Anda di halaman 1dari 211

Prologue

[EDITED]

Cantika memerhatikan tatanan rambutnya di depan cermin yang berada di toilet


perempuan, kemudian menyisirnya dengan jari-jari tangannya. Membenarkan letak
kacamatanya setelah tadi selesai membasuh wajahnya dengan obat dari dokter.
Berharap setidaknya wajahnya terlihat cerah sedikit walau tak memungkinkan untuk
menghilangkan jerawat di wajahnya.

Kemudian tangannya meraih tupperware berwarna merah kesukaannya di pojok wastafel


yang sengaja ia hindari agar tak terkena cipratan air, dan berjalan keluar toilet kala
sesuatu menghentikan langkahnya. Ia lupa sesuatu, tapi apa itu ia lupa.

"Cantika!"

Dan itulah yang terlupakan olehnya. Sahabat sejati sekaligus satu-satunya makhluk di
dunia yang mau berteman dengannya.

Cantika berbalik dan mendapati Zanufa di sana, baru saja keluar dari salah satu bilik
kamar mandi dengan wajah yang di tekuk--memergoki bawasanya Cantika hendak
meninggalkannya. Sementara si tersangka hanya terkekeh pelan di tempatnya.

"Ayo ah jangan ngambek," ajak Cantika namun Zanufa tak kurun bergerak. Gemas
akhirnya ia masuk kembali dan menarik pergelangan tangan Zanufa untuk segera keluar
toilet dan menuju lapangan.

Zanufa menunggu di depan perpustakaan yang berada di koridor pinggir lapangan,


seperti yang selalu ia lakukan, menunggu Cantika yang tak pernah menyerah sedikitpun
untuk menghampiri pujaan hatinya, Revano Prasetya.

Cantika memberikan kotak makanannya tadi kepada Vano yang tengah beristirahat
sejenak dari kegiatannya bermain futsal, dan lagi, Cantika mendapatkan begitu banyak
hujatan yang menilai dirinya begitu percaya diri dengan penampilan 'nggak banget'
miliknya.

Vano menatapnya datar, antara kesal dan benci kala gadis ini membuatnya lagi-lagi harus
menjadi sorotan, dimana Vano benci untuk menjadi sorotan.

"Ngaca lu bego!"

"Muka kayak tatakan sendal aja gaya-gayaan!"

"Woy urat malu lo putus apa gimana!?"

Cantika meneguk salivanya sementara tangannya tetap terjulur untuk memberikan kotak
makannya kepada Vano. Ia menundukkan kepalanya, tak berani menatap Vano yang
semula tengah tertawa bersama temannya namun berubah drastis kala dirinya datang
menghampiri.
Tangan Vano dengan cepat meraih kotak makan Cantika dan langsung berbalik tanpa
mengucap sepatah katapun. Berjalan menuju kumpulan teman-temannya yang semula
tengah bermain futsal dan kini malah menggosip berjamaah, menatapnya dengan tatapan
meledek. Itu semua membuat Vano geram, dan ia langsung melempar kotak makan
Cantika ke bawah dengan cukup keras tanpa memperdulikan segala tatapan dari banyak
siswa yang menonton kejadian ini.

Air mata sudah mengambang di pelupuk mata Cantika, ia dengan cepat berbalik dan
berlari menuju Zanufa yang melihat semua kejadian itu. Zanufa meringis dalam hati.

Cantika menghampiri dan langsung memeluknya, Zanufa lantas membalas dan mengusap
puncak kepalanya.

"Lagi?" tanya Zanufa, Cantika mengangguk di antara bahu dan lehernya.

"Perjuangin cinta nggak mudah, Tik. Apalagi ngedapetinnya. Ada aja cobaan."

Cantika menjauhkan tubuhnya dari Zanufa kala pernyataan itu menggema. Ia menatap
sahabatnya itu lekat-lekat.

"Dan oleh karena itu, gue bakalan terus berjuang buat cinta gue. Berjuang seolah dia itu
adalah nafas gue yang menjadi alasan gue untuk hidup."

"Walaupun lo tersakiti?"

"Ya, walaupun gue di sakiti."

× Vapor ×

Hembusan • 01

[EDITED]

BUKU SATU

• HEMBUSAN •

1. Kali Pertama.

Hujan.

Adalah hal yang paling tidak disukai oleh hampir seluruh orang terlebih lagi yang tinggal
di Ibukota Jakarta. Salah satu alasannya adalah karena menghambat pergerakkan yang
disebabkan oleh air-air itu, walaupun sadar kalau tanpa hujan mereka tak akan bisa hidup
karena keringnya air.

Kali ini hujan mengguyur kota administrasi Jakarta Selatan, entah terjadi pula di kota
lain atau tidak, intinya disinilah sekarang Cantika berdiri, di depan gerbang sekolahannya
yang masih tertutup bagian atapnya untuk menghindari rintik hujan yang cukup deras
dari langit.

Sekolah mulai sepi karena ini sudah menginjak pukul empat sore, ditambah lagi orang tua
yang khawatir pun langsung menjemput anak-anaknya.

Begitu juga dengan Zanufa yang sudah pamit di awal tadi karena Ayahnya datang
menjemput. Cantika menolak secara halus kala di tawari menebeng di mobil ayah Zanufa
sampai rumah agar tak terlalu sore sampai di rumah, tetapi Cantika bilang tidak apa-apa
karena ia ada yang menjemput setelah ini.

Namun, pada nyatanya sama sekali tidak ada yang menjemput Cantika. Yang Cantika
lakukan disini hanyalah menunggu sampai hujan menjadi sedikit reda dan ia akan berjalan
ke depan komplek untuk naik ojek sampai rumah, seperti yang biasa dia lakukan kala
pulang sekolah.

Orang tuanya bahkan terlalu sibuk hingga tak dapat menjemputnya. Paling-paling hanya
di antar karena sama-sama berangkat kelampau pagi.

Cantika juga hanya memiliki satu saudara, kakaknya itu laki-laki, satu tahun diatas
Cantika dan berbeda sekolah pula, jarak sekolahnya pun cukup jauh sehingga Cantika tak
mau merepotkan untuk meminta kepada kakaknya agar di jemput. Belum lagi kakaknya
yang memiliki jadwal padat sepulang sekolah.

Pandangan kosong Cantika yang sedaritadi menerawang kini teralihkan kala dirasa ponsel
disakunya bergetar.

"Halo?"

Cantika main asal menjawab tanpa melihat si penelpon terlebih dahulu.

"Dimana dek?"

Rupanya itu Claudio, kakak laki-laki Cantika.

Perempuan yang tampangnya sudah mulai sedikit pucat karena kedinginan itupun berfikir
dua kali sebelum menjawab, agak bimbang antara menjawab jujur atau tidak.

"Di sekolah, bang." Dan akhirnya pilihan jatuh ke pihak jujur, sehingga ia mengatakan
kebenarannya. Aktingnya sangat buruk di depan Claudio dan pasti dengan segera Claudio
akan sadar walau hanya berhubungan lewat telepon sekalipun.

"Disitu aja ya, abang jemput."

"Gausa--"

Tut tut.

Baru saja Cantika hendak menjawab, namun panggilan sudah terputus. Lebih tepatnya di
putuskan oleh sebelah pihak: Claudio.
"Yang namanya Claudio Adrian itu emang paling semena-mena deh ya," gerutu Cantika,
memasukkan ponselnya kedalam seragam putih-putih miliknya.

Byur!

"Ffffffffuckhhh!" geram Cantika kala baru saja ada mobil yang lewat dan menyipratkan
cairan-cairan kotor akibat air hujan yang bercampur dengan tanah atau apapun yang
bersentuhan dibawah ke arah seragamnya. Dan jadilah dirinya sekarang yang begitu
lengkap kehancurannya. Tak hanya di muka namun hingga ke pakaiannya pun turut hancur.

Tak jauh dari posisi si gadis menyedihkan, mobil itu berhenti dan mundur kembali hingga
berada tepat di hadapannya. Dan sontak kaca mobil pun terbuka, menampilkan sosok
cantik yang duduk di kursi kemudi, dan yang lainnya di kursi penumpang serta merta yang
di belakang.

"Hai, Cantik."

Yang duduk di kursi kemudi angkat bicara dengan nada mencemooh. Cantika menghela
nafasnya panjang. Perempuan itu adalah kakak kelas Cantika--Terre namanya--dan semua
yang berada di dalam mobil sana. Anak-anak eksis karena tampang mereka dan anak dari
orang kaya yang hobby menghamburkan uang milik orang tua. Jangan lupakan satu fakta
kalau mereka semua itu anak ekskul cheers.

"Kenapa kak?" tanya Cantika dengan nada ogah-ogahan.

Dia sama sekali tidak perduli dengan kakak kelas semacam mereka itu, tapi hanya satu
yang ia takuti yaitu di permalukan di depan umum. Sudah cukup satu kali saja Terre
menyelengkat kakinya saat tengah berjalan menuju kantin, dan tepat saat itu juga Vano
lewat dan sepertinya dugaan Cantika bahwa cowok yang ditaksirnya itu menyaksikan
semuanya adalah benar. Karena Terre sama sekali tidak suka kalau ada yang mengganggu
atau mendekati Vano, barang sedikitpun. Cantika bingung kenapa harus seperti itu, setau
Cantika mereka bukan pacar atau apapun, dan lagi kenapa harus takut kalau Cantika yang
mendekati? Toh ia tak ada apa-apanya.

"Ow, galak sekali. Aku takuuttt," ledek cewek yang duduk di kursi penumpang, rambut
kemerahannya menyala-nyala. Tiara namanya.

"Bajunya abis ini di cuci sendiri ya dek? Kasian gak mampu laundry."

Ingin sekali ia menjambak mulut Terre yang baru saja berkata dengan semena-mena.
Rasanya ia ingin menangis kala mengingat dirinya bahkan tak dapat berkutik sedikitpun.
Cantika mendengus kesal kala mereka hendak berjalan melajukan lagi mobilnya, namun
kembali berhenti. Itu semua membuat Cantika merasa was-was, takut kalau mereka
berbuat yang aneh-aneh lagi.
Tangan Cantika sesekali menggesuh kotoran yang menempel pada roknya, walau ia yakin
tak akan berpengaruh tetapi ia tetap mencoba. Sampai ia sadar kalau mobil milik Terre
tetap pada posisinya dan tak bergerak.

Mogok? Yakali, hahahaha.

Pikiran Cantika baru saja menghayal yang tidak-tidak kala tiba-tiba saja Claudio muncul
dan menarik tangannya, berjalan melewati mobil Terre dan menuju belokkan dimana
mobilnya terparkir.

"Loh kak cepet banget?" Cantika bertanya kala mereka sudah di dalam mobil. Claudio
hanya memutar bola matanya, tak menjawab. Di detik berikutnya Claudio sadar akan
seragam adiknya yang begitu kotor.

"Mereka yang ngelakuin ini?" tanya Claudio, menatap dengan seksama adik satu-satunya
ini dan masih belum menjalankan mobilnya. Tatapan tajam milik Claudio membuat Cantika
salah tingkah dan takut kalau ia menjawab bohong.

Ia menggigit bibir bawahnya.

"Ditanya tuh ya di jawab." Tatapan mengintimidasi lagi-lagi di jatuhkan kepada Cantika


yang kini menundukkan kepalanya.

Claudio mendengus kala sadar bahwa adiknya ini sama sekali tak menjawab
pertanyaannya. Alih-alih menjalankan mobilnya dan membuat perasaan Cantika sedikit
lega karena tak lagi di hujat tatapan mematikan dari kakaknya itu, Claudio malah angkat
suara lagi kali ini.

"Gue bilang bokap aja kalo gitu. Pengen pindah ke sekolah lo."

Dan dunia Cantika seakan berhenti saat ini juga.

•••

Senang rasanya walau hanya sekedar sarapan pagi bersama di meja makan. Karena hanya
inilah yang dapat di lakukan keluarga Cantika. Papa dan Mamanya yang sibuk bekerja dan
Claudio yang memiliki sejuta jadwal setiap harinya.

"Boleh kan Mah, Pah?" ulang Claudio atas pertanyaan yang sebelumnya sudah ia ajukan.
Mengenai dirinya yang hendak pindah sekolah agar dapat bersekolah di tempat yang
sama dengan adiknya.

"Tapi mama gaada waktu buat ngurusin pindahan kamu, Dio," jawab Juliana--Mamanya
yang baru saja menyeduh secangkir kopi untuk Adrian, suami tercintanya.

"Gapapa kok Mah, Dio bisa urusin sendiri." Claudio tersenyum menenangkan kepada
kedua orang tuanya.

Sementara Cantika masih terdiam di tempatnya. Ia tidak menyangka kalau kakaknya


akan seperti ini, maksudnya, sampai rela untuk berpindah sekolah. Serius, ia tak pernah
dapat membayangkan apa yang terjadi kalau kakaknya sampai benar-benar sekolah
ditempatnya. Apa yang akan terjadi kedepannya, dan bagaimana nasib Cantika?

Claudio adalah kakak yang menyenangkan, juga baik hati. Cantika merasa selalu saja
terlindungi kalau berada dekat-dekat dengan Claudio, walau sebenarnya dia juga bisa
melindungi diri sendiri.

"Urusan biaya atau apapun kamu telpon Papa aja ya," ujar Adrian yang sedaritadi tak
angkat bicara, menyeruput kopi buatan istrinya sembari menatap anak pertamanya.

Claudio menggeleng cepat, "Nggak usah Pah, uang Dio sendiri juga masih banyak sisa
kok."

Jawaban putranya tentu saja menenangkan relung hati Adrian maupun Juliana. Namun,
Adrian tetap tidak akan menghilangkan soal kewajibannya sebagai orang tua yang
seharusnya membiayai sekolah anaknya.

"Simpen aja uang kamu."

Setelah selesai sarapan, Cantika pun berangkat sekolah, namun kali ini ia diantar oleh
Juliana, sementara Adrian ada meeting dengan kliennya dan harus langsung berangkat.
Ia juga tak mungkin berangkat bersama Claudio karena sekolah mereka yang berlawanan
arah dan tentu saja itu akan membuat Claudio datang terlambat nantinya.

Ada hal yang mengganjal pikiran Juliana setiap kali mengantar anak perempuannya ini ke
sekolah, karena ia akan selalu meminta di turunkan di belokkan sekolah, bukan di depan
gerbang sekolah seperti yang anak-anak dan orang tua lain lakukan. Namun Juliana tak
bertanya mengingat sifat tertutup anaknya yang sudah pasti tak akan bercerita
kepadanya.

"Dah, Mah," pamit Cantika setelah menyalimi Mamanya. Baru saja ia hendak turun dari
mobil sampai tiba-tiba panggilan Juliana menghentikannya.

"Kenapa, Mah?"

"Kalo ada apa-apa cerita sama Mama ya." Perkataan Juliana membuat Cantika tersenyum
manis dan mengangguk, sebelum akhirnya benar-benar keluar dari mobil.

Paras cantik alami milik Juliana mungkin akan membuat orang-orang tak memercayai
suatu fakta bahwa Cantika adalah anak kandungnya.

Cantika masuk kedalam sekolahnya dan berjalan menyusuri koridor, menuju depan ruang
tata usaha untuk absen dengan menempelkan jari telunjuknya pada finger print.

"Cantik!"

Cantika sontak menoleh ke belakang dan mendapati Zanufa yang baru saja masuk, ia
terdiam di tempatnya sementara menunggu temannya itu untuk menghampiri.
Setelah Zanufa absen, mereka'pun berjalan bersama menyusuri koridor dan menaiki
tangga, menuju kelas mereka yang berada di lantai tiga.

Zanufa adalah cewek yang cukup cantik, dan itu membuat Cantika sedikit risih kala
berada di dekatnya. Ia bahkan sempat bertanya kepada Zanufa: apakah ia malu kalau
berteman dengan Cantika, namun Zanufa dengan lantang membalas tidak, karena ia
nyaman bersama Cantika dan tak pernah memerdulikan perkataan orang lain mengenai
pertemanannya bersama Cantika.

Cantika tentu sangat senang dengan jawaban yang diberikan Zanufa, dan karena itu
jugalah mereka bersama hingga sekarang.

"Zan, nanti istirahat tungguin gue di tempat biasa ya?" pinta Cantika. Zanufa terlihat
menimang-nimang jawabannya sesaat.

"Lo yakin?" tanya Zanufa seolah sudah tau apa yang akan Cantika lakukan.

"Yakin banget," jawab Cantika sembari menampilkan senyumannya. Zanufa balas


tersenyum melihat semangat Cantika yang tak pernah pudar.

Tak lama, guru mata pelajaran pertama pun masuk, dan itu tandanya neraka akan segera
dimulai karena pelajaran pertama hari ini adalah Matematika.

Mata Cantika tak luput kala memerhatikan Bu Bertha yang tengah menjelaskan, walaupun
ia tidak mengerti, tetap saja ia mengangguk kala ditanya. Karena ia baru akan mengerti
setelah memahaminya sendiri di rumah.

"Lo ngerti?" tanya Zanufa kepada Cantika yang duduk di sampingnya kala bell tanda
istirahat berbunyi.

Cantika menggeleng cepat. "Enggak," jawabnya disertai cengiran kuda andalannya kala ia
tidak mengerti pelajaran.

"Se ga ngerti ga ngertinya lo, masih bisa ngerti juga ntar. Lah gue, mana pernah ngerti,"
gerutu Zanufa membuat Cantika tertawa.

Kemudian ponsel Cantika yang berada di kolong meja selama jam pelajaran itu bergetar.
Tangannya meraih ponsel dan membuka pesan yang masuk.

Claudio Gentenk:

Gue udah ngurus pindahan dong. Ntar gue jemput yah, sekalian ngeliat sekolah baru.
Besok gue kan udah ngurusin surat pindah ke sekolah lo. Haha see ya my sista.

Cantika meneguk saliva dengan berat kala membaca pesan dari kakaknya. Membuat
Zanufa kini menautkan alisnya kala melihat perubahan ekspresi pada wajah Cantika.

"Dari siapa Tik?"


"Abang gue," jawab Cantika. Di detik berikutnya ia bangkit dan sudah mengambil kotak
bekal dari dalam tasnya. Zanufa pun tak menanyakan lebih lanjut seputar kakaknya itu.

"Ayo Zan," ajak Cantika dengan senyum merekah di wajahnya. Zanufa ikut tersenyum
karena senang juga kalau temannya bahagia.

"Ngasih apa kali ini?" tanya Zanufa saat mereka sudah keluar dari kelas.

"Raibow cheessseeeeeee cake." Cantika menjawab dengan sumringah dan Zanufa


terkekeh pelan.

Saat sudah sampai di depan perpustakaan, Zanufa duduk di kursi panjang tempat biasa
ia duduk. Alih-alih meminta di doakan agar berhasil, Cantika berjalan menuju pinggir
lapangan. Dimana terdapat Vano yang tengah duduk sendiri di samping kolam sementara
teman-temannya bermain futsal.

Ekspresi bahagia dan ledak tawa dari Vano yang sangat jarang Cantika lihat kali ini
tengah menjadi pemandangan yang sangat indah dimata Cantika dan enggan ia lewati
sedetikpun. Namun ekspresi Vano berubah kala mendapati tubuh Cantika yang berdiri
tak jauh dari posisinya dengan memeluk kotak makanan yang berbeda dari sebelum-
sebelumnya.

Cantika tanpa ragu berjalan menghampiri dan menyodorkan kotak itu kepada Vano.

"Raibow cheese cake, semoga kakak suka ya," kata Cantika dengan tangannya yang
terjulur bersama kotak makannya itu.

Vano bangkit dari posisinya dan meraih kotak makan yang di berikan oleh Cantika.

"Makasih ya."

Untuk pertama kalinya, Cantika mendengar langsung suara Vano, berbicara dengannya.

Dan untuk pertama kalinya juga, Vano mengucapkan terimakasih kepadanya.

Hembusan • 02

[EDITED]

2. Menjadi Orang Asing.

Senyum merekah tak dapat terelakkan dari wajah yang lebih dominan dengan warna
merah muda miliknya itu.

Gadis itu, Cantika, berjalan dengan degup jantung yang berpacu dan berbahagia menuju
sahabatnya yang kini menatapnya dengan tatapan tak percaya. Zanufa biasanya akan
mendapatkan keluhan kala Cantika kembali atau sekedar ekspresi sedihnya, tetapi
sepertinya tidak untuk hari ini.

"Kenapa, Tik?" tanya Zanufa kala dia sudah mendekat, menatap dengan seksama
sahabatnya kini.

Alih-alih menjawab atau menjelaskan, Cantika malah langsung menarik tangan Zanufa
untuk segera menuju ke kantin.

"Gue traktir!" paparnya membuat Zanufa membelalakkan matanya dengan senang.

"Ada yang lagi happy nih," cibir Zanufa. Jelas sedang meledek.

Sepanjang perjalanan menuju kantin hingga sampai di kantin, tak luput satu detikpun
ekspresi bahagia yang di pancarkan oleh Cantika. Tak memerdulikan walau banyak sekali
tatapan yang menghujatnya dengan aneh.

Zanufa sempat meredupkan matanya tanda gondok karena ternyata Vano hanya
mengatakan satu kalimat sambung yang berbunyi makasih ya, tetapi sudah mampu
membuat Cantika senangnya kelimpungan seperti ini. Ia jadi tak dapat membayangkan
bagaimana ekspresi Cantika kalau misalkan Vano tersenyum kepadanya atau balik
memberikan kotak makanannya. Pipi Cantika bisa-bisa naik hingga atas dan menutupi
matanya dengan sempurna karena melulu tersenyum.

"Pesen apa, Zan?"

Zanufa terlihat menimang-nimang sebentar.

"Bakso deh, biasa."

Cantika kemudian berlalu, dan yang seperti biasa memesan bakso ala-ala mereka, Zanufa
pun duduk menempati tempat untuk mereka makan nanti sementara Cantika memesan.

Namun ada yang berhasil menarik perhatian Zanufa kala Cantika memesan.
Segerombolan cowok-cowok ganteng sedang berjalan menuju meja langganan mereka
yang berada tepat di pojok kantin. Mata Zanufa mengamatinya baik-baik. Seorang cowok
yang di hafalnya dengan persis karena setiap hari selalu saja di ceritakan oleh
sahabatnya.

Itu kak Vano kan ya? Eh kotak makan Cantika itu. Batin Zanufa yang mengamati.

Seulas senyum lantas mengembang di wajahnya. Apalagi saat cowok itu terang-terangan
merebut kembali kotak makan berisi rainbow cheese cake pemberian Cantika dari tangan
teman-temannya yang jahil.

"Gak ah kali ini gaada yang boleh mintaaa!"

Vano memekik, berhasil terdengar di seluruh penghuni kantin yang sedang makan. Namun
sepertinya tidak sampai ke para penjual karena Cantika tidak lari ke tempat Zanufa dan
ber-fangirl-ria karena Vano tengah melarang habis-habisan temannya untuk tidak
memakan kue pemberian Cantika.

Zanufa sekiranya shock kala mendengar cowok itu berteriak, namun ia hanya menahan
gelak tawanya sendiri.

"Cantika gaboleh tau, bisa-bisa itu pipi pindah ke mata gara-gara senyum melulu," gumam
Zanufa kepada dirinya sendiri.

Tak lama, Cantika pun menghampiri Zanufa dengan dua mangkuk bakso di atas nampan
yang di bawanya beserta dua gelas es teh manis. Masih dengan senyum yang
mengembang.

Kebayang gak kalo gue ngasih tau yang tadi..

Cantika duduk di hadapan Zanufa, membelakangi Vano dan teman-temannya sehingga


setidaknya itu dapat membuat Zanufa sedikit bersyukur.

Ponsel Zanufa bergetar di dalam sakunya. Membuat Cantika menatapnya kala ia sedang
mengangkat panggilan pada ponselnya itu.

"Halo, Pah?"

"Ini Zanufa lagi makan, Pah. Sama Cantika."

"Hah!? I-iya Pah. Oke-oke."

Melihat perubahan yang begitu signifikan pada wajah Zanufa, Cantika menatapnya
dalam-dalam.

"Kenapa, Zan?" tanya Cantika, takut sesuatu yang buruk terjadi.

Zanufa menggigit bibirnya sebentar kemudian menyeruput es nya.

"Oma gue masuk rumah sakit, Tik." Zanufa menjawab masih dengan ekspresi cemas
miliknya. Sementara Cantika membelalakkan matanya.

"Kok bisa?"

Zanufa menggeleng tanda bahwa ia juga tak mengetahui apa alasan pasti penyebab Oma-
nya itu di larikan ke rumah sakit. "Gue di suruh makan dulu sama bokap gue takut di sana
nggak sempet, abis jam istirahat bokap gue mau jemput."

•••

Cantika membereskan buku-bukunya dengan gerakkan cepat seperti biasa dan


memasukkannya ke dalam tas. Zanufa izin tepat setelah istirahat tadi kala Papanya
sudah datang menjemput, dan sekarang Cantika sendiri di dalam kelas karena teman-
temannya langsung berhambur keluar begitu jam pelajaran selesai menandakan waktunya
pulang. Biasanya Zanufa akan menemani untuk sekedar bercerita sedikit, tetapi hari ini
Cantika harus sendiri.
Tak lama, ponsel Cantika bergetar tanda ada chat dari Line yang masuk.

Tumben ngeline? Biasanya sms. Pulsa abis apa gimana? batin Cantika kala meraih
ponselnya dan melihat notifikasi masuk, memberitahu bahwa ada pesan dari kakaknya,
Claudio.

Claudio Adrian: WOY NGEHE BURUAN!!!! INI GUE DI KERUBUTIN DI DEPAN.


TOLONGIN!!!!!!!!

Cantika tak dapat menahan gelak tawanya kala membaca pesan dari kakaknya itu, di
tambah lagi karena capslock yang menyala dan juga tanda serunya yang berlebihan.

Cantika Adriana: Selow napa bang capslock sama tanda serunya wkwk

Cantika Adriana: Emangnya lo gak malu karena ternyata gue ini adek lo? WKWK

Claudio Adrian: Ngomong apasih lo. Udah sini buruan.

Cantika Adriana: Ogah ah. Siapa suruh nekat ke depan sekolah. Ke belokan dulu sana
baru gue keluar sekolah.

Claudio Adrian: Ye si anying. Gue kan niatnya mau liat sekolahan dulu.

Claudio Adrian: Yaudah gue ke belokan ya. Cepetan. Ini mobil gue lecet dah di garuk-
garuk fakuy.

Cantika terkekeh begitu membaca pesan balasan dari kakaknya itu. Baru pertama ingin
pindah kesini saja sudah menjadi kerumunan, bagaimana seterusnya nanti? Cantika tidak
dapat membayangkannya.

Namun ada satu yang ingin ia katakan kepada kakaknya sebelum semuanya terlambat dan
malah mencemarkan nama baik keluarganya.

Cantika cepat-cepat memasukkan ponselnya ke dalam saku dan menggunakan tasnya.


Namun matanya sontak terbelalak dan langkah terburu-burunya 'pun langsung terhenti
kala melihat sesuatu yang begitu menyilaukan matanya bagai permata di depan kelas.
Supernova sungguhan.

Vano tengah berdiri di depan kelasnya lengkap dengan tasnya dan kedua tangan yang di
masukkan ke dalam kantung celana abu-abu miliknya.

Degup jantung Cantika menjadi semakin berpacu tak karuan. Matanya berkedip selama
beberapa kali. Ia tidak tahu harus melakukan apa sementara hanya untuk sekedar
menggerakkan kakinya saja terasa begitu sulit baginya.

Vano maju selangkah, namun kini tubuh Cantika dapat bergerak karena dia juga langsung
memundurkan tubuhnya, satu langkah juga.
Alis Vano bertaut, menatap Cantika yang sekiranya berubah pucat pasi. Ia mengibaskan
tangannya di depan wajah Cantika sehingga gadis berambut panjang yang selalu di kuncir
itu mengedipkan matanya beberapa kali, dan melepas kacamata yang ia kenakan seolah
tersadar dari alam bawah sadarnya.

"Gue bukan setan kali," tutur Vano sementara Cantika menggeleng cepat seolah
memberitahu kalau ia tak berfikir seperti itu sebelumnya. Hendak bicara pun rasanya
susah sekali, ia ngeri kalau suaranya akan bergetar atau bahkan mencicit seperti
binatang pengerat.

Biasanya Cantika tidak pernah segugup ini, bahkan saat dia tengah memberikan Vano
makanan sekalipun. Masalahnya adalah saat Cantika melihat ke belakang tubuh Vano, luar
kelas yang menghamparkan seluruh koridor lantai tiga, itu sudah sangat sepi. Dan suatu
ke tidak mungkinan lagi kalau Vano menghampirinya seperti ini, apalagi sampai nekat ke
kelasnya.

"Dari tadi gue nunggu di depan TU tapi lo gak turun-turun buat absen. Gue tanya anak
sekelas lo aja, eh katanya lo masih di kelas." Vano seolah menjelaskan kenapa ia berada
disini dan menjawab pikiran Cantika. Kepala Cantika menunduk, melihat sepatu yang di
kenakan Vano menapak di lantai. Ini beneran Revano kan?

"Et ini gue ngomong di kacangin." Vano berdecak, dan Cantika benar-benar tidak tahu
apa yang harus di katakan olehnya sementara detak jantungnya saja sudah tak karuan.

"E-eh.. kak Vano ke-kenapa.." Cantika tak bisa menyelesaikan kata-katanya sendiri.

Vano memajukan langkahnya dengan alis yang bertaut. Memegang dahi Cantika, dan
jantung Cantika rasanya mau meledak seperti jantung milik Do Min-Jun di drama
favoritnya saat ia mencium Cheon Song-Yi.

"Kenapa apanya? Elo yang kenapa....."

Cantika menggeleng cepat saat Vano sudah menarik tangannya dan mundur kembali.
"Maksud aku, ehm. Kak Vano. Anu, kenapa nyariin aku?"

Akhirnya mulut Cantika berhasil mengeluarkan kata-kata setelah sekian lama tertahan di
kerongkongannya.

"Oh itu." Vano mengacak-ngacak poninya sendiri dan membuat Cantika meneguk saliva
sementara melihat pemandangan di hadapannya kini.

"Gue mau bilang makasih sama maaf soal beberapa hari lalu itu. And, kotak bekel lo gue
balikin nanti ya kalo udah di cuci. And.... kuenya enak, itu kesukaan gue."

Cantika mengedipkan matanya beberapa kali karena masih tak percaya. Tak menyangka
bahwa ia akan berbicara dengan pujaannya. Bertatapan, hanya berdua. Dan lagi ini adalah
percakapan terpanjang mereka. Maksudnya adalah kali pertama bagi Cantika untuk
berbicara seperti ini dengan Vano.
"Eh? I-iya kak santai aja. Ehm, bagus deh kalo itu kesukaan kakak. Aku suka bingung mau
ngasih apa," jujur Cantika, menundukkan kepalanya karena malu. Ia juga tak percaya diri
untuk menatap Vano lama-lama karena ia takut Vano ilfeel dengannya. Tangannya
menggaruk tengkuknya yang bahkan tidak gatal sama sekali.

"Lain kali gausah repot-repot ya. Gue ga enak sama lo juga. Udah gitu keseringan
makanan dari lo itu temen-temen gue yang ngabisin," kata Vano. Dan, di detik itu juga
jantung Cantika bagaikan berhenti berdetak.

Cantika berfikir bahwa itu tandanya jelas bahwa Vano memintanya untuk tak lagi
mengganggu dengan memberikannya makanan karena percuma, toh ia tak akan makan dan
lebih memilih untuk memberikannya kepada teman-temannya dibanding ia harus
memakan makanan dari cewek semacam Cantika.

Jujur karena selama ini yang mengembalikan kotak bekal Cantika saat pulang adalah
teman-teman Vano. Dan Cantika sudah bagaikan di langit ketujuh kala Vano yang akan
mengembalikkannya dan bahkan menemuinya. Tetapi ternyata ia salah karena pada
kenyataannya yang Vano inginkan adalah agar dirinya untuk segera menyingkir dari
kehidupan sempurnanya.

Cantika merasa bodoh dengan perasaannya sendiri. Ia berharap terlalu banyak sehingga
tak sadar siapa dirinya sendiri dan sosoknya.

Sebelum pertahanannya roboh, menangis dan tubuhnya berubah menjadi abu, ada yang
perlu Cantika lakukan; pergi dari hadapan Vano sekarang juga.

"Ehm, kak aku duluan ya. Udah di jemput," kata Cantika, bahkan enggan untuk menjawab
pernyataan dari Vano tadi, tak mau pertahanannya runtuh disini.

Ia melangkahkan kaki panjangnya yang berbalut rok abu-abu dengan langkah cepat
sembari tangan kanannya menarik sedikit roknya agar tak menghalangi langkah cepatnya.
Berjalan melewati Vano yang terpaku dan berjalan menyusuri koridor.

Saat ia di tangga hendak turun ke bawah, ponsel di sakunya bergetar.

Claudio.

"Halo?" jawab Cantika saat ponsel sudah di telinga sebelah kirinya.

"Dimana lo? Buru! Ntar keburu pada kesini," pekik Claudio di seberang sana. Cantika
melangkah di anak tangga terakhir dan segera berlari menuju depan TU. Tangannya
menyibak air mata yang tiba-tiba saja menetes tanpa di suruh.

"Bawel. Lagi mau absen."

Mematikan panggilan secara sepihak, Cantika memasukkan lagi ponselnya dan meletakkan
jari telunjuknya di mesin absen. Rasanya ia ingin menyemburkan semua amarahnya
kepada Claudio.
Saat sampai di depan gerbang, ia melihat segerombolan cewek-cewek yang tengah
berkumpul dengan masing-masing ponsel di tangannya.

"Dia satu SMP sama gue. Biasa aja tuh."

Suara yang sekiranya pernah Cantika dengar itu bersuara. Ia menoleh dan mendapati
satu-satunya cewek yang terlihat tidak begitu tertarik tengah memutar bola matanya
dengan gerakkan malas.

"Lah itukan Catalia? Mantannya abang?" batin Cantika. Ia hanya menaikkan bahunya dan
melanjutkan berjalan menuju belokkan yang berjarak lumayan jauh.

Yaiyalah biasa aja, lo udah putus.

Cantika langsung masuk kedalam mobil kala melihat mobil kakaknya terparkir asal.

"Anjing, gue kirain siapa main masuk-masuk aja," celetuk Claudio yang tengah memainkan
ponselnya, kaget karena tiba-tiba saja Cantika masuk dan duduk di kursi penumpang.

"Bawel lu ah," balas Cantika yang sepertinya masih kesal. Bukan, ia sebenarnya bukan
kesal, melainkan ia tengah bersedih dan lebih memilih untuk menutupi kesedihannya itu
dengan marah-marah di banding memasang wajah sedihnya. Ia akan kalah telak dengan
kemampuan berakting kakaknya, dan oleh karena itu Claudio pasti akan langsung tau
kalau dia sedih.

"PMS lu yak." Claudio menggerutu kelakuan galak adiknya yang tiba-tiba, dan mulai
melajukan mobilnya.

Perjalanan berlangsung cukup hening, membuat Claudio agaknya kurang nyaman dengan
keadaan seperti ini. Tetapi ia tak ingin mengganggu adiknya yang moodnya sedang benar-
benar hancur. Ia sebenarnya tahu kalau Cantika tengah menyembunyikan sesuatu, tapi ia
enggan bertanya sampai keadaan setidaknya menjadi lebih baik walau sedikit.

Baru saja tangannya hendak menyalahkan radio, tangan Cantika langsung menghentikan
kegiatannya.

"Bang," panggilnya seolah mencegah. Claudio menarik kembali tangannya dan fokus
menyetir lagi.

"Hm?"

Cantika menatap Claudio yang fokus menyetir, memerhatikannya lekat-lekat.

"Mau janji sama gue gak?" Cantika bertanya tepat sekali sedang lampu merah sehingga
Claudio berhenti dan menatapnya.

"Janji apa?" tanya Claudio.

"Gue nggak mau bikin lo malu. Mama sama Papa juga."


Perkataan Cantika tak dapat Claudio langsung pahami. Terbukti dengan dahinya yang
mengkerut.

"Gimana maksudnya?"

"Gue jelek gini. Lo cakep apalagi Mama. Papa juga kan ganteng. Kayak anak pungut gue.
Gue gamau buat kalian malu dengan ngakuin gue sebagai anggota keluarga kalian." Cantika
menundukkan kepalanya. Mata Claudio terbelalak mendengar ucapan adiknya itu.

"Ngomong apaansih lo!? Nggak lah! Lo tetep adek gue, tetep anaknya Mama, sama tetep
anaknya Papa!" tukas Claudio yang tak terima dengan ucapannya.

"Gue mohon sekali aja, Bang. Di sekolah kita pura-pura gak kenal aja."

Dan dunia Claudio seakan berhenti.

Hembusan • 03

[EDITED]

3. Kakak Laki-Lakiku.

Niat ingin berbagi kebahagiaan terurungkan, karena yang terasa malah justru kepahitan.
Lebih pahit dari sekedar teh tanpa gula, maupun kopi hitam.

Baru saja terfikirkan oleh gadis yang kini tengah memukul samsak berkali-kali dan peluh
yang membasahi, untuk bercerita kepada sahabatnya mengenai sosok cowok yang ia
idam-idamkan datang menghampiri. Namun dia harus meneguk kenyataan yang begitu
pahitnya bahwa cowok itu datang untuk sekedar memperingatinya agar menjauh.

Cantika memukul dengan keras samsak untuk yang terakhir kalinya, sebelum ia
menjatuhkan bokongnya ke lantai, tak perduli dengan rasa sakit yang akan menjalar. Ia
meraih botol minum miliknya dan meneguk yang tersisa hingga benar-benar habis.

Kunciran yang di awal ia ikat hampir seperti ikat mati itu pun di rasanya mulai mengendur
dari rambutnya.

"Udah emosinya?"

Claudio tiba-tiba masuk ke dalam ruangan yang biasa di gunakan Cantika untuk berlatih
bela diri. Duduk tepat di sampingnya tanpa menatap dirinya, malah justru menatap
samsak yang masih sedikit terguncang keberadaannya.

"Belom sebenernya," jawab Cantika dengan jujur. Ia hendak bangkit lagi dan memukuli
samsak sampai ia benar-benar puas, tetapi tangan Claudio menahannya.

"Udah udah." Claudio menarik lagi Cantika yang hanya menuruti untuk duduk kembali.
"Mau cerita gak?" tawar Claudio dan Cantika menggeleng cepat.

Claudio menghela nafasnya panjang begitu mendapati jawaban sang adik yang masih saja
begitu tertutup. "Kalo mau cerita aja ya sama gue, gue siap dengerin."

Cantika hanya mengangguk dan menjulurkan ibu jarinya tanda setuju.

Tercipta jarak yang cukup signifikan dan keheningan menyambut di antara mereka
berdua. Sampai akhirnya Claudio memutuskan untuk angkat bicara.

"Yang soal di sekolah itu.. beneran?"

Alis Cantika bertaut jadi satu. "Maksudnya beneran?"

Claudio mendekatkan posisi tubuhnya dan menengadah ke arah Cantika. "Lo gak mau
ngakuin gue sebagai kakak lo di sekolah?"

Yang ditanya menghela nafas mendengar pertanyaan itu, bangkit dari posisinya dan
berdiri menghadap kakaknya yang kini tengah menatapnya lekat-lekat.

"Bukan gue yang nggak ngakuin. Tapi lo," jawabnya kemudian berlalu, meninggalkan sosok
pria yang kini tengah habis-habisan merutuki dirinya sendiri.

Cantika masuk ke kamarnya, meraih handuk untuk menghapus seluruh peluhnya. Duduk di
depan balkon kamarnya dan menatap hamparan di hadapannya dengan tatapan kosong.
Angin malam berhembus, melewati dan membantu mengeringkan peluh yang tersisa. Sang
empunya terbuai dan memejamkan matanya.

Salah gue sendiri.

Gak tau diri, bisa-bisaan naksir cowok ganteng kayak dia.

Ya kebanting lah. Mana mau dia sama lo.

Walau lo bilang lo suka sama dia bukan karena dia ganteng sekalipun. Tetep aja cowok
bakalan milih yang cakep walaupun muka dia jelek sekalipun. Apalagi ini, yang udah jelas-
jelas cakep. Milihnya yang sederajat lah.

Batinnya terus beradu dan merutuk. Sempat ingin menyerah, namun itu pertanda dia
akan kemakan omongannya sendiri. Tetapi kalau ia tak menyerah, semua akan terasa
percuma saja kalau di lakukan.

Ia bangkit kala telah memutuskan sesuatu, menuju kamar mandi untuk menjernihkan
fikiran serta badannya. Faktanya adalah kala ia sedang berada di kamar mandi, semua
akan mudah terfikirkan.

× Vapor ×

"Mah, aku udah ngurusin semuanya. Hari ini bisa ke sekolah sekalian ngasih surat
pindahan," ujar Claudio saat satu keluarga tengah duduk di meja makan. Sarapan seperti
biasa.
"Loh kok bisa cepet banget?" tanya Juliana yang bingung mengapa anaknya ini dapat
mengurus pindahan begitu cepat, tanpa bantuan orang tua sekalipun.

"Biasa." Ibu jari dan telunjuknya bergesekkan, seolah menjelaskan apa yang di maksud
yaitu adalah uang. Juliana mengangguk paham sambil sedikit terkekeh karena anaknya
itu paling bisa merayu hati guru dan juga dengan sedikit selipan.

Adrian yang memerhatikan pun menggelengkan kepalanya, "Besok-besok gaboleh tuh,


sogok-sogokkan lagi," paparnya.

Claudio mengangguk paham sembari menahan gelak tawanya. Ia hafal betul kalau Papanya
merupakan orang yang anti seperti itu.

"Mah, ayo berangkat." Cantika yang sedari tadi diam kini angkat bicara.

"Loh, gamau bareng kakak?"

Cantika menggeleng cepat. "Abang harus ngurus ini itu sama seragam dulu baru bisa
sekolah," paparnya, agar tidak berangkat bersama Claudio.

Tangan Claudio seperti meraih sesuatu di kolong. "Seragam yang beda cuman hari Kamis
sama Jumat doang kan." Ia mengeluarkan sesuatu dari plastik dan mengangkatnya. Itu
seragam yang sama dengan milik Cantika.

Kini mereka sudah sama berpakaian putih abu-abu, dan Cantika mendengus kala sadar
akan itu.

"Yaudah yuk berangkat," kata Claudio, menyesap susunya dan bangkit. Kemudian mereka
bersaliman dengan kedua orang tuanya.

"Assalamualaikum!" tukas mereka berbarengan.

Berjalan keluar rumah menuju garasi, Claudio masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi
kemudi. Begitu juga dengan Cantika yang duduk di kursi penumpang walaupun awalnya
masih ragu-ragu.

"Dek," panggil Claudio kala mobil sudah keluar pagar rumah yang dibukakan oleh mang
ujang. Pandangannya masih fokus ke depan, melihat liuk pikuknya ramai Jakarta pagi hari
dimana orang-orang memulai aktifitas mereka.

Cantika menoleh, menghadap kakaknya namun mulutnya masih tak bergeming. Dari sudut
matanya, Claudio mendapati adiknya menoleh.

"Kalo di sekolah gue gak ngakuin lo, jadinya gimana?"

Alis Cantika bertaut, "Jadinya gimana maksudnya apa?"

Claudio menarik nafas dalam-dalam. "Gue pura-pura ga kenal lo gitu? Terus kalo begini,
berangkat sama pulang sekolah bareng gimana?"
"Gue sendiri aja kalo gitu. Atau kita janjian aja di belokkan biasa," jawab Cantika lancar.
Mengeluarkan ponsel dari sakunya dan mengalihkan pandangannya.

"Lo serius?" ulang Claudio, Cantika mengangguk mantap.

"But first, temenin gue ke breadtalk dulu ya."

× Vapor ×

Cantika duduk di kursi paling depan, tempat dia biasa duduk dengan Zanufa, namun
Zanufa belum duduk di tempatnya. Cantika juga tidak bertemu dengan Zanufa saat
absen tadi.

Baru saja Cantika hendak mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Zanufa, tapi tiba-
tiba ada suara yang memekik.

"Cantik!"

Sudah jelas. Siapa lagi kalau bukan Zanufa.

Gadis itu berlari kecil ke arah Cantika dan duduk di tempatnya yang berada di sebelah
Cantika. Wajahnya terlihat lelah karena tergesa-gesa.

"Kenapa sih?" tanya Cantika yang sadar kalau sepertinya temannya ini berlari dari lantai
satu.

Zanufa menghela nafasnya terlebih dahulu sebelum menjawab, hendak menormalkan


nafas dan detak jantungnya.

"Kenapa-kenapa?"

"Kan gue kesiangan nih ya, terus tadi pas gue lagi absen di depan TU, ada Pak Anwar
yang ngurusin teknis sekolah gitu. Kalo anak baru kan ngatur absen sidik jari dulu ya,
terus, lo harus tau kalo yang lagi sama Pak Anwar, si anak baru itu... artis, Tik! Claudio
Adrian! Yang ganteng itu loh, yang main film Surat Kecil Untuk Mama!"

Zanufa bercerita panjang lebar, dengan banyak jeda karena nafasnya yang masih
tersenggal-senggal saat bicara. Cantika memejamkan matanya dan menghela nafas
panjang. Ia tau pasti hari ini satu sekolahan akan heboh.

"Kenapa, Tik?" tanya Zanufa yang menyadari perubahan ekspresi milik Cantika.

Cantika memberi aba-aba dengan tangannya agar Zanufa mendekat. Zanufa pun
menyodorkan telinganya.

"Itu abang gue," bisik Cantika.

"Claudio Adrian?" ulang Zanufa, balas berbisik. Menjauhkan telinganya dan menatap
Cantika. Cantika mengangguk.

"WHAT!?" Zanufa memekik, seolah baru di sadarkan oleh fakta tersebut.


Cantika cepat-cepat membekap mulut Zanufa kala perhatian teman sekelasnya hampir
secara menyeluruh tertuju pada mereka berdua.

Dilepaskan tangannya dari mulut Zanufa kala di rasa keterkejutannya sudah agak
mereda.

"Are you fucking serious?" ulang Zanufa, membekap mulutnya sendiri kemudian.
Sementara Cantika hanya mengangguk pasrah.

"Gak percaya sama gue juga gapapa sih. Anggep aja gue cuman ngaku-ngaku. Lagian gue
juga gamau sampe ada yang tau sebenernya." Cantika membalikkan tubuhnya dan
menghadap ke depan.

Ratna, sekretaris kelasan mereka masuk dan langsung berdiri di depan kelas.

"Kenapa Rat?" tanya Giandra dari meja paling belakang, menyadari pasti ada sesuatu
yang menyebabkan Ratna berdiri di depan.

"Sstt woy diem dulu!" tukas Andre, sang ketua kelas, yang tau kalau Ratna tak bisa
berbicara keras-keras.

Setelah suasana kelas benar-benar hening, Ratna mengambil ancang-ancang untuk


berbicara sementara yang lain memerhatikan.

"Guru ada rapat besar hari ini sama OSIS buat event sekolah, jadi hari ini full class
meeting."

Teriak riuh pikuk langsung terdengar di seluruh penjuru kelas kala Ratna selesai
berbicara, kembali ke kegiatan masing-masing mulai dari sekedar bergosip, menonton
film bersama-sama di laptop, sampai menggelar tiker dan tidur di belakang kelas.

Berbeda dengan Zanufa yang masih hendak menagih hutang cerita kepada Cantika.

"Tik," panggil Zanufa, Cantika menoleh dan mengangkak sebelah alisnya seolah bertanya
ada apa.

"Gue percaya. Tapi bisa lo jelasin lebih detail lagi gak ke gue? Gue gabakal nyebar, asli."

Dan detik itu juga Cantika merasa bahwa Zanufa benarlah seorang teman. Ia bahkan
memercayai di saat pasti seseorang tak akan ada yang percaya.

"Gue.. gamau abang gue malu gara-gara punya adek yang jelek kayak gue begini. Dia artis,
ganteng pula, yakali punya adek buruk rupa kayak gue. Mana ada yang percaya sih, gue
aja gak percaya," kata Cantika, kepalanya tertunduk.

Zanufa memegang kedua bahu sahabatnya ini dan mendongakkan kepala Cantika agar
menatapnya.

"Wajar kalo di umur segini banyak jerawat. Tandanya lo lagi puber," ujar Zanufa,
mencoba menenangkan sahabatnya. "Lagi pula gue percaya banget kalo lo adeknya.
Claudio Adrian sama Cantika Adriana. Gue bener kan? Orang-orang aja yang mungkin gak
bakalan sadar karena mereka cuman mandang sebelah mata."

Cantika tertegun mendengar ucapan sahabatnya itu. Ia lantas memeluk tubuh Zanufa
dan menenggelamkan kepalanya di leher Zanufa. Entah mengapa ia rasanya ingin
menangis di hadapan sahabatnya ini.

"Nanti anterin gue ngasih breadtalk buat kak Vano yah," kata Cantika saat sudah
menjauhkan tubuhnya. Zanufa mengangguk sambil tersenyum.

"Ohiya, inget ya pokoknya ini rahasia deh. Gaada yang boleh tau gue adeknya dia. Bisa-
bisa ancur karir dia sama muka gue makin ancur di benyek-benyek sama fansnya dia."

"Weh anjir ada anak baru woy artis!" pekik Della yang tiba-tiba sudah berada di depan
pintu, seolah memberitahu seluruh orang di kelas dan menyuruh mereka untuk keluar dan
melihat apa yang di maksud.

Cantika menghela nafasnya dengan kasar sementara Zanufa sontak menarik tangan
Cantika untuk ikut keluar kelas.

Mereka memandangi sosok yang di bicarakan dari atas, disana terdapat Claudio yang
sedang menghampiri Revano dan teman-temannya.

"Tik..." Zanufa kehabisan kata-kata melihat pemandangan di lapangan sana. Sementara


hampir semua orang berbondong-bondong keluar kelas untuk melihat pemandangan ini.

"Gue denger kak Vano mau main ftv baru, dan itu... sama abang lo," ujar Zanufa yang
seolah baru menyadari sesuatu. Cantika memejamkan matanya karena tidak tahan.
Rasanya ia ingin menangis.

Di bawah sana, terdapat Claudio yang kini sedang ber-highfive bersama Vano dan kawan-
kawannya. Sepertinya Claudio akan masuk ke dalam kawanan mereka.

"Makin susah gue buat deketin kak Vano kalo dia main ftv dan bakalan jadi artis." Nada
bicara Cantika jelas terdengar putus asa, dan Zanufa sasar akan itu. Ia lantas menepuk
pundak sahabatnya, dan merapatkan posisinya.

"Semua ada jalannya masing-masing kok," ujar Zanufa.

"Jadi, lo tetep mau ngerahasiain kalo kak Claudio itu abang lo?" Zanufa mengecilkan
volume suaranya sebelum memastikan tak ada orang lain yang berjarak cukup dekat
dengan mereka.

Cantika mengangguk mantap. Namun matanya berhenti ke suatu pemandangan yang


berada di depan perpustakaan. Tiga orang cewek yang sama-sama tengah memerhatikan
kejadian di lapangan kini.

Tiga orang cewek yang menamakan diri mereka sebagai Cataudira. Berisikan Catalia,
Audi, dan Dira.
Ia meneguk salivanya kala tertampar oleh kenyataan.

"Tapi, Zan.."

Zanufa menoleh dan menatap Cantika.

"Tapi apa, Tik?" tanya Zanufa, merasa ucapan Cantika menggantung.

"Abang gue punya mantan... dia sekolah disini," jawab Cantika, pandangannya berubah
menjadi tatapan kosong.

Zanufa menyerngitkan dahinya. "Dan, dia kenal sama lo?" tanya Zanufa, Cantika
mengangguk dan mengiyakan.

"Berati bisa kacau dong kalo dia nyebar-nyebar?" Zanufa bertanya lagi, dan Cantika
kembali mengangguk.

Mereka terdiam beberapa saat, sampai cewek-cewek berteriak tak karuan dari segala
sudut sekolahan karena melihat kedua artis di bawah menjadi seorang teman. Lebih
tepatnya lagi, satu geng.

"Itu dia, masalah utama yang bisa aja nyebarin dan ngehancurin penyamaran gue. Gue
takut, mantan abang gue itu gak terima mereka putus dan malah nyebarin ini semua. Gue
gamau karir abang gue ancur cuman gara-gara gue."

Zanufa berpikir keras begitu mendengar ucapan putus asa Cantika.

"Emangnya siapa mantan kakak lo?"

"Anak kelas sebelas, Catalia.."

Hembusan • 04

[EDITED]

4. Geng Terre dan Geng Catalia.

Perasaannya campur aduk, fikirannya kian kini makin bercabang atas apa yang terjadi di
kehidupannya. Merasa tak adil dengan apa yang ia alami dan dapatkan.

"Kenapa, Tik?" tanya Zanufa, yang sedari tadi tak kunjung mendapatkan jawaban dari
sahabatnya.

Kini mereka berada di perpustakaan. Agaknya sebal karena Claudio dan Vano menjadi
perhatian bagi seluruh siswa sekolah, Cantika jadi mengajak Zanufa kesini.

"Kalo abang gue main sama kak Vano, gue gimana ngasih ini makanan buat dia?" Cantika
menunjukkan kantung plastik berisi dua buah roti yang sedari tadi dibawa-bawa olehnya.
"Emang kakak lo sekelas sama kak Vano apa, sampe-sampe bareng melulu?" Zanufa balik
bertanya. Cantika terlihat menimang-nimang, menggigit bibir bawahnya lantaran
berfikir.

"Gatau juga sih," jawabnya.

"Tanya gih."

"Ntar abang gue curiga dong kalo gue nanya yang enggak-enggak soal Vano," ujar Cantika
yang terdengar ragu. Ia menggigiti buku jarinya karena bimbang yang melanda.

"Kan lo cuman nanya sekelas apa enggak doang, Cantika Adrianaaaaaaa," pekik Zanufa
dengan gondok.

"Gimana cara nanyanya, Zanufa Tazqiaaaaaaa," balas Cantika. Ia kemudian menangkup


seluruh wajahnya dengan tangannya. Zanufa berdecak sebal.

"Yaudah ah gue aja deh yang nanya!"

Zanufa lantas keluar meninggalkan Cantika sendiri. Dan kembali setelah beberapa menit
pergi.

"Dia sekelas, Tik."

Cantika menghela nafasnya lega tapi ada perasaan tidak enak begitu tau mereka sekelas.
Ia fikir Zanufa akan bertanya kepada Claudio atau bahkan bertanya langsung kepada
Vano, kacau. Ternyata Zanufa menanyai teman kelasan Vano, bertanya apakah anak baru
itu--Claudio--di kelas Vano atau tidak. Dan, jawabannya adalah ya.

"Aduh." Cantika menggerutu, semakin dibuat bingung dengan keadaan.

"Terus sekarang gimana?" tanya Zanufa, duduk di samping kanan Cantika. Kini mereka
tengah berada di luar perpustakaan, menghadap ke arah lapangan. Memerhatikan dari
jauh.

"Eh, itu kakak lo kemana tuh?! Samperin kak Vano sekarang aja buru!" pekik Zanufa yang
tak sabaran. Cantika agaknya ragu sebelum memastikan kakaknya tak terlihat lagi
karena sudah naik ke lantai atas. Semoga kakaknya kembali ke kelas dan tidak turun lagi.

"Tunggu semenit. Kali aja dia belom masuk kelas," ujar Cantika. Zanufa mengangguk
mengiyakan pada akhirnya, setuju. Dan setelah memastikan semuanya aman, Cantika
mulai bangkit dan akan segera melaksanakan keinginannya.

Kantung pelastik bening berisikan roti itu ia tenteng sementara langkahnya sedikit kaku
untuk melangkah menuju seorang cowok yang tak hanya sekedar di taksirnya itu. Bulu
kuduknya berdiri seketika, kala mata mereka bertemu. Detak jantungnya semakin tak
karuan. Takut kejadian beberapa bulan lalu saat cowok itu membuang makanannya di
tengah lapangan terulang kembali. Ia meneguk salivanya dan meneruskan langkah.
Teman-temannya turut memerhatikan kedatangan Cantika, begitu juga dengan si
pangeran.

Tangannya terjulur untuk memberikan kantung itu. Namun, hal yang tak ia sangka adalah
kala Vano malah justru menerimanya, walau dengan alis sebelah kanannya yang sedikit
naik ke atas karena sadad Cantika sedari tadi menunduk, lebih tepatnya kala siluet
mereka berpapasan.

"Makasih ya," ucap Vano membuat Cantika sontak mendongak. Dan yang ia dapatkan
adalah senyuman dari Vano, entah tulus atau tidak ia bahkan tak perduli karena intinya
adalah hatinya tengah di kunjungi jutaan kupu-kupu karena seorang Revano Prasetya
tersenyum kepadanya.

Namun dengan cepat Cantika menepis pikirannya itu jauh-jauh. Bukan itu maksud
kedatangannya.

"Di makan ya kak. Gak aku kasih racun kok. Jangan di kasih ke temen kakak ya. Aku
berharap banget kakak suka sama yang ini, soalnya aku abis ini gabakalan ganggu kakak
lagi kok. Janji." Cantika tersenyum simpul, tanpa menunggu jawaban apapun ia segera
membalik badannya dan melangkah menjauh.

•••

"Hah!? Apaan sih lo, Tik!? Udah gila lo ya!?"

Zanufa tidak habis fikir dengan pemikiran Cantika. Ia stress bukan main apalagi setelah
mendengar cerita Cantika.

"Gila. Hidup lo tuh ya... complicated banget," ujar Zanufa, hampir speechless. Ia
menangkup wajahnya di antara kedua tangannya. Sudah benar-benar tak mengerti
dengan jalan pemikiran Cantika, apalagi hidupnya.

"Terus sekarang kalo udah kayak gini lo mau gimana?" tanya Zanufa, menghentikan
langkahnya dan meletakkan jari telunjuknya di mesin absen, begitu juga Cantika.

"Ada satu lagi yang perlu gue urus. Kak Catalia," jawab Cantika, lanjut melangkahkan
kakinya menyusuri koridor.

Zanufa menyejajarkan langkahnya. "Mau ngapain?"

Langkah Zanufa terhenti kala melihat Catalia bersama dua temannya, Audi dan juga
Dira. Cantika menghampiri mereka sementara Zanufa hanya termangu di tempatnya.

"Hai kak," sapa Cantika, mencoba menyapa dengan seramah mungkin. Ia pikir Catalia
akan memusuhinya karena perilaku Claudio dan bersikap acuh padanya. Namun ternyata
Catalia malah balas tersenyum, begitu juga dengan Audi dan Dira.

"Hai, kenapa Can?"


Ya, sejak dulu berpacaran dengan Claudio, Catalia selalu memanggilnya dengan sebutan
'Can'. Catalia berasal dari SMP yang sama dengan Cantika dan Claudio, maka dari itu ia
dapat berpacaran dengan Claudio, satu tahun lebih dua bulan.

"Itu kak--"

Baru saja Cantika hendak melanjutkan kata-katanya, suara tepuk tangan terdengar dari
balik tubuhnya. Lantas ia menoleh, begitu juga dengan Catalia serta teman-temannya
yang menatap tajam si 'pelaku'.

"Wuhuw, ada si buruk rupa and all of princess resque." Itu Terre yang berucap. Di
belakangnya ada Tiara dan Rachel, sahabat sekaligus anak buah mereka.

Cantika menghela napasnya panjang, agak ngeri kalau cewek yang menurutnya agak
sinting itu mengerjainya lagi dan lagi untuk ke sekian kalinya.

"Oh, jadi Cantika anak buruk lupa yang sering lo omongin di kelas itu dengan bangganya
karena lo berhasil mojokin dia hm," balas Catalia, terlihat tidak takut sama sekali dan itu
membuat Terre geram. Audi menarik Cantika dan sedikit berbisik agar Cantika
mendekat kearahnya.

"Lo gak tau dia ini siapa, hah?" tanya Catalia dengan nyolot, kesal dengan perilaku Terre
dan gengnya yang semena-mena.

"Si buruk rupa kan?" celetuk Tiara. Terre dan Rachel tertawa hambar yang terdengar
begitu memuakkan di telinga Catalia.

Baru saja Catalia hendak menjawab, namun tangan Cantika menahannya, seolah
memeringati agar Catalia tak perlu berbicara lebih tentangnya. Karena itulah yang
sebenarnya ingin ia bicarakan dan menjadi alasan ia kemari.

"Bu Siska dateng!" pekik sebuah suara dengan keras. Terre dan geng-nya panik, langsung
berlari menuju gerbang utama. Dari belakang kemudian muncul sosok Zanufa yang
terengah-engah.

"Mana Bu Siska?" tanya Audi yang menyadari kalau tak ada Bu Siska di mana-mana.
Zanufa menaikkan bahunya dan tersenyum penuh kemenangan.

Bu Siska adalah kepala bidang kesiswaan yang mengurus urusan dalam menggunting
celana cowok yang di pensil, rok yang di span, dan baju yang di kecilkan. Geng Terre
melakukan itu, jadilah mereka kabur untuk menghindari guntingan yang kesekian kalinya.

"Gokil lo!" pekik Dira, tertawa terbahak-bahak apalagi kala mengingat ekspresi panik
mereka.

Zanufa balas tertawa, kemudian memberi aba-aba kepada Cantika untuk menuju gerbang
utama karena dirinya sudah mau pulang.
"Duluan aja gapapa Zan," kata Cantika. Zanufa terlihat ragu awalnya. Tapi ia menuruti
juga akhirnya.

"Yaudah, duluan ya Tik. Kak. Duluan."

Sepeninggalan Zanufa, mereka masih berdiri di posisi sebelumnya. Agak hening sebelum
Catalia membuka suaranya.

"Tadi mau ngomong apa, Dek?" tanya Catalia yang seolah ingat kenapa tiba-tiba Cantika
menghampirinya.

Cantika menimang-nimang sesaat. Bingung, ia merenas dan menelintir ujung dasinya.

"Anu kak," ujarnya setidik terbata karena ragu. "Jangan bilang siapa-siapa, yah.."

Dahi Catalia berkerut tanda bingung. "Jangan bilang-bilang apaan?"

"Gimana sih maksudnya anjir," ujar Audi yang juga mendengarkan. Dira hanya menatap
seolah menunggu Cantika meneruskan kata-katanya.

"Jangan bilang siapa-siapa kalo gue adeknya abang," ujar Cantika pada akhirnya. Mulut
Catalia membentuk 'o'.

"Emang abang lo siapa?" kini Dira yang bertanya.

Catalia menebas tangannya seolah meminta kedua temannya untuk tidak ikut andil dalam
berbicara. Ia menarik tangan Cantika untuk sedikit menjauh dari kedua sahabatnya itu,
agar pembicaraan mereka jadi lebih privasi.

"Jangan bilang-bilang kalo lo adeknya Claudio? Emang kenapa?" tanya Catalia setelah
memastikan posisi mereka berjauhan dengan Audi dan Dira.

Cantika akhirnya memberanikan diri untuk menatap Catalia.

"Anu.. gue gamau bikin abang malu. Dia udah cukup di katain gara-gara punya adek kayak
gue waktu SMP. Di tambah lagi sekarang dia kan udah jadi.... ya gitu deh, ngerti kan?
Gue gamau ngehalangin popularitas dia cuman gara-gara punya adek macem gue."

Catalia menghela nafasnya panjang. "Gue dari dulu juga gak pernah ngatain lo atau apa
kan waktu SMP? Santai aja kali, gak semua orang kayak gitu kok."

