Anda di halaman 1dari 16

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Globalisasi adalah pengintegrasian internasional individu-individu dengan jaringan-


jaringan informasi serta institusi ekonomi sosial dan politik yang terjadi secara cepat dan
mendalam pada takaran yang belum pernah dialami selama sejarah dunia sebelumnya
(Deliarnov, 2006:201).
Globalisasi pada dasarnya adalah suatu fenomena dimana terdapatnya perubahan pada
bidang kehidupan manusia baik dari segi ekonomi, politik maupun sosial. Globalisasi yang
pada mulanya mengarah pada perubahan yang terjadi pada setiap individu telah mendelegasi
dan menyangkut pada kehidupan suatu negara. Perubahan tersebut umumnya mengarah pada
pengikut sertaan suatu paham, gaya hidup, hingga kebijakan yang dianut oleh suatu negara.
Globalisasi juga terjadi dalam ruang lingkup ekonomi.
Proses globalisasi ekonomi adalah perubahan perekonomian dunia yang bersifat
mendasar atau struktural dan proses ini akan berlangsung terus dengan laju yang akan
semakin cepat mengikuti perubahan teknologi yang juga akan semakin cepat dan peningkatan
serta perubahan pola kebutuhan masyarakat dunia. Perkembangan ini telah meningkatkan
kadar hubungan saling ketergantungan ekonomi dan juga mempertajam persaingan antar
negara, tidak hanya dalam perdagangan internasional tetapi juga dalam investasi, keuangan,
dan produksi. Globalisasi ekonomi ditandai dengan semakin menipisnya batas-batas geografi
dari kegiatan ekonomi atau pasar secara nasional atau regional, tetapi semakin mengglobal
menjadi “satu” proses yang melibatkan banyak negara. Globalisasi ekonomi biasanya
dikaitkan dengan proses internasionalisasi produksi, perdagangan dan pasar uang. Globalisasi
ekonomi merupakan suatu proses yang berada diluar pengaruh atau jangkauan kontrol
pemerintah, karena proses tersebut terutama digerakkan oleh kekuatan pasar global, bukan
oleh kebijakan atau peraturan yang dikeluarkan oleh sebuah pemerintah secara individu.

Globalisasi ekonomi ini mendorong munculnya perdagangan internasional antar negara-


negara guna memenuhi kebutuhan negara masing-masing, namun seiring dengan
berkembangnya zaman karena adanya gobalisasi ekonomi perdagangan internasional juga
mengalami perubahan yang sangat signifikan dan semakin bebas. Masing-masing negarapun
membuat kebijakan perdagangan internasionalnya masing-masing, ada beberapa bentuk
kebijakan perdagangan internasional yaitu proteksionis dan pasar bebas.
Kebijakan perdagangan internasional yang dianut tiap negara berbeda-beda. Ada
negara yang menganut kebijakan perdagangan proteksionis (perlindungan), ada pula yang
menganut kebijakan perdagangan bebas (free trade). Baik negara yang menganut kebijakan
perdagangan proteksionis maupun yang menganut kebijakan perdagangan bebas, pada
umumnya melakukan kebijakan perdagangan internasional dengan tujuan:
1. Mengendalikan Ekspor dan Impor
2. Melindungi produksi dalam negeri
3. Meningkatkan pendapatan negara
Sebagaimana di sebutkan diatas, kebijakan perdagangan setiap negara berbeda dengan
negara lain. Ada negara yang memilih menjalankan kebijakan perdagangan bebas (free trade)
ada yang memilih menjalankan kebijakan perdagangan proteksionis, dan ada pula yang
memilih gabungan keduannya. Namun yang paling relevan diterapkan pada era saat ini
adalah politik perdagangan pasar bebas.
Semakin bebasnya perdagangan internasional maka dirasa perlu adanya sebuah
institusi untuk mengatur perdagangan internasional tersebut agar perdagangan internasional
dapat berjalan dengan baik sebagaimana mestinya. WTO (World Trade Organization) muncul
sebagai organisasi perdagangan internasional terbesar didunia yang didalamnya mengatur
lalu lintas perdagangan, pembuat kebijakan perdagangan bahkan juga sebagai wadah bagi
negara-negara anggotanya untuk menyelesaikan apabila ada sengketa perdagangan.

1.2 Rumusan Masalah

”Apa saja bentuk dari kebijakan perdagangan internasional?”

