyarakat dan bangsa dengan totalitasnya, perlu
dipikirkan terutama terhadap generasi penerus, agar keberagaman yang telah interen dengan
alam dan kondisi Indonesia ini dipahami dan diterima oleh mereka. Dengan pengertian tidak
menjadikan keberagaman ini sebagai topik permasalahan terutama yang sifatnya sensitif sekali,
yaitu agama.
Indonesia sebagai negara pancasila, dalam penganutan agama prinsip kebebasan di junjung
tinggi, termasuk untuk menyiarkan agama itu sendiri. Negara dan pemerintah tidak menghalangi
setiap golongan agama untuk menyiarkan dan menyebarkan agamanya. Namun kebebasan disini
tidak dapat ditafsirkan dengan kebebasan tanpa batas dan harus didasarkan kepada prinsip
pancasila dan UUD 1945 dengan berorientasi kepada pemeliharaan persatuan dan rasa
kebangsaan. Pluralitas agama atau masalah agama, artinya bila masalah agama tidak menjadi
perhatian yang layak sehingga tidak terciptanya kerukunan umat beragama maka integritas
bangsa dan negara akan tergoyahkan, bila dimana bentuk ekstrim bahkan dapat berbahaya,
masalah suku tumbuh lagi.
Hak – hak atau hak asasi dalam masyarakat dan bangsa meliputi, kemerdekaan beragama,
mendapatkan pendidikan dan pengajaran, kebebasan mengeluarkan pikiran baik denganh lisan
atau tulisan, mendapatkan tempat atau rumah dan sebagainya.
Dalam masyarakat madani, setiap manusia mempunyai hak sama dan dipandang sebagai
kenyataan, baik secara pribadi ataupun secara bergolongan. Setiap anggota masyarakat
menyadari posisi masing – masing baik ia sebagai anggota masyarakat biasa, karyawan, pejabat
ataupun sebagai penguasa, bahwa ia mempunyai hak dan kewajiban yang sama.
Dalam kebebasan atau kemerdekaan terkandung kebebasan beragama dan kebebasan
mengeluarkan pendapat. Kebabasan beragama, tiap penganut atau tiap golongan agama
mempunyai kebebasan dan perlindungan yang sama dalam menganut agama dan melaksanakan
ibadat agamanya. Tiap Undang – Undang atau peraturan yang dibuat pemerintah atau oleh
lembaga negara tidak bertentangan dengan agama yang dianut oleh warganya.
Kini tibalah saatnya kita membahas tema utama kita: cita-cita masyarakat madani dalam
kebudayaan Islam. Tetapi sebelum kita membahasnya lebih lanjut, ada yang harus saya katakan
berkenaan dengan lingkup pembahasan topik ini. Dari yang dapat saya ketahui, pembicaraan
tentang masyarakat madani ini pada umumnya dikaitkan dengan soal politik, yakni “civil” dalam
pengertian “pemerintahan sipil yang berlawanan dengan pemerintahan militer, atau eklesiastik.”
Namun dalam pembicaraan ini, masyarakat madani akan saya batasi pada bidang-bidang kultural
yang berkaitan dengan cara atau sikap hidup yang seyogyanya dimiliki oleh masyarakat
perkotaan, seperti sikap toleran, inklusif, demokratis, egaliter, dll. Jadi di sini kata madani
Adapun yang ingin saya lakukan di sini sebenarnya sederhana saja yaitu mengambil
beberapa contoh historis dari cita-cita masyarakat madani, sebagaimana yang saya temukan
dalam ucapan (teoritis) maupun tindakan (praktek) para pendukung kebudayaan Islam, baik itu
para ulama, udaba’, sufi, ilmuwan dan filosof Muslim. Sebagaimana kota Jakarta, kota-kota
besar dunia Islam pada masa kejayaannya, terutama Baghdad dan Kordoba, merupakan
masyarakat yang majemuk (plural), di mana penduduk dari berbagai latar belakang etnik, suku,
bangsa dan agama berkumpul dan hidup bersama. Tentu saja keadaan ini menimbulkan
tantangan-tantangannya sendiri yang perlu dijawab oleh masyarakat perkotaan dengan
mengembangkan sifat-sifat yang cocok dengan keadaan. Sifat-sifat yang cocok dengan keadaan
masyarakat kota inilah yang kita maksud dengan cita-cita masyarakat madani, dan ini antara lain
a. Inklusivisme
Sikap inklusif ini sebenarnya telah dipraktekkan oleh para adib ketika menyusun “adab”
mereka. Karena, selain menggunakan al-Qur’an dan hadits sebagai sumber yang paling otoritatif,
mereka juga masih menggunakan sumber-sumber lain dari kebudayaan lain. Dalam puisi,
misalnya, mereka menggunakan dan menghargai warisan Jahiliyyah, dan bahkan sebagian
mereka menggunakannya sebagai tolok ukur bagi kualitas dan kesusksesan sebuah karya puitis.
