Anda di halaman 1dari 2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hampir dua dekade profesi perawat Indonesia mengkampanyekan


perubahan paradigma. Pekerjaan perawat yang semula vokasional digeser menjadi
pekerjaan profesional. Perawat berfungsi sebagai perpanjangan tangan dokter, kini
berupaya menjadi mitra sejajar dokter sebagaimana para perawat di negara maju.
Wacana tentang perubahan paradigma keperawatan bermula dari Lokakarya
Nasional Keperawatan I tahun 1983, dalam pertemuan itu disepakati bahwa
keperawatan adalah pelayanan profesional. Mengikuti perkembangan keperawatan
dunia, perawat menginginkan perubahan mendasar dalam kegiatan profesinya.
Dulu membantu pelaksanaan tugas dokter, menjadi bagian dari upaya mencapai
tujuan asuhan medis, kini mereka menginginkan pelayanan keperawatan mandiri
sebagai upaya mencapai tujuan asuhan keperawatan.
Tuntutan perubahan paradigma ini tentu mengubah sebagian besar bentuk
hubungan perawat dengan manajemen organisasi tempat kerja. Jika praktik
keperawatan dilihat sebagai praktik profesi, maka harus ada otoritas atau
kewenangan, ada kejelasan batasan, siapa melakukan apa. Karena diberi
kewenangan maka perawat bisa digugat, perawat harus bertanggung jawab
terhadap tiap keputusan dan tindakan yang dilakukan.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1239/Menkes/SK/XI/2001
merupakan kekuatan hukum bagi perawat yang membuka praktik mandiri
perawat. Menurut konsorsium ilmu-ilmu kesehatan (1992), praktek mandiri
perawat adalah tindakan mandiri perawat profesional atau ners melalui kerjasama
yang bersifat kolaboratif baik dengan klien maupun tenaga kesehatan lain dalam
upaya memberikan asuhan keperawatan yang holistic sesuai dengan wewenang
dan tanggung jawabnya pada berbagai tatanan, termasuk praktik keperawatan
individu dan berkelompok. Didalam Kepmenkes 1239/2001, telah diatur
sedemikian rupa tentang praktik keperawatan seperti perizinan dan praktek
perawat.
Namun, dalam aplikasinya, masih terdapat perawat yang membuka praktik
mandiri dan tidak sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dalam Kepmenkes
1239/2001. Bahkan banyak perawat terutama di daerah yang tidak memiliki SIP
dan SIP. Misalnya dari catatan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI)
Babel, dari 300 perawat di Kota Pangkalpinang belum satupun yang memiliki SIK
dan SIPP, padahal banyak yang memberikan pengobatan medis kepada
masyarakat. Daerah-daerah yang lain juga memiliki kasus-kasus yang hampir
serupa. Hal ini dibuktikan dengan terdapatnya perawat yang ditangkap oleh polisi
dan sweeping-sweeping yang dilakukan oleh dinas kesehatan di beberapa daerah.
Setelah di sahkannya undang-undang keperawatan pada September 2014
tahun lalu. Perawat kini sudah dapat membuka praktik keperawatan mandiri dan
juga berhak memasang papan nama praktik perawat.
Dasar hukum perundang-undangan praktek keperawatan.
Beberapa perundang-undangan yang melindungi bagi pelaku dan penerima
praktek keperawatan yang ada di Indonesia, adalah sebagai berikut:
Undang – undang No.23 tahun 1992 tentang kesehatan, bagian kesembilan pasal
32 (penyembuhan penyakit dan pemulihan)
Undang – undang No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen
Peraturan menteri kesehatan No.159b/Men.Kes/II/1998 tentang Rumah Sakit
Peraturan Menkes No.660/MenKes/SK/IX/1987 yang dilengkapi surat ederan
Direktur Jendral Pelayanan Medik No.105/Yan.Med/RS.Umdik/Raw/I/88 tentang
penerapan standard praktek keperawatan bagi perawat kesehatan di Rumah Sakit.
Kepmenkes No.647/SK/IV/2000 tentang registrasi dan praktik perawat dan
direvisi dengan SK Kepmenkes No.1239/Menkes/SK/XI/2001 tentang registrasi
dan praktik perawat.
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan. Perlindungan
hukum baik bagi pelaku dan penerima praktek keperawatan memiliki
akontabilitas terhadap keputusan dan tindakannya. Dalam menjalankan tugas
sehari-hari tidak menutup kemungkinan perawat berbuat kesalahan baik sengaja
maupun tidak sengaja. Oleh karena itu dalam menjalankan prakteknya secara
hukum perawat harus memperhatikan baik aspek moral atau etik keperawatan dan
juga aspek hukum yang berlaku di Indonesia.
22
Fry (1990) menyatakan bahwa akuntabilitas mengandung dua komponen utama,
yakni tanggung jawab dan tanggung gugat. Hal ini berarti tindakan yang
dilakukan perawat dilihat dari praktik keperawatan, kode etik dan undang-undang
dapat dibenarkan atau absah.

Anda mungkin juga menyukai