"Ya, itu alesan gue setuju lo sama abang gue. Tapi kan ini masalahnya beda, Kak. Ini di
lingkungan SMA yang pembullyannya bener-bener nusuk banget. Gue udah cukup di bully
dan gue ngerti banget rasanya itu sakit gak ketolongan. Abang mungkin bisa nanganin
karena dia cowok. Tapi gue enggak, dan gue juga gak mau kalo dia sampe keluar dari
dunia hiburan gara-gara gue. Please kak, bantuin gue."

Walau awalnya ragu, Catalia kini hanya dapat mengangguk. Ia pun kembali menarik
Cantika untuk menuju dua sahabatnya.

"Guys," panggil Catalia kepada dua temannya.


"Cantika sering banget di bully sama Terre and the genk nih," ucap Catalia. Membuat
Audi menghela nafasnya.

"Gak ada capek-capeknya ya itu cabe." Audi muak dengan perlakuan Terre dan teman-
temannya yang semena-mena apalagi terhadap juniornya. Padahal mereka baru menginjak
bangku kelas 11, gimana kalau sudah kelas 12?

Cantika menyenggol tangan Catalia dan Catalia menoleh.

"Bukan Terre doang kok yang gituin."

Maksud Cantika adalah Terre tidak sepenuhnya membully dirinya. Hanya terkadang kalau
kebetulan mereka berpapasan atau genk mereka sedang dalam fase iseng. Namun
sepertinya Dira menangkap itu dengan pemikiran yang berbeda.

"Iya sih. Anak satu sekolah pasti banyak juga kan yang ngata-ngatain lo." Ucapan Dira
seratus persen benar adanya, namun Cantika menggelengkan kepalanya cepat.

"Yaudah, kalo ada apa-apa yang terjadi sama lo. Lo bilang ke kita ya. Apalagi kalo kita
ngeliat kejadian kayak lo di bully atau segala macem. Abis dah."

Cantika termangu. Itu artinya, Catalia dan teman-temannya baru saja menawarkan
sebuah pertolongan.

Atau malah akan menjadi ancaman karena orang-orang yang menganggap Cantika
memanfaatkan popularitas mereka bertiga?

Hembusan • 05

[EDITED]

5. Penyelamat.

Cantika menghela nafasnya tanda lega begitu mobil Claudio masuk kedalam perkarangan
rumahnya.

Ia cepat-cepat turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah, meninggalkan Claudio yang
tengah mengerutkan dahinya, tak mengerti dengan sikap adiknya akhir-akhir ini.

Di kamar, Cantika melucuti seluruh seragam sekolahnya dan menggantinya dengan kaos
serta celana training pendek. Ia pun lantas berlari setelah meraih ponsel juga sebotol
air putih ke arah ruangan yang berada di samping gudang rumahnya.

Itu adalah ruangan khusus bela diri yang Papanya buatkan untuk Cantika, karena Cantika
begitu suka dengan ilmu bela diri sejak ia masih di usia belia.
Tangannya yang tak berbalut apapun meninju samsak beberapa kali sehingga
meninggalkan bekas kemerahan pada tulang-tulang jarinya.

"Makanya ngaca, Cantika Adriana!" tukasnya, lebih kepada dirinya sendiri. Memukuli lagi
samsak itu berkali-kali.

Cantika kini beralih pada jejeran kayu-kayu, tangan dan kakinya dengan lihai memukul,
menendang hingga menginjak kayu-kayu itu.

Nafasnya terengah-engah, air mata tak dapat lagi ia tahan. Apa jatuh cinta rasanya
sesakit ini? Apa ini resiko bagi orang yang memilih untuk jatuh cinta dan ternyata
cintanya itu salah?

"Just be yourself, don't mad at yourself. I do love you whoever you are, my beautiful.
That's why I give you a beautiful name."

Suara itu seolah menyadarkan Cantika, membuat kegiatannya terhenti. Ia menoleh dan
sontak berlari menuju sosok wanita yang begitu ia sayangi. Itu Mamanya.

Juliana dengan senang hati membalas pelukan putrinya. Ia mengelus puncak kepala
Cantika. Dadanya basah, bercampur antara keringat yang membasahi peluh Cantika serta
merta air matanya yang turut mengalir.

"Nangis aja yang banyak gapapa, Dek, keluarin semuanya." Juliana kini mengelus bahu
Cantika, mencoba menyalurkan energinya kepada anak perempuannya itu.

"Salah ya, Mah, kalo adek suka sama cowok?" suaranya terdengar parau, setelah sekian
lama akhirnya perasaannya dapat terbuka dan ia berhasil untuk mengatakan kepada
Mamanya.

"Nggak ada yang salah soal itu, sayang. Yang salah itu cuman perasaan negative thinking
kamu mengenai diri kamu sendiri aja."

Sementara Cantika diam untuk mencoba menerubus apa maksud dari yang Mamanya
katakan, tangan Juliana tak kunjung henti menenangkannya. Agaknya bahunya mengendur
sedikit.

"Gimana kalo besok pulang sekolah kita coba jalan-jalan sebentar?" Juliana kembali
bersuara, memecah keheningan yang sebelumnya tercipta selama beberapa saat. Ia
menatap anaknya lekat-lekat dengan senyumnya.

"Kemana, Mah?"

"Pokoknya besok pulang sekolah kamu Mama yang jemput. Bang Dio tinggalin aja."

•••

Ia meninggalkan Claudio yang tengah mendumal di dalam mobil, berjalan mendahuluinya


untuk masuk ke dalam gedung sekolah.
Selesai meletakkan jari telunjuknya di finger print, Cantika meneruskan langkahnya
menuju kelas. Namun langkahnya terhenti kala melihat sesuatu yang sama sekali tak
ingin di lihatnya saat ia melewati koridor yang menengadah ke lapangan. Ia meneguk
salivanya sendiri.

Baru saja ia hendak mengambil ancang-ancang untuk melanjutkan langkahnya, mencoba


tak perduli dengan apa yang tengah terjadi di lapangan walau sebenarnya ia tak ingin
beranjak sesenti pun. Bagaimana bisa pagi-pagi saat bel bahkan belum berdering, sudah
ada perkelahian?

"Cantik ayo!"

Itu Zanufa. Yang tiba-tiba muncul dan sudah berada di hadapannya, menarik pergelangan
tangannya menuju lapangan.

Cantika terdiam di posisinya kala ia dan juga Zanufa telah sampai di lapangan. Ia tak tau
apa yang harus dilakukannya.

"Zan, mending ke kelas aja yuk," ajak Cantika memegangi pergelangan tangan Zanufa. Ia
sedikit mendekatkan jaraknya dengan telinga Zanufa, berbisik.

"Nggak, Tik! Ini kita harus misahin kak Vano sama kak Seto! Gila inimah malah pada
nyorak-nyorakin," balas Zanufa.

Cantika meneguk salivanya. Zanufa benar, yang di lakukan orang-orang disini hanya
menonton perkelahian yang terjadi antara Revano Prasetya dan Seto Bramantyo. Bahkan
teman-temannya sekalipun.

"Lo ngapain tolol kemaren, hah!? Mau sok jadi jagoan!?" Seto berteriak tepat di depan
wajah Vano, menarik kerah bajunya sementara Vano mendengus dan menepis tangannya
dengan keras.

"Lo yang ngapain tolol! Di tolongin bukannya makasih. Gatau diri anjing. Pantes gapunya
temen," balas Vano enteng. Ia membenarkan tatanan dasinya yang sempat turun dan juga
kancing bajunya.

Bugh!

Vano tersungkur. Sikunya terbeset dan darah segar mengalir dari ujung bibirnya.

"Jaga bacot lo, anjing!" pekik Seto. Ia baru saja hendak menarik seragam milik Vano lagi.

"Bu Siska dateng!" sebuah suara memekik.

Hening, namun di detik berikutnya suara gedebuh mulai terdengar, para siswa yang
sebelumnya menonton mulai berlalu-lalang, berebut untuk memasuki kelas mereka
masing-masing terlebih dahulu, termasuk Seto. Namun tidak dengan Vano yang masih
tersungkur, dengan kedua orang cewek yang masih berdiri di tempatnya.
"Lo nyolong gaya gue, Tik," ujar Zanufa, menahan gelak tawanya. Di detik berikutnya, ia
berlari meninggalkan Cantika yang terpaku di tempatnya.

Awalnya ia agak ragu, namun ia menghela nafasnya dengan panjang dan melangkah untuk
mendekati seseorang yang tengah terluka.

"Ayo ke UKS, Kak." Ia memberanikan diri dengan membantu Vano untuk bangkit. Dan
yang mengejutkan adalah kala cowok itu bahkan tak menolak sedikitpun.

Revano Prasetya, calon artis, the most wanted boy di sekolah, orang yang di taksirnya,
sedang berjalan tepat di samping kanan tubuhnya, dengan tangannya yang ia genggam
untuk membantunya.

Keringat membasahi peluh, detak jantungnya tak karuan. Ia ingin pingsan rasanya, namun
matanya malah terbelalak semakin besar kala merasakan tangan di genggamannya
bergetar hebat.

"Kak?" Cantika menoleh, melihat keadaan Vano yang sedang meringis. Di detik kemudian
ia sadar dan membantu Vano untuk berjalan lebih cepat menuju UKS.

Kakinya ia gunakan untuk menendang pintu UKS, Vano agaknya sedikit shock melihat
cewek sekuat Cantika, namun ia tak bereaksi apa-apa karena begitu lemah keadaannya.

Cantika cepat-cepat mengarahkan Vano untuk duduk bersandar di atas kasur UKS.
Kemudian ia berlari kecil menuju lemari, mengambil kapas, alkohol, revanol, kasa,
betadine, dan hansaplast. Setelah meletakkannya di atas meja samping kasur tempat
Vano bersandar, ia segera mencari handuk kecil, meraih beberapa butir batu es di
kulkas UKS, menuangkan sedikit air di dalam wadah kecil bersamaan dengan ia menaruh
batu es.

"Aduh!"

Vano memekik kala tangan Cantika mulai bergerak untuk membersihkan luka pada
sikutnya dengan alkohol yang sudah ia tuangkan ke kapas.

Cantika tertawa kecil, "Tenge banget sih kak, gitu doang," ujarnya. Vano mendengus
mendengarnya.

"Ini lukanya gede banget anjir," katanya gak mau kalah. Cantika hanya menghela
mengiyakan.

Kemudian suasana agaknya hening karena mereka sama-sama memilih untuk tak
bersuara, kecuali ringisan-ringisan kecil yang keluar dari mulut Vano.

Setelah menutup luka pada siku Vano, ia beralih untuk luka di pelipis Vano dan mau tak
mau mereka bertatapan.

"Gabisa berantem kak?" tanya Cantika, memecah keheningan. Sebenarnya ia begitu


gugup dengan posisi ini. Ia tak dapat menahan detak jantungnya agak tak terdengar
sampai luar. Ia menggigit bibir bawahnya tanpa sadar, namun tangannya tetap fokus
pada kegiatannya mengobati luka di dahi Vano.

Vano meneguk salivanya, namun di detik berikutnya ia mengerjapkan matanya. Pura-pura


menghela nafas. Namun di detik berikutnya ia seakan baru tersadarkan akan pertanyaan
yang Cantika lontarkan.

"Apaan!? Enak aja!"

Cantika tertawa hingga matanya agak menyipit kala mendengar pernyataan spontan Vano
yang malah terkesan lemot seperti ini.

Baru saja ia ingin melontarkan sebuah pertanyaan yang menjebak lagi, namun fikirannya
seakan di sadarkan dengan sesuatu. Ia terhenyuk ke dalam fikirannya. Mengingat bahwa
seharusnya ia yang menjauh dari Vano karena memang Vano sendiri yang memintanya
walau tidak secara langsung lewat omongan. Tetapi disini, sekarang mereka tengah
berada di dalam ruangan yang sama dan hanya berdua saja, menyahuti omongan satu
sama lain yang sebelumnya bahkan tak pernah terbayangkan oleh imajinasi paling liar
miliknya sekalipun.

Cantika rasa, lebih baik ia tak menjauh dan terus berusaha. Tapi ia masih takut, takut
jatuh cinta terlalu dalam dan akhirnya malah harus sakit karena perasaannya yang tak
terbalaskan atau lebih pahitnya lagi di tolak mentah-mentah dan kejadian beberapa
waktu lalu akan berulang.

"Kalo bisa kenapa gak ngelawan pas tadi di tonjok sama kak Seto?"

Akhirnya ia berhasil mengeluarkan kembali kata-katanya setelah seluruh pemikirannya


dapat ia simpulkan sendiri. Parahnya lagi, nada bicaranya itu terdengar begitu meledek
dan menjengkelkan di telinga Vano.

"Kalo gabisa berantem ngapain kemaren gue nolongin dia pas lagi di keroyok sama anak-
anak begajulan. Males juga ngelawan dia, tenge jatohnya."

Cantika tertawa lagi, dan matanya juga menyipit lagi. Tanpa sadar ia menepuk dahi Vano
yang terluka namun sudah selesai ia tutup dengan kain kasa dan handsaplast,
menyebabkan Vano meringis. Matanya memerhatikan Cantika yang masih tertawa dengan
matanya yang tak terlihat.

"Di tepok gitu aja ngeluh, sama aja tenge kak." Dan ternyata ia sengaja melakukannya.

Sialan, inimah namanya gue di kerjain. Di jebak. Gabisa di terima, harus gue bales.

"Eh!" pekik Vano yang berhasil membuat tawa Cantika mereda. Ia menghapus air
matanya yang ternyata sudah turun.

"Kok lu nangis?" Gagal sudah. Malah pertanyaan itu yang keluar dari mulut Vano.

"Abisan kakak tenge banget," jawabnya polos. Sialan.


Vano mendengus. Sembari memikirkan apa yang sekiranya dapat ia gunakan untuk
mengerjai cewek di hadapannya ini. Kini Cantika memeras handuk yang sudah ia rendam
di air yang penuh dengan batu es, membuat Vano terhenyak kala handuk dingin nan basah
itu menyentuh ujung bibirnya.

Apaan ini.

"Itu jerawat lo yang di jidat pecah," kata Vano polos. Mata Cantika terbelalak, sontak ia
melepaskan pegangannya dari handuk sehingga handuk itu terjatuh di pangkuan Vano.
Vano meraih handuknya dan menahan tawa kala menatap Cantika yang tengah
kelimpungan memegangi jidatnya untuk mencari kaca.

"Hahahahahahaha."

Gelak tawa Vano akhirnya pecah, Cantika menoleh dengan gerakkan cepat dan
menatapnya tajam. Ia sadar sekarang ia tengah di kerjai oleh Vano.

Sial, mau di taruh mana mukanya sekarang ini? Gebetan tercintanya meledek dirinya dan
membawa-bawa persoalan paling keramat di kehidupan Cantika. Jerawat.

Ia kemudian teringat hampir keseluruhan wajahnya tertutupi oleh bintik berwarna


merah muda ini. Jadi, kalau Vano berkata jerawat di jidat, pertanyaannya adalah:
'jerawat di jidat yang sebelah mana?' yang seharusnya terlintas di fikiran Cantika
terlebih dahulu. Ia terlalu panik.

"Sialan," geram Cantika saat sudah berada di dekat Vano. Yang mendengar lantas
terdiam, seolah tak menyangka kata-kata itu akan keluar dari mulut Cantika. Kemudian ia
tertawa lagi kala melihat Cantika yang tengah mendumal dengan kedua tangannya yang
menutupi pipi.

Lalu tiba-tiba ponsel di saku Cantika bergetar, menandakan ada panggilan masuk. Ia
segera meraihnya dan menempelkannya di telinga. Vano yang melihat itu segera
meredamkan tawanya.

"Halo, Mah. Kenapa?"

"Hah!? Kata Mama pulang sekolah?"

"Ya terus ngapain adek dateng ke sekolah tadi, Mah......."

"Belum masuk sih. Ya tapi kan----fine."

"Iya bentar. Mama minta surat izin aja di resepsionis."

"Bang Di-----" Cantika meneguk salivanya kala sadar bahwa Vano masih disini. Hampir
saja ia keceplosan.

"Iya nanti adek Line abang."


Namun tiba-tiba pikirannya kembali mendapat sebuah hantaman keras. Guru piket dan
penjaga resepsionis hari ini adalah biang gosip sekolahan.

"Eh, Mah! Mah!"

"Mama tunggu di tempat biasa aja deh biar adek yang minta surat izin."

"Oke, bye."

Cantika memutuskan sambungan, dan menoleh ke depannya. Mendapati Vano yang


ternyata sedang memerhatikannya, namun di detik berikutnya Vano mengalihkan
pandangannya. Cantika hanya menaikkan alisnya.

"Nyokap lo?" tanya Vano, Cantika mengangguk.

"Sini duduk," titahnya, menepuk posisi di kasur sampingnya menandakan agar Cantika
duduk di sampingnya. Cantika dengan senang hati langsung duduk di samping Vano.

"Istirahat dulu aja kak disini, tadi juga muka kakak keliatan pucet banget. Udah sarapan
belom?" entah kenapa perkataan itu melontar begitu saja dari mulut Cantika. Seakan
tersadar akan kelalaian mulutnya, ia segera mengalihkan pandangannya yang sebelumnya
menengadah ke arah Vano, menggigit bibir bawahnya dan beralih ke arah ponselnya. Tak
berani untuk lebih lama lagi menatap Vano. Jujur, karena ia bahkan tak menyangka
setidaknya sebelumnya Vano akan lebih friendly.

Cantika Adriana: Abank dio jeyek. Aq mau pulang~ @bye.

Selesai mengetik itu, Cantika langsung mengunci lagi layar ponselnya dan kembali
menengadah ke arah Vano yang ternyata juga tengah memerhatikannya. Cantika langsung
salah tingkah dan dengan kikuk berpura-pura menatap langit kamar UKS ini.

"Biasanya elo yang ngasih gue sarapan atau pas istirahat nanti gue baru makan pas lo
kasih makanan. Tapi kayaknya dari kemaren lo gak ngasih jadi gue gak pernah sarapan.
Palingan beli jajanan doang di kantin."

Cantika terhenyuk mendengar jawaban yang keluar dari mulut Vano, baru saja ia ingin
angkat bicara, bell tanda masuk sekolah berbunyi. Ia melirik ke arah jam atas yang
menunjukkan pukul delapan.

Ponselnya bergetar, kali ini hanya sekali yang berarti ada pesan atau notifikasi masuk.

Claudio Adrian: Tai ngapain pulang? Bell masuk baru aja bunyi. Trs ngapain lu ke sekolah
kalo gitu!?

Cantika tertawa sekilas membaca pesan dari kakaknya, ia hendak membalas kala sadar
ternyata Vano memerhatikannya. Mampus, bisa-bisa ia ketahuan.

"Hape lo merk bagus ya. Mahal itu kan. Samaan deng sama gue."

Zonk.
Pundak Cantika mengendur. Ia fikir Vano membaca pesan masuk dari Claudio. Ternyata
Vano memerhatikan ponsel miliknya.

Shuwe ugha, batinnya.

"Ehm, kalo kakak mau soal sarapan nanti aku bisa bawain lagi. Aku kirain kakak gama-----
"

"Revano!?"

Sebuah suara memekik secara tiba-tiba, menghentikan omongan Cantika yang belum
sempat terselesaikan. Mereka berdua lantas menoleh dan mendapati sosok cewek di
sana.

"Dira?"

Cantika terdiam di posisinya. Itu teman dari mantan kakaknya. Cewek cantik berambut
badai itu menghampiri mereka berdua.

"Cantika ngapain?" tanya Dira, sepertinya agak aneh dengan kehadiran Cantika disini.

"Anu, tadi bantuin ngobatin luka kak Vano aja kok," jawab Cantika, sejujur-jujurnya.

"Cantika?" Vano terdengar mengulang. Cantika menoleh, ia menggigit pipi bagian


dalamnya untuk menahan gejolak dalam tubuhnya. Apa Vano baru tau namanya?

"Eum, kak Vano.. kak Dira.. Aku duluan ya, udah di jemput Mama." Cantika bangkit dari
posisinya dan membenarkan tatanan seragamnya yang agak acak-acakan karena duduk
dengan asal. Ia mengencangkan tas gendolnya beserta dengan kunciran rambutnya.

"Perasaan baru bel masuk." Dira kini menggantikan duduk di tempat Cantika. Cantika
hanya tersenyum kikuk.

"Ada acara, duluan ya kak." Ia melambaikan tangannya asal dan langsung berlari untuk
keluar UKS. Ia bahkan tak lagi mendengar omongan Vano kala Dira datang selain
menyebut nama Dira dan namanya.

Mengucap selamat tinggal atau sekedar berterima kasih pun tidak. Vano bahkan tak
menjelaskan kepada Dira kenapa alasannya berada di ruangan itu.

Tanpa terasa air matanya menetes. Ia menghapusnya dengan gerakkan cepat dan
berjalan melalui lapangan yang sepi untuk keluar sekolah.

Lagi, Cantika terjerumus oleh perasaannya sendiri dan harus menerima betapa pahit
kehidupannya. Ia berharap terlalu jauh. Boro-boro bersaing mendapatkan Vano dengan
Dira, tanpa memulai pun orang-orang sudah akan tahu siapa pemenangnya dengan
sekedar melihat.

Dan kini, ia bahkan hanya bisa menjadi embusan nafas yang tak pernah terlihat di
kehidupan seorang Revano Prasetya.
Hembusan • 06

[EDITED]

6. Perawatan.

Kecewa, namun dirinya bahkan merasa tak pantas. Bahkan untuk kecewa sekalipun,
mengingat status yang di handangnya sebagai 'bukan-siapa-siapa'.

Tangan lentiknya menghapus embun kaca yang biasa ia gunakan-kaca mata, mencari
kesibukan sementara bahkan walaupun sebelumnya ia tak menggunakan kaca mata,
karena hanya di gunakan olehnya saat belajar atau kala benar-benar dirasa butuh untuk
menggunakan.

Juliana yang sedari tadi membiarkan anaknya yang kini duduk di kursi penumpang dengan
kesibukannya sendiri, rupanya sudah mulai tak tahan untuk tetap bungkam. Sementara
tangan dan kakinya digunakan untuk menyetir, kepalanya ia tolehkan sedikit untuk
memerhatikan, lalu kembali menatap jalan raya di hadapannya kini.

"Saatnya jadi perempuan sejati!" tukas Juliana, kini mampu menarik perhatian anak
gadisnya, Cantika.

"Emang mau kemana kita sih, Mah?" Setelah sekian lama menunggu, akhirnya pertanyaan
itu meluncur juga dari mulut Cantika. Ia meletakkan kaca matanya kembali ke dalam tas.

"Ke...... dokter?" Jawaban Juliana itu malah terdengar seperti pertanyaan di telinga
Cantika. Alisnya bertautan, seolah menanyakan lebih lanjut apa maksud dari pergi ke
dokter itu.

"Gak nerima penolakan."

Dahinya mengerut, makin tidak mengerti. "Siapa yang nolak.. Lagi pula, aku kan gak sakit,
Mah. Ngapain juga ke dokter."

"Yang bilang kamu sakit siapa emang?" Juliana membalikkan pertanyaan sementara
Cantika menghela nafasnya.

"Ya terus mau ngapain emang ke dokter?"

Kemudian Cantika seakan di sadarkan akan sesuatu. Matanya mendelik ke arah perut
Juliana, dan menatapnya lekat-lelat. Apa Mamanya itu sedang hamil?

"Itu muka kamu."

Matanya melebar. "What?"

•••
Di gigitinya bibir bawahnya sementara perasaan berkecamuk kini benar-benar beradu
dalam benaknya. Tak tahu apa yang harus di lakukan, kakinya turut menghentak-hentak
ke lantai. Apakah dia kabur saja sekarang?

"Dek, santai aja napa." Juliana sedikit membelalakkan matanya, seperti memelototi
penuh ancaman sembari memegangi punggung jari milik Cantika.

"Gak bakalan di apa-apain juga." Juliana melanjutkan.

Cantika menghembuskan napasnya dengan kasar dan mengaturnya agar menjadi lebih
rileks. Walau ragu, ia bangkit dan membenarkan sedikit tatanan seragamnya. Menoleh
untuk menatap sang Mama, ia pun segera masuk kala Juliana telah mengangguk seolah
mengiyakan Cantika untuk masuk dengan segera.

"Its okay," ucap Juliana, di detik berikutnya Cantika masuk ke dalam ruangan.

Entah apa yang dia takuti kala masuk ke dalam, namun ia benar-benar merasakan
perasaan yang tak karuan, entah karena apa.

Perlahan namun pasti kakinya melangkah untuk mendekat, dan kala itu juga seorang
dokter perempuan yang Cantika yakini bukan orang Indonesia asli itu menoleh ke arahnya
dengan kacamata yang menggantung di hidung mancungnya.

"You must be Cantika." Dokter itu berkata dengan senyuman yang merekah, entah
mengapa membuat Cantika sedikit rileks. Cantika tersenyum dan mengangguk.

Ia duduk menghadap dokter, dan setelah itu mereka mulai melakukan sebuah konsultasi.
Ia juga akhirnya mengetahui kalau nama dokternya adalah dokter Rosa, selain karena
dokter itu memperkenalkan dirinya tentu saja karena Cantika sudah melihat name-tag
nya terlebih dahulu.

Pikiran Cantika melayang kemana-mana, ia tak tahu harus melakukan apa selain menjawab
apa yang ditanyakan oleh dokter. Ia benar-benar paranoid akan hal-hal seperti ini.
Apakah jerawatnya akan di pecahkan semua? Please, jerawatnya pecah satu saja Cantika
pusingnya bukan main. Bagaimana kalau semuanya di pecahkan?

"Muka kamu kayak gini tepatnya sejak kapan?" tanya dokter Rosa, tangannya
menggerakkan bolpoint dan dengan kaca mata yang bergelantung di hidung mancungnya.

Cantika menimang-nimang jawabannya. Membayangkan semasa-masa dia masih menginjak


bangku sekolah dasar, dimana wajahnya bersih tanpa noda sedikitpun, dan kemudian saat
wisuda juga wajahnya masih baik-baik saja.

Kemudian ia terhentak begitu mengingat wajahnya saat masa orientasi siswa di sekolah
menengah pertama, dimana berawal dari satu jerawat yang timbul dan makin banyak saat
dia baru saja di tetapkan sebagai siswa di kelas 7-C.

"Pas pertama masuk SMP, Dok," jawab Cantika. "Dua belas tahun."
Dokter Rosa mengangguk dan mulai menuliskan sesuatu di jurnalnya. Sementara Cantika,
bingung harus melakukan apa dan mulai memandangi langit-langit ruangan ini.

"Yuk, Cantika. Naik." Dokter Rosa bangkit dari posisinya setelah menutup jurnal,
menghampiri kasur yang tidak terlihat seperti kasur di dokter perawatan biasanya.
Diatasnya terdapat lampu yang bergelantung dan ada lemari kecil di sampingnya.

Cantika bangkit dan melepas sepatunya, terlentang dan memejamkan matanya. Terasa
terang kemudian walau ia menutup mata, yang ia yakini karena dokter Rosa menyalahkan
lampunya.

Di detik berikutnya, Cantika merasakan sesuatu yang lembut di wajahnya, dan juga
basah. Ya, karena dokter Rosa mengusap wajah Cantika dengan handuk basah untuk
mensterilkan wajahnya. Kemudian dokter Rosa mulai membaluti wajah Cantika dengan
krim.

"Ini apa dok?" tanya Cantika, di sela-sela matanya yang masih terpejam. Ia sedikit ngeri
kalau-kalau jerawatnya nanti pecah, dan akan terasa sakit.

"Ini biar jerawat kamu pada kempes. Jadi nanti dokter bisa kasih obat perawatan ke
kamu."

•••

"Kamu kenapa sih, Dek?"

Juliana menyadari gelagat anaknya yang sejak keluar dari ruangan dokter Rosa berubah
menjadi sedikit aneh. Ia memarkirkan mobilnya di garasi dan turun, begitu juga dengan
Cantika.

"Muka aku gak kenapa-kenapa kan, Mah?" Cantika mempercepat langkahnya masuk ke
dalam rumah. Juliana berusaha menyamakan langkah dengan anaknya.

"Emangnya muka kamu kenapa?" Juliana memerhatikan wajah anaknya yang kini sedang
duduk di sofa, begitu juga dengan dirinya.

"Ih, Mama nih! Aku kan nanya, malah balik nanya." Cantika geregetan, ia lantas menutupi
wajahnya dengan kedua jemarinya yang menelungkup.

"Jerawat kamu agak kempes sih, gak gede-gede banget. Emangnya dokter Rosa nyuruh
ngapain aja? Terus dikasih apa aja? Kok gak nyampe sepuluh juta ya." Juliana membuka
tasnya dan mengambil dompet, mencari-cari sesuatu disana. Struk belanja.

"Maksud Mama gak sampe sepuluh juta tuh apa!?" Cantika di buat shock bukan main oleh
Juliana. Dokter Rosa adalah dokter kulit langganan Mamanya untuk perawatan kulit dan
lain-lain.

Mamanya yang menyandang status sebagai artis serta model dan masih memiliki wajah
seperti baru hampir tiga puluhan walau sebenarnya sudah hampir empat puluh, tentu
memiliki rahasia perawatan mahal dalam menjaga kulit awet mudanya. Dan kini Cantika,
berobat di dokter yang sama-dan tentu itu tidaklah murah.

"Cuman sembilan juta dua ratus kok ya." Juliana berhasil menemukan struk tadi dan
melihatnya.

"Cuma!?!?!" Cantika membelalakkan matanya tak percaya. Ia tak mengerti apakah


sebenarnya Ibunya itu masuk ke dalam kategori orang yang loyal atau justru boros dalam
urusan uang.

"Serum, dua juta empat ratus; cream malem, dua juta seratus; cream pagi, sejuta lapan
ratus; cream jerawat, dua juta; obat cuci muka, sembilan ratus." Juliana membacakan
rincian harga yang tertera di struknya. Alisnya bertautan menjadi satu.

"Mah, sumpah kok mahal banget sih!?!? Dokter Rosa bilang ini tuh cuman buat seminggu!
Dan lagi, ini bener-bener dikit banget....." Cantika kehabisan kata-kata. Bagaimana bisa
hanya untuk seminggu menghabiskan biaya perawatan segini banyak? Lalu bagaimana
kalau untuk sebulan, maka habis berapa?

"Assalamualaikum!"

Kepala Cantika lantas menoleh ke arah jam dinding yang tertera tak jauh dari tempatnya
duduk. Ia tak mungkin salah lihat apalagi salah dengar. Ini baru jam sepuluh lewat, dan
barusan adalah suara milih Adrian, Papanya.

"Waalaikumsalam."

"Papa?"

Juliana menjawab salam, namun tidak dengan Cantika yang seolah shock.

"Orang salam tuh di jawab, malah Papa Papa." Adrian mendengus kepada anaknya, namun
kemudian duduk diantara Istri dan anaknya itu. Cantika memutar bola matanya jengkel.

"Waalaikumsalam, Papa ganteng," ledek Cantika. Adrian dibuat gemas oleh perilaku anak
perempuannya yang sama sekali tidak mencerminkan tingkah laku perempuan sedikitpun.
Ia mengacak-acak rambutnya dan mencium puncak kepala anaknya itu.

"Jadi, kemana kita hari ini?" tanya Adrian kemudian, ia mengendurkan lilitan dasi pada
lehernya. Juliana kini bangkit, begitu juga Adrian. Juliana membantu suaminya itu untuk
membuka jas dan juga dasinya. Sementara Juliana masuk untuk meletakkan pakaian tadi
ke dalam box cucian kotor, Adrian duduk kembali.

Cantika menghela nafasnya, entah mengapa dengan keadaan seperti ini membuat dirinya
agak lega bernafas. Dia pikir, kira-kira bisakah dirinya dan suaminya kelak seperti kedua
orang tuanya sekarang ini? Sudah delapan belas tahun menikah dan masih berperilaku
sama-sama manis seperti ini?
"Temenin Cantiknya kita dong, Pah." Juliana tiba-tiba sudah duduk di samping kiri
Cantika, kini dirinya di jepit diantara kedua orang tuanya.

"Kok temenin aku? Kemana emang?" Cantika masih meraba-raba apa maksud dari
Mamanya, dan juga menerawang sekiranya kenapa Papanya ini pulang lebih cepat dari
seharusnya.

Mereka sangat jarang melakukan hal semacam ini karena pekerjaan orang tuanya yang
bukan orang kantor dan bisa libur pada saat hari sabtu dan minggu.

"Yaudah, kamu ganti baju dulu aja. Sekalian Papa mau ganti baju juga." Adrian bangkit,
diikuti Juliana dan masuk ke kamar mereka. Cantika mendengus dan ikut bangkit.

Ia melempar ranselnya ke atas meja belajar dan segera melucuti seragamnya. Membuka
lemari pakaiannya dan memilih jeans putih selutut, kaos hitam bertuliskan 'mind of
mindd', dan langsung mengenakannya secara kilat.

Kakinya melangkah menuju cermin, tempat terakhir yang akan ia kunjungi kalau sangat
mendesak. Mau tak mau ia melihat wajahnya disana, memerhatikan dengan seksama apa
yang kira-kira di lakukan oleh dokter Rosa tadi. Benar rupanya kalau jerawat di wajahnya
mulai mengecil, entah mengapa ia tersenyum senang dengan itu.

Dibukanya tas yang berada di atas meja kemudian mengeluarkan kotak kacamatanya, ia
letakkan diatas meja rias, meraih ponsel kemudian ia letakkan di saku celana, dan meraih
kunciran hitam disana. Menguncir rambutnya tinggi-tinggi. Menggunakan jam tangan
guess silver biasanya dan, selesai.

Keluar kamar dan menutup pintu, Cantika berjongkok di samping pintu dimana rak
sepatunya berada, memilih-milih sekilas dan langsung meraih converse abu miliknya.

Turun ke bawah, ia duduk di sofa dan mengenakan sepatunya. Tak lama, orang tuanya
keluar dari kamar. Sempat terlihat agak kaget karena penampilan anaknya, dan bahkan
sama sekali tak ada niatan membawa tas seperti cewek kebanyakan.

Mereka bertiga pun masuk ke dalam mobil. BMW milik Adrian dengan segera
meninggalkan garasi.

"Ini kita mau kemana sih, Pah? Mah?" tanya Cantika saat di perjalanan. Kepalanya
menyundul keluar diantara kursi Juliana dan Adrian.

"Liat aja," jawab Juliana dan Adrian secara bersamaan. Cantika memutar bola matanya
dan mundur lagi ke belakang. Ia menidurkan tubuhnya sepanjang kursi dan sedikit
menekuk kakinya. Mengeluarkan ponsel, ia mulai memainkannya.

Cantika Adriana: Bang, kapan pulang;-(

Claudio Adrian: Baru jam segini adikku sayang;-)


Cantika Adriana: Padahal gue sama bonyok mau jalan-jalan, tapi gapapadeh gaada lo
juga;-(

Claudio Adrian: Setan kamu ya;-)

Cantika cekikikkan membaca Line dari Claudio. Mereka akan berbicara sarkas atau bisa
seolah sedang berteriak-teriak melalui Line seperti yang biasa mereka lakukan.

"Mah, bang Dio gimana?" tanya Cantika, masih dalam posisinya.

"Biarin aja diamah."

Cantika tak berkata apa-apa lagi setelah itu. Biarlah, mungkin nanti Mama dan Papanya
akan membelikan sesuatu untuk abangnya itu.

Cantika melanjutkan kegiatannya bermain ponsel setelah meminjam earphone milik


Juliana karena miliknya tertinggal. Sementara kedua orang tuanya mengobrol mengenai
persoalan yang tak Cantika mengerti karena ia juga tak mau ikut campur urusan orang
tua.

Tak lama, mereka sampai di parkiran Pacific Place, dan turun dari mobil, berjalan menuju
pintu yang menuju ke arah Mall.

"Mau ke Kidzania, Mah?" ledek Cantika menahan tawanya. Juliana cepat-cepat


menggeleng sementara Adrian menatap anaknya gemas.

Dalam hati Adrian, ia benar-benar tak ingin anak gadisnya kehilangan rasa percaya
dirinya hanya karena masa-masa pubertasnya. Sering kali setiap berjalan-jalan di Mall,
dan kalangan teman-temannya, tiap kali melihat kaca besar maka mereka akan menoleh
atau bahkan anak jaman sekarang menggunakannya untuk foto full badan. Namun, tidak
dengan anaknya yang sama sekali tak menoleh itu. Hati Adrian bagaikan seperti teriris
rasanya.

Naik dengan eskalator, pemandangan pertama yang di temukan adalah Etude House,
tempat remaja kebanyakan biasa membeli peralatan make up mereka.

Juliana mengajak Cantika yang ogah-ogahan untuk masuk, sementara Adrian menunggu di
luar karena tak ingin ikut campur soal dandan seperti ini.

Tangan Juliana dengan iseng menjajalkan liptint di bibir Cantika yang langsung
membelalakkan matanya, sementara Juliana tersenyum puas.

Ia memasukkan bedak, bb cream, masker, liptint, lip gloss, lipstick, beberapa eye
shadow berwarna natural, mascara, eye liner, blush on, dan kuas-kuasnya, kemudian
langsung di serahkan ke kasir untuk di bayar. Tak lupa Juliana bahkan membuatkan kartu
member untuk Cantika yang katanya untuk Cantika gunakan setelah ini semua habis.
Sementara Cantika hanya menelan ludahnya.
"Ini di pake pas muka kamu udah bersih ya." Itulah kata-kata terakir Juliana sebelum
akhirnya mereka keluar dari sana dan mendapati Adrian yang tengah mendumal karena
katanya terlalu lama di dalam sana.

Kemudian, meraka naik dan Adrian menunjuk ke arah toko baju ber brand. Mereka
masuk. Juliana serta Adrian sama-sama memilihkan dress atau pakaian-pakaian girly
lainnya untuk Cantika.

Naik ke atas lagi, Juliana menarik Cantika masuk ke Victoria's Secret. Cantika
membelalakkan matanya tak percaya saat masuk dan sudah di temukan oleh barang-
barang berbahan minim untuk tubuh ini. Ia fikir, Mamanya akan memilihkan itu untuknta
tapi ternyata tidak. Karena ternyata Juliana membelikan yang benar-benar hanya untuk
dalaman, tas, dan beberapa sabun serta body lotion untuk Cantika. Cantika memilih
wangian parfume, dan betapa senangnya Juliana kala Cantika meminta untuk di belikan
parfume itu.

Mereka naik lagi, dan masuk ke dalam toko Charles & Keith, disana Juliana membelikan
beberapa sepatu tinggi serta tas untuk Cantika. Cantika hanya menghela nafas dan
menggenggam tangan Papanya.

"Pokoknya aku ke Adidas ya. Kan ini semua udah," rengek Cantika begitu melihat toko
Adidas yang tak jauh dari tempatnya sekarang. Mau tak mau kedua orang tuanya itu
megiyakan.

Setelah Cantika membeli beberapa sepatu dan juga jaket, mereka naik lagi untuk makan
karena tak terasa sekarang sudah jam tiga sore dan mereka belum makan siang.

"Banyak banget ya kamu belanja." Juliana memerhatikan barang belanjaan yang tak lain
semua adalah milik anaknya. Ia dan Adrian mengurungkan niat untuk berbelanja karena
menurut mereka hari ini adalah hari khusus untuk anak gadisnya.

"Loh kan Mama yang milih-milih beli ini semua, Cantika gak minta." Cantika tidak terima
dan protes, membuat Juliana dan Adrian tak kuasa menahan tawanya.

Tak lama, pesanan mereka datang. Dan pramusaji meletakkan semua pesanan mereka.

"Abang gak disuruh kesini aja, Mah? Pah? Jam segini dia udah pulang juga kali." Cantika
meraih ponselnya, hendak menghubungi Claudio namun kegiatannya terhenti.

"Itu abang." Kepala Adrian seolah menunjuk ke arah belakang tubuh Cantika. Ia sontak
menoleh dan mendapati Claudio.

Matanya terbelalak tak percaya.

Bukan.

Bukan karena Claudio tiba-tiba sudah berada disini.

Namun, ini semua karena 'siapa' yang menemani Claudio kesini.


Claudio bersama temannya.

Teman yang Cantika kenal betul, dan mempunyai nama panjang Revano Prasetya.

Ya, Claudio bersama dengan Vano.

"Mampus."

Hembusan • 07

[EDITED]

7. Bersembunyi.

Kalau ada kata yang dapat melebihi panik, cemas, kesal dan khawatir, dan lain-lain, maka
Cantika akan memilih option itu.

Kakinya hendak melangkah menjauh, namun tentu saja ia tak bisa bergerak bagaikan
berubah menjadi batu es. Kepalanya bahkan tak dapat tertoleh sedikitpun untuk
menghindari tatapan tajam yang biasanya menjadi favorit Cantika di sekolah. Tapi, kalau
di luar sekolah dia sendiri kurang yakin apakah dapat bertahan hidup dengan itu.
Tatapannya mengintimidasi, setajam tombak yang selalu di asah tiap saat.

"Dek?"

Cantika cepat-cepat bersyukur dalam hati kala Juliana mengeluarkan suara. Menoleh
dengan cepat dan menatap Ibunya yang memasang mimik hampir sama dengan Ayahnya,
bingung.

"Mah, Pah, pulang yuk," ajak Cantika, sebisa mungkin menahan ekspresinya agar tak
terlihat begitu panik.

"Loh, itu abang Dio udah dateng kok malah minta pulang." Dagu Juliana terangkat seolah
menunjuk Claudio di belakang Cantika.

Cantika menoleh, padahal dia tadi juga sempat menelik. Namun kali ini berbeda karena
jarak mereka kian mendekat. Hanya berjarak empat tempat makan lain dari posisinya
sekarang ini.

"Yaudah," kata Cantika, walau di benaknya benar-benar panik untuk sekarang ini. "Dek
mau ke salon aja deh."

Wajah Juliana berbinar mendengar anaknya yang meminta untuk ke salon. Dan seketika
Cantika tau bahwa alasannya akan berhasil.

"Oke, kamu ke bawah duluan sana nanti Mama nyusul, mau ke salon juga."
Cantika mengangguk penuh semangat. Langsung bangkit dan berlari menjauh sebisa
mungkin. Ia bahkan berputar demi tak berpapasan karena eskalator berada di balik
gerombolan kakaknya. Lift? Terlalu lama menunggu dapat menyebabkan jantung Cantika
makin berdebar kencang.

Seketika itu juga Cantika berharap bahwa Claudio tak pernah mengenal Revano
sedikitpun.

•••

Claudio melihat seorang cewek dengan gaya dan perawakan yang seketika dapat ia kenali,
tengah berlari menjauh. Cantika.

Tangannya dengan cepat menutupi matanya. Claudio lupa bahwa adiknya menghindari
kontak di luar dengan anak satu sekolah dan bisa-bisanya dia malah mengajak temannya
dalam 'pertemuan keluarga'.

"Kenapa, Di?" tanya Vano yang mendapati ekspresi Claudio.

Claudio cepat-cepat menggeleng, sementara Vano sedang melepas perban di sikunya.

"Kok di lepas?" kini giliran Claudio yang bertanya.

"Gila kali, muka gue masih bengkak sementara gue ngebiarin aja tangan gue di perban?
Keliatan berandal abis berantem banget gue."

Claudio menahan tawanya dan melanjutkan berjalan mendekati meja kedua orang tuanya
yang sudah penuh dengan makanan dan di sekitarnya terdapat banyak sekali kantung
belanjaan. Dirinya berani jamin kalau kedua orang tuanya dan Vano sudah saling kenal.

Mereka salaman dengan Juliana dan Adrian kala sampai, dan duduk di hadapannya.

"Om Adrian, 'kan?" Vano seakan disadarkan akan sosok di hadapannya. Adrian
menanggapi dengan ekspresi bahagia nan berwibawanya.

"Eh, Revano," balas Adrian.

Claudio nampaknya tak begitu di kagetkan begitu mengetahui bahwa Ayah dan juga
sahabat barunya itu saling kenal.

"Oh, ini toh Revano yang nanti main FTV bareng Abang?" Juliana tersenyum
menenangkan, seakan turut bahagia kala anaknya dapat cepat berteman dengan lawan
mainnya.

"Iya, Mah. Temen sekelas abang." Claudio langsung saja menyeruput es tea yang berada
di atas meja tanpa memerdulikan siapa pemiliknya.

"Adek mana?" Claudio pura-pura bertanya, dan sengaja tak menyebutkan nama Cantika
karena di sampingnya ada Vano sedang duduk dan ia merupakan salah satu murid di
sekolahnya.
"Kebawah barusan aja. Dia lagi mama rombak."

"Rombak?"

"Ya gitu." Juliana mengangkat bahunya dan di detik berikutnya Claudio paham betul
kalau itulah alasan adiknya turun ke bawah, entah apa.

"So," kata Adrian. "Ceritain ke om lah gimana kalian bisa deket? Di FTV nanti kalian kan
musuhan."

Claudio dan Vano akan bermain di FTV yang sama, berjudul: Go-Jek Ganteng. Cerita ini
di sponsori oleh yang bersangkutan untuk melancarkan pemasaran.

Disana di ceritakan Claudio sebagai Wero yang merupakan seorang anak kuliahan namun
memiliki kerja sampingan sebagai tukang Go-Jek, dan banyak cewek satu kampusnya
yang rela berkali-kali booking Go-Jek cuman demi mendapatkan Wero sebagai abang Go-
Jek dan mengaku-ngaku di antar pulang olehnya.

Vano, sebagai Dafa. Mempunyai pacar yang ternyata sering melakukan hal seperti cewek
lainnya. Dan semenjak itu Dafa menyatakan perang dimulai antara dirinya dan juga Wero.

"Satu sekolah kita, Pah," jawab Claudio dengan enggan.

"Yang itu Papa udah tau juga kali, Bang," kata Adrian, jengkel. "Maksud Papa tuh cerita
lengkapnya gitu."

•••

Cantika menghela nafasnya lega begitu sampai rumah, dan dengan segera berlari menuju
kamar sebelum kakak, dan kedua orang tuanya pulang dan menanyakan hal yang tak ingin
ia jawab. Seperti: kamu kemana aja!? Kamu kenapa pulang duluan?! Kamu kok pulang gak
bilang-bilang dulu!? Kamu pulang naik apa?! dan sebagainya.

Ia meraih ponselnya dan buru-buru mengetik sesuatu di sana sebelum kejadian di atas
terjadi.

Cantika Adriana: Bang, kurang ajar kamu.

Cantika Adriana: Bilang bonyok gue pulang duluan. Cari alesan apa kek. Bye.

Claudio Adrian: Hahahaha, lupa aku.

Claudio Adrian: Emang dasar adek kurang ajar ya kamu.

Cantika hanya membaca pesan dari Claudio tanpa membalasnya. Ia benar-benar


kelimpungan dan tak tau lagi harus melakukan apa.

Bukan hanya karena ia ingin menyembunyikan statusnya. Tapi, ini adalah Vano. Revano
Prasetya yang selama ini di incarkannya dan beberapa jam yang lalu bahkan sempat
menghabiskan waktu berdua bersama di ruang UKS. Tentu saja sebelum kedatangan
sosok Andira yang tak di inginkan oleh Cantika.
Ia menuju wastafel dan membasuh wajahnya. Menatap pantulan dirinya di cermin dan
memejamkan matanya.

Let's begin.

Tangannya meraih botol pencuci muka yang dibelinya dari dokter Rosa dan
mengenakannya untuk cuci muka. Kemudian menggunakan vitamin dan cream malamnya.

Setelah selesai ia pun kembali menjatuhkan badannya di tempat tidur, memainkan


ponselnya dan tak sadar kalau ia mulai tertidur.

Paginya, Cantika bangun karena mendengar gedoran yang begitu hebat tepat di pintu
kamarnya.

"Dek bangun woy! Udah jam berapa ini!?"

Suara Claudio menggelegar dari luar sana, sontak membuat Cantika menoleh dan
membelalakkan matanya karena kaget bahwa jarum jam menunjukkan pukul 6:50 pagi.

Cantika bangun dari posisinya dan berlari menuju kamar mandi. Mandi kilat ala capung
dan membasuh wajahnya di tengah-tengah kegiatan mandi tanpa perlu menghadap ke
wastafel, begitu juga dengan menyikat gigi.

Setelah selesai dan langsung mengenakan seragamnya, Cantika meraih tas kecil berisikan
perawatannya yang berada di depan kaca. Ia terperangah bukan main.

Gimana bisa jerawat permanen kayak begini pada kempes!?

Alih-alih melanjutkan kagetnya yang luar biasa, Cantika langsung meraih tas kecil itu dan
meletakkannya ke dalam tas. Beserta buku-buku pelajarannya hari ini.

"Tidur dari sore, bangun kesiangan."

Itulah kata-kata sambutan yang ia dapat begitu sampai di ruang tengah. Menghampiri
Claudio dengan tergopoh-gopoh.

Tapi nampaknya Cantika tertarik dengan topik lain.

"Mama sama Papa kemana?" Cantika mengenakan sepatunya dengan gerakkan kilat.

Claudio terus berjalan keluar, dan Cantika membuntuti setelah selesai, masuk ke dalam
mobil.

"Papa mau langsung ngurus lokasi buat FTV baru gue. Mama fitting baju buat ntar
malem, lo lupa ya."

Dan, itu dia yang di hindari Cantika sepanjang hidupnya. Menghadiri gala premiere
Mamanya yang merupakan model. Datang ke tempat show saja rasanya ia malu, walau
semua mata terfokus pada model. Bagaimana dengan kali ini?
Sepanjang perjalanan, tak ada yang mengeluarkan suara. Claudio pun enggan angkat
suara, di pikirnya Cantika marah dengannya karena persoalan kemarin. Jadi, ia ingin
membiarkan adik perempuannya itu jeda sejenak.

Berjalan meninggalkan Claudio, kepala Cantika terasa pening sehabis mengabsen di depan
ruang tata usaha. Ia langsung melangkahkan kakinya ke toilet.

Mencuci muka, ia mengeluarkan serum dari dokter dan juga cream untuk sehari-harinya.
Ia hendak meletakkan peralatannya kembali ke dalam tas kecilnya, namun kepalanya lagi-
lagi terasa pening. Hampir saja ia menjatuhkan seluruh isinya kalau tak ada yang cepat
tanggap menangkup peralatannya.

Itu Zanufa.

"Lo gapapa, Tik?" Zanufa membereskan peralatan Cantika dan meletakkan di dalam tas
Cantika. Ia memerhatikan penampilan sahabatnya yang sekiranya sedikit berbeda.
Tetapi ini bukanlah saat yang tepat untuk membahas soal itu.

"Ga, gapapa gue."

"Pas gue lagi absen tadi gue liat lo buru-buru kesini. Gue pengen langsung nyusul lo tapi
tadi dipanggil Bu Sari bentar. Gue ngeri lo kenapa-napa." Nada bicara Zanufa jelas
menunjukkan bahwa ia sedang khawatir.

"Gapapa kok, serius." Cantika memastikan dengan membenarkan posisinya.

"Yaudah ayo taro tas dulu di kelas. Kemaren pas lo gak masuk, ada pengumuman hari ini
upacara sambutan kepala sekolah yang baru," jelas Zanufa.

Dan Cantika merasa akan ada situasi buruk yang terjadi menimpanya.

Cantika dan Zanufa naik ke atas untuk menuju kelas, di tengah-tengah perjalanan
Zanufa memberitahu Cantika soal beberapa materi kemarin yang ia takuti akan sulit ke
depannya. Tapi Cantika hanya menganggukkan kepalanya.

Tepat saat mereka sampai di lantai atas, mereka berpapasan dengan sang supernova
sekolah. Claudio, Revano, Putra, Adit, dan Gilang.

Cantika cepat-cepat menundukkan kepalanya dan menarik Zanufa untuk berjalan lebih
cepat. Baru beberapa langkah, ponselnya berdering.

Claudio Adrian: Lo gapapa?

Cantika sontak menoleh ke belakang dan mendapati Claudio juga tengah menoleh dengan
ponsel di genggamannya. Cantika tersenyum dan mengangguk seolah menjawab dan
meyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja.

"Gak ada yang nyadar pasti. Ah kesel banget gue, rasanya pengen gue teriakkin kalo
Cantika Adriana itu adek kesayangannya Claudio Adrian." Zanufa berbicara dengan gaya
pura-pura berbisik. Rupanya ia mendapati kejadian tadi.
"Ssttt, bawel lo ah," gerutu Cantika.

Mereka segera memasuki kelas untuk sekedar meletakkan tas dan lanjut untuk turun ke
bawah dan melaksanakan upacara penyambutan.

"So, bagaimana kemarin saudari Cantika Adriana? Kenapa nampaknya tadi Anda justru
menghindari saudara Revano Prasetya?"

Ingin rasanya Cantika menghantam Zanufa sekarang juga kalau saja ia tak ingat bahwa
cewek itu adalah satu-satunya sahabat yang ia punya.

"Ngobatin luka? Berdua-duaan di UKS? Uuuuw."

Pletak!

Cantika menjitak kepala Zanufa dan berhasil membuatnya meringis.

Tiba-tiba kepala Cantika yang seakan di hantam oleh sesuatu. Bukan pusing seperti
sebelum-sebelumnya. Tapi seperti di tampar oleh suatu fakta.

Andira.

Haruskah Cantika memberitahu Zanufa tentang ini? Tapi kan sebelumnya Cantika pernah
bercerita mengenai Catalia yang merupakan sahabat Andira dan mengenai perlindungan
yang mereka tawarkan.

Apa yang bisa dilakukannya kini?

"Tik?" Zanufa menyadari perubahan ekspresi Cantika.

"Udah mau mulai. Buru." Dan kini lagi-lagi Cantika menarik pergelangan tangan Zanufa,
sekedar untuk menghindar.

Upacara berlangsung, alih-alih berjalan cepat seperti yang di katakan, upacara kali ini
malah membutuhkan waktu yang lebih lama. Terlebih karena banyaknya peragaan dari
ekstrakulikuler Paskibra.

Cantika memegangi kepalanya dengan segelintir jemari tangannya, memijat perlahan kala
rasa pusing lagi-lagi melanda dirinya. Berusaha untuk meringankan rasa sakit yang di
miliki.

"Cantika?"

"I'm fine," balas Cantika cepat-cepat.

Di detik berikutnya semua yang berada di hadapannya berubah menjadi gelap. Ia tak
dapat melihat apa-apa, dan tubuhnya begitu lemas.

Namun satu yang ia sadari.

Bahwa dirinya tidaklah jatuh mengenai aspal lapangan sekolah. Karena yang terasa malah
tubuhnya menjadi semakin ringan.
Dan, hidungnya mencium sebuah aroma yang begitu nyaman.

Hingga kesadarannya benar-benar terenggut.

Hembusan • 08

[EDITED]

8. Gala Premir.

Rasanya Cantika tak ingin bangun.

Bukan hanya karena mimpinya yang terasa begitu indah, tapi juga karena itu benar-benar
terasa nyata bagi dirinya.

Genggaman tangannya, harum tubuhnya dan sentuhannya. Terasa seakan ia pernah di


perlakukan seperti ini sebelumnya.

Matanya mengerjap selama beberapa kali, mencoba menyesuaikan retinanya terhadap


cahaya ruangan yang kini ia tempati. Dan satu hal yang ia sadari kalau ia pingsan saat
upacara tadi.

Cantika baru saja hendak mengangkat tubuhnya agar berganti posisi menjadi duduk,
tetapi kepalanya terasa seperti terbentur sesuatu. Ia kehilangan keseimbangan sehingga
kembali ke posisi tidurannya dan menyebabkan bunyi gemericit pada kasur UKS karena
hentakkannya.

"Cantika?"

Suara itu, suara yang ia dengar tepat sebelum dirinya kehilangan kesadaran.

Revano Prasetya.

Masuk ke dalam kamar dan kembali menutup gorden penghalang antara satu kasur dan
lainnya.

Cantika mematung, tak mengerti harus melakukan apa. Bernapas pun rasanya sulit. Dia
ingin pingsan lagi saja. Tapi di satu sisi ia tak yakin apakah ini nyata atau masih dalam
dunia mimpinya. Jadi jemarinya mencubit badannya sendiri tanpa terlihat.

Sakit, ini nyata.

"Kak Vano?" Cantika terperangah, "Ehm, kakak ngapain disini?"

Vano menaikkan sebelah alisnya, dan kemudian menduduki kursi yang berada tepat di
samping kasur Cantika.
"Tadinya gue nyamperin lo disuruh Bu Sari pas lagi upacara, soalnya dia nyariin lo gak
ketemu-ketemu."

Oh, jadi bukan Vano sendiri yang nyariin gue.

Tetapi ada sesuatu yang terbesit di benaknya. Kenapa Vano?

"Kok kakak yang disuruh manggil aku?" akhirnya pertanyaan itu berhasil keluar dari
mulutnya.

Vano mengangkat alis kirinya, lagi. Mencari kata-kata yang sekiranya pas untuk di
keluarkan.

Namun kelopak mata Cantika terpejam. Lagi-lagi rasa pusing itu menjalar sehingga
tangannya sontak memegangi kepalanya yang begitu nyeri.

"Anjir ini kemana sih dokternya lama banget," gerutu Vano. Serius, dia panik sekarang
karena tak tau harus melakukan apa.

"Tahan dulu ya, aduh, anjir, Zanufa lagi manggil dokter." Vano kelimpungan sendiri.

Tangannya memegangi dahi Cantika, panas. Ia mengangkat tubuh Cantika sekedar untuk
membenarkan posisinya agar nyaman.

Tak lama, Zanufa datang bersama dokter yang biasa mengurus UKS di belakangnya.

•••

Kejadiannya seakan terulang kembali.

Matanya mengerjap selama beberapa kali, dan mendapati jam yang bertengger di atas
menunjukkan pukul 11 lewat. Hampir jam istirahat.

Namun yang menjadi perbedaan adalah bahwa kini ia yakin tak ada orang lain satupun di
UKS bersamanya.

Tadi, setelah Cantika di periksa, dokter membangunkannya dan Zanufa menyuapi roti
yang di bawanya kemudian menyuruhnya untuk minum obat. Vano masih berada disana,
dengan tatapan tajamnya yang biasa namun entah kali ini Cantika merasa ada yang
berbeda.

Zanufa memarahi dan menyeramahinya, tentang bagaimana bisa ia tak makan sejak
kemarin atau bahkan sarapan tadi pagi. Rupanya itulah yang menyebabkan penyakitnya
muncul.

Cantika bersyukur karena setelah tidur cukup, ia merasa agak baikkan.

"Dek?"

Ia mendengar suara lain yang begitu dikenalnya berbarengan dengan derap langkah
kakinya.
Claudio muncul dengan dua tas di papahnya.

"Loh, Abang?"

Claudio menghampiri Cantika dan langsung memeluknya. Cantika sama sekali tidak risih
karena Claudio memang sering melakukan ini.

"Lo tau gue khawatir banget nggak sih!? Gue dari tadi pengen nyamperin lo tapi Vano gak
balik-balik. Gue pengen nyoba gak perduli terus kesini tapi nanti lo yang malah marahin
gue."

Cantika melepas pelukan Claudio dan memandangnya dengan tatapan tak percaya, betapa
perdulinya Claudio akan dirinya. Dan ia merasa bersyukur karena memiliki kakak laki-laki
seperti Claudio.

"Maaf, Bang. Maaf. Yang penting sekarang gue udah gapapa kan?" Cantika mencoba
tersenyum sebisa mungkin.

"Gue line segala macem gadibales. Gue khawatir banget sumpah asli. Terus tadi Zanufa
ke kelas gue bareng sama Vano jam sepuluh kurang pas selesai ngawasin lo, tapi si
Zanufa pura-pura gue di jemput sama orang tua jadi gue boleh pulang. Dia bilang buat
anterin lo pulang karena keadaan lo. Terus Zanufa ngambilin tas lo baru tadi katanya Bu
Siska kebanyakan bacot."

Cantika berterimakasih sebanyak-banyaknya kepada Tuhan akan kejadian hari ini.


Sehingga ia dapat menyadari betapa orang-orang di sekitar memerdulikan dirinya.

Termasuk Vano.

"Gimana gue mau bales kalo gue lagi pingsan?" Ada gurauan di tengah-tengah nada
bicaranya.

"Hm," gumam Claudio. Ia membantu Cantika bangkit dan membenarkan seragamnya yang
sedikit acak-acakkan.

"Maafin gue ya, lo gak sempet makan pasti gara-gara gue kemaren sama tadi pagi kan,"
sesalnya. Cantika cepat-cepat menggeleng.

"Don't blame at yourself, Bang," kata Cantika berhasil membuat kini Claudio tersenyum.

"Yaudah yuk, pulang. Istirahat buat ntar malem." Claudio sibuk membantu Cantika
bangkit sampai-sampai tak memerhatikan ekspresi adiknya.

Malam premiere.

Itu dia masalahnya.

Sepanjang perjalanan pulang, Claudio menyuruh Cantika untuk setidaknya tidur.


Sebenarnya Cantika sama sekali tidak tidur atau sekedar mendengarkan lagu yang
terlantun pada radio mobil. Dia hanya memejamkan matanya sembari benaknya berfikir.
Memikirkan banyak hal.

Pertama, ini sama saja dengan dua hari Cantika tidak masuk sekolah. Ia lumayan takut
ketinggalan pelajaran.

Kedua, jelas ia masih tak percaya mengenai kejadian beberapa waktu lalu saat Vano
menolongnya untuk ke UKS. Dan yang paling tak dipercayainya adalah saat Claudio
mengatakan 'Vano gak balik-balik'.

Ketiga, malam ini adalah malam premiere film yang di perankan oleh Ibunya, dimana ia
bahkan tak tau harus mengenakan apa karena ia tak memiliki baju sepesial. Dan juga, ia
takut harus berhadapan dengan banyak orang. Jujur ia tak pernah percaya diri dengan
dirinya sendiri dan takut membuat kedua orang tua serta kakaknya malu.

Saat sampai di rumah, Claudio menyuruh Cantika istirahat dan memanggilkan


pembantunya membuatkan makanan untuk Cantika.

Sebenarnya ia tak tega bila harus meninggalkan Cantika sendiri, tetapi dirinya harus
melakukan itu karena ada urusan yang sangat penting dan mendesak.

Bersyukur Papanya pulang ke rumah setelah mendengar bahwa Cantika sakit di sekolah.

"Mau kesana, Bang?" tanya Adrian kepada anaknya.

Claudio menganggukkan kepalanya, "Jangan bilang-bilang dia, Pah. Kasian nanti makin
kefikiran."

"Iya pasti, Papa aja kaget banget dia ampe sakit begitu. Pasti bukan gara-gara telat
makan doang itu dia mah. Kebanyakan fikiran pasti."

Claudio setuju dengan pemikiran Papanya. Setelah itu, dia lantas pamitan kepada Papanya
setelah memberitahu permintaan Cantika untuk tidak memberitahu Mamanya karena tak
mau membuat fokus Juliana terpecah.

"Ini anak, selalu aja mentingin orang lain dari pada diri sendiri," gumam Adrian, kemudian
masuk ke dalam kamar Cantika.

Claudio masuk ke dalam mobil dan hendak mengetik sebuah pesan, tepat sebelum ia
berangkat.

Claudio Adrian: Jing, anterin gue yuk.

Revano Prasetya: Sekolah goblok. Anterin anterin aja.

Claudio Adrian: Yaelah jam dua juga balik. Buru siap-siap izin, gue otw ke sekolah.

