Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN PBL

MODUL 4
INKONTINENSIA URIN
BLOK SISTEM TUMBUH KEMBANG ANAK

TUTOR: Dr.dr. Sri Vitayani, Sp.KK (K), FINSDV


KELOMPOK 6

11020140008 Arafah
11020140020 Fifi Alfiah
11020140034 Rahmat Arbiansyah Hasan
11020140048 Qaidil Qaimil Chaesar
11020140068 Inayathul Wahdaniah
11020140085 Muhammad Zuhal Darwis
11020140086 Arina An Umilla
11020140098 Siti Adani Ayundi
11020140113 Ria Rizki Amaliyah
11020140144 Afifah Fatimah Azzahrah Ahmad.W

Fakultas Kedokteran
Universitas Muslim Indonesia
2017

1
Skenario 1
Anamnesis : Perempuan 68 tahun dibawa ke Rumah Sakit oleh keluarganya
dengan keluhan selalu mengompol. Keadaan ini dialami sudah sejak 8 bulan lalu
dimana penderita sama sekali tidak dapat menahan bila ingin buang air kecil,
sehingga kadang air seninya berceceran di lantai. Tidak ada keluhan sakit saat
berkemih.

Menurut keluarganya sejak seminggu yang lalu penderita terdengar batuk-batuk,


banyak lendir kental dan agak sesak nafas, serta nafsu makannya sangat
berkurang, tetapi tidak demam. Penderita mempunyai 8 orang anak yang terdiri
dari 5 laki-laki dan 3 perempuan. Riwayat penyakit selama ini, sejak 15 tahun
penderita mengidap dan berobat teratur penyakit kencing manis dengan obat
Glibenklamide 5 mg, tekanan darah tinggi dengan obat Captopril 25 mg dan ke
dua lutut sering bengkak dan sakit.

Pemeriksaan fisik : Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah baring


180/70 mmHg dan duduk 160/70 mmHg, nadi 92x/menit, suhu aksiler 37OC,
pernapasan 24x/menit. Pada auskultasi paru-paru ditemukan adanya ronkhi basah
kasar pada bagian medial paru kanan dan kiri. Jantung, hati dan limpa kesan
dalam batas normal. Berat badan 72 kg dan tinggi badan 155 cm.

Pemeriksaan Penunjang : Pem. laboratorium kadar Hb 12,3 gr%, Leukosit


13.400 /mm3, GDS 279 mg/dl, ureum 63 mg/dl, kreatinin 1,85 mg/dl, asam urat
9,2 mg/dl.

Analisa urin : Sedimen leukosit : 1-3/lpb, Pemeriksaan toraks foto ditemukan


adanya perselubungan homogen di daerah medial kedua paru.

USG Abdomen tidak ditemukan kelainan.

Kata / Kalimat Sulit

 TD Baring : 180/70 mmHg (HP grade 2), Duduk : 160/70 mmHg (HP 2)

 Nadi 92x/menit = Normal

2
 Suhu aksiler 37OC = Normal

 Pernapasan 24x/menit = Normal

 BB = 72 kg dan TB 155 cm. IMT = 29,97 kg/m2 (Obes 1)

 kadar Hb 12,3 gr% = Normal (12-16 gr/dl)

 Leukosit 13.400 /mm3 = Meningkat (normal: 3.200-10.000/ mm3)

 GDS 279 mg/dl= Meningkat ( normal:70-200 mg/dl)

 ureum 63 mg/dl = Meningkat (normal: 10-40 mg/dl)

 kreatinin 1,85 mg/dl

(140−𝑢𝑚𝑢𝑟) 𝑥 𝐵𝐵 (𝐾𝐺)
Creatine cleareance = 𝑥 0,85 = 33,08 ml/menit (CKD
72 𝑥 𝑠𝑒𝑟𝑢𝑚 𝑐𝑟𝑒𝑎𝑡𝑖𝑛𝑒

grade 3)

 asam urat 9,2 mg/dl = Meningkat (normal wanita: 2,3-6,6 mg/dl)

 Analisa urin : Sedimen leukosit : 1-3/lpb = Normal

Kata/ Kalimat Kunci

1. Perempuan 68 tahun dibawa ke Rumah Sakit keluhan selalu mengompol.


2. Sejak 8 bulan lalu.
3. Penderita sama sekali tidak dapat menahan bila ingin buang air kecil,
sehingga kadang air seninya berceceran di lantai.
4. Tidak ada keluhan sakit saat berkemih.
5. Sejak seminggu yang lalu penderita batuk-batuk, banyak lendir kental dan
agak sesak nafas, serta nafsu makannya sangat berkurang tetapi tidak
demam.
6. Penderita mempunyai 8 orang anak : 5 laki-laki dan 3 perempuan.
7. Riwayat penyakit :
- Sejak 15 tahun menderita penyakit kencing manis, dan berobat
teratur dengan obat Glibenklamide 5 mg

3
- Tekanan darah tinggi dengan obat Captopril 25 mg
- Ke dua lutut sering bengkak dan sakit.
8. Pemeriksaan fisik :
- Tekanan darah baring : 180/70 mmHg, dan duduk : 160/70 mmHg
- Nadi 92x/menit,
- Suhu aksiler 37OC,
- Pernapasan 24x/menit.
- Auskultasi paru-paru : adanya ronkhi basah kasar pada bagian
medial paru kanan dan kiri.
- Jantung, hati dan limpa : kesan dalam batas normal.
- Berat badan 72 kg dan tinggi badan 155 cm.
9. Pemeriksaan Penunjang :
- Pem. Laboratorium : kadar Hb 12,3 gr%, Leukosit 13.400 /mm3,
GDS 279 mg/dl, ureum 63 mg/dl, kreatinin 1,85 mg/dl, asam urat 9,2
mg/dl.
- Analisa urin : Sedimen leukosit : 1-3/lpb,
- Pemeriksaan toraks foto: ditemukan adanya perselubungan homogen
di daerah medial kedua paru.
- USG Abdomen tidak ditemukan kelainan.

Pertanyaan penting :

1. Apa yang dimaksud dengan inkontinensia & klasifikasinya?


2. Faktor-faktor yang menyebabkan inkontinensia?
3. Bagaimana fisiologi berkemih?
4. Bagaimana proses terjadinya inkontinensia?
5. Bagaimana hubungan riwayat melahirkan dengan keluhan utama ?
6. Tentukan daftar masalah pada skenario ?
7. Tentukan skala prioritas pada scenario?
8. Bagaimana penatalaksanaan pada skala prioritas?
9. Prespektif islam berdasarkan skenario!

4
Jawaban pertanyaan :
1. Apa yang dimaksud dengan inkontinensia dan jelaskan klasifikasinya!
Jawab

Inkontinensia urin adalah pengeluaran urin tanpa disadarai dalam jumlah


dan frekuensi yang cukup sehingga menyebabkan masalah gangguan
kesehatan dan atau social. Inkontinensia urin merupakan salah satu
manifestasi penyakit yang sering ditemukan pada pasien geriatri.

Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar antara 15–30% usia


lanjut di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit
mengalami inkontinensia urin, dan kemungkinan bertambah berat
inkontinensia urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun. Masalah
inkontinensia urin ini angka kejadiannya meningkat dua kali lebih tinggi pada
wanita dibandingkan pria.