1.3 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian


Memberikan informasi kepada pembaca mengenai apa saja bentuk kebijakan perdagangan
internasional.
BAB II
KERANGKA TEORI

3.1 Teori Keunggulan Mutlak


Teori keunggulan mutlak dikemukakan oleh Adam Smith dalam bukunya yang berjudul
“Wealth of Nations” yang terbit tahun 1776. Pada intinya, teori ini mengemukakan bahwa
suatu negara dikatakan memiliki keunggulan mutlak dalam memproduksi suatu barang, jika
negara itu mampu memproduksi barang tersebut dengan biaya lebih rendah dibanding negara
lain. Jika negara tersebut sepakat melakukan perdagangan internasional dengan negara lain,
maka sebaiknya negara tersebut hanya memproduksi dan mengekspor barang-barang yang
memiliki keunggulan mutlak (absolut advantage) dan mengimpor barang-barang yang tidak
memiliki keunggulan mutlak (absolute disadvantage). Contohnya suatu negara memiliki
kekayaan alam dan keahlian penduduk sehingga dapat memproduksi barang tertentu dengan
biaya lebih murah dibanding negara lain terhadap produk yang sama.

3.2 Teori Keunggulan Komparatif


Teori keunggulan komparatif dikemukakan oleh David Ricardo. Teori ini merupakan
pelengkap dari teori keunggulan mutlak. Teori keunggulan mutlak memiliki kelemahan,
karena tidak dapat menjelaskan mengapa suatu negara yang sama sekali tidak memiliki
keunggulan mutlak atas suatu produk, tetap bisa menjual (mengekspor) produknya ke negara
lain. Teori keunggulan komparatif menyatakan bahwa perdagangan masih bisa terjadi dan
menguntungkan dua negara meskipun hanya satu negara yang mempunyai keunggulan
mutlak pada kedua jenis barang. Pertukaran akan terjadi dan tetap menguntungkan bila
masing-masing negara punya keunggulan komparatif. Keunggulan komparatif adalah
keunggulan yang dimiliki suatu negara karena memiliki keunggulan lebih besar pada satu
barang dibanding barang lain, sedangkan negara lain memiliki kelemahan yang lebih kecil
pada barang lainnya.

3.3 Teori Heckscher dan Ohlin (H-O)


Teori Heckscher dan Ohlin (H-O) mempunyai dua kondisi penting sebagai dasar dari
munculnya perdagangan internasional, yaitu ketersediaan faktor produksi dan intensitas
dalam pemakaian faktor produksi atau proporsi faktor produksi. Oleh karena itu, teori H-O
sering juga disebut teori proporsi atau ketersediaan faktor produksi. Produk yang berbeda
membutuhkan jumlah atau proporsi yang berbeda dari faktor-faktor produksi. Perbedaan
tersebut disebabkan oleh teknologi yang menentukan cara mengombinasikan faktor-faktor
produksi yang berbeda untuk membuat suatu produk.

3.4 Teori Neoliberlisme


Teori Neo-Liberalisme adalah teori yang berusaha untuk menghilangkan potensi-
potensi konflik melalui institusi sebagai instrumen utamanya. Dengan demikian, teori ini
menekankan pada pentingnya kehadiran sebuah institusi dalam kerjasama. Teori Neo-
Liberalisme membantu menjelaskan bagaimana peranan dari sebuah institusi sebagai wadah
untuk menjalin kerjasama. Tindakan Negara sangat bergantung pada pengaturan institusi
yang berlaku. Institusi dalam teori ini memegang peranan yang begitu penting, karena
institusi dapat membentuk perilaku aktor agar merespon insentif kerjasama, mengatasi
masalah kecurangan dalam bekerjasama, serta masalah miskomunikasi antar aktor. Selain itu
pula institusi juga dapat berperan sebagai wadah kerjasama, dimana biaya kerjasama akan
lebih murah dari yang seharusnya.
Jadi, institusi selain berperan dalam menjaga keamanan suatu negara dalam
bekerja sama, institusi juga dijadikan sebagai upaya untuk memaksimalkan keuntungan
bersama dan menghindari terjadinya kecurangan-kecurangan. Dari penjelasan dapat
disimpulkan bahwa neoliberalisme adalah sebuah perspektif yang berusaha untuk
menciptakan perdamaian melalui kerangka kerjasama yang dikelola dalam sebuah institusi
formal yang saling menguntungkan. Dengan adanya sharing keuntungan ini, maka semua
aktor internasional akan menghilangkan sikap utilateralisme dan lebih mementingkan aspek
keuntungan bersama.

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Kebijakan Perdagangan Internasional


3.1.1 Kebijakan Perdagangan Bebas

Kebijakan perdagangan bebas adalah kebijakan perdagangan yang menginginkan


kebebasan dalam perdagangan, sehingga tidak ada rintangan yang menghalangi arus produk
dari dan ke luar negeri. Kebijakan perdagangan bebas berkembang dengan berpedoman pada
ajaran aliran klasik (liberal) yang tidak menghendaki adanya rintangan-rintangan (hambatan-
hambatan) dalam arus perdagangan internasional. Menurut aliran klasik, perdagangan bebas
layak dipakai sebagai sarana untuk meningkatkan kemakmuran, dengan alasan sebagai
berikut:
 Dapat mendorong persaingan antar pengusaha, sehingga tercipta produk yang berkualitas dan
berteknologi tinggi.