Revano Prasetya: Sesat. Iyadah gapapa, setengah jam lagi juga balik. Pasti lo sampe pas
banget bel pulang. Haha.
Claudio Adrian: Iyasi. Yauds.

Claudio mulai menyetir dan menjalankan mobilnya menuju ke sekolah.

Saat pagi, biasanya membutuhkan waktu sekiranya tiga puluh menit atau lebih untuk
sampai di sekolah tepat sebelum jam delapan. Tapi pada jam segini Claudio kurang yakin,
karena tadi saat perjalanan menuju ke rumah saja membutuhkan sekiranya empat puluh
lima menit. Setidaknya ia sedikit berharap ke arah sekolahnya pada jam segini tidak
begitu menghabiskan banyak waktu.

Sudah jam dua lewat sepuluh saat Claudio memasuki komplek tempat sekolahnya berada.
Ponselnya bergetar, dan dia baru membukanya saat sudah sampai di depan gerbang
sekolah.

Revano Prasetya: Lama tai.

Claudio Adrian: Udah sampe, jing. Sini.

Tak butuh waktu lama untuk Vano sampai dan masuk ke dalam mobil Claudio.

"Motor lo kemana?" tanya Claudio, meletakkan ponselnya dan mulai memarkir hendak
mengeluarkan mobilnya dari sekitar sekolah sementara Vano mengenakan seat belt.

"Gue terpaksa merelakan ninja merah kesayangan gue di dudukin sama si laknat Putra
karena gue gak punya pilihan lain." Vano mendengus dan mengeluarkan ponselnya setelah
menyetel radio.

"Putra bawain kerumah lo?" Claudio tak dapat menahan tawanya. Mengingat Vano yang
sama sekali tak rela kalau motornya di duduki oleh salah satu dari kawanannya seperti
Putra, Adit, Gilang sekalipun dirinya. Katanya motor itu punya sejarah keramat kalau
membonceng cowok, yang sampai sekarang mereka tak pernah tau kenapa.

"Seenggaknya dia bawa sendiri lah, bukan gue goncengin." Vano mencoba menenangkan
dirinya sendiri sembari memainkan ponselnya.

Otaknya diam-diam memikirkan sesuatu.

Itu cewek pulang ama siapa ya kok gue ke UKS udah gak ada?

Kemudian jarinya membuka aplikasi instagram pada ponselnya di mana banyak sekali
notifikasi yang masuk. Ia melihat profilnya yang sudah mendapat followers 1482. Ia
pikir, padahal dirinya bahkan belum menjadi artis sesungguhnya atau apapun. Hanya
bermain beberapa iklan dan baru akan memulai debut dengan FTVnya beberapa waktu
mendatang.

Mencoba mengabaikannya, ia menekan tombol search dan menulis sesuatu di sana. Ia


bahkan tak tau nama lengkap cewek itu.

Search: Cantika
People

ratucantikaa (Cantika♡) followed by 2 friends

fifiancantika (Fifian Cantika) followed by 1 friends

meeegaaa (Cantika) followed by 4 friends

Dan terus menerus hingga ke paling bawah namun tak menemukan orang yang di carinya.

Kemudian ia terfikir akan sesuatu. Sekiranya teman Cantika itu agak sedikit bergaul
dibanding dengan dirinya.

Search: Zanufa

People

zanufabe (�zanufa88) followed by 3 friends

Tanpa ragu, Vano langsung menekan profilenya dan beruntung karena instagram milik
Zanufa tidaklah di proteksi. Zanufa mempost sekiranya 49 foto di instagramnya. Dan itu
kebanyakan foto bersama sahabatnya yang bahkan tak ingin di foto.

Hampir di semua foto itu Cantika selalu menutupi wajahnya entah dengan apapun. Dan
sekiranya Zanufa bahkan menurut untuk mengupload fotonya berdua dengan Cantika
yang di edit dengan sesuatu yang dapat menutupi wajahnya.

Hanya satu, fotonya dengan Cantika yang agak jelas. Saat mereka sedang berfoto OOTD
di kamar ganti yang Vano yakini Cantika bahkan terpaksa ikut foto bersama temannya
itu.

Vano mengklik foto tersebut dan melihat beberapa komentar.

cntkadriana: ZAAAN TUTUPIN AH.

cntkadriana: �����

Seakan tak perduli dengan komentar lain-lain, hanya itu yang menarik perhatian Vano
dan langsung mengklik profile milik Cantika.

CNTKADRIANA

Cantika Adriana

9 photos | 111 followers | 98 following

Private

Dan sedetik itu juga Vano mendesah kecewa. Baru saja ia hendak menekan tombol
follow, ada notifikasi muncul di atas layar.

Andira: Van, dimana?


Revano Prasetya: Di jln. Knp?

Andira: Besok jemput dong, hehehehehe.

Revano Prasetya: Gatau rmh lo dmn.

Andira: Yaudah pulang bareng dong.

Revano Prasetya: Kan gue blg lg di jln.

Andira: Dijalan, naik motor kok main hp?

Revano Prasetya: Nggak naik motor. Lg di mobil. Ydh gue jemput lo bsk. Kirim aja alamat.

Andira: Yey! Makasih Vano ganteng!

Andira: Location

Vano langsung meletakkan ponselnya ke dalam saku.

"Sibuk banget daritadi," ujar Claudio saat mobil memasuki parkiran sebuah butik besar
ternama.

"Si Andira minta anterin balik, gue lagi jalan begini. Eh minta jemput besok."

"Wah bagus dong, ada kemajuan sama si ayang itu namanya." Claudio menahan tawanya
dan tersenyum jahil sementara matanya masih fokus ke depan.

Plak.

Sebuah jitakkan meluncur manis di kepala Claudio.

"Kurang ajar."

Setelah memarkir, mereka masuk ke dalam butik dengan masih berseragam sekolah. Tas
Vano bahkan ditinggal di dalam mobil.

Claudio berbicara kepada penjaga resepsionis dan mengatakan bahwa ia sudah memiliki
janji dengan empunya butik ini. Dan mereka berdua pun langsung di arahkan ke dalam.

"Heeey Dio! Makin ganteng aja," ujar George selaku designer dengan gaya sedikit
melencong. "Eh! Ada si ganteng Vano juga."

Claudio melirik Vano, dan sedikit terperangah meledek mengenai fakta bahwa ia juga
mengenal George. Sementara Vano hanya tersenyum kikuk.

"Baju yang di pesen Mama gimana?" tanya Claudio.

George menggiring mereka masuk menuju ruangan pelanggan khusus yang berisikan
sekiranya hanya ada empat gaun dan dua tuxedo.
"Ini, buat si ganteng Dio." George mengulurkan tuxedo yang sebelumnya sudah Claudio
paskan di hari-hari sebelumnya. Di bungkus dengan apik ke dalam paper bag bertuliskan
'G E O R G E'.

"Makasih, George." Claudio meraih tas tersebut.

"Nah, ini buat si cantik. Mana dia? Padahal dia belom ngepasin ukuran sama sekali looh,"
kata George yang sibuk mengurus gaun berwarna putih yang begitu indah ke dalam paper
bag yang sama persis dengan milik Claudio.

Claudio berharap Vano tak sadar bahwa penyebutan si Cantik adalah penyebutan nama
dan bukan julukan seperti si Ganteng.

"Gapapa, emang sengaja buat surprise ini," kata Claudio. "Yang penting ukurannya lo
samain kaya Mama kan?"

George mengangguk dengan antusias. "Iya, sekalian eik cocokkin sama ukuran dia
sebelumnya waktu ke sini akhir taun lalu."

Setelah selesai, selain karena ia tak mau berurusan terlalu lama dengan George, Claudio
mengajak Vano keluar dan kembali menuju mobil.

"Buat siapa gaun itu, Di?" tanya Vano saat mobil sudah mulai berjalan kembali.

"Buat someone special," jawab Claudio dengan cengirannya. "Lo kenal George?"

Vano mengangkat bahunya enggan, "Belum lama ini gue sama nyokap ke situ, mesen buat
gue. Udah di ambil dari kemarenan sih."

Claudio hanya menganggukkan kepalanya.

"Makasih ya, Van, udah nganterin, sebagai hadiah gue anter lo pulang."

Lagi, Claudio mendapatkan sebuah jitakkan di kepalanya.

"Kewajiban itu namanya, setan."

•••

Cantika selesai mandi setelah bangun tidur dengan wajahnya sudah sedikit basah karena
ternyata Papanya mengoleskan obat jerawat pemberian dokter Rosa di wajahnya.

"Paaah?"

Cantika celingukkan mencari Papanya saat keluar kamar dan turun ke bawah.

Kemudian ia mendapati Papanya dengan setelan pakaian biasa dengan rambutnya yang
sedikit basah, menandakan ia habis mandi juga sama seperti Cantika.

"Papa jemput Mama dulu ya, Dek. Kamu pake vitaminnya tuh sebelum siap-siap." Adrian
menuju anaknya dan mencium kening Cantika, setelah itu Cantika saliman kepada
Papanya.
"Hati-hati, Pah," kata Cantika.

"Siap, Tuan Puteri. Kamu kalo laper makan lagi aja." Papanya meledek dan setelah itu
langsung keluar rumah sebelum mendapat teriakkan anaknya.

Cantika baru saja selesai mengoleskan obat jerawat yang bertuliskan dua kali sehari
pemberian dokter Rosa kala ia menyadari jerawatnya semakin mengempes dan beberapa
bahkan sudah hilang. Ini pasti karena Papanya yang mengoleskan obat jerawat pada
wajah Cantika saat ia tidur sekitar dua jam yang lalu.

"Dek!" teriak Claudio dari luar kamarnya, setengah mengetuk-ngetuk dengan lumayan
keras dari luar.

Cantika dengan tampang kesal membuka pintu kamarnya. Diluar, ia mendapati Claudio
dengan cengirannya dan dua tenteng paper bag lumayan besar di tangannya.

"Bagus deh udah mandi," kata Claudio. "Nih, cobain ya. Gue mau mandi dulu."

Claudio langsung berjalan menjauh menuju kamarnya setelah memberikan Cantika paper
bag berisikan gaun untuknya.

•••

Cantika menyeloteh sepanjang perjalanan menuju tempat premiere Mamanya.

Cantika sudah cantik mengenakan gaun yang dibawakan oleh Claudio dan dengan make up
tipis yang Juliana kenakan kepada anaknya itu. Ia selalu saja mengoceh 'ketebelan' pada
make upnya.

"Udah Cantik dek. Ayo," ujar Juliana saat mereka sudah sampai. Red carpet menyambut
saat mereka baru saja keluar dari mobil. Dan lumayan banyak para wartawan dan
photograpger dimana-mana sehingga cahaya dapat terlihat kapanpun kepala menoleh.

Cantika turun lebih dulu melalui pintu yang bukan menuju red carpet, berjalan cepat dan
memutar untuk mendahului. Ia berjalan di red carpet dengan kepala tertunduk dan
dengan langkah yang agak cepat.

Keluarganya masih terperangah di tempat. Menatap satu sama lain seolah memikirkan hal
yang sama mengenai Cantika yang kurang percaya diri.

Mereka baru sama membuka pintu dan tak melihat Cantika dimanapun termasuk di logo
tempat untuk berfoto. Ia sudah menghilang.

Rasanya Claudio ingin sekali berlari dan mencari Cantika. Begitu juga dengan kedua orang
tuanya. Namun kamera memaksa mereka untuk tetap berjalan seperti biasa.

•••

Vano hendak mencari tempat duduk yang sekiranya pas untuknya yang bukan merupakan
pemain dalam film ini.
Ia hanyalah salah satu artis baru yang mendapatkan kesempatan emas dengan diundang
ke acara premiere film berkelas internasional macam ini.

Namun matanya menangkap sesuatu. Seseorang yang sejak pagi tadi ingin ia tanyakan,
bertanya apa penyebab penampilan cewek itu agaknya sedikit berubah.

Mata Vano menyipit melihat gaun yang dikenakannya. Gaunnya hampir mirip dengan yang
beberapa waktu lalu Vano lihat.

Itu Cantika.

Dengan jerawat yang tertutupi hampir sempurna. Pagi tadi pun sebenarnya Vano ingin
menanyakan kemana perginya kurang lebih setengah jerawat yang berada di wajah
Cantika? Dan apa resepnya sehingga banyak jerawatnya yang mulai mengecil?

Tapi ia tidak jadi bertanya karena menurutnya itu adalah salah satu topik yang sensitif
bagi cewek itu sehingga ia mengganti topik lain saat di UKS.

Ia sekiranya ingat kepanikan Cantika waktu dikatakannya jerawatnya pecah.

Vano tak dapat menahan senyumnya dan tanpa sadar kakinya melangkah menuju cewek
itu.

"Hai."

Dan Vano dapat menyaksikan ekspresi terkejut sekaligus tak percaya dari raut cewek
yang di sapanya.

Hembusan • 09

[EDITED]

9. Sesuatu.

Tak ada yang namanya kebetulan.

Mamanya selalu mencoba meyakinkan Cantika akan hal itu semenjak ia kehilangan
kepercayaan dirinya.

Bukanlah sebuah kebetulan dia di lahirkan dari rahim Juliana. Bukan sebuah kebetulan
juga kalau Cantika harus hidup dengan jalan seperti ini.

'Setiap manusia udah punya gulungan cerita mereka masing-masing sejak pertama kali
mereka diberi nyawa. Cuman di gulungan itu kita di kasih kesempatan memilih antara
jalan yang benar atau yang salah. Tapi semua itu jelas ada hikmahnya untuk kehidupan di
kedepannya.'

Cantika masih ingat betul akan itu. Dan, mungkinkah sekarang ini yang di namakan
takdir?

"Cantika? Lo masih di sini kan?"

Suara itu menghuyung Cantika agar kembali ke dunia nyata. Tempat dimana ia
seharusnya berada.

"E-eh?" Cantika gelagapan, "Halo kak."

Cowok itu, Vano. Memerhatikan penampilan Cantika dari ujung kaki hingga ujung
rambutnya, tak sehelaipun terlewatkan. Cantika agaknya di buat risih dengan tatapan
Vano.

"Lo keliatan.... beda," katanya jujur. Ia sebenarnya bingung hendak mengatakan apa,
seolah-olah kata yang seharusnya ia ucapkan tertelan kembali.

"Aneh ya kak?"

Cantika semakin kehilangan rasa percaya dirinya. Namun Vano dengan cepat
menggelengkan kepalanya.

"Enggak sama sekali!" tukasnya. "Bukan itu maksud gue."

Cantika tersenyum kikuk melihat usaha Vano agar tidak terjadi kecanggungan diantara
mereka berdua. Tetapi jantung Cantika terlalu sibuk bergetar hebat dengan adanya
Vano di dekatnya dan penampilannya yang semakin menawan saja dengan balutan jasnya.

"Omong-omong, soal kemaren. Makasih ya," kata Vano, berhasil membuat Cantika
mendongak dan menatapnya.

"Gapapa kak, makasih juga buat tadi pagi." Cantika tersenyum. Dan baru kali ini Vano
melihat guratan wajah Cantika dalam keadaan sedekat ini seolah tanpa jarak penghalang.

"Udah enakkan tapi kan?" entah Vano hanya berbasa-basi atau ia memang hendak
mengetahui keadaan Cantika.

"Kalo gaenak gabakalan kesini kali," jawab Cantika masih tersenyum hingga matanya kian
menyipit.

Vano ingat senyuman itu. Senyuman yang Vano saksikan saat mereka berada di UKS.
Senyum yang menenangkan. Tapi entah kenapa Vano merasa pernah menjumpai senyuman
itu, tetapi bukan berasal dari Cantika.

"Iyasih," kata Vano kikuk. "Lo kesini sama siapa?"

Pertanyaan yang sensitif akhirnya teruraikan. Pertanyaan yang sejak awal memang
Cantika hindari.
Cantika menggigit bibir bawahnya, "Sama keluarga."

Hanya itu yang dapat keluar dari mulut Cantika sementara Vano ber-oh-ria dan seakan
enggan juga membahas lebih lanjut karena sepertinya Cantika tak mau.

"Ehm, Kak. Aku mau ke toilet sebentar dulu ya." Cantika mohon pamit kepada Vano, dan
Vano tak dapat mencegahnya sehingga pada akhirnya hanya mengiyakan.

Sebenarnya bukan itu yang Cantika maksud. Hanya saja, Cantika melihat keluarganya
tengah berjalan masuk dari belakang punggung Vano. Yang ia yakini bahwa Claudio tak
mungkin mencegah dengan alasan masuk akal kepada kedua orang tuanya mengenai
identitas asli Cantika di hadapan Vano.

Cantika terbangun dari mimpinya. Sudah empat kali dirinya memimpikan kejadian ini
semenjak kejadian dua minggu lalu.

Beruntungnya, ia berhasil menghindari kontak dengan Vano selama di sekolah. Berharap


setidaknya cowok itu akan melupakan kejadian saat mereka bertemu di malam premiere
dan tak mengatakan apapun kepada teman sekolahnya.

"Tik?"

Suara Zanufa menggema di telinga Cantika. Ia lantas menoleh dan mendapati Zanufa
tengah duduk di kursi meja belajarnya dengan pakaian olah raga lengkap dan sepatu
sportnya.

"Jadi CFD gak?" tanya Zanufa, meletakkan ponselnya di atas meja belajar Cantika dan
berjalan mendekat untuk memerhatikan wajah Cantika.

"Hilang sepenuhnya."

Kata-kata Zanufa membuatnya bingung, namun satu yang dirinya yakini dengan pasti
kalau Zanufa tengah memerhatikan wajahnya dengan seksama.

"Ya, gue terakhir pake tadi malem. Dan abis ini kalo mau CFD gue juga harus make
seenggaknya serum. Karena gue udah gak jerawatan jadi gaperlu obat jerawat."

Zanufa ber-oh-ria namun masih sibuk menatapi wajah sahabatnya, seolah melihat
penampilan asli dari dirinya yang tersembunyi sekian lama.

"Terakhir pas Jumat di sekolah masih ada pink-pink bekas. Tapi ini bersih."

"Iya, kemaren pas bangun tidur udah bersih. Terus gue ke dokter Rosa lagi, dikasih yang
baru soalnya muka gue udah sembuh katanya. Jadi cuman dikasih serum, krim malem
sama krim pagi aja." Cantika menjelaskan, sembari menyibak selimutnya dan bangkit.

"Perawatan anak artis mah beda ya," gurau Zanufa yang berhasil mendapat getokkan
sempurna dari Cantika di kepalanya.

"Yaudah sono cepet cuci muka. Keburu jam enam nih."


Cantika akhirnya menguncir tinggi rambutnya dan menuju wastafel untuk mencuci muka
serta menggunakan serumnya.

Mengganti baju dengan kaus oblong adidas beserta celananya. Cantika mengajak Zanufa
bergegas setelah mereka meraih ponsel masing-masing.

Di bawah, Cantika mengenakan sepatu dan Zanufa berpapasan dengan Claudio yang
tengah sibuk dengan naskahnya.

"Emang begitu ya?" tanya Zanufa dengan suara seminimal mungkin.

"Iya. Soalnya nanti siang mulai shootingnya."

"Kak Vano?"

Cantika hanya mengangkat bahu namun dengan ekspresi seolah mengingatkan bahwa
Zanufa telah tau jawabannya, tentu saja, ya.

•••

Cantika sampai di rumah saat jarum jam menunjuk ke angka delapan lewat lima belas.

Dia meraih air minum di kulkas dan mendapati Claudio saat menutup kulkas.

"Kaget gue, sialan," gerutu Cantika. Untunglah karena dirinya tidak latah.

"Ikut ke lokasi yuk."

"Gila!" tukas Cantika di depan wajah Claudio.

Claudio mendengus mendapati adiknya yang seperti itu.

"Ayolaaahh," rengeknya, berusaha sebisa mungkin agar Cantika mau ikut dengannya.

"No way."

"Yes way."

"Bang, lo tau kan apa yang gue hindarin selama ini. Gue gamau buat lo sama Papa malu di
lokasi shooting." dan karena di sana ada Vano.

"Yaiyasih, tapi gapapa ah. Lo juga udah cantik banget sekarang," jawab Claudio, jujur
sejujur jujurnya.

Cantika menaikkan bibir atasnya tanda jijik dengan ucapan Claudio. "Terimakasih atas
ledekkan sempurnanya, Abang tercinta."

"Serius!" pekik Claudio, mencegah Cantika yang hendak melangkah menjauh.

"Minggir ah, mau mandiiii!" Cantika berusaha lewat tapi Claudio terus saja menghadang
langkahnya.
"Dari dulu yang namanya Cantika ya selalu cantik, gak pernah jelek. Ketutupan jerawat
bukan berarti orang serta merta jadi jelek kok." Claudio bersungguh-sungguh dengan
kata-katanya, bukan hanya sekedar karena ia ingin Cantika ikut.

"Kata-kata lo aduhai banget kayak anak Apollo," ucap Cantika sarkastik. "Mau mandi ah,
sana berangkat aja. Hati-hati."

Claudio hanya dapat menghela nafasnya selagi menyaksikan adiknya berjalan menjauh
untuk naik ke atas, menuju kamarnya.

Cantika meraih ponselnya dan mengetikkan sesuatu di sana.

Cantika Adriana: Zan, kerumah gue lagi sini wkwk

Zanufa Berlian Tazqia: Baru banget nyampe gue. Ngapain?

Cantika Adriana: Main jotos jotosan. Katanya minta di ajarin.

Zanufa Berlian Tazqia: Otw sist.

Cantika memasukkan ponselnya, mengurungkan niat untuk mandi dan ke ruangan


berlatihnya setelah memastikan kalau Claudio sudah berangkat dan rumah benar-benar
kosong.

•••

Hari senin yang menggetarkan, seperti biasa.

Cantika diharuskan menerima kenyataan untuk menunggu kakak laki-lakinya yang bangun
kesiangan karena baru kembali dari lokasi shooting saat lewat dari jam dua belas malam
bersama Papanya.

Papanya dapat santai-santai saja karena ia baru akan memulai pekerjaannya sebelum
makan siang nanti untuk mengecek lokasi shooting. Tidak dengan Claudio yang diharuskan
masuk sekolah saat pagi dan pergi ke lokasi shooting saat pulang sekolah.

Hal yang lumrah terjadi, kalau saja Claudio tidak satu sekolah dengan Cantika.

Sepuluh menit sebelum bel masuk dan upacara akan segera di mulai. Namun mereka
berdua masih berada di tiga lampu merah sebelum menuju ke sekolah.

Cantika mengunyah roti miliknya dan meneguk susu kotaknya hingga habis. Ia menyuapi
Claudio sepotong demi sepotong roti selagi kakaknya itu menyetir.

Beruntung setelah lampu merah ketiga, jalanan tidak terlalu padat dan macet.

Cantika menyodorkan susu kotak yang sudah ia tusuk dengan sedotan kepada Claudio
yang langsung di sedotnya hingga habis.

"5 minutes left," kata Cantika.


Bukannya bermaksud membuat panik atau apa, hanya saja ia ingin memberi tahu kepada
Claudio bahwa masih ada kemungkinan mereka sampai di sekolah dengan selamat.

Mobil terparkir sempurna. Parkiran sudah sepi sehingga mereka dapat dengan mudah
keluar bersama dari mobil dan berlari menuju gerbang.

Tepat saat mereka meletakkan jari di atas finger print, bell berbunyi.

"Alhamdulillah."

Cantika dan Claudio bersyukur atas rahmat dan karunia-Nya. Mereka lantas berlari ke
kelas masing-masing, meletakkan tas dan menuju barisan di lapangan.

Biasanya upacara selalu mengandung unsur tak mengenakkan pada setiap pelaksanaannya.
Tapi sepertinya tidak untuk kali ini.

"Biasanya Bu Siska mukanya ngeselin. Ini kok makin ngeselin aja ya?" gumam Zanufa yang
berada di samping Cantika. Cantika menahan gelak tawanya.

"Jangan gitu. Seenggaknya Bu Siska udah mencoba tersenyum secantik mungkin di atas
sana," bisiknya membuat Zanufa cekikikkan.

"Ya, anak-anak," suara Bu Siska menginterupsi. "Suatu kehormatan bagi saya karena
pada pagi hari ini di beri kesempatan untuk menjadi pembina upacara-"

Bla. Bla. Bla.

Tak ada satupun yang mendengarkan, hingga sebuah pengumuman yang teramat penting
menggelegar.

"-seperti yang kita ketahui, Senin depan adalah tanggal 4 April dan merupakan
puncaknya bagi kelas 12, jadi sudah jelas kalau kelas 10 dan 11 di liburkan."

Gelak bahagia terdengar ricuh. Namun berbeda dengan kelas 12 yang sepertinya agak
tegang karena harus menghadapi ujian dalam waktu sepekan.

"Jadi, kemana kita?" ajak Zanufa, Cantika tak dapat menahan cengirannya.

"Kemana aja sesuka hatiiii."

•••

Bell istirahat berdering.

Cantika membereskan mejanya dan pergi keluar menuju kantin bersama dengan Zanufa.

Di kantin, Vano duduk dengan kawanannya seperti biasa: Claudio, Putra, Adit dan Gilang.

Revano Prasetya, Claudio Adrian, Putra Laksmana, Gilang Demian, Aditya Septa.
Mengobrolkan sesuatu yang tidak penting, sudah biasa. Namun kali ini agaknya
pembicaraan sedikit sensitif.

Mengenai cewek.

"Lo udah jadian, Van? Alig, alig." Putra tak dapat meneruskan kata-katanya.

"Jadian juga akhirnya. Bosen gue dari SMP tuh ya, mereka gak jadian-jadian," gerutu
Adit sembari meminum es teh manisnya.

Claudio sedari tadi mendengarkan pembicaraan, hanya saja matanya terfokus pada
naskah, begitu juga Vano.

Vano mendesis, "Bawel dah lu pada. Kayak Gilang kek gitu, jomblo awet kagak bawel."

Claudio melipat naskahnya, "Tapi dari tampang-tampangnya nih ya, Gilang kayak lagi
naksir orang."

"Iya! Iya!" tukas Adit dengan semangat. "Kemarenan gue mergokkin Gilang lagi ngestalk
Instagram adek kelas yang dulu sering ngasih makanan ke Vano tuh."

"Oh dia, yang Vano gotong pas upacara waktu entu kan?" Putra seakan ingat sepotong-
sepotong bagian cerita.

Adit mengangguk antusias, sementara Vano menaikkan alisnya dan meletakkan


naskahnya.

Claudio sedang berperang dengan pikirannya sendiri. Cantika?

Gilang yang sedari tadi diam akhirnya angkat bicara. "Gatau deh, dari dulu dia deketin
Vano gue juga agak risih."

"Semacem cemburu gitu kan?" ledek Adit. "Kayak kenapa Vano doang yang di kasih
makanan? Kapan gue?"

Kemudian tawa Adit dan Putra meledak. Tetapi tidak dengan tampang Gilang yang tengah
resah dan Vano serta Claudio yang terlihat sedang berfikir.

Jadi makanan yang selama ini Cantika beli itu buat Vano? Tapi udah lama banget Cantika
gak beli-beli makanan gitu lagi. Pasti dia udah tau kalo Vano suka sama orang lain.

"Cantika yang itu?" tanya Claudio, menunjuk adik perempuannya yang kebetulan tengah
melangkah masuk ke dalam kantin bersama sahabatnya.

Namun ada yang berbeda. Sesuatu yang baru saja Claudio sadari.

Sudah dua minggu ini Cantika tak pernah ke kantin, dan sekarang hampir semua mata
tertuju pada cewek dengan rambut panjang yang di kuncir tinggi itu. Cantika bahkan
sudah tak lagi mengenakan kacamata karena matanya mulai membaik kala ia meminum jus
wortel yang tiap hari dibelikan Ibunya.
"Iya! Dia! Alig, dazzling banget dia sekarang." Putra menggeleng-gelengkan kepalanya.
Air liur hampir saja menetes dari mulutnya kalau Adit tidak dengan segera menggetok
kepalanya.

"Punya Gilang itu!" pekik Adit.

Namun, ya, Claudio baru menyadari akan satu hal. Tadi Gilang mengungkit-ungkit
mengenai dulu saat Cantika memberikan makanan kepada Vano. Kemungkinan itu sudah
lama sekali dan artinya Cantika masih dengan wajah serba pinknya. Dan sudah semenjak
itu Gilang menyukai adiknya?

Claudio tak dapat menahan lekukkan senyumnya.

"Dio, jangan bilang lo suka sama dia juga?"

Claudio lantas menggeleng begitu mendengar pertanyaan yang di ajukan oleh Putra.

"Lo bilang lo suka sama dia semenjak dia ngasih makanan ke Vano? Berarti semenjak dia
masih.... jelek?" Claudio berhati-hati mengucapkannya, sebenarnya dia bahkan tak
pernah menganggap adiknya jelek. Hanya saja ia mengira bahwa mungkin orang lain
berpikir seperti itu.

"Ya, dan tidak. Iya kalo gue suka sama dia dari lama, sebelum itu malahan. Pas mereka
MOS kalo gasalah, gue kan OSIS waktu itu," kata Gilang. "Enggaknya itu di bagian jelek.
Dia gak pernah jelek sama sekali. Dari dulu dia cakep-cakep aja. Cuman ketutupan
jerawat gak berarti dia jelek."

"Setuju," kata Putra.

Claudio mencoba menahan cengirannya. Ada rasa bahagia di benaknya. Gilang benar-
benar tulus.

"Dan lo gak pernah deketin atau gimana gitu ke dia?" tanya Claudio lagi.

Gilang menggeleng, "Dia selalu si super fans nya Vano. Tapi udah lama kan dia gak deket-
deket lagi ditambah Vano juga sekarang udah jadian sama Dira. Jadi gue pikir, ya
sekarang mungkin waktu yang tepat."

Dan ada satu orang yang sama sekali tak bicara sejak tadi.

Vano.

•••

Cantika merasa risih dengan tatapan mata hampir seluruh penghuni kantin, apalagi
setelah melihat kakak laki-lakinya menunjuk-nunjuk dirinya di tengah kumpulan teman-
temannya.

"Ada anak artis nih," bisik Zanufa dengan dua gelas es teh di tangannya dan duduk di
hadapan Cantika.
Cantika memelototi dirinya sementara Zanufa hanya cekikkikkan.

"Lo cantik banget makanya di liatin ampe pada ngeces begitu."

Cantika memutar bola matanya dengan malas, "Cacat kali maksud lo."

"Serah lo deh ah sana beliin bakso, gue udah beliin es," kata Zanufa, mengeluarkan
ponsel dari sakunya.

"Idih curang banget lo ah," gerutu Cantika, namun ia tetap bangkit dan menuju tukang
bakso.

Saat tengah mengantre, Cantika merasa di perhatikan. Namun kali ini berbeda karena
aura yang keluar justru aura kebencian mendalam, bukanlah aura yang kaget atau
terpesona atau senang.

Dan benar saja, kala ia menoleh, Terre and the genk sedang menuju ke arahnya dengan
tatapan sok garang mereka.

Cantika menyerngit, dan tetap mengantre seolah tak pernah melihat mereka sebelumnya.

"Uw, ada si the new dazzling girl di sini." Terre menarik rambut Cantika yang terkuncir
sehingga membuatnya menoleh. Ada Tiara dan Rachel di samping Terre.

Cantika menekan tangannya sendiri menahan emosinya yang ngeri-ngeri akan meledak.

Hampir seluruh perhatian di kantin tertuju kepada mereka.

"Yuk, di tatar dulu." Terre menarik rambut Cantika dengan gerakkan jijik, seolah dia
sedang memegang pelastik sampah. Sedangkan Tiara dan Rachel mendorong-dorong
tubuhnya untuk mengikuti gerakkan Terre menuju belakang sekolah.

Zanufa tak menyadari itu karena dia sedari tadi memainkan ponselnya. Namun dia mulai
menyadari kalau keadaan kantin kian ricuh, ia menoleh dan mencoba mencari keberadaan
Cantika. Namun dia tak ada di mana-mana.

Entah kenapa, namun perasaannya berubah menjadi tak enak. Ia hendak menelpon
sahabatnya itu kala menyadari bahwa ponsel Cantika berada di atas meja.

Zanufa meraih ponsel Cantika dan entah dengan keberanian apa dia menghampiri
gerombolan Claudio di meja makan sepesial mereka.

"Ehm, kak Claudio?" panggil Zanufa ragu-ragu. Claudio menoleh, dia juga tau kalau
Zanufa tau dirinya adalah kakak dari Cantika dan setuju tak mengatakan kepada
siapapun atas perintah Cantika.

"Iya, kenapa?" tanya Claudio, sedikitnya menyadari ekspresi gundah pada wajah Zanufa.

"Anu, liat Cantika gak?"


Kendati teman-teman Claudio bingung kenapa Zanufa menanyakan keberadaan Cantika
kepada Claudio, Vano memincingkan alisnya.

"Emangnya kenapa?" sergah Vano.

"Tadi gue liat sih dia lagi di tarik-tarik gitu rambutnya sama Terre ke arah belakang
sekolah," kata Adit dengan tatapan polosnya yang menyebalkan dengan permen karet di
mulutnya.

"Mampus," gumam Zanufa.

Gilang dan Vano bangkit secara bersamaan.

"Kalo Cantika ngamuk bisa gawat," gumam Zanufa kalut. Namun sepertinya mereka
mendengar perkataan tersebut.

"Ngamuk?"

"Gawat gimana?"

Tanya Vano dan Gilang secara bersamaan.

Dan orang yang pertama meninggalkan kantin adalah Claudio.

"Bukan gawat lagi, bisa ancur sekolahan."

Hembusan • 10

[EDITED]

10. Hampir

Niatan membalas jambakkan kepada Terre tak pernah sekalipun terlintas di benak
Cantika.

Mengetahui namanya dengan betul pun rasanya sulit bagi Cantika. Entah cewek itu
menggunakan satu hurup R atau dua, dia tak tau.

Tapi satu yang Cantika tau, kalau perasaan hendak mencabik-cabik cewek di depannya ini
lebih kuat daripada sekedar menjambaknya.

"Kemana tuh jerawat lo? Pake susuk?"

Tawa Cantikka meledak seketika. Susuk? Cewek eksis di sekolah berpikiran soal susuk?
Yang bener aja!

"Makin nyolot loh ya lama-lama!" pekik Terre tak sabaran.


"Yang nyolot siapa, kak?" Cantika berusaha susah payah menahan gejolak amarahnya.
Sejak awal dia hanya menahan rasanya dengan Terre, ia mencoba menjadi adik kelas
yang sopan, dan tau diri.

Bisa kacau kalau dia menonjok Terre hingga babak belur. Jelas kalau cewek yang hanya
menang di bacot ini tak dapat berkelahi, tapi Cantika juga lebih pintar.

"Gue peringatin sama lo. Gausah sok cantik! Dan lagi, dengan orang-orang ngeliatin lo itu
bukan berarti mereka suka sama lo!"

"Lah terus mereka sukanya sama lo?"

Pertanyaan Cantika seharusnya menusuk hingga dalam. Hanya saja Terre beserta
ajudannya ini memiliki kepercayaan diri tingkat tinggi yang membahayakan.

"Yaiyalah!"

Ingin rasanya Cantika berkata kasar.

"Banyak-banyak istighfar lo, Kak. Inget di atas langit masih ada langit."

Entah kenapa rasanya Cantika malah ingin sekali menasehati cewek geng berambut
merah di hadapannya ini dan meminta ampunan sebanyak-banyaknya kepada yang di atas.

"Gausah sok ceramahin gue, lo!"

Kedua tangan Cantika masih di tahan, sebelah kanan oleh Rachel dan sebelah kiri oleh
Tiara. Sebenarnya mudah saja bagi Cantika menghempaskannya, tapi ia tak sudi
membuang tenaganya.

"Lo tuh seharusnya takut, bukan kebanyakan gaya kaya begini." Terre mendikte Cantika
dengan apa yang seharusnya Cantika lakukan.

Sejak awal pun Cantika tidak menaruh respect pada kakak kelas semacam Terre, dia
hanya berusaha sopan semata-mata mereka adalah kakak kelas. Lambat laun sifat tukang
bully nya karena menganggap dirinya lebih makin kentara.

"Maaf kak," kata Cantika, merundukkan kepalanya.

Cantika menyadari kalau dirinya dan Terre tak sebanding. Tapi apa perlu dia menindas
adik kelas karena penampilannya?

Sejak awal masuk sekolah Terre melihat Cantika seolah menganggap dirinya adalah
kuman yang harus di basmi. Cewek miskin, jelek yang jerawatan dan gak bisa ngerawat
diri. Cantika tak menyangkal soal itu karena pasti banyak yang beranggapan serupa,
selain karena Cantika tak ingin membongkar identitasnya dan membuat orang tuanya
malu.

Tangan Terre hampir saja melayang kalau tak ada suara yang memberinya interupsi.

"Terre!"
Cantika sontak menolehkan kepalanya karena ia benar-benar jelas mengenal suara itu.

Claudio.

Di belakangnya, ada Catalia, Audi, dan cewek yang sebenarnya enggan Cantika sebut
namanya. Tapi, ya, itu Dira.

"D-dio?" Terre gelagapan, entah mengapa tapi Terre mengetahui Claudio. Seingat
Cantika, Terre menyukai Vano.

"Lo! Gak ada kapoknya ya!" Catalia beringsut menghampiri Terre dengan kedua temannya.

Ekspresi Terre agaknya sedikit terancam. Bukan hanya karena Catalia dan kawanannya,
tetapi karena kehadiran Claudio lah yang membuat Terre gelagapan.

"Jangan. Pernah. Ganggu. Cantika. Lagi." Claudio bagaikan menghunus pedang di setiap
kata-katanya. Ia meminta Catalia dan kawanannya membawa mereka menjauh.

"Lo gapapa?" nada khawatir tersirat di setiap kata Claudio. Cantika hanya menjawab
dengan cengiran dan mengangkat bahunya seolah menunjukkan bahwa dia baik-baik saja.
Padahal sebelumnya wajah Cantika muram betul, persis seperti saat Cantika di sirami air
hujan yang kotor.

Tak lama, Zanufa yang membuat Cantika kaget, masuk bersama Vano, Gilang, Adit dan
Putra. Teman-teman Claudio. Tatapan mereka sekiranya masih sedikit menoleh
kebelakang untuk melihat Terre dan pasukannya di keret pergi.

Zanufa berlari ke arah Cantika.

"Lo gak ngapa-ngapain mereka, kan?"

Kurang ajarnya, tapi, ya. Itulah kata-kata yang keluar dari mulut Zanufa.

Vano dan kawanannya yang mendekat agaknya di bikin sedikit bingung dengan pertanyaan
Zanufa, namun tidak dengan Claudio.

"Eh maap yak, itu kayaknya pertanyaannya kebalik." Adit menaikkan sebelah bibirnya
dengan kikuk, menatap Zanufa dan Cantika secara bergantian.

Cantika mengerutkan alisnya. Namun tiba-tiba pacuan jantungnya jadi makin cepat. Ia
mendapati Vano tengah memerhatikannaya dari atas sampai bawah, sama seperti yang
cowok itu lakukan saat malam premiere. Mata tajamnya menusuk hingga ke jantung.

"Cantika, lo gapapa?" malah Gilang yang bersuara. Membuat perhatian Cantika teralih
dan tersenyum kikuk.

"Ehm, gue rasa Cantika gapapa."

Dan, saat itu juga Cantika bersyukur memiliki kakak laki-laki seperti Claudio.

•••
Cantika sedang menghapal materi Biologi yang akan di ujikan esok hari.

Ya, besok adalah hari Jumat.

Tak terasa memang, karena lagi-lagi Cantika berhasil menghindari sejumlah serangan
yang sudah di rencanakan untuknya. Atau bahkan serangan jantung sekalipun saat dirinya
bertemu Vano.

Intinya, besok adalah terakhir sekolah sebelum mereka berangsur libur selama seminggu
karena kelas 12 yang akan menjalani ujian nasional.

Paginya, Cantika berangkat sekolah seperti biasa bersama Claudio dan dia menunggu di
belokkan hingga memastikan bahwa Cantika sudah selesai mengabsen, barulah dia masuk.

Tetapi ada sesuatu yang tak mengenakkan di benak Claudio begitu masuk. Ia merasakan
sesuatu yang aneh membuncah di benaknya.

Selesai absen, Claudio mundur lagi dan menoleh ke pintu kecil di samping Tata Usaha
yang mengarah langsung ke belakang sekolah di sisi yang satunya.

Saat menoleh, Claudio tak mendapati apa-apa. Tapi ia terus melangkah sampai ke pohon-
pohon belimbing sayur yang tumbuh banyak di sana sekalipun. Claudio mendapati seikat
tali putih di atasnya yang agak mencurigakan. Ia berjalan terus dan pandangannya
menurun. Betapa terkejutnya ia.

Itu Catalia.

Keadaannya lumayan parah. Tangannya di ikat ke atas pohon sehingga kakinya berjinjit
menopang tubuhnya, dengan mulutnya yang di bekap dengan kain yang sewarna.

Claudio langsung berlari menghampirinya dan membantu Catalia. Setelah beres dan
memastikan bahwa mantan pacarnya itu baik-baik saja, Claudio mengajak Catalia untuk
ke kelas masing-masing.

"Intinya itu Terre. Dan dia masih dendam sama gue semenjak kejadian dulu itu."

Claudio kehabisan kata-kata dan melangkah menuju kelas dalam diam. Tapi dia
merasakan ada sesuatu yang aneh, perasaan saat melihat Catalia yang sebenarnya
kecewa kala melihat dirinya datang.

Selesai sekolah.

Claudio sedang menunggu adik perempuannya kala ia sadar bahwa kaca mobilnya di ketuk.
Oleh Revano.

Claudio merasa sikap Vano menjadi agak canggung dengan teman-temannya sekarang ini,
tapi ia enggan bertanya, setidaknya sampai Vano sendiri yang mau menjelaskan.

Claudio menarik turun kaca mobilnya dan menatap Vano lekat-lekat. "Kenapa Van?"
"Temen lo ada-ada aja dah." Vano menoleh ke belakang seolah mengisyaratkan Claudio
untuk mengikuti pandangannya.

Disana ada Gilang, dan Cantika. Claudio yakin betul sebenarnya Cantika pasti ingin masuk
ke dalam mobil sebelum ada Gilang yang menghadang jalannya.

"Naik angkot?" Gilang bertanya sementara Cantika hanya mengangguk dan tersenyum
kikuk.

"Gue anterin ya? Lumayan tau irit ongkos." Gilang mencoba tersenyum yang sebenarnya
tampan-tampan saja. Tetapi tetap saja Cantika merasa tak enak.

"Ehm, gimana ya kak-"

"Gapapa kok, gausah gak enak. Ayok." Gilang mentitah Cantika agar naik ke motornya.

Claudio sempat menangkap tatapan mata Cantika yang seolah berkata minta tolong. Tapi
Claudio hanya menaikkan alisnya dan tersenyum.

"So," kata Claudio setelah motor Gilang melaju.

"Lo gak bareng Dira?" tanya Claudio sebisa mungkin dengan nada tak meledek.

Vano memutar bola matanya garang, "Ini gue mau nganterin dia ke mall dulu baru ke
lokasi shooting."

"Oke, sukses ya!" Claudio menepuk bahu Vano dan menutup kaca mobilnya serta merta
langsung menginjak pedal gas. Meninggalkan Vano yang tengah menyumpah serapah di
belakang.

Ponselnya dirasa bergetar.

Cantika Adriana: Jangan pulang dulu. gilang maksa nganter sampe rumah.

Cantika Adriana: Sialan emang. Kalo sampe lo ketauan nyuruh, abis lo bang.

Claudio Adrian: Dapat di pastikan bahwa itu adalah niatan saudara gilang sendiri. Tentu
saja daku tak akan pulang saudariku, aku mau jadi artis dulu.

Cantika Adriana: Punya abang kenapa ngocolin banget yaAllah.

Claudio cekikikkan dan memasukkan ponselnya.

Sementara di depan gerbang rumah Cantika, Gilang memberhentikan motornya.

"Mau mampir dulu gak, Kak?" nggak usah please jangan.

"Nggak usah deh, sepi banget gaenak gue." Gilang tersenyum dari balik kaca helmnya
yang sudah dibuka.

Dalam hati, Cantika sangatlah bersyukur karenanya.

"Rumah lo bagus," puji Gilang tanpa ragu. Cantika tersenyum kikuk, kesekian kalinya.
"Ehm, makasih ya kak. Semuanya."

Gilang mengangguk. "Masuk sana."

Cantika gelagapan. "Oh, oke. Hati-hati kak."

Dan sebelum ia membalik badan, Cantika bersumpah dia mendapati Gilang mengedipkan
matanya.

"Kok ganteng."

•••

Zanufa baru saja selesai bercerita kepada Papanya mengenai penampilan Cantika yang
makin hari makin cantik saja, mulai menyesuaikan namanya.

"Wah, bagus dong," kata Clevano, menanggapi cerita anak perempuannya.

"Iya, Pa. Tapi dia masih gak percaya diri aja deh. Masih gak mau juga bikin orang tuanya
malu katanya." Zanufa bercerita, sembari mengajak Papanya masuk ke Starbucks di
sebuah mall Jakarta Selatan.

"Gapapa, dia masih penyesuaian namanya. Tapi kamu sebagai sahabat harus terus
ngeyakinin dia biar percaya diri, oke?"

"Pasti lah paaa-"

Perkataan Zanufa terpotong. Ia memerhatikan dua orang yang tengah mengantre sambil
bergandengan tangan di depan meja kasir, mengenakan seragam yang sama persis dengan
Zanufa. Laki-laki dan Perempuan.

"Kamu kenapa?" tanya Papanya mennyadari perubahan ekspresi pada wajah anaknya.

"Papa inget cowok yang aku bilang namanya mirip kembaran Papa?"

"Vano?"

Zanufa mengangguk antusias. "Aku harus kasih tau Cantika."

Zanufa Berlian Tazqia: Tik, gue rasa hoax soal mereka pacaran beneran deh. Gue ngeliat
dengan mata kepala gue sendiri.

Zanufa Berlian Tazqia: Picture.

•••

Entah mana yang lebih baik. Jujur tapi menyakitkan atau berbohong demi sebuah
kebahagiaan yang terpaksa.

Cantika selalu berusaha meyakinkan dirinya sendiri kalau-kalau berita itu adalah bohong.
Tapi, saat dua hari lalu Zanufa mengirimkannya sebuah gambar yang dirasanya begitu
menyakitkan. Ia benar-benar seperti merasa dunianya tak lagi berputar, dirinya
kehilangan gravitasi dan terombang-ambing.

Juliana masuk ke kamarnya secara tiba-tiba. Cantika bersyukur dalam hati karena
dirinya tidak sedang menangis.

"Dek," panggilnya.

Cantika menoleh dan membiarkan Ibunya itu duduk di kasir tepat di sampingnya.

Cantika sempat menghindari Ibunya saat setelah malam premiere karena selalu
ditanyakan pertanyaan beruntun soal di mall dan kemana perginya dia saat premiere di
mulai.

Kini sepertinya suasana sudah mendingan dan ia juga tak ingin berlama-lama menghindar.

"Kenapa, Ma?" tanya Cantika, mendapati gelagatan Ibunya yang sekiranya mencurigakan
persis seperti saat mengelabuinya untuk bertemu dokter Rosa.

"Mama udah daftarin kamu ke sekolah acting."

Dan tanpa sepengetahuannya, lagi.

"Mah...." desah Cantika, tubuhnya makin melemas dan melorot.

Juliana menghampiri putrinya dan membuat gerakkan memohon. "Sekali dulu cobain ya?
Kalo gak nyaman gak lanjut juga gapapa kok."

Cantika menatap Ibunya tepat di bola mata, menelik kesungguhan Ibunya dalam
membujuk sehingga rela berperilaku seperti ini. Cantika tidak ingin, tapi lebih tak ingin
membuat Ibunya kecewa karena sudah susah-susah mendaftarkan dirinya.

"Okedeh," kata Cantika pada akhirnya, setelah berpikir lumayan panjang.

Dan seketika, Juliana langsung berhambur memeluk anaknya itu.

"Sip! Sekarang anak Mama yang paling cantik harus siap-siap karna Zanufa udah ada di
depan pintu. Have fun, sayang!" Juliana mengecup dahi Cantika dan melenggang keluar.

Tak lama, Zanufa masuk ke kamar Cantika.

"So?" alis Zanufa naik seolah tengah menantang Cantika. Cantika tau Zanufa tak
kehabisan akal untuk membuatnya selalu ceria. Dan itu merupakan salah satu berkah
baginya karena memiliki sahabat seperti Zanufa.

"Oke!" tantang Cantika, dan seketika cengiran lebar terukir di wajah Zanufa.

Sementara Zanufa memilih-milihkan baju untuk Cantika yang sekiranya agak pas, Cantika
baru saja selesai mencuci muka dan mengenakan serumnya.

"Yang ini ya?" tawar Zanufa. Cantika mengangguk langsung dengan baju putih polos dan
cardigan hitam serta jins panjang pilihan Zanufa.
Sementara Cantika menggunakan pakaiannya, Zanufa memilihkan sepatu untuk Cantika.

"Jangan yang itu ah!"

"Udah sempit itu!"

"Ketinggian!"

"Gamau ah!"

Zanufa menghela nafasnya kasar. "Cantika Adriana, ini adalah satu-satunya sepatu yang
cocok selain yang gue sebutkan tadi dan tentu saja tidak dengan sekumpulan sneakers lo
itu."

Cantika ikut menghela nafasnya juga. Kemudian ia beralih pada Zanufa yang ternyata
juga mengenakan sepatu tinggi dengan pakaian kasualnya.

"Fine."

Zanufa tersenyum penuh kemenangan.

Setelah adu mulut dan berusaha dengan susah payah, akhirnya Cantika mau juga di ambil
gambar oleh Zanufa sebelum berangkat.

Bersama sahabatnya ini, Cantika dapat melupakan segala keluh kesahnya. Bersama
sahabatnya ini, Cantika dapat merasa tenang seperti dengan keluarga sendiri.

Mereka turun dari taksi dan masuk ke dalam mall, memulai perjalanan dengan memasuki
berbagai macam gerai yang ada.

Di jalan, Cantika selalu saja mengeluh pegal dan pegal. Namun Zanufa hanya tertawa dan
malah memaksanya untuk terus.

Menonton bioskop, membeli aksesoris, tas, parfum, dan kini adalah saat bagi mereka
untuk makan, mengisi perut masing-masing.

Menunggu pesanan sampai, mereka berceloteh ria dengan berbagai macam gurauan. Tak
perduli dengan berapa banyak tatapan cowok yang berusaha merayu mereka berdua
sejak tadi. Ini waktunya sama sahabat, gak mikirin cowok.

Makanan pun sampai, tapi ada yang ganjal di hati Cantika. Ia merasa aneh sebenarnya
sejak tadi. Namun dia baru menyadari kalau dia bahkan sebelumnya sama sekali tak
menoleh kemanapun karena merasa tak perduli.

Matanya terperanjat. Melihat pemandangan empat kursi di depannya.

The hottest couple seantero sekolah untuk saat ini.


Vano dan Dira.

Hembusan • 11

warning!!

emosional part. baca narasi baik-baik.

[EDITED]

11. Siapa Aku?

Cantika benar-benar ingin menangis.

Pertama, ia bahkan tak dapat berkutik kala Terre dan gerombolannya membully dirinya.
Hanya mengandalkan Catalia, Audi dan Dira yang akan datang lalu menolongnya.

Cantika tau kalau dirinya sebenarnya bisa-bisa saja melawan, tapi dia tak bisa. Meratapi
kembali akan statusnya dan siapa dirinya. Alhasil dia hanya akan menyulut emosi Terre
dan teman-temannya dengan kata-katanya yang sebenarnya ia gunakan untuk menahan
emosi dan kemudian datanglah para penolong.

Kedua, Cantika semakin merasa tak berdaya kala ia malah justru terlihat culun di
hadapan Terre dan kawanannya. Sementara seharusnya ia melawan.

Ketiga, Cantika selalu saja membuat keluarganya malu. Itulah yang dianggapnya selama
ini. Entah karena perilakunya atau penampilannya. Sehingga mau tak mau dirinya hanya
bisa menangis, berteriak dan menikam berbagai macam benda di ruang latihannya.

Keempat, ia merasa selalu menjadi benalu. Apalagi kepada kakak laki-lakinya, Claudio
yang sedia melakukan apa saja demi Cantika. Membuat Cantika merasa semakin tak
berdaya.

Dan ada lagi yang benar-benar membuatnya lelah yaitu menghindar. Menghindari keluar
kelas, menghindari Terre dan kawanannya, menghindari kakaknya, menghindari Vano. Dan
yang terparah adalah menghindari fakta bahwa cowok idamannya itu sudah ada yang
punya.

Cantika turun dari taksi dan meminta Zanufa agar langsung pulang ke rumahnya. Padahal
ini masih jam 5 sore, dan seharusnya perjalanannya dengan Zanufa masih dua jam lagi.

Air mata tak lagi dapat ia bendung.


Dengan segera, Cantika memasukki ruangan berlatihnya. Melempar sepatu tinggi beserta
aksesorisnya secara asal, juga melempar cardigannya. Melepas jins dan hanya
menggunakan celana pendek demi memudahkan pergerakkannya.

Ia menendang, meninju, menikam dan memukul sekeras-kerasnya samsak di hadapannya.


Mematahkan banyak kayu yang tersisa dengan air mata yang bercucuran. Bukan
bercucuran karena sakit fisik, tapi jiwanya yang sakit, hatinya lemah. Ia bahkan tak
menyadari bawa dirinya tak mengenakan pelindung apapun sehingga tangannya berdarah-
darah dan banyak lecet di sekujur tubuhnya.

Cantika jatuh terduduk, memeluk lututnya sehingga air matanya semakin banjir. Tak lagi
dapat menyalahkan takdir akan semua ini. Memang sudah takdirnya menjadi seperti ini.

Bukan siapa-siapa. Tak di anggap. Benalu.

•••

Claudio mengajak Vano untuk masuk ke dalam rumahnya yang kosong melompong, tak ada
siapapun termasuk pembantu.

"Pada kemana?" tanya Vano, melihat dekorasi ruangan tamu yang di tata sedemikian
rupa. Lumayan berbeda dengan kali terakhir dia kesini.

"Nyokap lagi ada urusan di butik, bokap lagi mantau editing," jawab Claudio sekenanya.
Ia berjalan ke arah dapur dan mengambil jus beserta dua buah gelas.

"Adek lo?"

Jleb.

Pertanyaan Vano begitu tepat sasaran. Matilah Dio kalau sampai Vano tau.

Mata Claudio mengikuti gerak mata Vano yang ternyata tengah memerhatikan foto
keluarga di ruang tamu yang di ambil sekitar lima tahun yang lalu. Foto yang baru saja di
pajang saat mendekor ulang ruangan.

"Lagi jalan-jalan sama sahabatnya. Dari tadi sih, palingan nginep kali gatau."

"Kok gue baru tau lo punya adek ya," gumam Vano, namun Claudio dapat mendengarnya
dengan jelas.

Vano menoleh kearah jarum jam yang menunjukkan pukul enam sore. Maghrib sudah
mereka lewatkan saat bertemu di jalan tadi sesudah Vano mengantarkan Dira pulang.

Mereka sholat berjamaah di Masjid dan akhirnya memutuskan untuk bermain di rumah
Claudio. Mungkin juga Vano punya niatan untuk bermalam.

"Bentar ya gue ambil stik ps dulu di kamar."


Claudio berjalan menjauh dan menaiki tangga menuju kamar. Mereka sepakat bermain di
ruang tamu karena menurut Claudio di sini TV nya berukuran dua kali lipat TV Claudio di
kamar kalau di jejerkan. Dan memang benar, super besar dengan layar 3D pula.

Bugh!

Alis Vano memincing. Ia seperti mendengar sesuatu yang di lempar dengan cukup keras.
Tak terdengar lagi sehingga ia mengabaikannya.

Bugh!

Suara itu terdengar lagi. Membuat rasa penasaran Vano kian membuncak. Ia bangkit dan
mengikuti suara-suara berikutnya.

Vano berjalan melewati tembok yang berada di seberang dapur, ia belok kekiri dan
menemukan sebuah pintu besar disana. Dikiranya mungkin itu gudang. Tapi apakah
sebesar itu? Dan, agak terlihat sepertinya. Cuma saja selama ini dia belum pernah kesini.

Vano makin mendekatkan langkahnya, dan ternyata pintu tidak di tutup.

Bugh!

Suara terdengar semakin jelas dan membuat Vano yakin betul kalau suaranya berasal
dari sana.

Saat sudah sampai di depan pintu, Vano melihat sosok cewek yang terduduk
membelakanginya. Dengan baju putih yang hampir robek dengan celananya dan rambut
yang berantakkan. Cewek itu melempar bongkahan kayu patah ke tembok dengan sekuat
tenaga.

Tapi ada yang lebih menarik perhatian Vano. Bajunya tidak menyeluruh berwarna putih
karena tercampur dengan warna merah. Dan juga, saat tangannya terangkat untuk
mengambil ancang-ancang melempar kayu, Vano jelas melihat luka sobekkan cukup besar
di tangannya dengan banyak darah.

Vano agaknya sedikit ngeri. Tapi ia merasa mengenali cewek itu walaupun dari belakang
sekalipun.

"Cantika?"

Cewek itu lantas menoleh dengan tatapan shocknya. Sesaat Vano mendapati dirinya
benar. Tapi tidak dengan wajah cewek itu yang penuh dengan peluh.

"Van? Lo ngapa-"

Perkataan Claudio terputus kala ia turut berdiri di depan pintu. Ia tak mematung seperti
yang di lakukan oleh Vano, karena Claudio langsung berlari dan menghampiri Cantika.

"Dek! Apa-apaan sih!?"


Claudio berjongkok di hadapan Cantika yang terdiam, menghentakkan kayu yang berada
di tangan Cantika.

Sesaat, Claudio terbayang kembali akan sosok rapuh adiknya tepat sebelum ia memasuki
sekolah yang sama dengannya.

Cantika yang dapat menahan emosinya dengan bersikap lugu. Cantika yang kemana-mana
menguncir rambut dan mengenakan kacamatanya. Cantika yang kemana-mana selalu
menunduk karena tak percaya diri dengan wajahnya yang penuh jerawat.

Cantika masih sama seperti saat itu. Masih sama tak percaya diri dan selalu
merendahkan diri.

Tapi, Cantika kini kian berani, tak dapat mengontrol emosinya dan lebih sering
melampiaskannya sehingga membuat Claudio takut kalau adiknya akan kehilangan kontrol
dan menghajar siapa saja yang mengganggunya.

Cantika kini makin renta karena lebih sering menangis. Walau penampilannya sudah
berubah hampir seratus delapan puluh derajat: tak ada jerawat di wajah, tak
mengenakan kacamata kemana-mana, saat pergi mulai menggerai rambutnya dan
mengenakan peralatan layaknya cewek-cewek seumurannya.

Tapi Claudio yakin betul kalau itu tetaplah adiknya. Cantika yang menggemaskan dan
menyebalkan. Kadang-kadang pemarah dan penurut.

Claudio penasaran apakah adiknya menderita bipolar disorder? Tapi Cantika bahkan tak
pernah mencoba bunuh diri, dan emosinya tidak berubah dalam sesaat. Emosinya memang
tak terkontrol, tapi bukan dalam artian yang seperti itu.

"Di, mending kita obatin sekarang deh."

Vano sepertinya tak ingin ambil pusing apalagi membahas mengenai perkara hubungan
sebenarnya antara Claudio dan Cantika. Di pikirnya, ini bukanlah waktu yang tepat.

Vano membantu Claudio untuk mengangkat Cantika sehingga cewek itu dapat berjalan
dengan mudah. Karena sepertinya Cantika sudah kehilangan banyak energi dari dalam
tubuhnya.

Mereka membawa Cantika menuju sofa besar di ruang tamu dan mendudukkannya.
Namun sepertinya Cantika lebih memilih untuk duduk di karpet bawah karena tubuhnya
merosot. Selagai Claudio mengambil peralatan dan obat-obatan, Vano menggeser meja
kecil itu atau lebih tepatnya mengangkat dan memindahkannya sehingga kini mereka
berdua duduk di atas karpet.

"Always had a dead wish, ya?"

Cantika tak menjawab pertanyaan Vano. Ia kalang kabut dengan pikirannya sendiri.
Memikirkan soal Vano yang beberapa jam lalu tengah bersama Dira dan hari-hari
sebelumnya.

Selain itu, ia memikirkan bahwa kemungkinan kesadaran Vano mengenai siapa dirinya.

•••

Setelah Claudio menceritakannya, kini Vano mengerti sudah.

Claudio juga menceritakan tiap harinya tentang adiknya yang tak pernah mau keluar dari
kamarnya sejak itu. Hanya bicara kalau perlu dan makanan serta minuman terus menerus
dibawakan oleh pembantu mereka. Setiap kali di tanya, hanya satu jawabannya yaitu:
gapapa.

Begitu seterusnya.

Hari ini sekolah sudah kembali di mulai. Dan kegiatan bagi kelas sepuluh ataupun kelas
sebelas akan semakin di sibukkan.

Bell pulang sekolah berbunyi. Claudio menunggu Cantika di belokkan biasa, di dalam mobil.

Lima menit.

Sepuluh menit.

Lima belas menit.

Claudio mulai merasa gusar di tempat duduk kemudinya.

Sementara Cantika di belakang sekolah..

"Dulu lo tuh gak kayak gini, cupu!" Terre mengitari Cantika dengan tatapan sinisnya.

Entah kenapa Cantika tak menundukkan kepalanya sama sekali. Hanya menengadah
seperti biasa.

"Sekarang lo... lebih berani ya." Terre menilai-nilai.

"Gue rasa kepercayaan diri lo meningkat tinggi sejak lo di gendong sama Vano ke UKS
ya? Hah! Ngarep banget gila," tutur Tiara dengan tatapan muaknya.

Sejujurnya, Cantika tak kalah muak dengan mereka.

"Mau rasain lagi gak, gimana jadi kayak dulu? Can-Tik," ejek Terre, terutama kala
mengucap nama Cantika.

Byuurr!

Cantika ingat sensasi ini. Kala ia di ciprati oleh air hujan dari ban mobil Terre, kala ia di
sorakki dari tiap lantai sekolah dan melemparinya aqua gelas yang masih berisi, dan kala
ia di lempari air bekas kain pel saat di toilet. Cantika ingat sensasi ini.

Air matanya berlinang.


Kepercayaan diri yang sempat ia bangun bersama sahabatnya, Zanufa, runtuh sudah.

Amarah yang berkobar-kobar seperti sebelumnya benar-benar terhalang kuat oleh rasa
takut. Takut akan menyakiti seseorang. Cantika tak dapat berbuat apa-apa, bahkan
sampai ia tak sadar kalau kawanan Terre sudah pergi meninggalkannya sendiri.

Cantika seharusnya sadar. Dia bukan siapa-siapa. Dia tak berhak dan tak akan bisa
melawan anak yang berkuasa di sekolah. Tak akan pernah bisa.

Cantika seharusnya hanya diam dan menuruti tanpa perlu menjawab dan bersikap seolah
menantang.

Cantika seharusnya tau itu.

Tapi beberapa bulan yang lalu ia sudah berhasil membangun kepercayaan dirinya agak
tak melakukan itu. Dan kini ia sadar bahwa begitulah ia seharusnya, Cantika si jelek,
culun dan bukan siapa-siapa yang tertindas.

"Salah Cantika apa, Ma? Pa?" gumam Cantika, lebih kepada dirinya sendiri sebenarnya
karena tak ada siapapun disana.

