Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

.
Pembesaran kelenjar tiroid atau struma, sering dihadapi dengan sikap yang biasa saja
oleh penderita, oleh karena tidak memberikan keluhan yang begitu berarti dan pada sebagian
besar golongan masyarakat di daerah tertentu. Struma adalah pembesaran kelenjar tiroid yang
disebabkan oleh penambahan jaringan kelenjar tiroid itu sendiri. Pembesaran kelenjar tiroid
ini ada yang menyebabkan perubahan fungsi pada tubuh dan ada juga yang tidak
mempengaruhi fungsi. Struma merupakan suatu penyakit yang sering dijumpai sehari-hari,
dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti, struma dengan atau tanpa kelainan
fungsi metabolisme dapat didiagnosis secara tepat.

Struma bisa merupakan suatu neoplasma (5-10%), baik jinak atau ganas dan keadaan
ini bergantung pada usia dan ukuran tumor. Prevalensi struma meningkat secara linier dengan
bertambahnya usia (Kurnia, 2007). Tiroid merupakan kelenjar endokrin yang paling besar
pada tubuh manusia. Pada kelenjar tiroid cukup sering ditemukan nodul tumor. Sekitar 4– 8%
struma bisa ditemukan saat pemeriksaan ultrasonografi, umumnya tumor banyak ditemukan
pada wanita. Struma pada orang dewasa umumnya adalah nodul jinak dan hanya sekitar 5%
yang ganas. Struma yang ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda, insidensnya sekitar
1,5% (Hegedus, 2004). Survei cross sectional yang dilakukan Oxford University di Inggris
prevalensi terbesar nodul tiroid adalah wanita pra-menopause dan rasio perempuan untuk
laki-laki minimal 4:1 (Endokrin Surgery, 2012). Struma terjadi pada 4-7 % dari populasi di
Amerika Serikat yang berpenduduk 2 10-18 juta orang, struma ditemukan secara kebetulan
pada ultrasonografi (USG) serta menunjukkan prevalensi 19-67%. Struma sebanyak 23%
terdiri dari multinodular goiter (Hegedus, 2004). Daerah dengan defisiensi yodium yang
berada di Jerman ditemukan nodul tiroid atau gondok sebesar 33% dari 96.278 orang dewasa
yang berusia 18-65 tahun (Vanderpump, 2011; Endokrin Surgery, 2012). Struma sangat
sering ditemukan di Indonesia, dengan insidensi rerata setiap tahunnya berkisar antara 4-8%.
Boedisantoso et al, 2003 melaporkan struma tiroid di RSUPN-CM dengan rasio laki-laki
dibandingkan perempuan sekitar 8:10 sebanyak 101 kasus. Sedangkan berdasarkan data
subsidi Bedah Onkologi Rumah Sakit H. Adam Malik Medan, jumlah kasus penderita nodul
tiroid tahun 2010-2012 adalah 188 kasus yaitu 2010 (67 kasus), 2011 (65 kasus), dan 2012
(66 kasus) (Wiseman, 2011). Berdasarkan data dari Badan Registrasi Kanker Indonesia,
karsinoma tiroid dengan frekuensi relatif 4,43% menempati urutan ke 9 dari 10 keganasan
yang sering ditemukan. Penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo
(RSCM) Terdapat 223 pasien dengan keganasan pada kelenjar tiroid (Gunawan, 2012).
Sedangkan distribusi kasus menurut tumor primer di Malang tahun 2004, terdapat 10 kasus
tumor tiroid dan menempati urutan ke 12 dari tumor ganas tersering yang ada di kota Malang
dan kasus tumor tiroid jinak bertambah tiap tahunnya (Pasaribu, 2006). Faktor risiko struma
antara lain lingkungan, genetik, konstitusi dan lain lainnya berperan dalam patogenesis
struma nontoksik.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kelenjar Tiroid


A. Embriologi Kelenjar Tiroid
Kelenjar tiroid berkembang dari endoderm yang berasal dari sulcus pharyngeus
pertama dan kedua pada garis tengah atau lekukan faring antara branchial pouch pertama dan
kedua. Mulai terbentuk pada janin berukuran 3,4-4 cm pada akhir bulan pertama kehamilan.
Dari bagian tersebut timbul divertikulum yang kemudian membesar, jaringan endodermal ini
turun ke leher sampai setinggi cincin trakea kedua dan ketiga yang kemudian membentuk 2
lobus, yang akhirnya melepaskan diri dari faring. Penurunan ini terjadi pada garis tengah.
Sebelum lepas, ia berbentuk sebagai duktus tiroglossus, yang berawal dari foramen sekum di
basis lidah. Pada umumnya duktus ini akan menghilang pada usia dewasa. Sisa ujung kaudal
duktus tiroglossus lebih sering mengalami obliterasi menjadi lobus piramidalis kelenjar
tiroid. Tetapi ada beberapa keadaan yang masih menetap, sehingga dapat terjadi kelenjar di
sepanjang jalan tersebut, yaitu antara kartilago tiroid dengan basis lidah. Dengan demikian,
kegagalan menutupnya duktus akan mengakibatkan terbentuknya kelenjar tiroid yang letakya
abnormal, dinamakan persisten duktus tiroglossus, dapat berupa kista duktus tiroglossus,
tiroid lingual atau tiroid servikal. Sedangkan desensus yang terlalu jauh akan menghasilkan
tiroid substernal. Branchial pouch keempatpun akan ikut membentuk bagian kelenjar tiroid,
dan merupakan asal mula sel-sel parafolikular atau sel C yang memproduksi kalsitonin.
Kelenjar tiroid janin secara fungsional mulai mandiri pada minggu ke-12 masa kehidupan
intrauterin.