 Dapat mendorong penghematan biaya, sehingga produksi dapat dijalankan dengan biaya
serendah-rendahnya dan dijual dengan harga bersaing (efisiensi).

 Dapat menggerakkan perputaran modal, tenaga ahli dan investasi ke berbagai negara
sehingga dapat menumbuhkan perekonomian.

 Dapat meningkatkan perolehan laba sehingga memungkinkan para pengusaha berinvestasi


lebih luas.

 Dapat memperluas pilihan dan variasi bagi konsumen, sehingga mereka lebih bebas dalam
memilih berbagai produk yang diinginkan.

3.1.2 Kebijakan Perdagangan Proteksionis

Kebijakan perdagangan proteksionis adalah kebijakan perdagangan yang melindungi


industri dalam negeri dengan cara membuat berbagai rintangan (hambatan) yang
menghalangi arus produk dari dan ke luar negeri. Alasan suatu negara menganut kebijakan
perdagangan proteksionis adalah sebagai berikut:
 Perdagangan bebas hanya menguntungkan negara maju, karena mereka memiliki modal yang
kuat dan teknologi yang maju. Selain itu, harga produk industri negara maju dinilai terlalu
mahal (tinggi) dibanding harga bahan-bahan mentah yang dihasilkan negara berkembang.

 Untuk melindungi industri dalam negeri yang baru tumbuh. Industri seperti ini tidak akan
mampu bersaing dengan industri negara lain yang sudah maju dan berpengalaman.

 Untuk membuka lapangan kerja. Dengan melakukan proteksi, industriindustri di dalam


negeri dapat tetap hidup dan dengan demikian mampu membuka lapangan kerja bagi
masyarakat.
 Untuk menyehatkan neraca pembayaran. Agar terhindar dari defisit dalam neraca
pembayaran, negara dapat menggunakan kebijakan perdagangan proteksionis, caranya
dengan meningkatkan ekspor.

 Untuk meningkatkan penerimaan negara. Dengan mengenakan tarif tertentu terhadap produk
impor dan ekspor, negara dapat meningkatkan penerimaan.

Kebijakan perdagangan proteksionis dapat dilakukan suatu negara dengan membuat


berbagai hambatan atau rintangan. Hambatan-hambatan tersebut di antaranya adalah:
1. Kuota impor

Kuota impor adalah kebijakan yang menetapkan batas jumlah barang yang boleh
diimpor, dengan tujuan melindungi produksi dalam negeri. Dengan demikian, setelah
mencapai jumlah tertentu dalam suatu periode, pengimpor dilarang menambah jumlah barang
yang diimpor.

2. Kuota ekspor

Kuota ekspor adalah kebijakan menetapkan batas jumlah barang yang dapat diekspor
dengan tujuan menjamin persediaan barang tersebut untuk memenuhi kebutuhan dalam
negeri.

Selain itu ada beberapa bentuk kebijakan perdagangan internasional yang seringkali
diterapkan oleh pemerintah suatu negara, yaitu:

1. Subsidi
Subsidi adalah kebijakan dengan cara memberikan subsidi (tunjangan) kepada
perusahaan yang memproduksi barang ekspor, sehingga harga barang dari perusahaan
tersebut bisa bersaing dengan barang luar negeri. Dengan kata lain, pemberian subsidi akan
membuat harga jual barang menjadi lebih murah dan mampu bersaing dengan harga jual
barang luar negeri.

2. Tarif impor
Tarif impor adalah kebijakan mengenakan tarif atau bea terhadap barang yang diimpor
agar harga barang impor menjadi lebih mahal. Dengan demikian, perusahaan dalam negeri
yang menghasilkan barang sejenis bisa bersaing dengan barang impor. Pada umumnya, tarif
impor dikenakan dalam bentuk persentase dari nilai barang yang diimpor, misalnya 10% atau
20%. Untuk bahan-bahan baku industri, suatu negara biasanya akan mengenakan tarif impor
yang rendah atau bahkan 0%. Tarif impor dikenal dengan istilah pajak impor atau bea masuk.

3. Tarif ekspor
Tarif ekspor adalah kebijakan mengenakan tarif atau bea terhadap barang yang diekspor
dengan tujuan untuk merangsang ekspor. Dengan demikian, umumnya tarif dapat dikenakan
sangat rendah atau bahkan 0%. Istilah lain dari tarif ekspor adalah pajak ekspor atau bea
keluar. Kebijakan tarif ekspor dan tarif impor, selain digunakan sebagai alat proteksi, juga
bermanfaat menambah penerimaan negara, karena dengan adanya tarif, negara akan
menerima sejumlah uang. Coba Kalian cari, berapa jumlah tarif ekspor dan impor di APBN
tahun 1998 dan APBN tahun 2001 pada buku Ekonomi kelas XI.