"Salah gue sebenernya, karena gue suka sama lo dan ga perduli lo kaya gimana."

Cantika menoleh dan mendapati sang pemilik suara.

"Kak Gilang?" Suara Cantika hampir habis karena mulai serak sehabis menangis.

"Maaf ya, gue telat datengnya." Gilang mendekat ke arah Cantika, memungut tasnya dan
memakainya di punggungnya sendiri. Kemudian ia merangkul Cantika, tak perduli kalaupun
ia harus basah ataupun bau karena Cantika yang baru saja di sirami oleh air keruh.

"Kak...?" panggil Cantika dengan ragu.

"Hm?" Gilang menoleh, sembari berjalan dan tanpa sadar wajah mereka sebegitu
dekatnya sampai-sampai Cantika harus mengedipkan matanya beberapa kali dan langsung
memalingkan pandangannya.

"Makasih ya," kata Cantika, sepertinya pipinya sudah merah padam seperti saat jerawat
masih menutupi wajahnya dengan sempurna.

"Gak papa kok," jawab Gilang. "Yuk, mau gue yang anter apa mau ke mobil kakak lo aja?"

"Eh?" Cantika membelalakkan matanya. Bagaimana bisa Gilang tau? Apa Vano menyebar
informasi kemana-mana?

"Kenapa gue bisa tau? Yaampun, pas lo di tarik Terre, Claudio yang takutan banget lo
ngamuk. Langsung nyusul. Nama? Adrian Adriana. Eh pas gue nganter lo pulang; kok
kerumahnya Claudio." Gilang menjelaskan seolah-olah dia dapat menebak dengan jelas
ekspresi Cantika. Sementara Cantika salah tingkah dan jelas-jelas malu karena kedoknya
ketauan.
"Kakak pernah ke rumah sebelumnya?" entah kenapa malah pertanyaan itu yang
meluncur.

Gilang tersenyum mendengar keingintahuan Cantika. "Sering kali, sama anak-anak yang
lain juga. Lo nya aja tuh dari dulu ngedekem aja di kamar kalo anak-anak lagi pada maen."

"Kakak ngomongnya Betawi banget," komentar Cantika.

Gilang menaikkan kedua alisnya dan tak dapat menahan senyuman di wajahnya. Itukah
yang Cantika pikirkan? Cantika mengamatinya? Bukan mendengarkan maksud bicara
malah menelaah kata-kata? Yaampun! Gilang bisa gila sedetik ini juga rasanya!

"Kak?" tegur Cantika, melihat Gilang yang diam saja sibuk dengan pikirannya dan
senyam-senyum sendiri.

"Gapapa-gapapa. Yuk! Kita ke abang lo."

Entah kenapa, berada di dekat Gilang membuat Cantika terasa nyaman walau hanya
sebentar. Gilang tak henti-hentinya menghibur Cantika sampai Cantika naik ke mobil.

"Makasih, bro," kata Claudio kepada Gilang yang dibalas anggukan sambil tersenyum.

Claudio menatapi adiknya yang basah kuyup di kursi penumpang dengan tatapan yang tak
dapat di artikan.

"Lagi?" tanya Claudio, Cantika menundukkan kepalanya.

Ini dia adiknya yang selalu tertindas.

"Terre lagi?"

Cantika mengangguk. Dan itu membuat Claudio semakin geram saja.

"Gini, gue mau ceritain semuanya sama lo. Gue gatau ini ada hubungannya atau enggak
sama lo karena dia bahkan gak kenal sama lo, dan gatau kalo lo itu adek gue."

Perhatian Cantika tertuju sepenuhnya kepada Claudio yang tengah mengambil ancang-
ancang untuk bercerita.

"Inget waktu SMP pas gue pacaran sama Catalia?"

Cantika mengangguk lesu.

"Cewek yang ngejegat Catalia di belakang sekolah gara-gara dia garela Catalia jadian
sama gue?"

Cantika mengangguk, "Cewek yang dari SMP Negeri di sebelah itu kan?"

"Bener. Dan lo tau siapa orangnya?"

Cantika menggeleng.

"Itu Terre."
Hembusan • 12

[EDITED]

12. Sakit.

Sorak sorai gembira terus berdendang di rumah Andira, atau yang lebih sering di sebut
Dira.

Hari ini merupakan ulang tahunnya yang ke tujuh belas. Dan semua orang terdekatnya di
undang untuk ikut merayakan pesta ulang tahunnya. Termasuk Cantika.

Cantika baru saja datang dan belum sempat mengucapkan selamat ulang tahun kepada
Dira, tetapi sesi foto-foto sudah di mulai.

Ia sengaja tak datang bersamaan dengan Claudio untuk menghindari orang lain yang
semakin tau. Jadi, seperti biasa saja, dia berangkat bersama Zanufa.

"Yah, ketinggalan kita," gerutu Zanufa.

Orang yang pertama berkesempatan foto adalah Vano, jelas, dia pacarnya.

Tetapi bukan itu yang menjadi permasalahan Cantika.

Entah sejak kapan air mata sudah mengembang di kelopak matanya. Ia tak sanggup
melihat lebih lagi. Ini saja sudah begitu sakit bagi dirinya.

Vano memeluk Dira, dan Dira memeluk Vano. Bukan itu saja, Dira mencium pipi Vano dan
gambar pun di abadikan.

Sorak sorai makin bergemuruh. Vano agaknya sedikit shock dengan perlakuan agresif
Dira. Vano bahkan belum pernah menciumnya. Tapi Vano berusaha tersenyum.

Bukan, bukan itu yang aneh. Adalagi selain itu. Barusan saja Vano seolah mendapatkan
sebuah aliran, bukan akibat ciuman yang di berikan oleh Dira. Tetapi aliran dari sisi lain,
kesedihan?

Vano menoleh dan kepalanya tepat menghadap ke arah pintu. Disana ada cewek
berambut panjang yang buru-buru saja keluar dari rumah Dira. Yang Vano yakin bahkan
sejak tadi ia belum melihatnya.

•••

"Dek, ayo berangkat."

Juliana berteriak dari depan pintu kamar Cantika.


Ya, ini adalah minggu ke dua bagi Cantika mengikuti les acting yang di anjurkan oleh
Mamanya. Awalnya ia memang menolak, tapi ternyata tidak seburuk itu kok. Jadi,
Cantika memutuskan untuk melanjutkan.

Cantika menghembuskan nafasnya kasar. Ia melihat lagi pantulan dirinya di cermin.


Beres.

Sudah tidak ada lagi mata sembab dan merah serta wajah layu akibat menangis
semalaman. Saat bangun tidur pagi tadi setelah mandi, Cantika mengenakan masker mata
dan memakai serum.

Baiklah, ini dia.

"Ayok, Ma."

Di perjalanan, Ibunya tak henti-henti menyeloteh mengenai tata panggung dan segala
macamnya. Seolah-olah Cantika hendak main teather saja. Walau begitu, Cantika
berusaha mendengarkan dengan seksama. Siapa tau ilmu yang di berikan oleh Ibunya
dapat bermanfaat kedepannya.

Saat sampai, mereka turun dan masuk ke gedung berlantai tiga yang luasnya hanya
sekitar 20 x 15 meter. Gedung itu jelas ditunjukkan hanya untuk satu instansi, sekolah
belajar acting.

Juliana berbincang dengan seseorang yang Cantika yakini sebagai pemilik sekolah ini.
Sembari Ibunya berbincang, Cantika duduk diam dan menunggu di kursi yang berada di
samping jendela lantai pertama.

Lantai pertama di gunakan untuk bagian resepsionis, ruang tunggu, dan di pojok ruangan
terdapat tangga besar yang menyambungkan ke lantai berikutnya. Di samping resepsionis
terdapat pintu yang lumayan besar dan di yakini Cantika sebagai kantor. Di samping
tangga, terdapat dua pintu toilet.

Lantai kedua berisi kursi dan meja rapat yang di gunakan untuk bedah naskah. Di sana
juga terdapat sofa dan kulkas berisi minuman penyegar serta tempat ruang ganti bagi
para murid.

Sedangkan di lantai ketiga merupakan ruangan yang keseluruhan di penuhi oleh kaca,
memudahkan untuk melihat ekspresi dan guna membayangkan lawan bicara kala sedang
latihan.

"Dek, nanti jam 5 Mama jemput ya," kata Juliana, dibalas anggukkan oleh Cantika.
Setelah salim, Juliana melenggang pergi.

Cantika kemudian mengikuti orang yang dikiranya sebagai pemilik itu naik ke lantai atas.
Hanya ada empat orang lainnya di sofa dan mereka sudah fokus dengan naskah masing-
masing.
Selesai mengganti pakaian dan meletakkan peralatannya di loker, Cantika menghampiri
sang pelatih, kak Dicky, yang sudah duduk menunggunya.

Dicky memberikan lembaran naskah kepada Cantika. "Oke Cantika, kamu baca perannya
Della disini. Semua keterangan karakter udah ada, terus kamu baca dialognya."

Cantika membalik lembar utama yang hanya bertuliskan judul dan matanya langsung
mencari nama Della yang ternyata ada di paling atas.

"Oke, waktu kamu satu jam dari sekarang. Nanti aku balik lagi, terus kita mulai latihan
sama anak-anak yang lain ini," kata Dicky.

Setelah Dicky bangkit dan turun, Cantika memerhatikan empat orang tadi yang benar-
benar terlihat fokus kala membaca naskah. Tak jarang mereka menggumam lumayan
keras dan menggunakan gestur tubuhnya.

Cantika berdeham sedikit mengurangi rasa gerogi dan membenarkan posisi duduknya
agar lebih nyaman.

"Apalan di sofa. Meja buat briefing sama bedah naskah."

Salah satu cewek dari dua orang disana mengeluarkan suara. Suaranya elegan yang
terkesan meninggi. Tapi Cantika tak tau mana diantara dua itu yang berbicara karena
keduanya memiliki wajah yang agak glamour. Sementara kedua cowok terlihat adem-
ayem saja.

Cantika mendesis dan pindah duduk ke sofa. Ia kemudian membuka naskah dan mulai
membaca karakter yang akan di bawakan olehnya.

Della: 17 tahun, siswa SMA Mandala kelas 11 IPA 2, ikut ekskul taekwondo sejak SMP -
sabuk hitam di luar sekolah. Di sekolah cenderung pendiam dan penyendiri. Menyukai
Delon kelas 11 IPS 1 yang merupakan the most wanted boy di sekolah.

Cantika tersedak begitu selesai membaca sebagian karakter Della. Kenapa ini.. kenapa
seolah-olah sedang membicarakan Cantika dalam versi yang berbeda?

"Berisik banget sih," gerutu cewek dengan rambut yang lebih panjang. Suaranya sama
seperti tadi, kini dia yakin kalau cewek itulah yang juga mengeluarkan suara sebelumnya.
"Gatau apa karakter Della sulit banget. Harus fokus nih."

Susah? Serius nih?

Cantika diam saja tak menanggapi, lagian yang berisik malah dia sendiri kok. Mengoceh
terus kerjaannya.

Kemudian Cantika terus melanjutkan untuk membaca naskah. Disini peran utamanya ada
lima: Della, Delon, Jason, Vhia dan Saski. Pas sekali dengan jumlah orang di ruangan ini.

Cantika terus membaca seolah tak sadar waktu. Kertas di belakang sudah menipis kala ia
menyadari keempat orang tadi sudah bangkit. Dan tak lama, kak Dicky datang.
"Udah selesai semuanya?" tanya kak Dicky yang di balas anggukkan oleh keempat orang
itu. Namun ia menoleh cepat-cepat dan mendapati Cantika yang masih fokus membaca.
"Oh, Cantika belum selesai."

"Namanya Cantika?" lagi-lagi si nenek sihir yang bersuara.

Please, shut the fuck up.

"Iya, Renata. Kenapa?" kak Dicky lah yang menjawab, mencoba tak memecah fokus
Cantika. Tapi Renata diam saja, tak mau menjawab lagi atau menentang kak Dicky.

Cantika menutup naskahnya dan langsung bangkit di samping kak Dicky. "Selesai, Kak."

"Oke, sebelum kita pindah ke atas. Kalian mau jadi siapa di cerita ini?" tanya kak Dicky.

"Della!" seru Renata menyerbu langsung. Kak Dicky mengangkat alisnya seolah bertanya,
yakin lo?

Renata mengangguk-angguk dengan semangat.

"Eza, mau jadi siapa?" kak Dicky bertanya kepada Eza, yang mengenakan kaos putih
oblong dan jins robek di kanan dan kiri lututnya.

"Delon," jawab Eza tanpa ragu.

Kak Dicky mengangguk kemudian menoleh ke arah cowok yang satunya lagi. "Rafa?"

"Jason." Rafa juga menjawab tanpa ragu.

"Enggak mau nyoba Delon?" tanya kak Dicky seolah sedang mencoba menggoyahkan
keyakinan Rafa. Tapi Rafa hanya tersenyum dan menggeleng.

"Ngapain rebutan kalo pemerannya udah pasti. Eza itu Delon banget," tutur Rafa yang
mendapat tonjokkan kecil di bahunya dari Eza.

Kak Dicky menganggukkan kepalanya dan beralih kepada cewek berambut pendek. "Kalo
kamu, Kiara. Mau jadi siapa?"

"Vhia, Kak," jawab Kiara. Dibalas anggukkan oleh kak Dicky.

"And, Cantika?"

Cantika yang sedari tadi diam saja memerhatikan kini mendapat gilirannya. Tapi alis
kanananya naik tanpa sadar. "Tadi kakak minta aku baca part Della, ya aku baca. Terus
juga kayaknya pas banget sama aku, jadi aku Della."

Senyum di wajah kak Dicky merekah mendengar jawaban dari Cantika.

"Dua Della?" tanya Renata, terdengar tak terima.

"Yaudah ayok ke atas aja, nanti ganti-gantian. Lagian juga kan belom pas banget," kata
kak Dicky.
Mereka naik ke lantai tiga dan langsung di hadapkan oleh kaca-kaca besar. Dan kini baru
Cantika sadari kalau minggu kemarin saat pelatihannya, ia sama sekali tak melihat
keempat anak ini sebelumnya. Baru kali ini.

Kak Dicky duduk di bawah, dan Cantika duduk di sampingnya.

"Oke, jadi nanti Renata gantian sama Cantika. Itu artinya kalian bertiga harus acting lagi
dan lebih baik lagi bukannya malah makin jelek nantinya. Suasana di ambil part satu, dua,
tiga, empat, seratus delapan puluh satu, seratus delapan puluh dua dan dua part paling
akhir, dua ratus empat puluh enam."

Kak Dicky selesai memberi arahan. Mereka cepat-cepat membalik dan mengingat apa
saja yang terjadi dan apa kata-kata yang terdapat di sana. Begitu juga Cantika.

Cantika menghela nafasnya begitu membaca bagian-bagian ini.

Sepanjang pelatihan saat giliran Renata, Cantika memerhatikan cewek itu yang menurut
Cantika amat sangat melenceng dari tokoh Della. Bukannya sok atau apa, tapi gestur
tubuh Renata lebih ke anak yang suka membully ketimbang anak penyendiri.

Cantika menyukai acting Rafa yang terkesan natural dengan gayanya yang selengean.
Begitu juga dengan Kiara yang begitu mendalami perannya sebagai Vhia. Membuat
Cantika mengerti kenapa cewek ini terfokus pada satu peran seolah tak memedulikan
bagian si Della yang sekiranya membuat pilihan dirinya goyah untuk menjadi Vhia.

Eza? Jangan di tanya lagi. Auranya benar-benar memancar sebagai cowok yang menjadi
the most wanted di sekolah.

"Jadi, kamu mau kan.. Ehm, ituloh.. Gimana ya cara ngomongnya." Eza terdengar malu-
malu. Tepat seperti yang Cantika bayangkan saat membaca naskah tadi. Ini adalah
bagian terakhir saat mereka sudah besar dan Delon melamar Della.

"Delon, kamu kenapa sih? Kok jadi gampang gugup gitu?"

Kesalahan besar di lakukan oleh Renata. Dia bersikap seolah-olah cewek centil yang
sedang dimintai nomer telepon. Bukan begitu seharusnya.

Cantika jadi malas melihat lagi karena geregetan terhadap Renata. Jadi, dia membaca
saja naskahnha lagi.

"Yak, good." Kak Dicky bangkit dan tepuk tangan. Namun Cantika masih terhanyut ke
dalam naskahnya seolah tengah mengisah balik kehidupannya.

"Kalian berempat istirahat dulu aja sepuluh menit. Abis ini gilirannya Cantika sama yang
bertiga," kata kak Dicky yang dibalas anggukan oleh mereka.

Entah mengapa Cantika langsung mendongakkan kepala kala merasa dirinya di perhatikan.
Pandangannya bertemu dengan milik Eza.

Cantika hanya mengangkat bahunya dan lanjut membaca naskahnya.


Tanpa sadar rupanya kak Dicky sudah duduk di sampingnya lagi.

"Dapet feelnya, Tik?"

Cantika mendongak dan menutup naskahnya. Dia tersenyum singkat. "Dapet banget."

"Bagus," kata kak Dicky.

"Kak," panggil Cantika. "Yang lain pada kemana sih? Kok ini cuman kita berlima doang?"

"Eh-" kak Dicky terlihat menimang-nimang sebentar. "Ini kelas khusus."

"Kelas khusus? Mama ya yang masukkin aku kesini?" tanya Cantika. Pantas saja dia baru
melihat kak Dicky menjadi pelatih. Soalnya minggu lalu Cantika tak melihat kak Dicky.

"No, No, No," katanya. "Ini aku yang milih. Kamu aku pilih gara-gara aku dapet laporan
dari bawahan aku yang ngajar disini tuh kalo kamu udah nunjukkin sesuatu yang bagus
bahkan di minggu pertama kamu. Terus aku liat video kamu, eh bener. Abis itu aku
ngehubungin nomer telepon yang tertera di surat daftar kamu, ternyata itu nomernya
kak Juliana lah aku seneng banget deh terus kamu dateng deh kesini."

Oh, jadi gitu.

Cantika tak mau ambil pusing, jadi dia mengangguk saja. Apalagi soal kak Dicky yang
mengatakan soal pengajar sebagai bawahannya.

Tak lama kemudian, mereka berempat naik ke atas lagi.

Kiara menghampiri Cantika dan memberikannya salah satu minuman yang masih di segel.

"Makasih," kata Cantika, dibalas senyuman oleh Kiara. Ternyata Kiara baik, walaupun
pada awalnya dia mengira kalau Kiara itu sebelas dua belas seperti Renata.

Cantika membuka bungkusnya dan bingung mencari tempat sampah. Jadi dia mengantongi
bungkusnya di saku celana pendeknya dan meneguk airnya.

"Yuk mulai," ucap kak Dicky, memberi aba-aba.

Cantika meraih naskahnya yang berada di samping kak Dicky dan bangkit berdiri.
Kemudian ia meminta naskah milik Kiara dan juga Rafa. Untuk membuatnya agak tebal.
Dicky tersenyum melihatnya.

"Ready, Action!"

Cantika sebagai Della, di ceritakan keluar dari dalam perpustakaan dengan membawa
banyak buku dan tak sengaja menabrak seseorang yang tak lain adalah Eza sebagai
Delon, sehingga buku-bukunya berserakkan dan beberapa menimpa kaki Delon.

"Lo-" Delon hendak marah-marah. Tetapi ia melihat ekspresi bersalah dan takut di mata
Della begitu menjadi-jadi, sehingga ia menghentikan ocehannya.
Eza seperti tersetrum sensasi yang berbeda begitu melihat mata sayu Cantikan yang
penuh rasa bersalah.

Persis seperti yang Eza bayangkan saat membaca naskah.

Saat bersama Renata tadi, Eza bisa saja melanjutkan marah-marahnya sekalipun Renata
hanya pura-pura menabraknya dengan buku yang bahkan tak ada sama sekali. Tetapi ini
berbeda. Buku benar-benar berjatuhan di kakinya dan caranya menabrak benar-benar
seperti orang tak sengaja.

"Ma-maaf, Delon. Maaf banget, aku gak sengaja," katanya menunduk, dengan kedua
tangannya yang di pautkan menjadi satu.

Cantika berusaha memikirkan feel, seolah ia sedang memergokki Vano yang tengah
ciuman dengan Dira dan tertangkap. Membuatnya merasa bersalah sekaligus sakit
menjadi satu. Melihat orang yang di sukainya akan segera memaki-maki dirinya.

Di dalam naskah, tangan Della di gambarkan memar-memar merah sehabis lomba


Taekwondo di hari sebelumnyan Tetapi ini Eza benar-benar melihat semburat itu di
tangan Cantika, bahkan ada bekas luka.

Di cerita, itulah yang menyebabkan Della tak kuat menahan beban buku, karena
tangannya begitu sakit. Tapi kali ini Eza seperti turut melaksanakan sakitnya.

"Cut!" tukas kak Dicky yang seketika langsung membuyarkan lamunan Eza, dan Cantika
juga langsung menoleh.

"Ini dia Delon dan Della untuk pemeran utama film kita!" tukas kak Dicky yang di sambut
tepuk tangan dari Kiara dan Rafa.

Seketika wajah bahagia Renata tergantikan. "What!? Mereka bahkan belom sampe
nyelesaiin satu part!"

"Film?" tanya Cantika bingung.

Seolah tak memerdulikan Renata, mereka bertiga berjalan menghampiri Cantika dan Eza.

"Maaf ya, aku gak bilang dari awal," kata kak Dicky yang semakin membuat Cantika
bingung.

"Ini maksudnya apa sih?" tanya Cantika lagi.

"Cantika, mereka berempat ini artis. Kamu gak tau?" pertanyaan kak Dicky membuat
Cantika terhempas jauh dari dunia khayalannya.

Sekarang dia ingat.

Ini Rafa yang sering Cantika lihat di iklan. Ini Kiara yang sering main di FTV. Ini Renata
yang merupakan model pemenang kontes salah satu majalah. Dan Eza, ini dia si pemain
film yang beberapa bulan lalu Cantika tonton filmnya bersama Zanufa. Zanufa sangat
tertarik dengan film yang di mainkan Eza karena katanya, Papanya selalu memaksa untuk
menonton film yang dimainkan oleh Eza.

"Jadi-"

"Iya, Cantika. Ini casting. Agak beda soal pelatihan yang aku bilang tadi ke kamu. Tapi
serius, aku ngeliat kamu waktu latihan. Terus pas nelfon Mama kamu, katanya jangan
kasih tau kamu dulu, takutnya kamu nolak."

Sepertinya ke empat orang disini juga bingung mendengar penjelasan yang Dicky
lontarkan. Mereka pikir Cantika adalah artis juga atau pemain teather atau model atau
apapun itu, di lihat dari penampilannya yang luar biasa. Tetapi Cantika mulai mengerti.

"So, ini dia pemeran utama kita. Cantika Adriana sebagai Della!"

Tepuk tangan dari empat orang berdentang nyaring. Namun tidak dengan Renata yang
mendengus kesal.

"Oke, minggu depan kita briefing dan kalian harus bilang ke guru privat atau
homeschooling kalian buat ngatur jadwal se-sedikit mungkin karena proses film bakalan
di mulai secepatnya. Dan ini adalah cerita adaptasi novel best seller, jadi film ini gak
main-main."

Jadi, Cantika resmi akan memainkan peran utama dalam sebuah film layar lebar?

Hembusan • 13

[EDITED]

13. Ulangan.

Cantika mengumpat dalam hati dan merutuki dirinya sendiri tentang bagaimana bodohnya
dia.

Bagaimana dirinya bisa menjalani shooting dengan lancar sementara hari Senin sudah
memasuki minggu ujian akhir sekolah?

Ah, tentu saja. Karena kalau kata Mamanya, Juliana, kalau kamu pemeran utama, maka
jadwal yang mengikutimu. Asal tetap di jalan yang profesional.

Cantika juga bersyukur, karena setidaknya ia bisa pulang cepat kala ujian akhir sekolah.
Hanya sampai jam dua belas. Itu artinya, pada jam satu dia sudah bisa berada di lokasi.

Semalam suntuk, Cantika belajar materi untuk dua hari ke depan sekaligus. Ia takut
kalau sudah memulai shooting malah tak bisa belajar untuk ujian. Ia sadar bagaimanapun
juga dirinya adalah seorang pelajar yang kewajibannya adalah belajar.
Agak kesiangan memang bangunnya, tapi masih beruntung karena di pekan ujian tak ada
upacara.

"Gue duluan Bang!" Cantika langsung cepat-cepat keluar dari mobil tanpa memastikan
orang lain di sekitarnya dan kemudian berlari.

Claudio menggeleng-gelengkan kepalanya. "Calon artis gue mah beda."

Claudio kemudian menjalankan kembali mobilnya hingga ke parkiran. Keluar dari mobil
dan memasuki kawasan sekolah sembari memutar-mutar kunci mobilnya.

Tanpa disadari, ada sepasang mata yang mengamati dari kejauhan.

•••

Cantika maju-mundur seperti gosokkan. Ia tak dapat menahan hasrat menggebu-gebu


dalam dirinya kala melihat dua orang itu bisa-bisanya berjalan santai sembari
bergandengan di depan Cantika.

Zanufa menghanpirinya.

"Lari dari pesta Kak Dira sambil nangis, sabtu minggu gak ada kabar, sekarang pas ujian
langsung aja ketar-ketir."

Cantika menghadap sahabat satu-satunya itu. Haruskah ia memberitahu Zanufa?

"Zan," panggil Cantika.

"Apa?"

"Kak Vano sama Kak Gilang udah tau kalo gue adeknya Claudio," ucap Cantika yang
berhasil membuat mata Zanufa hampir saja keluar dari tempatnya.

"Kok bisa!?"

"Kak Vano waktu itu kerumah gue.. pas gue lagi di ruang latihan, dia nyamperin. Kalo kak
Gilang, dia nyadar pas nganterin gue pulang."

Zanufa nampak shock sesaat namun kemudian raut wajahnya berubah. "Jadi, ada yang
dianter pulang tapi gak cerita-cerita sama gue. Oh, gitu temen."

"Bukan gitu, Zanufaaaaaa!"

"Kalo bukan gitu gimana dong?" Zanufa tak tahan melihat ekspresi Cantika dan ingin
tertawa sejadi-jadinya tetapi ia menahan karena masih ingin meledek sahabatnya ini.

"Ada masalah yang lebih penting dari ini," katanya dengan kepala tertunduk.

Zanufa menautkan alisnya dan mendekat. "Apa lagi, Tik? Soal Kak Vano sama Kak Dira?
Udahlah, emang udah saatnya lo move on aja. Mau gimanapun juga kayaknya perasaan lo
sulit kebales. Bukannya gue matahin semangat lo, tapi gue gamau lo sakit hati terus."
"Gitu ya, Zan?" tanya Cantika dengan wajah lesu. Tetapi Zanufa tetap mengangguk tanda
mengiyakan. "Tapi gue gabisa.. maksud gue gini, kalo gue sekedar suka biasa mungkin
gampang kali gue buat gak suka lagi. Tapi ini bukan soal itu, Zan.. Kak Vano tuh orang
pertama yang gue sayang.. Lo tau kan pas waktu di UKS itu-"

"Udah, udah." Zanufa menghampiri Cantika dan mendekapnya ke dalam pelukan. Ia tau
pertahanan Cantika sebentar lagi akan roboh karena ia pasti akan menangis.

"Makasih ya, Zan. Lo itu sahabat gue yang paling perhatian."

"Emangnya lo punya sahabat selain gue?" tanya Zanufa dengan nada meledek dan
berhasil mendapatkan getokkan cantik dari Cantika.

"Nah, itu dia Babang Dio yang paling ganteng," kata Zanufa kala di lihatnya dari balik
punggung Cantika, Claudio sedang berjalan menuju mereka.

"Emang mau ngapain sih kok tumbenan ampe panik banget nungguin Kak Dio?"

Cantika menghapus air matanya yang sudah menetes sedikit dengan gerakkan kasar.
"Ehm, itu. Sebenernya, gue hari ini mulai pelatihan buat shooting. Gue main film layar
lebar, Zan."

"WHAT!?"

•••

Cantika hanya petarung biasa, bukan yang mengikuti aturan-aturan atau semacamnya.
Mentok-mentok ia hanya belajar Wing Chun.

Cantika tiba di lokasi tepat saat jarum jam menunjukkan pukul satu lewat lima belas. Dan
dia langsung di arahkan oleh kak Dicky yang ternyata adalah seorang sutradara untuk
berlatih beberapa gerakkan Taekwondo untuk beberapa kilas adegannya.

Hampir satu jam Cantika berlatih dengan sabeum-nim, dan telah diajari berbagai macam
teknik Taekwondo. Tak lama setelah itu, terdengar riuh keramaian dari luar gedung.
Membuat Cantika lantas menoleh.

Itu dia artis-artis kita.

Eza, Rafa, Kiara dan Renata sudah datang ke lokasi. Dan siapa yang menyangka kalau
bakalan ada penonton sebanyak itu di luar gedung?

Tak lama, datang lah sang penulis novel beserta beberapa ajudannya.

Kemudian datang lagi beberapa pemeran penting dan pemeran orang tua dalam kehidupan
di cerita ini.

Oke, ini dia.

Cantika meraih jaket dan langsung mengenakannya. Secara asal ia merombak kuncirannya
yang memang sejak awal sudah tak berbentuk dengan rapih.
Cantika berjalan bersana dengan kak Dicky menuju ruang meeting di bawah. Dan mereka
semua sudah duduk di kursi masing-masing yang sudah di beri nama. Menyisakan dua
buah kursi kosong untuk Cantika dan kak Dicky.

Di kursi tengah, duduk sang Produser. Sementara kak Dicky duduk di kursi tengah sisi
yang satunya. Cantika duduk di samping kak Dicky pada penghujung kursi dan di sebelah
kanannya terdapat Eza, Rafa, Kiara, Renata, co-produser, crew. Sementara di hadapan
Cantika, duduklah sang penulis novel sekaligus naskah cerita ini, di sampingnya ada dua
orang pemeran pembantu, orangtua, dan juga crew.

Rapat pun di mulai.

Sang Produser begitu senang mendapati Cantika yang ternyata seseorang yang tak asing
di dunia bela diri, dan merelakan datang lebih awal untuk latihan.

Rapat selesai sekitar jam tiga sore. Mereka akan segera menuju ke lokasi pertama.

Cantika mandi dan mendapatkan sedikit riasan natural di wajahnya. Kemudian saat ia
membalik, betapa kaget dirinya melihat peralatan-peralatan yang di gunakan untuk
membuat film. Dan betapa kagetnya juga ia kala melihat orang-orang yang bersemangat
walau hari sudah sore.

Adegan ini khusus Cantika, sedangkan yang lain, yang tidak ada dalam adegan tidak
berada di lokasi dan baru akan memulai besok untuk adegan-adegan pengisi. Beginilah
sistemnya, tidak membuang-buang waktu karena target hanya memerlukan lima belas
hari proses pembuatan film, dan itu merupakan yang paling maksimal.

Dan, ini dia.

Cantika pun mulai beraksi.

•••

Cantika bersyukur dalam hati karena tepat jam sembilan, shooting sudah selesai.

Cantika membaca-baca materi untuk pelajaran yang besok di ujikan sembari menunggu
Claudio datang menjemputnya.

Bukankah Claudio adalah kakak impian hampir seluruh gadis?

Tak lama, Claudio pun sampai. Dan di perjalanan Cantika terlelap saking lelahnya. Dan
mau tak mau Claudio mengangkat adiknya itu sampai kamar.

Paginya, Cantika ujian. Diantar ke lokasi shooting oleh Claudio, dan di jemput saat malam.
Begitu terus sampai ujian telah berakhir.
Cantika sedang duduk di salah satu kursi Starbucks dekat lokasi shootingnya kala Eza
menghampiri. Cantika tak sadar karena ia masih sibuk meminum americano dan juga
membaca naskahnya.

Sampai tiba-tiba saja Eza mengeluarkan suaranya, "Boleh duduk disini gak?" membuat
Cantika tersedak.

"Eh, boleh kok," kata Cantika berusaha terdengar tidak kikuk.

Eza menyeruput caramel macchiatonya dan memerhatikan Cantika dengan seksama.

"Harus gue akuin, acting lo tadi keren banget. Seolah-olah lo itu bener-bener lagi
ngalamin itu dalam dunia nyata. I mean, kayak kita ini nyata loh bukan acting doang,
gitu."

Cantika menutup naskahnya dan menatap Eza yang tengah tersenyum. Cantika tak
mengerti arti dari senyuman itu. Tetapi Cantika merasa pernah melihat senyuman itu.

Dari Gilang.

"Sejujurnya, iya," kata Cantika. "Hampir keseluruhan di cerita ini, gue pernah ngalamin.
Kecuali yang di kunci di gudang sih, belom sampe sejahat itu."

Kini giliran Eza yang tersedak.

"Elo?!" Eza terdengar tak percaya, tetapi Cantika mengangguk.

"Gue itu cuman cewek cupu yang suka sama superstar sekolah. Bla bla bla. Gue di bully
sana sini," jelas Cantika.

"Tapi lo kan bisa berantem!" tukas Eza, geregetan dengan cerita yang disampaikan oleh
Cantika.

"Nggak segampang itu. Pokoknya situasi gak memungkinkan deh. Lagi pula, cowok yang
gue taksir juga udah punya pacar."

Eza mendengus kecewa. "Kalo gue jadi itu cowok, gabakal gue sia-siain cinta tulus dari
lo."

Cantika yang sedang minum memincingkan matanya. "Eh apa tadi?"

"Engga-engga-engga," jawab Eza.

"Kalo lo tau gue dulu kayak gimana juga lo gabakalan ngomong gitu," gumam Cantika.

"Apa? Gue tau kok lo dulu kayak gimana."

Perkataan Eza sukses membuat Cantika tak dapat berkata-kata. Bagaimana bisa Eza tau
sementara mereka bahkan baru bertemu saat casting beberapa waktu lalu.

"Kenalin, gue Eza. Saudara kembar non identiknya Gilang."


•••

Hari ini classmeeting. Tetapi Cantika tetap masuk sekolah karena masih ada beberapa
keperluan yang Cantika urus di sekolah bersama Claudio.

"Lo yakin gak, Dek? Gue sih iya, soalnya gue udah nanda tanganin program sinetron jadi
gue gabisa kalo soal beginian."

Cantika mengangguk mantap. "Yakin banget."

"Jadi, lo bener-bener suka sama Vano?" Claudio mengulang pertanyaannya selagi mereka
berjalan di koridor setelah keluar dari ruang Tata Usaha. Sama sekali tak memerdulikan
perhatian dari banyaknya pasang mata yang memerhatikan.

Cantika bagaikan sudah di latih kepercayaan dirinya. Dan kini ia tak lagi perduli kalaupun
orang-orang akan segera mengetahui siapa dirinya.

"Iya, tepatnya gitu sih. Kalo-kalo Vano cerita ke lo, dan lo inget tiap gue beli kue-kue
begitu, ya itu buat Vano."

"Gila." Hanya itu yang dapat keluar dari mulut Claudio.

"Malu-maluin banget kan?" tanya Cantika, sebenarnya ia sama sekali tak mau
menceritakan ini kepada Claudio. Tapi mau bagaimana lagi, ia merasa perlu.

"Nggak lah, lo itu cewek paling tulus kalo udah sayang. Rasanya gue pengen nonjok si
Vano."

Cantika tertawa mendengar pernyataan frontal dari Claudio.

"Well, well, well."

Tiba-tiba sebuah suara cempreng menggelegar di telinga bukan hanya keduanya. Dan
tiga sosok berambut merah berdiri di hadapannya.

"Setiap ujian berangkat sekolah bareng, dan sekarang, berani-beraninya jalan berduaan
di koridor?"

Jelas, itu Terre.

"Minggir," kata Claudio, terdengar begitu keras dan menarik Cantika untuk melanjutkan
berjalan dan tak memerdulikan sosok nenek sihir itu.

"Eit, tunggu dulu."

Cantika hampir saja terjungkal ke belakang kalau saja tangannya tidak di pegang oleh
Claudio.

Terre baru saja menarik seluruh rambut Cantika yang di kuncir keras sekali ke belakang.

"Terre!"
Claudio mulai geram dengan tingkah laku semena-mena cewek ini.

"Apa Claudio sayang? Dulu jadiannya sama Catalia yah. Sekarang sama cewek ini yang
Catalia usahain buat lindungin. Aduh, TMT banget sih Cantika."

"Terre lo gausah banyak bacot ya."

Tiba-tiba muncul sosok Catalia dari tengah-tengah kerumunan.

Di belakangnya ada Dira yang sedang bersama Vano, Gilang, Adit, Putra, Zanufa dan
Audi.

Audi menahan gerak Catalia agar tak tersulut emosi. "Tenang, Cat."

"Ini cewek tuh orang gila, Di. Lo liat aja kelakuannya. Dari dulu sampe sekarang gak
pernah berubah."

"Di yang mana maksud lo? Audi, atau Dio si pacar baru dari cewek buruk rupa ini?" tanya
Terre dengan seringaian liciknya.

Serius, hampir seluruh warga sekolah menonton. Tanpa guru tentu saja. Karena guru
tengah di sibukkan dengan penilaian di ruangannya masing-masing.

Cantika tak masalah dengan ini. Hanya saja, Cantika tidak kuat berlama-lama melihat
Vano yang bersebelahan dengan Dira.

"Gue gak ngerti apa masalah lo dari dulu. Tapi setau dan seinget gue. Lo pas masuk SMA
sukanya sama Vano kan? Terus kenapa masalahin Dio lagi sih?"

Pertanyaan frontal yang di ajukan Catalia jelas membuat Vano yang namanya di sangkut-
sangkut menaikkan alisnya.

Ia memerhatikan Dira yang sepertinya tak nampak shock, rupanya dia sudah tau.

Tetapi pandangan mata Vano melihat sosok Cantika yang entah kenapa seperti sedang
menahan tangisnya sembari menggenggam tangan Claudio kuat-kuat di belakangnya.

Vano ingin sekali berdiri di samping cewek itu dan memastikan dia akan baik-baik saja
dan tak lagi menyakiti dirinya, tetapi dirinya sadar kalau sudah ada Dira di hidupnya
sekarang ini.

Belakangan, perasaan Vano menjadi gundah. Yang dirinya sendiri tak mengerti kenapa.

"Lo nanya soal itu sementara lo jelas-jelas udah tau jawabannya? Lo fikir setelah sekian
lama gue nahan perasaan dendam sama lo, dan Dio tiba-tiba aja jadi murid baru di
sekolah ini, gue bisa ngelupain semuanya? Enggak! Malah makin menjadi-jadi!" tukas
Terre.

Sepertinya yang mengerti disini hanya Claudio, Cantika, Catalia, Audi, Dira dan Terre.
"Terre. Gue emang gak ngerti apa permasalahan diantara kalian. Tapi, emangnya salah
Cantika apaan? Lo malah seolah ngelakuin ini gara-gara dia." Vano mengeluarkan suara,
membuat seluruh perhatian tertoleh kepadanya.

"Lo juga, lo nanya kenapa? Lo semua, geng kalian semua termasuk cewek udik ini, kalian
itu salah! Kalian bener-bener bikin perkumpulan buat mojokkin gue? Oke. Gue bikin si
CANTIK yang bakalan jadi korban!"

Perkataan Terre benar-benar seperti orang gila yang kehabisan obatnya.

"Gabakalan gue biarin lo apa-apain Cantika. Dan kalo lo pikir Cantika itu pacar gue, lo
salah besar. Cantika Adriana, dia adalah adek gue dan gue gak bakalan ngebiarin siapa
aja nyentuh dia, termasuk lo."

Semua mematung. Terlebih Terre dan kawanannya, Dira, Audi, Putra dan juga Adit.

Dan seluruh warga sekolah sudah mendapat jawaban dari pertanyaan di benak mereka
masing-masing.

Hari ini, Claudio mengumumkan ke semua orang.

Cantika Adriana adalah adik dari Claudio Adrian.

Hembusan • 14

[EDITED]

14. Pindah.

Cantika dan Claudio baru saja pulang dari sesi pemotretan keluarga.

Setelah itu, Adrian langsung menuju kantor untuk mengurus pekerjaan, Juliana pergi ke
butik, dan Claudio mengantar Cantika ke lokasi shooting.

"Besok berarti ngambil raport gausah nyuruh-nyuruh pembantu lagi dong ya?" ledek
Claudio.

Cantika menghantam pundak Claudio yang sedang menyetir.

"Eh ampun, Mas." Claudio meledek lagi, namun kali ini mereka tertawa.

Claudio rindu sosok Cantika yang lepas seperti ini. Dan sekarang, Claudio sudah
mendapatkan adiknya kembali.

Cantika tidak marah saat Claudio mengaku ke semua orang kalau dirinya adalah kakak
dari Cantika. Cantika malah senang, kakaknya rela menanggung malu demi dirinya. Cantika
bangga dengan Claudio walau dia harus menyepelekan permintaan Cantika dan
membeberkan rahasia yang sudah Cantika jaga sedemikian rupa. Itu artinya, kalau
Claudio mengaku sebagai kakak dari Cantika, maka orang-orang pun mengetahui siapa
orang tua Cantika.

Waktu itu setelah mengatakan hal tersebut, di tengah-tengah orang yang tercegang,
Claudio langsung menarik tangan Cantika untuk menjauh dan mengantarnya ke lokasi
shooting.

Hari ini adalah hari terakhir shooting, yang ternyata hanya menghabiskan waktu dua
belas hari. Dan besok adalah pembagian raport di sekolah Cantika serta Claudio. Dan
Cantika harus siap-siap untuk hari itu.

"Ambilin hape gue deh, Dek. Upload di instagram yang foto kita berdua tadi," titah
Claudio. Cantika meraih ponsel Claudio dan membukanya. Melihat-lihat foto yang
sekiranya cocok untuk di upload dari sekian banyak foto mereka berdua.

"Yang mana?"

"Yang lo nya nyengir sambil megang tangan gue aja. Captionnya tulis 'adikku sudah
besar' gitu."

Cantika sempat menolak awalnya. Tapi toh orang lain juga sudah pada tau dan cepat atau
lambat semua akan berakhir. Jadi, tidak apa-apa.

"Nanti pulangnya anterin gue ke suatu tempat, ya, Bang?" tanya Cantika saat selesai
mengupload foto dan meletakkan kembali ponsel Claudio.

"Siap, Tuan Puteri."

•••

Shooting berlangsung dengan khidmad di beberapa adegan terakhir. Walau Cantika dan
Eza harus beberapa kali mengulang adegan, pada saat Cantika memeluk Eza.

"Bayangin aja gue orang yang lo suka itu, kayak yang lo lakuin biasanya. Oke?" bisik Eza
tepat di telinga Cantika. Cantika hampir saja menangis, namun ia mengangguk.

Eza dan Gilang. Perbedaan nama yang sempurna, membuat orang tak mengenali siapa
mereka berdua saat bersama. Kini Cantika sadar, Eza Damian Putra dan Gilang Demian
Putra adalah saudara kembar. Matanya, hidungnya, bibir dan senyumannya benar-benar
sama. Hanya saja entah mengapa bentuk wajah mereka berbeda, sama-sama tampan
namun dengan jalan masing-masing.

"Action!"

Cantika meneteskan air matanya dan lansung berlari untuk memeluk Eza sebagai Delon.
Di cerita ini mereka sudah tak bertemu lama sekali karena Della yang di suruh oleh
Ibunya untuk kuliah di luar kota, dan ternyata Delon menghampirinya.
Cantika menangis tersedu-sedu sembari memeluk Eza. Ia membayangkan tengah
memeluk Vano dan ini adalah pertemuan akhir mereka. Cantika memeluk Eza se erat-
eratnya.

Agak kaget waktu diteriakki CUT! Kemudian tersadar dan mendengar tepuk tangan yang
begitu meriah dari semua orang di lokasi.

"Gila, ini film selesai juga shootingnya!"

"Besok party lah pulang anak-anak pada bagi raport."

"Siapp, sie konsumsi lah urus."

"Oke. Besok jam 7 malem di aula pelatihan ya!"

"Sip lah. Paginya editor pada mulai kerja deh. Oke-oke. Thanks for today, guys. You're
amazing!"

Cantika tak dapat menahan senyumnya saat di perjalanan. Dan kala bertemu pandang
dengan Eza, entah kenapa ia malah menjadi kikuk.

Cantika selesai menghapus make-up dan mengganti pakaiannya di dalam stand saat Eza
masuk ke dalam dengan ciki di tangannya.

"Besok bagi rapot ya?" tanya Eza, duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan
cermin di samping Cantika.

Cantika mengangguk mengiyakan. Mengeluarkan ponsel dari tasnya dan meminta jemput
Claudio.

"Mau?" Eza menyodorkan ciki kepada Cantika, yang jelas tak dapat di tolak olehnya
karena itu adalah ciki kesukaan Cantika.

"Gue besok ke sekolah ah, pura-pura nganterin Gilang aja."

Cantika menautkan alisnya, kemudian memasukkan ciki kedalam mulutnya.

"Lo gak bilang sama Gilang kan kalo misalkan kita satu film bareng?" tanya Cantika,
mengambil lagi ciki.

Eza mengangkat kedua bahunya. "Ngapain juga bilang, orang dianya aja gak nanya. Lagi
pula nanti pas lagi premiere juga dia tau."

Cantika mengangguk dan bersyukur dalam hati.

"Lagian kalo gue bilang ke dia, yang ada dia minta kesini mulu. Gak gak. Terakhir kali gue
berebutan gebetan sama dia itu ya waktu SMP. Temen les gue, satu sekolah sama Gilang.
Yaudahlah gitu ceritanya."

Cantika menahan tawanya. Tak bisa membayangkan kalau saudara kembar yang tidak
identik itu merebutkan satu perempuan yang sama.
"Emangnya cewek itu siapa namanya?" Cantika penasaran juga. Kira-kira siapa sih cewek
beruntung yang di perebutkan oleh kedua cowok ganteng ini?

"Dira namanya. Andira. Dia satu sekolah lagi sekarang sama Gilang."

•••

Cantika terbangun dari tidurnya karena mendapati guncangan yang hebat di tubuhnya.

Tadi malam, seingat Cantika dia tertidur di mobil dan dia terbangun sudah di kasur.
Kejadian kedua kalinya semenjak saat itu. Pasti Claudio yang membawanya kemari saat
tidur.

"Semalem katanya minta anterin ke suatu tempat! Ditanya kemana eh malah ngorok!
Cantika!"

Cantika tersentak seolah baru mengingat apa yang membuatnya bangun dari tidurnya.

Claudio duduk di sampingnya dengan wajah cemberut.

"C'mon, big baby. Kita ke suatu tempat abis itu ngambil raport."

Entah itu hanya perasaan Cantika, atau Claudio memang mengatakannya kelewat riang
dan berbeda sekali dengan ekspresi wajahnya beberapa waktu lalu.

Cantika selesai mandi dan tak lupa menggunakan serum untuk mencegah jerawat yang
timbul akibat make-up beberapa waktu lalu saat ia shooting.

Memilih flatshoes berwarna putih, rok hitam enam puluh lima senti dan kaus putih
bertuliskan lol u r not luke hemmings, Cantika pun siap untuk pergi ke suatu tempat dan
mengambil raport ke sekolah.

"Mama sama Papa jalan duluan aja, ngantri nomer dulu buat bagiin raport. Nanti aku
sama abang nyusul," kata Cantika kepada Juliana dan Adrian.

"Yaudah, jangan lama-lama ya. Mama ngambil raport kamu, Papa ngambil raport abang."

Cantika dan Claudio mengangguk dan menyalimi kedua orang tuanya sebelum mereka
berangkat.

"Jadi, kita mau kemana?" tanya Claudio saat mereka sampai di dalam mobil.

"Anterin gue beli rainbow cheese cake sama anterin gue ke gramedia abis itu."

Claudio mengantar adiknya ke tempat yang di minta. Melajukan mobilnya dalam


kecepatan sedang. Ia tak mau menghancurkan mood dan rencana adiknya. Ia juga tak
mau bertanya karena ia tau jelas untuk apa adiknya mau membeli kue itu, walaupun
Claudio tidak tahu menahu soal ke gramedia.

Setelah membeli kue, Cantika masuk ke dalam gramedia dan meminta Claudio menunggu
diluar saja. Cantika mencari-cari novel yang diincarnya, kemudian menemukan novel yang
masih bersampul ilustrasi. Berani jamin bulan depan novel itu sudah tak lagi bersampul
ilustrasi. Cantika mengambil novel itu dan langsung membayarnya. Tak lupa dia juga
meminta agar novel itu di bungkus kado dengan membayar lebih.

Cantika menghampiri Claudio dan mengajaknya untuk segera berangkat ke sekolah. Dan,
ini dia.

Mereka berjalan di sepanjang koridor sekolah, dan tak sedikit yang memerhatikan
mereka dengan tatapan memuja. Bagaimana tidak, Cantika dan Claudio begitu bersinar
apalagi dengan balutan baju bebas tanpa embel-embel seragam sekolah. Dan mereka
sadar sekarang betapa cantiknya Cantika tanpa jerawat yang menutupi. Tak jarang orang
tua murid yang merasa pernah melihat Claudio di televisi menyapanya.

Claudio dan Cantika berpencar kemudian, memasuki kelas mereka masing-masing.

Cantika menghampiri Juliana yang sedang menunggu giliran untuk mengambil raport. Dan
murid sekelasnya yang melihat kejadian itu membelalakkan mata tak percaya.

"Sumpah demi Allah, semester kemaren yang ngambil raport dia itu kampung abis kayak
pembantu."

"Itu emang pembantunya kali."

"Iyalah, kalo dia adeknya Claudio pasti emak bapaknya artis. Itu kan yang model sama
pemain film terkenal itu, Mamanya Claudio."

"Bapaknya Claudio itu sutradara tau."

"Itu lah. Jadi beneran nih dia adeknya Claudio?"

Cantika mendengar itu semua. Dengan jelas. Ia pun tak dapat menahan senyumannya.
Apalagi saat Zanufa datang menghampiri dengan Papanya.

"Tante!" pekik Zanufa, menyalimi Juliana.

"Om," kata Cantika tersenyum dan turut menyalimi Clevano.

"Juliana," sapa Papa Zanufa yang ternyata kenal dengan Mama Cantika.

"Clevano!" Juliana tak dapat menyembunyikan semburat bahagia di wajahnya. Reuni


teman lama pun di mulai.

Clevano duduk di samping Juliana, sementara Zanufa dan Cantika duduk di belakangnya.
"Adrian mana?"

"Ngambilin rapot anak gue yang satu lagi nih kakaknya Cantika," jawab Juliana.

Clevano, Juliana dan Adrian adalah teman semasa SMA. Juliana sudah menjadi pacar
Adrian sejak saat itu, dan Clevano adalah teman baik Adrian. Mereka meraih cita-cita
masing-masing. Juliana menjadi model dan berlanjut menjadi actress terkenal, Adrian
menjadi sutradara dan Clevano menjadi pengusaha walau sesekali mengisi hobinya dengan
bermain piano.

"Dunia itu sempit banget ya," gumam Zanufa, berharap hanya di dengar oleh Cantika.
Cantika mengangguk setuju.

"Jadi Zanufa udah kenal keluarganya Cantika? Gila. Dia juga nutupin rahasia."

Cantika dan Zanufa tak dapat menyembunyikan semburat bahagia di wajah mereka.
Tetapi tiba-tiba saja ekspresi Zanufa berubah, membuat Cantika bertanya-tanya.

"Kenapa, Zan?" tanya Cantika.

Zanufa berbalik dan menatap sahabatnya lekat-lekat. "Lo beneran mau pindah?"

Cantika mengangguk lesu. "I have to, Zan. Mama gue juga nyaranin buat homeschooling
aja dari pada gue gak masuk sekolah nantinya."

"Tapi kita tetep sahabat, kan?" tanya Zanufa seolah takut kehilangan sahabatnya ini.

"Yaiyalah!" tukas Cantika.

Zanufa memeluk sahabatnya. "I'm gonna miss you like I miss my brother."

•••

Keputusannya sudah bulat. Claudio masih saja bertanya-tanya walaupun sudah jelas juga
Juliana mendukungnya.

Cantika mendapat peringkat utama kali ini. Hal yang membuatnya sedikit shock di
semester terakhirnya di sekolah ini karena itu adalah yang pertama baginya. Setelah ini,
tak ada lagi peringkat ataupun teman sekelas. Apa lagi, kakak kelas.

Cantika menggenggam erat totebag berisikan kue dan novel di tanganngnya sembari
sekeluarga mereka berjalan melalui koridor. Orang-orang menatap dengan iri betapa
sempurnanya keluarga mereka yang sambil bercanda-canda.

"Bang, tungguin di mobil ya." Cantika berbisik kepada Claudio yang di balas anggukkan
olehnya.

"Mama sama Papa duluan ya. Nanti kalian langsung pulang aja, kalo mau jalan-jalan bilang
dulu." Juliana mengingatkan sebelum mereka berpencar.

Cantika menuju kantin setelah di beritahu Claudio bahwa Revano berada di kantin.
Cantika juga tak tau mengapa Claudio bisa paham kalau dirinya mencari Vano dan akan
memberikan ini. Cantika hampir lupa kalau kakaknya itu lumayan cerdas. Kemudian dari
jauh, ia melihat Vano yang sedang berbincang dengan Dira, tak lama cewek itu pun pergi.

Cantika baru saja hendak menghampiri Vano kala sadar Vano juga melangkah ke arahnya.
"Hai, Cantika," sapa Vano sambil tersenyum yang membuat jantung Cantika berdegup
kencang sekali.

"Ehm, hai kak," balas Cantika pada akhirnya.

Vano melihat totebag di genggaman Cantika. "Di belakang aja yuk. Gaenak disini rame."

Cantika tersenyum kikuk dan mengangguk. Mereka menuju belakang sekolah yang kosong
melompong.

"Ehm, Kak. Maaf ya kalo selama ini Cantika gangguin kakak terus," kata Cantika, tanpa
embel-embel aku seperti biasanya dia bicara dengan Vano.

Vano merasakan perasaan yang tidak enak di benaknya. Entah kenapa.

"Kalo boleh jujur, selama ini sebenernya lo gak pernah ganggu gue kok. Gue seneng
banget malah." Perkataan itu keluar begitu saja dari tenggorokan Vano. Ia juga tak
mengerti kenapa bisa berkata seperti itu, tetapi itulah kata hatinya sejak dulu.

Cantika menundukkan kepalanya malu.

"Tapi Cantika merasa aneh banget, Kak. Serius rasanya sakit hati banget sama orang-
orang yang ngatain kakak waktu ngambil makanan aku. Gatau kenapa tapi aku malah gak
perduliin yang ngatain aku. Tapi aku sadar kok, aku ngaca, emang seharusnya aku gak
pernah suka sama kakak. Aku salah suka sama kakak. Aku gak pantes. Seharusnya aku
ngaca dari awal aku tuh siapa." Cantika mengucap begitu saja seolah menghapal naskah,
tapi ia tidak. Tanpa sadar air matanya menetes.

"Si buruk rupa yang suka sama the most wanted boy di sekolah, ya gak bakalan bisa lah.
Aturan aku udah sadar itu dari dulu."

"Suka sama orang itu gak pernah salah. Seburuk apapun orang itu, sejelek apapun orang
itu." Vano maju selangkah, membuat Cantika mundur selangkah.

Cantika menengadah dan menghadap ke arah Vano. Vano menggerakkan jarinya dan
menghapus air mata Cantika.

"Jangan nangis," kata Vano, yang malah membuat Cantika semakin ingin menangis kejer
rasanya. Antara masih tidak percaya dengan perlakuan Vano barusan.

Cantika menghembuskan nafasnya. "Aku sadar kak, ternyata selama ini bukan cuman suka
sama kakak, bukan cuman kagum sama kakak. Aku sayang sama kakak, aku seneng banget
bisa di deket kakak, apalagi ngobrol sama kakak. Kayak waktu pertama kali kakak bilang
makasih, kakak nyamperin ke kelas, aku ngobatin kakak di UKS, dan aku bener-bener
seneng banget waktu tau kakak yang gotong aku ke UKS. Kakak itu, cinta pertama aku.
Aku gatau apa aku bisa kayak gini sama cowok lain selain kakak. Berani ngungkapin kayak
gini dan nunjukin perasaan aku dari awal. Tapi, aku cuman pengen kakak tau."
Vano tak dapat berkata apa-apa lagi. Hatinya terasa bagaikan di iris. Gadis cantik di
hadapannya ini baru saja mengungkapkan perasaannya kepada Vano dengan segala
kepedihannya. Betapa pedihnya menyukai Vano.

Tiba-tiba Vano merasa ada perasaan yang aneh menjalar di sekujur tubuhnya. Yang ia
tak tau apa itu. Perasaan apa ini?

"Makasih banyak udah ngajarin aku apa arti cinta yang tulus dan apa arti perjuangan kak.
Aku jadi ngerti. Dan.... maaf ya kalo kakak risih selama ini, apalagi sekarang ini."

Cantika memberikan totebag itu kepada Vano, Vano menerimanya dengan tatapan kosong.
Pikirannya masih melayang kemana-mana. Cantika menghapus air matanya dan berbalik
badan. Hendak menjauh tapi kemudian ia berhenti kala sadar Vano masih mematung.

"Bukanya di rumah aja ya kak. Ehm, aku gak bakalan gangguin kakak lagi kok. Ohiya,
longlast ya sama kak Dira. Semoga bahagia kak."

Cantika berjalan menjauh, meninggalkan Vano yang mematung dengan segala tingkah laku
dan kata-kata Cantika. Seperti mereka tidak akan pernah bertemu lagi.

Vano baru sadar dengan betapa munafiknya perkataan Cantika barusan.

Dan betapa munafik dirinya sendiri.

Hembusan • 15

Bukan bagian Cantika secara keseluruhan. Harap di perhatikan ya;-) Karena isinya
cerita terus wkwk.

[EDITED]

15. Kebenaran.

Cantika menghapus air matanya dan berjalan sembari terus menunduk. Tetapi ia
meyakinkan langkahnya untuk terus menuju ke parkiran.

Bayangan akan wajah Vano masih terngiang di kepalanya. Suaranya. Sentuhannya. Semua
tak akan pernah Cantika lupakan. Hanya Vano yang bisa membuat detak jantungnya tak
karuan. Hanya Vano yang bisa membuat dirinya tersenyum walau hanya melihatnya dari
kejauhan. Hanya Vano.

Tapi kini Cantika sadar, tak mungkin Vano membalas perasaannya.

Bugh!

Ia menabrak seseorang.
"Cantika?"

Ia mengenali suara itu. Dan saat mendongak, benar saja. Eza disana.

"Cantika gapapa?" tanya Eza terdengar khawatir, apalagi begitu Cantika mendongak
dengan mata sembabnya.

"Gapapa kok," kata Cantika, menyibak air matanya dengan kasar. "Eza ngapain di sini?"

"Kan kemaren gue bilang--"

"Eja!" pekik Gilang dari belakang. Berlari menghampiri mereka berdua. Dan Gilang
agaknya sedikit kaget melihat Eza tengah berbincang dengan Cantika. "Eh, ada Cantika."

Cantika tidak tau sihir apa yang di gunakan oleh Gilang, tetapi pernyataan selengeannya
itu membuat dirinya tersenyum tulus.

Gilang dan Eza sekarang berdiri di hadapan Cantika. Mereka berdua sama-sama tampan,
dan sama-sama membuat nyaman, tetapi mereka mempunyai jalan sendiri untuk itu. Eza
dengan perilaku menenangkannya dan Gilang dengan kata-katanya yang membuat nyaman
dan tak mau pergi.

"Hai, Kak," sapa Cantika dengan senyumannya. Ia jadi teringat kala Terre dan teman-
temannya mengguyurnya di belakang sekolah.

Eza mengangkat alisnya kala melihat Cantika tersenyum kepada Gilang dan juga Gilang
dengan senyum semerbaknya.

"Oh, not this again," keluh Eza, membuat Gilang menoleh ke arahnya dengan tatapan
kesal.

"IS SHE WHAT YOU MEAN!?" pekik Gilang di depan wajah Eza. Eza mengangguk lesu.
"Please tell me you're joking me right now."

"I'm in serious, you bastard." Eza menenggelamkan wajahnya dengan kedua tangannya.

"I'm older than you and I believe that I met her first," kata Gilang. Cantika hanya
memerhatikan, walaupun agaknya ia mengerti sedikit. Pasti ini soal Andira dulu, dan
dirinya sekarang.

"Just two minutes," sergah Eza. "And you said that when you met Andira."

Cantika menghela napasnya dan menberanikan diri untuk maju menengahi mereka berdua.
"Apa sering kayak gini?"

Gilang yang tadinya menggebu-gebu berubah menjadi lesu hampir sama dengan Eza.

"Maaf ya, Tik. Jadi bawa lo ke masalah kayak gini." Eza menghembuskan napas dengan
kasar dan memeluk Cantika, membuat dirinya dan juga Gilang shock. "Lo juga pasti gak
suka sama gue, jadi, bukannya gue nyerah, tapi gue gak mau berantem sama saudara
kembar gue sendiri lagi cuman gara-gara cewek."
Cantika tertegun mendengar kata-kata Eza. Ia akhirnya memberanikan diri mengelus
pundak Eza, membalas pelukkannya.

Setelah selesai memeluk Eza, Cantika melihat Gilang yang tengah menatapnya dengan
tatapan kosong. Baru pertama kali Cantika melihat Gilang seperti itu.

Cantika membuka tangannya lebar kearah Gilang, membuat cowok itu tersadar dari
lamunannya. Ia melihat Cantika dengan senyuman termanisnya.

"Mau di peluk?"

•••

Secara teknis, Andira menyaksikan seluruh adegan di hadapannya. Dengan Catalia dan
juga Audi.

"How lucky," kata Audi, setelah mereka selesai dan menuju ke arah mobil untuk
menuntaskan janji mereka yaitu berjalan-jalan ke Mall.

"Percaya gak percaya, dulu gue yang jadi rebutan mereka berdua. Dan gue bahkan gak
pernah di peluk sama mereka." Andira menatap ke arah jendela, ia duduk di belakang
karena Audi menyetir dan Catalia duduk di kursi penumpang.

"Waktu SMP, gue juga satu sekolah sama Gilang, Adit, dan Vano. Gue kenal Eza di
tempat gue les. Tapi gue sekarang gak ngerti dari mana si Cantika kenal sama Eza," kata
Dira, seolah mengulang beberapa bagian yang belum jelas kepada kedua sahabatnya itu.
"Dari dulu gue deket sama Vano, tapi gak kaya sekarang."

"Mau sampe kapan lo begini terus, Dir?" tanya Audi, walaupun masih terfokus dengan
jalanan di hadapannya.

"Lo tau jelas kalo Gilang ataupun Eza udah gak ada rasa apa-apa lagi sama lo. Jadi, stop
main-mainnya," kata Catalia membuat Dira terhenyuk. "Lo gak bisa kayak gini terus."

"Nggak sebelum gue dapetin Eza balik." Dira kukuh pada pendiriannya.

"Dan gue juga gak bakalan diem aja dengan aksi lo itu."

Dira menoleh ke depan dan menatap Catalia beserta Audi secara bergantian. "Kalian itu
sahabat gue apa bukan sih sebenernya?"

"Kita sahabat lo kok," jawab Audi. "Tapi-"

"Kita gak mau sahabatan sama orang yang kelakuannya sebelas dua belas sama Terre."

•••

Vano hendak menuju ke arah motornya yang di parkiran, ia bahkan meminta orang tuanya
pulang duluan tadi saat ia mau berbicara dengan Cantika.
Mereka sempat bertanya-tanya apakah Cantika pacar Vano. Itu tandanya jelas sekali
kalau Vano bahkan belum pernah bercerita kepada orang tuanya tentang statusnya
dengan Dira.