B. Anatomi Kelenjar Tiroid


Kelenjar tiroid terletak di bagian bawah leher, terdiri dari 2 lobus yang dihubungkan
oleh ismus yang menutupi cincin trakea 2 dan 3. Setiap lobus tiroid berukuran panjang 2,5-4
cm, lebar 1,5-2 cm dan tebal 1-1,5 cm. Berat kelenjar tiroid dipengaruhi oleh berat badan dan
asupan yodium. Pada orang dewasa berat normalnya antara 10-20 gram.
Pada sisi posterior melekat erat pada fasia pratrakea dan laring melalui kapsul fibrosa,
sehingga akan ikut bergerak kea rah cranial sewaktu menelan.
Pada sebelah anterior kelenjar tiroid menempel otot pretrakealis (m. sternotiroid dan
m. sternohioid) kanan dan kiri yang bertemu pada midline. Pada sebelah yang lebih
superficial dan sedikit lateral ditutupi oleh fasia kolli profunda dan superfisialis yang
membungkus m. sternokleidomastoideus dan vena jugularis eksterna. Sisi lateral berbatasan
dengan a. karotis komunis, v. jugularis interna, trunkus simpatikus dan arteri tiroidea inferior.
Posterior dari sisi medialnya terdapat kelenjar paratiroid, n. laringeus rekuren dan esophagus.
Esofagus terletak di belakang trakea dan laring, sedangkan n.laringeus rekuren terletak pada
sulkus trakeoesofagikus.
Vaskularisasi kelenjar tiroid termasuk amat baik. A.tiroidea superior berasal dari
a.karotis kommunis atau a.karotis eksterna, a.tiroidea inferior dari a.subklavia, dan a.tiroidea
ima berasala dari a.brakhiosefalik salah sau cabang arkus aorta
Aliran darah dalam kelenjar tiroid berkisar 4-6 ml/gram/menit, kira-kira 50 kali lebih
banyak dibanding aliran darah di bagian tubuh lainnya. Pada keadaan hipertiroidisme, aliran
darah ini akan meningkat sehingga dengan stetoskop terdengar bising aliran darah dengan
jelas di ujung bawah kelenjar.
Setiap folikel tiroid diselubungi oleh jala-jala kapiler dan limfatik, sedangkan system
venanya berasal dari pleksus parafolikuler yang menyatu di permukaan membentuk vena
tiroidea superior, lateral dan inferior.
Secara anatomis dari dua pasang kelenjar paratiroid, sepasang kelenjar paratiroid
menempel di belakang lobus superior tiroid dan sepasang lagi di lobus medius.
Pembuluh getah bening kelenjar tiroid berhubungan secara bebas dengan pleksus
trakealis. Selanjutnya dari pleksus ini ke arah nodus pralaring yang tepat berada di atas ismus
menuju ke kelenjar getah bening brakiosefalik dan sebagian ada yang langsung ke duktus
torasikus. Hubungan getah bening ini penting untuk menduga penyebaran keganasan yang
berasal dari kelenjar tiroid.
Gambar 1. Anatomi Tiroid

Gambar 2. Anatomi Tiroid Potongan Melintang


C. Histologi Kelenjar Tiroid
Secara histologi, parenkim kelenjar ini terdiri atas:
1. Folikel-folikel dengan epithetlium simplex kuboideum yang mengelilingi suatu massa
koloid. Sel epitel tersebut akan berkembang menjadi bentuk kolumner katika folikel lebih
aktif (seperti perkembangan otot yang terus dilatih).
2. Cellula perifolliculares (sel C) yang terletak di antara beberapa folikel yang berjauhan.
Gambar 3. Histologi Kelenjar Tiroid
D. Fisiologi Hormon Tiroid
Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid utama, yaitu tiroksin (T4). Bentuk aktif
ini adalah triyodotironin (T3), yang sebagian besar berasal dari konversi hormon T4 di
perifer, dan sebagian kecil langsung dibentuk oleh kelenjar tiroid. Yodida anorganik yang
diserap dari saluran cerna merupakan bahan baku hormon tiroid. Zat ini dipekatkan kadarnya
menjadi 30-40 kali yang afinitasnya sangat tinggi di jaringan tiroid. Yodida anorganik
mengalami oksidasi menjadi bentuk organik dan selanjutnya menjadi bagian dari tirosin yang
terdapat dalam tiroglobulin sebagai monoyodotirosin (MIT) atau diyodotirosin (DIT).
Senyawa atau konjugasi DIT dengan MIT atau dengan DIT yang lain akan menghasilkan T3
atau T4, yang disimpan dalam koloid kelenjar tiroid. Sebagian besar T4 dilepaskan ke
sirkulasi, sedangkan sisanya tetap di dalam kelenjar yang kemudian mengalami deyodinasi
untuk selanjutnya menjalani daur ulang. Dalam sirkulasi, hormon tiroid terikat pada protein,
yaitu globulin pengikat tiroid (thyroid binding globulin, TBG) atau prealbumin pengikat
tiroksin (thyroxine binding prealbumine, TBPA).
Sekresi hormon tiroid dikendalikan oleh suatu hormon stimulator tiroid (thyroid
stimulating hormone, TSH) yang dihasilkan oleh lobus anterior kelenjar hipofisis. Kelenjar
hipofisis secara langsung dipengaruhi dan diatur aktivitasnya oleh kadar hormon tiroid dalam
sirkulasi yang bertindak sebagai negative feedback terhadap lobus anterior hipofisis, dan
terhadap sekresi thyrotropine releasing hormone (TRH) dari hipotalamus.
Pada kelenjar tiroid juga didapatkan sel parafolikuler, yang menghasilkan kalsitonin.
Kalsitonin adalah suatu polipeptida yang turut mengatur metabolisme kalsium, yaitu
menurunkan kadar kalsium serum, melalui pengaruhnya terhadap tulang.
Jadi, kesimpulan pembentukan hormon tiroksin melalui beberapa langkah, yaitu:
1. Iodide Trapping, yaitu pejeratan iodium oleh pompa Na+/K+ ATPase.
2. Yodium masuk ke dalam koloid dan mengalami oksidasi. Kelenjar tiroid merupakan
satu-satunya jaringan yang dapat mengoksidasi I hingga mencapai status valensi yang
lebih tinggi. Tahap ini melibatkan enzim peroksidase.
3. Iodinasi tirosin, dimana yodium yang teroksidasi akan bereaksi dengan residu tirosil
dalam tiroglobulin di dalam reaksi yang mungkin pula melibatkan enzim
tiroperoksidase (tipe enzim peroksidase).
4. Perangkaian iodotironil, yaitu perangkaian dua molekul DIT (diiodotirosin) menjadi
T4 (tiroksin, tetraiodotirosin) atau perangkaian MIT (monoiodotirosin) dan DIT
menjadi T3 (triiodotirosin). reaksi ini diperkirakan juga dipengaruhi oleh enzim
tiroperoksidase.
5. Hidrolisis yang dibantu oleh TSH (Thyroid-Stimulating Hormone) tetapi dihambat
oleh I, sehingga senyawa inaktif (MIT dan DIT) akan tetap berada dalam sel folikel.
6. Tiroksin dan triiodotirosin keluar dari sel folikel dan masuk ke dalam darah. Proses
ini dibantu oleh TSH.
7. MIT dan DIT yang tertinggal dalam sel folikel akan mengalami deiodinasi, dimana
tirosin akan dipisahkan lagi dari I. Enzim deiodinase sangat berperan dalam proses ini.
8. Tirosin akan dibentuk menjadi tiroglobulin oleh retikulum endoplasma dan kompleks
golgi.
Gambar 4. Sintesis dan Sekresi Hormon Tiroid

