PENDAHULUAN
BAB III
PEMBAHASAN
Dapat mendorong penghematan biaya, sehingga produksi dapat dijalankan dengan biaya
serendah-rendahnya dan dijual dengan harga bersaing (efisiensi).
Dapat menggerakkan perputaran modal, tenaga ahli dan investasi ke berbagai negara
sehingga dapat menumbuhkan perekonomian.
Dapat memperluas pilihan dan variasi bagi konsumen, sehingga mereka lebih bebas dalam
memilih berbagai produk yang diinginkan.
Untuk melindungi industri dalam negeri yang baru tumbuh. Industri seperti ini tidak akan
mampu bersaing dengan industri negara lain yang sudah maju dan berpengalaman.
Untuk meningkatkan penerimaan negara. Dengan mengenakan tarif tertentu terhadap produk
impor dan ekspor, negara dapat meningkatkan penerimaan.
Kuota impor adalah kebijakan yang menetapkan batas jumlah barang yang boleh
diimpor, dengan tujuan melindungi produksi dalam negeri. Dengan demikian, setelah
mencapai jumlah tertentu dalam suatu periode, pengimpor dilarang menambah jumlah barang
yang diimpor.
2. Kuota ekspor
Kuota ekspor adalah kebijakan menetapkan batas jumlah barang yang dapat diekspor
dengan tujuan menjamin persediaan barang tersebut untuk memenuhi kebutuhan dalam
negeri.
Selain itu ada beberapa bentuk kebijakan perdagangan internasional yang seringkali
diterapkan oleh pemerintah suatu negara, yaitu:
1. Subsidi
Subsidi adalah kebijakan dengan cara memberikan subsidi (tunjangan) kepada
perusahaan yang memproduksi barang ekspor, sehingga harga barang dari perusahaan
tersebut bisa bersaing dengan barang luar negeri. Dengan kata lain, pemberian subsidi akan
membuat harga jual barang menjadi lebih murah dan mampu bersaing dengan harga jual
barang luar negeri.
2. Tarif impor
Tarif impor adalah kebijakan mengenakan tarif atau bea terhadap barang yang diimpor
agar harga barang impor menjadi lebih mahal. Dengan demikian, perusahaan dalam negeri
yang menghasilkan barang sejenis bisa bersaing dengan barang impor. Pada umumnya, tarif
impor dikenakan dalam bentuk persentase dari nilai barang yang diimpor, misalnya 10% atau
20%. Untuk bahan-bahan baku industri, suatu negara biasanya akan mengenakan tarif impor
yang rendah atau bahkan 0%. Tarif impor dikenal dengan istilah pajak impor atau bea masuk.
3. Tarif ekspor
Tarif ekspor adalah kebijakan mengenakan tarif atau bea terhadap barang yang diekspor
dengan tujuan untuk merangsang ekspor. Dengan demikian, umumnya tarif dapat dikenakan
sangat rendah atau bahkan 0%. Istilah lain dari tarif ekspor adalah pajak ekspor atau bea
keluar. Kebijakan tarif ekspor dan tarif impor, selain digunakan sebagai alat proteksi, juga
bermanfaat menambah penerimaan negara, karena dengan adanya tarif, negara akan
menerima sejumlah uang. Coba Kalian cari, berapa jumlah tarif ekspor dan impor di APBN
tahun 1998 dan APBN tahun 2001 pada buku Ekonomi kelas XI.
4. Premi
Premi adalah kebijakan berupa pemberian hadiah atau penghargaan kepada perusahaan
yang mampu memproduksi barang dengan kualitas tinggi dan kuantitas (jumlah) tertentu.
Pemberian premi diharapkan bisa memacu produsen dalam negeri untuk bersaing dalam
meningkatkan kualitas dan kuantitas produknya.
5. Diskriminasi harga
Diskriminasi harga adalah kebijakan melalui penetapan harga produk secara berlainan
untuk satu negara dengan negara lainnya. Kebijakan ini dilakukan salah satunya dalam
rangka perang tarif.
6. Larangan ekspor
Larangan ekspor adalah kebijakan melarang ekspor untuk barangbarang tertentu dengan
pertimbangan ekonomi, politik dan sosial budaya. Dengan pertimbangan ekonomi, suatu
negara melarang mengekspor bahan-bahan baku industri yang dibutuhkan di dalam negeri.