Vano menghentikan langkahnya. Melihat Cantika yang menunduk dan menabrak saudara
kembar Gilang, Eza. Dan Vano menyaksikan semuanya, juga ia melihat ada tiga orang
cewek di pojok parkiran yang turut memerhatikan. Itu Catalia, Audi, dan Dira.

Menuju ke arah motornya setelah memastikan mereka semua telah pergi, Vano
mengikatkan tali totebag di atas motornya. Ia akan membukanya kala sampai di rumah,
seperti yang di pinta oleh Cantika. Mengenakan helm dan ia pun melajukan motornya.

Selesai parkir, ia yakin kalau orang tua nya pasti sudah pergi lagi untuk bekerja,
sekalipun ini adalah hari Sabtu. Mereka hanya libur di hari Minggu.

Ia membuka pintu rumahnya dan berjalan menuju kamarnya di atas sembari membawa
totebag pemberian Cantika.

Setelah membuka sepatu, ia naik ke kasur dan membuka totebagnya. Disana ada rainbow
cheese cake kesukaan Vano, dan juga sebuah kado. Vano membuka kotak kuenya dan
sadar kalau diatasnya ada sebuah tulisan: Bacanya sambil makan ini ya kak.

"Baca apaan?" gumam Vano. Kemudian ia membuka kertas kadonya dan mendapati sebuah
novel disana. Pelastik novel itu sudah tidak ada, artinya novel itu sudah pernah di buka.
Vano membaliknya dan menemukan sebuah tulisan di halaman pertama: Dari Cantika. Di
baca dan di simpen ya kak. Omong-omong banyak kesamaan cerita jadi aku mau kakak
baca aja sebelum sampulnya nanti berganti.

Jujur, Vano tidak begitu mengerti apa maksudnya, tetapi ia mulai membaca-walau
sebenarnya membaca novel bukanlah sesuatu yang begitu di senanginya.

Vano terhanyut ke dalam cerita dan pembawaan sang novelis. Entah kenapa karakternya
terkunci oleh Delon dan ia tak dapat luput sekalipun dari narasi Della.

Sudah tiga jam Vano membaca dan hampir menuju bab terakhir.

Aku memutuskan untuk menerima tawaran Ibuku-berkuliah di luar kota. Mungkin ini
merupakan jalan terbaik yang dapat ku tempuh, termasuk untuk melupakan Delon. Walau
aku tak pernah yakin apakah aku bisa untuk melupakannya.

Aku menulis surat yang ku rancang semalaman dan ku kirim ke rumah Delon.

Aku pergi, maafkan aku yang selalu menjadi sampah dalam hidupmu. Dan aku hanya
berharap kau bahagia bersama pilihanmu, aku tak akan lagi mengganggumu. Aku
mencintaimu, Delon.
Itulah akhir dari cerita ini. Vano menerawang. Pikirannya melayang kemana-mana. Entah
kenapa ia merasa takut untuk kehilangan Cantika. Ia yakin betul pasti ada maksud
tersendiri Cantika mengirim novel ini. Pasti maksudnya adalah kesamaan ceritanya.

Dan sekarang, Cantika pergi.

Vano tidak dapat mengerti dengan jelas bagaimana perasaannya. Tetapi ia merasakan
ada sesuatu yang aneh di dalam hatinya. Lagi-lagi, ia mengingatkan bahwa dirinya sudah
memiliki Dira, cewek yang berstatus sebagai pacarnya sekarang.

Dira menyukai Vano sejak SMP. Bahkan Dira tidak memerdulikan Gilang dan
kembarannya yang menyukainya karena ia begitu menyukai Vano. Tetapi kenapa saat
mereka pacaran sekarang justru terasa aneh baginya? Dira malah seolah memacarinya
untuk batu loncatan. Karena tiap kali berkumpul maka Dira akan memusatkan
perhatiannya kepada Gilang dan bertanya soal kembarannya. Hanya saja, Dira masih
mencoba bersikap agresif dengan menciumnya. Ia masih tak mengerti apa motif Dira
melakukan itu.

Tiba-tiba ponsel Vano berdering, menandai ada notifikasi Line yang masuk. Dan betapa
terkejutnya ia kala mendapati notifikasinya itu adalah dari Terre.

Therresia Fiondin: Gue tau lo sama temen-temen lo ngira gue selama ini jahat. Dan gue
juga sadar itu karena cara gue yang salah. Tapi serius, emang gue punya jiwa bully dari
dulu. Haha gak penting

Therresia Fiondin: Tapi gue cuman gak mau kalo lo itu sama cewek yang gak bener. Gue
pengen ngungkapin sebuah kebenaran disini.

Therresia Fiondin: Nama gue Therresia Fiondin Darmangsa, gue sepupu Catalia Putri
Darmangsa. Terkejut?

Vano menaikkan alisnya. Bagaimana bisa? Tetapi ia melanjutkan membaca.

Therresia Fiondin: Waktu SMP, Catalia pacaran sama Claudio, gebetan gue. Disitu gue
berantem sama Catalia. Tapi gue tau kalo kita ini sodaraan jadi gabisa berantem cuman
gara-gara cowok terus menerus. Jadi, pas Catalia putus, gue sama Catalia mutusin buat
sama-sama gak suka sama satu orang yang sama lagi. Terdengar gak asing sama cerita
gue? Yaps, itu yang terjadi sama sahabat lo, Gilang dan krmbrnnya.

Therresia Fiondin: *kembarannya.

Vano makin tidak paham dengan semua ini. Kenapa semuanya begitu rumit!?

Therresia Fiondin: Gue tau lo nge read dan nungguin kelanjutannya. Oke, jadi gue lanjut.

Therresia Fiondin: Waktu kelas sepuluh, awalnya gue sama sekali gak ada niatan pura-
pura musuhan sama Catalia karena kita emang udah bener-bener baikkan. Terus gue
bilang kalo gue naksir sama lo, dan kata Catalia ada temennya juga yang naksir sama lo
dari SMP. You know who. Its Andira.

Therresia Fiondin: Dan karena sikap alami gue sebagai cewek tukang bully dan labrak,
gue langsung dong nyamperin Andira, nyuruh dia ngaca segala macem bla bla bla. Catalia
ada disitu. Terus malemnya gue sama Catalia main dirumah Catalia, dan lo tau apa yang di
bilang Catalia? Andira suka sama lo karena dia punya rencana tersendiri, and thats why
dia ngedeketin lo lagi pas SMA.

Therresia Fiondin: Pas itu, gue sama Catalia mutusin buat pura-pura musuhan. Dan kita
juga harus saling kasih informasi tentang cowok yang kita suka. Dan karena gue suka
sama lo, jadi dia ngasih informasi tentang rencana licik Andira, yang gue gak nyangka
kalo dia malahan kayaknya lebih jahat dari gue ya?

Therresia Fiondin: Beberapa waktu lalu, gue sama Catalia punya rencana. Gue disuruh
ngiket Catalia di pohon belakang sekolah, sumpah padahal gue cuman ngiket di pohon
doang, dia yang ngiket mulutnya sendiri-_- nah, disitu gue sama Catalia mau nungguin
Dira setelah anceman gue lewat Line, yang bilang dia harus jujur sama lo soal kenapa dia
pacaran sama lo atau Catalia gue tinggal ampe pulang sekolah, sekalian mau ngeliat nih
seberapa penting sih sahabat di kehidupan Dira lebih dari rencananya. Eh, si Dio dateng.
Gagal rencana-_____-

Therresia Fiondin: Makin jahat aja gue keliatannya. Eh tapi emang iya sih, sedikit.

Therresia Fiondin: Terus yang di koridor, gue tau kalo Cantika kenal sama Eza di lokasi
shooting. Gue fikir mereka udah jadian, tau kata temen gue si Renata kalo mereka deket
banget. Agak shock juga sih sebenernya pas tau Cantika main film dan dia gak bilang
siapa-siapa. Pasti lo gak tau juga kan?

Cantika main film? Dan kenapa Terre membawa nama Eza disini? Vano masih mencerna
semua ini, tetapi ia terus membaca.

Therresia Fiondin: Jadi gue mancing-mancing supaya Cantika teriak kalo dia itu bukan
pacarnya Dio tapi pacarnya Eza. Nah, karena ada Dira sama Gilang disana. Gue pengen
liat ekspresinya Dira, pengen tau siapa salah satu mereka yang Dira incer. Tapi, lagi-lagi
failed gara-gara Claudio si ganteng itu yang malah ngaku-ngaku jadi abanhnya Cantika.
Gue shock, tapi gue peecaya. Soalnya pas malem Catalia ngabarin gue kalo mereka emang
adek kakak.

Therresia Fiondin: Intinya gue cuman mau ngebersihin nama baik gue di hadapan lo,
orang yang gue suka... duh. Terus sama ngasih tau lo kenyataan kalo cewek lo itu licik,
lebih licik daripada acting gue sama Catalia selama ini.

Therresia Fiondin: Dia ngincer si kembar. Dan jadiin lo sebagai batu loncatan supaya bisa
deket lagi sama mereka. Semoga lo cepet sadar dan bisa ceper ngikutin kata hati lo
sebelum terlambat.
Itulah pesan terakhir yang dikirim oleh Terre. Perasaan aneh Vano selama ini terjawab
sudah. Vano mencengkram novel di tangannya dengan erat.

Satu nama yang ia pikirkan sekarang.

Cantika.

Terre seolah membantunya menemukan nama itu dari lubuk hatinya yang paling dalam.
Dan Terre juga menuntunnya menuju jalan yang ia yakinkan. Vano harus berterimakasih
kepada Terre dan juga Catalia.

Jadi, selama ini tokoh antagonis dalam kehidupannya adalah kekasihnya sendiri?

Hembusan • 16

[EDITED]

16. Bye Faker.

Therresia Fiondin: Maaf ya gue banyak typonya. Tapi lo ngerti kan?

Revano Prasetya: Iya. Kenapa lo ngirim ini semua ke gue?

Therresia Fiondin: Gue mau pindah ke Aussie, jadi gue pengen ngebersihin nama baik gue
di mata lo. Karena Catalia gamungkin sanggup nyeritain sendiri. Lo bisa nanya sama
Catalia soal yang lo kurang paham. Dan, lo harus cepet-cepet sadar sama perasaan lo
sendiri. Oke. Bye.

This person has blocked you.

•••

Liburan sudah menanti di depan mata, tetapi Cantika tidak bisa pergi kemana-mana
sesuka hatinya karena yang ada justru tawaran semakin membanjirinya.

Di sela waktu senggangnya, Cantika mempunyai janji untuk mentraktir Zanufa di sebuah
café yang memang menjadi incaran mereka sejak lama, bermodal hasil bayaran jerih
payahnya berakting di depan kamera, mereka pun makan-makan di café tersebut.

"Gue masih gak yakin," ujar Zanufa yang hanya di balas dengan Cantika yang memutar
bola matanya.

"Terserah sih lo mau yakin apa nggak, Zan," kata Cantika.

"Jadi, lo serius mau move on dari kak Vano?"

Cantika menggeleng, "Bukan itu maksudnya sih."


"Terus apa?" Zanufa meraih sumpit dan memakan pesanannya sementara Cantika
meneguk ice tea miliknya.

"Berusaha buat cari yang lain sih sebenernya," jawab Cantika, dan Zanufa menaikkan
alisnya.

"Oh, gitu sih," ledek Zanufa karena Cantika yang salah tingkah dan selalu menggunakan
kata sih.

"Apaan sih lo, Zan." Cantika terkekeh pelan dan melanjutkan menyuap makanannya.

Tak lama, ada dua cowok ganteng yang kini memasuki café, yang satu lebih tinggi sekitar
satu senti berwajah baby face menggunakan setelan flannel biru tua dan juga jins yang
hanya sobek di dengkul sebelah kirinya dan juga sepatu converse berwarna senada
dengan flannelnya. Sedangkan yang satu lebih maskulin wajahnya, menggunakan kemeja
lengan pendek berwarna putih, jins hitam pekat dan sepatu boots cokelatnya. Masing-
masing menggenggam ponsel yang sama, hanya berbeda warna. Kemudian kedua cowok itu
duduk tepat di belakang Cantika.

"Tik," panggil Zanufa, memerhatikan kedua cowok di belakang Cantika.

"Apaan sih?"

Zanufa menatapnya tajam, "Udah napa sih sihnya."

"Iyaiya," kata Cantika. "Kenapa?"

"Itu, di belakang lo, bukannya kak Gilang ya?"

Cantika menyerngitkan dahinya dan menoleh secara perlahan. Kemudian ia mendapati


Gilang dan Eza duduk tepat bersampingan. Senyum merekah tak dapat terelakkan dari
wajahnya.

Mereka berdua juga sepertinya menyadari ada yang memerhatikan dan menoleh tepat ke
arah Cantika.

"Cantika!" pekik mereka bersamaan, hampir terlalu keras untuk ukuran kursi dan meja
yang berdampingan. Tipikal saudara kembar. Mereka bangkit dan pindah di tempat duduk
Cantika dan Zanufa.

"Lo kenal yang satunya, Tik?" bisik Zanufa sambil menoleh kearah mereka, berharap tak
di dengar.

"Eza, kenalin ini Zanufa sahabat gue yang sering gue ceritain. Zanufa, ini Eza, saudara
kembarnya kak Gilang." Cantika memperkenalkan. Zanufa membentuk O pada mulutnya
kemudian mereka berjabat tangan.

"Sebenernya, kita mah gausah di kenalin ya Zan?" canda Eza, Zanufa dan Eza tertawa
sementara Cantika diam karena bingung.
"By the way nih ya, Gilang di panggil Kak, lah gue kok enggak?"

"Iya-iya, kak Eza."

•••

Agustus berlalu.

Cantika mengunci ponselnya setelah mendapatkan pesan dari Zanufa. Ia jelas tak dapat
menahan senyum bahagianya kala tau sahabatnya juga bahagia.

Zanufa jadi dekat dengan Eza setelah pertemuan makan beberapa bulan yang lalu. Dan,
Eza selalu bertukar pesan dengannya lewat aplikasi messanger. Zanufa terlihat bahagia
dan itu juga membuat Cantika senang karena tandanya tidak ada lagi saudara kembar
yang saling berebut.

Tetapi kebahagiaan yang di pancarkan Zanufa agaknya sedikit berbeda. Bukan seperti
mendapat gebetan baru. Tetapi, Cantika enggan membahas akan hal itu.

Hari ini Cantika dan Claudio baru saja menyelesaikan photoshoot untuk sebuah produk
kecantikan. Dia menjadi ambassador perempuan dan Claudio laki-lakinya. Sementara
shootingnya sudah selesai kemarin.

"Dek, pulang yuk," ajak Claudio yang sudah nampak lelah. Sejak kemarin kondisi Claudio
memang sedang kurang fit, jadi Cantika mengurungkan niatnya untuk mengajak Claudio
jalan-jalan. Karena ia benar-benar berharap agar Claudio lusa bisa datang ke gala
premiere filmnya.

"Ayok, Bang." Cantika mengambil tasnya yang juga berisi peralatan Claudio, dan
menggandeng tangan Claudio sampai ke parkiran.

Mobil melaju dengan kecepatan sedang, wajah Claudio nambah pucat dan membuat
Cantika panik tak karuan.

Akhirnya, mereka sampai di rumah dengan selamat.

"Gue panggilin dokter Richard ya, Bang," kata Cantika, mengikuti Claudio masuk ke dalam
kamarnya dan membantu merebahkan tubuhnya.

Kenyataan bahwa mereka hanya berdua di rumah sebenarnya lumayan melelahkan. Orang
tuanya sedang berada di Thailand untuk mengurus beberapa project series Cantika
serta Claudio, dan baru akan kembali tepat di hari saat premiere film Cantika yang
dimainkan dengan Eza.

Claudio menggeleng pelan dan menaikkan selimutnya, "Cuma butuh istirahat. Gak usah."

Cantika bersikeras. "Yaudah gue buatin sup sama susu anget ya."

Lagi, Claudio menggeleng. Dan Cantika mendengus dengan sebal.

"Lo lagi capek ah, gausah. Jangan, istirahat aja, ini udah malem," kata Claudio.
Kini giliran Cantika yang menggeleng. "Baru jam tujuh, Bang. Lo harus makan malem.
Gamau tau, oke."

Cantika melenggang pergi dari kamar Claudio dan masuk ke dalam kamarnya untuk
mengganti baju dan membersihkan wajahnya. Setelah itu, ia langsung keluar dan turun
menuju dapur.

Di dapur, ia menyalahkan kompor dan meletakkan panci berwarna merah yang satu set
dengan wajan. Ia menggoreng telur gulung diatas wajan dan menuangkan sup ke dalam
panci. Sambil menunggu, ia memanaskan susu putih untuk Claudio dan menuang batu es ke
dalam gelasnya sendiri.

Setelah selesai, ia yakin kalau Claudio tak mungkin turun ke bawah jadi ia meletakkan
mangkuk berisi sup milik Claudio, beserta piring berisikan telur gulung dan kentang
rebus untuk dirinya sendiri di atas nampan. Ia naik dan meletakkannya di meja kamar
Claudio, kemudian turun lagi untuk mengambil susu hangat dan susu dingin.

"Kak, makan dulu," kata Cantika, sedikit mengguncang tubuh Claudio agar bangun.

"Hm." Claudio mengerang dan saat bangun ia mendapati wewangian yang menusuk
hidungnya. "Lo masak?"

Cantika mengangguk bersemangat sembari tersenyum, walaupun masakkannya hanya


masakkan biasa tetapi ia cukup senang. "Ayo makan."

Mereka makan di kamar Claudio sembari menonton acara di televisi, tak jarang Claudio
yang walau lagi sakit, meledek Cantika kala iklan yang di perankan oleh Cantika mengisi
layar televisi.

"Mau dong kak permen semerbaknya," ledek Claudio, membuat Cantika mendengus sebal.

"Giliran ngatain orang aja langsung sehat."

Claudio terkekeh pelan, "Ini berkat susu anget ajaib lo."

"HEH KURANG AJAR!" pekik Cantika sembari melotot, menepukki punggung Claudio tak
perduli kalau abangnya itu sedang sakit sekalipun.

"MAKSUD GUE SUSU SAPI YANG LO HANGATKAN!!!!!!"

•••

Revano Prasetya, masih di kategorikan sebagai aktor muda pendatang baru karena belum
begitu sering muncul di televisi. Hanya: FTV, dua iklan dan lebih sering ke pemotretan
majalah karena tubuhnya yang bagus juga beberapa runaway.

Walaupun begitu, ini masih di katakan hanya sebai langkah awalnya, karena dirinya
hendak mempersiapkan ujian dan lulus sekolah, tetapi dirinya dan juga orang tuanya
telah membuat beberapa kontrak jauh di waktu yang akan mendatang dari sekarang.
Vano adalah cowok yang mempesona dengan aura yang kuat. Ia mampu membuat
sutradara memberinya standing applause di saat pertama terjun ke dunia akting. Dan
dengan itu pula ia jadi di tawari berbagai macam tawaran, seperti: TV Series yang
shootingnya baru akan di mulai saat ia dinyatakan benar-benar lulus, film layar lebar
bertaraf internasional sebagai dirinya menjadi pemeran utama pria di film tersebut
yang baru akan berjalan saat dia selesai menempuh ujiannya, beberapa pemotretan dan
runaway di tengah liburan semesternya dan lain-lain.

Terdengar sempurna, namun Vano masih memikirkan sebuah masalah di luar itu. Sudah
hampir tiga bulan kejadiannya, atau bahkan sudah lebih dari tiga bulan. Vano
menjalankan sebuah misi bersama Catalia yang bahkan menyangkut perasaannya sendiri.

Setelah pengakuan Terre lewat pesan Line, Vano bercerita kepada empat sahabatnya:
Gilang, Adit, Putra dan baru-baru ini adalah Eza. Tidak ada Claudio karena semenjak
kepindahan Claudio dan Cantika dari sekolah, mereka benar-benar seperti putus kontak
begitu saja. Dan akhirnya Vano dan juga Catalia membuat sebuah rencana, setidaknya
berhatap Andira akan mengakui kesalahannya dan meminta maaf. Ternyata hal itu tak
kunjung terjadi, bahkan hingga tiga bulan lamanya. Dira masih saja berpura-pura menjadi
kekasih yang baik bagi Vano, sementara Gilang terus saja memberi laporan kalau Dira
semakin menjadi-jadi.

Rupanya Eza lah yang menjadi incaran Dira selama ini, itulah yang di katakan Gilang
karena belakangan ini Dira mulai berani menanyakan tentang kontak personal Eza.
Beralasan ingin menjalin silaturahmi, tetapi Gilang tau ada yang salah dari caranya
begitu tau semua informasi dari Vano dan juga Catalia.

Gilang dan Eza sempat meminta maaf soal itu, tetapi Vano berkata tidak apa-apa karena
sejujurnya sejak awal perasaannya dengan Dira terlalu terombang-ambing. Dan sebabnya
menembak Dira dan menjadikannya pacar juga tidak begitu jelas.

Adit mengatakan ini merupakan santet, tetapi Putra berkeyakinan lain kalau Dira
menggunakan susuk.

Karena bagaimanapun juga setelah di telaah dan perhatikan baik-baik, Dira tidak terlalu
cantik. Lalu bagaimana dulu Gilang dan juga Eza sampai berebutan dan bertengkar, juga
bagaimana sekarang bisa-bisanya Vano menjadikannya pacar setelah saat SMP bahkan
menolaknya mentah-mentah?

Gilang dan Eza langsung setuju akan pendapat gila kedua sahabatnya itu. Sedangkan
Vano tetap mengangguk walaupun menyatakan jelas-jelas kalau pernyataan tersebut
merupakan pernyataan seseorang yang berasal dari pedalaman desa. Kemudian Adit
memutuskan kalau Dira adalah orang desa karena menurutnya Dira seperti anak
pembantu di rumahnya.

Semilir angin malam berhembus menerpa poni Vano yang sudah lumayan panjang. Setelah
menghela napas dan meyakinkan diri sendiri, Vano akhirnya memutuskan untuk masuk ke
sebuah restoran tempat dimana dirinya dan juga ke enam temannya mengadakan janji di
sana. Gilang, Eza, Adit, Putra, Catalia dan Audi.

Vano masuk dan mendapati teman-temannya tengah melambai ke arahnya dari lantai
atas. Vano hendak balas melambai kala ponsel di sakunya bergetar.

Andira: Kamu di mana?

Vano melihat sekeliling dan tidak mendapati Dira di manapun, sampai ponselnya lagi-lagi
bergetar.

Andira: Aku di parkiran

Vano menghela nafas panjang. Ia menandakan tanda kepada teman-temannya untuk


menyamar dan tutup mulut, kemudian ia naik ke atas dan duduk di tempat yang sudah di
siapkan oleh teman-temannya, dua bangku di samping mereka; sementara mereka semua
menghadap ke lantai bawah saat Dira nanti naik. Itulah rencananya.

Revano: Di lantai atas, meja no. 41

Andira: Oke. Tunggu yaaah

Vano meletakkan ponselnya di atas meja. Dalam hati, ia merasa bersalah, entah karena
apa. Mungkin karena dia sebenarnya sama sekali tidak bermaksud mempermainkan Dira,
tetapi seolah cewek itu sendiri yang memintanya melakoni ini semua.

"Vano."

Dan tepat saat itu Vano menyadari kalau teman-temannya sudah menghadap ke lantai
bawah.

Dira duduk di hadapannya dan mereka mulai memesan makanan. Setelah selesai, suasana
menjadi canggung seperti beberapa bulan belakangan. Bahkan Vano tidak lagi mengucap
aku-kamu dengan Dira.

"Kamu kenapa?" tanya Dira, menyadari ekspresi murung Vano.

"Lo bener-bener gak mau jujur tentang sesuatu sama gue?" Vano balik bertanya,
agaknya terlihat shock mendengar kata-kata Vano yang sedingin es.

Teman-temannya pun ikut bergidik mendengarnya.

"Kamu kenapa sih selalu nanyain hal itu terus-terusan?" emosi Dira tersulut, dan itu
malah membuat Vano justru makin lebih kesal daripada sebelumnya. Kenapa bisa-bisanya
ini cewek berlaku seolah dia tidak melakukan secuil kesalahan apapun? Itu benar-benar
membuat Vano muak.

"Dengerin gue, dan jangan sedikitpun lo berani motong pembicaraan gue. Cuma ada dua
kata yang boleh lo jawab: Ya, atau Nggak." Vano menatap Dira tajam, walau di lampu
remang sekalipun, tatapan itu benar-benar bagaikan mampu membunuh orang.
Dira menghela napasnya dengan gelagat takut, tetapi pada akhirnya ia mengangguk.

"Lo beneran sayang sama gue apa nggak?"

"Iya," jawab Dira.

Vano mendengus dan bergumam bullshit saat kepalanya tertoleh ke arah lain.

"Lo punya rahasia dari gue apa nggak?"

Dira terlihat ragu, tetapi ia menggeleng dan berkata, "Nggak."

Vano benar-benar muak. Tapi ia menahannya karena ada pelayan yang mengantarkan
makanan mereka. Vano menunggu pelayan itu selesai sebelum melanjutkan
pertanyaannya.

"Lo punya maksud tersendiri pacaran sama gue?"

Deg.

Jantung Dira bagaikan di tusuk oleh ribuan jarum dalam satu hentakkan. Ia mendongak
dan memberanikan diri melihat tatapan Vano yang mematikan.

"Vano, aku--"

"Gua bilang cuman Ya atau Nggak!" tukas Vano, bahkan bahasanya berubah menjadi
kasar. Ia tidak terima sebagai lelaki di permainkan oleh seorang cewek yang bahkan
tidak menyadari apa itu arti cinta sesungguhnya. Bisa-bisanya dia mempermainkan Vano.

Dira tersentak mendengar suara marah Vano. Ke enam teman Vano bahkan langsung
dapat merasakan emosi di seluruh kulit tubuh mereka dan itu semua berasal dari Vano.
Mereka juga pasti akan kesal kalau tau di permainkan seperti itu dan saat sudah semakin
jelas sekalipun, si tersangka tak kunjung mengaku. Bagaimana bisa orang-orang tahan
dengan itu?

Teman-teman Vano pernah melihat Vano semarah ini sebelumnya. Karena ada yang
mengatakan dirinya anak haram saat di SMP, dan saat Cantika memberikan kotak
makanan yang membuatnya mendapat cemoohan. Ia bahkan membanting kotak makan
Cantika, tetapi berbeda saat itu karena Vano merasa bersalah setelahnya. Saat SMP
adalah yang benar-benar, dan sskarang ini.

"Lo bahkan dari tadi nggak jawab pertanyaan gue dengan jujur," kata Vano.

Air mata di kelopak mata Dira akhirnya menetes, "Vano, aku gak tau kenapa kamu--"

"Gue gak butuh air mata buaya lo," ujar Vano.

Vano mendongak ke atas berharap emosinya meredam. "Anjing lah, kalo aja lo bukan
cewek."
Itu jelas di tunjukkan untuk Dira, tetapi Vano tidak mau bersikap kasar kepada cewek
sehingga ia mendongak ke atas seolah-olah dia tidak berbicara dengan Dira.

"Gue tau apa rencana lo dari awal. Eza kan? Apa Gilang?" Vano tertawa meledek. Dia
benar-benar tak habis pikir kalau dia menjadi sebuah pion mainan. "Terus kenapa malah
pacaran sama gue, tolol."

Dira menggelengkan kepalanya cepat-cepat, "Ini bukan Vano. Vano gak mungkin ngomong
sekasar ini sama aku atau cewek manapun."

"Terus gue siapa? Kembarannya Vano? Kayak Gilang sama Eza gitu ya?"

"Vano, cukup!"

"Lo yang cukup. Udah cukup gue jadi pion lo selama ini. Gila. Gue gak nyangka. Terre yang
gue kira sejahat itu bahkan lebih mulia dari lo. Asal lo tau, rencana busuk lo udah gagal
dari lama."

Dira sebenarnya panik, namun rasa takut lebih menyelimuti dirinya. Ia takut dengan
Vano yang sudah siap untuk meledak kapan saja.

"Makasih gara-gara lo gue jadi tau cinta yang sebenernya. Apa mau lo gue ajarin juga?
Tapi kayaknya gak perlu. Lebih baik dari dulu lo gak usah ada dan mainin perasaan gue,
ngebuat kepercayaan gue soal rasa gue ke Cantika rusuh karena berusaha meyakinkan
diri sendiri kalo lo itu pacar gue, supaya gue bisa yakin sama perasaan sayang gue yang
sebenernya ke Cantika. Supaya gue gak harus nyesel udah kehilangan dia kayak
sekarang, dan ini semua gara-gara lo!"

"Vano, aku sayang kamu! Eza sama Gilang cuman taktik Terre aja supaya--"

Vano keburu bangkit dari posisinya. Ia melangkah maju dan berhenti di samping Dira.

"Bye, faker."

Dan Vano pun melangkah pergi, meninggalkan Dira dengan sejuta penyesalan dan teman-
temannya yang terguncang akibat pernyataan Vano barusan.

Vano baru saja mengatakan perasaannya yang sebenarnya.

Hembusan • 17

[EDITED]

17. Premir Pertama Cantika.

Cantika mendapatkan firasat tidak enak sejak kemarin, apalagi tiba-tiba Gilang yang
menemukan kontak pribadinya dan mengiriminya pesan terus menerus.
Zanufa meyakinkan Cantika dan bersumpah kalau dirinya sama sekali tidak memberikan
kontaknya kepada siapapun termasuk Eza apalagi Gilang.

Menghela napas dengan panjang, Cantika menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. Pikiran
Cantika berubah seketika, gimana kabar Kak Vano?

Semenjak pindah sekolah, kakaknya bahkan memutuskan untuk lost contact dengan
seluruh temannya. Bilang kepadanya hanya karena terlalu sibuk, tapi sebenarnya Cantika
yakin kalau Claudio menghindari sesuatu. Sesuatu yang akan terjadi dengan Cantika
kalau-kalau ia memilih melanjutkan kontak dengan sahabat-sahabatnya itu. Sesuatu yang
bisa saja menyakiti hati Cantika.

Dalam hatinya bertanya-tanya, akankah Vano nanti datang saat premierenya?

Saat di sibukkan dengan pikirannya sendiri, pintu kamarnya di ketuk. Kemudian langsung
saja terbuka, menampilkan tiga temannya. Kiara, Fifi, dan juga Renata.

Ya, Renata akhirnya menjadi teman Cantika karena sebenarnya Renata punya sisi baik
dan menyenangkan. Cantika tidak begitu menghujatnya karena dulu seperti apa Renata.
Yang terpenting, sekarang mereka berteman.

Mereka bertiga masuk ke kamar Cantika dengan baju seragam yang sama, yang akan di
gunakan untuk premiere.

"Ayok Cantiknya kita, di pake baju samaannya," goda Kiara, dan Fifi memberikan baju
sepasang kepada Cantika yang di balas senyuman manis olehnya.

Fifi merupakan salah satu peran pembantu yang turut membantu jalannya cerita.

Renata mengeluarkan sebuah kardus sepatu dari tasnya. "Sepatu juga harus samaan ya."

Kiara, Renata, Cantika, Fifi

Selesai merombak penampilan Cantika, mereka memutuskan untuk langsung berangkat


karena akan ada beberapa briefing untuk premiere nanti.

•••

Vano mengutak-atik ponselnya dengan gerakkan gelisah. Badannya pun tak dapat
berhenti mundar-mandir di garasi rumahnya.

Gilang masuk setengah berlari ke arahnya dengan nafas pengap. "Gue nyariin lo kemana-
mana, anjing."

"Gimana nih, Lang? Cantika masih gak bales juga padahal gue udah pura-pura jadi lo,"
ucap Vano dengan nada hampir gemetar.

Ya, Gilang yang merencanakan itu untuk Vano. Gilang bersyukur karena sahabatnya ini
pada akhirnya sadar dengan perasaannya sendiri. Dan tentu saja, dengan sedikit bantuan
dari Claudio yang diam-diam berhubungan dengan sahabatnya ini semenjak cerita soal
Dira kemarin.

Gilang tidak masalah soal Cantika, bukannya menyerah atau apa, tapi dirinya tau kalau
Cantika itu sangat menyukai Vano dan Vano juga ternyata menyukai Cantika, jadi Gilang
tidak mau egois dengan memaksakan kehendakanya. Dan menulai langkah untuk mencari
yang lain, serta membantu sahabatnya ini.

"Lo ngechat nya kayak gimana emang? Yang bener bege lu." Gilang menarik kaus yang di
kenakan oleh Vano untuk geluar dari garasi. "Mobil gue di depan, ayok buruan."

Selagi di tarik oleh Gilang, Vano meraih jaket kulitnya di atas motor dan masuk ke dalan
mobil Gilang. Vano tidak mau membawa mobil sendiri kalau pikirannya sedang kacau balau
seperti ini. Bisa-bisa semua kendaraan jadi rata dengan tanah.

Dan betapa kagetnya Vano kala masuk ke dalam mobil Gilang yang cenderung besar, dan
menoleh ke belakang. Di jejeran kursi kedua ada Catalia, Audi dan Zanufa. Sementara di
paling belakang ada Adit, Putra dan Eza.

"Astagfirullah," gumam Vano, menggelengkan kepalanya saambil mata memejam.


Berharap ini hanya mimpi.

"Hai, Van."

"Hai, Kak."

Vano menghela napasnya panjang. Tidak mengerti dengan jalan pikiran teman-temannya
ini. Tetapi ia cukup berterimakasih kepada mereka atas dukungan yang selalu mereka
berikan untuk Vano.

"Bang, Episetrum Kuningan ye mau ada premir artis bang," kata Adit dari bangku paling
belakang.

"Epicentrum, katrok." Putra menoyor kepala Adit.

"Iya entu dah. GPL ye bang." Adit langsung menyilang kakinya dan mengangkat ponselnya
tinggi-tinggi.

"Berasa mesen grabcar, anjing," pekik Putra tak dapat menahan tawa membayangkan
foto Gilang terpasang sebagai driver.

"Kampret," desis Gilang, sesegera mungkin menginjak pedal gas mobilnya.

Di perjalanan, kursi belakang tak henti-hentinya berseda gurau. Seperti Putra yang
bertanya kepada Audi dan Catalia tentang yang satu ini.

"Lo pernah ngasih minum si Dira pake daon saga gak? Itu kan daon bisa ngilangin susuk
kalo di minum, pait banget asli," kata Putra.
Audi tak dapat menahan tawanya. "Orang dulu banget dah lo, buat sariawan itu juga bisa
kan."

"Bukan bele, Putra pernah di cekokin sama Adit jadi susuknya ilang. Ketauan deh anak
kang cukurnya," ujar Eza dibalas gelak tawa, tetapi mendapat jotosan dari Putra.

"Buka rahasia aja si anjing."

"Putra ih kok ngomong kasar sih. Kamu bukan Putra yang aku kenal!" pekik Adit dengan
suara falsetonya.

"DIRA WANNABE."

Mendengar nama itu di sebut-sebut, Vano langsung menutup telinganya dengan earphone
dan menyetel lagu yang belakangan ini baru di dengarnya, Pillow Talk.

Andai kisah cinta Vano seindah bayangan artis-artis Hollywood.

Tapi Vano tak ingin terlalu jauh menatap langit sementara ia masih berada di dunia
bawah. Tahapan pertama yang ia butuhkan adalah mencapai bumi terlebih dahulu. Dan
menemukan cinta yang dapat mengangkatnya ke angkasa.

Vano membuka aplikasi Line dan mengirim sesuatu disana.

Gilang Demian: Tik, gue mau jujur soal sesuatu.

Menghela napas dan mencoba menenangkan diri, Vano menunggu balasan dari Cantika.

Cantika Adriana: Jujur soal apa kak?

Gilang Demian: Gue sebenernya bukan Gilang.

Cantika Adriana: Maksudnya gimana?

Cantika Adriana: Oooohh

Cantika Adriana: Eza?

Cantika Adriana: Eh, maap.

Cantika Adriana: Kak Eza?

Gilang Demian: Bukan...

Cantika Adriana: Terus siapa?

Gilang Demian: Pokoknya nanti gue dateng ke premiere lo kok.

Cantika Adriana: Oke, di tunggu ya. Panggil aja.

Gilang Demian: Semoga gue seberani itu.

Vano menelusupkan ponselnya ke dalan saku. Sore ini cukup macet, apa lagi rumah Vano
yang berada di daerah Kalibata hendak menuju Kuningan, akan memakan waktu yang
sangat lama. Buktinya sekarang, mereka masih berada di lampu merah Taman Makam
Pahlawan.

"Bangunin gue kalo udah sampe."

•••

Cantika meletakkan ponsel dan dompetnya ke dalam tas agar tak hilang kemana-mana
dan kembali menatap pantulan dirinya lewat cermin. Belakangan, Cantika sudah tak
begitu trauma lagi melihat pantulan wajahnya sendiri di depan cermin.

Tetapi tiba-tiba saja pikiran Cantika melayang kemana-mana. Apa maksud Gilang kalau
dia itu bukanlah Gilang? Dan kalau iya, apakah Gilang yang asli akan benar-benar kesini
dan menjelaskan tentang si Gilang palsu?

Terlalu larut dengan pikirannya sendiri membuat Cantika tak sadar kalau sedari tadi
teman-temannya meneriakki namanya.

"Udah mau mulai, Queen. Kingnya dimana?" ledek Renata saat Cantika sadar.

Pipi Cantika hampir bersemu, bukan karena Eza. Tetapi mengingat awal-awal perkenalan
mereka yang membuat Cantika menjadi main cast dalam film ini dan Eza membantunya
untuk berakting, membayangkan dirinya adalah Vano.

"Gatau, Eza gaada kabar," kata Cantika. Padahal dirinya memang tidak pernah lagi
bertukar kabar sedikitpun.

"Hei! Maaf gue telat," kata Eza tiba-tiba muncul dengan peluh di seluruh wajahnya.

Fellix yang melihat itu langsung menjerit tak karuan. "Aduuhhh, si ganteng
gimanasiiihhh!?"

Cantika tak dapat menahan senyuman pada lekuk bibirnya. Eza melihatnya dan
mengedipkan sebelah mata kepada Cantika. Pikirnya Eza sudah benar-benar dengan
Zanufa....

"Hai sayang," sapa Eza membuat Cantika agak tersentak. Ketiga temannya langsung
membuat suara gemuruh uuuuuw.

"Aduh! Udah deh ganteng! Sayang-sayangannya nanti aja. Sekarang ke ruang ganti,
ademin badan dua menit abis itu langsung ganti ini!" Fellix menyodorkan kaus bertuliskan
My Heart berwarna emas yang sama dengan milik Cantika dan pemain lainnya.

Cantika dan kawan-kawannya memakai baju samaan hanya untuk jalan di red carpet dan
memberikan kesan pelajar yang seumuran mereka. Bukan dengan gaun dan perhiasan
yang biasanya di lakukan di atas red carpet. Selain permintaan produser untuk kesan
unik, mereka juga sudah merencanakannya.

Eza tersenyum menahan tawa dan menarik kaus pemberian Fellix. Ia masuk ke ruang
ganti dan tubuhnya yang menjulang tinggi berdiri tak jauh dari AC tepat diatas
kepalanya sehingga menyejukkan dirinya. Ia membuka kemeja yang sebelumnya ia
kenakan dan menggantinya dengan kaus itu.

"Gue harus ngungkapin duluan. Gue gak perduli apa jawabannya. Gue gak mau nyesel
kayak Vano. Gue cuman mau ngungkapin, gak perduli kalo dia nolak. Cuman ngungkapin.
Oke, Eza. Relax."

Kemudian Eza keluar dari ruang gantinya untuk di poles sebentar dan menghilangkan
keringat dari wajahnya.

Setelah itu, mereka bersama-sama keluar. Eza dan Cantika sebagai pemeran utama
berjalan terlebih dahulu bersama sang produser, sutradara, dan penulis novel serta
naskah untuk menuju tempat di atas panggung. Pada kesempatan ini, Eza meraih tangan
Cantika dan menggenggamnya erat. Cantika sempat bingung, tetapi ia membiarkan saja
karena menurutnya agar feel tersampaikan kepada para penonton dan tamu.

Seluruh pertanyaan umun telah tersampaikan. Kini giliran tanya jawab yang di ajukan
untuk para pemeran utama.

"Eza, denger-denger kamu sempet baper ya sama salah satu pemain? Kalo bener, siapa
sih, Za, cewek beruntung itu?" tanya Catherine si pembawa acara dengan nada meledek
namun menyenangkan.

Eza tak dapat menahan senyumnya, serta merta ia meraih microphone miliknya.

"Sebenernya ada," kata Eza. Penonton langsung riuh dan spesialnya untuk penonton
cewek penggemar Eza. "Aku juga pengen sekalian ngomong sih, ngungkapin perasaan aku."

Catherine berubah menjadi semakin semangat. "Waaah, siapa sih cewek itu, Za?"

"Cantika," jawab Eza tanpa ragu.

Cantika membelalakkan matanya dan menoleh ke arah Eza yang tersenyum manis ke
arahnya.

"Cuman mau ngungkapin aja sih kalo aku suka sama Cantika. Dari pada nyesel, ya kan?
Tapi aku tetep gak mau maksain sih," lanjut Eza. Seolah membuat para penonton tenang.

"Wah wah. Gimana nih pendapat Cantika soal hal tersebut?" tanya Catherine.

Cantika mencoba tersenyum dan meraih microphonenya. "Makasih, aduh aku gak tau
harus ngomong apa."

Penonton tak tahan dengan tingkah laku menggemaskan Cantika, ada beberapa yang
geregetan dengan terang-terangan.

"Cantika polos banget nih. Cantika belom pernah pacaran loh. Cowok ganteng yang
ngantri mana suaranyaaa!?" Catherine memancing dan menjulurkan microphone ke arah
penonton.
Riuh pikuk suara bass terdengar, membuat Cantika tak tahan untuk sekedar tersenyum.

"Ohiya, Cantika. Katanya nih ya, cerita ini mirip banget sama kejadian nyata di hidup
kamu, kenapa bisa gitu sih? Dan lagi, apa gara-gata itu, kamu jadi bisa menjalani peran
inj dengan lancar dan mendepak saingan-saingan kamu?"

Cantika menarik napasnya. Menoleh ke arah Claudio yang duduk di kursi paling depan
bersama kedua orang tuanya. Ia mengangguk, kemudian melihat kedua orang tuanya
tersenyum seolah memberi dukungan kepada Cantika untuk menjawabnya.

"Kalo soal peran sih itu emang harus bisa ya kalo mau mendalami banget. Udah gitu kan
di tuntut profesional juga supaya nggak ngaco kerjanya dan nyangkut-nyangkutin
masalah pribadi," jawab Cantika. "Tapi kalo soal feel sih, emang iya. Aku harus
ngebayangin cowok itu dulu supaya aku bisa semangat dan bener dalam aktingnya."

"Keren banget Cantika," kata Catherine. "Kan cerita ini cerita sedih tuh. Di novel juga
akhirannya sedih, tapi di film di adaptasi seolah ada lanjutannya. Nah, kalo misalkan
cowok itu ada disini atau nanti nonton, apa yang mau kamu sampein?"

Cantika lagi-lagi mencoba tersenyum walau berat. "Aku sih gak yakin dia nonton apalagi
dateng kesini, semacem gak mungkin gitu ya. Tapi gapapa deh, pokoknya aku mau bilang
makasih sama dia. Karena dia, aku jadi tau apa artinya menunggu dan berjuang. Karena
dia juga yang bikin aku ngerasain kayak gini buat pertama kalinya. Makasih buat itu,
semoga bahagia. Kayak janji aku, aku gabakalan ngusik-ngusik dia lagi. Dan, kayaknya aku
harus nyoba saran sahabat aku buat move on deh."

Di pojok ruangan sana, Vano melihatnya. Vano mendengar semuanya. Dari awal, sampai
akhir.

Hatinya bagaikan teriris, apalagi saat mendengar pernyataan terakhir dari Cantika.

Apa ini yang selama ini Cantika rasakan? Apa sesakit ini?

Alasan • 18

[EDITED]

BUKU DUA

• ALASAN •

18. Thailand.

Cantika menghapus air matanya dengan punggung tangannya.

Di sela-sela isakkannya, Eza datang menghampiri dan duduk di sampingnya. Ia merengkuh


tubuh Cantika yang walaupun tinggi untuk ukuran cewek, tapi masih lebih kecil darinya,
mendekapnya ke dalam pelukan dan mengusap punggung Cantika. Berusaha
menenangkannya.

Alih-alih tenang dan hangat, tangis Cantika malah semakin menjadi-jadi.

"Sstt, Cantika," bisik Eza tepat di telinga Cantika, membuat Cantika sesegukkan dan
melepaskan pelukannya. Menatap Eza lekat-lekat. Kaget ternyata yang di peluknya atau
lebih tepatnya memeluknya adalah Eza.

"Kirain bang Dio, pantes baunya beda," kata Cantika agaknya sedikit malu dan membuat
Eza terkekeh pelan.

Eza meraih tisu dari sebuah kotak yang tak jauh di atas meja dan memberikan tisu itu
kepada Cantika untuk menghapus air matanya. "Tapi badan gue enak kan buat di peluk?"

Cantika mendengus sebal mendengar ledekkan dari Eza. "Enak apanya. Peluk Zanufa
sana."

"Kok Zanufa?" tanya Eza bingung, memerhatikan Cantika. "Orang gue maunya sama lo."

Cantika menepuk pundak Eza. "Jahat banget sih jadi orang!"

Tidak habis pikir, bisa-bisanya cowok ini mempermainkan sahabatnya? Kurang ajar!
Cantika tidak akan pernah terima kalau ada yang main-main dengan sahabatnya itu
apalagi menyakiti hatinya. Cantika tidak mau Zanufa merasakan pahit seperti yang
dirasakannya, apalagi dengan cara di permainkan.

Cinta dan perasaan bukan untuk main-main.

Eza menangkisnya dengan kedua tangan. "Apasih, Tik? Jahat kenapaaaa?"

"Tadi tuh ada Zanufa pasti dia ngeliat!!!!" hardik Cantika. Ingin sekali rasanya mencabik-
cabik wajah tampan Eza dan mengubahnya menjadi sebelas dua belas dengan Dede.

Bukannya menyesal atau mikir atau apa, Eza malah tak kuasa menahan gelak tawanya,
bahkan ia hampir terbahak-bahak.

"Ya Allah, Cantika..." Eza tidak mampu menyelesaikan kata-katanya sendiri saking
ngakaknya.

"Apasihhh!?" gerutu Cantika, makin jengkel dengan sikap dan perilaku Eza yang
menganggap dirinya main-main, barangkali.

"Astagfirullah." Eza menghapus air matanya yang berlinang akibat tertawa. Lebay. Ia
ingin sekali menciumnya saking gemasnya, tapi sadar kalau hal itu adalah ke tidak
mungkinan yang tidak akan pernah terjadi.

"Zanufa tuh gak suka sama gueee. Dia cuman mau ngetest lo doang kali, setia apa nggak
sama sahabat. Lo kayak Dira apa engga," kata Eza, berusaha menahan tawanya.
"Bercanda deng. Nggak kok, nggak. Gue sama Zanufa itu sodaraan, beleeee. Cuman udah
lama gak ketemu. Kita waktu kecil sering maen bareng."

Cantika berteriak karena sebal. Kenapa sih hidupnya harus muter-muter seperti ini?
Cantika jadi pusing sendiri.

"Aaaah, gatau aahhhh!" pekik Cantika kesal.

Eza tertawa dan gemas dengan Cantika, jadi dia mencubiti pipi Cantika. Lagi-lagi Cantika
menyerangnya dan menepuki Eza saking kesalnya di permainkan. Kenapa malah jadi dia
yang di permainkan sekarang?

"Lagi pula emang pernah gue bilang suka sama Zanufa, terus Zanufa bilang suka sama
gue? Enggak kan? Orang Zanufa sukanya sama....." Eza memasang smirk nya kala sadar
Cantika sedang penasaran. Kemudian ia memilih tertawa di banding melanjutkan. Dan itu
membuat Cantika semakin merasa di permainkan oleh Eza.

"Ohiya!" pekik Eza, teringat akan sesuatu. "Tadi kan Vano kesini."

Cantika mau mati saja.

•••

Semilir angin malam menerobos masuk ke pintu balkon yang sedikit terbuka. Menambah
dingin ruangan yang sudah ber-AC ini. Cantika bangkit untuk merapatkan pintu, namun
matanya terpaku sesaat untuk menelaah derasnya hujan di luar kamarnya.

Memikirkan hujan, ia memejamkan matanya, membiarkan helai rambutnya terombang-


ambing oleh angin malam. Hujan membuatnya tenang, walaupun ia yakin sebagian besar
masyarakat kurang nyaman dengannya karena menghambat kinerja. Cantika juga
berpikiran seperti itu, tetapi tetap saja ada sisi dari hujan yang mampu di sukai olehnya.

Cantika sedang membereskan pakaiannya dan menyusunnya ke dalam koper kala tiba-tiba
saja Claudio masuk ke kamar dan duduk di sampingnya.

"Dek," panggil Claudio.

"Hm." Cantika masih asik menata pakaiannya. Hanya beberapa pakaian dalam, kaus ganti,
dress dan celana panjang serta beberapa celana santai. Toh, disana pasti akan membeli
juga, ketimbang repot membawa banyak-banyak.

Cantika sedang memasukkan peralatan seperti catokkan, sandal rumah, dan obat-obatnya
kala Claudio menyalahkan lagu dari ponselnya.

> Wolves by One Direction [Made In The A.M]

Cantika ikut bernyanyi kala salah satu member favoritnya menyanyikan bagian reff,
Harry.

"Suara lo bagus juga kan," ujar Claudio.


Dan kini Cantika yakin seratus persen kalau Claudio sedang memancing-mancingnya.
Kakaknya jelas mempunyai sebuah rencana dengan alasan masuk ke kamarnya dan
menyetel lagu.

Cantika menghela napasnya dan menutup koper. "Intinya abang kesini mau ngapain?"

Claudio nyengir kuda. "Pengertian banget adekku. Nanti di Thailand kita di minta buat
nyanyiin soundtrack drama juga."

"What?! Astagfirullah, Bang. Nyanyi orang Thailand itu sumbang abis. Cukup gue belajar
bahasa sana suara gue jadi aneh bukan main."

Claudio hanya mengangkat bahunya. "Protes sama Mama sama Papa yang udah tanda
tangan kontrak disana."

Ya, Cantika lupa cerita kalau Mamanya itu adalah orang Thailand. Kakek dan Nenek
Cantika adalah orang sana. Juliana memulai karir di Indonesia sejak kecil saat orang
tuanya mempunyai bisnis disini. Jelas Juliana bersekolah disini juga sejak kecil. Jadi,
begitulah cerita singkatnya. Bertemu dengan sutradara papan atas, jatuh cinta, masuk
ke agama yang sama, kemudian menikah dan mempunyai anak.

"Ya, ya, okelah." Cantika akhirnya menyerah. Membuat Claudio girangnya bukan main dan
langsung memeluk adik kesayangannya itu.

"Enough, Bang. Enough," peringat Cantika kepada Claudio.

Claudio mundur dan terkekeh pelan. Ia mengacak-acak rambut di puncak kepala Cantika.
"Yaudah sana tidur. Besok pagi kita harus udah ke bandara. Kita ke Thailand. Are you
ready?"

I'm not ready at all..

Cantika bermimpi buruk malam itu. Mimpi yang tak akan pernah ia ceritakan kepada
siapapun, sepertinya.

Cantika berada di depan kelas bersama Zanufa, memerhatikan anak-anak kelas sebelas
yang sedang bermain basket seperti biasa mereka lakukan. Cantika tentu saja
terfokuskan pada satu objek. Revano.

Tetapi ada yang berbeda kali ini. Dari kejauhan, Cantika melihat Seto dan teman-
temannya seperti sedang membicarakan sesuatu, dan mereka juga menunjuk-nunjuk ke
arah Vano. Cantika curiga, ingin memperingati Vano tetapi lidahnya terasa begitu kelu.

Sampai akhirnya ketakutannya menjadi nyata, Seto dan kawananya mulai melangkah maju
membawa batu besar dan bahkan ada yang membawa pisau lipat. Cantika hendak berlari,
ia ingin berteriak, tetapi tubuhnya menolak itu semua. Zanufa berada tepat di
sampingnya, tetapi sahabatnya itu diam saja, fokus menonton seolah tak menyadari apa-
apa soal Seto dan juga kawanannya.
Cantika sadar. Ada yang menghalangi pergerakkannya. Mulutnya tiba-tiba saja terasa
seperti di tutupi dengan lakban. Tangannya tidak bebas, berada di belakang tubuhnya
dan terikat. Kemudian terdengar suara seseorang. Cewek yang belakangan ini
menyandang status sebagai kekasih Vano.

"Where is the true love...."

Dan Cantika tersentak bangun.

Nafasnya tersenggal-senggal, dan ia tak memahami arti mimpinya itu. Cantika tersesat
dalam pikirannya sendiri.

•••

"Lu tau gak sih apa akibat dari perbuatan lu!?"

Di pagi buta, suasana rumah sudah ribut. Bukan rumah sebenarnya karena ini hanya
berada di lantai atas rumah yang berisi dua kamar super besar untuk Gilang dan Eza.

"I know!" pekik Eza kesal. "I'm not stupid."

Wajahnya masih kusut karena baru bangun tidur atau lebih tepatnya di bangunkan dari
tidur secara paksa. Eza merengek dan Gilang memandang saudara kembarnya itu dengan
kesal.

"No, just dumb," hardik Gilang.

Eza merasa kalau batas kesabarannya sudah habis. Ia mengacak rambutnya dengan kesal
dan balas menatap Gilang.

"Kenapa sih elah!? Gue kan cuman mau jujur soal perasaan gue yang sebenernya. Salah?
Hati orang mana bisa di paksa sih!" tukas Eza yang sepertinya malah semakin menyulut
amarah Gilang.

"Heh tolol, gue ngerti. Gue juga gak mau kali lo atau gue nyesel ke depannya. Tapi
seenggaknya liat situasi! Ngapain lo susah-susah bantuin Vano selama ini kalo lo nya
sendiri malah kayak begini?"

Gilang geram bukan main. Kalau saja Eza bukan kembarannya, sudah ia ajak ribut sampai
babak belur kalau perlu biar sadar.

"Lang, gue gak ada maksud apa-apa, sumpah. Cuman pengen ngomong aja. Soal timing, gue
ngerasa tepat banget. Soalnya gue gak tau harus ngomong kapan lagi sama dia."

Gilang mendelik, menatap kembarannya dan mencoba mencari kebohongan. Tetapi tidak
ditemukannya. "Maksud lo gak tau kapan lagi?"

Eza menghela napasnya lembut. Hatinya menenang kala saudara kembarnya juga sudah
mulai tenang. Kemudian ia mengambil ancang-ancang untuk berbicara. Walaupun Cantika
melarangnya untuk bilang ke siapa-siapa. Sepertinya Claudio juga menuruti, tetapi Eza
tidak tahan menyimpannya sendiri.

"Hari ini, Cantika sama keluarganya berangkat ke Thailand."

•••

Gilang menunggu di depan rumahnya dengan resah. Ia mundar-mandir dan menggigiti


kukunya sesekali. Menanti ponselnya berdering atau sekedar orang yang di tunggunya
datang.

Eza yang sejak tadi duduk memerhatikan sampai nampak bosan jadi ia menghampiri
Gilang dan berdiri di sampingnya.

"Lo yakin gamau ikut?" tanya Gilang, masih agak panik. Menatap Eza yang tampangnya
masih beler belum mandi.

Eza menggeleng, "Gue gak mau sedih ngeliat dia pergi. Lagian kemaren gue udah tell her
the truth and... ya, kasih sedikit pelukan."

"Menang banyak lo, nyet." Gilang menoyor Eza, tidak terima. Sementara Eza hanya
terkekeh.

Tak lama, yang di tunggu-tunggu akhirnya datang. Vano datang dengan motor
kesayangannya seperti biasa. Berhenti tanpa membuka helm.

"Penerbangan internasional, Garuda Indonesia, jam 11:35 take off. 10:30 mulai boarding
pass," ucap Eza seolah sudah menghapal kata-kata itu.

Vano mengangguk, seolah tak terjadi apa-apa antara dirinya dengan Eza.

Sejujurnya, Eza sudah mengirimi pesan tepat setelah premiere selesai, meminta maaf
dan menjelaskan segalanya. Walau Eza tidak menjelaskan soal keberangkatan Cantika
semalam, padahal itu bisa membuat Vano lebih siap daripada ini. Dan, Vano mengerti akan
hal itu, jadi ia memaafkan Eza. Sama khalayaknya dengan Gilang yang memaafkannya.

Vano menoleh ke arah jam tangan yang dikenakannya, jam 7:28, Vano berharap bisa
sampai di Bandara tidak lebih dari dua setengah jam, maka dari itu ia menggunakan
motor agar di jalan biasa tak terkena macet.

"Lo pada gapapa bolos?" tanya Eza sebelum Gilang naik ke motor belakang Vano.

"Gapapa udah, sekali doang."

Dan motor Vano langsung melesat menjauh.

Jalanan terbilang cukup padat kali ini. Bagaimana tidak, ini adalah jam-nya untuk orang
berangkat kerja dan juga sekolah. Kendaraan padat berlalu lalang dengan lamban.

Vano mengerang kesal dan membawa motornya melintasi jalur pintas. Gilang sempat
bertanya ini lewat mana, tetapi jawaban Vano tetap sama: tenang aja udah.
Mereka sampai di bandara tepat pukul 10:17, saat matahari sudah mulai naik. Vano
berusaha memarkirkan motornya sedekat mungkin, tetap tidak bisa. Tetap saja jaraknya
jauh. Seharusnya ia membawa mobil.

Saat sedang genting-gentingnya, Gilang memekik dengan kesal. "Jalanin aja motornya
sampe depan gate!"

Vano langsung membawa motornya secepat mungkin. Melintasi perjalanan dalam negeri
sampai akhirnya tepat di tempat yang di tuju. "Gatenya yang mana!?"

Gilang menggeleng, memberitahu kalau ia juga sama dengan Vano, tidak tau.

"Yaudah coba aja jalanin sekeliling gate Garuda," pangkas Gilang akhirnya.

Vano memarkirkan motornya di depan dengan asal, meletakkan helmnya di samping


dengan sembarang, sama dengan Vano. Mereka segera berlari menuju gate demi gate.
Tak perduli dengan pandangan orang-orang terhadap mereka.

"Eja kenapa gak ngasih tau sih," gerutu Vano sembari melihat layar, jadwal penerbangan
yang sekiranya sama dengan informasi dari Eza. Thailand, 11:35.

"Mungkin dia gak di kasih tau juga gatenya yang mana," jawab Gilang, mencari juga.
Bukan bermaksud membela, tetapi mengetahui kalau Eza mau memberi mereka informasi
saja sudah syukur.

"Seenggaknya nomer pesawatnya biar gampang!" pekik Vano. "Ada dua pesawat ke
Thailand take off di jam yang sama."

Gilang memerhatikan dengan seksama. Dan itu benar adanya. "Coba perhatiin lagi.
Maskapainya gak mungkin sama, soalnya gak bakal ada izin dan gak bakal bisa terbang
tanpa informasi dari bandara sana karena jelas maskapai yang sama itu punya jadwal
penerbangan even cuman beda lima menit."

Vano menuruti dan memerhatikan dengan seksama. Gilang benar. "Garuda Indonesia, tiga
gate dari sini. Ayo!"

Mereka berlari lagi. Berlari melewati satu gate sama dengan melewati sarang pesawat
beserta lapangan penerbangannya yang besarnya minta ampun. Kali ini, dalam waktu
singkat mereka harus segera berlari menuju tiga gate berikutnya. Bukan sesuatu yang
mudah. Mengingat waktu yang mereka miliki tinggal dua menit lagi.

"Dua menit lagi!" pekik Gilang, mencoba berlari secepat mungkin bersama Vano.

Terlambat.

Tepat enam puluh meter di depan mereka, Vano melihat seorang cewek dengan cowok
dan dua orang yang di kenalnya tengah memasuki gate dan menunjukkan tiket mereka.

Itu Cantika, Claudio, dan kedua orang tuanya.


Vano terlambat.

Inikah yang di namakan perjuangan untuk seseorang yang di cintai? Rela melakukan
apapun. Walau tau tak ada hasil.

•••

Cantika turun dari pesawat, menyusul kakak beserta kedua orang tuanya yang sudah
berjalan lebih dahulu.

Cantika menengadah ke langit malam. Memejamkan matanya dan mengambil napas


sebanyak yang ia bisa.

"Welcome to Thailand, and... welcome my new life. I wish I could forget him right here."

Alasan • 19

[EDITED]

19. Dia Pergi.

Cantika pergi.

Hanya itu yang dapat Vano ketahui dengan pasti. Tepatnya kemana dan sampai kapan,
Vano tak pernah mengetahuinya. Hanya Thailand yang Vano tau menjadi destinasi tujuan
Cantika.

Sudah tiga bulan semenjak kepergian Cantika, dan Vano masih tak mendapatkan kabar
apa-apa. Bahkan dari sahabat-sahabat terdekatnya.

Hari ini, adalah hari terakhir ujian akhir semester lima bagi Vano dan teman
seangkatannya di kelas dua belas. Setelah liburan, maka Vano dan kawan-kawan harus di
fokuskan dengan materi menuju ujian nasional.

Vano meraih tasnya dan berjalan menuju finger print, absensi yang menyatakan dia
sudah pulang di hari ini. Menuju parkiran dan langkahnya terhenti saat mendengar
seseorang menyerukan namanya.

"Revano!"

Vano enggan menoleh, karena yang ia dengar hanyalah suara cewek itu, lagi dan lagi.
Cewek yang selalu mengganggunya tanpa henti.

Cewek itu berlari ke arah Vano yang hanya diam di tempat seolah menunggu, berdiri di
sampingnya dengan napas yang tersenggal-senggal.

"Van, harus dengan cara apa gue minta maaf sama lo?"
Vano membalikkan tubuhnya, menghadap cewek di sampingnya yang tidak lain dan tidak
bukan adalah Andira.

"Gue bilang gue udah maafin lo dan lo gausah ganggu gue lagi." Vano berbalik tetapi Dira
menahan tangannya agar berhenti. Vano menatapnya dengan sinis. Tatapan tajamnya
yang selama ini menghantui Cantika saat menginjak bangku kelas sepuluh.

Lagi pula, siapasih yang tidak kesal kalau perasaannya di permainkan? Apalagi tipikal
Vano yang emosinya bisa meledak sedemikian rupa.

Dira berusaha menatapnya balik dengan gugup, setengah takut Vano meledak-ledak di
lingkungan sekolah. "Dari cara lo tapi kayak belom maafin gue, Van."

"Udah lah," kata Vano. "Gue mau pulang. Ada urusan."

Vano menghempaskan tangannya dan langsung berjalan menuju motornya. Melajukan


motornya ke suatu tempat, tempat yang sudah lama tak di kunjunginya. Rumah pohon.

Vano memarkirkan motornya tepat di samping rumah pohon itu. Disini sepi, karena ini
adalah salah satu pekarangan rumah jadi tidak ada orang lain yang asal main ke sini. Ini
adalah rumah lama Vano. Rumah yang tidak di jual oleh keluarganya, karena Vano yang
memintanya agar kapanpun ia bisa main ke rumah pohon ini.

