I. Identitas Pasien
Nama : Tn. J
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 18 tahun
Alamat :
Pekerjaan :-
Status : Belum menikah
Tanggal masuk :
II. Anamnesis
Keluhan utama : Bengkak di belakang telinga kiri, bernanah, dan
berbau.
Keluhan tambahan : Keluar cairan dari telinga kiri terkadang darah, telinga
berdengung, pendengaran berkurang, demam
2
Thorax
Inspeksi : Simetris bilateral saat statis dan dinamis
Palpasi : NT (-), massa (-)
Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+), wheezing (-/-), Rhonki (-/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tida tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : BJ 1 & 2 reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : Perut simetris
Palpasi : NT (-), batas hepar normal, massa (-)
Perkusi : Timpani (-)
Auskultasi : Bising usus (+)
Ekstremitas : akral hangat, udema kaki (-/-)
Status Lokalis
Pemeriksaan Telinga
Auric
Bagian Kelainan
Sinistra Dextra
Bentuk telinga Normotia
Aurikula Kelainan kongenital - -
Peradangan - -
Massa - -
Nyeri tarik - -
Nyeri tekan tragus - -
Preaurikuler & Kelainan kongenital - -
retroaurikuler Peradangan + -
Massa - -
Edema + -
Sikatrik - -
Fistula + -
Pembesaran KGB - -
Nyeri tekan + -
Liang telinga Kelainan kongenital - -
luar Peradangan + -
Massa - -
3
Edema - -
Fistula - -
Kelainan kulit - -
Sekret + -
Serumen + +
Membran Kondisi Sulit Intak
timpani Cone of light di nilai +
refleks cahaya
arah jam 5
Pemeriksaan Pendengaran
Pemeriksaan Hidung
Kavum Nasi
Pemeriksaan
Dextra Sinistra
Inspeksi
Bentuk Tampak Simetris kanan dan kiri
Sikatrik - -
Hematom - -
Racoon’s eye - -
Palpasi
Nyeri tekan sinus paranasal - -
Krepitasi - -
Massa - -
Rhinoscopy anterior
Cavum nasi Sekret (+) Sekret (+)
Mukosa cavum nasi Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Edema (-) Edema (-)
4
Sekret - -
Konka inferior Hipermis (-) Hipermis (-)
Hipertrofi (-) Hipertrofi (-)
Konka media Hipermis (-) Hipermis (-)
Hipertrofi (-) Hipertrofi (-)
Meatus inferior Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Meatus media Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Massa (-) Massa (-)
Septum anterior Deviasi (-) Deviasi (-)
Rhinoscopy posterior
Nasofaring
Koana
Konka superior
Tidak dilakukan pemeriksaan
Konka media
Kelenjar adenoid
Massa
Pemeriksaan Tenggorok
Pemeriksaan Kondisi
Faring & Rongga Mulut
Bibir Sianosis (-)
Mukosa mulut Hiperemis (-)
Lidah Normal
Gusi Normal
Gigi berlubang Kiri atas
Palatum durum Hipermis (-)
Palatum mole Hipermis (-)
Uvula Hipermis (-), Deviasi (-)
Arkus faring Hipermis (-), Simetris
Tonsil Normal, T1 – T1
Hipofaring & Laring
Pita suara Hipermis (-), Deviasi (-), massa (-)
Epiglottis Hipermis (-)
Esophagus Lapang
5
IV. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium 4/12/2017
Hasil Nilai Normal
CT 7 menit 5 - 15
Rontgen
6
Uraian Hasil Pemeriksaan
- Sel mastoid sinistra tampak kabur, dextra tampak normal
- Tampak lesi lusen dan obstruksi pada mastoid sinistra
Kesan:
- Mastoiditis sinistra disertai cholesteatoma
V. Diagnosis
Diagnosis Kerja : Mastoiditis kronik
VI. Penatalaksanaan
Pro Mastoidektomi
Cefixime 2x100 mg
Asam Mefenamat 3x500 mg
VII. Prognosis
Quo Ad Vitam : ad bonam
Quo Ad Functionam : Dubia ad malam
Quo Ad Sanationam : Dubia
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Mastoiditis
1.1 Definisi
1.2 Etiologi
Mastoiditis biasanya disebabkan oleh infeksi telinga tengah. Infeksi ini mungkin
menyebar dari telinga ke tulang mastoid dari tengkorak. Tulang mastoid terisi oleh
bahan-bahan infeksious dan struktur seperti sarang lebah ini dapat mengalami
kerusakan. Mastoiditis dapat terjadi pada pasien-pasien imunosupresi atau pada
mereka yang mengabaikan Otitis Media Akut yang dideritanya.
