Anda di halaman 1dari 17

BATU EMPEDU

Definisi
Batu empedu merupakan gabungan dari beberapa unsur yang membentuk suatu
material mirip batu yang dapat ditemukan dalam kandung empedu (kolesistolitiasis)
atau di dalam saluran empedu (koledokolitiasis) atau pada kedua-duanya.

Gambar 1. Gambaran batu dalam kandung empedu (Emedicine, 2007)

Anatomi kandung empedu


Kandung empedu merupakan kantong berbentuk alpukat yang terletak tepat
dibawah lobus kanan hati. Kandung empedu mempunyai fundus, korpus, infundibulum,
dan kolum. Fundus bentuknya bulat, ujung nya buntu dari kandung empedu. Korpus
merupakan bagian terbesar dari kandung empedu. Kolum adalah bagian yang sempit
dari kandung empedu.
Empedu yang di sekresi secara terus menerus oleh hati masuk ke saluran
empedu yang kecil dalam hati. Saluran empedu yang kecil bersatu membentuk dua
saluran yang lebih besar yang keluar dari permukaan hati sebagai duktus hepatikus
komunis. Duktus hepatikus bergabung dengan duktus sistikus membentuk duktus
koledokus.
Gambaran anatomi kandung empedu (Emedicine, 2007)

Fisiologi
Salah satu fungsi hati adalah untuk mengeluarkan empedu, normalnya antara
600-1200 ml/hari. Kandung empedu mampu menyimpan sekitar 45 ml empedu. Diluar
waktu makan, empedu disimpan untuk sementara di dalam kandung empedu, dan di sini
mengalami pemekatan sekitar 50 %. Fungsi primer dari kandung empedu adalah
memekatkan empedu dengan absorpsi air dan natrium. Kandung empedu mampu
memekatkan zat terlarut yang kedap, yang terkandung dalam empedu hepatik 5-10 kali
dan mengurangi volumenya 80-90%.
Menurut Guyton &Hall, 1997 empedu melakukan dua fungsi penting yaitu :
 Empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorpsi lemak,
karena asam empedu yang melakukan dua hal antara lain: asam empedu
membantu mengemulsikan partikel-partikel lemak yang besar menjadi partikel
yang lebih kecil dengan bantuan enzim lipase yang disekresikan dalam getah
pankreas, Asam empedu membantu transpor dan absorpsi produk akhir lemak
yang dicerna menuju dan melalui membran mukosa intestinal.
 Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk
buangan yang penting dari darah, antara lain bilirubin, suatu produk akhir dari
penghancuran hemoglobin, dan kelebihan kolesterol yang di bentuk oleh sel- sel
hati.
Pengosongan kandung empedu dipengaruhi oleh hormon kolesistokinin, hal ini
terjadi ketika makanan berlemak masuk ke duodenum sekitar 30 menit setelah makan.
Dasar yang menyebabkan pengosongan adalah kontraksi ritmik dinding kandung
empedu, tetapi efektifitas pengosongan juga membutuhkan relaksasi yang bersamaan
dari sfingter oddi yang menjaga pintu keluar duktus biliaris komunis kedalam
duodenum. Selain kolesistokinin, kandung empedu juga dirangsang kuat oleh serat-serat
saraf yang menyekresi asetilkolin dari sistem saraf vagus dan enterik. Kandung empedu
mengosongkan simpanan empedu pekatnya ke dalam duodenum terutama sebagai
respon terhadap perangsangan kolesistokinin. Saat lemak tidak terdapat dalam makanan,
pengosongan kandung empedu berlangsung buruk, tetapi bila terdapat jumlah lemak
yang adekuat dalam makanan, normalnya kandung empedu kosong secara menyeluruh
dalam waktu sekitar 1 jam.
Garam empedu, lesitin, dan kolesterol merupakan komponen terbesar (90%)
cairan empedu. Sisanya adalah bilirubin, asam lemak, dan garam anorganik. Garam
empedu adalah steroid yang dibuat oleh hepatosit dan berasal dari kolesterol.
Pengaturan produksinya dipengaruhi mekanisme umpan balik yang dapat ditingkatkan
sampai 20 kali produksi normal kalau diperlukan.