Melepaskan helm dan mengacak sedikit rambutnya, Vano naik ke atas rumah pohon
dengan masih menggendong tas di punggungnya. Vano terdiam dan menatap lurus ke
halaman luar dari dalam. Ia rindu masa-masa semasih di rumah ini.

"Missing you already, Cantika Adriana. Kenapa dari dulu gue itu pengecut banget ya?"

•••

2004.

Revano kecil sedang mengukir sesuatu pada dinding-dinding di dalam rumah pohon kala
suara berisik yang berasal dari samping rumahnya berhasil mengambil alih perhatian
darinya.

Di bawah sana, ada anak kecil cantik bersama kakaknya sedang bermain lempar-lemparan
kaleng. Cewek cantik itu baru pindah selama beberapa minggu. Dan Vano selalu
mengamati cewek cantik itu dari atas sini. Tak pernah berani walau sekedar menghampiri
dan mengajak keduanya bermain apalagi mengajaknya masuk ke atas rumah pohon yang
khusus di bikinkan oleh orang tuanya ini.

Vano ingat saat pertama kali mereka pindah, cewek mungil itu terjatuh di pekarangan
rumahnya dan lututnya berdarah. Dia tidak menangis, tetapi kedua orang tuanya kalang
kabut bukan main.

Cewek kecil itu kuat.


Setiap hari, yang di lakukan Vano kecil hanya menatap cewek itu dari sini. Memerhatikan
senyumnya dan tanpa sadar ikut tersenyum kala cewek itu sedang tertawa.

"Cantika! Claudio! Masuk, udah sore jangan di luar terus!" Mama mereka berteriak dari
depan pintu.

Vano tidak dapat melihat jelas wajah Mamanya dari sini, tetapi Vano sudah pernah
melihatnya beberapa kali. Dan satu yang Vano ketahui tepat sebelum dirinya dan orang
tuanya pindah, nama cewek itu Cantika. Dan dia mempunyai kakak laki-laki bernama
Claudio.

•••

Vano sedang menggunakan sepatu kala Mamanya memanggil.

"Revano!" pekik Mamanya dari bawah.

Vano meraih kunci motor juga ponselnya dan meletakkan dompetnya di kantung celana
jinsnya sebelum berlari ke bawah, menghampiri Mamanya.

"Kenapa, Ma?" tanya Vano saat sudah turun dan langsung duduk di meja makan,
menyambar roti dan juga selai yang sudah tersedia di atas meja.

Mamamya sedang memblender jus wortel dan apel untuk Vano, kemudian menuangnya ke
dalam gelas dan memberikan kepada Vano. Duduk di hadapannya dan menatap anak
semata wayangnya lekat-lekat.

"Papa nyuruh kamu buat ikut bimbel, kamu mau atau enggak?" tawar Mamanya. Vano
meneguk jusnya sebelum menjawab.

"Gak usah ah, Ma. Gapapa kok. Vano bisa belajar sendiri," jawab Vano kemudian bangkit
dari posisinya hendak menyalimi Mamanya.

"Yaudah gapapa," kata Mamanya. "Semoga lancar ya, Van."

Vano mengangguk senang karena Mamanya selalu mendukung apa pilihan Vano. Dan
Mamanya juga yang mengatur seluruh jadwal Vano di luar sekolah.

"Assalamualaikum!" pekik Vano sebelum keluar rumah dan menuju garasi.

Motor Vano melaju dengan kecepatan sedang, menuju Balai Sarbini, tempat dimana
dirinya di undang sebagai salah satu bintang tamu sebuah acara. Vano memarkirkan
motornya dan langsung di sambut oleh teriakkan beberapa cewek yang menyadari
kehadirannya saat membuka helm. Vano berusaha tersenyum setulus mungkin selagi
berjalan menjauh, menuju backstage.

Beberapa bulan terakhir, sepeninggalan Cantika tentu saja, Vano menjalani shooting
untuk beberapa FTV, iklan, photoshoot untuk majalah, dan sering kali berada di
panggung runaway mengenalkan sebuah produk pakaian terkenal. Jadi, sudah jelas
popularitas Vano sekarang mulai menanjak dan banyak yang mengenalnya. Followers
instagram Vano saja tanpa terasa sudah menginjak angka seratus dua puluh ribu.

Tetapi ada perasaan hampa pada diri Vano.

Vano menginginkan Cantika berada di sampingnya. Mendukungnya sama seperti tiap kali
dirinya sedang bermain basket di lapangan sekolah, atau apapun. Vano ingin menangis
kalau saja dia lupa ini sedang di depan umum dan dia bukan laki-laki tulen yang tiba-tiba
menangis tanpa sebab.

Selama di dandani dan di benari tatanan rambutnya, Vano mengecek ponselnya. Membuka
notifikasi yang membanjiri hampir setiap media sosialnya. Vano iseng dan membuka salah
satu fotonya di Instagram untuk membaca para komentar disana.

Photos

"Dis twins makes my life burnin when they tell me she would'nt come back. They screw
me up, but they're my best vapor for this time."

12.926 likes | 117 comments

adityars12: tau dah tau.

ezadaptr: ganteng banget gwa yak.

vernsadalie: ezadaptr kakak temen deket kak vano yaaa. ih squad cogan♡

gilangdemian: ampun, gakuat itu gue yang mana, eja yang mana.

zanufabe: truo galau kali.

zanufabe: *trio

angelstadari: ganteng semuaaaa��

Vano tak dapat menahan senyumnya akan kelakuan teman-temannya. Ia membuka profile
Eza yang menunjukkan sekiranya lebih banyak followers darinya.

EZADAPTR

Eza Damian

59 photos | 387K followers | 132 following

Kemudian Vano menekan salah satu foto yang sama dengan yang dirinya post di akunnya
sendiri.

Photos

"But baby why you did it to him? The only one who losing you the most."

41.005 likes | 279 comments


Vano hendak tersenyum, tetapi ia tengah di relung duka. Tersenyum karena caption yang
di sertakan Eza, dan sedih karena pahitnya kenyataan soal caption yang di maksud Eza.

Tangannya beralih menuju profile Gilang.

GILANGDEMIAN

Gilang Demian

28 photos | 4,193 followers | 226 following

Photos

"He lost her, and we tryna to keep him happy."

499 likes | 18 comments

Vano berterimakasih banyak di dalam hati karena di kirimkan kedua manusia kembar ini
yang tadinya menjadi saingannya, kini menjadi pendukung penuh akan dirinya.

Tangannya membuka-buka gallery ponselnya hendak mengupload sebuah foto.

revanoprasetya:

"Missing you already. I want to be the one you remember. Please, come back."

Vano tidak menyangka dirinya akan menjadi salah satu dari sekumpulan cowok galau yang
ditinggal cewek. Tetapi Vano bahkan tak mendapatkan tempat untuk meluapkan
emosinya. Jadi, satu-satunya tempat dimana ia berharap Cantika melihat bahwa dirinya
merindukan cewek itu hanya melalui media sosial instagram.

Vano memasukkan ponselnya, dan tidak sempat melihat notifikasi yang langsung
berdenting tak karuan.

cntkadriana likes your post

cntkadriana likes your post with ezadaptr and gilangdemian

•••

Vano naik ke atas panggung, menyapa para penonton dan memulai penampilannya. Ia
bernyanyi dengan gitar nya di atas panggung.

"Lagu ini buat kalian semua, dan spesial buat cewek yang jauh di sana," kata Vano dengan
senyumnya. Membenarkan posisi mic, dan duduk di kursi dengan gitar di pangkuannya.
"Gak semua lirik buat dia sih, tapi nyanyi aja deh."

Dan riuh dari penonton langsung menyambut Vano.

I'll take what you got, got, got


I know it's not a lot, lot, lot

Cause I just need another hit

You're the thing that I can't quit

You got what I want, want, want

Here but then you're gone, gone, gone

If you told me that we were through

You know that I would break the truce

I want to breathe you in like your vapor

I want to be the one you remember

I want to feel your love like the weather

All over me, all over me

I want to print our hands in the pavement

Savour your words, I won't ever waste them

Look in your eyes and know just what you meant

So lie to me, just lie to me

So talk, talk, talk

Well tell me what I want, want, want

If I don't look into your eyes

It's almost like a perfect lie

So don't stop, stop, stop

We'll take another shot, shot, shot

Cause you know you've got perfect aim

I wanna feel you in my veins

I want to breathe you in like your vapor

I want to be the one you remember

I want to feel your love like the weather

All over me, all over me

I want to print our hands in the pavement


Savour your words, I won't ever waste them

Look in your eyes and know just what you meant

So lie to me, just lie to me

You make it sound so sweet

When you lie to me

Make it sound so sweet

When you lie to me

(Vapor by 5 Seconds of Summer)

"Revano Prasetyaaa! Beri tepuk tangan yang meriah buat cowok ganteng yang lagi galau
ini!" pekik sebuah suara yang tak lain dan tak bukan adalah MC acara ini.

Vano mau tak mau tertawa mendengar panggilang yang di ajukan oleh sang MC: cowok
ganteng yang lagi galau.

MC menghampiri Vano saat suara tepuk tangan dan riuh mulai mereda. Ia mengajak Vano
untuk berdiri setelah memberikan gitarnya kepada salah satu kru.

"Vano, ganteng dan berbakat. Selain jago akting, badan bagus buat runaway diatas
panggung, candid di foto majalah dengan wajah luar biasa, ternyata jago main gitar sama
nyanyi!" tukas sang MC terdengar sangat antusias, menarik semangat penonton untuk
kembali riuh dan bertepuk tangan.

Belum berselang lama, salah satu MC keluar lagi dengan gaya kocaknya. Ia mengagetkan
Vano.

"Untung gak latah," katanya membuat penonton terkekeh seolah membayangkan Vano
latah di atas panggung.

"Juna, lo kalo dateng tuh yang bener dong. Ada cowok ganteng lagi galau nih, jangan di
ganggu-ganggu," ledek si MC kepada MC yang satu lagi bernama Juna.

Juna memberikan microphone single kepada Vano agar Vano bisa leluasa.

"Gak papa lah, Friska, namanya anak remaja galau mah wajar ya, Vano," kata Juna kepada
Friska.

"Friska sekalinya nongol di TL Twitter, tweetnya galau melulu," ledek Vano, tak mau
kalah.

Friska nampak shock di buat-buat dengan pernyataan Vano barusan. "Guys, denger gak?!
Ternyata Vano follow gue di twitter yaampun seneng bangeeet!"

Dan penggemar cewek langsung ribut lagi tak karuan.


"Friska baru di follow twitternya aja seneng. Gue udah di follow sama Vano di instagram
aja gak sombong tuh," kata Juna yang tak mau kalah dengan Friska.

Friska nampak tidak terima. "Followers Vano di twitter udah mau lima ratus ribu. Di
instagram baru seratus ribu, jadi gue menang banyak dari lo lah, Jun."

"Ya semua artis juga emang banyakan followers di twitter kaleeeee." Juna memekik
meledek dan mendapat teriakkan setuju dari para penonton.

Vano tak habis pikir dengan kedua manusia ini yang tidak pernah kehabisan topik.

"Udahlah, biarin. Vano-vano. Kamu tuh galauin siapa sih ngomong-ngomong? Cewek mana
yang beruntung di galauin sama kamu?" tanya Friska.

Vano sebenarnya enggan menjawab. Beruntung karena Juna buru-buru memotong.

"Gak ada yang beruntung lah, oneng. Kasian Vano nya jadi galau," kata Juna, menoyor
kepala Friska. "Jangan mau sama Friska. Tukang modus, PHO, TMT."

Friska memukuli pundak Juna. "Tapi kalo sama Vano mah enggak! Berani jamin cewek
disini nih yang dari tadi tereak-tereak juga rela kayak gue keles."

Penggemar Vano sepertinya tak kunjung kehabisan energi, karena lagi-lagi mereka
berteriak.

"So, Vano. Apa jawabannya nih? Siapa sih cewek itu?" ulang Friska, rupanya sangat-
sangat penasaran. Selain karena berita ini di singgung-singgung dalam script untuk
memancing sang bintang utama dalam acara ini.

Vano mengambis napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Cewek itu gue jamin kalian juga
bakalan kenal sih, pokoknya cewek itu lagi sibuk di negara asal Mamanya. Lagi meniti
karir disana, di Thailand."

Sepertinya Vano tidak sadar kalau saluran TV ini masuk ke dalam saluran kabel
internasional.

Di lain negara, berbeda pulau, ada dua orang sedang menonton acara ini di tengah-tengah
waktu luangnya. Yang satu tak kuasa menahan air mata, dan yang satu sibuk
menenangkan.
Alasan • 20

[EDITED]

20. Aku Butuh Penyelamatku.

Ujian Nasional sudah terlaksanakan.

Vano sedang menggonta-ganti channel televisi di kamarnya sembari memakan camilan


keripik jagung saus caramel. Sampai tiba-tiba jemarinya berhenti bergerak dan
mulutnya berhenti mengunyah.

Pandangannya terpaku dengan apa yang berada di hadapannya kini. Salah satu acara
penghargaan besar di Thailand, dan menampilkan cewek cantik dengan gaunnya di sedang
berjalan di red carpet bersama dengan cowok yang mengenakan tuxedo di sampingnya
sembari menggenggam tangannya.

Mereka berhenti tepat di depan red carpet dan puluhan wartawan langsung membanjiri
mereka dengan kamera dan blitz menyinari di mana-mana. Membuat napas Vano
tercekat, melihat senyuman cewek yang sudah lama di tunggu-tunggu olehnya, dengan
senyuman yang kian hari makin menawan.

Vano tidak tau apa yang di tanyakan oleh si pembawa acara kepada kedua orang itu
sehingga ia mengalihkan sedikit perhatian untuk membaca subtitle yang tertera di
bawahnya.

Pembawa Acara: Halo Cantika, kamu dari awal selalu berdua sama kakak laki-laki kamu.
Emangnya, belum ada pasangan yang bisa di ajak-ajak selain kakak?

Cantika: Belum, pasangan aku jauh. Di negara asal aku, jadi gak mungkin aku ngajak dia
walau aku berharap bisa ngajak dia ke sini lain waktu.

Degup jantung Vano berhenti seketika.

•••

Vano selesai berpose untuk sesi foto sampul majalah.

Ia berjalan cepat menuju ruang ganti untung mendinginkan tubuhnya sendiri tepat di
depan AC. Tak lama, Gani datang membawa air minum untuknya sendiri dan juga Vano.

"Nih," katanya. Memberikan Vano sebotol air energi yang dingin. Ia tersenyum sangat
manis.

Vano balas tersenyum dan meraihnya, "Makasih."

Gani adalah model dengan badan semapai dan memiliki paras cantik. Cewek ini sudah lama
menyukai Vano, sejak pertama kali mereka berjumpa saat runaway di salah satu acara
besar beberapa bulan lalu sebelum Vano menghadapi ujian. Dan kini, Gani bersyukur
sudah di pertemukan kembali dengan Vano, dia pikir: mungkin mereka berjodoh.
Tetapi Vano sepertinya tidak memiliki perasaan yang sama, karena setiap kali Gani
memerhatikan akun instagram Vano yang kini telah mempunyai kurang lebih 600 ribu
pengikut, bahkan mengalahkan Eza yang masih menginjak angka 500 ribu untuk saat ini,
Gani selalu melihat ada kerinduan di setiap kata-kata yang Vano untaikan pada setiap
postnya.

Walaupun begitu, menjadi teman dekat saja rasanya sudah sangat menyenangkan bagi
Gani. Munafik memang, tetapi dia pikir tidak apa-apa selagi bisa dekat dengan Vano.

Gani ingin duduk di samping Vano, sekedar bertukar sapa atau apapun yang mampu
mempererat jalinan mereka. Tetapi, Gani tidak pandai memulai. Dalam kasusnya selama
ini, selalu cowok yang mendekatinya. Bukan kebalikan.

Saat Gani ingin memulai bicara, Vano bangkit dari posisinya dengan membawa botol
minuman pemberian Gani yang baru setengah ia minum. Menghampiri tas gendolnya dan
membawa semua peralatannya, tanpa mengganti kostum karena sekarang kostum ini
adalah milik Vano.

"Makasih ya, Gani," kata Vano dengan senyumnya. Kemudian ia beranjak. "Gue duluan."

Dalam hati kecil Gani, ia berharap Vano menawarinya tumpangan untuk pulang. Tetapi
harapan itu pupus seketika.

Vano berjalan menuju parkiran dan baru saja hendak naik ke atas motornya kala tiba-
tiba sebuah hantaman mengarah tepat ke tulang pipi Vano. Menyebabkan Vano
terjungkal kebelakang karena kaget dan nyeri langsung menjalar ke sekujur tubuhnya
seperti tersetrum.

Mendongak dan mendapati Seto dengan kawanannya di hadapan Vano, ia malah


menyeringai seolah rasa sakit sudah terlupakan.

"Hai juga, Seto." Vano mencoba bangkit, tetapi Seto menendang kaki kanan Vano tepat
di tulang kering sehingga ia kembali tersungkur.

Seto melangkah maju dan menarik kerah baju Vano sehingga tubuhnya terangkat dan
berdiri. "Gue gak perduli mau lo sekarang udah jadi artis atau apapun. Intinya, urusan
kita belum selesai."

Vano hampir saja tertawa andai kata ia melupakan sudut bibirnya yang terluka. Sekalipun
Vano ingat, sepertinya dia tak perduli karena kini ia malah tertawa dengan nada
meremehkan.

"Urusan apa lagi sih, Seto? Kunci rahasia lo aman kali sama gue. Cuman kalo begini
caranya, ya gue gak janji loh ya," kata Vano. Seto hampir tersedak di buatnya. Vano
seperti orang yang sedang mabuk. Hampir saja Seto ngeri sendiri kalau dia lupa dengan
tujuannya datang kesini.
"Pertama, lo udah mempermalukan gue tahun kemaren dengan lo nyamperin dan ngebelain
gue--"

Vano memotong, "Sama-sama, Set. Gue gak keberatan kok babak belur demi nolongin
orang yang besokkannya di sekolah nonjokkin gue. Gapapa."

Bugh!

Seto menonjok lagi wajah Vano, dimana bekas pukulan pertama sudah mulai membiru.
Amarah Seto membuncak, tetapi Vano sama sekali tak menunjukkan kalau dia ingin
melawan. Hanya melepaskan tubuhnya dengan lemas, sehingga Seto agak berat
mengangkatnya.

"Lo udah ngancurin reputasi gue, anjing!" pekik Seto, tepat di depan wajah Vano. "Dan
sekarang, lo tau rahasia terbesar gue. Itu nggak menjamin kalo lo bakalan tutup mulut
soal itu!"

Vano terkekeh, namun matanya terpejam. Seto sempat berfikiran kalo cowok ini
kesurupan atau semacamnya, lebih-lebihan dari mabuk. Padahal tadi Vano bersikap
sangat normal.

"Rahasia besar, kalo lo itu Homo? Naksir sama sahabat gue? Tenang aja. Gue gak bakalan
bilang, apa juga untungnya buat gue. Tapi, masalahnya lo malah giniin gue. Aduh, sakit
banget hati gue. Gak yakin sih bakalan tutup mulut kalo begini ceritanya."

Rasanya wajah Vano sudah hancur berkeping-keping kala Seto menonjoknya untuk ke
sekian kalinya.

Dalam hati, Vano berharap Cantika di sini. Menjadi penengah antara dirinya dengan Seto.
Bukan berarti Vano lemah atau tidak bisa berkelahi, selain menjaga reputasinya, Vano
juga tidak ingin amarahnya membuncak dan malah membunuh orang lain. Vano tidak mau
itu terjadi, tidak akan pernah lagi.

Tangannya di bawah mengepal, susah payah menahan amarahnya dengan mengalihkan diri
sebagai orang yang berlagak mabuk. Lebih baik seperti itu, ketimbang membalas pukulan
Seto dan malah membuatnya masuk ke rumah sakit dan koma lebih dari enam bulan.
Sama seperti yang pernah dulu Vano lakukan sewaktu menginjak sekolah menengah
pertama. Vano tidak mau itu terjadi lagi.

"Udahan belom Set?" tanya Vano dengan suara sedemikian lemah, saat Seto berhenti
memukulinya dan tidak bersuara sedikitpun.

"Lo," cecar Seto. "Lo tuh sebenernya maunya apa sih?!"

"Mau gue?" seringai Vano. "Lo pergi aja sekarang. Dari pada ada orang lewat terus
mergokkin lo lagi mukulin artis. Masuk berita bahaya." dan karena gue gak yakin bisa
nahan amarah gue lebih lama lagi.
"Gue gak perduli, anjing!" satu kepalan mendarat mulus di pipi Vano, lagi.

Vano membuang ludahnya yang penuh dengan darah. Menatap tajam mata Seto,
menghentakkan tangan Seto sehingga terlepas dari bajunya dan..

Bugh!

Vano menonjok tulang hidung Seto sehingga memunculkan darah di hidungnya. Dan satu
lagi hantaman keras tepat di rahang Seto, membuatnya tersungkur jatuh dan tak
sadarkan diri.

Kedua teman Seto yang melihat itu, rupanya tidak terima dan maju menyerang. Tepat
saat itu juga, Vano membuat mereka tak sadarkan diri.

Vano memegangi kepalanya yang terasa pusing seketika.

"I need my rescuer.. my queen.."

Dan, ia tak sadarkan diri.

•••

Vano tiba-tiba terbangun di salah satu kamar rumah sakit swasta dengan tampilan serba
putih bahkan makanannya, nasi dan putih telur serta sayur dengan daun kol.

Mendudukkan posisinya dan merasa pusing, Vano meraih air putih di gelas yang berada di
meja tepat di sampingnya dan meminumnya dalam sekali teguk.

Tak lama, suara pintu di buka dan memunculkan sosok Mama Vano yang jelita. Ia
melangkah dengan seulas senyumnya dan duduk tepat di samping Vano, meraih tangannya
yang memar dan tertutup lapisan kain perban.

"Ma, Vano gatau kenapa bisa sampe mukulin dia sebegitu--"

"Sst," sergah Mamanya, agar Vano tak lagi banyak bicara. "Kamu pingsan hampir dua
hari, polisi udah ngecek basement tempat kamu di temuin. Dan itu bukan salah kamu kok,
namanya pembelaan diri. Kamu tenang aja ya, mereka udah di urus dan nggak apa-apa
kok."

Vano tau Mamanya sedang berusaha menenangkan dirinya, tetapi Vano tetap merasakan
ada sesuatu yang mengganjal benaknya.

Inilah sebab kenapa Vano tak pernah mau berkelahi semenjak memasuki SMA. Dan ini
juga sebabnya orang-orang yang Vano datangi saat membela Seto langsung pergi karena
takut, mereka adalah teman satu SMP Vano, dan mereka tahu persis bagaimana kalau
Vano sudah mulai berkelahi: membabi buta.

Alasan Vano tidak membalas perbuatan Seto saat di lapangan, dan alasan dari sekian
banyak perkelahian yang di hindarinya adalah ini. Vano juga tidak tau bagaimana dirinya
saat sedang berkelahi bisa sebegitunya, seperti orang kerasukan dan hendak membunuh
mereka di tempat. Dan, Vano tidak mau itu terjadi.

Vano selalu bersyukur saat gadis pujaannya sewaktu kecil datang dan menghindari orang-
orang melihat sisi tergelap Vano. Walau Vano baru tahu kalau dia adalah gadis kecil
pujaan Vano setelahnya.

Rupanya itu adalah alasan kenapa setiap kali Cantika mendekat dan memberinya kotak
bekal, jantung Vano berdegup kencang. Ia pikir dirinya malu karena di kejar-kejar oleh
cewek jelek, walaupun Vano tau dengan jelas Cantika tidak pernah jelek sama sekali. Ia
pikir semua ini hanya kekeliruan atau kebetulan semata. Ternyata benar, dia adalah
Cantika milik Vano. Cantika si gadis mungil nan cantik pujaan Vano, yang selalu ia idam-
idamkan sejak kecil.

Dan kini, dia sudah pergi.

Rasanya bengkak di wajah Vano berkedut kala ia mengingat sosok Cantika dan segala
kelakuannya.

"Sekarang tanggal berapa, Ma?" tanya Vano kepada Mamanya. Yang ia ingat, Mamanya
itu selalu mengatur jadwal dengan rapi.

Vano sedang memerhatikan jam dinding kala Mamanya menjawab, "Tanggal 8."

"Astagfirullah," tukas Vano. "Mama kan hari ini ada meeting besar. Udah, Ma. Vano
gapapa, Mama nyusul Papa aja sana."

"Vano."

"Gapapa, Ma. Sumpah, Vano gak bakalan kemana-mana, janji." Vano berusaha tersenyum
ke arah Mamanya selebar mungkin walau ngilu langsung menjalar ke seluruh tulang pipi
Vano.

Mamanya meletakkan macbook serta ponsel Vano yang sudah bergelantungan dengan
power bank yang Vano yakin baru saja di beli oleh Mamanya karena Vano tidak pernah
merasa memiliki power bank. Di atasnya, ada dompet Vano yang sepertinya lebih menebal
di bandingkan sebelumnya.

"Minggu depan shooting perdana film layar lebar. Anak Mama harus ganteng," ujar sang
Mama, mengecup dahi Vano. Vano sama sekali tidak risih dengan itu. "Istirahat yang
bener."

"Iya, Mama bawel." Vano nyengir lagi. Untunglah kawat behelnya sudah di lepas begitu
masuk SMA. Jadi bibirnya tidak perlu sariawan parah sehabis berkelahi.

Namanya juga anak laki.

Sepeninggalan Mamanya, Vano sendirian di ruang rawatnya. Gabut, bosan hanya bengong
dan meratapi nasib ditinggal pujaan hati.
Vano meraih macbooknya dan meletakkan di atas pangkuannya yang sudah dia alasi
dengan bantal agar radiasinya tidak mengenai kakinya dengan parah. Kemudian
membukanya dan beruntung sudah tersambung dengan koneksi jaringan wifi rumah sakit.

Membuka beberapa media sosialnya, Vano melakukan penelusuran untuk mencari-cari


berita terbaru tentang cewek pujaannya, seperti yang biasa selalu dilakukannya.

Berita terakhirnya adalah beberapa hari lalu, dan itu sudah Vano baca. Vano bingung
kenapa saat dirinya pingsan tidak ada berita terbaru mengenai cewek itu: Cantika. Yang
biasanya namanya selalu di muat di halaman pertama situs berita.

Memandangi wajah Cantika yang Vano jadikan wallpaper sekali lagi, Vano berniat untuk
mengcover sebuah lagu.

Cahaya kamar rumah sakit lumayan terang, tetapi Vano butuh penerangan lebih agar
hasil videonya nampak bagus. Setelah selesai mendownload instrumen lagu yang
diinginkannya versi akustik, karena tidak memungkinkan dirinya bermain gitar, Vano
meraih ponselnya dan meletakkan di depan laptop untuk pencahayaan, menggunakan blitz
kameranya. Lalu, membuka aplikasi rekam video, Vano pun mulai bernyanyi.

I drove by all the places we used to hang out getting wasted

I thought about our last kiss, how it felt, the way you tasted

And even though your friends tell me you're doing fine

Are you somewhere feeling lonely even though he's right beside you?

When he says those words that hurt you, do you read the ones I wrote you?

Sometimes I start to wonder, was it just a lie?

If what we had was real, how could you be fine?

'Cause I'm not fine at all

I remember the day you told me you were leaving

I remember the make-up running down your face

And the dreams you left behind you didn't need them

Like every single wish we ever made

I wish that I could wake up with amnesia

And forget about the stupid little things

Like the way it felt to fall asleep next to you

And the memories I never can escape

'Cause I'm not fine at all


The pictures that you sent me they're still living in my phone

I'll admit I like to see them, I'll admit I feel alone

And all my friends keep asking why I'm not around

It hurts to know you're happy, yeah, it hurts that you've moved on

It's hard to hear your name when I haven't seen you in so long

It's like we never happened, was it just a lie?

If what we had was real, how could you be fine?

'Cause I'm not fine at all

I remember the day you told me you were leaving

I remember the make-up running down your face

And the dreams you left behind you didn't need them

Like every single wish we ever made

I wish that I could wake up with amnesia

And forget about the stupid little things

Like the way it felt to fall asleep next to you

And the memories I never can escape

If today I woke up with you right beside me

Like all of this was just some twisted dream

I'd hold you closer than I ever did before

And you'd never slip away

And you'd never hear me say

I remember the day you told me you were leaving

I remember the make-up running down your face

And the dreams you left behind you didn't need them

Like every single wish we ever made

I wish that I could wake up with amnesia

And forget about the stupid little things

Like the way it felt to fall asleep next to you


And the memories I never can escape

'Cause I'm not fine at all

No, I'm really not fine at all

Tell me this is just a dream

'Cause I'm really not fine at all

(Amnesia by 5 Seconds of Summer)

Seolah tak sibuk memerhatikan wajahnya yang penuh perban dan memar, Vano langsung
mengunggah videonya ke akun YouTubenya yang sudah ia hubungkan ke jejaring sosial
Twitternya, agar orang-orang tau kalau dia baru saja mengupload video tersebut.

Vano juga mengupload satu menit videonya sendiri ke akun instagramnya. Kemudian
menyertakan link di YouTube.

Sementara sibuk membaca komentar-komentar yang mulai masuk, akun messanger Vano
yang terhubung di macbook memunculkan sebuah notifikasi adanya pesan masuk.

Claudio Adrian: Itu muka kenapa babak belur segala sih, goblok?

Claudio Adrian: Gatau apa yang di sini khawatir ampe nangis-nangis?

Vano pikir kepalanya terbentur cukup keras, tetapi Seto bahkan sama sekali tidak
menonjok atau menghantam kepalanya. Jadi, Vano beranggapan bahwa ini hanyalah
halusinasinya semata.

Sampai, muncul notifikasi berikutnya.

Claudio Adrian: Lo read doang, gue gak bakal restuin sama adek gue.

Claudio Adrian: Gatau apa betapa khawatirnya dia akan diri lo, anjay.

Hampir saja Vano terkena serangan jantung kala membacanya.

Dan, ternyata Vano tidak sedang berhalusinasi.

Alasan • 21

[EDITED]

21. Mimpi-Mimpi.

Vano bermimpi indah, sampai-sampai dia lupa untuk menyadari kalau itu bukanlah
sebuah kenyataan.
Vano sedang di hantam ribuan kali oleh Seto dan gerombolannya, kala tiba-tiba saja ratu
penyelamat Vano datang di saat Vano hampir menggebu-gebu.

Cantika Adriana, menarik kerah baju Seto dari belakang setelah melangkahi teman-
temannya, menendangnya menjauh dan menghampiri Vano.

Vano ingat saat melihat Cantika di ruang latihannya dan sedang menyakiti dirinya sendiri,
tetapi kali ini Cantika nampak enggan menyakiti dirinya sendiri maupun Vano. Ingin
senang bersama.

Cantika tersenyum manis kepada Vano, menarik tangannya untuk mendekat dan
mengajaknya menjauh. Tetapi Vano sadar akan suatu hal penting di kala perjalanan
mereka.

Vano menghentikan langkahnya, sontak Cantika juga menghentikan langkahnya sendiri


dan menghadap Vano yang berada di belakangnya.

"Kenapa, Kak?"

Vano membisu sesaat. Sebelum akhirnya menjawab, "You are not real.."

Dan Cantika menghilang.

Vano cukup mewanti-wanti dirinya sendiri agar tak lagi bermimpi hal semacam itu.
Tetapi, semakin kesini justru Vano semakin kepikiran dengan Cantika dan hal itu
membuat dirinya semakin sering bermimpi.

"Karma bakalan datengin lo suatu saat nanti."

Dan, bisikkan itu juga tak kunjung berhenti menimpa Vano seolah mengingatkannya kalau
kini dirinya tengah mendapatkan karma atas perbuatannya sendiri selama ini kepada
Cantika. Dan itu semakin membuat Vano hancur dan menyalahkan diri sendiri.

"Vano."

Vano memegangi kepalanya yang terasa pening. Ia seperti mendengar suara Cantika
sejak tadi memanggilnya. Tetapi Vano yakin kalau itu hanyalah sebuah ilusinasinya
semata saking rindunya dengan Cantika.

"Vano!"

Mendengar sebuah suara memekik menbuat Vano langsung menolehkan kepalanya.

"Mama?"

Mamanya memutar bola matanya. "Dari tadi Mama panggil jugaan. Kamu kenapa? Pusing
lagi?"

Vano jadi hilang ingatan sementara kalau dirinya sekarang sedang di dalam mobil
bersama sang Mama untuk pulang ke rumah karena tadi dokter menyatakan Vano sudah
bisa pulang.
"Gapapa kok, Ma. Cuman kepikiran naskah nanti gimana ya filmnya."

Sang Mama tau jawaban itu bohong karena hampir setiap hari saat di rumah sakit, saat
dirinya tertidur maka Vano akan mengigaukan satu nama: Cantika.

"Tenang aja. Bayangin kamu lagi main FTV biasa aja, cuman kali ini kamu di minta buat
jadi lebih profesional."

Vano menyanggupi perkataan Mamanya. Dan kini, mereka turun dari mobil karena sudah
sampai di lokasi untuk pertemuan antara Vano dan sang sutradara, produser, juga penulis
naskah. Setelah pertemuan pertama mereka tahun lalu untuk menentukan Vano sebagai
pemeran utama di film ini.

"Hey, Vano!" sapa Agis, si sutradara cewek berambut bondol yang tampilannya pun
benar-benar tomboi. Vano mau tak mau tersenyum di sambut seperti itu.

"Hei, kak Agis," sapa Vano dengan senyumnya. Kemudian ia menoleh ke belakang seolah
sedang memberitahu Agis kalau Mamanya juga turut datang, dan ada di belakangnya.

Agis nampak lebih senang lagi kala menyadari itu. "Kak Ferliiiii!" Agis berhambur
memeluk Ferli, Mama Vano.

Mamanya membalas pelukan Agis. "Yaampun, Gis. Makin gede aja badan."

Agis melepas pelukkannya dan cemberut. "Nunggu nyutradarain project besar kayak gini
tuh selesai kerja ya makan terus abis itu tidur."

"Pantes," kata Ferli. "Lebar."

•••

Vano sedang membaca naskahnya kala tiba-tiba di kejutkan dengan sesuatu.

"Ciuman?" tanya Vano, mengulang keterangan adegan di dalam naskah. Beruntung


Mamanya sudah pulang lebih dulu. Kalau tidak..........

"Ehm itu--" Agis sang sutradara saling memandang satu sama lain. "Kamu udah lulus SMA
kan?"

Vano sempat menyerngitkan dahinya mendengar pertanyaan itu, tapi ia menjawab, "Iya."

"Yaudah, gapapa kali ya? Udah lulus kan?" Agis cengengesan menatap Vano sambil
memohon. "Gapapa ya?"

Sejujurnya, Vano tidak mau. Tapi ini kah yang di namakan profesional? Dan apa yang
terjadi kalau seandainya Vano menolak? Di lain sisi, Vano takut kalau lawan mainnya tak
sesuai ekspektasi nantinya dan akan membuat Vano menjadi canggung. Vano juga belum
pandai berciuman, jadi perlukah ia mencari tata caranya di internet agar semakin
profesional?

"Ehm--" Vano menimang-nimang sesaat. "Yaudah deh."


Wajah ketiga orang di hadapan Vano ini langsung berseri-seri. "I know you."

Vano lanjut membaca sembari mendengarkan penjelasan serta pengarahan karakter dari
sang penulis dan tata setting dari sang sutradara. Sementara sang produser
membicarakan mengenai bayaran, tata pemasaran dan soal produksi sampai premiere
nanti.

"Siapa aja yang jadi lawan main aku?" Tiba-tiba pertanyaan itu melesat begitu saja dari
mulut Vano. "I mean, yang paling utamanya gitu-gitu."

"Oh itu," gumam Agis. "Ada Fifiandra sama Eza pemain My Heart."

Vano mendongak tak percaya mendengar nama dan judul film barusan. "Eza?!" Hampir dia
kelewat excited sampai setengah berteriak.

Agis mengangguk semangat. "Yup, Eza Damian. Dia jadi pemeran utama pria setelah
kamu, Van."

Jadi. Vano benar-benar yang utama.

"Terus siapa lagi?" Tanya Vano yang semakin penasaran. Sejujurnya nama film yang di
sebutkan oleh Agis membawa Vano ke sedikit lintasan masa lalu.

Agis menengadah seolah-olah di langit-langit ruangan itu terdapat catatan miliknya.


"Ghea dari Relationshit, Donita dari SKUT sama Andrew dari Jakarta Love Story."

Vano baru saja manggut-manggut kala mendapati tatapan dari Agis yang membuatnya
curiga. Seolah-olah ada yang sengaja di lewatkan oleh Agis.

"Belom nyebutin pemeran utama cewek pendamping gue, pasti." Vano menebak dan
cengiran lebar berhambur di wajah Agis.

"You know me," gumam Agis lagi sembari menunjuk-nunjuknya gemas.

"Cantika Adriana."

•••

Vano melanjutkan membaca naskahnya demi mendalami karakter bahkan begitu sampai
rumah. Sejujurnya, Vano masih sangat-sangat kepikiran mengenai lawan mainnya dan
juga adegan romantisnya.

Sementara itu, pikirannya terus beradu.

Gue rasa gue mulai mimpiin hal-hal begini lagi.

Halusinasi, Van. Sadar.

Mana mungkin Cantika.

Cantika di Thailand.
Cantika di Thailand.

Cantika di Thailand.

Jangan bayangin yang enggak-enggak. Sadar Vano. Profesional.

Mati lah aku.

Gimana mau gak ngebayangin yang aneh-aneh kalo jelas-jelas punya kesempatan emas
buat ciuman sama Cantika.

Astagfirullah.

Vano menghantam wajahnya sendiri dengan naskah setebal empat ratus tiga puluh satu
halaman itu.

"Fokus, Van."

Ciuman sama Cantika....

Ciuman..

Sama Cantika...

Cukup. Vano tidak tahan lagi.

Dia bangkit dan menuju kamar mandi.

Untuk membasuh wajahnya, bukan yang aneh-aneh.

Ia memandangi pantulan dirinya di depan cermin dan beberapa kali menyubiti pipinya,
hendak memastikan apakah ini hanyalah mimpi belaka atau apapun itu.

"Jadi," gumam Vano. "Kalo beneran Cantika......."

Ia cepat-cepat menggelengkan kepalanya beberapa kali saat pikiran-pikiran itu


menggerayangi otaknya. Tak dapat di pungkiri, rasa semangat jadi membara dan
berkobar kala mendengar nama itu.

"Fine!" Pekik Vano akhirnya. Membasuh wajah untuk terakhir kali dan kembali ke
kamarnya. Duduk dan menarik macbook. "Let's be professional."

•••

Vano terbangun dari alam mimpinya kala mendengar sebuah suara kaset rusak.

Maksudnya, Mamanya yang berteriak.

"Revano!" Pekik Mamanya lagi. Kali ini, membawa segelas air dan langsung menyirami
wajah Vano.

"Astagfirullah, Mama!" Vano balas memekik dan bangkit dari posisi tidurnya. Menatap
sang Mama yang hampir terlihat seperti ganteng-ganteng serigala.
Ralat.

Serigala ngamuk.

"Kamu tuh, ya!" Ferli memelototi anak semata wayangnya kemudian tangan kanannya
bergerak untuk segera menutup layar macbook dengan cukup keras.

"Kenapa sih, Ma?"

Vano tidak paham apa masalah Mamanya sampai-sampai harus sudah memarahi Vano
sepagi ini dan bahkan menyiraminya dengan air.

"Kamu tuh ya, ih! Kebiasaan!"

Vano tidak dapat mendeskripsikan dengan pasti perasaan Mamanya saat ini: kesal,
gemes, geregetan, gondok, gakuat, gakuku, ganana.

"Mamah apasih."

Mamanya duduk di samping Vano dan seketika langsung menaboki pahanya, bahunya,
dadanya, semua yang bisa di tabok.

"Aduh Mama!" Pekik Vano, mencoba melindungi dirinya sebisa mungkin dan bergeser ke
pojok kasur. "Sakit Ma, kenapasih elah."

"Kamu tuh! Ngapain lagi nonton-nonton begituan!?"

"Nonton apasih maaaa--" Vano terdiam sejenak. "Astagfirullah. Mama ngeliat!?"

Mamanya menaboki paha Vano yang sekiranya paling mudah di gapai. "Mama mau
mindahin macbook kamu. Pas keliatan malah searching gituan sama semua video di tab
atasnya. Ngapain sih kamu cari-cari segala macem ciuman: ciuman ganas lah, ciuman hot
lah, ciuman mesra lah, ciuman lembut lah, ciuman romantis lah. Ngapain sih Vano!
Emangnya kamu mau ciuman sama siapa!?"

"Cantika, Mah."

Jawaban itu terlontar begitu saja dari mulut Vano. Dan seketika Vano menutupi
mulutnya yang kurang ajar dan mendapati ekspresi terkejut dari Mamanya.

"Vano."

"Jangan salah paham dulu, Mah," kata Vano. "Aku bisa jelasin semuanya."

"Mama gak butuh penjelasan palsu kamu!"

Vano memutar bola matanya. "Mama apasih drama banget."

"Ohiya lupa."

"Jadi..."

"Astagfirullah, Vano!"
"Beloman, Mah! Ya Allah.." Vano geregetan bukan main. Andai saja Ferli bukan Mamanya,
pasti sudah Vano celupkan kepalanya ke dalam bak mandi.

"Ohiya, oke-oke," kata Ferli, membenarkan posisi hendak mendengarkan. Dalam hati
dirinya bertanya-tanya apakah sebegitu frustasinya kah anaknya ditinggal sang pujaan
hati seperti ini sampai-sampai menghayal yang tidak-tidak. "Serius-serius."

Vano menghela napasnya. "Lawan main aku di film terbaru aku ternyata Cantika, dan--"

"BAKALAN ADA ADEGAN CIUMANNYA!"

Vano ingin sekali menjedodkan kepalanya ke tiang listrik terdekat karena Mamanya baru
saja berteriak begitu keras. Vano malu, mau bunuh diri aja dari atas kasur.

"Mama--"

Tangan Ferli melayang di udara, memberi peringatan kepada Vano agar diam. "Kalo Mama
jadi Cantika, Mama pilih ciuman gaya lembut dan romantis."

Vano terbengong-bengong. Masih terpaku di tempatnya kala sang Mama mengecup


rambutnya dan bangkit.

"Mandi sana."

Saat Mamanya keluar, Vano ingin berteriak sekeras-kerasnya bahkan mengalahkan


teriakkan seorang Banshee.

•••

Vano sedang berlatih di depan cermin untuk mengurangi rasa gugupnya menjadi pemeran
utama dalam project besar ini.

Kali ini, Vano sedang berlatih adegan delapan puluh enam, dimana dirinya sedang berada
di sebuah club malam untuk sekedar menemani salah seorang temannya.

"Udahlah, Ger. Gue gak percaya sama yang namanya takdir. Bisa di manipulasi. Lagi pula,
mana mungkin gue bisa ketemu dia di sini untuk kedua kalinya?" Vano tersenyum hambar
kemudian tertawa pahit layaknya orang mabuk.

"Dia itu cewek baik-baik. Gak mungkin kesini. Gak pantes sama bajingan kayak gue!"

Vano merasa perlu meraih sebuah sofa. Seolah tak lagi perlu berlatih di depan cermin.
Dia sudah masuk ke dalam dunianya.

Baris selanjutnya berisikan Geri sebagai sahabat Vano yang memberikan nasehat ala-ala
orang mabuk. Vano berimprovisasi seolah sedang membayangkan Geri berbicara dan dia
melakukan kegiatannya sendiri.

"Udahlah. Lagian bener kata anak-anak. Yang baik selalu dapet yang baik kan? Mendingan
gue nyusul bokap nyokap gue aja deh."
Ting!

Bunyi ponsel Vano menandakan ada sebuah pesan masuk menggema, membuyarkan
konsentrasinya dan langsung bangkit untuk mencari ponselnya.

Claudio Adrian: gue gak bisa ikut ke jakarta. kayaknya juga cantika batalin semua
project di jakarta, kita mau pindah lagi ke itali.

Claudio Adrian: omong-omong, project film lo kapan mulai shooting?

Vano ingin menonjok wajah Claudio agar langsung membawanya ke Italia, tetapi dirinya
menemukan fakta kalau dia tak mampu. Jadi, Vano hanya membanting ponselnya. Ke atas
kasur.

Jadi, kalau Cantika membatalkan semua project di Jakarta, selain mereka tidak jadi
main satu film yang sama dan berciuman.. Maksud Vano, jadi mereka jugatidak akan
bertemu lagi?

Pupus sudah harapan Vano.

Apalagi kala mendengar suara Mamanya yang lagi-lagi berteriak.

"Revano!"

Vano lagi galau, hendak menangis tetapi mau tak mau ia harus menuruti panggilan sang
Mama kalau tidak mau di kutuk seperti Malin Kundang.

Dengan malas, Vano membawa kakinya melangkah gontai menuruni tangga dan
menghampiri Mamanya. Duduk di sofa tepat di samping Sang Mana.

Melihat wajah Vano yang di tekuk, seolah tau dan mengerti akan perasaan Vano, Ferli
membentangkan tangannya dan menarik Vano ke dalam bekappannya. Ferli bahagia kalau
Vano tidak pernah yang namanya marah atau malu di perlakukan seperti ini, dan yang
paling megharukan adalah saat Vano mengatakan kalau dirinya sayang kepada kedua
orang tuanya dan tak perduli dikatakan anak mami atau papi asalkan selalu di berikan
kasih sayang semampu orang tuanya, bukan hanya materi.

Vano menelusupkan kepalanya. Baru kali ini seorang Vano dilandah rasa seperti ini.
Kecewa, sedih, emosional, dan lain-lain. Walau sedekat apapun, pada kenyataannya Vano
tidak pernah bercerita tentang cewek yang ia taksir. Tetapi dalam kasus ini, Vano
menanggapinya dengan berbeda. Dia bahkan bercerita soal ketika masih kecil dan Ferli
tidak menyangka kalau yang di maksud Vano adalah cewek yang dulunya tinggal di
samping rumah mereka.

"Cerita yuk sama Mama." Suara Ferli berubah seratus delapan puluh derajat. Tau betul
bagaimana caranya menenangkan seorang Revano Prasetya yang cool tapi manja dan
menggemaskan di dalamnya.

Siapa yang mampu menyanggah akan hal itu? Author saja tidak mampu menyanggahnya.
"Cantika gak jadi ke Jakarta. Dia ngebatalin semua kontrak disini dan mau pindah ke
Italia. Makin jauh, Mah.."

"Loh kok--"

Baru saja Ferli hendak bersuara, tiba-tiba aliran listrik mati sehingga lampu padam.

"Mah?"

"Kamu tunggu disini, Vano. Mama naikkin saklarnya dulu." Sang Mama bangkit dan Vano
menyenderkan punggungnya ke sofa.

Memejamkan mata, kala tiba-tiba tangannya terasa di genggam oleh sebuah tangan....
Yang sangat dingin. Vano berpikir ini hanyalah sebuah khayalannya yang semakin kacau
karena hampir sakit jiwa di tinggal Cantika, tetapi saat Vano melirik ke arah tangannya:
benar, disitu ada tangan.

Calm down, Vano. Stay cool. Make the ghost falling in love with you.

Vano tidak berteriak seperti cewek-cewek kebanyakan yang kaget. Selain fakta kalau
dia cowok, Vano juga tidak mungkin menonjok tangan setan itu.

"What are you doing here?"

Lampu tiba-tiba menyalah dan menampakkan sesosok wanita cantik yang kini duduk di
sampingnya dengan tangan yang memegang balok es.

"Kok kamu tau sih?"

Vano hampir saja terkena serangan jantung dan tersedak ludahnya sendiri begitu
mendengar suara itu. Lebih nyata.

Entah apa itu maksudnya kok kamu tau sih. Tapi Vano yakin seratus persen soal salah
kaprah, padahal tadi dia bermaksud mau mengusir setan, tetapi kali ini dia malah tak
mau melepaskannya.

Seolah tak perduli dengan apapun, Vano langsung menarik cewek itu ke dalam
bekapannya.

"What the fuck are you doing here, my bitches." Vano mendekap cewek itu kencang
sekali, tak mau melepasnya dan mengangkat cewek itu ke pangkuannya, yang tentu
membuat cewek itu tersentak bukan hanya karena kata-katanya tetapi juga perilakunya.

"Tadi gue liat ada yang galau terus ngadu sama Mama. Eh pas yang di galauin dateng
malah di bitchy-bitchy in." Suara cowok tiba-tiba menelusuk dari arah samping. Vano
enggan menoleh karena tau dengan jelas suara siapa itu meskipun sudah hampir satu
tahun tidak bertemu.

"Padahal tadi Mama mau ngeledek dulu eh keburu di matiin lampunya."


Vano tidak perduli dengan suara yang semakin mendekat itu. Terus-terusan mendekap
cewek di pangkuannya yang sebenarnya sudah sangat tidak nyaman ini.

"Ehm, Kak?"

"Biarin sebentar. I miss you so much, Cantika Adriana."

Alasan • 22

[EDITED]

22. Project Film.

"Dio bangsaaatttt!"

Vano hendak sekali mencekik cowok yang kini tengah berlarian mengelilingi meja makan
rumahnya kala Mamanya berteriak, lagi.

"Revano! Ngomongnya yah!"

Vano menghempaskan bokongnya di kursi makan dengan sebal selain karena keringat
yang lumayan mengucur melalui pelipisnya. "Gatau ah Mama sama aja kayak Claudio.
Ngeselin."

"Idih manja banget lu," kata Ferli yang membuat Vano shock seketika.

"Mah?"

"Lagian kamunya sih ada-ada aja. Ini Cantikanya udah dateng. Di pangku doang. Katanya
mau ciu--"

"Mama!!!!!!!!!"

•••

Cantika dan Claudio sampai di rumah setelah susah payah berdebat.

Mama Vano meminta Cantika untuk menginap bersama Claudio di rumahnya sementara
menunggu Juliana dan Adrian yang baru akan sampai besok pagi di Jakarta. Tetapi Vano
mengatakan "nggak baek, Mah. Anak perawan masuk ke lubang buaya. Mama sendiri kan
yang bilang."

Dan sebagainya sehingga baru lah Claudio dan Cantika bisa pulang dan merebahkan tubuh
mereka. Beruntung ada penjaga yang selalu membersihkan rumah selagi mereka pergi.

Cantika menyuruh Claudio turun untuk memakan makanan yang mereka beli saat di jalan
tadi. Dan saat Claudio turun, Cantika malah ingin segera menendang bokongnya keluar
rumah.
"Cie yang mukanya berseri banget abis ketemu sama doi. Di peluk erat dalam pangkuan."

Pletak!

Untung hanya botol plastik, tetapi Claudio merengek karena lumayan sakit juga.

Cantika menggetok kepala Claudio dengan botol aqua yang masih berisi hampir setengah
ke bahunya, membuat Claudio meringis dan memegangi bahunya sendiri.

"PMS lu yak," getutu Claudio.

"Bang, apasih. Udah makan aja lah." Cantika menyodorkan lauk dan nasi ke arah Claudio.

Hening saat makan. Sampai Claudio bersuara, "Gak mau hubungin temen-temen lo yang
disini?"

Cantika langsung tersenyum seolah setuju. "Nanti aja deh di kamar ngehubunginnya."

"Anu," kata Claudio, sedikit bingung. Dia meletakkan sendoknya dan menatap sang adik.
"Kalo temen lo ngehubungin juga kabarin gue ya."

Cantika menaikkan alisnya, "Temen yang mana?"

Claudio memutar bola matanya dengan gerakkan malas. "Lo punya temen yang bener-
bener deket banget siapa sih selain satu orang?"

Cantika membelalakkan matanya tidak percaya. "Bang!?"

"Ya, ya, oke. Zanufa ya. Awas aja lo bilang-bilang."

Cantika langsung menggebrak meja dan bangkit dari posisinya. "Abang jatuh cinta lagi!
Alhamdulillah!!!!!"

Cantika tidak tau bagaimana mengekspresikan perasaannya kali ini mengenai Claudio:
senang, bahagia, tak percaya, kaget, luar biasa, dan sebagainya. Intinya dia bahagia
mengetahui kakaknya itu sedang jatuh cinta, apalagi dengan orang baik seperti
sahabatnya, Zanufa. Hampir sama bahagianya saat Claudio menyukai Catalia. Tetapi
sepertinya perasaan diantara keduanya kini sudah berubah.

Cantika berlari keatas menuju kamarnya dan tidak memerdulikan Claudio yang sekarang
berteriak-teriak memanggil namanya serta beberapa kali merutuki dan menyumpahi.
"Dek, sampe lo berani bilang gue kutuk lo jadi dugong!"

Cantika menutup pintu kamarnya dan lantas menguncinya.

Di kamar, ia membuka macbook dan menghubungi sahabatnya lewat skype.

Cantika Adriana: Zan! Ini Cantikaaaaaa. Vidcall yuk!

Incoming call. Video.

Revano Prasetya.
Cantika membelalakkan matanya, lagi. Bukannya tadi dia mengajak Zanufa untuk video
call, tetapi kenapa malah Vano yang justru menghubunginya? Lagi pula, dari mana Vano
bisa tau mengenai akun skype milik Cantika?

Cantika entah mengapa merapihkan tatanan rambutnya yang jelas acak-acakkan karena
habis berlari dan juga wajah kumelnya.

"Hai," sapa Vano dengan sedikit tersenyum kikuk begitu Cantika mengangkat
sambungannya. Cantika balas tersenyum tapi tidak mengatakan apa-apa, seolah menunggu
kata selanjutnya yang akan dikatakan Vano.

"Do you ready for tomorrow?" Tanya Vano, agaknya membuat Cantika kikuk dan bingung
karena tidak mengerti dengan apa yang di maksud Vano.

"Are you." Cantika menginterupsi dan Vano memutar bola matanya.

"Are you ready for tomorrow?" Vano mengulangi.

Kata Cantika, "Tomorrow?"

Vano mendesah sedikit kecewa. "Our movie, ofcourse. The shooting."

Cantija langsung merubah ekspresinya seperti: ohiya, itu doang.

"Oh! Ofcourse, I'm ready!" Pekik Cantika, entah dari mana mendapatkan suara yang
begitu bersemangat.

"Dek!"

Suara Claudio terdengar dari luar. Menggedor-gedor pintu kamar Cantika. Seketika pipi
Cantika bersemu begitu mendapati Vano tengah menahan senyumannya.

"Kenapa lagi itu si Dio?" Tanya Vano seolah tengah menebak-nebak situasi. Membuat
Cantika semakin bersemu karenanya.

"Biasa," kata Cantika. "Gebetan."

Mata Vano membelalak, "Dio suka sama cewek!? Astagfirullah, siapa?!" Minatnya
teralihkan seketika. Bukannya untuk pedekate, malah bergosip.

"Eh--" Cantika kelimpungan. Tidak mungkin dia membeberkan rahasia kakaknya kepada
sahabatnya kalau tidak menunggu dia yang jujur sendiri. "Belom tau siapa sih, masih
nebak-nebak."

Vano mengangguk-angguk, tetapi tiba-tiba saja dirinya kehabisan topik dan tak tau
harus melakukan apa lagi selain memandangi Cantika.

"Cantika Adriana Kam-Se-U-Pay!!!" Suara Claudio memecah keheningan, menggedor-


gedor pintu kamar Cantika untuk yang ke sekian kalinya.

"Astagfirullah, Abang....." Cantika geram bukan main.


"Yaudah sana, di tindak lanjuti aja dulu si Dio sebelum makin sarap. Abis itu tidur ya,
Tik. Jangan capek-capek. See you tomorrow, nice dream."

Cantika sampai-sampai lupa bernapas dan bertingkah seperti barusan adalah sekelebatan
angin saking cepatnya Vano berbicara dan membuat Cantika termangu di tempatnya.

•••

Vano begitu bersemangat pagi ini.

Selain karena projek film pertamanya juga tentu saja karena Cantika akan berada disana
setelah ini.

Shooting film akan berlangsung paling lambat sepuluh hari, kalau cuaca terus menerus
mendukung. Dan pada hari terakhir atau lebih tepatnya empat hari, mereka akan
melakukan shooting di benua sebelah. Australia tentu saja. Projek film besar yang
menakjubkan dengan sutradara besar dan juga penulis besar. Vano jadi bangga akan
prestasi yang akan segera di raihnya.

Vano merapihkan lagi tatanan rambutnya untuk ke sekian kalinya sebelum meraih kunci
motornya dan berlari kecil turun kebawah setelah memastikan ponsel dan dompetnya
terbawa.

"Ehm." Ferli berdiri di samping tangga saat Vano hendak meluncur turun, tangannya
memutar-mutar kunci mobil. "Yakin mau pake motor?"

Vano menyambar kunci itu dan mengecup Mamanya singkat sebelum kabur dan berseru,
"I love you, Mah!"

"Emang dasar anak muda jaman sekarang," gerutu Mamanya.

Vano sampai di lokasi shooting tepat tiga puluh lima menit setelahnya. Ia keluar dari
mobil sampai ia seolah di sadarkan mengenai sesuatu.

"Astagfirullah." Naskahnya tertinggal di jok motor. Bagus sekali Vano ganteng.

Vano merutuki dirinya sendiri karena naskah pribadi miliknya begitu penting.
Sebenarnya, ia bisa saja dengan mudah mendapatkan naskah yang masih baru di
fotokopi, tetapi naskah miliknya berbeda, naskah itu spesial. Sudah banyak stabilo hijau
maupun kuning yang ia tandau dan tulis dengan pensil, berisi berbagai macam peringatan
untuk dirinya sendiri di setiap adegan dan pengubahan kata-kata yang sekiranya nyaman
diucapkan untuk dirinya sendiri namun tidak melenceng.

Vano mendesah sebal, namun tetap melanjutkan langkahnya menuju tenda putih
berukuran cukup besar yang jelas di sediakan untuk para aktor dan aktris, dimana di
dalamnya sudah di sekat menjadi beberapa ruangan: ruang ganti, ruang make up, ruang
kostum, dan ruang santai. Di setiap ruangan di letakkan AC berdiri dengan suhu 16
derajat. Toilet berada di depan tenda, toilet umum.
Menyibak gordeng dan melangkah masuk, Vano tidak menemukan pemandangan yang
sekiranya dapat membangkitkan semangatnya.

Ia menuju ruang kostum dan mendapati sahabatnya tengah mencocokkan berbagai


macam pakaian disana. Tepat saat itu juga dirinya menoleh.

"Panoan!"

"Ejablay!"

Seru mereka bersamaan dan langsung berpelukkan gaya ibu-ibu arisan sembari mengecup
pipi satu sama lain.

"Astagfirullah." Fifi langsung menutup gordeng ruang kostum dan tidak jadi masuk
kedalam begitu melihat pemandangan di hadapannya.

Eza langsung duduk di pangkuan Vano. Ralat, di samping Vano. Dan mereka mulai cerita
tentang kejadian yang berlangsung semenjak terakhir kali mereka bertemu setelah ujian
nasional.

"Jadi, beneran Cantika?" Eza rupanya masih tidak percaya dengan kenyataan mengenai
Cantika yang akan menjadi salah satu lawan mainnya. Vano mengangguk antusias.

"Gila, dua film sama doi. Gue rasa kita jodoh." Eza memandangi langit-langut ruangan
seolah tengah membayangkan sesuatu.

Pletak!

Jitakkan mulus mendarat di kepala Eza, membuat seluruh lamunannya terbuyarkan


menjadi abu. Vano baru saja menjitaknya dengan tulang jari tengahnya.

"Tai, itu sakit banget sumpah," gerutu Eza sembari memegangi kepalanya yang terasa
berdenyut.

"Eh mana lo anjing, traktir gue beli martabak green tea sama red velvet di Tebet!"
Tukas Vano, seolah teringat akan sesuatu dan ia pun mengeluarkan ponselnya.

Eza terlihat tidak terima, "Apaansi anjing, lo baru tujuh ratus tai. Gue aja mau enem
ratus susah banget."

"Mampus tadi pagi gue udah ngecek lapan ratus dua! Lo mah masih jauh! Traktir gak mau
tau."

Ya, Vano dan Eza tengah bertaruh semenjak mereka masing-masing nengetahui kalau
mereka menjadi lawan main di film layar lebar yang sama. Bertaruh apakah followers Eza
di instagram sudah dapat mencapai enam ratus ribu sebelum shooting di mulai, dan angka
delapan ratus ribu untuk Vano. Dan kini ternyata Vano yang memenangkannya.

"Ah curang banget tai," gerutu Eza.


Kini rupanya Vano yang nampak tidak terima. "Mana curang si, udah sportif gini. Terima
ajalah, traktir gue. Oke?"

Vano sedang mengedipkan matanya kala tiba-tiba saja Agis masuk dan menggelengkan
kepala sambil berdecak. Kedua tangannya di lipat di dada.

"Gue ngeri laporan Fifi bener," gumam Agis yang tidak di mengerti oleh keduanya. "Udah
cepetan ganti baju abis itu make up! Pemeran utama ceweknya lagi otw!"

Itu berarti yang di maksud oleh Agis adalah Cantika.

•••

Vano beserta Eza baru saja selesai berakting adegan mereka bersama.

Eza masuk ke tenda sementara Vano duduk di bawah tempat duduk teduh payung dengan
asistennya yang menyodorkan tisu dan juga segelas es kepadanya.

"Naskah gak, Van?" Tanya sang asisten, Galuh. Vano mengangguk dan Galuh bangkit
untuk mencari naskah baru bagi artisnya.

Selagi Vano menunggu, ia tiba-tiba saja merasakan kehadiran seseorang yang duduk di
sampingnya dan tiba-tiba udara menjadi sejuk. Vano menoleh dan mendapati Cantika
disana.

Vano tak dapat menahan seulas senyuman di wajahnya kala mendapati Cantika juga
tengah melihat ke arahnya.

"Udah puas ngeliatinnya?" Goda Vano, dan pipi Cantika seketika bersemu merah. Jadi,
cewek itu membalikkan tubuhnya dengan malu.

Vano meletakkan es nya dan Galuh datang untuk sekedar memberinya naskah, setelah itu
pergi lagi.

"Acting kakak bagus banget."

Vano menoleh, "Panggil aja Vano. Oke?"

Cantika ikut menoleh tertapi dengan gerakkan kikuk, "Ehm, oke," katanya.

"Jadi?"

"Acting Vano bagus banget," ulang Cantika. Tetapi masih sedikit ragu jadi perkataannya
hampir seperti di sertai tanda tanya.

"Jangan gitu. Gini aja: acting kamu bagus banget, Van." Vano merubah suaranya hampir
seperti penyanyi opera segingga Cantika tak dapat menahan tawanya.

Cantika tertawa dan matanya menyipit.

Vano pernah melihat itu. Saat mereka berada di UKS.


"Cantik," puji Vano. Tetapi sepertinya Cantika salah kaprah jadi dia langsung mendongak
seolah Vano memanggil namanya.

"Kenapa, Kak?" Tanya Cantika, dan saat itu juga Vano seolah baru sadar kalau Cantika
benar-benar Cantik dan dia salah menyebut nama Cantika dengan menyatakannya Cantik
sehingga membuat Cantika salah kaprah mengira Cantik adalah panggilan dari Vano
padahal itu adalah pujian untuk Cantika kalau Cantika itu Cantik.

"Cantika cantik." Vano memutuskan untuk mebgeluarkan kata-kata itu dan mendapati
Cantika yang lagi-lagi bersemu.