Berbagai jenis bakteri yang menyebabkan infeksi adalah Streptococcus (utamanya
yang group A hemolytic Streptococcus, streptococcus pneumonia dan streptococcus
Aureus) dan Haemophylus Influenza, menyebabkan 65%-85% kasus dari keseluruhan
mastoiditis akibat infeksi bakteri.
Selain itu kurang dalam menjaga kebersihan pada telinga seperti masuknya air
ke dalam telinga serta bakteri yang masuk dan bersarang yang kemudian dapat
8
menyebabkan infeksi traktus respiratorius. Pada pemeriksaan telinga akan
menunjukkan bahwa terdapat pus yang berbau busuk akibat infeksi traktus
respiratorius.
Beberapa hal yang mempengaruhi berat dan ringannya penyakit adalah faktor
tubuh penderita (imunitas) dan faktor dari bakteri itu sendiri. Dapat dilihat dari angka
kejadian anak-anak yang biasanya berumur di bawah dua tahun, pada usia inilah
imunitas belum baik. Beberapa faktor lainnya seperti bentuk tulang, dan jarak antar
organ juga dapat menyebabkan timbulnya penyakit.
1.3 Klasifikasi
1. Acute mastoiditis, biasa terjadi pada anak-anak, sebagai komplikasi dari otitis
telinga kronis.
mastoid.
9
1.4 Patofisiologi
10
1.5 Manifestasi Klinis
1. Febris / subfebris
4. Kadang timbul suara berdenging pada satu sisi telinga atau keduanya.
1.6 Diagnosis
Trias klasik dari Mastoiditis, terdiri dari aurikula yang menojol dengan
pembengkakan retroaurikuler, tenderness di daerah mastoid dan otore. Mastoiditis
harus dicurigai pada kasus dimana OMA gagal membaik atau bahkan memburuk
lebih dari periode 2-3 minggu. Pada pemeriksaan otoskopi, akan terlihat tanda-tanda
dari otitis media akut atau subakut dengan atau tanpa perforasi membran timpani.
Dinding posterior dari meatus akustikus eksternus dapat menjadi eritematous dan
membengkak (dinding posterior kanal menurun). Diagnosis yang terbaik adalah
menggunakan CT-Scan karena dapat juga mendeteksi komplikasi lainnya dengan
baik. Selain sel udara mastoid dan ruang telinga tengah terlihat berawan, CT-Scan
juga dapat memperlihatkan erosi pada struktur tulang mastoid. Parameter inflamasi
seperti WBC (Whole Blood Cell count), CRP (C-Reactive Protein), dan Laju endap
darah meningkat secara nyata. Kultur dari cairan yang keluar dari telinga juga dapat
dilakukan untuk mengetahui bakteri yang menginfeksi.
11
1.7 Diagnosis Banding
1.8 Terapi
1. Medikamentosa
Antibiotik
Diawali dengan pemberian suntikan (intravena) antibiotik, selama 24-48 jam,
dilanjutkan dengan antibiotik per-oral, minimal selama 2 minggu. Antibiotik yang
diberikan berdasarkan hasil kultur dan sensitifitas. Jika pemberian antibiotik tidak
berhasil, maka dilakukan mastoidektomi. Antibiotik yang sering dipakai adalah
cephalosporin karena efektif dan efisien dalam penggunaannya serta merupakan
antibiotik sprektum luas untuk bakteri gram negatif.
Antibiotik dapat membantu dalam mengatasi eksaserbasi akut otitis media
kronik. Namun antibiotik tidak sepenuhnya berguna untuk mengobati penyakit ini,
sebab dari definisinya, otitis media kronik berarti telah ada perubahan patologi yang
membandel, dan antibiotika tidak terbukti bermanfaat dalam penyembuhan kelainan
ini. Jika direncanakan tindakan bedah, maka pemberian antibiotik sistemik bebrapa
minggu sebelum operasi dapat mengurangi atau menghentikan supurasi aktif dan
memperbaiki hasil pembedahan.