4. Premi
Premi adalah kebijakan berupa pemberian hadiah atau penghargaan kepada perusahaan
yang mampu memproduksi barang dengan kualitas tinggi dan kuantitas (jumlah) tertentu.
Pemberian premi diharapkan bisa memacu produsen dalam negeri untuk bersaing dalam
meningkatkan kualitas dan kuantitas produknya.

5. Diskriminasi harga
Diskriminasi harga adalah kebijakan melalui penetapan harga produk secara berlainan
untuk satu negara dengan negara lainnya. Kebijakan ini dilakukan salah satunya dalam
rangka perang tarif.

6. Larangan ekspor
Larangan ekspor adalah kebijakan melarang ekspor untuk barangbarang tertentu dengan
pertimbangan ekonomi, politik dan sosial budaya. Dengan pertimbangan ekonomi, suatu
negara melarang mengekspor bahan-bahan baku industri yang dibutuhkan di dalam negeri.

7. Larangan impor
Larangan impor adalah kebijakan melarang impor untuk barang-barang tertentu dengan
beberapa alasan. Alasan-alasan tersebut di antaranya adalah untuk melindungi industri dalam
negeri, untuk membalas kebijakan perdagangan negara lain dan untuk menghemat devisa.
8. Dumping
Dumping adalah kebijakan menjual suatu barang di luar negeri dengan harga yang lebih
murah dibandingkanb harga di dalam negeri. Tujuan kebijakan ini adalah memperluas dan
menguasai pasar. Dumping bisa dilakukan bila terdapat aturan(hambatan) yang jelas dan
tegas sehingga konsumen di dalam negeri tidak bisa membeli barang (yang didumping) dari
luar negeri.

3.2 Studi Kasus: Tuduhan Dumping ekspor kertas Indonesia oleh Korea Selatan

Salah satu kasus yang terjadi antara anggota WTO yaitu kasus Korea Selatan dan
Indonesia, dimana Korea Selatan menuduh Indonesia melakukan dumping woodfree copy
paper ke Korsel. Perdagangan kertas antara Indonesia dengan Korea Selatan diwarnai dengan
adanya tuduhan dumping yang dilakukan oleh Korea Selatan terhadap Indonesia. Tuduhan
yang diberikan oleh Korea Selatan tersebut atas praktek dumping yang dilakukan Indonesia
merupakan suatu kerugian. Indonesia merasa keberatan atas tuduhan tersebut, hal ini karena
Indonesia tidak melakukan apa yang dituduhkan. Dengan adanya tuduhan ini, pemerintah
Korea Selatan Selatan membuat kebijakan yang sangat merugikan Indonesia. Bila suatu
negara mengalami kekurangan atau kelangkaan komoditas vital atau strategis, maka ada
barang impor yang murah dengan harga dumping tentu dianggap merugikan. Indonesia
sebagai negara berkembang pada umumnya akan memilih suatu perusahaan domestic untuk
subsidi khususnya industri yang benar-benar menjadi ekspor Indonesia. Selain itu, indonesia
juga mengambil kebijakan ekonomi seperti penetapan batasan impor, hambatan tarif dan non
tarif serta kebijakan lainnya. Sama seperti negara lainnya, Korea Selatan juga menetapkan
kebijakan ekonomi anti dumping untuk melindungi industri domestiknya. Namum kali ini
yang menjadi sasaran negara yang melakukan dumping adalah Indonesia.

Adapun Perusahaan yang dikenakan tuduhan dumping adalah PT Indah Kiat Pulp &
Paper Tbk, PT Pindo Deli Pulp & Mills, PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk, dan April Pine
Paper Trading Pte Ltd. Produk kertas Indonesia yang dikenai tuduhan dumping mencakup 16
jenis produk, tergolong dalam kelompok uncoated paper and paper board used for writing,
printing, or other graphic purpose serta carbon paper, self copy paper and other
copying atau transfer paper.