E. Pengaturan faal tiroid


Ada 4 macam kontrol terhadap faal kelenjar tiroid : (Djokomoeljanto, 2001)
a. TRH (Thyrotrophin releasing hormone). Tripeptida yang disentesis oleh hipothalamus.
Merangsang hipofisis mensekresi TSH (thyroid stimulating hormone) yang selanjutnya
kelenjar tiroid terangsang menjadi hiperplasi dan hiperfungsi

b. TSH (thyroid stimulating hormone). Glikoprotein yang terbentuk oleh dua sub unit
(alfa dan beta). Dalam sirkulasi akan meningkatkan reseptor di permukaan sel tiroid
(TSH-reseptor-TSH-R) dan terjadi efek hormonal yaitu produksi hormon meningkat.

c. Umpan Balik sekresi hormon (negative feedback). Kedua hormon (T3 dan T4) ini
mempunyai umpan balik di tingkat hipofisis. Khususnya hormon bebas. T3 disamping
berefek pada hipofisis juga pada tingkat hipotalamus. Sedangkan T4 akan mengurangi
kepekaan hipifisis terhadap rangsangan TSH.
d. Otoregulasi.Pengaturan di tingkat kelenjar tiroid sendiri. Produksi hormon juga diatur
oleh kadar iodium intra tiroid

F. Efek fisiologik hormon tiroid

1. Pertumbuhan fetus. Hormon tiroid danTSH bekerja setelah usia 11 minggu.

2. Efek pada konsumsi oksigen, panas dan pembentukan radikal bebas. Dirangsang oleh
T3 di semua jaringan,kecuali otak, testis dan limpa. Hormon tiroid menurunkan kadar
superoksid desmustase hingga radikal bebas anion superoksid meningkat.
3. Efek kardiovaskuler. Secara klinis terlihat sebagai naiknya cardiac output dan
takikardi.

4. Efek simpatik. Pada hipertiroid sensitivitas terhadap katekolamin amat tinggi dan
sebaliknya pada hipotiroidisme.

5. Efek hematopoetik. Eritropoesis dan produksi eritropoetin meningkat pada hipertiroid.


Volum darah tetap namun red cell turn over meningkat.

6. Efek GIT. Pada hipertiroidisme motilitas usus meningkat, transit lambung pendek
diare klinisnya bertambahnya kurus seseorang.

7. Efek pada skelet. Hipertiroidisme memberi osteopenia dalam keadaan berat mampu
meningkatkan hiperkalsemia,hiperkalsuria, dan penanda hidroksiprolin.

8. Efek neomuskular. Kontraksi serta relaksasi otot meningkat  hiperrefleksia

9. Efek endokrin. Meningkatkan metabolic turn over. Hipertiroidisme dapat menutupi


masking dan unmasking kelainan adrenal.

G. Efek metabolisme Hormon Tyroid


1. Kalorigenik

2. Termoregulasi

3. Metabolisme protein. Dalam dosis fisiologis kerjanya bersifat anabolik, tetapi dalam
dosis besar bersifat katabolik
4. Metabolisme karbohidrat. Bersifat diabetogenik, karena resorbsi intestinal
meningkat, cadangan glikogen hati menipis, demikian pula glikogen otot menipis
pada dosis farmakologis tinggi dan degenarasi insulin meningkat.

5. Metabolisme lipid. T4 mempercepat sintesis kolesterol, tetapi proses degradasi


kolesterol dan ekspresinya lewat empedu ternyata jauh lebih cepat, sehingga pada
hiperfungsi tiroid kadar kolesterol rendah. Sebaliknya pada hipotiroidisme kolesterol
total, kolesterol ester dan fosfolipid meningkat.

6. Vitamin A. Konversi provitamin A menjadi vitamin A di hati memerlukan hormon


tiroid. Sehingga pada hipotiroidisme dapat dijumpai karotenemia.
7. Lain-lain : gangguan metabolisme kreatin fosfat menyebabkan miopati, tonus traktus
gastrointestinal meninggi, hiperperistaltik sehingga terjadi diare, gangguan faal hati,
anemia defesiensi besi dan hipotiroidisme.