Terapi konservatif untuk otitis media kronik pada dasarnya berupa nasihat
untuk menjaga telinga agar tetap kering, serta pembersihan telinga dengan penghisap
secara berhati-hati. Untuk membersihkan dapat digunakan hidrogen peroksida atau
alkohol dengan menggunakan aplikator kawat berujung kapas untuk mengangkat
12
jaringan yang sakit dan supurasi yang tidak berhasil keluar. Kemudian dapat
diberikan bubuk atau obat tetes yang biasanya mengandung antibiotik dan steroid.
Obat-obat simptomatik seperti analgesik, misalnya asam mefenamat dan
antipiretik, contohnya paracetamol untuk mengatasi gajala pasien.
2. Mastoidektomi
Tindakan pembedahan untuk membuang jaringan yang terinfeksi diperlukan jika
tidak ada respon terhadap pengobatan antibiotik selama beberapa hari. Mastoidektomi
radikal/total yang sederhana atau yang dimodifikasi dengan tympanoplasty
dilaksanakan untuk memulihkan ossicles dan membran timpani sebagai suatu usaha
untuk memulihkan pendengaran. Tujuan mastoidektomi selain untuk memperbaiki
pendengaran pasien, adalah untuk menghilangkan jaringan infeksi, menciptakan
telinga yang kering dan aman. Pada mastoidektomi seluruh jaringan yang terinfeksi
harus dibuang sehingga infeksi tidak menyebar ke struktur atau bagian yang lain.
13
b) Mastoidektomi Radikal
Operasi ini dilakukan pada OMSK tipe bahaya dengan infeksi atau Kolesteatoma
yang sudah meluas. Pada operasi ini, rongga mastoid dan kavum timpani dibersihkan
dari semua jaringan patologik. Dinding batas antara liang telinga luar dan telinga
tengah dengan rongga mastoid diruntuhkan, sehingga ketiga daerah anatomi tersebut
menjadi satu ruangan. Tujuan operasi ini adalah untuk membuang semua jaringan
patologik dan mencegah komplikasi ke intrakranial. Fungsi pendengaran tidak
diperbaiki.
Kerugian operasi ini adalah pasien tidak diperbolehkan berenang seumur
hidupnya. Pasien harus datang dengan teratur untuk kontrol, supaya tidak terjadi
infeksi kembali. Pendengaran berkurang sekali, sehingga dapat menghambat
pendidikan atau karier pasien. Modifikasi operasi ini adalah dengan memasang tandur
(graft) pada rongga operasi serta membuat meatoplasti yang lebar, sehingga rongga
operasi kering permanen, tetapi terdapat cacat anatomi, yaitu meatus liang telinga
luar menjadi lebar.
14
1.9 Komplikasi
Komplikasi terjadi akibat adanya migrasi agen penginfeksi dari rongga mastoid
menuju jaringan tulang atau aliran darah di sekitarnya. Komplikasi otogenik lain
dapat terjadi akibat dari Mastoiditis, dan juga resiko untuk terjadinya komplikasi
tambahan lain juga meningkat. Komplikasi tersebut adalah :
Ke bagian periosteum dari tulang temporal menyebabkan subperiosteal abscess
Meluas ke bagian posterior menyebabkan septic thrombosis di sinus lateral
Menyerang ke bagian ujung mastoid (tip of mastoid) menyebabkan deep neck
abscess.
Komplikasi ke sistem saraf terjadi kerusakan di saraf abducens dan syaraf-syaraf
kranial wajah (syaraf-syaraf kranial VI dan VII), menurunnya kemampuan pasien
untuk melihat ke arah samping atau lateral (syaraf kranial VI) dan menyebabkan
mulut mencong, seolah-olah ke samping (syaraf kranial VII).
15
1.10 Prognosis
Mastoiditis merupakan penyakit yang dapat disembuhkan dengan terapi yang
cepat dan tepat. Tetapi, penyakit ini dapat menjadi sulit untuk diterapi dan dapat
berulang.
16
DAFTAR PUSTAKA
Adams GL,Boeis LR, Higler PA. Buku Ajar Penyakit THT BOEIS Edisi
keenam:Anatomi dan Fisiologi Telinga.Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.1997.p; 30-38.
Alsagaff H., Saleh T., 2003. Diagnosis dan Terapi Penyakit Telinga Hidung dan
Tenggorok. Surabaya: Airlangga University Press
Soepardi, E. A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., Restuti, R. D. 2014. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Ed. 7. Jakarta: FKUI.
Tanto Chris, Frans Liwang, Sonia Hanifani, dan Eka Adip P. 2014. Kapita Selekta
Kedokteran. Edisi IV Jilid II. Jakarta: Media Aesculapius.
17