7. Larangan impor
Larangan impor adalah kebijakan melarang impor untuk barang-barang tertentu dengan
beberapa alasan. Alasan-alasan tersebut di antaranya adalah untuk melindungi industri dalam
negeri, untuk membalas kebijakan perdagangan negara lain dan untuk menghemat devisa.
8. Dumping
Dumping adalah kebijakan menjual suatu barang di luar negeri dengan harga yang lebih
murah dibandingkanb harga di dalam negeri. Tujuan kebijakan ini adalah memperluas dan
menguasai pasar. Dumping bisa dilakukan bila terdapat aturan(hambatan) yang jelas dan
tegas sehingga konsumen di dalam negeri tidak bisa membeli barang (yang didumping) dari
luar negeri.
3.2 Studi Kasus: Tuduhan Dumping ekspor kertas Indonesia oleh Korea Selatan
Salah satu kasus yang terjadi antara anggota WTO yaitu kasus Korea Selatan dan
Indonesia, dimana Korea Selatan menuduh Indonesia melakukan dumping woodfree copy
paper ke Korsel. Perdagangan kertas antara Indonesia dengan Korea Selatan diwarnai dengan
adanya tuduhan dumping yang dilakukan oleh Korea Selatan terhadap Indonesia. Tuduhan
yang diberikan oleh Korea Selatan tersebut atas praktek dumping yang dilakukan Indonesia
merupakan suatu kerugian. Indonesia merasa keberatan atas tuduhan tersebut, hal ini karena
Indonesia tidak melakukan apa yang dituduhkan. Dengan adanya tuduhan ini, pemerintah
Korea Selatan Selatan membuat kebijakan yang sangat merugikan Indonesia. Bila suatu
negara mengalami kekurangan atau kelangkaan komoditas vital atau strategis, maka ada
barang impor yang murah dengan harga dumping tentu dianggap merugikan. Indonesia
sebagai negara berkembang pada umumnya akan memilih suatu perusahaan domestic untuk
subsidi khususnya industri yang benar-benar menjadi ekspor Indonesia. Selain itu, indonesia
juga mengambil kebijakan ekonomi seperti penetapan batasan impor, hambatan tarif dan non
tarif serta kebijakan lainnya. Sama seperti negara lainnya, Korea Selatan juga menetapkan
kebijakan ekonomi anti dumping untuk melindungi industri domestiknya. Namum kali ini
yang menjadi sasaran negara yang melakukan dumping adalah Indonesia.
Adapun Perusahaan yang dikenakan tuduhan dumping adalah PT Indah Kiat Pulp &
Paper Tbk, PT Pindo Deli Pulp & Mills, PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk, dan April Pine
Paper Trading Pte Ltd. Produk kertas Indonesia yang dikenai tuduhan dumping mencakup 16
jenis produk, tergolong dalam kelompok uncoated paper and paper board used for writing,
printing, or other graphic purpose serta carbon paper, self copy paper and other
copying atau transfer paper.
Akibat kejadian ini Indonesia mengalami kerugian yang cukup signifikan. Indonesia
mengalami penurunan penjualan kertas saat kasus ini terjadi. Dengan terjadinya banjir barang
dari pengekspor yang harganya jauh lebih murah dari pada barang dalam negeri akan
mengakibatkan barang sejenis kalah bersaing, sehingga pada akhirnya akan mematikan pasar
barang sejenis dalam negeri, yang diikuti oleh dampak ikutannya seperti pemutusan kerja
masal, penganguran dan bangkrutnya industri barang sejenis didalam negeri, dengan kata lain
hakekat dumping sebagai praktek curang, bukan hanya karena dumping dipergunakan untuk
sebagai sarana untuk merebut pasaran di negara lain. tapi bahkan dapat mematikan
perusahaan domestik yang menghasilkan produk sejenis.
Kebijakan dumping tersebut mempunyai beragam motif yang pastinya akan
menguntungkan negara pengekspor. Meskipun negara pengekspor memberikan harga yang
lebih murah kepada negara tujuan, namun hal nya belum tentu terjadi secara terus-menerus.