2.2. Struma
A. Definisi Struma
Kelainan glandula tyroid dapat berupa gangguan fungsi seperti tiritosikosis atau perubahan
susunan kelenjar dan morfologinya, seperti penyakit tyroid noduler. Berdasarkan
patologinya, pembesaran tyroid umumnya disebut struma (De Jong & Syamsuhidayat,
1998).
B. Klasifikasi Struma
Morfologi dari pembesaran kelenjar tiroid ada berbagai macam. Struma difus adalah
pembesaran yang merata dengan konsistensi lunak pada seluruh kelenjar tiroid. Struma
nodusa adalah jika pembesaran tiroid terjadi akibat nodul, apabila nodulnya satu maka
disebut uninodusa, apabila lebih dari satu, baik terletak pada satu atau kedua sisi lobus,
maka disebut multinodusa. Ditinjau dari aspek fungsi kelenjar tiroid, yang tugasnya
memproduksi hormon tiroksin, maka bisa kita bagi:
1) Hipertiroid, sering juga disebut sebagai toksika bila produksi hormon tiroksin
berlebihan.
2) Eutiroid, bila produksi hormon tiroksin dalam batas normal
3) Hipotiroid, bila produksi hormon tiroksin kurang dari normal.
Pembesaran kelenjar tiroid dapat disebabkan oleh :
1) Hiperplasia dan Hipertrofi
Setiap organ apabila dipacu untuk bekerja lebih berat maka akan berkompensasi
dengan jalan hipertrofi dan hiperplasi. Demikian pula dengan kelenjat tiroid pada saat
masa pertumbuhan atau paa kondisi memerlukan hormon tiroksin lebih banyak, misal
saat pubertas, gravid dan sembuh dari sakit parah.
a. Non toxic goiter: difus, noduler
b. Toxic goiter: noduler (Parry’s disease), difus (Grave’s disease)/Morbus
Basedow
2) Inflamasi atau Infeksi
a. Tiroiditis akut
b. Tiroiditis sub-akut (de Quervain)
c. Tiroiditis kronis (Hashimoto’s disease dan struma Riedel)
3) Neoplasma
a. Neoplasma jinak (adenoma)
b. Neoplasma ganas (adenocarcinoma) : papiliferum,folikularis, anaplastik
Pembesaran kelenjar tiroid atau struma diklasifikasikan berdasarkan efek fisiologisnya,
klinis, dan perubahan bentuk yang terjadi. Struma dapat dibagi menjadi :
1) Struma Toksik, yaitu struma yang menimbulkan gejala klinis pada tubuh,
berdasarkan perubahan bentuknya dapat dibagi lagi menjadi
a. Diffusa, yaitu jika pembesaran kelenjar tiroid meliputi seluruh lobus,
seperti yang ditemukan pada Grave’s disease.
b. Nodosa, yaitu jika pembesaran kelenjar tiroid hanya mengenai salah satu
lobus, seperti yang ditemukan pada Plummer’s disease.
2) Struma Nontoksik, yaitu struma yang tidak menimbulkan gejala klinis pada tubuh,
berdasarkan perubahan bentuknya dapat dibagi lagi menjadi
a. Diffusa, seperti yang ditemukan pada endemik goiter
b. Nodosa, seperti yang ditemukan pada keganasan tiroid
Adapun klasifikasi klinisnya adalah sebagai berikut:
a. Grade 0 : tidak teraba struma, atau bila teraba besarnya normal
b. Grade IA : teraba struma, tapi tak terlihat
c. Grade IB : teraba struma, tapi baru dapat dilihat apabila posisi kepala
menengadah
d. Grade II : struma dapat dilihat dalam posisi biasa
e. Grade III : struma dapat dilihat dalam posisi biasa dalam jarak 6 meter
f. Grade IV : struma yang amat besar
C. Etiologi Struma

a. Kekurangan iodium: Pembentukan struma terjadi pada difesiensi sedang yodium yang
kurang dari 50 mcg/d. Sedangkan defisiensi berat iodium adalah kurang dari 25 mcg/d
dihubungkan dengan hypothyroidism dan cretinism.
b. Kelebihan yodium: jarang dan pada umumnya terjadi pada preexisting penyakit tiroid
autoimun
c. Goitrogen :

 Obat : Propylthiouracil, litium, phenylbutazone, aminoglutethimide,


expectorants yang mengandung yodium
 Agen lingkungan : Phenolic dan phthalate ester derivative dan resorcinol berasal
dari tambang batu dan batubara.
 Makanan, Sayur-Mayur jenis Brassica ( misalnya, kubis, lobak cina, brussels
kecambah), padi-padian millet, singkong, dan goitrin dalam rumput liar.

d. Dishormonogenesis: Kerusakan dalam jalur biosynthetic hormon kelejar tiroid


e. Riwayat radiasi kepala dan leher : Riwayat radiasi selama masa kanak-kanak
mengakibatkan nodul benigna dan maligna (Lee, 2004)

D. Patofisiologi Struma
Histopatologi struma berhubungan dengan etiologi dan lama struma. Pada awalya
terjadi hiperplasia epitel folikuler uniform (goiter difus) disertai dengan penambahan masa
tiroid. Apabila kelianan ini menetap, tiroid akan kehilangan struktr aslinya dan berkembang
area involusi dan fibrosisi yang tersebar dengan area hiperplasia lokal. Proses ini
menghasilkan nodul multiple (muntinodular goiter).
Pembesaran kelenjar tiroid yang bersifat difus tersusun dari soft nodul multiple
sehingga seringkalai tidak teraba saat palpasi. Akumulasi kolid mungkin berperan juga
padanodul struma. Hemoragi ataupun degenerasi kistik dari nodul hiperplastik dapat terjadi
akibat peningkatan ukuran struma lokal yang tiba-tiba. Pada titik tumbuh, dapat terjadi
regresi, hemoragi, dan klasifikasi irreguler. Evolusi tahap multinodular ini ditunukan dengan
“hot” (hiperfungsi) dan “cold” (non-fungsi) dan “cold” (non-fungsi)nodul dengan thyroid
nuclear scan.

E. Manifestasi Klinis Struma


Biasanya pada pasien struma tidak mengalami keluhan karena tidak ada hipertiroid
ataupun hipotiroid. Sebagian besar struma tidak mengganggu pernafasan karena
penonolannya kedepan. Struma dapat menyebabkan penyempitan trakhea apabila
pembesarannya bilateral (pada rongten terdapat gambaran trakhea pedang). Penyemitan ini
dapat menimbulkan gangguan pernafasan sehingga terjadi dipsneu atau stridor inspiratoar.