Secara umum ada 4 penyebab pokok, yaitu:

 Gangguan urologik : radang, batu, tumor dan divertikel.


 Gangguan neurologik : stroke, trauma pada medula spinalis dan dementia.
 Gangguan fungsional : hambatan pada mobilitas penderita.
 Gangguan lingkungan: tidak tersedianya situasi berkemih yang memadai /
sarana yang terlalu jauh.

Klasifikasi Inkontinensia Urin

1) Inkontinensia Urin Akut


Inkontinensia urin akut, biasanya bersifat reversibel. Inkontinensia ini
terjadi secara mendadak dan berkaitan dengan kondisi sakit akut maupun
masalah pengobatan yang diberikan yang akan menghilang bila kondisi
akut ini teratasi ataupun obat diberhentikan penggunaannya.

Penyebab inkontinensia Akut :

D : Delirium or acute confusional state

5
I : Infectiion, Urinary
A : Athropic vaginitis
P : Pharmaceutical
P : Psychologic disorders : depression
E : Endocrine disorders
R : Restricted mobility
S : Stoolilmpaction
Penggunaan obat seperti diuretika, anti kolinergik, psikotropik,
analgesik-narkotik, penghambat adrenergik alfa, agonis adrenergik alfa
serta calcium channel blocker perlu diperhatikan karena memiliki efek
terhadap saluran kemih dan dapat menyebabkan tercetusnya inkontinensia
akut.
2) Inkontinensia Urin Kronik
Ada dua hal yang melatarbelakangi inkontinensia kronik, yaitu
kegagalan penyimpanan urin pada kandung kemih akibat hiperaktif atau
menurunnya kapasitas kandung kemih dan kegagalan pengosongan
kandung kemih akibat lemahnya otot detrusor atau meningkatnya tahanan
aliran keluar.
Inkontinensia yang menetap dibagi menjadi 4 tipe, yaitu:
a) Inkontinensia urgensi
Tipe ini ditandai dengan ketidakmampuan menunda berkemih.
Menifestasinya berupa seringnya berkemih dan nokturia. Kelainan ini
dibagi atas dua subtipe yaitu subtipe motorik dan sensorik. Subtipe
motorik dapat disebabkan oleh lesi pada sistem saraf pusat seperti pada
penderita parkinson dan stroke, maupun adanya lesi pada saraf
supraspinal. Subtipe sensorik disebabkan oleh hipersensitivitas kandung
kemih akibat sistisis, uretritis dan diverkulitis.
b) Inkontinensia stress
Terjadi akibat peningkatan tekanan intraabdominal seperti batuk,
bersin, mengejan maupun tertawa yang kerapkali terjadi pada wanita yang

6
sudah tua yang mengalami hipermobilitas uretra dan melemahnya otot
dasar panggul akibatnya kurangnya kadar estrogen dan sering melahirkan.
c) Inkontinensia fungsional
Penyababnya adalah penurunan berat fungsi fisik dan kognitif
sehingga pasien tidak dapat mencapai toilet pada saat yang tepat. Ini
mungkin terjadi pada penderita demensia berat, gangguan mobilitas,
neurologik dan psikologik.
d) Inkontinensia luber (overflow)
Keadaan dimana pengeluaran urine terjadi akibat overdistensi kandung
kemih. Dengan kata lain aktivitas kandung kemih menurun akibat kandung
kemih terlalu melebar. Inkontinensia ini umumnya diikuti dengan sering
berkemih pada malam hari dengan volume yang kecil. Umumnya sisa
urine setelah berkemih (biasanya 450 cc) dapat menjadi pembeda jenis
inkontinensia ini dengan jenis yang lainnya.
Inkontinensia ini paling jarang dijumpai. Pada inkontinensia ini terjadi
penurunan aktivitas m. detrusor akibat gangguan pada persarafan sacrum
yang merupakan persarafan bagi vesika urinaria.

Dalam kenyataannya, keempat tipe ini saring saling bercampur pada


pasien inkontinensia urin. Tipe campuran yang jamak dijumpai adalah
campuran antara inkontinensia urgensi dan stress.1

2. Faktor-faktor yang menyebabkan inkontinensia!


Jawab

Inkontinensia Urin dpaat disebabkan oleh beberapa hal seperti: gangguan


neurologik, gangguan non neurologik seperti kelainan dasar panggul, kelainan
uretra, pemberian obat-obatan atau kadang-kadang tidak diketahui
penyebabnya (idiopatik).

1) Usia

7
Banyak penulis yang menyatakan bahwa terdapat peningkatan kejadian
Inkontinensia Urin dengan bertambahnya usia. Inkontinensia Urin pada
wanita usia 46-86 tahun, meningkat secara profresif dari 12% menjadi
25%. Hal ini dapat dipahami, dengan meningkatnya usia, terdapat
perubahan-perubahan secara langsung pada struktur traktus urinarius
bagian bawah, kontrol neurologi berkemih dan gambaran produksi urin.
Perubahan secara fisiologis berhubungan dengan menurunnnya jaringan
elastis, meningkatnya infiltrasi lemak, atrofi seluler, degenerasi syaraf dan
menurunnya tonus otot polos. Perubahan-perubahan ini menyebabkan
terjadinya perubahan pada jaringan penyokong pelvis.

2) Kehamilan
Inkontinensia Urin pada wanita sering dihubungkan dengan kehamilan
dan persalinan. Beberapa literatur menunjukkan bahwa inkontinensia
sering terjadi pada wanita hamil dibandingkan wania tidak hamil. Angka
kejadian pada kehamilan adalah 31%, 46%, dan 60% yang dilaporkan dari
3 penelitian berbeda. Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan
dapat menyebabkan melemahnya otot-otot dasar panggul, sehingga sering
menyebabkan inkontinensia urin.

Inkontinensia Urin selama kehamilan merupakan kondisi yang dapat


sembuh sendiri pada sebagian besar wanita. Tetapi ada yang mengatakan
bahwa wanita yang mengalami Inkontinensia Urin saat hamil, mungkin
merupakan predisposisi terjadinya Inkontinensia Urin pada masa akan
datang dalam kehidupannya. Bila gejala ini dialami selama kehamilan dan
tetap ada setelah 6 minggu setelah melahirkan, maka penderita harus
segera datang ke dokter untuk diobati. Krena bila tidak diobati, gejala ini
akan menjadi masalah yang berkepanjangan.

3) Persalinan
Bukti danya hubungan antara persalinan dan Inkontinensia Urin
dilaporkan pada beberapa penelitian. Hal ini disebabkan :

8
a. Persalinan dapat membuat rusaknya otot-otot dasar panggul akibat
regangan otot-otot dan jaringan penunjang selama kehamilan.
b. Kerusakaan dapat terjadi akibast robekan jalan lahir spontan atau
akibat episiotomi yang kurang baik
c. Regangan dari jaringan dasar panggul selama persalinan dapat
merusak syaraf panggul.
4) Obesitas
Obesitas sering merupakan faktor yang dapat menyebabkan
Inkontinensia Urin atau memicu terhadap beratnya kondisi tersebut.
Penambahan berat badan menyebabkan teregangnya dan melemahnya
otot-otot, syaraf-syaraf, dan struktur lain pada dasar panggul. Dengan
penurunan berat badan, maka Inkontinensia Urin menurun dari 60%
menjadi 12%.