Belum tentu negara pengirim memberikan harga yang murah selamanya. Pihak produsen
menunggu hingga beberapa tahun ke depan ketika negara tujuan ekspor tersebut sudah
tergantung dengan negara pengekspor. Dalam sebuah perdagangan internasional, kebijakan
yang terkadang merugikan negara tujuan ekspor dalam jangka panjang memang sering kali
dijumpai. Sehingga kegiatan ini tak jarang menimbulkan berbagai spekulasi pada masyarakat.
Dalam mengantisipasi praktik dumping tersebut Indonesia mempunyai kebijakan dan
peraturan perundang undangan yang di persiapkan mengacu kepada ketentuan GATT atau
WTO. Harus disadari bahwa keberadaan perangkat hukum nasional dalam mengantisiasi
masalah dumping memang masih lemah, baik sebagai instrumen guna melakukan
perlindungan produk dalam negeri dari praktik dumping oleh negara lain, maupun sebagai
instrumen hukum guna mengahdapi tuduhan dumping di luar negeri.
Kelemahan dari perangkat hukum antidumping dapat dilihat dalam PP. 34 Tahun
1995, terkait dengan pengertian harga normal. Salah satu unsur terjadinya praktik dumping
apabila harga yang ditawarkan di pasar negara pengimpor lebih rendah jika dibandingkan
dengan harga normal (norma value) di dalam negeri pengimpor. Dalam PP. 34 Tahun 1996,
Pasal 1 butir 3, yang dimaksud dengan harga norma adalah harga yang sebenarnya dibayar
atau akan dibayar untuk barang sejenis dalam perdagangan pada umumnya di pasar domestik
negara pengekspor untuk tujuan konsumsi.
Menurut Sukarmi (Sukarmi, 2002: 18), dalam pasal ini tidak dijelaskan lebih lanjut
bagaimana kalau harga normal tidak didapatkan karena mungkin ada produsen dalam negeri
yang menghkususkan produk yang sejenis tersebut hanya dapat memenuhi pasar luar negeri
atau untuk konsumsi ekspor, apakah ada penetapan pedoman harga yang lain yang dapat
dijadikan sebagai penganti harga normal.
Sehubungan dengan tidak adanya kejelasan tentang pengertian ”harga normal’ dan
”kerugian” dalam PP. No.34 tahun 1996, menurut Paul B. Stephan dalam Sukarmi,
diperlukan kejelian dalam penerapan dan penafsiran ketentuan antidumping dalam GATT-
WTO ke dalam peraturan nasional. Dengan adannya Undang-Undang Anti-dumping,
pemerintah dapat mengambil tindakan terhadap barang-barang impor yang dijual lebih murah
dari negara asalnya, atau negara ketiga atau lebih murah dari perhitungan ongkos produksi
dan trasportasi di tambah keuntungan normal yang merugikan produsen dalam negeri.
(Sukarmi, 2002: 19).
Peran WTO
Secara garis besar, prosedur penyelesaian sengketa dalam WTO ada tiga yaitu:
konsultasi bilateral, pembentukan panel, dan banding. Langkah pertama yang ditempuh
adalah melakukan perundingan bilateral. Peruundingan tersebut belum mampu membawa
masalah ini ke titik penyelesaian. Indonesia menilai Korea Selatan mencederai beberapa
kewajiban WTO, terutama yang berkaitan dengan pemberian informasi dan alas an
pengenaan bea anti-damping. Indonesia menyadari bahwa Korea tidak konsisten dengan apa
yang telah disetujuinya di WTO berupa article VI dari GATT 1994, inter alia, article VI:1,
VI:2 and VI:6; articles 1, 2.1, 2.2, 2.2.1.1, 2.2.2, 2.4, 2.6, 3.1, 3.2, 3.4, 3.5, 4.1(i), 5.2, 5.3,
5.4, 5.7, 6.1.2, 6.2, 6.4, 6.5, 6.5.1, 6.5.2, 6.7, 6.8. 6.10, 9.3, 12.1.1(iv), 12.2, 12.3, Annex I,
dan paragraf 3, 6, and 7 dari Annex II mengenai Perjanjian Anti-Dumping[1].