F. Penegakan Diagnosis Struma


Anamnesis penderita yang dating dengan benjolan dileher harus di tanyakan hal-hal
berikut :

1. Sejak kapan benjolan itu timbul


2. Progresifitas pembesaran benjolan dan ada tidaknya rasa nyeri pada benjolan untuk
memperkirakan ganas atau jinaknya benjolan tersebut
3. Gejala obstruktif :

o Kompresi tracheal umumya asimptomatik kecuali terjadi penyempitan pada


trachea
o Terjadi dispneu dan stridor, khususnya dengan eksresi. Pada pasien struma
intratoraksik, dispneu dan stridor mungkin nocturnal atau posisional (misalnya
saat lengan pasien terangkat) ketika thoracic outlet menyempit.
o Bila pembesaran kelenjar meluas ke posterior (esophagus) dapat menyebabkan
solid food dan pill disphagia
o Kompresi nervous laryngeal rekurens dan disfungsi pita suara mungkin dapat
menyebabkan hoarseness.
o Kompresi venous outflow melalui thoracic inlet akibat struma mediastinal
menyebabkan facial plethora dan dilatasi leher dan vena thoracic superior
o Dievaluasi gejala disfungsi tiroid : hipertiroid (intoleransi panas, nafsu makan
meningkat, berat badan menurun, diare, menoraghia, takikardi sewaktu tidur,
tremor, eksoftalmus, insomnia) atau hipotiroid (intoleransi dingin, hipersomnia,
penambahan berat badan tanpa peningkatan nafsu makan, konstipasi)
4. Intake iodine : makanan serta konsumsi obat-obatan yang dapat mempengaruhi kadar
iodin atau mempengaruhi kelenjar tiroid.
5. Riwayat paparan radiasi sebelumnya (pada kepala dan leher)
6. Riwayat penyakit keluarga terutama pada pasien usia tua : dishmonogenesis,
carcinoma tiroid papiler, dan carcinoma tiroid noduler.
Selain hal-hal yang mendukung terjadinya struma akibat keradangan atau hiperplasi
dan hipertrofi, maka perlu juga ditanyakan hal-hal yang diduga ada kaitannya dengan
keganasan pada kelenjar tiroid, terutama pada struma uninodusa nontoksika antara lain:
1. Umur < 20 tahun atau > 50 tahun
2. Riwayat terpapar radiasi leher waktu kanak-kanak
3. Pembesaran kelenjar tiroid yang cepat
4. Disertai suara parau
5. Disertai disfagia
6. Disertai nyeri
7. Riwayat keluarga yang menderita kanker
8. Penderita struma hiperplasi, diterapi dengan hormone tiroksin tetap membesar
9. Disertai sesak nafas