"Eh--" Cantika sedikit gelagapan sepertinya. "Makasih........Vano."

Vano jelas-jelas tak dapat menahan seringaian jahilnya. Sehingga ia mencolek pipi
Cantika, membuatnya menoleh dan langsung di kagetkan dengan bibir Vano yang
menempel cepat di pipinya.

"E-eh?" Mata Cantika berkedip jutaan kali dengan cepat, tidak percaya apa yang baru
saja terjadi barusan.

"Udah siap buat adegan ciumannya belom?"

Dan, jantung Cantika sudah melompat ke kolan renang terdekat sebelum dirinya terkena
serangan jantung.

Namun tiba-tiba pikiran jahil terbesit di benak Cantika. Entah mengapa dia balik
menatap Vano sehingga wajah mereka berhadapan dengan jarak setenga senti.

"Ciumannya yang romantis sama lembut ya, Revano Prasetya."

Sekarang giliran dunia Vano yang di jungkir balikkan. Sepertinya dia sudah tidak
sadarkan diri saking gemetarnya.

Alasan • 23

[EDITED]

23. Abaikan Peraturan.

Shooting berjalan dengan lancar.

Cantika tengah kesusahan menarik kopernya karena batu-batu kerikil di sekitar tenda
besar kala tiba-tiba saja ada yang mengambil alih koper itu darinya.

Vano.

Cantika jelas tak dapat menahan senyumnya kala cowok itu langsung mengangkat
kopernya seperti tas ke dalam tenda besar. Ia melangkah di belakangnya dan ikut masuk.
"Tuan puteri gak boleh bawa yang berat-berat," goda Vano saat mereka sudah sampai di
dalam. Vano sengaja mendekatkan lokasi koper Cantika dengan miliknya.

Sejujurnya Cantika masih agak kikuk setelah adegan ciuman mereka kemarin, tetapi
Vano malah terlihat semakin bahagia karena auranya bahkan berpendar kemana-mana.
Jadi, Cantika memutuskan tidak apa-apa kini kalau mereka duduk berdampingan.

"Denger-denger," kata Vano. "Nanti kita di pesawat bakalan berduaan juga. Gatau deh,
tapi semoga sih."

Vano berbicara tanpa menatap Cantika dan itu membuat Cantika makin gemas ingin
menonjok-nonjok Vano sekarang juga karena cowok itu bahkan tak dapat menahan seulas
senyum di wajahnya.

"Kita liat aja, tapi kayaknya di mobil aku gamau sebelahan ah sampe bandara. Bosen."
Cantika balas menggodanya dan membuat Vano menolehkan kepalanya secepat kilat serta
memberikan tatapan tajamnya seperti biasa.

"Bosen?" Ulang Vano berusaha tak memekik, tetapi jelas ia kecewa.

"Bercanda."

Bagaimana hisa Cantika bercanda dengan nada sedatar itu? Vano jadi tidak yakin. Tetapi
bibir gempal Cantika menggodanya dan Vano harus menggelengkan kepala sebelum
dirinya khilaf. Mengingat mereka hanya berdua di dalam sini.

"Mobilnya kemana sih?" Vano berusaha mengalihkan perhatiannya dengan menggerutu


yang sekiranya agak sedikit berhasil.

Cantika mengangkat kepalanya untuk mendongak ke luar pintu, melihat pemandangan di


depan sekiranya ada sekumpulan orang tetapi tidak dengan mobil yang akan mengangkut
mereka menuju bandara.

Hari ini adalah perjalanan mereka menuju Australia untuk memulai sesi shooting. Di
tengah-tengah shooting nanti Cantika akan memotong sedikit rambutnya untuk
mendalami peran. Mereka shooting di sana untuk menjejalkan mengenai awal pertemuan
mereka juga akhir pertemuan mereka. Sementara pertengahan adegan seluruhnya sudah
selesai di Indonesia.

Cantika tak pernah berkhayal kehidupannya akan seperti ini. Ia tak jago berimajinasi.
Tetapi kehidupannya seolah telah di jungkir balikkan dalam sekejap mata. Dan kini,
bahkan tidak sesulit dulu untuk sekedar berbincang dengan sosok idolanya: Vano.
Mereka bagaikan seperti perangko dan amplop yang melekat satu sama lain dan akan
terus di satukan di setiap cap pengirimannya.

Eza datang dengan tiga gelas ice tea di tangannya dan berdeham sehingga melempar
Cantika kembali ke dunia nyata.
"Ganggu gak?"

Vano ingin sekali menjawab dengan cepat: iya, lo ganggu. Sekarang mendingan lo pergi
keluar sebelum gue tendang pantat lo ampe ke Australia duluan.

Tetapi Cantika berkata: "Enggak kok, Za. Duduk aja."

Dan disitu Eza sadar kalau kebiasaan Cantika memanggilnya tanpa embel-embel 'kak'
telah kembali.

"Well," kata Eza. "Sebenernya dari kemaren Gilang ngebet pengen kesini."

Dan saat itu juga Eza merasakan sengatan listrik di sekujur tubuhnya. Ia menoleh dan
mendapati tatapan membunug milik Vano sehingga tangannya sontak terangkat
membetuk antara telunjuk dan jari tengah seolah minta berdamai.

"Terus kenapa gak kesini?" Tanya Cantika, dan membuat Vano ingin membenturkan
kepalanya sekarang juga.

Pendekatan macam apa ini? Di ganggu oleh dua virus kembar seperti Eza dan Gilang yang
notabenenya adalah sahabatnya sendiri. Vano merutuk dalam hati.

"Gak boleh sama Vano," jawab Eza enteng.

Sekarang Vano malah ingin membenturkan kepala Eza ke dinding terdekat yang
sekiranya di penuhi paku-paku. Dia bahkan tak pernah melarang Gilang untuk kesini, tau
kalau Gilang mempunyai keinginan itu saja baru tadi. Bagaimana mungkin ia bisa
melarangnya?

"Dilarang Vano?" Ulang Cantika, kini matanya beralih sedikit ke Vano selama sepersekian
detik.

"Gak deng," kata Eza. "Bercanda."

Selera humor Eza memang kadang-kadang begitu payah. Receh.

"Intinya Gilang nitip salam buat lo," kata Eza.

"Waalaikumsalam." Seratus persen itu bukan Cantika. Tetapi Vano yang menjawab
sembari memutar bola matanya.

Eza menghela napas tanda menyerah. Sebenarnya ia senang juga mengerjai Vano, tapi
dirasanya pasti Vano sangat-sangat-sangat-sangat merindukan Cantika sampai tidak
merelakan sedetikpun luput darinya. Jadi Eza bangkit dari posisinya.

"Sepuluh menit lagi berangkat, mobil dikit lagi sampe. Diminum juga tuh esnya."

•••

Vano tak pernah merasa sebahagia ini kalau bersama dengan cewek selain Ibunya,
bahkan tidak dengan Dira.
Di mobil, Vano bersebelahan dengan Cantika. Dan saat mereka di berikan tiket dengan
nama masing-masing pun, betapa bahagianya mereka duduk bersebelahan lagi.

Vano rasanya jadi malu sendiri kalau lama-lama bersebelahan dengan Cantika seperti ini
terus menerus. Ia seakan dihantam ribuan kali dengan kenyataan kalau Cantika
mengetahui rahasianya.

Hari itu, saat pulang, Vano langsung marah-marah kepada Mamanya. Karena pada
faktanya, Mamanya memberi tahu Cantika soal Vano yang mencari-cari beragam cara
berciuman mulai dari artikel penjelasan hingga video praktek. Vano merasa harga
pasarnya turun seketika.

Mereka sampai dan langsung menuju hotel penginapan. Berhubung semua sudah tidur di
pesawat, jadi hanya ada waktu kurang lebih tiga jam untuk beres-beres dan makan di
restoran terdekat, sementara crew mulai menyiapkan properti di lokasi yang tidak jauh
dari penginapan.

Sampai di Australia dengan selamat, bukan pertanda baik sepertinya bagi Revano.
Karena baru saja saat dirinya keluar dari hotel menuju restoran, matanya menangkap
seseorang yang tak akan ia masukkan ke dalam daftar sepuluh orang yang akan di temui
olehnya.

Saat mereka tiba di sebuah restoran untuk makan sementara asisten membenahi
peralatan dan memesan, Vano sengaja mengajak rekan-rekannya untuk memilih tempat
sejauh mungkin di bagian atas sampai tiba-tiba sebuah suara memekik.

"Vano!"

Siapa lagi kalau bukan Terre.

Bagaimana Vano bisa se-tolol ini? Tidak pernah terpikirkan olehnya kalau Terre
sebelumnya mengatakan dia pindah ke Australia. Tetapi Australia itu kan benua luas,
bisa jadi di mana saja. Dan, kenapa mereka harus bertemu disini? Di salah satu restoran
di Sydney? Vano berharap Terre di telan ombak di Gold Coast saja barangkali.

Bukan hanya Vano yang menoleh. Cantika yang berada tepat di sampingnya dan Eza yang
berada satu lantai di atasnya juga turut menoleh. Sementara yang lainnya melanjutkan
berjalan dan mencari tempat duduk.

"Terre?" Gumam Eza dengan mata separuh menyipit. Dan, kali ini Vano yakin betul kalau
perjalanannya ke Australia akan benar-benar mengesankan.

•••

Setiap kali Vano menggeliat tanda gelisah, pasti mata Terre mendapati pergerakkannya.
Vano meraih tangan Cantika di bawah meja dan menggenggamnya kala pelayan datang
membawa pesanan. Eza memberitahu pelayan bahwa mereka bertiga ditanggung
perusahaan dan bla bla bla pelayan pun pergi.

Cantika tak menolak tangan Vano, dan malah justru menggenggamnya semakin erat,
seolah memberi kekuatan beserta sugesti agar Vano tak meledak-ledak karena tersulut
amarah yang tak lama lagi akan di picu oleh Terre.

"Jadi," kata Terre. "Kalian shooting di sini."

Vano sepertinya enggan menjawab sehingga ia menoleh kepada Eza seakan meminta
cowok yang tengah sibuk dengan green teanya itu lah yang menjawab.

"E-eh, iya," kata Eza.

Hening selama beberapa saat, hingga akhirnya Cantika mengganti tangannya menjadi
tangan kiri agar di genggam oleh Vano, walau agak sulit--ia tetap melanjutkan makan.

"Lo masih marah sama gue ya, Van?" Tanya Terre.

Vano langsung menghujatnya dengan tatapan tajam yang selalu dimilikinya. "Jangan di
tanya."

Terre mendesah kecewa, "Gue udah jelasin sejujur-jujurnya sama lo."

Vano bersikekeuh. "Iya, gue tau. Catalia juga udah jelasin lebih lanjut," katanya. "Tapi
tetep aja."

Cantika melihat rahang Vano mengatup, genggaman tangan Vano di bawah sana makin
mengeras. Cantika berusaha menenangkannya dengan ibu jarinya yang mengusap jemari
Vano. Dan beruntung, Vano meluluh.

"Tetep aja apaan?"

The foolest question, ever.

"Lo lupa selama ini yang lo lakuin ke Cantika? It was real, you hate her." Vano
memandanginya skeptis.

Eza hampir seperti menahan napas di tempat duduknya. Kikuk dengan makanannya
sendiri sesekali mengecek ponsel. Berusaha agar tidak ikut campur sebisa mungkin.

"Ofcourse."

Jawaban Terre membuat keinginan Vano untuk melempar cewek itu semakin menjadi-
jadi. Sepertinya hal yang sama juga terjadi dengan Cantika, karena seakan di tampar
masa lalu; Cantika jadi ingin mencabik-cabik Terre.

"Tapi, gue beruntung ketemu kalian disini," kata Terre. "Gue mau minta maaf secara
langsung ke Cantika. Gue sadar gue salah."
Hampir saja kepala Cantika tercelup ke mangkuk berisikan sup kalau ia tidak segera
sadar bahwa yang di katakan Terre barusan benar-benar terdengar tulus.

"Lo?" Sepertinya Vano yang mengalami gangguan telinga.

"Iya," jawab Terre, dan Vano tidak salah lihat mendapati cewek itu tersenyum. "Gue
minta maaf, atas semua yang udah gue lakuin selama ini."

Satu yang dapat di petik: orang jahat sekalipun memiliki hati nurani kala dirinya sadar.
Terre seperti itu. Tetapi berlaku juga kah bagi Andira yang bahkan tidak pernah
berusaha sedikitpun, tentang Cantika? Si penjahat sebenarnya yang menyakiti Cantika
secara tidak langsung.

"Iya, Kak Terre."

Terre tak dapat menahan seulas senyum di wajahnya mendengar jawaban Cantika. "Gue
rasa, gue mau nonton kalian shooting. Jadi, dimana aja lokasinya?"

•••

Sejak dua hari lalu, kalau lokasinya terjangkau: Terre sesekali datang ke lokasi shooting
untuk menonton dan menyoraki paling keras saat selesai.

Pertemanan semudah itu.

Cantika dan Vano baru saja menyelesaikan shooting adegan mereka berdua di salah satu
tempat wisata. Sejujurnya, ini adalah adegan terakhir shooting untuk hari ini. Dan akan
di lanjutkan besok pagi di lokasi yang berbeda, setelah itu sorenya mereka akan beres-
beres untuk kembali ke Jakarta.

Hari sudah sore sekarang. Agis mengingatkan satu hal untuk sesegera mungkin kembali
sebelum pukul tujuh malam untuk beristirahat dan segala macam, ia tak mau artis-artis
hebatnya sakit sementara besok masih di haruskan shooting.

Vano menghampiri Cantika yang sepertinya baru saja mencuci muka karena wajahnya
terlihat begitu cerah. Mereka bertemu pandang, dan Vano menghampiri Cantika.

"Wanna break the rules?"

Bagaikan di hipnotis, Cantika mengangguk saja.

Bermodalkan sisa uang belanjaannya yang berada di kantung celana sebesar dua puluh
satu dollar Australia, Cantika berjalan di gandeng oleh Vano. Ralat, di tarik.

Vano mengajak Cantika menaiki salah satu bis yang akan membawa mereka menjauh.
Saat di dalam, Vano menggesekkan kartu yang bahkan Cantika tak pernah ketahui.

"Pernah kesini?"

Hanya itu yang terlintas di kepala Cantika. Bukan pertanyaan seperti mau kemana
mereka dan apa yang akan mereka lakukan.
Vano mengajaknya duduk di sisi sebelah kiri bis dan baris ke empat. "Dua kali,"
jawabnya.

Dan, Cantika tau apa kelanjutan kata-kata setelah itu.

"Let's break the rules?" Perkataan Cantika mendekati ke nada pertanyaan, tetapi Vano
mengangguk setuju karena pada awalnya itu memang merupakan ajakannya.

"Ada beberapa tempat yang-ehm-mau aku tunjukkin ke kamu?" Agak aneh sebenarnya
bagi Vano berbicara aku-kamu dengan Cantika, mengingat status mereka yang belum
jelas.

Perlu di perjelas: BELUM JELAS.

Vano selalu mempertimbang-timbangkan akankah ia menembak Cantika lebih awal?


Tetapi ia ingin pendekatan dan hubungan yang sempurna dengan Cantika. Ia tak mau
terburu-buru, walau terkadang kenyataan menamparnya kalau Cantika sudah
menunggunya lebih lama dari pada perkiraannya. Namun tetap saja, Vano masih
membayangkan kemungkinannya untuk di tolak kalau dia menembak dalam jangka waktu
dekat.

Mereka sampai di tempat tujuan. Vano lagi-lagi menarik tangan Cantika untuk keluar dan
seakan tak sabar untuk menunjukkan keindahan kepada Cantika.

Cantika terperangah luar biasa. Mereka berada di atap salah satu bangunan di ibukota
Australia.

"Foto yuk?"

Vano mengedipkan matanya selama beberapa kali. Kemudian seulas senyum tersungging
di bibirnya.

Setelah meminta salah seorang anak kecil yang sedang bermain untuk mengambil foto di
ponsel Cantika maupun Vano, mereka berpose.

Setelah itu keduanya setuju untuk mengupload foto yang sama di akun instagram
mereka. Cantika sempat meledek Vano tentang angka likes mereka padahal Vano
mengupload foto sedetik lebih dulu ketimbang Cantika, tetapi perberaan likesnya hampir
beberapa ribu. Kemudian Vano merengek, mengatakan bahwa followersnya bahkan belum
mencapai satu juta sedangkan Cantika sudah menginjak angka satu koma dua juta.

"Abis premiere film juga banyakan followers Vano. Liatin aja," gerutu Vano.

Cantika mendelik ke arah cowok yang bertingkah begitu imut di sampingnya ini, "Naik
dua ratus ribu kalo gitu?" Cantika berusaha dengan keras agar nadanya terdengar
seperti cemoohan.
"Ini aja udah sembilan ratus ribu. Liatin aja, nanti langsung satu koma lima." Vano
mengetik sesuatu di ponselnya dengan gerakkan sebal yang membuat Cantika terkekeh
kecil.

Bagaimana bisa Vano seimut ini?

"Berarti nanti followers Cantika jadi satu koma lapan."

Vano menatapnya dengan kesal dan membuat Cantika menyembur tawanya.

"Gak bakal!" Tukas Vano sebal. Ia ingin sekali menarik Cantika kedalam pelukannya dan
mengetekinya terus menerus sampai cewek ini melolong minta di lepaskan. Tetapi kini
matanya mendapati binar pada milik Cantika.

"Taruhan?" Tawar Cantika.

"Apa imbalannya?" Vano sepertinya mulai hendak memanfaatkan situasi.

Cantika tampak menimang-nimang jawabannya sesaat. "Satu permintaan?"

Vano mengangguk setuju penuh arti.

"Deal."

Alasan • 24

[EDITED]

24. Premir Kita.

Cantika ingin sekali mengadakan pesta tumpeng di rumahnya.

Selain karena proses filmnya sudah selesai, ini juga mengenai Vano.

Sudah dua bulan semenjak kepergian mereka ke Australia dan kini kembali ke Jakarta
dengan selamat dan melaksanakan aktivitas masing-masing.

Cantika bahagia, karena saat dirinya menyangka Vano akan menjauh setelah proses
pembuatan film selesai, namun pada kenyataannya tidak seperti itu. Vano makin sering
merayu Cantika dan menandakan seolah dirinya juga memiliki ketertarikan yang sama
dengan Cantika.

Seperti sekarang ini, saat Vano menelponnya dan mengajaknya untuk keluar bersama,
sekedar makan malam.

"Di mana?" Tanya Cantika kepada Vano di seberang sana.

"Rahasia," jawab Vano.


Cantika menjatuhkan bokongnya di kasur dan menatap langit-langit kamarnya. "Jadi,
harus pake baju apa?"

Vano terkekeh di seberang sana. "Senyaman kamu aja."

Bukankah Vano merupakan cowok idaman hampir semua cewek apalagi tau tingkahnya
yang begitu menggemaskan, imut, dan juga manis di saat-saat seperti ini?

"Hm," gumam Cantika yang sebenarnya tengah memilin-milin pakaian yang sekiranya
cocok ia kenakan dalam benaknya.

"Jam tujuh ya."

"Siap."

Dan Cantika yakin betul setelah ini dirinya akan kelimpungan walaupun jarum jam masih
menunjuk ke angka empat sore.

Tangannya mengutak-atik ponselnya, mencari kontak yang hendak ia hubungi selanjutnya.

"Zanufa, lo harus ke rumah gue sekarang juga."

•••

Zanufa itu cantik. Pintar. Sodara-sodaranya ganteng, dan artis. Cantika rasanya mau
mencoba sekali-sekali bertukar kehidupan dengannya. Tapi, setelah kejadian yang satu
ini..

Enggak deh, makasih banyak.

Sekarang Cantika harus berhadapan dengan Zanufa dan satu orang cowok yang masuk ke
dalam kamarnya.

Gilang namanya.

"Pulang napa," gerutu Zanufa untuk yang ke dua ratus kalinya. Hampir pasrah dan seolah
energinya terkuras banyak sekali, Zanufa jatuh duduk terkulai di antara lekukan kakinya
sendiri.

"Ih, gamau." Gilang cemberut lagi. Dia menarik tubuh Zanufa untuk berdiri, dan sesekali
bertemu pandang dengan mata milik Cantika. Sementara Cantika, tidak tau harus apa;
jadi dia memerhatikan saja dengan kikuk.

"Gapapa kan, Tik? Bentar doang, kangen." Gilang menunjukkan cengirannya kepada
Cantika. Yang mau tidak mau Cantika balas dengan anggukkan dan cengiran kaku.

Matanya menoleh ke arah jam dinding, jam lima lewat. Persiapan, Cantika harus mandi,
ngeringin rambut, nyatok, milih baju yang simple tapi keren, milih sepatu, dandan tipis
setipis mungkin, dan cari tas yang sesuai dengan bajunya yang semuanya harus siap
sebelum jam tujuh. Tapi karena kedatangan Gilang, Cantika merasa perhitungannya akan
gagal total.
"Sebenernya, Tik--" Gilang mengambil ancang-ancang seperti ingin membicarakan
sesuatu yang serius.

Stop.

Cantika tidak mau mendengar apa-apa. Cantika ingin menutup telinganya serta
menggelengkan kepala dengan cepat sembari menutup mata dan berteriak "Tidaaakkk!".
Tapi yang terjadi hanyalah: Cantika memerhatikan Gilang yang nampak gelisah dan
menunggu.

Gilang akhirnya merogoh sakunya dan mengeluarkan sesuatu dari sana. "Gue sebenernya
cuman mau ngasih ini." Gilang menyodorkan benda itu kepada Cantika.

Walau ragu pada awalnya, Cantika meraihnya dan berkata, "Makasih, Kak." Dengan
lembut sekali. Sampai-sampai membuat Gilang ingin menggesekkan kepala di bahu
Cantika seperti kucing dan tidur di pangkuannya.

Itu sebuah gelang.

Gelang yang sangat indah dengan pernak-pernik. Cantika memerhatikannya dengan


seksama dan tersenyum bahagia. Gilang yang melihat itu kontan tersenyum juga.

"Di pake ya pas premiere," kata Gilang. "Gelang dari Gilang."

•••

"Nah!"

Zanufa terlihat puas dengan hasil karyanya sendiri. Dia mencatok rambut Cantika
sehingga terlihat curly di bagian bawah, dan dirinya puas akan hal itu karena setiap kali
di curly maka Cantika akan terlihat menakjubkan.

"Yaudah gue pulang ya, Tik. Nanti kak Vano nya keburu dateng." Zanufa meraih tasnya
dan bersiap-siap mau keluar dari kamar Cantika.

"Makasih banyak, Zan." Cantika tersenyum senang dan memeluk sahabatnya itu. "Pulang
sama siapa?"

"Iyah, sama-sama Cantikkuh," ucap Zanufa. "Naik ojek kayaknya."

Cantika tersenyum penuh arti. Pikirannya langsung melayang kemana-mana. Ia langsung


terpikirkan sebuah strategi yang bagus untuk ini. Inilah kesempatannya. Pasti kakaknya
sudah lama menunggu untuk mendapat kesempatan ini, dan inilah saatnya Cantika balas
budi akan segala kebaikkan kakaknya yang luar biasa charming itu.

"Mau dianter pulang sama ojek ganteng?" Tawar Cantika, dan Zanufa menautkan kedua
alisnya.

"Ojek ganteng?"
"CLAUDIO ADRIAN!!!!" Cantika memekik dan hampir membuat gendang telinga Zanufa
pecah. Untung Zanufa menutup telinganya.

Tak lama, Claudio masuk ke kamar Cantika dengan tergesa-gesa. "Kenapa, Dek!?"
Suaranya terdengar begitu panik. Matanya menjelajah ke seluruh ruang kamar Cantika,
tidak ada yang aneh. Kecuali pemandangan lain yang membuatnya terpaku kepada cewek
di hadapan Cantika.

"Eh, Zanufa." Claudio terlihat kikuk.

Cantika hampir saja tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi salting kakaknya.


Kakaknya itu kadang pemalu, kadang percaya dirinya bukan main.

"Hai, Kak," sapa Zanufa dengan senyumannya. Zanufa terlihat nyaman-nyaman saja.
Entah perasaan Cantika saja atau apa, tapi rona di pipi Zanufa makin cerah.

"Zanufa butuh tumpangan sampe rumah. Mau jadi supir ganteng atau ojek ganteng?"
Goda Cantika dan langsung mendapat hujatan dari Claudio.

Claudio melihat Cantika menggerakkan dagunya seolah berkata buruan. Gas lah. Dan saat
itu juga Claudio mengerti dan bersyukur: ternyata adiknya tau diri.

"Yaudah, yuk Zanufa." Claudio entah kenapa telah mendapatkan kembali rasa percaya
dirinya, sehingga dia bahkan menjulurkan tangannya seolah-olah hendak menggandeng
Zanufa.

Sekarang giliran Zanufa yang salah tingkah.

"Gak papa nih, Kak?"

Claudio tersenyum dan mengangguk. Dan saat itu juga, Zanufa menerima tangan Claudio
dan berjalan menjauh dari kamar Cantika.

Cantika senang sekali mendapati bahwa kakaknya sudah bisa jatuh cinta lagi. Mengingat
gagal move on nya selama ini dari Catalia. Dan Cantika senang begitu tau orang yang di
sukai kakaknya adalah cewek baik dan sahabatnya sendiri. Zanufa.

Asik dengan pikirannya sendiri, Cantika tiba-tiba saja mendapati sosok cowok dengan
balutan kaus putih dan jacket kulit cokelatnya, serta jins yang sobek hanya di sebelah
kanannya serta sepatu converse ukuran panjang yang di kenakannya.

Itu Vano.

Vano menghampiri Cantika dan melepas jaketnya, menampakkan sedikit bayangan tubuh
Vano, kemudian duduk di samping Cantika dengan seringaian penuh di wajahnya.

"Jadi, date sebelum premiere?"

Cantika tak dapat menahan senyumannya mendengar kata-kata itu dari Vano.
Mereka akhirnya turun ke bawah dan menuju mobil Vano. Hampir saja Cantika protes
takut Vano masuk angin kalau membuka jaketnya dan naik motor ninja merah
kesayangannta. Tapi rupanya kali ini Vano membawa mobil jazz miliknya sendiri yang
berhasil ia beli dari jeri payah sendiri. Bukan tipikal mobil mahal seperti Mamanya atau
Papanya, atau bahkan Claudio. Tetapi Vano senang tidak merepotkan orang tuanya
dengan merongrong meminta di belikan mobil pribadi.

Masuk ke dalam mobil, dan Cantika makin tidak bisa menahan senyumannya apalagi
mengingat-ingat Vano baru saja mengatakan 'date'.

Mobil melaju, dalam tiga puluh menit lebih, mereka sampai di tempat tujuan. Salah satu
restoran di SCBD. Tidak begitu macet mengingat ini hari Sabtu.

Mereka masuk dan mulai memesan makanan. Dan akhirnya memutuskan memilih banyak
menu agar dapat mencicipi banyak.

Selesai memesan makanan, Vano mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan sesuatu


kepada Cantika.

"Satu koma lima, sebelum premiere. Lima ratus ribu lebih dalam dua bulan," kata Vano
dengan senyuman bangganya. Cantika menahan tawanya. Kemudian ia menekan sesuatu di
layar ponsel Vano dan mengembalikannya.

"Satu koma sembilan." Cantika menengadah tangannya di atas meja, menatap Vano dan
menunggu ekspresi Vano.

Vano mendesah dan membalik ponselnya. "Kalah dong. Gabisa minta satu permintaan
dong."

"But I can," ujar Cantika.

Tak lama, makanan sampai, Cantika memainkan ponselnya hendak snapchat tapi masih
dalam posisi seperti itu.

Vano menarik lagi ponselnya dan menyuruh Cantika tahan posisi, tetapi Cantika malah
menoleh.

Vano pun langsung mengupload foto Cantika dan menulis caption serta menandai Cantika
disana.

"Makan dulu ya sebelum premiere besok, sama si gendut."

Cantika mendapati ponselnya bergetar dan langsung melihat notifikasi itu dari Vano.

"SIAPA GENDUT!!!?"

•••
Cantika menarik napasnya dalam. Sekarang dia sudah berada di ruang make up untuk
melaksanakan premiere.

Dalam hati, Cantika ragu mau menggunakan permintaannya kepada Vano. Lagi pula, dia
mau minta apa? Kan tidak mungkin dia meminta Vano menjadi pacarnya. Gila saja.

Tak lama, Vano keluar dari ruang ganti dan menoleh ke arah Cantika. Setelah
pertengkaran soal gendut semalam, Cantika menyadari berat badannya memang naik
belakangan ini. Tapi Vano bilang tidak apa-apa, Vano suka Cantika bagaimanapun dirinya.

Halah, jadi enak bang.

Saat makan malam pun Vano mengatakan sesuatu yang hampir sulit di percayai, seperti
saat Vano degdegan waktu Cantika memberinya bekal atau apapun.

Sekarang, Vano berdiri di hadapannya, mengenakan baju yang sama dengan Cantika. Yang
membedakan adalah Vano mengenakan hoodie sebagai luaran.

Vano menjulurkan tangannya dan mengamit tangan Cantika. "Yuk, Eza dan lain lain udah
di depan."

Dan saat itu, Cantika mengikuti gerap langkah Vano menuju panggung di depan.

Saat di perjalanan, Vano melihat tangan Cantika yang di genggamnya. Ada gelang yang
mengitari pergelangan tangannya, tetapi gelang itu baru karena semalam Vano tidak
melihatnya.

"Gelangnya bagus," kata Vano.

"Eh, iya." Cantika memutar gelangnya agar permata yang paling besar menghadap ke
depan. "Dari kak Gilang."

Hampir saja Vano menghentikan langkahnya dan tersandung tangga.

"Gilang?" Ulang Vano, dan Cantika mengangguk.

"Iya, soalnya dia gak bisa dateng. Jadi gitu deh, semacem gelang hadiah sama
permintaan maaf."

Oh.

Batin Vano lega bukan main. Sahabatnya pasti masih menyimpan walau sedikit perasaan
kepada Cantika. Dan Vano mengerti akan hal itu. Bukan perkara mudah untuk melupakan
orang yang benar-benar di cintai secara tulus. Tetapi Vano jadi belajar banyak dari
sahabatnya; bahwa ikhlas dan merelakan itu lebih mulia ketimbang berkelahi
memperebutkan demi sesuatu yang tidak pasti.

Mereka naik ke atas panggung. Dan acara pun di mulai karena semuanya sudah lengkap.
Kira-kira satu setengah jan berlangsung, di tambah sepatah dua patah kata dari sang
Sutradara mengenai film yang sudah bisa di tonton mulai hari ini di bioskop seluruh
Indonesia dan lain lain.

Kini saatnya sesi wawancara oleh beberapa pihak majalah dan televisi. Karena penonton
sudah keluar, jadi lebih seperti pertemuan dengan banyak mitra.

Waktu pun berjalan cepat. Dan semakin lama, membuat Vano keringat dingin begitu
mengingat bahwa inilah waktunya. Saat bagian terakhir acara di mana acara bebas di
mulai.

Vano meraih microphonenya dan menghela napas selagi bisa menahan rasa gugup yang
luar biasa. Dirinya belum pernah merasa segugup ini.

"Cantika Adriana," panggil Vano. Tidak hanya membuat Cantika menoleh, tetapi seluruh
perhatian. Sisa-sisa mitra yang masih ingin mengabadikab foto, crew, dan pemain lainnya.

"Kayaknya ini saat yang tepat yah," kata Vano, matanya berkedip beberapa kali.

"Diem semua, diem." Eza berbicara di balik microphonenya sepertinya mulai sadar
maksud Vano dan semua pun menaruh perhatian.

"Mau gak, anu--" Vano berkedip lagi. "Jadi.. Pacar Vano?"

Uuuuuuw.

Suara itu langsung menggema di ruangan. Ditambah keimutan Vano dari cara bicaranya
kepada Cantika. Bukan aku-kamu, tetapi menyebutkan nama.

Cantika mengerjapkan matanya beberapa kali, sempat berharap ini bukan minpi. Tapi ia
masih merasa bahwa ini mimpi.

Eza gemas. Tidak sabaran melihat Cantika yang terperangah. Ia menyodorkan


microphone kepada Cantika agar di pegangnya sendiri.

"Jawab buruan," bisik Eza dan kembali menjauh lagi.

Giliran Cantika kini yang menghela napasnya. Ia terbayang perjuangan Vano yang
menahan malu menembaknya di depan banyak media dengan keyakinan tidak semestinya
di tolak.

"Maaf kak," kata Cantika dengan lesu.

"Aku gak bisa."

Dan keheningan mengisi seluruh ruangan.


Alasan • 25

[EDITED]

25. Berani!?

Two years ago.

Cantika turun dari mobil dan langsung berlari memasuki kompleks daerah sekitar
sekolah. Tidak mau diantar Mamanya sampai dalam, dan membuatnya benar-benar
terlambat pada hari pertama MOSnya.

Terengah-engah begitu sampai di depan pagar, Cantika harus di hadapi kenyataan kalau
dia melihat serentet pengurus OSIS yang tengah menghukun para siswa MOS yang
terlambat. Cantika menghela napasnya, hendak berbalik dan pulang saja sampai tiba-
tiba..

"Heh!"

Seorang cowok dengan almamater dan nametag "G - Ketua Osis", meneriaki Cantika dan
membuat Cantika menghela napasnya panjang. Berjalan gontai menuju si Ketua OSIS,
Cantika menunduk tak percaya diri seperti biasa begitu sampai di hadapan Ketua OSIS.

"Cantika Adriana." Cowok itu mengulang nama Cantika setelah membacanya di nametag
idiot milik Cantika yang tersambung tali ikatannya dengan kunciran rambut.

"Gausah basa-basi ya," katanya. "Lo di hukum karena telat hari pertama MOS. Lo pasang
kuping baik-baik. Jangan di catet, dengerin gue dan perhatiin saat gue nunjuk. Gue
bakalan ngasih tau lo nama lengkap seluruh anggota OSIS sambil nunjuk mereka yang
mana. Dan yang harus lo lakuin adalah nulis nama lengkap mereka di kertas, jabatan, dan
ciri-ciri mereka semua. Termasuk gue."

Cantika mengangguk paham. Apakah yang lain, yang sedang menghadap masing-masing
anggota OSIS juga mendapatkan hukuman yang sama dengannya?

"Gak pake nanya karena bakalan ketauan dan juga keterangan ciri-ciri orang ngejelasin
pasti beda kan? Waktu cuman tiga puluh menit karena kita bakalan mulai upacara
pembukaan setelah itu."

"Gue Gilang Demian, Ketua Osis. Yang disana namanya-" blah blah blah.

Cantika mendengarkan Gilang berbicara. Dan hampir di saat terakhir Gilang menjelaskan,
Cantika menolehkan kepalanya menuju pos satpam, di mana dirinya merasa sedari tadi di
perhatikan dan menemukan sesosok cowok dengan tatapan tajamnya yang tengah
bersender dan melipat kedua tangannya di depan dada. Dari sini, tidak begitu jauh,
Cantika bisa melihat nametag di seragam yang di kenakannya.

Revano Prasetya.

•••
Kaget. Kecewa. Sedih.

Vano menghela napasnya panjang. Seharusnya ia sudah tau akan resiko ini, seharusnya.

Eza mendengus kecewa di belakang dan mulai berjalan semakin mundur. Tak mau
mendekati topik sensitif Vano, begitu juga dengan para wartawan yang diam membisu.
Tidak mau memulai sebelum keduanya yang memulai sendiri.

"Oke," kata Vano lesu. Ia kecewa, sakit. Seluruh tubuhnya bagai di hancurkan. Jadi,
seperti ini perasaan Cantika selama ini. Lagi-lagi karma. Jadi Vano merasa sekarang
sudah impas sakitnya dengan yang selama ini Cantika rasakan.

Apakah Cantika menolak karena semalem Vano memanggilnya gendut?

Kepala Vano memutar kisah balik. Dimana saat pertama dia melihat Cantika bermain di
halaman rumah, kemudian saat pertama kali mereka satu sekolah dan Vano melihat
Cantika dengan cara yang berbeda saat cewek itu tengah di hukum oleh sahabatnya,
bekal pertama pemberian Cantika, bekal terakhir, novel di akhir sekolah, kepergian
Cantika ke Thailand bersama rasa sakitnya sementara Vano di bodohi, kemudian
kembalinya Cantika dan proses film mereka.

Semuanya begitu terasa. Namun begitu cepat terjadi dan terlewatkan.

Ia meletakkan microphonenya dan menunduk.

Tetapi para penonton dan yang lainnya mulai ricuh melihat sesuatu di belakang Vano.
Vano yang menyadari itu langsung mengikuti arah pandang penonton ke belakangnya.

"Aku gak bisa ngebiarin kamu ngambil satu permintaan aku. Kan aku yang menang."

Di belakang Vano, Cantika memegang kue dengan senyuman lebarnya. Vano ingin
menangis, tetapi itu tidak mungkin. Mau di letakkan ke mana wajahnya nanti?

Dan saat Vano mulai bangkit, saat itu lah sorak sorai langsung memenuhi ruangan. Blitz
kamera mengelilingi dan wartawan tak henti-hentinya berceloteh akan kejadian ini.

"Happy birthday," kata Cantika tersenyum manis kala Vano sudah mulai mendekat.
"Boleh sekarang satu permintaannya?"

Vano terharu, hampir menangis tetapi ia tersenyum dan mengangguk.

"Bisa gak, nembaknya di tempat yang lebih tertutup dan, ehm--" mata Cantika
menerawang ke atas ruangan, tak berani bertemu pandang dengan cokelatnya nata Vano.
"Romantic?"

Vano tersenyum senang. "Ofcourse."

Di balik mereka, Eza langsung meraih microphone salah satu wartawan dan
menghadapkab wajahnya ke depan kamera.
"So, inilah kisah romantis antara Revano Prasetya dan Cantika Adriana. Once again,
happy birthday dude!"

Saat itu juga, saat Vano hendak memeluk Cantika. Tangan Cantika meraih segumpalan
besar kue dan meletakkannya di wajah Vano.

"You dare!?"

"I am."

•••

Belum pernah ada premiere yang se-ricuh itu. Sepanjang sejarah perfilman Indonesia.

Ini adalah yang pertama.

Setelah Vano memberitahu kepada teman-temannya kalau minggu depan akan di adakan
pesta di rumahnya, Vano mengajak Cantika pulang ke rumahnya.

Serius. Jantung Vano sempat berhenti waktu Cantika mengatakan tidak. Dan ingin sekali
rasanya Vano menenggelamkan diri. Dia tidak malu di tolak di depan umum, lagi pula ini
soal cinta bukan soal harga diri, walaupun ya sedikit sih. Tetapi tetap saja walau hanya
bercanda dan merencanakan kejutan, itu sangatlah menyebalkan.

Vano bahkan tidak ingat kalau hari ini adalah hari ulang tahunnya.

Vano dan Cantika menghabiskan malam di rumah Vano, sementara Ferli menyediakan kue
super besar di rumah untuk di makan.... Bertiga.

"Mama ke atas ya, Papa kayaknya gak pulang. Mau galau dulu."

Dan kemudian berlalu. Meninggalkan Cantika juga Vano di ruang makan.

Vano terdiam menatap Cantika, begitu juga dengan yang di tatap. Mereka saling tatap-
tatapan hingga salah satu dari mereka tidak tahan dan salah tingkah.

Cantika tentu saja.

"Udah ah," gerutu Cantika, memalingkan wajahnya yang bersemu. Vano terkekeh pelan
dan meletakkan tangannya di pipi Cantika, memintanya untuk menoleh ke arah Vano dan
kembali menatapnya.

"So," kata Vano. "Mau di tembak di tempat yang tertutup dan romantis?"

Cantika kembali bersemu dibuatnya.

Vano bangkit dan berdiri di samping Cantika. Menjulurkan tangannya untuk Cantika raih,
tetapi ternyata dugaan Cantika salah. Karena saat Cantika baru saja menyentuh tangan
Vano, Vano langsung menarik tangannya dan menggendongnya gaya membawa karung
beras.
"Vano!!!!" Pekik Cantika, meronta-ronta. "You know, I can punch you and fight you if I
want!"

"I know that," gumam Vano. Meneruskan langkahnya naik ke atas tangga, dan tak nampak
keberatan sedikitpun. Berkat latihan, gym setiap minggunya dan inilah efeknya. Walau
masih keliatan kurus, tapi Vano sedikit berotot. Sedikit.

"Closer and romantic? I have one."

Vano membuka pintu kamarnya dan menghempaskan tubuh Cantika ke atas kasur.

"Vano...." Cantika mundur-mundur, sampai kepalanya terjeduk kepala ranjang. "Mau


ngapa--"

"Ssshh." Vano meletakkan jemarinya di tepat depan bibir Cantika, menandakan dirinya
agar diam dan tak angkat bicara lebih jauh. "Katanya mau di tembak ditempat yang
tertutup dan romantis?"

"Ya tapi--"

Vano membungkam mulut Cantika, dan membuat mata Cantika terbelalak.

Tiba-tiba Vano melepasnya, dan meraih tangan Cantika yang begitu terkulai lemas.

"Itu kado ulang tahunnya ya." Lagi-lagi Vano menggoda Cantika karena Cantika terus
menerus mengedipkan matanya. Seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja Vano
lakukan.

"Bisa main PS?" Goda Vano, memberikan stik PS, sementara Cantika masih termangu
dengan wajah merah muda dan mengedipkan matanya berkali-kali.

"Yang kalah, nembak duluan. Deal?"

Cantika kembali di hempaskan ke kenyataan saat Vano mengecup pipinya dan meletakkan
stik di tangannya.

"Deal."

Alasan • 26

[EDITED]

26. Permainan Cinta.

Cinta bukanlah permainan. Cantika mengecamkan hal itu baik-baik dalam kehidupannya,
karena meyakini akan satu hal: kalau cinta di peruntukkan main-main, maka keseriusan
bukan lagi urusan dan semua hanyalah permainan belaka.
Tetapi untuk yang kali ini, permainan dengan unsur cinta yang di jalaninya tidaklah buruk.
Yang malah membuatnya dirinya menjadi lebih bahagia.

Cantika menghembuskan napasnya untuk yang kesekian kalinya. Dia kalah lagi setelah
empat babak permainan.

"Jadi?"

Kendati mendengar suaranya membuat bahagia, Cantika malah semakin mendengus


karena nada yang digunakannya untuk berbicara begitu menyebalkan.

"Fine!" Geram Cantika, membuat cowok itu tersenyum penuh kemenangan. Siapa lagi
kalau bukan Vano.

Revano Prasetya. Sosok yang dikiranya adalah cowok dingin dan tak bersahabat,
sekarang-sekarang ini sudah menunjukkan sifatnya yang sejati: jail, ngeselin, bikin
gemes, manja, dan yang tak dapat di pungkiri adalah, selalu ganteng.

Cantika mengambil napas dalam-dalam, sembari mencari kata-kata yang sekiranya pas
untuk membuat Vano skakmat dengan kata-kata yang terdengar balik menyebalkan.
Karena, satu yang Cantika pelajari yaitu membalas Vano adalah dengan kelakuan yang
sama atau bahkan lebih menyebalkan seperti menggodanya.

"Jadi pacar mau gak?"

Pertanyaan itu akhirnya berhasil keluar dari mulut Cantika. Dengan nada begitu datar,
dan juga ekspresinya yang menatap Vano dalam diam. Vano kelihatan terguncang dan
Cantika mau tidak mau menahan tawanya dalam hati.

"Itu permintaan macam apa sih? Nyebelin banget." Vano menggerutu dan membalikkan
badannya, enggan menatap Cantika dan melanjutkan bermain Play Station sendiri.

Bagaimana bisa tingkah laku Vano seimut dan semenggemaskan ini?

"Orang katanya mau yang romantis, tapi sendirinya gak romantis," gerutu Vano lagi.

Cantika mencoba mengubah suasana, dia kepikiran akan suatu hal. Ia merubah
ekspresinya menjadi sebal, beruntung juga seorang aktris karena dapat dengan mudah
mengendalikannya. Tetapi di kehidupan nyata tidaklah mudah untuk mengendalikan
ekspresi itu karena hawa yang berbeda. Andai saja mudah seperti saat proses
pembuatan film, pasti sudah banyak aktris yang memanfaatkan bakatnya itu.

"Aturan kan aku yang ngomong gitu." Cantika balas menggerutu. "Aturan mah aku yang di
tembak dengan cara romantis. Orang aku ceweknya, masa kebalik sih."

Vano meletakkan stik Play Stationnya dan berbalik menghadap Cantika. Menelaah
wajahnya dengan datar.

"Gausah ekting," kata Vano. Begitu tepat dan menusuk.


Cantika malah jadi sebal betulan kepada cowok ini. Jadi, dia membalikkan tubuhnya dan
memunggungi Vano. Rasanya jadi kesal bukan main. Seperti ingin menangis sejadi-
jadinya. Apa Vano sebenarnya tidak ingin berpacaran dengannya? Ah, Cantika tidak bisa
menerima kenyataan itu setelah semua yang terjadi selama ini.

"Cantika," panggil Vano.

Dirinya enggan berbalik menghadap Vano ataupun sekedar menoleh.

"Cantika."

Masih terdiam di posisinya. Menyebalkan mendengar nada bicaranya yang semakin lama
malah semakin lembut. Seakan nada bicaranya tak pernah berubah sedikitpun sedetik
sebelumnya.

"Cantika."

Cantika tidak tahan lagi. Ingin sekali rasanya menoleh dan langsung menonjok hidung
Vano atau langsung menghabisinya saja agar dia tidak banyak bicara. Tetapi Cantika
tidak bisa.

Mengapa moment yang sebelumnya terasa menyenangkan jadi berubah seratus delapan
puluh derajat seperti ini?

"Sayang."

Mata Cantika hampir jatuh dari tempatnya. Ia terbelalak mendengar perkataan tersebut
dari mulut Vano. Begitu lembut dan berarti.

"Sayang, jangan ngambek dong." Vano beringsut dari tempatnya dan maju ke dekat
Cantika. Memeluknya dari belakang dan menelusupkan kepalanya diantara bahu juga
leher Cantika.

Cantika termangu di tempatnya, otaknya masih memproses kejadian ini dengan lebih
lamban dari biasanya.

"Kan pacarnya Vano pinter. Jangan ngambek lagi dong. Maafin Vano yaah."

Astagfirullah. Minta di ena-enain banget ini orang. Cantika membatin.

Dia membalikkan tubuhnya dengan tangannya yang menggenggam tangan Vano yang
sebelumnya di letakkan di perutnya untuk memeluk Cantika.

"Jadi," kata Cantika, mencoba terdengar semenyebalkan Vano saat pertama. "Aku pacar
kamu?"

Vano tersenyum dan mendekatkan kepalanya. Membuat jantung Cantika melompat keluar
dan semburat di wajahnya berubah menjadi pink hampir merah.

"Iya. Sekarang kamu pacar aku." Vano menempelkan hidungnya dengan hidung Cantika.
Tangannya kembali memeluk Cantika. "Deal?"
"Deal."

•••

Hidup memang tidak selayaknya di tangani secara terlalu serius. Terkadang, untuk
membuat hidup menjadi lebih bermakna, dibutuhkan unsur lain daripada keseriusan.
Seperti, bermain, bersenda gurau, dan lain-lain dimana kesenangan berada dan membuat
hari sekiranya menjadi lebih cerah dan berwarna.

Hari kian berlalu.

Semilir angin berhembus dengan lembutnya. Membelai pipi Cantika diiringi dengan
rambutnya panjangnya yang berterbangan.

Cantika menengadah ke atas langit, dimana bintang-bintang bertebaran dengan indahnya,


membentuk rasi rasi bintang.

Dirinya kini tengah terlentang di atas karpet yang di gelar di rooftop bagian belakang
rumahnya, dengan Vano di sampingnya.

"Gossip kita udah nyebar kemana-mana tau." Vano angkat bicara. Matanya terpejam
dengan kedua tangan ia gunakan sebagai pengganti bantal.

"Iya kan makanya kita lusa di undang ke acara talkshow," balas Cantika.

Tangan Vano di rasanya menariknya untuk mendekat. Cantika membaringkan kepalanya di


atas tangan Vano kini, sementara Vano mengetekinya. Vano harum. Itulah yang selalu
Cantika sukai darinya.

Vano mengendus rambut Cantika dan berkata, "Kita mau pake baju samaan apa gimana?"

Rupanya, kabar memang cepat meluas. Kejadian dimana Vano meminta Cantika menjadi
pacarnya saat gala premiere begitu mengguncangkan. Ditambah saat pesta ulang tahun
Vano kemarin, dimana diam-dian ada media yang hadir dan menyaksikan saat Vano
terang-terangan mengaku Cantika adalah pacarnya sekarang.

"Boleh," kata Cantika menyetujui.

"Oke." Vano mempererat jarak dengan Cantika dan kembali memejamkan matanya.
"Besok kita jenguk Gilang ya."

Cantika menyergitkan alisnya, walau ia yakin betul kalau Vano tak akan bisa melihat
ekspresinya dengan posisi seperti ini apalagi sekarang matanya tengah terpejam.

"Kak Gilang sakit? Sakit apa?"

"Sakit hati."

Cantika hampir saja berpaling dan menggetok kepala Vano saking sebalnya dengan
jawaban dari Vano yang begitu spontan dan asal-asalan.
"Serius ih!"

"Itu juga serius," kata Vano.

"Maksudnya itu sakitnya yang bener apaan, Vano jelek."

"Fitnah banget ngatain jelek."

Cantika mendengus. "Pede banget sih jadi orang. Heran dah."

"Kamu aja kagamau jujur. Aku juga engga lah."

"Idih drama bangetsih dasar cumi got," gerutu Cantika dan berhasil membuat Vano
membuka matanya.

"Apaan?" Ulang Vano, mencoba menolehkan kepalanya kepada Cantika. "Ledekan macem
apantuh cumi got?"

Cantika memutar bola matanya, "Katro banget sih Vano-ku yang ganteng," katanya begitu
sarkatis.

Vano mendengus sebal. "Iya deh aku kasih tau Cantika-ku yang cantik."

"Aneh banget sih Cantika-ku yang cantik."

"YaAllah, salah mulu yak hidup."

Sejujurnya inilah yang selalu terjadi selama hubungan mereka berlangsung sudah satu
minggu. Selalu begini. Dan tidak pernah ada habisnya kalau terus di lanjutkan.

"Kak Gilang sakit apa ih?" Tanya Cantika tidak sabaran.

"Masuk angin kali," jawab Vano lagi-lagi dengan asal. Kemudian ia mendapati Cantika
menoleh kearahnya dengan tatapan mematikan. "Yadeh." Vano menyerah.

Vano merasa kekasihnya ini seperti ibu-ibu kosan yang sedang menagih bayaran di akhir
bulan kala mahasiswa menunggak biaya sewa. Biasanya Vano adalah ahli memberikan
tatapan tajam nan dingin kepada siapapun. Tapi siapa yang sangka kalau mata Cantika
yang agak sipit itu justru malah bisa memberikan tatapan yang lebih tajam dari Vano?

"Gilang kepikiran, jadi sakit. Gamau makan segala macem gara-gara kepikiran. Dia waktu
itu gak lolos SNMPTN, terus pas pengumuman SBMPTN dia juga gak lolos, eh pas
pengumuman tes yang dia pilih buat kuliah di New York juga gak lolos. Padahal udah
berusaha semaksimal mungkin katanya."

"Yaampun."

Jawaban Cantika terdengar begitu menyebalkan di telinga Vano. Seharusnya Cantika


memberikan jawaban lebih saat dirinya sudah menjelaskan. Tetapi hanya satu kata yang
singkat padat dan jelas itulah yang dipilih Cantika.

"Gitu doang nih ekspresinya?"


Cantika membuang napasnya malas. "Kita musti ngehibur dia nih."

Vano mengangguk setuju. "Abisan dia milihnya yang tinggi banget sih kuliahnya. Orang
mah yang bagus tapi gak perlu yang nomer satu juga kalo tau otak gak mampu."

"Jangan matahin semangat gitu," tutur Cantika membungkam Vano. "Gimana kalo kita
saranin dia universitas bagus lainnya di New York apa dimana gitu?"

"Leh ugha."

"Apasih alay ah."

"Kan kamu yang ngajarin."

"Kok aku disalahin? Kamu kan emang alay dari lahir."

"Ganteng dari lahir kali."

"Ih pede banget kebiasaan, heran."

"Biarin."

"Males debat ah," gerutu Cantika. "Kalo kamu mau kuliah dimana? Selama ini kita gak
sempet bahas-bahas soal itu deh kayaknya."

Vano mengerjapkan matanya selama beberapa kali. Tidak menyangka kalau topik ini
malah justru akan berbalik dan tertuju kepada dirinya.

"Gatau aku juga masih bingung," jawab Vano jujur. Karena dirinya bahkan belum sempat
memikirkan kemana ia akan melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi saking
sibuknya dengan karirnya sebagai aktor.

"Kamu tentuin deh mendingan," saran Cantika.

Vano membatin. Sebenarnya dia sudah menentukan pilihannya. Tetapi dirinya begitu
kalut dan takut mengakuinya kepada Cantika karena sejujurnya pilihannya bahkan di
bantah oleh Papanya dan malah makin menyulitkan dirinya.

"Aku kepikiran buat masuk IKJ aja sih, gak mau muluk-muluk yang bagus banget," kata
Vano. "Tapi aku bahkan belom ngapa-ngapain. Test segala macem udah lewat. Palingan
aku masuk semester berikutnya."

"IKJ mah bagus keles," ucap Cantika.

"Bukan itu sih sebenernya yang jadi masalah," kata Vano membuat Cantika bangkit dari
posisinya. Vano mau tak mau juga ikut bangkit dan menatap Cantika lekat-lekat di tengah
udara malam.

"Terus apa?"

"Sebenernya," kata Vano. "Papa nyuruh aku masuk Film Academy."


Cantika menautkan kedua alisnya. "Film Academy?" Ulangnya.

Vano menganggukkan kepalanya. "Di California."

"California? United States of America?"

Vano menganggukkan kepalanya. Yang ia yakini menuju langkah perubahan yang besar
dalam hidupnya.

Alasan • 27

[EDITED]

27. Kita?

Vano termenung dalam posisinya.

Dirinya kini sedang menelaah ekspresi dari Cantika, pacarnya, mencoba mencari tau
sekiranya apa yang sedang di pikirkan oleh cewek itu. Tetapi Vano tidak mendapati apa-
apa. Karena sebenarnya ia tidak mengerti apa arti ekspresi Cantika saat ini. Vano lebih
memilik ekspresi Cantika saat berakting ketimbang ekspresi aslinya yang begitu sulit
untuk di tebak.

"Kamu lagi mikirin apa?" Akhirnya pertanyaan itu berani Vano ajukan. Namun tangan
Cantika memberinya interupsi agar ia tidak melanjutkan berbicara apalagi bertanya.

Vano rasanya menyesal menghancurkan momen bahagianya bersama Cantika. Seharusnya


ia tidak membicarakan ini sekarang. Seharusnya ia melihat waktu terlebih dahulu
sebelum angkat bicara. Seharusnya ia sedang menikmati momen bersama Cantika, bukan
dalam keadaan yang tak mengenakkan seperti ini.

"Maaf ya," kata Vano.

Cantika sontak menoleh begitu mendengar perkataan Vano yang menurutnya... Aneh?

"Ngapain kamu minta maaf?" Tanya Cantika, namun ekspresinya masih sama seperti tadi.
Tak terbaca, sehingga Vano bingung apakah Cantika sedang marah karena Vano meminta
maaf atau karena Cantika sebal dengan cara minta maaf Vano.

"Aku seharusnya gak bahas ini." Vano menelungkupkan wajahnya. "Kamu pasti marah kan.
Kecewa kan."

Dan, tanpa disangka-sangka Cantika memeluk Vano.

"Kata siapa? Sotoy lu dugong."

Vano tersenyum dalam pelukannya, balas memeluk Cantika dan memereratnya. "I love
you."
•••

Perubahan pasti akan terjadi. Dan semua orang jelas mengalami perubahan dalam
hidupnya.

Seperti Cantika dengan masalah kepercayaan dirinya, sehingga kini sisi baik dan
menyenangkannya sudah jelas terungkap di hadapan orang lain dan juga penampilannya.

Vano bahagia bisa bersama Cantika dengan sifat alaminya. Walau menyebalkan tetapi ia
suka. Dan Vano juga baru sadar kalau selama ini Cantika memang sudah seperti itu walau
hanya kepada Claudio saja.

"Waktu itu, kamu ngumpet kan." Vano memfokuskan pandangannya kepada jalanan di
depan dan sesekali melongok untuk mengintip sekiranya apa yang membuat jalanan
menjadi macet.

Cantika, yang sedari tadi mengscroll timeline instagram menolehkan kepalanya. "Kapan?"

"Waktu kamu abis ngobatin aku di UKS. Kamu izin pulang kan. Terus kamu pergi sama
Mama kamu."

Cantika terpaku di tempatnya. "Anu--" ia tidak dapat lagi melanjutkan kata-katanya.

"Cerita dong."

Benar. Seharusnya Cantika cerita kepada Vano. Seharusnya Cantika memberitahu


kepada Vano akan segala yang ia alami sebelum kehidupannya sekarang ini. Seharusnya
Cantika memberitahukan alasannya mengapa ia dulu selalu lari kalau bersama
keluarganya. Seharusnya.

"Jadi gini." Cantika mengambil ancang-ancang hendak memulai cerita. "Kamu tau kan..
Aku dulu tuh orangnya gak percaya diri banget." Vano mengangguk setuju.

"Tapi kamu deketin aku gencer banget," ledek Vano. Seketika wajah Cantika berubah
menjadi merah padam.

"Jangan di bahas, please."

"Oke-oke maap, lanjutin."

"Nah, kan aku gamau bikin keluarga aku yang kata orang perfect itu malu gara-gara
keberadaan aku. Jadi tiap kali ada anak sekolahan atau apa, ya aku gak mungkin
nampakkin diri aku lah."

"But they aren't, right?"

"Yea, but I'm still...... You know."

"I love you."


Cantika tersenyum senang mendengar pernyataan dari Vano. Tepat sesaat sebelum
mereka memasuki gerbang rumah Gilang.

"Yuk turun, tuan puteri."

Mereka memasuki rumah Gilang diantar oleh pembantu rumah yang sebelumnya
membukakan gerbang untuk mereka. Langsung menuju lantai atas. Bagian kanan, kamar
Gilang.

"Cie sakit." Vano duduk di tepian kasur Gilang, dengan Cantika yang duduk di kursi di
hadapan Gilang.

"Tai lu," gerutu Gilang, menarik selimutnya sampai atas dan menutupi seluruh wajahnya
karena malu. Bukan karena dia sakit, tapi karena ada Cantika.

Vano menarik paksa selimut Gilang agar tidak menutupi wajahnya lagi. "Sok malu-malu
kucing dah."

"Lah gua mah emang imut kayak kucing."

"Amit lo goblok."

Gilang menolehkan kepalanya dengan gerakkan cepat ke arah Cantika. "Vano ngomong
kasar tuh. Dosa, injek lehernya dong Tik."

Cantika tidak dapat menahan senyumnya. Padahal Cantika yakin, kondisi Gilang pasti
parah betul, tetapi karena Vano ia bisa bersenda gurau seperti ini. Penyakit batin lebih
menyakitkan ketimbang penyakit yang di derita oleh fisik. Itu yang sering Cantika alami
selama ini.

"Iya nanti sampe rumah Cantika injek lehernya."

Vano yang mendengar itu langsung menolehkan pandangannya dengan tidak percaya.
"Kamu beneran mau nginjek leher aku, by?"

Cantika ingin tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi Vano yang terlihat begitu panik.
Dan juga, Vano hanya memanggil Cantika "by" atau "baby" kalau Cantika sedang marah-
marah dan semacamnya.

"Iya. Kenapa?"

Vano menghempaskan tangannya dengan dramatis. Menepuk-nepuk paha Gilang dengan


mata terpejam. "Tega kamu mas! Gara-gara kamu, aku jadi kena KDRT!"

"Upload ah."

Tiba-tiba sebuah suara terdengar dari depan pintu masuk kamar Gilang yang cukup
besar. Membuat ketiganya menoleh, dan mendapati Eza disana tengah memegangi
ponselnya yang di bentuk landscape.
Vano yang tersadar langsung bangkit dan berlari menuju Eza untuk merebut ponselnya.
Namun terlambat. Video sudah terupload di akun instagram Eza dan ponselnya sudah ia
kunci.

Dan saat itu juga, Putra serta Adit masuk ke dalam ruangan. Dengan ponsel di tangan
mereka masing-masing. Adit masuk dengan sebelah tangan yang ia bengkokkan dengan
lentik ke arah dagu, sementara Putra entah dari mana mendapatkan tas kecil untuk di
letakkan pada himpitan tangannya seperti ibu-ibu arisan.

"Ih, cute banget yah cowok yang ini. Kamu liat gak, jeng?" Adit menaikkan suaranya
hingga melengking berharap dapat terdengar seperti Ariana.

Putra membalasnya, "Liat sist, ini kan anaknya yang jualan online shop itu. Eza pinter aja
sih nyari cowok yang imut-imut gemesin kayak gini."

"EZA TAI AYAM KUTIL DUGONG CUMI GOT BEBEK INGUSAN!!!!"

Cantika harap, ia bisa melihat pemandangan ini lebih lama lagi.

•••

Berbulan-bulan, hubungan Vano dan Cantika baik-baik saja. Apalagi semenjak


penghargaan yang mereka terima sebagai pasangan paling romantis tepat seminggu
sebelum menjenguk ke rumah Gilang.

Tetapi beberapa hari belakangan, Cantika merasakan ada yang aneh. Ada yang berubah
dari dalam diri Vano, yang Cantika sendiri tidak tau apa itu.

Tapi yang pasti, Vano seperti memasang jeruji diantara dirinya dan Cantika, yang
Cantika tidak dapat tembus seorang diri. Hubungannya kian hari kian menjauh.

Padahal, Cantika sempat mengira kalau makin hari setidaknya akan membaik. Karena saat
terakhir kali mereka berdua menerima undangan dari stasiun televisi, sekiranya dua
minggu yang lalu, hubungan mereka masih baik-baik saja.

"Maahhh."

Cantika berteriak untuk kesekian kalinya, sementara ia terus berkeliling-keliling rumah


mencari sesuatu.

"Mamaaahhh!" Pekik Cantika, lagi. "Sepatu aku yang heels nya tiga senti yang warna abu-
abu kok gak ada ya?????"

"Kamu lupa naronya kali, Cantika Adriana. Kebiasaan. Mama mau ada meeting nih buat
project. Papa juga udah buru-buru di depan nyuruh Mama duluan."

Cantika menghentakkan kakinya di lantai berkali-kali dengan kesal. "Ahelah Mama!!!!!"

"Dah, Mama jalan ya. Assalamualaikum!"

Walaupun kesal, Cantika tetap menjawab. "Waalaikumsalam!"


Cantika pun melanjutkan pencariannya demi menemukan sepatu abu-abu kesayangannya.
Menundukkan kepalanya ke kolong meja ruang tamu bahkan kolong meja makan di dapur.

Cantika padahal mengharapkan untuk mendapatkan bantuan dari Mamanya agar dapat
menemukan sepatunya itu. Tapi sepertinya, harapan hanyalah tinggal harapan. Cantika
tidak pernah dapat lupa untuk mengingat kalau kedua orang tuanya itu selalu sibuk.
Walaupun mereka sesekali menyempatkan waktu untuk menghabiskan waktu keluarga
bersama, tetapi tetap saja.