5) Menopause
Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita menopause
menyebabkan menurunnya jaringan penyokong, menipisnya epitel vagina
dan uretra, menurunnya vaskularisasi submukosa uretra, dan menurunnya
glikogen sel pada vagina. Defisiensi estrogen juga merupakan salahs atu
faktor penting sebagai etiologi gangguan traktus urinaria bagian bawah
termasuk gejala urge seperti frekuensi, nokturia, urgensi, urge
inkontinensia dan kadang-adang disuria.

Penelitian terhadap 123 wanita menopause dengan sindrome gangguan


berkemih, dilakukan smear uretra untuk menilai status sito hormonal,
dijumpai sebanyak 15 orang mempunyai nilai smear normal, 85 dengan
aktivitas estrogen rendah, dan 33 dengan antrofi uretra tanpa efek
estrogen.

6) Prolapsus uteri dan riwayat operasi kandungan


7) Penyakit-penyakit lain, seperti : Diabetes Melitus, Penyakit Parkinson.2,3,4

9
3. Bagaimana fisiologi berkemih?
jawab
Kandung kemih dapat menampung fluktuasi volume urin yang besar.
Kandung kemih terdiri atas otot polos yang dilapisi bagian dalamnya oleh
suatu jenis epitel khusus. Dahulu diperkiraakan bahwa kandung kemih adalah
kantung inert. Namun, baik epitel maupun otot polos secara aktif ikut serta
dalam kemampuan kandung kemih mengakomodasi perubahan besar dalam
volume urin. Luas permukaan epitel yang melapisi bagian dalaam dapat
bertambah dan berkurang oleh proses teratur daur ulang membran sewaktu
kandung kemih terisi dan mengosongkan dirinya. Sewaktu kandung kemih
terisi, vesikel-vesikel sitoplasma terbungkus membrane disisipkan melalui
prosses eksositosis kepermukaan sel kemudian vesikel-vesikel ini di tarik
kedalam endositosis untuk memperkecil luas permukaan ketika terjadi
pengosongan kandung kemih. Selain itu dinding kandung kemih yang sangat
berlipat-lipat menjadi rata sewaktu pengisian kandung kemih untuk
meningkatkan kapasitas penyimpanan. Karena ginjal terus-menerus
menghasilkan urin maka kandung kemih harus memiliki kapasitas
penyimmpanan yang cukup untuk meniadakan keharusan terus-menerus
membuang urin.
Otot polos kandung kemih banyak mengandung saraf parasimpatif, yang
stimulasinya mneyebabkan kontaksi kandung kemih. Jika saluran melalui
uretra keluar terbuka maka kontraksi kandung kemih akan mengosongkan urin
dari kandunng kemih. Namun, pintu keluar dari kandung kemih dijaga oleh
dua sfingter, sfingter uretra interna dan sfinter uretra eksterna.
Sfingter adalah cincing otot yang ketika berkontraksi menutup saluran
melalui suatu lubang. Sfingter uretra interna yang terdiri dari otot polos dan
karenanya tidak berada dibawah control volunteer. Sebenarnya bukan suatu
otot tersendiri tetapi merupakan bagian terakhir dari kandung kemih.
Meskipun bukan sfingter sejati namun otot ini melakukan fungsinnya yang
sama seperti sfingter. Ketika kandung kemih melemas, susunan anatomic
region sfingter uretra internus menutup pintu keluar kandung kemih.

10
Dibagian lebih bawah saluran keluar, uretra dilingkari oleh satu lapisan
otot rangka, sfingter uretra eksternus. Sfingter ini diperkuat oleh diafragma
pelvis, suatu lembaran otot rangka yang membentuk dasar panggul dan
membantu menunjang otot-otot panggul. Neuron-neuron motorik yang
menyarafi sfingter eksternus dan diafragma pelvis terus-menerus
mengeluarkan sinyal dengan tingkat sedang kecuali jika mereka dihambat
sehingga otot-otot ini terus berkontraksi secara tonik untuk mencegah
keluarnya urin dari uretra. Dalam keadaan normal,, ketika kandung kemih
melemas dan terisi, baik sfingter interna maupun eksternus menutup untuk
menjaga agar urin tidak menetes. Selain itu, karena sfingter dan diafragma
pelvis adalah otot rangka dank arena nya berada di bawah control sadar maka
orang daapa secara sengaja mengontraksi keduanya untuk mencegah
pengeluaran urin meskipun kandung kemih berkontraksi dan sfingter internus
terbuka.

Refleks Berkemih

Miksi atau berkemih adalah proses pengosongan kandung kemih yang


diatur oleh dua mekanisme yaitu refleks berkemih dan control volunteer.
Refleks berkemih terpicu ketika reseptor regang didalam dinding kandung
kemih terangsang. Kandung kemih pada orang dewasa bisa menampung
hingga 250 sampai 400 ml urin sebelum tegangan di dindingnya mulai cukup
meningkat untuk mengaktifkan reseptor regang. Semakin besar regangan
melebihi ukuran ini, semakin besar tingkat pengaktifan reseptor. Serat-serat
aferen dari aseptor regang membawa impuls kemedula spinalis dan akhirnya
melalui antarneuron merangsang saraf parasimpatis untuk kandung kemih dan
menghambat neuron motorik ke sfingter eksternus. Stimulasi saraf
parasimpatis kandung kemih menyebabkan organ ini berkontraksi. Tidak ada
mekanisme khusus yg dibutuhkan untuk membuka sfingter internus,
perubahan bentuk kandung kemih selama kontraksi akan secara mekanis
menarik terbuka sfingter internus. Secara bersamaan, sfingter eksternus
melemas karena neuron-neuron motoriknya dihambat. Kini kedua sfingter

11
terbuka dan urin terdorong melalui uretra oleh gaya yang ditimbulkan oleh
kontraksi kandung kemih. Refleks berkemih ini, yang seluruhnya adalah
refleks spinal, mengatur pengosongan kandung kemih pada bayi. Segera
setelah kandung kemih terisi cukup untuk memicu refleks, bayi secara
otomatis berkemih.

Selain memicu refleks berkemih, pengisian kandung kemih juga


menyadarkan yang bersangkutan akan keinginan untuk berkemih. Persepsi
penuhnya kandung kemih muncul sebelum sfingter eksternus secara refleks
melemas, memberi peringatan bahwa miksi akan segera terjadi. Akibatnya,
control volunteer berkemih, yang dipelajari selama toilet training pada masa
anak-anak dini, dapat mengalahkan refleks berkemih sehingga pengosongan
andung kemih dapat berlangsung sesuai keninginan yang bersangkutan dan
bukan ketika pengisian kandung kemih pertama kali mengaktifkan reseptor
regang. Jika waktu refleks miksi tersebut dimulai kurang sesuai untuk
berkemih, maka yang bersangkutan dapat dengan sengaja mencegah
pengosongan kandung kemih dengan mengencangkan sfingter eksternus dan
diafragma pelvis. Impuls eksitatoriks volunteer dari korteks serebri
mengalahkan sinyal inhibitorik refleks dari reseptor regang ke neuron-neuron
motorik yang terlihat (keseimbangan relative PPE dan PPI) sehingga otot-otot
ini tetap berkontraksi dan tidak ada urin yang keluar.