Akibat kejadian ini Indonesia mengalami kerugian yang cukup signifikan. Indonesia
mengalami penurunan penjualan kertas saat kasus ini terjadi. Dengan terjadinya banjir barang
dari pengekspor yang harganya jauh lebih murah dari pada barang dalam negeri akan
mengakibatkan barang sejenis kalah bersaing, sehingga pada akhirnya akan mematikan pasar
barang sejenis dalam negeri, yang diikuti oleh dampak ikutannya seperti pemutusan kerja
masal, penganguran dan bangkrutnya industri barang sejenis didalam negeri, dengan kata lain
hakekat dumping sebagai praktek curang, bukan hanya karena dumping dipergunakan untuk
sebagai sarana untuk merebut pasaran di negara lain. tapi bahkan dapat mematikan
perusahaan domestik yang menghasilkan produk sejenis.
Kebijakan dumping tersebut mempunyai beragam motif yang pastinya akan
menguntungkan negara pengekspor. Meskipun negara pengekspor memberikan harga yang
lebih murah kepada negara tujuan, namun hal nya belum tentu terjadi secara terus-menerus.
Belum tentu negara pengirim memberikan harga yang murah selamanya. Pihak produsen
menunggu hingga beberapa tahun ke depan ketika negara tujuan ekspor tersebut sudah
tergantung dengan negara pengekspor. Dalam sebuah perdagangan internasional, kebijakan
yang terkadang merugikan negara tujuan ekspor dalam jangka panjang memang sering kali
dijumpai. Sehingga kegiatan ini tak jarang menimbulkan berbagai spekulasi pada masyarakat.
Dalam mengantisipasi praktik dumping tersebut Indonesia mempunyai kebijakan dan
peraturan perundang undangan yang di persiapkan mengacu kepada ketentuan GATT atau
WTO. Harus disadari bahwa keberadaan perangkat hukum nasional dalam mengantisiasi
masalah dumping memang masih lemah, baik sebagai instrumen guna melakukan
perlindungan produk dalam negeri dari praktik dumping oleh negara lain, maupun sebagai
instrumen hukum guna mengahdapi tuduhan dumping di luar negeri.

Kelemahan dari perangkat hukum antidumping dapat dilihat dalam PP. 34 Tahun
1995, terkait dengan pengertian harga normal. Salah satu unsur terjadinya praktik dumping
apabila harga yang ditawarkan di pasar negara pengimpor lebih rendah jika dibandingkan
dengan harga normal (norma value) di dalam negeri pengimpor. Dalam PP. 34 Tahun 1996,
Pasal 1 butir 3, yang dimaksud dengan harga norma adalah harga yang sebenarnya dibayar
atau akan dibayar untuk barang sejenis dalam perdagangan pada umumnya di pasar domestik
negara pengekspor untuk tujuan konsumsi.

Menurut Sukarmi (Sukarmi, 2002: 18), dalam pasal ini tidak dijelaskan lebih lanjut
bagaimana kalau harga normal tidak didapatkan karena mungkin ada produsen dalam negeri
yang menghkususkan produk yang sejenis tersebut hanya dapat memenuhi pasar luar negeri
atau untuk konsumsi ekspor, apakah ada penetapan pedoman harga yang lain yang dapat
dijadikan sebagai penganti harga normal.
Sehubungan dengan tidak adanya kejelasan tentang pengertian ”harga normal’ dan
”kerugian” dalam PP. No.34 tahun 1996, menurut Paul B. Stephan dalam Sukarmi,
diperlukan kejelian dalam penerapan dan penafsiran ketentuan antidumping dalam GATT-
WTO ke dalam peraturan nasional. Dengan adannya Undang-Undang Anti-dumping,
pemerintah dapat mengambil tindakan terhadap barang-barang impor yang dijual lebih murah
dari negara asalnya, atau negara ketiga atau lebih murah dari perhitungan ongkos produksi
dan trasportasi di tambah keuntungan normal yang merugikan produsen dalam negeri.
(Sukarmi, 2002: 19).

Sebagai akibat dari masih lemahnya perangkat hukum tentang antidumping


sebagaimana dijelaskan di atas, menimbulkan kesulitan baik terhadap upaya perlindungan
hukum bagi produk ekspor Indonesia dari tuduhan dumping di luar negeri, maupun terhadap
upaya perlindungan hukum bagi produk domestik dari praktik dumping di dalam negeri.