Gambar 5. Pasien penderita struma multinodusa

Pada anamnesis dan pemerikasaan fisik untuk mengetahui adanya gangguan fungsi
pada penderita struma, maka harus ditanyakan dan diperikasa hal-hal yang mendukung
adanya hipotiroid (intoleransi dingin, hipersomnia, penambahan berat badan tanpa
peningkatan nafsu makan, konstipasi) atau hipertiroid, antara lain:
1. Berat badan turun, makannya banyak akan tetapi badan tetap kurus (Paradoxa
Muller)
2. Kulit basah (hiperhidrosis), telapak tangan terasa hangat/panas/lembab dan kulit
telapak tangan terasa halus akibat hipermetabolisme dan hiperhidrosis pada
kelenjar keringat. Penderita tidak tahan terhadap hawa panas lebih tahan terhadap
hawa dingin.
3. Takikardia, bila tidur nadinya tetap cepat, waspada ancaman atrial fibrilasi
4. Tremor, gejala ini hamper selalu ada. Suruh penderita meluruskan lengannya ke
depan dan merentangkan jari-jarinya, sambil memejamkan mata, diletakkan
sehelai kertas diatas jari-jarinya, maka akan terlihat ada atau tidak tremor
5. Eksoptalmus, hampir 50% penderita, bisa bilateral atau unilateral. Patofisiologi
belum jelas. Diduga akibat penambahan lemak dan infiltrasi limfosit retrobulbar
a. Eksoptalmus ringan: melebarnya fisura palpebra superior (Steilwag’s sign)
akibat retraksi otot palpebra superior. Apabila penderita kita suruh
mengikuti gerakan tangan ke atas dan ke bawah dengan agak cepat tampak
palpebra superior ketinggalan gerak.
b. Eksoptalmus sedang: bila penderita menundukkan kepala kemudian kita
suruh melirik ke atas, maka kerutan di dahi akan tampak sedikit sekali,
bahkan tidak ada (Joffroy’s sign)
c. Eksoptalmus berat: lemak retrobulber sudah menumpuk, ditambah edema
retrobulber, sehingga dijumpai gejala kongestif itraorbital. Optamoplegia,
kelemahan otot mata akibat protusi bola mata, sehingga bisa strabismus
atau diplopia. Pada fase lanjut geraka konvergensi bola mata terganggu
(Mobius’s sign)
6. Gelisah, hipermetabolisme system saraf membuat niali ambang saraf menurun,
sehingga penderita menjadi iritabel, timbul tremor halus, depresi
7. Diare, hipereristaltik pada sitem pencernaan, mengakibatkan absorbsi tidak
sempurna, dengan gejala akibatnya antara lain kekurangan vitamin dan mineral
8. Thyroid thrill, hipervaskular pada tiroid
9. Gangguan keseimbangan hormonal lain, gangguan pola menstruasi
10. Kelainan kulit, karena hipermetabolisme kulit, maka kulit hangat dan halus (fine
texture) dan karena vasodilatasi, bila digores akan membekas (dermografi).
11. Basal Metabolisme Rate (BMR). Pengukuran mengguanakan Spirometri (Oxygen
consumption rate) atau secara klinis kita bisa mengukur dengan rumus empiris: %
BMR = 0,75 {0,74(s-d)+n}-72
s = sistole, d = diatole, n = nadi
tensi dan nadi diukur pada keadaan basal
harga normal (-)10% sampai (+)10%
Biasanya penderita struma nodosa tidak mengalami keluhan karena tidak ada hipo
atau hipertiroidisme. Nodul mungkin tunggal tetapi kebanyakan berkembang menjadi
multinoduler yang tidak berfungsi. Degenerasi jaringan menyebabkan kista atau adenoma.
Karena pertumbuhannya sering berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala
kecuali benjolan di leher.
Sebagian besar penderita dengan struma nodosa dapat hidup dengan strumanya tanpa
keluhan. Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu pernafasan karena menonjol
ke depan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan trakea bila pembesarannya
bilateral. Struma nodosa unilateral dapat menyebabkan pendorongan sampai jauh ke arah
kontra lateral. Pendorongan demikian mungkin tidak mengakibatkan gangguan pernafasan.
Penyempitan yang berarti menyebabkan gangguan pernafasan sampai akhirnya terjadi
dispnea dengan stridor inspiratoar. Keluhan yang ada ialah rasa berat di leher. Sewaktu
menelan trakea naik untuk menutup laring dan epiglotis sehingga terasa berat karena
terfiksasi pada trakea.
Pemeriksaan fisik pada pasien struma dilakukan secara sistematis (urut dari atas ke
bawah), simetris (bandingkan kanan dan kiri), simultan (kanan dan kiri bersamaan). Secara
rutin harus dievaluasi juga keadaan kelenjar getah bening lehernya, adakah pembesaran,
dianjurkan penderita membuka bajunya.
Pemeriksaan pasien dengan struma dilakukan dari belakang kepala penderita sedikit
fleksi sehingga muskulus sternokleidomastoidea relaksasi, dengan demikan tiroid lebih
mudah dievaluasi dengan palpasi. Gunakan kedua tangan bersamaan dengan ibu jari posisi di
tengkuk penderita sedang keempat jari yang lain dari arah lateral mengeveluasi tiroid serta
mencari pole bawah kelenjar tiroid sewaktu penderita disuruh menelan.
Pada struma yang besar dan masuk retrosternal, maka tidak dapat diraba trakea dan
pole bawah tiroid. Kelenjar tiroid yang normal teraba sebagai bentukan yang lunak dan ikut
bergerak pada waktu menelan. Biasanya struma masih bisa digerakkan ke arah lateral dan
susah digerakkan ke arah vertikal. Struma menjadi terfiksir apabila sangat besar, keganasan
yang sudah menembus kapsul, tiroiditis dan sudah ada jaringan fibrosis setelah operasi.
Untuk memeriksa struma yang berasal dari satu lobus (misalnya lobus kiri penderita), maka
dilakukan dengan jari tangan kiri diletakkan di medial di bawah kartilago tiroid, lalu dorong
benjolan tersebut ke kanan. Kemudian ibujari tangan kanan diletakkan di permukaan anterior
benjolan. Keempat jari lainnya diletakkan pada tepi belakang muskulus
sternokleidomastoideus untuk meraba tepi lateral kelenjar tiroid tersebut.
Pada pemeriksaan fisik nodul harus dideskripsikan:
1. lokasi: lobus kanan, lobus kiri, ismus
2. ukuran: dalam sentimeter, diameter panjang
3. jumlah nodul: satu (uninodosa) atau lebih dari satu (multinodosa)
4. konsistensi: kistik, lunak, kenyal, keras
5. nyeri: ada nyeri atau tidak pada saat dilakukan palpasi
6. mobilitas: ada atau tidak perlekatan terhadap trakea, muskulus
sternokleidomastoideus
7. pembesaran kelenjar getah bening di sekitar tiroid: ada atau tidak
G. Pemerikasaan Penunjang Struma
Pemeriksaan yang digunakan dalam diagnosis penyakit tiroid terbagi atas:
1. Pemeriksaan laboratorium untuk mengukur fungsi tiroid: Pemerikasaan hormon
tiroid dan TSH paling sering menggunakan radioimmuno-assay (RIA) dan cara
enzyme-linked immuno-assay (ELISA) dalam serum atau plasma darah.
Pemeriksaan T4 total dikerjakan pada semua penderita penyakit tiroid, kadar
normal pada orang dewasa 60-150 nmol/L atau 50-120 ng/dL; T3 sangat
membantu untuk hipertiroidisme, kadar normal pada orang dewasa antara 1,0-2,6
nmol/L atau 0,65-1,7 ng/dL; TSH sangat membantu untuk mengetahui
hipotiroidisme primer di mana basal TSH meningkat 6 mU/L. Kadang-kadang
meningkat sampai 3 kali normal.
2. Pemeriksaan laboratorium untuk menunjukkan penyebab gangguan tiroid:
Antibodi terhadap macam-macam antigen tiroid ditemukan pada serum penderita
dengan penyakit tiroid autoimun.
- antibodi tiroglobulin
- antibodi mikrosomal
- antibodi antigen koloid ke dua (CA2 antibodies)
- antibodi permukaan sel (cell surface antibody)
- thyroid stimulating hormone antibody (TSA)
3. Pemeriksaan radiologis dengan foto rontgen dapat memperjelas adanya deviasi
trakea, atau pembesaran struma retrosternal yang pada umumnya secara klinis pun
sudah bisa diduga. Foto rontgen leher posisi AP dan Lateral diperlukan untuk
evaluasi kondisi jalan nafas sehubungan dengan intubasi anastesinya. Bahkan
tidak jarang untuk konfirmasi diagnostik tersebut sampai memerlukan CT-scan
leher.
4. USG bermanfaat pada pemeriksaan tiroid untuk:
 menentukan jumlah nodul
 membedakan antara lesi tiroid padat dan kistik,
 mengukur volume dari nodul tiroid
 mendeteksi adanya jaringan kanker tiroid residif yang tidak
 Untuk mengetahui lokasi dengan tepat benjolan tiroid yang akan
dilakukan biopsi terarah
 Dapat dipakai sebagai pengamatan lanjut hasil pengobatan.
5. Pemeriksaan dengan sidik tiroid sama dengan uji tangkap tiroid, yaitu dengan
prinsip daerah dengan fungsi yang lebih aktif akan menangkap radioaktivitas yang
lebih tinggi. Metabolisme hormon tiroid sangat erat hubungannya dengan yodium,
sehingga dengan yodium yang dimuati bahan radioaktif kita bisa mengamati
aktivitas kelenjar tiroid maupun bentuk lesinya.
6. Pemeriksaan histopatologis dengan biopsi jarum halus (fine needle aspiration
biopsy FNAB) akurasinya 80%. Hal ini perlu diingat agar jangan sampai
menentukan terapi definitif hanya berdasarkan hasil FNAB saja.
7. Pemeriksaan potong beku (VC = Vries coupe) pada operasi tiroidektomi
diperlukan untuk meyakinkan bahwa nodul yang dioperasi tersebut suatu
keganasan atau bukan. Lesi tiroid atau sisa tiroid yang dilakukan VC dilakukan
pemeriksaan patologi anatomis untuk memastikan proses ganas atau jinak serta
mengetahui jenis kelainan histopatologis dari nodul tiroid dengan parafin block.
8. Pemeriksaan lain
Tes fungsi paru dapat dilakukan bila ada gejala klinis kompresi trachea.
Perubahan karakteristik kompresi trachea ekternal asimptomatik dapat dideteksi
dengan flow-volume loop tracings. Laringoscop direct dapat juga digunakan
untuk mengetahui kompresi trachea.
Eutiroid : -11 - +23
Doubful : +24 - +39
Toksik : +40 - +80