Berkemih tidak dapat ditahan selamanya. Karena kandung kemih terus


terisi maka sinyal refleks dari reseptor regang meingkat seiring waktu.
Akhirnya, sinyal motorik refleks ke neuron motorik sfingter eksternus menjadi
sedemikian volunteer sehingga sfingter melemas dan kandung kemih secara
tak terkontrol mengosongkan isinya.

Berkemih juga dapat secara sengaja dimulai, meskipun kandung kemih


tidak teregang, dengan secara sengaja melemaskan sfingter eksternus dan
diafragma pelvis. Turunnya dasar panggul memungkinkan kandung kemih
turun yang secara simultan menarik terbuka sfingter uretra internus dan

12
meregangkan dinding kandung kemih. Pengaktifan reseptor regang yang
kemudian terjadi akan menyebabkan kontraksi kandung kemih melalui refleks
berkemih. Pengosongan kandung kemih secara sengaja dapat dibantu oleh
kontraksi dinding abdomen dan diafragma pernapasan. Peningkatan tekanan
intraabdomen yang ditimbulkannya menekan kandung kemih kebawah untuk
mempermudah pengosongan.5

4. Bagaimana proses terjadinya inkontinensia?


Jawab
 Diabetes Mellitus

Salah satu penyebab inkontinensia adalah poliuria. Poliuria pada


penderita DM merupakan akibat akibat glukosuria yang mengakibatkan
diuresis osmotic yang meningkatkan pengeluaran kemih (poliuria) yang
juga akan menimbulkan rasa haus (polidipsi) dan rasa lapar (polifagia).
Konsumsi glukosa hilang bersama kemih sehingga terjadi keseimbangan
kalori yang negative dan berat badan berkurang.

Diabetes melitus

Hiperglikemia

Blood glucose exceed renal threshold

Glukosuria

Osmotic diuresis

Poliuria

Inkontinence

13
Dalam scenario dikatakan bahwa pasien sudah mengonsumsi
obat-obatan diabetes melitis selama 15 tahun, sehingga kemungkinan
pasien sudah mendapatkan komplikasi vascular kronik (jangka
panjang) baik itu mikroangiopati maupun makroangiopati.
Mikroangiopati merupakan lesi spesifik diabetes yang menyerang
kapiler dan arteriola retina ( retinopati diabetic), glomerulus ginjal (
nephropati diabetic), otot-otot dan kulit.

Neuropatik diabetic merupakan komplikasi vaskeler di sumsum saraf


perifer. Neuropati timbul akibat gangguan jalur poliol (glukosa-sosbitol-
fruktosa) akibat menurunnya insulin. Terdapat penimbunan sorbitol dalam
lensa sehingga menimbulkan katarak, sedangkan pada jaringan saraf
terjadi penimbunan sorbitol dan fruktosa dan penurunan kadar mioinositol
yang menimbulkan neuropati. Perubahan biokimia pada jaringan saraf
akan mengganggn kegiatan metabolic sel-sel schwann dan menyebabkan
kehilangan akson. Kecepatan konduksi motorik akan berkurang pada tahap
dini perjalanan neuropati. Neuropati dapat menyerang saraf-saraf perifer
(mononeuropati dan polineuropati), saraf-saraf cranial atau system saraf
otonom.

Diabetik neuropati dapat menimbulkan efek negative terhadap traktus


genitourinarius, traktus intestinal, dan serebrovaskuler. Khususnya traktus
urinarius efek dari neuropati diabetic yaitu hilangnya sensasi pada buli-
buli yang akan menurunkan aksi/kontraksi dari muskulus dertrusor
sehingga terjadi kesulitan untuk mengosongkan buli-buli (neurogenic
bladder) karena hilangnya tonus akibat gangguan pada saraf perifernya
sehingga mengakibatkan terjadinya overflow inkontinensia.

 Osteoarthritis

Berdasarkan keluhan penyerta pasien, yaitu lutut sering sakit dan


bengkak hingga berjalan tidak stabil maka dapat diketahui bahwa pasien
juga menderita rematik. Salah satu penyebab rematik yang memiliki

14
prevalensi lebih tinggi pada pasien usia lanjut adalah osteoarthritis. Diduga
pasien tersebut mengalami kesulitan berjalan akibat adanya osteofit yang
menyebabkan nyeri saat berjalan. Beberapa kemungkinan yang terjadi
pada pasien tersebut yang menyebabkan dia inkontinensia urin adalah:

- Keterbatasan untuk bergerak akibat rematik menyebabkan pasien tidak


dapaT mencapai kamar mandi apabila didesak keinginan untuk
berkemih sehingga terjadilah inkontinensia urin tipe urge.
- Efek samping obat rematik, yaitu golongan NSAID. Obat ini
merupakan agen anti prostaglandin yang dapat menghambat
kemampuan otot-otot detrussor untuk berkontraksi dengan baik
sehingga timbullah inkontinensia urin tipe overflow.

 Batuk

Tak terkendalinya aliran urin akibat meningkatnya tekanan


intraabdominal, seperti pada saat batuk, bersin atau berolah raga.
Umumnya disebabkan oleh melemahnya otot dasar panggul, merupakan
penyebab tersering inkontinensia urin pada lansia di bawah 75 tahun.
Lebih sering terjadi pada wanita tetapi mungkin terjadi pada laki-laki
akibat kerusakan pada sfingter urethra setelah pembedahan transurethral
dan radiasi. Pasien mengeluh mengeluarkan urin pada saat tertawa, batuk,
atau berdiri. Jumlah urin yang keluar dapat sedikit atau banyak.

 Multiparitas

Inkontinensia urin disebabkan oleh gangguan fungsi penyimpanan dan


fungsi pengosongan traktus urinarius bagian bawah. Beberapa orang
mengalami gangguan pada sfingter uretra dan kandung kemih. Hal ini bisa
terjadi pada saat partus pervaginam dimana overaktifitas dari jumlah
detrusor yang sama dapat menjadi simptomatis dengan desakan
inkontinensia. Adanya trauma saat melahirkan dapat merusak otot dasar
panggul, dimana hal ini dapat mengganggu mekanisme kontinensia

15
dimana uretra secara anatomis juga didukung oleh otot-otot dasar panggul.
Stres inkontinensia urin 95% disebabkan oleh persalinan pervaginam.

Stres inkontinensia urin muncul ketika tekanan intrabdomen


meningkat tiba-tiba dan tekanan kandung kemih lebih besar dari tekanan
uretral. Kenaikan tekanan ini dapat disebabkan perubahan anatomi atau
karena faktor neuromuskuler sfingter. Kerusakan otot langsung
menyebabkan berkurangnya kesanggupan untuk menahan besarnya
tekanan pada bladder neck sewaktu terjadi stres fisik. Kerusakan vaskular
akibat tekanan yang besar dari kepala janin dapat berpengaruh terhadap
otot dan saraf. Keadaan ini dapat terdeteksi pada saat batuk, tertawa,
bersin, dan gerakan-gerakan lainnya yang meningkatkan tekanan
intraabdominal. Selanjutnya tekanan pada kandung kemih meningkat
disertai keluarnya urin pada penderita.6,7

5. Bagaimana hubungan riwayat melahirkan dengan keluhan utama ?


Jawab

Hubungan riwayat persalinan dengan inkontinensia.