Gagalnya perundingan tersebut membuat Indonesia meminta WTO untuk membentuk
panel. Pada tanggal 27 September 2004, WTO membentuk panel yang terdiri dari pihak
ketiga sebagai jawaban atas permintaan Indonesia yang terdiri dari Kanada, Cina, komunitas
Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang. Pihak ketiga disini berfungsi untuk melakukan
penyelidikan terhadap tuduhan yang dilayangkan oleh Korea Selatan terhadap Indonesia
sekaligus menanggapi gugatan Indonesia ke WTO. Diakhir kerjanya, panel mengumumkan
hasil temuannya yang menyatakan bahwa kebijakan pemerintah Korea mengenai anti-
dumping produk kertas Indonesia tidak sesuai dengan perjanjian GATT dalam WTO. Tetapi,
dalam pelaksanaan temuan panel tersebut, pemerintah Korea tidak dapat langsung mengubah
kebijakan anti-dumping nya terhadap produk kertas Indonesia. Baru pada akhir tahun 2010,
tepat nya bulan November lalu, keputusan panel dilaksanakan oleh pemerintah Korea dengan
menghilangkan bea masuk antidumping terhadap kertas Indonesia. Hal tersebut dikarenakan
sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah Korea Selatan kurang, sehingga banyak
pengusaha Korea yang tidak mengetahui hal tersebut, dengan kata lain pengusaha Korea
belum merespon secara aktif.
Proses Penyelesaian Sengketa
Tahapan pertama yang dilakukan untuk menyelesaikan persengketaan perdagangan
antar negara adalah melalui konsultasi bilateral antar negara-negara yang bersengketa.
Demikian halnya yang terjadi dengan persengketaan antara Indonesia dengan Korea Selatan
menyangkut kebijakan Korea Selatan terhadap produk kertas Indonesia. Korsel menerapkan
bea masuk anti dumping terhadap produk kertas Indonesia menyusul petisi yang diajukan
oleh industri-industri kertas Korsel.
Indonesia meminta dilakukannya konsultasi bilateral antara kedua negara (Indonesia-
Korsel) pada tanggal 4 Juni 2004. Usulan Indonesia pun kemudian ditindak lanjuti dengan
diadakannya konsultasi antara kedua negara yang dimulai pada tanggal 7 Juni 2004. Dalam
konsultasi bilateral ini, pihak Indonesia meminta Korea Selatan dalam hal ini Korean Trade
Commission (KTC) untuk untuk mencabut adanya bea masuk anti dumping yang diterapkan
pada produk kertas Indonesia.
Karena pada tahap konsultasi bilateral ini tidak didapatkan kesepakatan antara kedua
pihak yang bersengketa, maka tahap konsultasi ini pun gagal untuk menyelesaikan masalah
ini. Untuk itulah Indonesia meminta WTO membentuk Panel untuk meneliti kasus anti
dumping tersebut.
Diskusi bilateral antara Indonesia dan Korea Selatan tidak membuahkan hasil yang
memuaskan pihak Indonesia. Maka ditempuh lah tahap kedua yaitu pembentukan panel
melalui Dispute Settlement Body atau DSB yang merupakan sebuah lembaga yang mewakili
Dewan Umum dalam WTO dan bertanggung jawab terhadap penyelesaian konflik. DSB
jugalah satu-satunya badan yang memiliki otoritas membentuk Panel yang terdiri dari para
ahli yang bertugas menelaah kasus. DSB dapat menerima atau menolak keputusan Panel atau
keputusan pada tingkat banding.
Oleh karena itu, pada tanggal 16 Agustus 2004 Indonesia meminta dibentuknya Panel,
DSB menangguhkan permintaan Indonesia untuk membentuk Panel pada tanggal 31 Agustus
2004, dan DSB membentuk Panel pada tanggal 27 September 2004[2]. Anggota Panel terdiri
dari Kanada, Cina, Uni Eropa, Jepang dan Amerika Serikat. Dalam menelaah persengketaan
ini, Panel melaksanakan dua kali sidang, yaitu pada tanggal 1-2 Februari 2005 dan 30 Maret
2005.