H. Penatalaksanaan Stuma
Pilihan terapi nodul tiroid:
a. Terapi supresi dengan hormon levotirosin
b. Pembedahan
c. Iodium radioaktif

1. Terapi Supresi dengan Hormon Levothyroxine


Terapi dengan Levothyroxine (LT4) kombinasi dengan serum TSH (<0.1 µIU/mL)
masih dalam kontroversi. Tujuannya adalah untuk mengecilkan nodul tiroid dan mencegah
kembali munculnya nodul baru atau pertumbuhan kecil massa yang serupa dengan nodul
awal. (AME Guideline, 2006)
Beberapa laporan menyebutkan bahwa pengecilan nodul tiroid lebih sering terjadi
pada penderita dengan kombinasi terapi long-term-TSH di banding dengan penderita yang
tanpa kombinasi TSH. Lebih dari 50% kasus nodul dapat mengecil, tetapi jika hanya
dengan terapi Levothyroxine (LT4) saja maka persentase keberhasilannya hanya 20%.
(AME Guideline, 2006)
Pemberian Levothyroxine (LT4) hendaknya setengah sampai satu jam sebelum makan
(kondisi lambung kosong) agar absorbsinya maksimal. Disarankan agar minum tablet
Levothyroxine (LT4) dengan menggunan segelas air agar tablet lebih mudah larut dan
mudah terserap. Jangan mengkonsumsi tablet calcium, iron supplements, dan antasida
karena akan menghambat absorbsi obat Levothyroxine (LT4). Dosis maksimum yang
diberikan adalah 400 microgram per hari. (GNU-Wikipedia, 2007)
Saat ini, pengobatan Levothyroxine (LT4) secara rutin pada penderita dengan nodule
tiroid tidak direkomendasikan. Pengunaan Levothyroxine (LT4) harus dihindari pada
penderita: (1) dengan nodule yang besar (large nodule), (2) pada kasus long-standing
goiter, (3) jika level TSH <1 µIU/mL, (4) wanita post-menopause, (5) penderita usia lebih
dari 60 tahun, (6) penderita dengan osteoporosis, (7) penderita dengan penyakit
kardiovaskuler, dan (8) penderita dengan systemic illness. (AME Guideline, 2006)
Berikut ini adalah hal-hal penting lain yang perlu diperhatikan terhadap penggunaan
Levothyroxine (LT4), antara lain: Pengobatan dengan Levothyroxine (LT4) hanya
menunjukkan hasil klinis yang signifikan pada minoritas jumlah penderita dan variasi
respons-nya belum diketahui dengan baik. Pengobatan dengan Levothyroxine (LT4)
hendaknya tidak boleh terlalu suppressive karena akan menimbulkan adverse effect. Jika
nodul tiroid tidak mengecil dengan pemberian Levothyroxine (LT4), tindakan reaspiration
harus segera dilakukan. Pengobatan dengan Levothyroxine (LT4) tidaklah berguna untuk
tindakan pencegahan recurrent goiter pasca tindakan lobectomy. (AME Guideline, 2006)

2. Pembedahan
Operasi tiroid (tiroidektomi) merupaka operasi bersih dan tergolong operasi besar. Berapa
luas kelenjar tiroid yang akan diambil tergantung patologiya serta ada tidaknya
penyebaran dari karsinomanya. Ada 6 macam operasi, yaitu:
1. Lobektomi subtotal; pengangkatan sebagian lobus tiroid yang mengandung jaringan
patologis
2. Lobektomi total (Hemitiroidektomi, ismolobektomi); pengangkatan satu sisi lobus
tiroid
3. Tiroidektomi subtotal; pengangkatan sebagian kelenjar tiroid yang mengandung
jaringan patologis,meliputi kedua lobus tiroid
4. Tiroidektomi near total; pengangkatan seluruh lobus tiroid yang patologis berikut
sebagian besar lobus kontralateralnya.
5. Tiroidektomi total; pengangkatan seluruh kelenjar tiroid
6. Operasi yang sifatnya ”extended”:
a. Tiroidektomi total + laringektomi total
b. Tiroidektomi total + reseksi trakea
c. Tiroidektomi total + sternotomi
d. Tiroidektomi total + FND atau RND
Indikasi operasi pada struma adalah:
a. struma difus toksik yang gagal dengan terapi medikamentosa
b. struma uni atau multinodosa dengan kemungkinan keganasan
c. struma dengan gangguan tekanan
d. kosmetik.
Kontraindikasi operasi pada struma:
a. struma toksika yang belum dipersiapkan sebelumnya
b. struma dengan dekompensasi kordis dan penyakit sistemik yang lain yang
belum terkontrol
c. struma besar yang melekat erat ke jaringan leher sehingga sulit digerakkan
yang biasanya karena karsinoma. Karsinoma yang demikian biasanya sering
dari tipe anaplastik yang jelek prognosanya. Perlekatan pada trakea ataupun
laring dapat sekaligus dilakukan reseksi trakea atau laringektomi, tetapi
perlekatan dengan jaringan lunak leher yang luas sulit dilakukan eksisi yang
baik.
d. struma yang disertai dengan sindrom vena kava superior. Biasanya karena
metastase luas ke mediastinum, sukar eksisinya biarpun telah dilakukan
sternotomi, dan bila dipaksakan akan memberikan mortalitas yang tinggi dan
sering hasilnya tidak radikal