Peran WTO

Secara garis besar, prosedur penyelesaian sengketa dalam WTO ada tiga yaitu:
konsultasi bilateral, pembentukan panel, dan banding. Langkah pertama yang ditempuh
adalah melakukan perundingan bilateral. Peruundingan tersebut belum mampu membawa
masalah ini ke titik penyelesaian. Indonesia menilai Korea Selatan mencederai beberapa
kewajiban WTO, terutama yang berkaitan dengan pemberian informasi dan alas an
pengenaan bea anti-damping. Indonesia menyadari bahwa Korea tidak konsisten dengan apa
yang telah disetujuinya di WTO berupa article VI dari GATT 1994, inter alia, article VI:1,
VI:2 and VI:6; articles 1, 2.1, 2.2, 2.2.1.1, 2.2.2, 2.4, 2.6, 3.1, 3.2, 3.4, 3.5, 4.1(i), 5.2, 5.3,
5.4, 5.7, 6.1.2, 6.2, 6.4, 6.5, 6.5.1, 6.5.2, 6.7, 6.8. 6.10, 9.3, 12.1.1(iv), 12.2, 12.3, Annex I,
dan paragraf 3, 6, and 7 dari Annex II mengenai Perjanjian Anti-Dumping[1].
Gagalnya perundingan tersebut membuat Indonesia meminta WTO untuk membentuk
panel. Pada tanggal 27 September 2004, WTO membentuk panel yang terdiri dari pihak
ketiga sebagai jawaban atas permintaan Indonesia yang terdiri dari Kanada, Cina, komunitas
Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang. Pihak ketiga disini berfungsi untuk melakukan
penyelidikan terhadap tuduhan yang dilayangkan oleh Korea Selatan terhadap Indonesia
sekaligus menanggapi gugatan Indonesia ke WTO. Diakhir kerjanya, panel mengumumkan
hasil temuannya yang menyatakan bahwa kebijakan pemerintah Korea mengenai anti-
dumping produk kertas Indonesia tidak sesuai dengan perjanjian GATT dalam WTO. Tetapi,
dalam pelaksanaan temuan panel tersebut, pemerintah Korea tidak dapat langsung mengubah
kebijakan anti-dumping nya terhadap produk kertas Indonesia. Baru pada akhir tahun 2010,
tepat nya bulan November lalu, keputusan panel dilaksanakan oleh pemerintah Korea dengan
menghilangkan bea masuk antidumping terhadap kertas Indonesia. Hal tersebut dikarenakan
sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah Korea Selatan kurang, sehingga banyak
pengusaha Korea yang tidak mengetahui hal tersebut, dengan kata lain pengusaha Korea
belum merespon secara aktif.
Proses Penyelesaian Sengketa
Tahapan pertama yang dilakukan untuk menyelesaikan persengketaan perdagangan
antar negara adalah melalui konsultasi bilateral antar negara-negara yang bersengketa.
Demikian halnya yang terjadi dengan persengketaan antara Indonesia dengan Korea Selatan
menyangkut kebijakan Korea Selatan terhadap produk kertas Indonesia. Korsel menerapkan
bea masuk anti dumping terhadap produk kertas Indonesia menyusul petisi yang diajukan
oleh industri-industri kertas Korsel.
Indonesia meminta dilakukannya konsultasi bilateral antara kedua negara (Indonesia-
Korsel) pada tanggal 4 Juni 2004. Usulan Indonesia pun kemudian ditindak lanjuti dengan
diadakannya konsultasi antara kedua negara yang dimulai pada tanggal 7 Juni 2004. Dalam
konsultasi bilateral ini, pihak Indonesia meminta Korea Selatan dalam hal ini Korean Trade
Commission (KTC) untuk untuk mencabut adanya bea masuk anti dumping yang diterapkan
pada produk kertas Indonesia.
Karena pada tahap konsultasi bilateral ini tidak didapatkan kesepakatan antara kedua
pihak yang bersengketa, maka tahap konsultasi ini pun gagal untuk menyelesaikan masalah
ini. Untuk itulah Indonesia meminta WTO membentuk Panel untuk meneliti kasus anti
dumping tersebut.
Diskusi bilateral antara Indonesia dan Korea Selatan tidak membuahkan hasil yang
memuaskan pihak Indonesia. Maka ditempuh lah tahap kedua yaitu pembentukan panel
melalui Dispute Settlement Body atau DSB yang merupakan sebuah lembaga yang mewakili
Dewan Umum dalam WTO dan bertanggung jawab terhadap penyelesaian konflik. DSB
jugalah satu-satunya badan yang memiliki otoritas membentuk Panel yang terdiri dari para
ahli yang bertugas menelaah kasus. DSB dapat menerima atau menolak keputusan Panel atau
keputusan pada tingkat banding.
Oleh karena itu, pada tanggal 16 Agustus 2004 Indonesia meminta dibentuknya Panel,
DSB menangguhkan permintaan Indonesia untuk membentuk Panel pada tanggal 31 Agustus
2004, dan DSB membentuk Panel pada tanggal 27 September 2004[2]. Anggota Panel terdiri
dari Kanada, Cina, Uni Eropa, Jepang dan Amerika Serikat. Dalam menelaah persengketaan
ini, Panel melaksanakan dua kali sidang, yaitu pada tanggal 1-2 Februari 2005 dan 30 Maret
2005.
Pada tanggal 28 Oktober 2005, Panel mengemukakan hasil temuannya dalam
persengketaan ini. Panel menemukan (a) bahwa KTC bertindak tidak konsisten dengan
kewajibannya berdasarkan Art 6,8 dan 7 Annex II dalam perhitungan beban bunga untuk
perusahaan Indonesia. Ditemukan bahwa KTC gagal dalam menerapkan kehati-hatian khusus
dalam Surat Penentuan apakah penggunaan beban bunga bagi perusahaan perdagangan
merupakan tindakan yang tepat dan dalam menguatkan beban bunga tersebut dengan beban
bunga dari perusahaan lain dan (b) Panel menemukan bahwa KTC bertindak tidak konsisten
dengan kewajiban yang ditetapkan dalam Art 6.2 dengan gagal untuk memungkinkan
eksportir Indonesia untuk mengomentari kembali cedera ketentuan KTC[3] . DSB
mengadopsi dan menerima temuan Panel ini pada tanggal 28 November 2005.
Indonesia dan Korea Selatan memberitahukan prosedur pemahaman keputusan DSB
tersebut dan Indonesia menerima keputusan Panel dengan terlebih dahulu berkonsultasi
terhadap Pasal 21.5 dari keputusan DSB tersebut. Dan pada tanggal 28 September 2007,
Panel pengedarkan laporan tentang Pasal 21.5 tersebut. Korea Selatan disarankan oleh Panel
merevisi aturanya dan menghitung kembali bea masuk anti-dumping yang dikenakan kepada
perusahaan
Kertas asal Indonesia. Tetapi, dalam pelaksanaannya Korea telah melewati tenggat
waktu yang diberikan untuk menyelesaikan sengketa. Dalam kasus yang seperti ini, Indonesia
diperbolehkan untuk melakukan tindakan pembalasan terhadap Korea tetapi harus
dipertimbangkan dengan matang oleh pihak Indonesia. Pada akhirnya Korea Selatan
melaksanakan keputusan DSB ini baru pada akhir 2010 lalu tepatnya pada bulan November.