Cantika ingat bagaimana saat-saat dirinya merasa berada di rantai makanan paling bawah
kehidupan. Saat dia sama sekali tidak percaya diri, bahkan dia berpikir kalau aktingnya
begitu buruk. Karena Claudio selalu dapat menebak arti dari ekspresinya. Hanya Claudio,
bahkan Vano masih meraba-raba akan ekspresi asli Cantika. Mungkin karena Claudio
sudah bersama dengannya lebih lama.

Cantika ingat bagaimana saat Mamanya berusaha dengan susah payah membangun
kepercayaan diri Cantika. Hari itu, saat Cantika kabur dari Vano yang tiba-tiba datang
bersama Claudio. Papanya bahkan mengambil libur kerja demi bisa menemani Cantika.

Pikirannya melayang kemana-mana saat tiba-tiba saja ponselnya dirasa bergetar.

"Halo?"

Seperti biasa, Cantika tidak mau repot-repot melihat nama yang tertera pada ponselnya
dan langsung mengangkatnya.

"Dek, mana sini buruan tai. Gue udah nungguin juga dari tadi."

Rupanya itu Claudio.

"Tadulu, Bang. Elah, sepatu gue gak ketemu." Cantika balas marah-marah. Dia sedang
kesal karena tidak menemukan sepatunya dan Claudio malah marah-marah, membuatnya
ingin marah saja.

"Gapake lama."

Dan sambungan telepon diputuskan secara sepihak. Membuat Cantika makin geram saja.
Bisa-bisanya.

Cantika yang kesal karena tak kunjung menemukan sepatu yang dicarinya akhirnya
menyerah dan masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil sepatunya yang mana saja. Ia
rindu rasanya saat-saat nyaman mengenakan sneakersnya. Jadi, Cantika meraih sepatu
conversenya dan ia letakkan di depan pintu. Kemudian ia beralih untuk mengganti baju
menjadi yang lebih santai. Celana jogger dan kaus putih bercak-bercak.

Setelah selesai, Cantika menuju pintu depan dan ia baru ingat akan sesuatu hal
terpenting yang terlewatkan olehnya.

Ia tidak bisa menyetir. Tidak bisa mengendarai mobil ataupun motor.


"Gobluke, Cantika," desisnya. Menyilangkan kakinya untuk duduk di atas karpet selamat
datang berbulu.

Cantika memikir-mikirkan bagaimana caranya ia bisa sampai ke Senayan City sementara


dirinya tidak bisa berkendara sendiri. Minta jemput Vano? Yakali. Cantika tidak mau
menjadi benalu yang merepotkan. Walau Vano sudah sering mewanti-wantinya kalau itu
sama sekali tidak merepotkan dan selain Vano juga jadi bisa menjaga Cantika. Tetapi
tetap saja Cantika tidak mau merepotkan.

Ponselnya tiba-tiba bergetar lagi. Namun kali ini tanda dari pesan masuk dari aplikasi
WhatsApp.

Zanufa: tik, ntar malem bantuin gue dekor buat pesta yuk.

Ya, besok adalah pesta ulang tahun Zanufa. Dan ini adalah salah satu alasan kenapa
Claudio menyuruh Cantika untuk cepat-cepat menyusulnya karena Claudio ingin meminta
pendapat Cantika tentang kado yang akan di berikannya kepada Zanufa nanti.

Cantika: siap. jemput yha tapi wkwk.

Zanufa: iyeiyeee.

Cantika menghela napasnya panjang. Terlalu banyak jadwal yang ingin ia jalani hari ini. Ia
memutuskan untuk mengirimi Vano pesan, berharap sekiranya Vano tidak keberatan.
Hanya sekali ini saja, Cantika berjanji dalam hati.

Cantika: anterin aku sebentar dong... mau gak? bang dio minta di temenin.

Revano�: gabisa.

Hanya satu kata. Tanpa penjelasan. Diakhiri titik. Dan selesai.

Cantika mendengus kecewa dan akhirnya ia memutuskan untuk mendownload aplikasi taxi
agar bisa mengantarnya menuju Senayan City dengan selamat.

•••

Di perjalanan, Cantika kepikiran. Perasaannya tidak enak.

Baru pertama kalinya Cantika mendapatkan balasan sesingkat itu dari Vano. Biasanya
Vano akan menjelaskan kenapa ia tidak bisa atau meminta maaf terlebih dahulu. Tetapi
kali ini? Satu kata yang singkat, padat dan jelas yang mewakili segalanya.

Cantika jadi terbayang saat pertama kali Vano berterimakasih kepadanya.

Dia berhasil menemui Claudio, walaupun lama dan Claudio sempat mengoceh terbih dahulu
karena menunggu terlalu lama. Tapi akhirnya mereka melanjutkan mencari-cari kado
untuk Zanufa. Sebagai gantinya karena terlambat, Cantika menraktir Claudio starbucks
dan ia meminta Claudio membelikannya baju sebagai gantinya karena sudah menemaninya.

Sangat adil, memang.


Saat memilih baju di salah satu tempat brand terkenal, Cantika memerhatikan dengan
seksama pada pantulan cermin besar di hadapannya.

Bukan, dia bukan memerhatikan dirinya sendiri. Dia melihat dua orang lain yang berada
di pantulan kaca tersebut, orang yang berada beberapa meter di belakangnya.

Dan saat kedua orang itu menoleh, Cantika lantas mengangkat pakaian yang tadi ia
pegang agar menutupi pantulan dirinya di cermin.

Dan saat Cantika menurunkannya, kedua orang itu sudah pergi dengan belanjaan mereka
di tangan yang bersebrangan dan yang lainnya bergandengan.

Bagaimana bisa dia tidak mengenali Cantika? Walau dari belakang?

Seharusnya Cantika tau, pertemuannya minggu lalu akan menjadi yang terakhir.

Seharusnya Cantika tau, kata-kata i love you yang di ucapkannya minggu lalu juga adalah
yang terakhir.

Cantika menuju ruang ganti dan langsung di hadapi Claudio yang sudah berganti pakaian.

"Bagus gak?" Tanya Claudio, membenarkan tatanan rambutnya dan merapihkan tata
pakaiannya.

Cantika menggeleng cepat. "Pulang ayok."

Cantika rindu samsaknya di rumah.

Alasan • 28

▶️ One Direction - Love You Goodbye

[EDITED]

28. Love You, Goodbye.

Andaikata ada orang yang kehidupannya begitu rumit dan membuat sekumpulan grup
yang berisikan orang-orang seperti itu di dalamnya, Cantika mau mengajukan diri dan
mendaftar untuk masuk ke dalam perkumpulan itu.

Orang-orang sekarang pasti mengira hidup Cantika adalah #lifegoals, namun pada
kenyataannya? Sama sekali tidak.

Cantika juga tidak mungkin menyebarluaskan kepada orang-orang dan memberitahu


mereka kalau kehidupan Cantika ternyata lebih pahit daripada kenyataan yang di lihat
bukan?
Sekarang, disinilah Cantika. Menghabiskan waktu bersama samsaknya yang setelah
sekian lama tak ia kunjungi dan ajak main bersama.

Sometimes, love just ain't enough.

Cantika memukuli lebih keras lagi samsaknya, bertubi-tubi dan mengabaikan permintaan
tubuhnya yang meminta untuk istirahat karena sudah kelelahan dan dipenuhi keringat.

Air mata mengalir melewati matanya.

Cantika kehabisan napas. Dadanya naik turun tak beraturan dengan napas yang
sesenggukkan. Hingga akhirnya ia kehilangan keseimbangan dan jatuh.

Cantika bermimpi buruk.

Satu minggu sebelum ini. Sebelum dirinya dan Vano pergi ke rumah Gilang untuk
menjenguk, malam sebelum mereka duduk di atas atap, Cantika dan Vano sedang
menghadiri sebuah acara penghargaan yang di gelar satu tahun sekali.

Di mobil, Cantika sedang merapihkan tatanan rambutnya kala Vano tiba-tiba menarik
tangannya dan mengambil alih atas pekerjaannya. Vano yang merapihkan tatanan rambut
Cantika.

"Dah, gitu aja. Cantik." Vano tersenyum dan mengecup pipi Cantika, membuat semburat
di pipinya kian terang berwarna.

"Udah ah mesraannya," gerutu Ferli dari kursi kemudi. "Udah sampe nih."

Vano cengengesan. "Makasih ya, Mama. I love you."

Vano dan Cantika kemudian keluar dari mobil, di hantam blitz dari kamera yang langsung
membanjiri begitu mereka melangkahkan kaki menuju ref carpet.

Disaat terang-terangnya blitz dari kamera bersinar, pemandangan berubah.

Vano dan Cantika tengah duduk di salah satu kursi di tengah-tengah sekumpulan aktris
dan aktor papan atas kala sedang di bacakan nominasi untuk kategori "Best Chemistry of
The Year".

"Cantika Adriana dan Revano Prasetya!"

Sang pembaca nominasi menyebutkannya kelewat ramai sehingga sorak sorai dari
penonton terdengar semakin ramai.

"What the ffff..."

Ingin rasanya Cantika berkata kasar, sebelum tangan Vano mengaitnya dan mengajaknya
untuk turun serta menuju panggung karena semua mata kini tertuju pada mereka.

Riuh pikuk, kagum, tepuk tangan, tatapan memuji dan sebagainya menuju mereka
sekarang. Namun Cantika merasa ada yang tidak beres.
Ia kemudian mendongak keatas panggung yang ternyata sudah diisi oleh Vano berdama
cewek yang kemarin di temuinya di mall. Dan saat ia menoleh ke samping, itu bukanlah
Vano.

"Hai, Cantika."

Dan Cantika tersentak bangun.

"Dek, lo gapapa?" Tanya Claudio dengan nada kelewat khawatir.

Cantika mengerjapkan matanya selama beberapa kali dan bangkit dari posisi
terlentangnya. Ia memegangi kepalanya yang terasa pusing dan seluruh badannya yang
pegal-pegal.

Dia masih di ruangan bela diri.

"Gue kenapa?" Malah itu yang keluar dari mulut Cantika.

"Lo pingsan," jawab Claudio, membantu Cantika membenarkan posisi duduknya dan
menahan punggung adiknya itu agar tidak terjatuh lagi ngeri-ngeri sesuatu yang tidak di
inginkan terjadi.

"Abis itu lo kayak gini," Claudio membelokkan tangan dan kepalanya seperti orang celeng.
"Terus gini." Dan kemudian Claudio menggoyangkan kepalanya berkali-kali dengan cepat.

Andai di kehidupan nyata bisa menggunakan emoticon atau tanda baca yang di gunakan
sebagai ekspresi. Wajah Cantika sekarang seperti

"-____-"

"Makasih ya, Bang."

Claudio tersenyum dan mendekap Cantika ke dalam pelukannya. Tak perduli dengan
keringat yang bercucuran yang masih membekas di tubuh Cantika atau semacamnya.
Adiknya selalu harum.

"Kalo ada apa-apa cerita sama gue ya."

Karena Claudio mendengar semua mimpi Cantika saat cewek itu mengigaukan soal Vano.
Dan cewek lain.

•••

Claudio mengendarai mobilnya dengan kecepatan penuh.

Dirinya tersulut emosi. Hendak meledakkan emosinya dimanapun dan kapanpun kalau
tidak ingat dirinya yang sedang menyetir.

Sejujurnya sejak tadi Claudio menahan emosinya dan sekarang ia sudah tidak tahan lagi.
Claudio berhenti tepat di depan pagar rumah seseorang yang sudah sering di datanginya.
Keluar dari mobil tanpa di sibukkan untuk memarkirkan mobilnya dan langsung masuk ke
dalam.

Memencet tombol bel dengan kesal dan cepat, berulang kali sampai yang di tunggunya
keluar dari rumah. Berjalan dari pintu menuju pagar, membukanya dan..

Bugh!

Satu hantaman keras mendarat di wajahnya.

"Bangsat!" Tukas Claudio, memukulnya satu kali lagi.

"Jangan pernah lo berani ngedeketin adek gue lagi. Sedikit pun jangan pernah."

Itu adalah peringatan mutlak bagi Claudio.

Ia membalik dan membiarkan saja korbannya tersungkur. Masuk ke dalam mobil dan
menyetirnya menjauh.

Claudio tidak akan pernah mengizinkan siapapun untuk menyakiti Cantika. Siapapun.
Tidak akan pernah.

Karena Claudio berhutang sesuatu pada cewek itu. Adiknya yang paling di sayanginya.

Hutang yang bahkan Cantika sendiri tidak akan mengingatnya. Namun Claudio akan selalu
mengingatnya. Selalu.

Mata di bayar mata.

Pepatah itu yang selalu Claudio camkan dalam hidupnya.

Saat Claudio berusia enam tahun dan Cantika lima tahun, disaat Claudio dan keluarganya
pindah untuk yang ke sekian kalinya. Claudio dan Cantika tinggal di rumah yang sangat
jauh dari jalan raya.

Waktu itu, Juliana melarang keras anak-anaknya untuk bermain di luar karena takut
sesuatu yang tidak diinginkannya terjadi. Namun, di saat kedua orang tuanya sedang
sibuk, Claudio mengajak Cantika untuk keluar rumah.

"Dek, rumah pohon itu tinggi banget. Mau naik gak?" Tanya Claudio, menunjuk rumah
pohon di samping rumah mereka, saat mereka sedang bermain di pekarangan rumah.

"Ayok, Bang. Cantika mau naik!" Pekik Cantika begitu bahagia. "Tapi kan.. Itu pasti ada
orangnya yang tinggal, di rumah yang di samping pohon itu. Cantika pernah ngeliat anak
kecil di atas sana lagi ngeliatin Cantika, Bang. Kayaknya dia gak mau ngajak kita ke atas
sana."

"Tapi tadi Abang liat mobilnya keluar rumah. Kayaknya mereka lagi pindah deh." Claudio
menjinjitkan kakinya, menengok ke atas seolah terlihat sesuatu. "Gapapa ayok naik."
Cantika mengangguk antusias, dan merekapun menaiki pagar rumah yang menjadi
penghalang antara rumah mereka dan rumah si tetangga.

Sampai saat Cantika terjatuh dan kepalanya terbentur keras di bawah.

Darah segar mengalir melalui pelipisnya. Claudio panik dan tidak tau harus melakukan
apa. Sampai kedua orang tuanya pulang karena mendapat telepon dari sang pembantu.
Membawa Cantika ke rumah sakit, orang tuanya bahkan tidak menyalahkan Claudio. Tapi
Claudio tau ini salahnya. Mereka pindah secepat mungkin dari tempat itu setelah
pengobatan Cantika selesai.

Andai saja ia tak mengajak Cantika untuk melakukan hal aneh itu.

Claudio tau saat itu ia masih sangat kecil. Tetapi dirinya sama sekali tak dapat
melupakan kejadian itu.

Karena, pada saat itu lah memori masa kecil Cantika terhapus. Hingga sekarang.

•••

Cantika menghempaskan bokongnya di kasur miliknya. Menatap langit-langit kamar dan


sedikit bernostalgia, membuat dirinya semakin terlihat rapuh. Ia tidak mau hal itu
terjadi.

Cantika langsung bangkit dan meraih sebuah kotak.

Cantika baru saja membeli ponsel baru, dan tentu nomor baru. Mengganti semua media
sosial berbasis chat dengan yang baru kecuali Instagram dan Twitter.

Ia ingin menghindari sesuatu.

Selesai mengendorse beberapa barang dan menguploadnya, Cantika menggunakan uang


itu untuk membeli ponsel baru dan juga kado yang akan di berikannya untuk Zanufa.

Cantika membuat sebuah video pesan kepada Zanufa, mengucapkan selamat ulang tahun,
kesan pesan dan berbagai macam lainnya hingga video tersebut berdurasi lima menit
sebelas detik tanpa jeda. Sekaligus permintaan maafnya karena kemarin tidak membantu
Zanufa mendekorasi untuk pesta ulang tahunnya dan dia juga tidak bisa datang.

Cantika mengirim video itu kepada Claudio dan juga menitipkan kado untuk di berikan
kepada Zanufa saat nanti Claudio datang ke pestanya.

"Lo beneran gak mau dateng?" Tanya Claudio untuk ke dua ribu kalinya.

Cantika mengangguk lesu. "Nanti gue mau buat acara sendiri sama Zanufa. Gue udah
bilang juga di video gue janji bakalan bikin sesuatu yang gak bakalan dia lupain."

Claudio mengangguk akhirnya. "Yaudah, gue jalan ya."

Dan setelah Claudio pergi, Cantika langsung berkemas.


Menoleh ke arah jarum jam, Cantika mendapati jam menunjuk tepat jam dua. Ia harus
sampai sebelum jam lima sora di bandara. Karena ada sesuatu yang harus di bereskannya
setelah ini.

•••

Vano menundukkan kepalanya dengan lesu.

Di perjalanan, Ferli terus menerus bertanya kepada Vano apa sekiranya yang menjadi
penyebab anak semata wayangnya ini mengalami memar-memar di sekitaran pipi dan
pelipisnya. Namun Vano hanya diam tak menjawab.

"Vano."

Cowok itu lagi-lagi tidak menjawab dan mengabaikan Mamanya. Ferli mendesah kecewa
menatap suaminya. Kemudian sang suami hanya mengangkat bahu seolah sudah menyerah
juga.

"I know how hard this is for you," kata Mamanya, menatap Vano lekat-lekat.

Vano mendongakkan kepalanya dan balas menatap sang Mama. "Mama gak bakalan
paham."

Mereka keluar dari mobil dan menunggu di depan pintu masuk. Vano sesekali mengecek
jam yang bertengger di tangan kanannya. Ia sedang menunggu sesuatu.

Bukan.

Bukan menunggu sesuatu.

Maksudnya seseorang.

"Mama sama Papa masuk duluan aja," kata Vano, mengambil berkas miliknya sendiri dan
Ferli yang tak mau mengambil banyak andil pun berjalan memasuki gate bersam
suaminya.

Jam menunjukkan pukul empat lewat lima puluh menit. Sepuluh menit lagi sebelum Vano
harus masuk ke dalam, karena tiga puluh menit setelahnya pesawatnya sudah akan
terbang.

Vano menoleh ke kanan dan ke kiri dengan gelisah. Sesekali mengecek ponselnya walau
tau tidak akan ada yang menghubunginya.

Ia menyeret koper besarnya ke sana dan kesini. Kepalanya mendongak terus berjinjit.
Melihat mobil yang berlalu lalang, berharap ada yang berhenti dan mengeluarkan
seseorang yang sangat di tunggu-tunggu olehnya untuk datang.

Setelah menunggu dengan gelisah, Vano menoleh ke arah jam tangannya. Hasilnya nihil.
Vano tidak mendapati apa-apa. Dan ini sudah jam lima pas. Vano harus masuk ke dalam
untuk check in.
Menarik kopernya dan pergi menjauh dari jalan, Vano memasuki gate setelah
menunjukkan tiketnya kepada pengawas.

Dan Vano tidak yakin, berapa tahun sampai ia kembali menjejaki kakinya di kota
kesayangannya ini.

Tepat saat Vano sudah lelah menoleh ke belakang, salah satu kaca mobil menurun dan
mendapati seseorang yang sebenarnya sejak tadi memerhatikan gerak-gerik Vano
dengan seksama dari dalam.

Mobil itu terparkir di sana sejak Vano pertama kali baru datang. Dan dari jarak pandang
begitu dekat, melihat Vano mundar-mandir dengan gelisah, menoleh ke sana kemari
seperti mencari seseorang, tak membuat cewek yang berada di dalam mobil itu memiliki
kehendak untuk keluar dari mobil.

Karena yang diinginkannya hanyalah melihat Vano untuk yang terakhir kalinya. Walaupun
melihat ekspresi gelisah pada wajahnya. Ia beruntung kaca mobil dari depan hanya
terlihat hitam pekat.

Air mata jatuh melewati pipinya.

"I love you. And, good bye."

Alasan • 29

29. Empat Tahun, Padahal.

4 Tahun Kemudian.

2020.

Cantika sekarang jadi pelupa.

Bukan hanya karena faktor terlalu banyak memikirkan sesuatu, sepertinya. Melainkan
karena umurnya juga yang sebentar lagi menginjak usia ke dua puluh satu.

Cantika berpikir dengan keras, bagaimana bisa dia sudah setua itu? Perasaan, Cantika
baru saja berulang tahun ke enam belas kemarin. Tetapi kini mau tak mau dia langsung
melompat ke usia dua puluh tahun. Selain karena ulang tahunnya yang jatuh pada tanggal
29 Februari 2000.

Kini Cantika hanya bisa merayakan ulang tahunnya bersama Claudio, karena Cantika
sekarang hanya tinggal bersama Claudio, mengingat kedua orang tuanya yang mempunyai
pekerjaan di negara lain. Entah sebagai sutradara, Papanya. Atau mungkin Mamanya yang
sekarang sudah menjadi full time designer.
Sifat Cantika dan Claudio, semakin kesini semakin signifikan sekarang: Claudio pemalas,
gerak lamban, klemar-klemer; sementara Cantika kebanyakan bergerak, dan teledor
yang menyebabkan dia lupa meletakkan benda di mana saja.

Contoh perbuatannya yang bagaikan orang tua linglung super duper pelupa adalah
sekarang ini. Tepat saat Cantika tengah kelimpungan mencari-cari kalungnya di atas
meja rias yang padahal baru saja ia tinggal sebelum mandi. Entah dia yang memang
benar-benar pelupa, atau ada pencuri yang sudah menggondolnya, tidak ada yang tau.

Deringan ponsel yang berdering untuk kesekian kalinya membuat kepala Cantika hampir
menjeduk bagian atas meja rias kala sedang mencari-cari kalung miliknya.

Cantika menoleh ke belakang sekedar memastikan apa sekiranya yang menjadi penyebab
kakak laki-lakinya itu enggan mengangkat telepon dan rupanya adalah karena ia tengah
sibuk dengan macbooknya di atas kasur Cantika.

Dasar bolot emang.

Mencoba mengabaikannya lagi seperti sebelumnya, Cantika beralih karena menyerah


dengan kalung dan mulai menata rambut. Mencatok rambutnya yang kelewat lurus untuk
dibentuu menjadi agak sedikit keriting di bagian bawahnya.

Ponsel Claudio berdering lagi.

"Angkat napa, Bang," keluh Cantika saking kesalnya dengan nada deringnya yang
berulang-ulang. Namun, Claudio bergeming sedikitpun dari tempatnya bahkan sampai
ponsel berhenti berdering.

Berbunyi lagi. Cantika mendesis dan marah-marah, namun dia tak perduli sama sekali.

Cantika sampai dibuat heran, sekiranya ada hal seru apa yang kini Claudio tonton di layar
macbooknya itu.

Ponsel berdering lagi dan berhasil membuat Cantika naik pitam.

"Bang! Itu ada yang nelpon diangkat napasih, berisik."

Entah sudah ke berapa kalinya ia mengeluh kepada Claudio, untuk segera mengangkat
ponselnya. Tidak kunjung mendapat jawaban dan sekalinya mendapatkannya Cantika
malah ingin meninju kepalanya.

Claudio mendesah berat dan memutar bola matanya tanpa sedikitpun menoleh ke arah
Cantika. "Bawel."

Cantika geram bukan main, jadi ia bangkit dan melempar ponselnya tepat ke arah
Claudio. "Itu di angkat," paparnya, kesal.

Claudio mau tak mau meraihnya dan mengangkatnya. Sama seperti Cantika yang selalu
mengangkat telepon tanpa melihat yang menelpon terlebih dahulu, ia meletakkan ponsel
di telinga sebelah kanannya.
Sementara Claudio sibuk dengan urusannya di telepon, Cantika kembali di sibukkan
dengan tatanan rambutnya.

"Gilang udah di depan," kata Claudio begitu panggilannya selesai.

Cantika langsung saja menoleh dengan gerakkan kilat. "Serius!?

Kakaknya itu mengangguk dan membuatnya langsung kelimpungan sendiri. Cantika tak
fokus pada apapun kecuali barang-barangnya.

"Bang, gue jalan. Assalamualaikum!" pekiknya dan langsung berlari keluar kamar.

Dengan tergesa-gesa, Cantika menuruni anak tangga sekaligus dua atau bahkan tiga dan
langsung keluar rumah. Pandangannya terhenti pada mobil yang sudah terparkir tepat di
depan pagar, lengkap beserta sang pengemudi yang ia dapat kenali dengan jelas sekalipun
dirinya menggunakan kacamata hitam. Menunggu sembari bersender pada kaca mobilnya
dan memainkan ponselnya.

"Serius amat mas," ujar Cantika begitu sampai di samping Gilang dan sekiranya
mengagetkannya.

Itu Gilang.

Dia mendongakkan kepalanya dari ponsel dan melepas kacamatanya. "Panas." Ia


mengenakan kacamata itu kepada Cantika dan merapihkan helaian rambutnya. "Ayo
jalan." Gilang membukakan pintu masuk untuk Cantika dan membuatnya setengah mati
menahan untuk tidak tersenyum, namun gagal total.

Dia memang paling bisa. Tidak kalah dengan kembarannya yang jago modus, Eza tentu
saja.

Gilang itu orangnya gak pernah kehabisan topik untuk di bicarakan saat di perjalanan.
Membuat Cantika jadi curiga apakah sebelumnya ia sempat menghapal naskah atau apa.
Kadang ia memberikan guyonan basi yang sudah di makan jaman, atau apapun yang bisa di
buat bahan melucu.

"Garing," kata Cantika, mencoba sebisa mungkin menjaga ekspresinya agar tetap datar.

"Kayak keripik singkong atau apa?" Gilang bertanya tanpa menolehkan pandangannya dari
jalan raya di hadapan mereka.

Cantika melepaskan kacamata hitamnya dan ia letakkan di dashboard, "Hahahahhaha,


galucu Kak."

Dia mendesah berat, "Abis deh. Sebenernya emang pas banget sih, kita udah sampe."

Mereka sudah sampai di depan bangunan Mall yang berada di kawasan Jakarta Pusat,
ternyata.

Mobil Gilang meluncur masuk dan diparkirkan di lantai basement dua.


"Katanya mau ada project baru?" Tanya Gilang begitu baru selesai memarkirkan mobil.

Mereka kemudian melangkah dengan santai dari arah parkiran, hendak masuk ke dalam
Mall.

"Iya, barengan sama projectnya Eza. Ini rumah produksi kita berdua saingan berat dari
dulu."

Gilang menahan tawanya. Padahal Cantika pikir ia sama sekali tidak sedang melucu, dan
itu membuatnya curiga tentang apa yang sekarang berada di pikiran Gilang.

Padahal, Gilang sedang membayangkan bagaimana keduanya itu bersaing ketat disaat Eza
masih menaruh rasa.

"Bagus deh. Tonjok aja si Eza kalo engga, biar jelek pas lagi main."

Kan, pasti dia memikirkan yang aneh-aneh seperti dugaan Cantika.

Cantika menganggukkan kepala tanda setuju. "Boleh lah di coba. Tapi kan si Eza udah gue
ajarin berantem kak. Ntar dia ngebales gimana!?"

"Kan ada gue," kata Gilang.

Cantika menatapnya sambil terus berjalan saat mereka sudah memasuki kawasan bagian
dalam Mall. "Lah kalo ada kakak emang apa urusannya."

Gilang mendengus sebal mendengar respon dari Cantika kemudian ia menatapnya dengan
jengkel. "Au amat dah lu mah cakep-cakep bolot bat."

Gilang berjalan mendahului Cantika melengos dan meninggalkan Cantika yang tengah
berpikir keras di belakang.

Cantika berlari mengejarnya dan berusaha menyamai langkahnya. "Bolot itu budek
bukannya?"

Gilang berhenti melangkah tiba-tiba membuat Cantika yang kini sedang tidak fokus jadi
menabraknya. Ia menghadap Cantika dan memegang kedua bahunya, mendorong Cantika
sampai ke tembok terdekat dan membuat posisinya menjadi duduk di atas kursi yang
menjadi bagian dari tembok.

"Lupain soal bolot," kata Gilang yang terdengar begitu gondok. Cantika hendak tertawa
tetapi ia menahannya. Pasti dia bakalan mengata-ngatai Cantika sebagai orang telmi lagi
beberapa hari mendatang.

"Tunggu sini. Gue mau ngambil duit."

Gilang masuk ke dalam ruangan yang di sesaki mesin pengambil uang sementara Cantika
menunggu di luar.

Batin Cantika tiba-tiba merasakan ada sesuatu yang tidak beres, dia sendiri tidak
mengetahui apa itu.
Cantika mendekatkan telinganya ke tembok samping yang berdekatan dengan kaca
etalase dan samar-samar mendengar perbincangan di dalam ruangan tempat berbagai
mesin ATM berjajar di sampingnya semakin mendekat.

"Mana pacar baru lo hah!"

Itu jelas suara Gilang. Namun Cantika tidak tau pasti apa yang ia bicarakan dan dengan
siapa dia berbicara.

"Pacar lu yang mana."

Jantung Canrika seketika hendak melompat keluar seketika. Dia merasa kenal suara itu,
sepertinya.

Enggan menjadi penguping akan pembicaraan orang lain, dan untuk menenangkan
jantungnya yang kini berpacu lebih cepat dari biasanya, Cantika memilih untuk
memainkan ponsel dan mengusir seluruh perasaan aneh di benaknya.

Kemudian suara-suara itu semakin mendekat. Gilang dan juga temannya yang dia kenal
suaranya. Cantika merasa perlu mengalihkan suara-suara itu dengan mendengarkan lagu,
tetapi ia tak kunjung menemukan earphonenya dari dalam tas.

Sial. Earphonenya kan sedang di pinjam oleh Claudio.

Sampai tiba-tiba yang tak dia inginkan terjadi. Ada bayang-bayang di kaki Cantika,
tempat dia menunduk dan memainkan ponselnya.

"Nih, orangnya," kata Gilang, berhasil membuatnya mendongakkan kepala dan bertemu
pandang dengan Gilang.

Dan seseorang yang keberadaannya sangat-sangat mengusik kehidupan Cantika.

"Hai, Cantika." Laki-laki itu menyapanya dengan ramah. Kelewat ramah dan
senyumanannya yang terpampang di wajahnya memunculkan lesung pipi yang begitu
menawan.

Bagaimana bisa orang ini bertingkah laku begitu tenang di hadapan Cantika seolah tidak
pernah terjadi apa-apa sebelumnya?

"Ini bule kita, yang abis kuliah di luar negeri, lost contact, blablabla, balik ke Jakarta
dengan sejuta pesona baru. Revano Prasetya." Gilang seolah menperkenalkannya kepada
Cantika.

Satu yang pasti. Cantika merasa kalau dirinya ternyata tidak kenal laki-laki itu.
Alasan • 30

30. Kamu Siapa?

Pikiran Cantika langsung berkecamuk.

Mulai dari rasa bersalah, cinta, sayang, rindu, hingga banyak sekali perasaan yang tak
dapat ia definisikan atau akui kepada dirinya sendiri.

Vano meneguk salivanya kala mendapati ekspresi biasa saja dari gadis di hadapannya ini.
Ia bingung kalau gadis ini sudah memasang ekspresi semacam ini, dari dulu, selalu begitu.
Tak dapat tertebak.

Awal tahun, Vano memutuskan untuk pulang di saat dirinya sudah akan memasukki
semester ke enam kuliahnya, dia tidak tahan lagi menahan perasaannya. Begitu banyak
alasan yang belum terungkap, dan belum bisa ia jelaskan kepada gadis di hadapannya ini.

Cantika, yang sudah beranjak menjadi seorang gadis cantik yang hampir menjejakki
usianya yang ke dua puluh tahun. Dialah yang mampu membuat Vano berlaku sedemikian
rupa. Hanya dia seorang.

Gilang mengibaskan tangannya ke hadapan wajah antara Vano dan Cantika. Memecah
keheningan dan tatapan saling membunuh yang terlontarkan.

Vano jadi tersadar, kalau tadi, Gilang baru saja memperkenalkan Cantika sebagai
pacarnya. Dan hati Vano seakan sudah retak di lantai sana.

"Hai?" kata Cantika, menjurus dengan nada bertanya.

Vano hanya diam, tak menjawab barang sedikitpun, masih kaget kala Cantika
mengeluarkan suaranya. Ia kelewat rindu dengan Cantika, dan dengan mendengar
suaranya saja sudah membuat Vano kelewat bahagia.

Gilang yang menyadari keadaan canggung tersebut akhirnya langsung memilih untuk
membuka suara, memecah keheningan dan mematahkan rasa kaku yang menggerogoti
benak Vano.

"Makan yuk, ah. Laper."

Gilang sempat merasa berguna mempunyai teman seperti Adit dan Putra. Karena mereka
berdua, selera humor receh Gilang naik menjadi koin seribu.

Gilang masih merasakan adanya chemistry diantara kedua orang ini, namun dia enggan
melontarkan guyonan. Karena juga, Cantika yang mati-matian memintanya berpura-pura
untuk menjadi pacarnya.

"Ayok deh." Vano merajuk dengan kikuk pada akhirnya.

Mereka makan di salah satu restoran terkenal yang terdapat di Mall itu. Denah tempat
duduknya, Cantika di pojok, Gilang di sampingnya dan Vano tepan di hadapan Cantika.
Vano susah payah menahan rasa dalam dirinya untuk bergeser dan duduk di hadapan
Gilang saja karena tidak kuat berlama-lama menatap Cantika dengan hatinya yang perih.
Apalagi dengan tatapan yang Cantika lontarkan sekarang ini.

Mama, Vano gak kuat, Ma. Tolongin Vano.

Tiba-tiba saja Vano merasakan gejolak dalam dirinya. Dia ingin mengajak siapa saja
untuk ribut sekarang juga. Menonjoknya hingga babak belur saat matanya bertemu
pandang dengan milik Gilang.

Gilang pacar Cantika.

Vano tidak mau sakit hati dengan bertanya dan memastikan itu semua. Vano tidak mau.
Yang harus dia lakukan disini adalah kembali ke rencana awalnya dan perlahan
menjelaskan kepada Cantika apa yang sebenarnya terjadi walau Vano yakin seratus
persen kalau Cantika sebenarnya mengerti.

Tapi, Vano tidak yakin seratus persen soal itu.

Vano mencengkram pegangan kursinya dengan kuat-kuat, sebelum dia tidak tahan lagi
dan bangkit dari posisinya.

"Mau kemana, Van?" tanya Gilang, namun Vano tak menjawab dan langsung berjalan cepat
menuju toilet laki-laki yang berada di restoran itu.

Sesampainya di dalam, Vano melihat pantulan dirinya di cermin. Ingin sekali rasanya
Vano menonjok bayangannya sendiri yang terpampang pada cermin.

Ia membuka ponselnya dengan tangan gemetar saking emosinya dan melihat pesan masuk
yang dikirim Claudio beberapa waktu lalu.

Gilang, Vano, Dio.

Foto mereka semasa baru lulus SMA saat merayakan lebaran bersama. Vano yang
memintanya. Walau masih emosi, Claudio pada akhirnya mengirimkan gambar itu juga.

Dia mengunci layar ponselnya, melihat itu sekedar untuk mengalihkan perhatian namun
ternyata tangannya masih bergetar kelewat hebat. Vano merasa harus melampiaskan
kepada sesuatu kalau ingin mereda.

Napasnya memburu. Vano tidak mau meledak-ledak dan keluar untuk meninju habis-
habisan wajah Gilang sampai babak belur.

Vano meninju tembok sekeras-kerasnya selama beberapa kali sehingga tembok yang di
lapisi keramik itu sedikit meretak saking kuatnya tonjokkan Vano. Hanya sedikit.

Tangan Vano memerah, melucur darah segar dari luka di tangannya dan lebam biru di
sekelilingnya.
Seseorang keluar dari salah satu bilik toilet, menyaksikan itu semua, dan Vano yang kini
tengah membasuh tangannya di wastafel.

Dia masih gemetar luar biasa. Perasaannya begitu berkecamuk. Sudah lama Vano tidak
meledak-ledak seperti ini. Terakhir saat di paksa oleh Ayahnya untuk pergi ke luar
negeri.

Vano butuh penenang dan penenangnya yang paling ampuh hanyalah Cantika seorang.

Tetapi keadaan Cantika tidak memungkinkan untuk menjadi penenangnya saat ini. Cantika
juga sedang kesulitan menahan emosinya, Vano yakin itu.

"Masih nyesel?"

Sebuah suara berasal dari balik punggung Vano, membuatnya mendongak ke arah cermin
untuk melihat sang empunya suara tanpa perlu repot-repot menoleh segala.

"Kan gue bilang, penyesalan gabakal ada abisnya." Eza, berdiri di samping Vano.

Vano melanjutkan membasuh tangannya. "Ngapain lo disini?"

Eza mendengus begitu mendengar Vano yang mengalihkan ucapannya. "Nungguin kereta.
Ini stasiun kan?"

"Mati kek lo."

•••

Vano kembali tidak sendiri.

Ia berjalan beriringan dengan Eza menuju tempat dirinya duduk sebelumnya dengan
tidak begitu gemetar. Bedanya, ada Eza sekarang yang duduk menghadap Gilang.

"Hai," sapa Eza dengan cengirannya. Ia menarik kursinya dan duduk, kemudian dengan
gerakkan bodoamat seperti yang biasanya, Eza memesan makanan.

"Ngapain lo disini?" sekarang giliran Gilang yang mengajukan pertanyaan itu.

Eza mendengus, lagi. "Nunggu kereta mas. Ada yang ngetem gak di sekitar sini?"

"Apaansi, Za. Jayus." Cantika bersuara setelah sekian lama terdiam, namun perempuan
itu masih tak mengalihkan pandangannya dari ponsel miliknya.

"Eh? Ada Cantika?" dari nada bicaranya, jelas Eza tengah meledek.

Gilang susah payah menahan tawa kalau saja ia tidak sadar ada darah di atas meja kayu
berwarna cokelat pucat.

Meja makan restoran itu benar-benar terdapat bercak darah, dan darahnya masih
segar, sangat jelas. Hidung Gilang tiba-tiba mengendus aroma nyinyir.
"Kok--" perkataan Gilang menggantung saat ia teringat kalau sebelumnya tangan Vano
berada di tempat itu. "Kalian berdua gak abis berantem kan?"

Alis Vano terangkat sebelah, sementara Eza menyerngitkan alisnya.

"Maksud lau?" tanya Eza. Dia seratus persen sudah resmi menjadi gengan Adit dan
Putra.

"Berantem?" ulang Gilang.

Keduanya menggeleng cepat, sampai Cantika langsung berubah pucat. Dadanya naik turun
dan pandangannya memburu ke arah Vano.

"Tik?" Eza melihat mimik wajah Cantika yang berubah.

Gadis itu langsung meraih tissue sebanyak-banyaknya dan bangkit setengah badan untuk
mengamit tangan Vano yang berada di pangkuannya.

"ANJIR VANO!?" Gilang memekik dan membelalakkan matanya.

Vano susah payah hendak menarik tangannya kala sadar kalau Cantika mengarahkan
seluruh kekuatannya kearah tangan untuk memegang pergelangan Vano.

"Siapa sih sebenernya kamu?!" Cantika membuka matanya lebar-lebar, menatap Vano
dalam-dalam dan seketika degup jantung Vano menjadi tak beraturan.

Cantika menggunakan bahasa formal kepadanya. Dan bertanya, dia siapa.

Gilang dan Eza saling pandang sesaat. Tidak mengerti apa maksud dari kata-kata yang
keluar dari mulut Cantika.

"Maksudnya apa?" tanya Vano, bingung dengan pertanyaan yang Cantika ajukan.

"Kamu siapa!? Cantika nggak kenal.."

Baru saja Vano hendak membuka suaranya, sebuah suara lain memekik dari belakangnya.

"Kak Vano!"

Mereka berempat sontak menoleh ke belakang untuk melihat siapa yang baru saja
meneriakki nama Vano itu.

Cantika melihat perempuan itu lagi. Perempuan yang selalu saja menghantui mimpinya
sejak awal Cantika melihat perempuan itu pergi dengan Vano.

"Lo siapa?" hanya Cantika yang mampu bersuara melihat perempuan itu.

Dia itu; cantik, tinggi, putih, rambutnya bagus, dan segala-galanya kesempurnaan bagi
Cantika.

Perempuan itu menaikkan sebelah alisnya mendengar pertanyaan Cantika, caranya


menyikapi kelewat mirip dengan Vano.
"Gue siapa?" ulang perempuan itu. "Gue sepupunya Vano."

Cantika hendak menonjok hidung Vano sekarang juga agar lebih babak belur dari
keadaan tangannya sekarang.

Alasan • 31

31. Perlahan.

Kalau saja Cantika langsung menonjok Vano, keadaannya tidak bakal jadi seperti ini.

Sekarang mereka duduk berlima, dan Cantika merasa sudah ingin langsung pulang saja.
Apalagi, mengetahui perempuan ini ternyata adalah sepupu Vano dan cowok itu sama
sekali tidak pernah bercerita atau menjelaskan kepadanya sebelumnya. Menyebabkan
segala kecanggungan ini terjadi.

Cantika berpikir. Berati Vano emang nyari gara-gara buat di putusin.

Ralat. Mereka bahkan belum pernah mengatakan putus sama sekali atau berpisah.

Cantika bangkit dari posisi duduknya, dan langsung berjalan dengan langkah cepat keluar
dari tempat itu tanpa mengatakan apa-apa. Semuanya tak dapat melakukan apapun dan
hanya mematung di tempat, termakan situasi. Tak ada yang mencegah Cantika.

Cantika menyibak air matanya saat masuk ke dalam taksi. Dia bahkan sudah tak
berselera makan atau belanja atau apapun lagi.

Cewek mana sih, yang nggak kesel kalau di selingkuhin terus di tinggal? Walaupun Vano
gak sepenuhnya selingkuh, tapi tingkahnya berlagak seolah dirinya seperti itu.

Yang menjadi tujuan utama Cantika saat ini hanya kembali ke rumah dan mencurahkan
segala isi hatinya kepada Claudio, atau bahkan mengeluarkan kekesalannya di ruang
kelahi. Walau sudah empat tahun lamanya, Cantika merasa ingin sekali mencurahkan
kekesalannya yang tertahan sejak itu. Cantika ingin melampiaskan segalanya.

Sampai di rumah, Cantika langsung menangis sembari memeluk Claudio yang masih
bingung karena perlakuan adiknya yang begitu tiba-tiba.

Claudio bertanya ada apa, namun Cantika tak menjawab dan hanya menangis saja. Niatan
ingin bercerita pupus sudah karena bersuara saja rasanya sulit.

•••

Claudio hendak sekali membangunkan adiknya dan memintanya untuk bercerita. Tetapi ia
mengurungkan niatnya.

Cantika sudah tertidur lebih dari delapan belas jam dan belum bangun juga.
Claudio membenarkan posisi selimut adiknya itu saat tiba-tiba saja tangan Cantika
menarik Claudio untuk tetap pada posisinya. Mata Cantika masih terpejam.

"Gak capek pergi mulu?" suaranya terdengar begitu ringkih, "Cantika di anggep apa
selama ini? Ninggalin? Cantika rela kok kalo demi kuliah, tapi ini ga di jelasin apa-apa."

Ini sudah jam sembilan pagi, dan Cantika masih mengigau.

Claudio duduk di pinggir kasur Cantika, mengelap peluh adiknya yang bercucuran
walaupun berada di ruangan dengan suhu enam belas derajat celcius. Cantika keringat
dingin.

"Dek," panggil Claudio dengan cemas. "Dek, bangun."

Semua orang tahu, apalagi para fansnya, kalau Claudio itu adalah orang yang paling
menyayangi adik perempuannya sedunia. Kendati terkadang bersifat menyebalkan dan
aneh-aneh lainnya, Claudio tetaplah sosok kakak laki-laki penyayang dan over protective.

Tangannya mengguncang tubuh adiknya, merasakan sesuatu yang ganjal kalau adiknya itu
terjebak dalam mimpi. Larut dalam halusinasi di benaknya sehingga membuat raganya
tersiksa di luar.

Cantika nggak mungkin koma kan?

Claudio menepis jauh-jauh akan pemikiran aneh dan kelewat jauhnya itu. Cantika baik-
baik saja, pasti.

"Dek." Claudio mengguncang tubuh Cantika lagi dan lagi. Dan sesekali menepuk pipinya.

Lima menit dan usahanya belum berhasil, Claudio meraih gelas di meja kecil samping
tempat tidur Cantika dan segera mengisinya dengan air dari keran di toilet, kemudian
menyiramkan seluruh isinya ke wajah Cantika.

"Uhuk!"

Cantika tersedak dan langsung bangun karena ada air yang mengalir melalui lubang
hidungnya.

Claudio bersyukur dalam hati sementara Cantika sudah siap dengan sumpah serapahnya.

•••

Namanya bukan Cantika kalau tidak lihai dalam persoalan menghindar.

Sudah dua minggu lamanya, Cantika tidak berinteraksi dengan seluruh temannya,
siapapun termasuk Zanufa. Dia hanya mengurung diri di kamar dan sesekali membiarkan
Claudio masuk ke dalamnya.

Makanan? Ambil di bawah sebentar lalu dia naik lagi.


Claudio belum mendapat keterangan jelas apa-apa dari adiknya sejak malam itu. Dan
sejujurnya, Gilang, Eza bahkan Vano sudah sering menunggu Cantika di depan pintu untuk
sekedar menguping apa yang Claudio dan juga Cantika bicarakan.

Claudio sudah mendengar seluruh cerita dari sudut pandang Vano, namun dia juga butuh
penjelasan dari pihak Cantika sebelum menilai dan memutuskan. Walau dirinya masih
merasa ganjal dengan apa yang Cantika katakan kepada Vano soal menanyakan siapa
dirinya.

Claudio dan Vano sedang duduk di karpet kamarnya sembari bermain PS, sementara
sebenarnya benak Vano di khawatirkan dengan cewek di kamar sebelah.

"Lo anjing emang," gerutu Claudio saat dirinya lagi-lagi di kalahkan oleh Vano.

Vano tertawa masam, "Jangan ada dendam kesumat gitu dong, Di."

"Yeh tai. Ungkit lagi, gue tonjok lagi lo," gertak Claudio. "Lagian gara-gara lo juga kan
adek gue jadi begini."

Vano mendesah berat. Ia merasa bersalah juga sebenarnya. "Kan gue mau memperbaiki
kesalahan, Di."

"Siapa suruh lo gak ngomong dari awal?"

"Gak ada yang nyuruh sih."

"Yaudah, berati salah siapa?"

"Salah....... fine. It was my fault."

Claudio menahan cengirannya yang melihat Vano berlaku seperti itu. Awalnya dia juga
nggak yakin kalau Vano meninggalkan Cantika dalam keadaan selingkuh dan belum putus.

Jadi, ini toh alasannya.

Claudio yakin: Cinta tak akan lari, dan tak perlu di kejar. Karena cinta akan datang
dengan sendirinya. Walau perlahan.

"Ohiya, Di," kata Vano, yang sepertinya teringat akan sesuatu. "Gue mau nanya deh."

Claudio menyempatkan diri untuk menoleh, "Nanya apaan?"

"Lo dulu tinggal dimana?" tanya Vano.

Claudio sebenarnya bingung dengan pertanyaan yang Vano ajukan. Hampir sama
bingungnya seperti mendengar cerita kalau Cantika bertanya Vano itu siapa. "Dulu
kapan?"

"Waktu kecil."
Sesuatu seperti membentur kepala Claudio. Ia sontak memejamkan matanya kala rasa
pusing itu melanda dan memori buruk yang selama ini ia hindari kembali terputar dalam
benaknya bagaikan kaset rusak.

Claudio memijat keningnya tanpa sadar akan gerakkan itu sendiri. Matanya masih
terpejam layaknya memori menyakitkan itu dapat saja membunuhnya.

Claudio mengatur nafasnya dan perlahan membuka kelopak matanya.

"Di."

Claudio menolehkan kepalanya kearah Vano yang kini sudah melepas analognya dan
menatap Claudio dengan pandangan aneh.

"Kenapa Van?"

"Gue manggil lo udah lima belas kali," kata Vano. Claudio meneguk salivanya dengan gugup
dan mengerjapkan matanya beberapa kali.

"Iya apa?"

"Iya," jawab Vano. "Dan lo belom jawab pertanyaan gue."

"Yang mana?"

Claudio bertingkah laku seperti orang linglung dan itu membuat Vano semakin bingung
yang tak dapat di definisikan. Kenapa dan bagaimana bisa Claudio tiba-tiba saja berubah
wujud menjadi sosok linglung begini? Apa yang salah?

"Lo tinggal di mana waktu kecil." Vano dengan sabar mengulang pertanyaannya. Namun
kali ini mimik wajah Claudio terlihat lebih tenang dan agak terkendali. Sehingga cowok
yang belum genap berumur dua puluh dua tahun itu hanya menghembuskan nafasnya.

"Di Pondok Jaya," jawabnya walau enggan. "Kenapa?"

"Yang sebelum dari SMP 141 bukan?"

Claudio menyerngitkan alisnya. "Tau darimana?"

"Gue tetangga lo," jawab Vano dengan senyumannya yang begitu tersiksa.

"Apa? Gimana maksudnya sih?" Claudio masih tidak paham apa topik pembahasan Vano
sampai-sampai menanyakan rumahnya sewaktu kecil.

"Gue tetangga lo, bener-bener tetangga lo." Vano menegaskan.

"Dulu?"

Vano mengangguk. "Iya. Inget rumah di samping lo yang ada rumah pohonnya?"

Kini giliran Claudio yang mengangguk.

"Itu rumah gue."


Alasan • 32

32. Berusaha.

Claudio diam saja di tempatnya sembari menerka-nerka apa yang sebenarnya baru saja
terjadi disini. Dan, di masa lalunya itu.

"Iya, itu gue, Di." Vano memastikan sahabatnya yang masih kurang percaya ini.

Tangan Claudio menginterupsi di udara, menandakan agar Vano berhenti dan


membiarkannya untuk berpikir. "Diem dulu."

Vano mengangkat bahunya, "Oke." Kemudian ia beralih dan memulai kembali permainan
solo di play station dan membiarkan Claudio larut dalam pikiraannya sendiri.

"Lo yang dulu ngeliatin Cantika terus kan?" tanya Claudio, hendak memastikan apakah
perkiraannya benar mengenai anak kecil di rumah pohon.

Wajah Vano memerah.

"Ya jangan di bahas tai."

Claudio berani jamin kalau Vano sedang malu dan salah tingkah sekarang. Tadinya,
Claudio berhendak mau meledek Vano lagi. Tapi, tidak jadi karena tiba-tiba saja pintu
kamarnya terbuka sehingga Claudio mau tak mau menoleh ke arah sana.

"Cantika?"

•••

Mereka sekarang duduk di karpet yang berada tepat di hadapan televisi di kamar
Claudio, tempat sebelumnya ia dan Vano duduk namun kali ini di tambah Cantika.

"Jadi," Claudio mengambil ancang-ancang memulai pembicaraan. "Lo mau jelasin gak
Van?"

Vano meneguk salivanya. Bagaimana caranya untuk mengungkapkan yang sebenarnya


sementara berada di dekat Cantika sekarang ini saja sudah membuat Vano gemetaran
setengah mampus?

Tatapan yang Cantika berikan itu kayak tante-tante yang belum di bayar atau ibu kosan
yang sedang menagih uang kontrakkan. Bedanya, Cantika tidak sambil kipas-kipas.

"Oke," kata Vano pada akhirnya setelah menghembuskan napasnya panjang.

"Gue mau nanya dulu, Di." Vano memberitahu kepada Claudio sebelum beralih pada
Cantika. "Kenapa Cantika bilang gak kenal sama Vano? Nanya Vano siapa sebenernya?"
Tatapan Cantika tak beralih sedikitpun sedari tadi. Vano seakan tersadar bahwa saat
kepergiannya, Cantika seakan menajamkan pandangannya. Mengasahnya agar lebih tajam
saat menatap. Cantika tidak ingin selalu di dominasi oleh tatapan elang mirip Vano.

"Aku gak kenal kamu," kata Cantika. Seketika membuat Vano bersyukur karena gadis itu
masih berbicara menggunakan kata aku-kamu. Vano pikir saat Cantika bertanya kemarin,
itu hanya tidak di sengaja. Tapi rupanya memang Cantika tetaplah Cantika.

"Kamu berubah terlalu banyak. Terlalu jauh dari kamu yang dulu. Itu yang bikin kamu
beda dan sulit untuk di kenali, atau bahkan di pastikan kalau itu kamu atau bukan."

Hati Vano mencelos.

Cantika tidak ingin menyebut namanya, sama sekali. Dan perkataannya berubah menjadi
hampir baku. Itu membuat Vano semakin menyalahkan dirinya sendiri dan merasa bodoh
serta tolol ditambah tak dapat berpikir jernih. Bagaimana bisa Vano berharap kalau
Cantika akan memaafkannya sementara menyebutkan namanya saja dia tak mau?

"Itu semua aku lakuin demi kamu."

Cantika tertawa masam mendengar jawaban yang Vano lontarkan. Demi Cantika? Please
deh Vano, yang bener aja dong.

Claudio makin menjauhkan posisi duduknya, mundur seolah tak ingin terlibat namun tetap
mendengarkan. Sementara Vano terpaku di tempatnya, dan matanya menatap lurus-lurus
kearah Cantika seolah tak ingin kelewatan barang sedetikpun dan luput dari Cantika
setelah sekian lama menahan rasa.

Vano sendiri tidak mengerti bagaimana bisa Cantika bisa menilai dirinya sedemikian
keras. Dan sadar kalau banyak perubahan dalam diri Vano.

Vano menghela napasnya, "Aku tau kedengerannya aneh. Tapi emang itu tujuan aku
berubah."

Cantika tertawa lagi. "Buat apa?" suaranya mencemooh.

"Aku gak mau jadi orang yang sama kayak dulu. Cowok brengsek, cowok kurang ajar,
cowok yang bikin kamu sakit hati. Aku gamau."

"Emang yang ini bakalan better?"

Vano tau Cantika bakalan menanyakan hal semacam itu.

"Enggak." Vano menjawab tanpa ragu sedikitpun. Namun sepertinya Cantika menyadari
sesuatu dari kata-kata Vano yang menyiratkan seolah ada kata lanjutan setelahnya.

"Then?"

Kalau saja tidak dalam suasana seperti ini, dapat di pastikan Vano bakalan mengulas
senyum di wajahnya. Cantika kelewat mengenalinya melebihi yang dirinya sendiri lakukan.
"Aku bakalan beda, dan jadi lebih baik. Kalo sama kamu. Aku ngerasa lengkap dan
perasaan lengkap itu, cuman ada kalo ada kamu di samping aku."

Rasanya Cantika mau melawak saja, dan mengatakan kalau dia sudah berada di samping
Vano sekarang dan tidak ada yang berubah barang sedikitpun.

"Bullshit."

Vano membelalakkan matanya, tak percaya Cantika akan mengatakan hal itu. Apa Vano
sudah seburuk itu dimata Cantika sekarang ini? Sejak kepergian Vano? Dan kesengajaan
Vano mengajak sepupunya dan berpura-pura kalau sepupunya itu pacarnya? Padahal
sepupunya sendiri tidak tau apa rencana Vano waktu mengajaknya pergi ke Senayan City,
tempat Claudio meminta Cantika menemaninya.

Vano sengaja.

Dipikirnya Cantika akan lebih rela melepasnya pergi kalau tau Vano menyakitinya.

Tapi, keadaan malah berbalik menyakiti dirinya sendiri. Vano tidak bisa jauh-jauh dari
Cantika terlalu lama, apalagi dalam keadaan gadis itu yang sakit hati. Vano tidak bisa.
Vano kelewat mencintainya. Sangat.

Vano tidak tau lagi bagaimana cara untuk membuat Cantika kembali ke sisinya, dan
membuat segalanya menjadi lebih baik. Bahagia selamanya.

Sampai sebuah pemikiran menggentayangi kepalanya.

"Mau tau cerita soal rumah pohon dan anak kecil yang jatuh cinta saat pandangan
pertama?" tanya Vano.

Cantika sontak memegangi kepalanya dan matanya terpejam.

•••

Pesawat tujuan Jakarta dari Bangkok, Thailand, mendarat di Bandara Soekarno Hatta
tepat sepuluh menit yang lalu.

Juliana dan Adrian, dengan tergesa-gesa menarik koper super kecilnya keluar dari gate
bandara dan menuju taksi untuk segera mengantar mereka ke tempat tujuan.

Rumah sakit.

Semalam larut, Juliana mendapatkan telepon dari Claudio kalau Cantika jatuh sakit dan
tak sadarkan diri sehingga harus di bawa ke rumah sakit. Dan saat itu juga Juliana
langsung memberitahu suaminya dan memesan tiket pesawat untuk menuju Jakarta.

Sayangnya, pesawat tujuan Jakarta baru berangkat di pagi buta yaitu pukul lima dini
hari, dan sekarang hampir jam setengah satu siang.

Di pesawat, Juliana tak henti-hentinya menangis dan ketakutan di pelukkan Adrian.


Begitu juga sekarang saat mereka di mobil menuju rumah sakit.
Juliana tidak mau anaknya kehilangan memorinya lagi. Tidak setelah anak perempuannya
itu kehilangan memori masa kecilnya. Yang sampai sekarang tak kunjung kembali
sehingga menyebabkan anaknya itu memiliki pikiran bahwa dirinya tak pernah dicintai
sebelumnya dan menjadi anak pemurung serta tak percaya diri dalam berpenampilan.
Merasa tak berarti dan tak di perlukan.

Juliana tidak mau itu terjadi lagi.

Sementara di rumah sakit, Vano dan Claudio sedang kelimpungan dalam benak mereka
masing-masing.

Claudio mundar-mandir di ruangan, Vano menelungkupkan wajahnya dengan kedua


tangannya.

"Ini salah gue ya, Di?" tanya Vano dengan nada bersalah. Tak bisa memaafkan dirinya
sendiri kalau sampai sesuatu yang buruk terjadi menimpa Cantika.

Cantika berbaring tak berdaya di atas tempat tidur rumah sakit dengan wajahnya yang
kian memucat.

Claudio menghempaskan bokongnya di kursi yang berada di samping Vano. "Bukan salah
lo. Ini salah gue. Kalo aja gue dulu nggak ngajakin Cantika buat manjat."

Vano menggeleng cepat. "Kalo aja gue gak ngungkit-ngungkit kejadian tadi."

Claudio baru saja ingin membantah perkataan Vano kala ponselnya bergetar dan
menampilkan pesan masuk dari Eza.

"Eza sama Gilang gabisa dateng. Mereka lagi di Finlandia nemenin nyokapnya dari
kemaren. Adit, Putra sama Zanufa otw," kata Claudio, seolah menjelaskan kepada Vano.

Vano hanya menganggukkan kepalanya dan beringsut menutup wajahnya lagi. Saat sebuah
suara menginterupsi keduanya.

"Bukan salah kalian, kok."

Sialnya, suara itu kelewat serak membuat bulu kuduk Vano dan Claudio berdiri seketika.
Mereka saling pandang dan memegang tangan mereka yang seketika terasa dingin.

"Cantika inget semuanya."

Mata mereka beralih ke sosok Cantika yang ternyata sudah membuka mata, dengan
seulas senyum rapuh di wajahnya.
Alasan • 33

[EDITED]

33. Kembali.

Revano Prasetya ingin terbang ke awan-awan sekarang juga.

Pasalnya, dia bukan saja merasa begitu beruntung. Tapi dia juga merasa begitu bahagia
karena di berkahi. Ia jadi ingat kata-kata Ferli, saat hendak kembali ke Jakarta
beberapa waktu lalu.

"Kalo emang kamu cinta, kejar. Jangan cuman nunggu di kejar aja. Cinta gak punya kaki,
gak punya mata. Dia bisa salah pilih kalo gak hati-hati."

Vano langsung berhambur mendekap Cantika. Seakan lupa kalau gadis di hadapannya ini
sedang sakit.

"Kamu mau dengerin penjelasan aku, sama cerita aku waktu kecil gak?" goda Vano, masih
dalam posisi memeluk Cantika, berbisik ke arahnya. Kemudian ia menjauhkan wajahnya
sehingga berhadap-hadapan hanya sejarak dua senti.

Pipi Cantika naik dan matanya menyipit. "Sebenernya tadi aku dengerin semuanya dari
luar."

"Fak." Claudio yang mengumpat.

Vano membelalakkan matanya dan menatap tajam Cantika. Cantika yang merasakan
tatapan mengintimidasi itu menyerngit sebal sampai ia merasakan sesuatu yang lembut
menyentuh bibirnya.

"Kamu boongan juga kan pacaran sama Gilang?" goda Vano kemudian, setelah menarik
kembali bibirnya. Kini senyum merekah tersungging di wajahnya.

Cantika bersemu merah. Malu. "Jangan di bahas," gerutunya.

Vano mencium Cantika, lagi. Sedangkan Claudio di belakang hanya mendesah berat dan
mengalihkan pandangannya.

"Zanufa mana yak ini." Claudio mundar-mandir di samping kasur tempat Cantika tertidur
dan Vano yang tengah memunggunginya karena masih dalam posisi mendekap Cantika.

"Pengen juga."

***

"By, kamu jangan ngeselin sehari aja bisa gak?!" Cantika marah-marah, kemudian
membereskan lagi pakaiannya yang sebelumnya di acak-acak oleh Vano.

Juliana dan Adrian yang melihat kejadian itu hanya geleng-geleng kepala dan berencana
keluar dari kamar rumah sakit untuk memberi space bagi mereka berdua.
Hari ini, Cantika sudah boleh pulang dan kemarin teman-temannya juga sudah
menjenguknya.

Revano Prasetya resmi tidak sendiri lagi.

Zanufa sebenarnya kesal sekali sama Vano dan mau menonjok Vano sesuai dengan cara
yang Cantika ajarkan selama ini. Tapi Cantika memelototinya dan meminta Zanufa
mendengarkan penjelasan dari Vano.

Saat Vano menjelaskan, Adit dan Putra tak henti-hentinya menghela napas kecewa.

"Aturan dari awal lo tonjok aja si Vano, Tik. Biar gak jadi kayak gini," kata Adit.

Putra mendengus. "Sebenernya dari tadi gue gak ngerti Vano ngomong apaan."

Vano malah kepingin menonjok mereka secara bersamaan dari dua arah berlawanan.

Claudio masuk ke dalam ruangan bersama Zanufa, melirik Cantika yang sedang mendumal
dan Vano yang terkekeh-kekeh.

"Mau pulang gak?" tawar Claudio, yang sebenarnya sudah jelas.

Cantika mendengus sebal. "Yaiyalah."

Vano membopoh Cantika, walau di awal gadis itu bersikeras bisa jalan sendiri tapi
nyatanya dia masih lemas.

Di mobil, Claudio menyetir dan Zanufa duduk di kursi penumpang depan. Cantika dan
Revano duduk di kursi belakang.

Cantika bersender di bahu Vano, dan Vano menyuruhnya untuk tiduran saja di
pangkuannya dan Cantika menurut.

"Mau denger cerita soal anak kecil di rumah pohon gak?" goda Vano, sembari mengelus
rambut Cantika, membelainya dengan lembut.

"Ceritain dari awal sampe akhir," pinta Cantika. "Gimana anak kecil cowok itu bisa suka
sama si cewek."

Sementara Vano bercerita, di kursi depan, Claudio dan Zanufa tak dapat mengelakkan
senyuman mereka dan tangan mereka saling menggenggam, dengan tangan Claudio yang
tidak memegang kemudi.

Claudio menengok ke belakang saat lampu merah. "Akhirnya happy ending ya."

~END~

Anda mungkin juga menyukai