Demikian juga ketika mereka mengambil pelajaran moral dari karakter hewan-hewan, mereka
tidak ragu-ragu menggunakan karya-karya fabel dari kebudayaan luar, terutama India, seperti
kitab Kalilah wa al-Dimnah karya seorang pujangga India, Bidpei. Karya ini telah diterjemahkan
ke dalam bahasa Arab oleh Ibn Muqaffa’ pada abad kesembilan, dan menjadi contoh ideal bagi
setiap karya seperti itu. Sedangkan teladan moral dari para pahlawan dan raja-raja bijaksana,
bersumber dari cerita epik para pahlawan dan raja-raja Persia, sebagaimana tercermin dari karya
Firdawsi, Shah namah (Kisah para raja). Demikian juga karya-karya gnomologis (hikmah) yang
mereka himpun, bersumber dari kata-kata hikmah (hikam) para bijaksanawan/ pujangga Persia,
Arab, Yunani dan India, sebagaimana tercemin dari karya Miskawayh yang sangat terkenal, al-
Hikmah al-Khalidah (Filsafat Perenial), atau karya serupa itu dari Ibn Hindu, al-Kalim al-
Ruhaniyah.
b. Humanisme (Egalitarianisme)
Yang dimaksud dengan humanisme di sini adalah cara pandang yang memperlakukan
manusia karena kemanusiaannya, tidak karena sebab yang lain di luar itu, seperti ras, kasta,
warna kulit, kedududukan, kekayaan atau bahkan agama. Dengan demikian termasuk di dalam
humanisme ini adalah sifat egaliter, yang menilai semua manusia sama derajatnya.
c. Toleransi
Toleransi umat Islam barangkali dapat dilihat dari beberapa contoh di bawah ini: Para
penguasa Muslim dalam waktu yang relatif singkat telah menaklukan beberapa wilayah
sekitarnya, seperti Mesir, Siria dan Persia. Ketika para penguasa Islam itu menaklukkan daerah-
daerah tersebut, di sana telah ada dan berkembang dengan pesat beberapa pusat ilmu
pengetahuan. Namun mereka tidak mengganggu kegiatan-kegiatan ilmiah dan filosofis yang
telah ada sebelum Islam datang di beberapa kota di Timur Tengah. Beberapa pusat ilmu di kota-
kota Siria, seperti Antioch, Harran, dan Edessa, tetap berkembang ketika orang-orang Arab
menaklukkan Siria dan Iraq. Menurut penilaian Majid Fakhry, penaklukan Arab secara
keseluruhan tidak mencampuri pencarian akademis oleh sarjana-sarjana di Edessa, Nisibis dan
pusat-pusat ilmu di Timur dekat. Di pusat-pusat ilmu ini, kajian-kajian filosofis dan teologis oleh
para sarjana Kristen tetap berjalan sebagaimana biasanya, dan mereka menikmati kebebasan
Islam, salah satu sifat yang tidak boleh ditinggalkan dalam demokrasi adalah kebebasan individu
untuk mengemukakan pendapatnya, dengan kata lain harus ada kebebasan berpikir. Nah
bagaimana kebabasan berpikir ini dilaksanakan oleh masyarakat kota-kota besar Islam, terutama
pada masa kejayaananya, dapat kiranya dilihat dari contoh-contoh berikut ini. Kebebasan untuk
menyampaikan kritik terhadap penguasa, dalam hal ini para perdana menteri (wazir), dapat
dengan gamblang kita lihat dalam karya Abu Hayyan al-Tawhidi. Dalam bukunya yang berjudul
Akhlaq al-Wazirayn (Karakter dari Dua Wazir), al-Tawhidi mengeritik karakter dan bahkan
kadang administrasi dari dua wazir Buyid, Ibn Amid dan Ibn Sa’dan. Ibn ‘Amid, misalnya
dikatakan terlalu “pelit” di dalam menggaji bawahannya, bahkan bawahan yang penting seperti
Ibn Miskawayh (w. 1010), seorang filosof etik yang terkenal. Menurutnya, Miskawayh dibayar
oleh Ibn ‘Amid, dengan gaji yang pas-pasan, yang tentunya tidak cocok dengan sifat seorang
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulakn sebagai berikut : [1] Menyarakat madani
merupakan suatu ujud masyarakat yang memiliki kemandirian aktivitas dengan ciri:
universalitas, supermasi, keabadian, pemerataan kekuatan, kebaikan dari dan untuk bersama,
meraih kebajikan umum, piranti eksternal, bukan berinteraksi pada keuntungan, dan kesempatan
yang sama dan merata kepada setiap warganya. ciri masyarakat ini merupakan masyarakat yang
ideal dalam kehidupan. Untuk Pemerintah pada era reformasi ini, akan mengarakan semua
potensi bangsa berupa pendidikan, ekonomi, politik, hukum, sosial budaya, militer, kerah
masyarakat madani yang dicita-citakan. [2] Konsep dasar pembaharuan pendidikan harus
didasarkan pada asumsi-asumsi dasar tentang manusia meenurut aajaran Islam, filsafat dan teori
pendidikan Islam yang dijabarkan dan dikembangkan berdasarkan asumsi-asumsi tentang
manusia dan lingkungannya. Atau dengan kata lain pembaharuan pendidikan Islam adalah
filsafat dan teori pendidikan Islam yang sesuai dengan ajaran Islam, dan untuk lingkungan (
sosial - kultural) yang dalam hal ini adalah masyarakat madani. (3) Konsep dasar pendidikan
Islam supaya relevan dengan kepentingan umat Islam dan relevan dengan disain masyarakat
madani. Maka penerapan konsep dasar filsafat dan teori pendidikan harus memperhatikan
konteks supra sistem bagi kepentingan komunitas "masyarakat madani" yang dicita-citakan
bangsa ini.