3. Terapi dengan Iodium Radioaktif (Radioiodine 131)


Pengobatan dengan radioiodine 131 diindikasikan untuk: (1) small goiter (volume
<100 mL), (2) tanpa ada kecurigaan malignancy, (3) penderita dengan riwayat operasi
sebelumnya, (4) penderita dengan resiko tindakan bedah. (AME Guideline, 2006)
Jika penderita mempunyai lesi nodul yang besar maka ia akan membutuhkan
radioiodine dalam jumlah banyak dan hal ini dapat menyebabkan terjadinya efek resiten
terhadap terapi. Satu satunya kontra indikasi prosedur ini adalah kehamilan dan laktasi,
yang bisa dideteksi segera dengan tes kehamilan pada penderita. (AME Guideline, 2006)
Terapi dengan radioiodine berhasil pada 85% - 100% penderita tiroid nodul. Masa
nodul dapat mengecil sebesar 35% setelah tiga bulan, bahkan mengecil sampai 45%
setelah 24 bulan terapi). Pengobatan ini efektif dan aman, meskipun penelitian lain
melaporkan bahwa pengunaan dosis tinggi dapat menyebabkan thyroid cancer, leukemia;
namun demikian, studi epidemiologi tidak menunjukkan efek klinis yang signifikan
terhadap timbulnya carcinoma dan leukemia. (AME Guideline, 2006)
Penggunaan high-iodine-content-drugs (misalnya: amiodarone) hendaknya dihindari
sebelum melakukan prosedur terapi dengan radioiodine, agar tidak mempengaruhi thyroid
radioiodine uptake. Jika mungkin, obat anti-tiroid hendaknya distop tiga mingu sebelim
prosedur pengobatan, dan tidak boleh diberikan selama 3-5 hari pasca prosedur terapi
dengan radioiodine, untuk mencegah menurunnya efektifitas terapi. (AME Guideline,
2006)
Jumlah radioiodine yang dipergunakan secara fixed adalah 300 – 1800 MBq, dosis ini
tanpa mempertimbangkan ukuran nodul. Sehinga prosedur ini simple, murah, dan hasilnya
memuaskan. (AME Guideline, 2006)
Prosedur ini dibilang berhasil jika nilai TSH mecapai 0,5 µIU/mL. Jika kondisi ini
belum tercapai, maka terapi dapat diulang setelah 3 sampai 6 bulan. (AME Guideline,
2006) .

Bila Sesuai hasil Biopsi Asspirasi Jarum Halus (BAJAH) ,maka terapi :
A : Ganas  operasi tirodektomi near total
B : Curiga  operasi dengan lebih dulu melakukan potong beku (VC)
o Bila hasil ganas  operasi tiroidektomi near total
o Bila hasil jinak  operasi lobektomi, atau tiroidektomi near total. alternatif :
sidik tiroid,bila hasil cold nodule  operasi
C : Tak cukup / sediaan tak representatif
o Jika nodul solid ( saat BAJAH ) : ulang BAJAH. Bila klinis curiga ganas tinggi
 operasi lobektomi Bila klinis curiga ganas rendah  observasi
o Jika nodul kistik (saat BAJAH ) : aspirasi Bila kista regresi  observasi Bila
kista rekurens,klinis curiga ganas rendah  observasi Bila kista rekurens,klinis
curiga ganas tinggi  operasi lobektomi
D : jinak  terapi dengan levo-tiroksin ( LT 4) dosis subtoksis .
o Dosis dititrasi mulai 2 x 25 ug ( 3 hari Dilanjutkan 3 x 25 ug ( 3 – 4 hari )
o Bila tidak ada efek samping atau tanda toksis:dosis - menjadi 2 x 100 ug sampai
4-6 minggu , kemudian evaluasi TSH ( target 0,1 - 0,3 ulU /L)
o Supresi TSH dipertahankan selama 6 bulan
o Evaluasi dengan USG : apakah nodul berhasil mengecil atau tidak ( berhasil bila
mengecil > 50 % dari volume awal )

o Bila nodul mengecil atau tetap  L – tiroksin dihentikan dan diobservasi


o Bila setelah itu struma membesar lagi  L-tiroksin dimulsi lagi(target TSH 0,1-
0,3 ul U/L)
o Bila setelah 1- tiroksin dihentikan ,struma tidak berubah  diobservasi.
o Bila nodul membesar dalam 6 bulan atau saat terapi supresi  obat dihentikan
dan operasi tiroidektomi dan dilakukan pemeriksaan histopatologi
Hasil PA
Jinak : terapi dengan L_tiroksin ; target TSH 0,5 – 3,0 uI U/L
Ganas : terapi L-tiroksin
• Individu dengan risiko ganas tinggi :target TSH < 0,01 – 0,05 uI U/L
• Individu dengan risiko ganas rendah : target TSH 0,05 – 0,1 uI U /L

I. Komplikasi Tiroidektomi
Pada tindakan operasi tiroidektomi, bisa dijumpai komplikasi awal dan lanjut.
Disamping itu ada pula yang membagi komplikasi yang terjadi dalam metabolik dan non
metabolik. Komplikasi awal antara lain:
a. perdarahan
b. paralise n. laringeus rekuren, paralise n. rekuren superior
c. trakeomalasia
d. infeksi
e. tetani hipokalsemia
f. krisis tiroid (thyroid storm)
Sedangkan komplikasi lanjut berupa:
a. keloid;
b. hipotiroiditi;
c. hipertiroiditi yang kambuh
J. Diagnosis Banding
a. Colloid goiter
b. Tiroiditispenyakit autoimun misal Tiroiditis Hashimoto
c. Dishormogenetik Goiterdefisiensi enzim kongenital
d. Struma Reidelidiopatik
e. Neoplasma
BAB III

KESIMPULAN

Struma adalah suatu penyakit yang sering kita jumpai sehari-hari. Sangat penting
untuk melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti dan cermat untuk mengetahui
ada tidaknya tanda-tanda toksisitas yang disebabkan oleh perubahan kadar hormon tiroid
dalam tubuh. Begitu juga dengan tanda-tanda keganasan yang dapat diketahui secara dini.

Selanjutnya adalah menentukan pemeriksaan penunjang yang tepat untuk menentukan


diagnosis pasti dari jenis struma yang ada. Dengan menegakkan diagnosis pasti maka kita
dapat mnentukkan tatalaksana yang tepat bagi struma yang dialami oleh pasie. Apakah
memerlukan tindakan pembedahan, atau cukup diberi pengobatan dalam jangka waktu
tertentu.

Anda mungkin juga menyukai