Persalinan spontan pervaginam dapat mengakibatkan kelemahan otot dasar


panggul yang terjadi akibat adanya trauma levator ani, cedera saraf,
peregangan fasia serta kerusakan vaskularisasi oleh karena regangan dan
penekanan presentasi kepala janin selama persalinan. Kelemahan otot dasar
panggul menyebabkan terjadinya kelemahan mekanisme kontinensia urin,
yaitu terjadi kontraksi penutupan uretra yang tidak adekuat yang dapat
memicu terjadinya inkontinensia urin.8

16
Persalinan pervaginam

Peregangan otot jaringan

Melemahnya otot dasar


panggul

Ggn mekanisme
kontinensia urine

Tdk dpt menahan air


kencing

INKONTINENSIA URINE

6. Tentukan daftar masalah pada skenario ?


Jawab

Daftar Masalah berdasarkan skenario :

Perempuan 68 tahun, sering Inkontinensia urin type urge.


mengompol sejak 8 bulan lalu, tidak
dapat menahan jika ingin BAK, air
seninya berceceran dilantai, tidak ada
nyeri berkemih, mempunyai 8 orang
anak

Batuk disertai banyak lendir kental dan Pneumonia


agak sesak nafas. Auskultasi paru-paru
didapatkan ronkhi basah kasar pada

17
bag. medial paru kanan dan kiri. Pem.
Foto toraks didapatkan perselubungan
homogen di daerah medial kedua paru,
pem. Laboratorium didapatkan leukosit
: 13.400 mm3

Riwayat penyakit sejak 15 tahun lalu Diabetes Mellitus


ialah kencing manis, pada pem.
Laboratorium didapatkan GDS = 279
mg/dl.

Kedua lutut bengkak dan sakit, disertai Osteoatritis


obesitas.

Riwayat meminum obat hipertensi Hipertensi


captopril 25 mg, pada pem. Fisis
didapatkan TD baring 180/70 mmHg
dan TD duduk 160/70 mmHg

Riwayat minum obat glibenklamide 5 CKD grade 3 ( berdasarkan rumus LFG


mg, dan captopril 25 mg didapatkan = 33,08 )

Pada pemeriksaan laboratorium Hiperurisemia


didapatkan asam urat = 9,2 mg/dl

Nafsu makan sangat berkurang Inanisi

Pada pemeriksaan fisis didapatkan BB Obes II


= 72 kg dan TB = 155 cm

18
7. Tentukan skala prioritas pada skala prioritas?
Jawab

1) Inkontinensia karena multiparitas


Pasca partus normal dapat menyebabkan gangguan dasar panggul sebagai
konsekuensi dari regangan dan lemahnya otot serta jaringan ikat selama proses
partus akibat dari produksi hormon progesteron dan relaksin selama kehamilan
dan partus, regangan selama partus normal dapat mengganggu saraf pudendus
dan saraf-saraf di pelvis sehingga bersamaan dengan lemahnya otot dan
jaringan ikat menyebabkan kontraksi penutupan uretra tidak adekuat.
2) Batuk dan sesak menyebabkan pneumonia
Pasien geriatri lebih mudah terinfeksi pneumonia karena adanya gangguan
refleks muntah, melemahnya imunitas, gangguan respons pengaturan suhu dan
berbagai derajat kelainan kardiopulmoner. Kelainan sistem saraf pusat dan refl
eks muntah juga turut berperan mengakibatkan pneumonia aspirasi. Selain itu,
kelainan kardiopulmoner secara langsung mempengaruhi penurunan fungsi
jantung dan paru.
3) Diabetes
Berdasarkan pada skenario pasien mengonsumsi glibenklamid selama 15
tahun dan hal tersebut merujuk kepada diabetes yang sudah kronik sehingga
mengganggu kondisi pasien seperti neuropati diabetik di mana mengganggu
keseimbangan dari pasien
4) Nutrisi yang dikendalikan
Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan diabetes. Diet
yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal
karbohidrat, protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai
berikut:
• Karbohidrat : 60-70%
• Protein : 10-15%
• Lemak : 20-25%

19
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut
dan kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan
mempertahankan berat badan ideal. Penurunan berat badan telah dibuktikan
dapat mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki respons sel-sel β
terhadap stimulus glukosa.
Selain jumlah kalori, pilihan jenis bahan makanan juga sebaiknya
diperhatikan. Masukan kolesterol tetap diperlukan, namun jangan melebihi
300 mg per hari. Sumber lemak diupayakan yang berasal dari bahan nabati,
yang mengandung lebih banyak asam lemak tak jenuh dibandingkan asam
lemak jenuh. Sebagai sumber protein sebaiknya diperoleh dari ikan, ayam
(terutama daging dada), tahu dan tempe, karena tidak banyak mengandung
lemak. Masukan serat sangat penting bagi penderita diabetes, diusahakan
paling tidak 25 g per hari. Disamping akan menolong menghambat
penyerapan lemak, makanan berserat yang tidak dapat dicerna oleh tubuh
juga dapat membantu mengatasi rasa lapar yang kerap dirasakan penderita
DM tanpa risiko masukan kalori yang berlebih. Disamping itu makanan
sumber serat seperti sayur dan buah-buahan segar umumnya kaya akan
vitamin dan mineral.
5) Hipertensi
Hipertensi dan diabetes adalah kondisi yang umum terjadi di masyarakat dan
merupakan faktor risiko penting penyakit kardiovaskular. Hipertensi lebih
sering terjadi pada populasi diabetes dibandingkan populasi non-diabetes.
Lebih dari 75 pasien diabetes mempunyai tekanan darah lebih dari 130/80 atau
mengonsumsi obat-obatan anti hipertensi.
6) Osteoartritis
Manusia lanjut usia (lansia) beresiko menderita osteoporosis, sehingga setiap
patah tulang pada lansia perlu diasumsikan sebagai osteoporosis, apalagi jika
disertai dengan riwayat trauma ringandankesehatan seperti mata,jantung, dan
fungsi organ lain.Padausia 60-70 tahun, lebih dari 30% perempuan menderita
osteoporosis dan insidennyameningkat menjadi 70%padausia 80 tahun ke atas.

20
Hal ini berkaitan dengan defisiensi estrogen pada masa menopause dan
penurunan massa tulang karena proses penuaan.
7) Hiperurisemia
Beberapa hal yang dapat menyebabkan hiperurisemia berdasarkan pada
skenario adalah obesitas dan penyakit ginjal kronis
8) Penyakit ginjal kronis
Salah satu penyebab dari terjadinya CKD pada skenario disebabkan karena
pasein sudah mengonsumsi blibenklamid sejak 15 tahun lalu yang
menandakan bahwa pasien sudah mempunyai DM yang kronis sehingga efek
dari obat tersebut menimbulkan gangguan ginjal yang kronis
9) Obesitas
Kelebihan berat badan menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya
inkontinensia urin, karena beban kerja dasar panggul pada orang-orang gemuk
lebih besar daripada orang yang kurus (Soetojo, 2009). Orang dengan berat
badan berlebih mengalami penumpukan beban di daerah abdomen. Beban
tersebut akan memberi penekanan pada kandung kemih, sehingga
mengakibatkan kandung kemih lebih mudah mengalami pengeluaran urin
secara tidak sengaja.9,10,11,12

8. Bagaimana penatalaksanaan pada skala prioritas?


Jawab

Pasien geriatri adalah pasien yang berumur >60 tahun dengan salah satu
ciri-ciri pasien geriatri ini adalah datang ke praktek dokter dengan keluhan
yang banyak, disertai berbagai penyakit atau keadaan patologik sebagai akibat
penuaan.