Epidemiologi
Insiden kolelitiasis di negara barat adalah 20% sedangka angka kejadian di
Indonesia tidak berbeda jauh dengan negara lain di Asia Tenggara (syamsuhidayat).
Peningkatan insiden batu empedu dapat dilihat dalam kelompok resiko tinggi yang
disebut ”5 Fs” : female (wanita), fertile (subur)-khususnya selama kehamilan, fat
(gemuk), fair, dan forty (empat puluh tahun)7.
Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko. Namun, semakin
banyak faktor resiko, semakin besar pula kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis.

Klasifikasi
Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu di
golongkankan atas 3 (tiga) golongan :
1. Batu kolesterol
Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari 70%
kolesterol
2. Batu kalsium bilirubinan (pigmen coklat)
Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan mengandung
kalsium-bilirubinat sebagai komponen utama.
3. Batu pigmen hitam.
Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti bubuk dan kaya
akan sisa zat hitam yang tak terekstraksi.

Faktor Resiko
1. Genetik
Batu empedu memperlihatkan variasi genetik. Kecenderungan membentuk batu
empedu bisa berjalan dalam keluarga. Di negara Barat penyakit ini sering dijumpai, di
USA 10-20 % laki-laki dewasa menderita batu kandung empedu. Batu empedu lebih
sering ditemukaan pada orang kulit putih dibandingkan kulit hitam. Batu empedu juga
sering ditemukan di negara lain selain USA, Chili dan Swedia.
2. Umur
Usia rata-rata tersering terjadinya batu empedu adalah 40-50 tahun. Sangat sedikit
penderita batu empedu yang dijumpai pada usia remaja, setelah itu dengan semakin
bertambahnya usia semakin besar kemungkinan untuk mendapatkan batu empedu,
sehingga pada usia 90 tahun kemungkinannya adalah satu dari tiga orang.
3. Jenis Kelamin
Batu empedu lebih sering terjadi pada wanita dari pada laki-laki dengan
perbandingan 4 : 1. Di USA 10- 20 % laki-laki dewasa menderita batu kandung
empedu, sementara di Italia 20 % wanita dan 14 % laki-laki. Sementara di Indonesia
jumlah penderita wanita lebih banyak dari pada laki-laki.
Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan
dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan
eskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang menigkatkan kadar esterogen
juga meningkatkan resiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi
hormon (esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan
penurunan aktivitas pengosongan kandung empedu.
4. Berat badan (BMI).
Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi
untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar
kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam empedu
serta mengurangi kontraksi/ pengosongan kandung empedu.
5. Makanan.
Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah operasi
gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan
dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.
6. Aktifitas fisik.
Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya
kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit
berkontraksi.
7. Penyakit usus halus.
Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah crohn disease,
diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik.
8. Nutrisi intravena jangka lama.
Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak
terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang melewati
intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam
kandung empedu.