Implikasi Sengketa Kertas Indonesia-Korea Selatan


Permasalahan pembebanan biaya anti-dumping produk kertas Indonesia di Korea
Selatan yang akhirnya di bawa ke WTO dan dibahas dalam Dispute Settlement Body
memberikan beberapa implikasi terhadap hubungan antara Indonesia dan Korea Selatan,
terutama dari sektor industri kertas. Meski Komisi Perdagangan Korea Selatan atau Korean
Trade Commission (KTC) telah memutuskan untuk menghentikan kasus tuduhan dumping
terhadap kertas asal Indonesia, namun para pengusaha Korea belum merespons secara aktif.
Hal tersebut terjadi dikarenakan penghentian kasus dumping ini belum diumumkan secara
luas kepada para pemegang industri di Korea. Pengusaha yang dituduh menjual kertas lebih
murah di luar negeri ketimbang di Indonesia itu pun gerah akan sikap Korea. Mereka
mendesak pemerintah Indonesia melakukan retaliasi atau tindakan balasan kepada Korea.
Pemerintah tak serta merta menuruti permintaan pengusaha. Pemerintah menyatakan akan
menunggu keputusan inisiasi yang rencananya akan diumumkan pada akhir Oktober 2010.
Singkat kata, tuduhan dumping Korea terhadap produk kertas Indonesia telah membuat para
pemegang industri geram dan kecewa terhadap pemerintah Korea, yang membuat mereka
menuntut pemerintah RI untuk melakukan tindakan balasan.
Salah satu contohnya ialah pihak dari Sinarmas Tbk yang mendesak pemerintah
melakukan tindakan retaliasi atau pembalasan terkait pengenaan biaya tambahan anti
dumping terhadap produk kertasnya di Korea Selatan. Selain itu, menurut Dirjen Kerjasama
Perdagangan Internasional Kementerian Perindustrian dan Perdagangan, Gusmardi Bustami,
sikap pemerintah Korea Selatan yang mengenakan anti dumping produk kertas Indonesia
merupakan cerminan dari upaya proteksi agar produk kertas Indonesia tak bisa masuk Korea
Selatan. Sehingga langkah retaliasi bisa cukup beralasan terlebih lagi pihak Korea pun diduga
melakukan dumping kertas di Indonesia. Gusmardi menjelaskan pasca pengenaan anti
dumping oleh Korea, kinerja ekspor kertas Indonesia ke Korea turun drastis. Ekspor kertas
Indonesia ke Korea sempat menyentuh angka tertinggi hingga US$ 150 juta sementara saat
ini sudah turun drastis hingga US$ 50 juta. Singkatnya, tuduhan dumping dan pembebanan
biaya anti dumping ini telah membuat pengusaha kertas Indonesia “gerah”. Meskipun kasus
ini telah dibawa ke dalam agenda DSB, namun ternyata tetap mengakibatkan merosotnya
nilai ekspor kertas Indonesia ke Korea. Hal ini tentunya berimplikasi kepada industri kertas
dalam negeri masing-masing negara.
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Kebijakan perdagangan internasional seperti yang diketahui bahwa hal ini menjadi
acuan dalam melakukan perdagangan internasional, yang dimana didalamnya terdapat
ketentuan maupun arahan suatu perdagangan di masing-masing negara atau di organisasi-
organisasi tertentu. Melakukan perdagangan bebas menjadi salah satu langkah dan upaya
untuk pemenuhan kebutuhan pasar global maupun pemenuhan kebutuhan domestik suatu
negara. Di tiap-tiap negara sejatinya memiliki kebijakan dalan melakukan perdagangan
bebas, kebijakan tersebut memiliki tujuan dan fungsi seperti menciptakan kebebasan dalam
perdagangan, sehingga tidak adanya rintangan ataupun hambatan yang menghalangi arus
produk dari dan ke luar negeri.

