Mayarakat Baduy merupakan salah satu suku di Indonesia yang sampai sekarang masih
mempertahankan nilai-nilai budaya yang diyakininya. Mereka bermukim tepat di kaki
pegunungan Kendeng di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi
Banten, yang berjarak 40 km dari Kota Rangkasbitung. Wilayah yang merupakan bagian dari
Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300-600 mdpl tersebut memiliki topografi berbukit
dan bergelombang dengan kemiringan rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah
vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian
selatan). Suhu udara rata-rata mencapai 20˚C (Suparmini dkk, 2013).
Keseragaman bercocok tanam merupakan salah satu budaya yang terdapat pada
masyarakat Baduy. Masyarakat Baduy bercocok tanam dengan berladang (ngahuma).
Berladang merupakan salah satu mata pencaharian utama sekaligus kewajiban agama mereka,
yaitu Sunda wiwitan atau Sunda asli. Sistem perladangan masyarakat Baduy adalah ladang
berpindah dengan masa istirahat (bera) lima tahun. Disekitar kampung masyarakat Baduy
terdapat lahan yang ditanami berbagai jenis tumbuhan kayu dan buah, lahan tersebut disebut
dengan dukuh lembur. Lahan dukuh lembur ditempatkan sebagai lumbung-lumbung padi
(leuit) dan permukiman, sehingga leuit dan permukiman tersebut berada di bawah naungan
kerimbunan vegetasi dukuh lembur.
Lahan ladang (huma) pada umumnya merupakan lahan hutan sekunder tua yang
biasanya ditanami oleh padi gogo, sedangkan reuma adalah lahan hutan sekunder tua yang
sedang diistirahatkan (bera), yang nantinya akan mengalami suksesi alami membentuk hutan
sekunder tua. Berikut adalah jenis tanaman yang ditanam oleh masyarakat Baduy pada huma
dan reuma.
Gambar 1 Huma yang ditanami padi gogo di sepanjang jalur menuju Baduy Dalam
Gambar 2 Reuma disepanjang jalur menuju Baduy Dalam (kiri) dan Baduy Luar (kanan)
Pembagian Ladang
Pada masyarakat Baduy, terdapat pembagian ladang yang diterapkan oleh masyarakat
Baduy Dalam dan Luar. Untuk masyarakat Baduy Dalam, pembagian ladang terbagi menjadi
empat, yaitu huma serang, huma puun, huma tangtu, dan huma girang seurat. Sedangkan
untuk pembagian ladang pada Baduy Luar dan Dangka terbagi menjadi dua, yaitu huma jaro
dangka/tauladan dan huma panamping (Iskandar, 2012).
a. Huma Serang
Merupakan ladang adat kepunyaan bersama. Penggarapan huma ini dikerjakan secara
bersama-sama oleh masyarakat Baduy Dalam (tangtu), Baduy Luar (panamping), dan
Dangka yang dipimpin oleh seorang puun (ketua adat). Dari segi pengerjaannya, huma
serang dikerjakan paling awal mendahului pengerjaan huma lainnya. Lokasi huma serang
berada di Baduy Dalam, yaitu kampung Cibeo, Ciketawarna, dan Cikeusik.
b. Huma Puun
Merupakan ladang yang dimiliki oleh puun (ketua adat). Penggarapannya dikelola oleh
keluarga puun, tetapi biasanya dibantu oleh tenaga kerja keluarga lainnya.
c. Huma Tangtu
Merupakan ladang yang dimiliki oleh setiap keluarga Baduy Dalam (tangtu).
Penggrapannya menggunakan tenaga kerja kekeluargaan dan upah buruh.
f. Huma Panamping
Merupakan huma untuk keperluan penduduk Baduy Luar dan Dangka. Letak huma
panamping ditentukan sendiri oleh kepala keluarga bersama anak laki-lakinya yang sudah
cukup dewasa. Setiap keluarga diberikan kebebasan mancari lahan dan menentukan luas
lahan sesuai dengan kemauan dan kemampuannya. Letak huma panamping biasanya dekat
dengan kampung, namun ada juga yang jauh dari kampung. Rata-rata luas lahan huma
panamping berkisar 0.5 – 1.5 ha dan jaraknya dari kampung antara 0.5 – 5 km (Pratami,
2014).