Patogenesis
Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang pada
saluran empedu lainnya dan diklasifikasikan berdasarkan bahan pembentuknya. Etiologi
batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna, akan tetapi, faktor predisposisi
yang paling penting tampaknya adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh
perubahan susunan empedu, stasis empedu dan infeksi kandung empedu. Perubahan
susunan empedu mungkin merupakan yang paling penting pada pembentukan batu
empedu, karena terjadi pengendapan kolesterol dalam kandung empedu. Stasis empedu
dalam kandung empedu dapat meningkatkan supersaturasi progesif, perubahan susunan
kimia, dan pengendapan unsur tersebut. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat
berperan sebagian dalam pembentukan batu, melalui peningkatan dan deskuamasi sel
dan pembentukan mukus.
Sekresi kolesterol berhubungan dengan pembentukan batu empedu. Pada kondisi
yang abnormal, kolesterol dapat mengendap, menyebabkan pembentukan batu empedu.
Berbagai kondisi yang dapat menyebabkan pengendapan kolesterol adalah : terlalu
banyak absorbsi air dari empedu, terlalu banyak absorbsi garam-garam empedu dan
lesitin dari empedu, terlalu banyak sekresi kolesterol dalam empedu, Jumlah kolesterol
dalam empedu sebagian ditentukan oleh jumlah lemak yang dimakan karena sel-sel
hepatik mensintesis kolesterol sebagai salah satu produk metabolisme lemak dalam
tubuh. Untuk alasan inilah, orang yang mendapat diet tinggi lemak dalam waktu
beberapa tahun, akan mudah mengalami perkembangan batu empedu.
Batu kandung empedu dapat berpindah kedalam duktus koledokus melalui
duktus sistikus. Didalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu tersebut dapat
menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial atau komplet sehingga
menimbulkan gejalah kolik empedu. Kalau batu terhenti di dalam duktus sistikus karena
diameternya terlalu besar atau tertahan oleh striktur, batu akan tetap berada disana
sebagai batu duktus sistikus.
a. Batu Kolesterol
Empedu yang di supersaturasi dengan kolesterol bertanggung jawab bagi lebih
dari 90 % kolelitiasis di negara Barat. Sebagian besar empedu ini merupakan batu
kolesterol campuran yang mengandung paling sedikit 75 % kolesterol berdasarkan berat
serta dalam variasi jumlah fosfolipid, pigmen empedu, senyawa organik dan inorganik
lain. Kolesterol dilarutkan di dalam empedu dalam daerah hidrofobik micelle, sehingga
kelarutannya tergantung pada jumlah relatif garam empedu dan lesitin.
Untuk terbentuknya batu kolesterol diperlukan 3 faktor utama :
- Supersaturasi kolesterol
- Hipomotilitas kandung empedu
- Nukleasi/ pembentukan nidus cepat
Khusus mengenai nukleasi cepat, sekarang telah terbukti bahwa empedu pasien
dengan kolelitiasis mempunyai zat yang mempercepat waktu nukleasi kolesterol
(promotor) sedangkan empedu orang normal mengandung zat yang menghalangi
Menurut Meyers & Jones, 1990 Proses fisik pembentukan batu kolesterol terjadi
dalam empat tahap:
 Supersaturasi empedu dengan kolesterol.
 Pembentukan nidus.
 Kristalisasi/presipitasi.
 Pertumbuhan batu oleh agregasi/presipitasi lamelar kolesterol dan senyawa lain
yang membentuk matriks batu.
b. Batu pigmen (Batu kalsium bilirunat)
Batu pigmen merupakan sekitar 10 % dari batu empedu di Amerika Serikat. Ada
dua bentuk yaitu batu pigmen murni yang lebih umum dan batu kalsium bilirubinat.
Batu pigmen murni lebih kecil (2 sampai 5 mm), multipel, sangat keras dan penampilan
hijau sampai hitam. Batu-batu tersebut mengandung dalam jumlah bervariasi kalsium
bilirubinat, polimer bilirubin, asam empedu dalam jumlah kecil kolesterol (3 sampai
26%) dan banyak senyawa organik lain. Didaerah Timur, batu kalsium bilirubinat
dominan dan merupakan 40 sampai 60 % dari semua batu empedu. Batu ini lebih rapuh,
berwarna kecoklatan sampai hitam
Patogenesis batu pigmen berbeda dari batu kolesterol. Kemungkinan mencakup
sekresi pigmen dalam jumlah yang meningkat atau pembentukan pigmen abnormal yang
mengendap dalam empedu. Sirosis dan stasis biliaris merupakan predisposisi
pembentukan batu pigmen (Sarr & Cameron, 1996). Pasien dengan peningkatan beban
bilirubin tak terkonjugasi (anemia hemolitik), lazim membentuk batu pigmen murni. Di
negara Timur, tingginya insiden batu kalsium bilirubinat bisa berhubungan dengan
invasi bakteri sekunder dalam batang saluran empedu yang di infeksi parasit Clonorchis
sinensis atau Ascaris Lumbricoides. E.coli membentuk B-glukoronidase yang dianggap
mendekonjugasikan bilirubin di dalam empedu, yang bisa menyokong pembentukan
kalsium bilirubinat yang tak dapat larut.
c. Batu pigmen hitam
Batu pigmen hitam adalah tipe batu yang banyak ditemukan pada pasien dengan
hemolisis kronik atau sirosis hati. Batu pigmen hitam ini terutama terdiri dari derivat