Pada tanggal 28 Oktober 2005, Panel mengemukakan hasil temuannya dalam
persengketaan ini. Panel menemukan (a) bahwa KTC bertindak tidak konsisten dengan
kewajibannya berdasarkan Art 6,8 dan 7 Annex II dalam perhitungan beban bunga untuk
perusahaan Indonesia. Ditemukan bahwa KTC gagal dalam menerapkan kehati-hatian khusus
dalam Surat Penentuan apakah penggunaan beban bunga bagi perusahaan perdagangan
merupakan tindakan yang tepat dan dalam menguatkan beban bunga tersebut dengan beban
bunga dari perusahaan lain dan (b) Panel menemukan bahwa KTC bertindak tidak konsisten
dengan kewajiban yang ditetapkan dalam Art 6.2 dengan gagal untuk memungkinkan
eksportir Indonesia untuk mengomentari kembali cedera ketentuan KTC[3] . DSB
mengadopsi dan menerima temuan Panel ini pada tanggal 28 November 2005.
Indonesia dan Korea Selatan memberitahukan prosedur pemahaman keputusan DSB
tersebut dan Indonesia menerima keputusan Panel dengan terlebih dahulu berkonsultasi
terhadap Pasal 21.5 dari keputusan DSB tersebut. Dan pada tanggal 28 September 2007,
Panel pengedarkan laporan tentang Pasal 21.5 tersebut. Korea Selatan disarankan oleh Panel
merevisi aturanya dan menghitung kembali bea masuk anti-dumping yang dikenakan kepada
perusahaan
Kertas asal Indonesia. Tetapi, dalam pelaksanaannya Korea telah melewati tenggat
waktu yang diberikan untuk menyelesaikan sengketa. Dalam kasus yang seperti ini, Indonesia
diperbolehkan untuk melakukan tindakan pembalasan terhadap Korea tetapi harus
dipertimbangkan dengan matang oleh pihak Indonesia. Pada akhirnya Korea Selatan
melaksanakan keputusan DSB ini baru pada akhir 2010 lalu tepatnya pada bulan November.
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Kebijakan perdagangan internasional seperti yang diketahui bahwa hal ini menjadi
acuan dalam melakukan perdagangan internasional, yang dimana didalamnya terdapat
ketentuan maupun arahan suatu perdagangan di masing-masing negara atau di organisasi-
organisasi tertentu. Melakukan perdagangan bebas menjadi salah satu langkah dan upaya
untuk pemenuhan kebutuhan pasar global maupun pemenuhan kebutuhan domestik suatu
negara. Di tiap-tiap negara sejatinya memiliki kebijakan dalan melakukan perdagangan
bebas, kebijakan tersebut memiliki tujuan dan fungsi seperti menciptakan kebebasan dalam
perdagangan, sehingga tidak adanya rintangan ataupun hambatan yang menghalangi arus
produk dari dan ke luar negeri.
Adapun kebijakan lain yang memang erat kaitannya terhadap kebijakan perdagangan
internasional yaitu kebijakan perdagangan proteksionis. Kebijakan perdagangan proteksionis
memiliki makna sebagai kebijakan perdagangan yang melindungi industri dalam negeri
dengan cara membuat berbagai rintangan (hambatan) yang menghalangi arus produk dari dan
ke luar negeri. Kuota ekspor dan kuota impor menjadi beberapa bentuk hambatan yang dibuat
sebagai kebijakan perdagangan proteksionis
[1] WorldTrade Organization, Korea – Antidumping Duties on Imports of Certain Paper from
Indonesia (online), 22 Oktober 2007,
http://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/cases_e/ds312_e.htm diakses pada 19 Maret
2016 pukul 15.25 WIB
[2] Korea - Anti-Dumping Duties on Imports of Certain Paper from Indonesia, from
http://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/cases_e/ds312_e.htm, diakses pada 19 Maret
2016 pada pkul 16:15 WIB
[3]
Korea=Certainpaper,fromhttp://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/cases_e/1pagesum_e/
ds312sum_e.pdf&rurl, diakses pada 19 Maret 2016 pada pkul 17:05 WIB,
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
B. Website
http://www.anakunhas.com/2011/05/pengertian-dumping.html
http://www.antaranews.com/berita/84912/indonesia-kembali-laporkan-korea-ke-wto
http://www.suaramerdeka.com/harian/0511/01/eko09.htm
http://duniabaca.com/alasan-pelarangan-dumping-kertas-indonesia-di-korea-selatan.html
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31182/3/Chapter%20II.pdf
http://www.zonasiswa.com/2015/01/perdagangan-internasional-kebijakan.html