Penatalaksanaan penyakit pada pasien geriatri dalam skenario :

1) Inkontinensia urin urgensi (urgency inkontinence)

Keluarnya urin secara tak terkendali dikaitkan dengan sensasi


keinginan berkemih. Inkontinensia urin jenis ini umumnya dikaitkan

21
dengan kontraksi detrusor tak terkendali (detrusor overactivity). Masalah-
masalah neurologis sering dikaitkan dengan inkontinensia urin urgensi ini,
meliputi stroke, penyakit Parkinson, demensia dan cedera medula spinalis.
Pasien mengeluh tak cukup waktu untuk sampai di toilet setelah timbul
keinginan untuk berkemih sehingga timbul peristiwa inkontinensia urin.
Inkontinensia tipe urgensi ini merupakan penyebab tersering inkontinensia
pada lansia di atas 75 tahun. Satu variasi inkontinensia urgensi adalah
hiperaktifitas detrusor dengan kontraktilitas yang terganggu. Pasien
mengalami kontraksi involunter tetapi tidak dapat mengosongkan kandung
kemih sama sekali. Mereka memiliki gejala seperti inkontinensia urin
stress, overflow dan obstruksi. Oleh karena itu perlu untuk mengenali
kondisi tersebut karena dapat menyerupai ikontinensia urin tipe lain
sehingga penanganannya tidak tepat.

Metode pengobatan inkontinensia urin ada 3 :

a. tekhnik latihan perilaku (behavioral training), yang mempelajari dan


mempraktekkan cara-cara untuk mengontrol kandung kemih dan otot-otot
sfingter dengan cara latihan kandung kemih (Bladder Training). Cara
latihan otot dasar panggul (pelvic floor exercise). Lebih dari separuh
penderita inkontinensia tertolong dengan cara ini, tanpa risiko pengobatan
yang terjadi.
b. Obat-obatan : banyak obat-obat yang tersedia, dan 77% penderita
menunjukkan perbaikan yang jelas, bahkan sekitar 44%sembuh.
c. Pembedahan 76-92% penderita yang membutuhkan operasi, dapat
disembuhkan.

Dalam skenario ada beberapa pilihan penatalaksanaan yang dapat


deterapkan oleh pasien, antara lain yaitu :

22
a) Tekhnik latihan perlakuan

- Latihan Kandung Kemih (Bladder Training)


- Latihan menahan dorongan untuk berkemih
- Latihan otot dasar panggul

b) Obat – obatan : Antikolinergik dan anti spasmodik. Bekerja untuk


meningkatkan kapasitas vesika urinaria dan mengurangi involunter vesika
urinaria. Sangat cocok untuk Inkontinensia tipe Urgensi. (Oksibutinin 2,5-
5mg/hari dan Tolterodine 2 mg/ 2x sehari).

c) Pembedahan dan produk-produk penyerap untuk menampung kebutuhan


urin :

- Kateteterisasi Intermitten 2-4x sehari, operasi pada prolaps uteri pada


wanita, alat bantu berkemih, penyerap urin di tempat tidur dan
penyerap urin sebagai pakaian dalam.

2) Pneumonia :

Terapi antibiotik dan perawatan di ICU

Peranan antibiotik pada kasus end-of-life pneumonia untuk


memperbesar peluang hidup masih belum jelas. Dalam sebuah penelitian
observasional, kematian terkait pneumonia meningkat jika tanpa terapi
antibiotik. Namun, penelitian ini juga menunjukkan bahwa penyakit ringan
dengan prognosis lebih baik cenderung merespons terapi antibiotik lebih
baik dibandingkan dengan penyakit yang lebih parah. Studi lain
menunjukkan peningkatan ketahanan hidup pasien Alzheimer yang diberi
tambahan terapi antibiotik dibandingkan perawatan paliatif saja. Angka
ketahanan hidup pasien geriatri dengan end-of-life pneumonia tidak dapat
diperpanjang hanya dengan terapi antibiotik saja.

23
Namun usia saja tidak boleh digunakan sebagai kriteria untuk
pertimbangan perawatan di ICU (intensive care unit), pasien pneumonia
dan penyakit terminal tentu tidak serta merta dirawat di ICU. Demikian
pula, secara umum, pasien dengan komorbiditas signifi kan tidak harus
dirawat di ICU bila kecenderungan dapat bertahan rendah. Pada pasien
sangat tua dengan pneumonia tanpa komorbiditas signifi kan, ICU dapat
menjadi pilihan, tetapi hanya setelah pertimbangan hati-hati dari semua
aspek, khususnya hak autonomi pasien.

Berikut adalah anjuran terapi antibiotik pada penumonia usia lanjut


berdasarkan tempat asal infeksi :

- Masyarakat : Seflosporin gen II Tikarsilin/klavulanat Eritromisin dan


kuinolon
- Rumah sakit : Sefalosporin gen. III Tikarsilin/klavulanat Eritromisin +
kuinolon
- Panti Jompo : Sefalosporin gen II Ampisilin + kuinolon.

3) Diabetes Mellitus

Tata Laksana Target terapi DM yang dianjurkan adalah HbA1c< 7,0.


Berdasarkan konsensus ini, terapi DM tipe 2 dibagi menjadi 2 tingkatan :

a. Tingkat 1: terapi utama yang telah terbukti (well validated core


therapies) Intervensi ini merupakan yang paling banyak digunakan dan
paling cost-effective untuk mencapai target gula darah. Terapi tingkat
1 ini terdiri dari modifikasi gaya hidup (untuk menurunkan berat badan
& olah raga), metformin, sulfonilurea, dan insulin.

b. Tingkat 2: terapi yang belum banyak dibuktikan (less well validated


therapies) Intervensi ini terdiri dari pilihan terapi yang berguna pada
sebagian orang, tetapi dikelompokkan ke dalam tingkat 2 karena masih
terbatasnya pengalaman klinis. Termasuk ke dalam tingkat 2 ini adalah

24
tiazolidindion (pioglitazon) dan Glucagon Like Peptide-1/GLP-1
agonis (exenatide).