polymerized bilirubin. Patogenesis terbentuknya batu ini belum jelas. Umumnya batu
pigmen hitam terbentuk dalam kandung empedu dengan empedu yang steril.
Kolelitiasis asimtomatis biasanya diketahui secara kebetulan, sewaktu
pemeriksaan ultrasonografi, foto polos abdomen, atau perabaan saat operasi. Pada
pemeriksaan fisik atau laboratorium biasanya tidak ditemukan kelainan.
d. Batu campuran
Merupakan batu campuran kolesterol yang mengandung kalsium. Batu ini sering
ditemukan hampir sekitar 90 % pada penderita kolelitiasis. batu ini bersifat majemuk,
berwarna coklat tua. Sebagian besar dari batu campuran mempunyai dasar metabolisme
yang sama dengan batu kolesterol.
Manifestasi klinis
Batu Kandung Empedu (Kolesistolitiasis)
1. Asimtomatik
Batu yang terdapat dalam kandung empedu sering tidak memberikan gejala
(asimtomatik). Dapat memberikan gejala nyeri akut akibat kolesistitis, nyeri bilier, nyeri
abdomen kronik berulang ataupun dispepsia, mual (Suindra, 2007). Studi perjalanan
penyakit sampai 50 % dari semua pasien dengan batu kandung empedu, tanpa
mempertimbangkan jenisnya, adalah asimtomatik. Kurang dari 25 % dari pasien yang
benar-benar mempunyai batu empedu asimtomatik akan merasakan gejalanya yang
membutuhkan intervensi setelah periode wakti 5 tahun. Tidak ada data yang
merekomendasikan kolesistektomi rutin dalam semua pasien dengan batu empedu
asimtomatik.
2. Simtomatik
Keluhan utamanya berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas.
Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang
baru menghilang beberapa jam kemudian. Kolik biliaris, nyeri pascaprandial kuadran
kanan atas, biasanya dipresipitasi oleh makanan berlemak, terjadi 30-60 menit setelah
makan, berakhir setelah beberapa jam dan kemudian pulih, disebabkan oleh batu
empedu, dirujuk sebagai kolik biliaris. Mual dan muntah sering kali berkaitan dengan
serangan kolik biliaris.
3. Komplikasi
Kolesistitis akut merupakan komplikasi penyakit batu empedu yang paling
umum dan sering menyebabkan kedaruratan abdomen, khususnya diantara wanita usia
pertengahan dan manula. Peradangan akut dari kandung empedu, berkaitan dengan
obstruksi duktus sistikus. Gambaran tipikal dari kolesistitis akut adalah nyeri perut
kanan atas yang tajam dan konstan, baik berupa serangan akut ataupun didahului
sebelumnya oleh rasa tidak nyaman di daerah epigastrium post prandial. Nyeri ini
bertambah saat inspirasi atau dengan pergerakan dan dapat menjalar kepunggung atau
ke ujung skapula. Keluhan ini dapat disertai mual, muntah dan penurunan nafsu makan,
yang dapat berlangsung berhari-hari. Pada pemeriksaan dapat dijumpai tanda toksemia,
nyeri tekan pada kanan atas abdomen dan tanda klasik ”Murphy sign” (pasien berhenti
bernafas sewaktu perut kanan atas ditekan). Masa yang dapat dipalpasi ditemukan hanya
dalam 20% kasus. Kebanyakan pasien akhirnya akan mengalami kolesistektomi terbuka
atau laparoskopik.
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita kolelitiasis :
1. Obstruksi duktus sistikus
2. Kolik bilier
3. Kolesistitis akut
- Empiema
- Perikolesistitis
- Perforasi
4. Kolesistitis kronis
- Hidrop kandung empedu
- Empiema kandung empedu
- Fistel kolesistoenterik
- Ileus batu empedu (gallstone ileus)
—-Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan
mengakibatkan/ menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada
dalam kandung empedu terdorong dan dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat
menetap ataupun dapat terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus sitikus secara
menetap maka mungkin akan dapat terjadi mukokel, bila terjadi infeksi maka mukokel
dapat menjadi suatu empiema, biasanya kandung empedu dikelilingi dan ditutupi oleh
alat-alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga membentuk suatu fistel
kolesistoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus dapat juga berakibat terjadinya
kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapat mengakibatkan nekrosis sebagian
dinding (dapat ditutupi alat sekiatrnya) dan dapat membentuk suatu fistel
kolesistoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi kandung empedu yang berakibat
terjadinya peritonitis generalisata.
—-Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat
kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus koledokus
kemudian menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang
menyumbat di duktus koledokus juga berakibat terjadinya ikterus obstruktif, kolangitis,
kolangiolitis, dan pankretitis.
—-Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya fistel
kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat menyumbat pada bagian
tersempit saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi.

Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asimtomatis. Keluhan yang
mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran terhadap makanan
berlemak. Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium,
kuadran kanan atas atau perikondrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang
mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam
kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan tetapi pada 30% kasus timbul
tiba-tiba.
Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak bahu,
disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri
berkurang setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri
menetap dan bertambah pada waktu menarik nafas dalam.

2. Pemeriksaan Fisik
a.. Batu kandung empedu
Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi, seperti
kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrop kandung empedu, empiema
kandung empedu, atau pankreatitis. Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan
punktum maksimum didaerah letak anatomis kandung empedu. Tanda Murphy positif
apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik nafas panjang karena
kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien
berhenti menarik nafas.
b. Batu saluran empedu
Baru saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang. Kadang teraba
hati dan sklera ikterik. Perlu diketahui bahwa bila kadar bilirubin darah kurang dari 3
mg/dl, gejala ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran empedu bertambah berat,
akan timbul ikterus klinis.

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan kelainan
pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi
leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin
serum akibat penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi
mungkin disebabkan oleh batu di dalam duktus koledokus. Kadar fosfatase alkali serum
dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang setiap setiap kali
terjadi serangan akut.
b. Pemeriksaan radiologis
- Foto polos Abdomen
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena
hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung
empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan
foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau
hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran
kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatika.
Foto rongent pada kolelitiasis
- Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk
mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun
ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal
karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu
yang terdapat pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh
udara di dalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung
empedu yang ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa.
- Kolesistografi
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif
murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat
dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus
paralitik, muntah, kadar bilirubun serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis
karena pada keadaan-keadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan
kolesitografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu.

Penatalaksanaan
Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri yang
hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau mengurangi
makanan berlemak. Pilihan penatalaksanaak antara lain :

1. Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien denga kolelitiasis
simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi adalah cedera duktus
biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur
ini kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik
biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.
2. Kolesistektomi laparaskopi
Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya kolesistitis
akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah mulai melakukan
prosedur ini pada pasien dengan kolesistitis akut dan pasien dengan batu duktus
koledokus. Secara teoritis keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur konvensional
adalah dapat mengurangi perawatan di rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan, pasien
dapat cepat kembali bekerja, nyeri menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah yang
belum terpecahkan adalah kemanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden
komplikasi 6r seperti cedera duktus biliaris yang mungkin dapat terjadi lebih sering
selama kolesistektomi laparaskopi.
3. Disolusi medis
Masalah umum yang mengganggu semua zat yang pernah digunakan adalah angka
kekambuhan yang tinggi dan biaya yang dikeluarkan. Zat disolusi hanya
memperlihatkan manfaatnya untuk batu empedu jenis kolesterol. Penelitian prospektif
acak dari asam xenodeoksikolat telah mengindikasikan bahwa disolusi dan hilangnnya
batu secara lengkap terjadi sekitar 15%. Jika obat ini dihentikan, kekambuhan batu
tejadi pada 50% pasien.
4. Disolusi kontak
Meskipun pengalaman masih terbatas, infus pelarut kolesterol yang poten (metil-ter-
butil-eter (MTBE)) ke dalam kandung empedu melalui kateter yang diletakkan per
kutan telah terlihat efektif dalam melarutkan batu empedu pada pasien-pasien tertentu.
Prosedur ini invasif dan kerugian utamanya adalah angka kekambuhan yang tinggi
(50% dalam 5 tahun).

5. Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)


Sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu, analisis biaya-manfaat pad saat
ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada pasien yang telah benar-
benar dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.
6. Kolesistotomi
Kolesistotomi yang dapat dilakukan dengan anestesia lokal bahkan di samping
tempat tidur pasien terus berlanjut sebagai prosedur yang bermanfaat, terutama untuk
pasien yang sakitnya kritis.

Batu Saluran Empedu (Koledokolitiasis)


Pada batu duktus koledokus, riwayat nyeri atau kolik di epigastrium dan perut
kanan atas disertai tanda sepsis, seperti demam dan menggigil bila terjadi kolangitis.
Apabila timbul serangan kolangitis yang umumnya disertai obstruksi, akan ditemukan
gejala klinis yang sesuai dengan beratnya kolangitis tersebut. Kolangitis akut yang
ringan sampai sedang biasanya kolangitis bakterial non piogenik yang ditandai dengan
trias Charcot yaitu demam dan menggigil, nyeri didaerah hati, dan ikterus. Apabila
terjadi kolangiolitis, biasanya berupa kolangitis piogenik intrahepatik, akan timbul 5
gejala pentade Reynold, berupa tiga gejala trias Charcot, ditambah syok, dan kekacauan
mental atau penurunan kesadaran sampai koma.
Koledokolitiasis sering menimbulkan masalah yang sangat serius karena
komplikasi mekanik dan infeksi yang mungkin mengancam nyawa. Batu duktus
koledokus disertai dengan bakterobilia dalam 75% persen pasien serta dengan adanya
obstruksi saluran empedu, dapat timbul kolangitis akut. Episode parah kolangitis akut
dapat menyebabkan abses hati. Migrasi batu empedu kecil melalui ampula Vateri
sewaktu ada saluran umum diantara duktus koledokus distal dan duktus pankreatikus
dapat menyebabkan pankreatitis batu empedu. Tersangkutnya batu empedu dalam
ampula akan menyebabkan ikterus obstruktif.

Penatalaksanaan
Konservatif
a) Lisis batu dengan obat-obatan
Sebagian besar pasien dengan batu empedu asimtomatik tidak akan mengalami
keluhan dan jumlah, besar, dan komposisi batu tidak berhubungan dengan timbulnya
keluhan selama pemantauan. Kalaupun nanti timbul keluhan umumnya ringan sehingga
penanganan dapat elektif. Terapi disolusi dengan asam ursodeoksilat untuk melarutkan
batu empedu kolesterol dibutuhkan waktu pemberian obat 6-12 bulan dan diperlukan
monitoring hingga dicapai disolusi. Terapi efektif pada ukuran batu kecil dari 1 cm
dengan angka kekambuhan 50 % dalam 5 tahun.
b). Disolusi kontak
Metode ini didasarkan pada prinsip PTC dan instilasi langsung pelarut kolesterol
ke kandung empedu. Prosedur ini invasif dan kerugian utamanya adalah angka
kekambuhan yang tinggi.
c).Litotripsi (Extarcorvoral Shock Wave Lithotripsy =ESWL)
Litotripsi gelombang elektrosyok meskipun sangat populer beberapa tahun yang
lalu, analisis biaya-manfaat pada saat ini hanya terbatas untuk pasien yang benar-benar
telah dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini. Efektifitas ESWL memerlukan terapi
adjuvant asam ursodeoksilat.