Adapun kebijakan lain yang memang erat kaitannya terhadap kebijakan perdagangan
internasional yaitu kebijakan perdagangan proteksionis. Kebijakan perdagangan proteksionis
memiliki makna sebagai kebijakan perdagangan yang melindungi industri dalam negeri
dengan cara membuat berbagai rintangan (hambatan) yang menghalangi arus produk dari dan
ke luar negeri. Kuota ekspor dan kuota impor menjadi beberapa bentuk hambatan yang dibuat
sebagai kebijakan perdagangan proteksionis

Tak jarang ditemukan adanya praktik-praktik perdagangan internasional antar negara


yang didalamnya terjadi polemik. Salah satunya ialah perdagangan internasioal antara
Indonesia dengan Korea Selatan, dengan komoditi kertas dan Indonesia menjadi produsen
atau pengekspor ke negara Korea Selatan. Tuduhan yang diberikan oleh Korea Selatan
tersebut atas praktek dumping yang dilakukan oleh Indonesia merupakan suatu kerugian bagi
Indonesia. Indonesia merasa keberatan atas tuduhan tersebut, hal ini dikarenakan Indonesia
tidak melakukan apa yang dituduhkan. Dengan adanya tuduhan ini, Korea Selatan membuat
kebijakan yang sangat merugikan Indonesia dengan menetapkan Bea Masuk Anti Dumping
(BMAD).
Mekanisme awal yang dilakukan oleh Indonesia adalah dengan melakukan konsultasi-
konsultasi yang terjadi antara Korsel dengan Indonesia yang pada akhirnya menemui jalan
buntu dan tidak tercapaikan kesepakatan. Korea Selatan melakukan dumping ini karena korea
takut akan mengalami kerugian kertas yang di produksi di dalam negerinya sendiri. Karena
harga kertas impor jauh lebih murah dibanding dalam negeri.
Prosedur penyelesaian sengketa atau Dispute Settlement Mechanism yang diterapkan
oleh WTO untuk menyelesaikan sengketa dagang antarnegara bisa dikatakan cukup efektif
dalam menyelesaikan sengketa dagang antarnegara. Dalam kasus ini, Indonesia
memanfaatkan prosedur yang diterapkan oleh WTO dan memperoleh manfaat dari
pemanfaatan prosedur tersebut.
Dinilai cukup efektif karena DSM ini memang terbukti mampu untuk menyelesaikan
sengketa dagang antarnegara akan tetapi waktu yang dibutuhkan termasuk lama. Dari kasus
Indonesia ini diawali pada tahun 2002 dan baru benar-benar selesai serta dimenangkan
Indonesia dengan dicabutnya bea masuk antidumping pada tahun 2010. Delapan tahun waktu
yang dibutuhkan oleh Indonesia untuk bisa benar-benar memenangkan sengketa nya dengan
Korea Selatan.

[1] WorldTrade Organization, Korea – Antidumping Duties on Imports of Certain Paper from
Indonesia (online), 22 Oktober 2007,
http://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/cases_e/ds312_e.htm diakses pada 19 Maret
2016 pukul 15.25 WIB
[2] Korea - Anti-Dumping Duties on Imports of Certain Paper from Indonesia, from
http://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/cases_e/ds312_e.htm, diakses pada 19 Maret
2016 pada pkul 16:15 WIB
[3]
Korea=Certainpaper,fromhttp://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/cases_e/1pagesum_e/
ds312sum_e.pdf&rurl, diakses pada 19 Maret 2016 pada pkul 17:05 WIB,

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Deliarnov. 2006. Ekonomi Politik. Jakarta: Erlangga


Halwani, Hendra. 2005. Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi. Bogor: Ghalia
Indonesia

B. Website
http://www.anakunhas.com/2011/05/pengertian-dumping.html
http://www.antaranews.com/berita/84912/indonesia-kembali-laporkan-korea-ke-wto
http://www.suaramerdeka.com/harian/0511/01/eko09.htm
http://duniabaca.com/alasan-pelarangan-dumping-kertas-indonesia-di-korea-selatan.html
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31182/3/Chapter%20II.pdf
http://www.zonasiswa.com/2015/01/perdagangan-internasional-kebijakan.html

Anda mungkin juga menyukai