4) Hipertensi

Hipertensi pada usia lanjut mempunyai beberapa kekhususan,


umumnya disertai dengan faktor resiko yang lebih berat, sering disertai
penyakit – penyakit lain yang mempengaruhi penanganan hipertensi
seperti dosis obat, pemilihan obat, efek samping atau komplikasi karena
pengobatan lebih sering terjadi, terdapat komplikasi organ target,
kepatuhan berobat yang kurang sering tidak mencapai target pengobatan
dan lain – lain. Kesemua ini menjadikan hipertensi usia lanjut tergolong
dalam risiko kardiovaskular yang tinggi atau sangat tinggi. Oleh karena itu
penanganan hipertensi pada usia lanjut membutuhkan perhatian yang jauh
lebih besar.13,14

25
26
5) Osteortritis
Tahap Pertama
Terapi Non farmakologi
a) Edukasi pasien. (Level of evidence: II)
b) Program penatalaksanaan mandiri (self-management programs):
modifikasi gaya hidup. (Level of evidence: II)
c) Bila berat badan berlebih (BMI > 25), program penurunan berat badan,
minimal penurunan 5% dari berat badan, dengan target BMI 18,5-25.
(Level of evidence: I).
d) Program latihan aerobik (low impact aerobic fitness exercises). (Level
of Evidence: I)
e) Terapi fisik meliputi latihan perbaikan lingkup gerak sendi, penguatan
otot- otot (quadrisep/pangkal paha) dan alat bantu gerak sendi
(assistive devices for ambulation): pakai tongkat pada sisi yang sehat.
(Level of evidence: II)
f) Terapi okupasi meliputi proteksi sendi dan konservasi energi,
menggunakan splint dan alat bantu gerak sendi untuk aktivitas fisik
sehari-hari. (Level of evidence: II)
Tahap kedua
Terapi Farmakologi: (lebih efektif bila dikombinasi dengan terapi
nonfarmakologi diatas)
 Pendekatan terapi awal
a. Untuk OA dengan gejala nyeri ringan hingga sedang, dapat diberikan
salah satu obat berikut ini, bila tidak terdapat kontraindikasi pemberian
obat tersebut:
 Acetaminophen (kurang dari 4 gram per hari).
 Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS). (Level of Evidence: II)
b. Untuk OA dengan gejala nyeri ringan hingga sedang, yang memiliki
risiko pada sistim pencernaan (usia >60 tahun, disertai penyakit
komorbid dengan polifarmaka, riwayat ulkus peptikum, riwayat

27
perdarahan saluran cerna, mengkonsumsi obat kortikosteroid dan atau
antikoagulan), dapat diberikan salah satu obat berikut ini:
 Acetaminophen ( kurang dari 4 gram per hari).
 Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) topical
 Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) non selektif, dengan
pemberian obat pelindung gaster (gastro- protective agent). Obat
anti inflamasi nonsteroid (OAINS) harus dimulai dengan dosis
analgesik rendah dan dapat dinaikkan hingga dosis maksimal
hanya bila dengan dosis rendah respon kurang efektif. Pemberian
OAINS lepas bertahap (misalnya Na-Diklofenak SR75 atau
SR100) agar dipertimbangkan untuk meningkatkan kenyamanan
dan kepatuhan pasien. Penggunaan misoprostol atau proton pump
inhibitor dianjurkan pada penderita yang memiliki faktor risiko
kejadian perdarahan sistem gastrointestinal bagian atas atau dengan
adanya ulkus saluran pencernaan. (Level of Evidence: I, dan II)
 Cyclooxygenase-2 inhibitor. (Level of Evidence: II)

6) Hiperurecemia
Terapi untuk serangan gout yaitu:
1. Kolkisin
Dosis : 0,5 – 0,6 mg tiap satu jam atau 1,2 mg sebagai dosis awal dan
diikuti 0,5 – 0,6 mg tiap 2 jam sampai gejala penyakit hilang atau
mulai timbul gejala saluran cerna, misalnya muntah dan diare. Dapat
diberikan dosis maksimum sampai 7 – 8 mg tetapi tidak melebihi 7,5
mg dalam waktu 24 jam. Untuk profilaksis diberikan 0,5 – 1,0 mg
sehari.
2. Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS)
Contohnya: indometasin, fenilbutazon
3. Obat urikosurik/ anti hiperurisemia
Contohnya: alopurinol, probenesid, sulfinpirazon, dan febuxostat
4. Kortikosteroid

28
Kortikosteroid sering digunakan untuk menghilangkan gejala gout
akut dan akan mengontrol serangan. Kortikosteroid ini sangat berguna
bagi pasien yang dikontraindikasikan terhadap golongan NSAID. Jika
goutnya monarticular, pemberian antra-articular yang paling efektif.
Contohnmya: dexametason, hidrokortison, prednisone.

7) CKD
Derajat LFG (ml/ menit/ Rencana Tatalaksana
1,73 m2)
1 ≥ 90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,
evaluasi pemburukan ( progression ) fungsi
ginjal, memperkecil risiko kardiovaskuler
2 60-89 menghambat pemburukan fungsi ginjal
3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 <15 Terapi pengganti ginjal

 Terapi spesifik terhadap penyakitnya


Waktu paling tepat adalah sebelum terjadi penurunan LFG sehingga
pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal masih normal
secara USG, biopsi dan pemeriksaan histopatologi dapat menentukan
indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik.
 Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
Perlu pencatatan kecepatan penurunan LFG, untuk mengetahui kondisi
komorbid. Faktor komorbid antara lain gangguan keseimbangan cairan,
hipertensi tidak terkontrol, infeksi tract. urinarius, obstruksi tract urinarius,
obat–obatan nefrotoksik, bahan kontras atau peningkatan penyakit
dasarnya.
 Menghambat perburukan fungsi ginjal
Faktor utama : hiperfiltrasi glomerulus, ada 2 cara untuk menguranginya
yaitu ;

29
a) Pembatasan Asupan Protein mulai dilakukan LFG < 60 ml/mnt. Protein
diberikan 0,6 - 0,8/kgBB/hr. Jumlah kalori 30-35 kkal/kgBB/hr.
b) Terapi farmakologis pemakaian OAH, untuk megurangi hipertensi
intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Beberapa OAH terutama ACEI,
sebagai antihipertensi dan antiproteinuria.
8) Obesitas
Beberapa hal yang penting diperhatikan dalam perawatan obesitas
antara lain adalah :
Pertama, haruslah ditumbuhkan keyakinan pada diri penderita, alas an
alasan apa yang mengharuskan melakukan upaya menurunkan berat
badannya. Jadi langkah pertama adalah menumbuhkan motivasi dalam diri
penderita mengapa ia harus menurunkan berat badan.
Kedua, penderita obesitas perlu diberikan pengetahuan dasar
mengenai zat gizi dan fungsinya, proses pembentukan dan penggunaan
energi dalam tubuh. Dengan demikian, penderita dituntun untuk
mengusahakan terjadinya keseimbangan antara pemasukan energi yang
berasal dari makanan yang dimakannya dan penggunaan energi oleh tubuh
sehingga ia mampu mengendalikan konsumsi makanan.
Ketiga, penderita obesitas harus dibebaskan dari berbagai informasi
yang salah yang mungkin didapatnya dari tulisan-tuisan yang bernada
promosi atau yang dibuat oleh penulis yang bukan ahli yang dapat
membawa akibat buruk bagi dirinya. Karena dasar penurunan berat badan
adalah mengurangi jumlah energi yang masuk yang berasal dari makanan
dan menaikkan pengeluaran energi melalui penambahan kegiatan fisik.
Keempat, mendorong terjadinya perubahan perilaku. Tidak dapat di
sangkal bahwa untuk memenuhi diet secara sungguh-sungguh untuk
penurunan berat badan tidaklah mudah. Oleh karena itu, disamping
pendekatan dari sudut medis dan dietetika dalam upaya penanggulangan
obesitas juga dilakukan pendekatan psikologis untuk mendorong
perubahan perilaku.