Penanganan operatif
a). Open kolesistektomi
Operasi ini merupakan standar untuk penanganan pasien dengan batu empedu
simtomatik. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris
rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut. Komplikasi yang berat jarang terjadi, meliputi
trauma CBD, perdarahan, dan infeksi. Data baru-baru ini menunjukkan mortalitas pada
pasien yang menjalani kolesistektomi terbuka pada tahun 1989, angka kematian secara
keseluruhan 0,17 %, pada pasien kurang dari 65 tahun angka kematian 0,03 %
sedangkan pada penderita diatas 65 tahun angka kematian mencapai 0,5 %.
b). Kolesistektomi laparoskopik
Kelebihan tindakan ini meliputi nyeri pasca operasi lebih minimal, pemulihan
lebih cepat, hasil kosmetik lebih baik, menyingkatkan perawatan di rumah sakit dan
biaya yang lebih murah. Indikasi tersering adalah nyeri bilier yang berulang. Kontra
indikasi absolut serupa dengan tindakan terbuka yaitu tidak dapat mentoleransi tindakan
anestesi umum dan koagulopati yang tidak dapat dikoreksi. Komplikasi yang terjadi
berupa perdarahan, pankreatitis, bocor stump duktus sistikus dan trauma duktus biliaris.
Resiko trauma duktus biliaris sering dibicarakan, namun umumnya berkisar antara 0,5–
1%. Dengan menggunakan teknik laparoskopi kualitas pemulihan lebih baik, tidak
terdapat nyeri, kembali menjalankan aktifitas normal dalam 10 hari, cepat bekerja
kembali, dan semua otot abdomen utuh sehingga dapat digunakan untuk aktifitas
olahraga.
c). Kolesistektomi minilaparatomi.
Modifikasi dari tindakan kolesistektomi terbuka dengan insisi lebih kecil dengan
efek nyeri paska operasi lebih rendah.

DAFTAR PUSTAKA
1. Lesmana L. Batu Empedu dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 1. Edisi 3. Jakarta:
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2000.380-4.
2. Schwartz S, Shires G, Spencer F. Prinsip-prinsip Ilmu Bedah (Principles of Surgery.
Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2000.459-64.
3. Sjamsuhidayat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC. 2005. 570-9.
4. Brunicardi FC et al. Schwartz’s principles of surgery. 8th edition. United States
America : McGraw Hill, 2005.826-42.
5. Price SA, Wilson LM. Kolelitiasis dan Kolesistisis dalam : Patofisiologi. Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit, edisi 4. Jakarta : EGC. 1995. 430-44.
6. Guyton AC, Hall JE. Sistem Saluran Empedu dalam: Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. Edisi ke-9. Jakarta: EGC, 1997. 1028-1029.
7. Reeves CJ. Penyakit Kandung Empedu dalam : Keperawatan Medika Bedah. Edisi
Ke-1. Jakarta : Salemba Medika, 2001. 149-51.
8. Clinic Staff. Gallstones. Available from:
http:/www.6clinic.com/health/digetivesystyem/DG9999.htm. Last update 25 Juli
2007 [diakses pada tanggal 16 April 2008]
9. Cholelithiasis. Available from:
http:/www.7.com/healthmanagement/ManagingYourHealth/HealthReference/Diseas
e/InDepth.htm. Last update April 2007 [diakses tanggal 16 April 200].
10. Sarr MG, Cameron JL. Sistem empedu dalam : Buku Ajar Bedah. Esentials of
Surgery, edisis ke-2. Jakarta: EGC, 1996. 121-123
11. Garden Jet et al. Gallstone dalam: Principle and Practice of Surgery. China:
Elseiver, 2007. 23.
12. Bateson M. Batu Empedu dan Penyakit Hati. Jakarta: Arcan, 1991. 35-41.
13. Latchie M. Cholelitiasis dalam : Oxford Handbook of Clinical Surgery. Oxford
University. 1996. 162
14. Bhangu AA et al. Cholelitiasis and Cholesistitis dalam: Flesh and Bones of Surgery.
China: Elseiver, 2007. 123.
15. Kasper DL et al. Cholelitiasis, Cholesistitis, and Cholangitis dalam: Harrisons
Manual of Medicine, McGraw Hill, 2005, 751.
16. Nealon TF. Kolesistektomi Laparoskopi dalam : Ketrampilan Pokok Ilmu Bedah.
Jakarta : EGC, 1996. 394

Anda mungkin juga menyukai