Penggarapan Huma
Perladangan dimulai pada bulan Sapar, dengan melakukan kegiatan narawas, yaitu
kegiatan mencari atau memilih lahan untuk dijadikan huma. Lahan yang biasanya huma
berupa reuma (hutan sekunder tua) yang telah diistirahatkan (bera) cukup lama, yaitu sekitar
3 – 5 tahun.
Menurut pengetahuan masyarakat Baduy, pemilihan lahan huma dilihat berdasarkan
jenis tanah, kandungan humus, jenis tanaman, dan kemiringan lereng. Dari segi kemiringan
lereng, lahan huma yang baik adalah lahan datar (cepak), namun karena bentuk permukaan
lahan di wilayah Baduy jarang sekali ditemukan tanah datar, umunya huma ditemukan di
lahan yang miring (gedeng). Lahan gedeng tersebut dibuat penahan berupa potongan kayu
untuk mencegah humus tanah tidak terbawa air hujan.
Kegiatan selanjutnya adalah nyacar, yaitu kegiatan menebas rumput dan semak
belukar, menebang pohon-pohon kecil, dan memangkas dahan-dahan pohon yang besar.
Kegiatan ini dilakukan pada bulan untuk di huma serang, bulan Kalima di huma puun, dan
bulan Kadalapan di huma tangtu, tauladan, dan panamping.
Setelah kegiatan nyacar dilanjutkan dengan kegiatan nukuh. Nukuh merupakan
kegiatan mengeringkan lahan dengan menjemur hasil tebasan rumput, dahan, dan ranting
menjadi beberapa tumpukan untuk dibakar. Kegiatan ini dilakukan pada bulan Kanem di
huma serang, bulan Kapitu di huma puun, dan bulan Kadalapan di huma tangtu, tauladan,
dan panamping.
Setelah kegiatan nukuh selesai, kegiatan selanjutnya adalah ngadruk, yaitu kegiatan
membakar sampah yang telah dikumpulkan pada kegiatan nukuh. Kegiatan ini dilakukan
pada bulan Kapitu di huma serang, bulan Kadalapan di huma puun, dan bulan Kasalapan di
huma tangtu, tauladan, dan panamping.
Setelah kegiatan ngadruk, selamjutnya adalah kegiatan ngaseuk dengan acuan ketika
bintang kidang memuncak pada waktu subuh. Ngaseuk merupakan membuat lubang kecil
dengan menggunakan tongkat kayu (aseukan) untuk menanam padi. Rangkaian kegiatan
ngaseuk dimulai di huma serang pada bulan Kapitu, lalu huma puun pada bulan Kadalaan,
dan terakhir huma tangtu, huma tauladan, dan huma panamping pada bulan Kasalapan.
Pada saat benih padi mulai tumbuh, dilakukan kegiatan membersihkan dan menyiangi
rumput atau tumbuhan liar di sela-sela tanaman padi. Kegiatan ini dinamakan ngored.
Kegiatan ngored biasanya dilakukan pada bulan Kasalapan di huma serang, bulan Kasapuluh
di huma puun, dan bulan Hapit Lemah di huma tangtu, huma tauladan, dan huma
panamping.
Kegiatan lain yang biasanya bersamaan dengan kegiatan ngored yaitu ngirab sawan.
Ngirab sawan merupakan membuang atau membersihkan sampah bekas ranting dan daun
yang mengganggu tanaman padi yang sedang tumbuh. Kegiatan ini dilakukan di bulan
Kasapuluh di huma serang, bulan Hapit Lemah di huma puun, dan bulan Hapit Kayu di huma
tangtu, huma tauladan, dan huma panamping.
Ketika bulir padi sudah penuh berisi dan siap dipanen, maka dilakukan kegiatan mipit.
Mipit merupakan kegiatan memetik atau menuai padi pertama kali. Rangkaian kegiatan mipit
dilakukan pertama kali di huma serang pada bulan Kasa, dilanjutkan di huma puun pada
bulan Karo, dan akhirnya di huma tangtu, tauladan, dan panamping pada bulan Katiga.
Gambar 3 Kegiatan pertanian dan kaitannya dengan upacara adat
Sumber: Pratami 2014
Referensi
Iskandar J. 2012. Ekologi Perladangan Orang Baduy: Pengelolaan Hutan Berbasis Adat
Secara Berkelanjutan. Bandung (ID): PT Alumni.
Pratami D. 2014. Perencanaan lanskap konservasi budaya suku Baduy luar dan Dangka
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.