30
Kelima, mengenai kepatuhan penderita terhadap diet yang harus
dijalani.
Keenam, mengenai penyusunan diet yang diberikan harus didasarkan
atas kebiasaan dan perilaku penderita sehari-hari dalam hal makanan.
Mereka yang biasa sarapan pagi dengan roti sebagai makanan pokok,
harus diberi diet roti untuk makan pagi. Apabila penderita selalu merasa
tidak puas itu justru merupakan pendorong baginya untuk tidak mematuhi
dietnya.15,16,17,18

9. Perspektif Islam
Jawab
Q.S. Ar-Rum:54

Artinya : “ Allah-lah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian


Dia menjadikan (kamu) setelah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian dia
menjadikan (kamu) setelah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia
menciptakan apa yang dia kehendaki. Dan Dia Maha Mengetahui, Maha
Kuasa.”

Allah telah menjelaskan dalam surat Q.S. Ar-Rum:54 manusia Ketika rambut
telah memutih, langkah telah gontai, penglihatan telah kabur, pendengaran
sayup sayup sampai, kulit mulai keriput, kecantikan dan ketampanan wajah
telah memudar, berbagai penyakit mulai datang menyapa itulah saat
datangnya hari tua. Allah menjadikan manusia dalam keadaan lemah

31
kemudian tumbuh menjadi kuat, gagah, tampan dan cantik. Diantaranya ada
yang wafat ketika kanak kanak, ada yang wafat ketika masih muda dan ada
yang diwafatkan setelah usia lanjut. Bagi mereka yang diwafatkan ketika usia
sudah lanjut akan mengalami kondisi lemah kembali seperti pada masa kanak
kanak, bahkan diantaranya ada yang pikun dan kelakuannya sama seperti anak
kecil. Itulah keadaan lemah dihari tua. Allah menyatakan hal itu dalam Q.S.
Yasin ayat 68:

Artinya: “Dan barang siapa Kami panjangkan umurnya, niscaya Kami


kembalikan dia kepada awal kejadian(nya). Maka mengapa mereka tidak
mengerti?”

Allah telah menjelaskan dalam surat Yasin ayat 68 bahwa siapa yang
dipanjangkan umurnya sampai usia lanjut akan dikembalikan menjadi lemah
seperti keadaan semula. Keadaan itu ditandai dengan rambut yang mulai
memutih, penglihatan mulai kabur, pendengaranpun mulai berkurang, gigi
mulai berguguran, kulit mulai keriput, langkahpun telah gontai dan berbagai
penyakitpun mulai kerap menyapa seperti penyakit tidak dapat menahan
kencing (inkontinensia). Orang yang mengalami inkontinensia tersebut sama
sekali tidak diperbolehkan meninggalkan shalat. Dia wajib shalat sesuai
dengan keadaannya, yaitu berwudhu setiap kali mau shalat. Perempuan seperti
ini keadaannya sama seperti perempuan yang terus menerus mengeluarkan
darah (istihadhah). Dia harus menjaga air kencingnya (semampu dia),
misalnya dengan membalut kemaluannya dengan kain atau lainnya. Dan dia
harus shalat tepat pada waktunya, Dia masih diperbolehkan shalat sunnah
sesuai dengan waktunya. Dia juga boleh menjamak shalat Dzuhur dengan
Ashar atau shalat Maghrib dengan Isya. Hal ini berdasarkan firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala dakam Q.S. At-Taghabun : 16

32
Artinya: ” Maka bertakwalah kepada Allah semampu kalian."

Adapun cara bersuci dan mandi bagi penderita salisul baul (tidak dapat
menahan kencing) yakni dengan cara berwudhu setiap kali tiba waktu shalat
lalu mengerjakan shalat dengan wudhu tersebut hingga tiba waktu shalat
berikutnya. Wudhunya tidak batal karena kencing atau angin yang keluar,
meskipun keluar pada waktu shalat, sebab ia tidak mampu menahannya dan
tidak ada jalan untuk menghentikannya.

KESIMPULAN
Dari analisis masalah kelompok, kami menyimpulkan bahwa pasien pada
scenario di atas mengalami inontinensia tipe urgensi yang ditandai dengan
ketidakmampuan menunda berkemih setelah sensasi berkemih muncul. Adapun
berbagai faktor resiko yang dialami pada pasien diatas dapat memperparah
keadaan inkontinensia urin pasien tersebut. Oleh karena itu, perlu terapi yang
tepat dengan tetap menghindari polifarmasi. Skala prioritas pertama kelompok
kami adalah menangani inkontinensia urinnya. Sambil membatasi obat-obat yang
dikonsumsinya.

33
Referensi:
1. Brockelhurst JC, Allen SC. Urinary incontinence. Geriatric Medicine for
students 3rd ed. London: Churchill Livingstone; 2009.p.73-91.
2. Nitti VW, Blaivas JG. Urinary Incontinence. Campbell-Walsh Urology. 9th
ed. Saunders 2007
3. Cardozo.L. Epidemiologi and classification of urinary incontinence. In :
Cardozo L. Urogynecology. 1st ed. New York ; Churchill livingstone, 1997
: 3-23
4. Korn AB. Epidemiology and pathophysiology of urinary incontinence in
women. In : Lentz GM Urogynecology. editors.. New York, 2002 : 1-9.
5. Lauralee Sherwood. 2011. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta :
EGC. Hal 594-597
6. Darmojo, R. Boedhy. Buku AjarGeriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut)
Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2004
7. Purnomo, B. Basuki. Dasar-dasar Urologi. 2003. Jakarta : Sagung Seto
8. Jayanti P.S, Kadek Sri. Kurniawati, Eighty Mardiyan. Faktor Resiko
Inkontinensia urin tipe stress pada persalinan spontan pervaginam.
[Online] diakses pada 14 mei 2017. Available on: journal.unair.ac.id

9. www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-1473-1907471376-
bab%20ii.pdf diakses 15 Mei 2017
10. Tinjauan Imunologi Pneumonia pada Pasien Geriatri. Rizki Maulidya
Putri, Helmia Hasan. PPDS Ilmu Penyakit Dalam. Staf Pengajar
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi. Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo Surabaya,
Indonesia
11. Hubungan kelebihan berat badan dengan inkontinensia Urin pada wanita
di wilayah surakarta. Fakultas kedokteran Universitas sebelas maret
Surakarta. 2010
http://jurnal.fkm.unand.ac.id/index.php/jkma/article/view/78/84 diakses 15
Mei 2017

34
12. Darmojo Boedhi, 2013. Buku Ajar Geritari (Ilmu kesehatan usia Lanjut).
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Hal.
246, 438, 481, 543.
13. http://jurnal.fkm.unand.ac.id/index.php/jkma/article/view/78/84 diakses 15
Mei 2017
14. http://www.kalbemed.com/Portals/6/05_212injauan%20Imunologi%20Pne
umonia%20pada%20Pasien%20Geriatri.pdf
15. diagnosis dan penatalaksanaan osteoarthritis, rekomendasi IRA untuk
diagnosis dan penatalaksanaan osteoarthritis
16. daniati, Nur Amalia. Gout dan Hiperuricemia. Universitas lampung
17. dr. albert tri rustamaji, sp.pd. chronic kidney disease (CKD)
18. obesitas dan terapinya, repository.usu.ac.id

35

Anda mungkin juga menyukai