Anda di halaman 1dari 7

MIGRASI DAN PEMBANGUNAN

Kasus

Migrasi desa-kota dan urbanisasi di Negara berkembang: India dan


Botswana

Sekitar setengah penduduk dunia menetap di kota. Pada tahu 2015, hamper
dua per tiga penduduk dunia akan tinggal di Negara-negara berkembang.
Hamper semua pertumbuhan perkotaan berlangsung dinegara berkembang.
Pola pertumbuhan ini dan implikasinya sangat rumit. Pertumbuhan penduduk
perkotaan di Negara berkembang jauh lebih cepat daripada pertumbuhan
penduduk umumnya, dan sekitar separuh pertumbuhan perkotaan disebabkan
oleh bertambahnya para migran dari kawasan pedesaan. Urbanisasi yang
tidak terkendali di Negara-negara berkembang mempererat tekanan terhadap
infrastruktur dan kondisi kesehatan public, serta mengancam stabilitas social.
Perkampungan kumuh dan hunian tempoter mewakili lebih dari sepertiga
penghuni perkotaan Negara berkembang. Sekitar setengan tenaga kerja
perkotaan bekerja di sektor informal dengan tingkat keterampilan rendah dan
produktivitas rendah, sering kali merupakan pekerjaan swakarya (self-
employed) dalam penjualan produk dan jasa kecil-kecilan. Akan tetapi, sektor
ini dapat menghasilka sepertiga pendapatan perkotaan dan bercirikan
itensitas modal yang rendah, pelatihan berbiaya murah, pendaur ulang
sampah, dan penciptaan lapangan kerja. Apa yang mendorong terjadinya
migrasi? Kasus India dan Botswana merupakan penjelasan yang
menunjukkan nilai dari teori probabilistic migrasi dan cara-cara
memperluasnya.

Setiap kebijakan ekonomi atau social yang mempengaruhi pendapatan


pedesaan dan perkotaan akan mempengaruhi migrasi; hal ini pada gilirannya
akan berpengaruh pada aktivitas sektoral dan geografis, distribusi
pendapatan, dan bahkan pertumbuhan penduduk. Sebelum diperkenalkannya
model Todaro dan Model Harris-Todaro, migrasi umumnya dipandang
sebagai hal irasional atau didorong oleh motivasi nonekonomi, yang
adakalanya timbul karena pikatan “gemerlap cahaya kota”. Factor
nonekonomi memang mempengaruhi keputusan bermigrasi , namun kini
justru factor ekonomilah yang sekarang dipahami sebagai alasan utamanya.
Dalam teori gemerlap cahaya kota versi ekonomi, orang-orang secara
rasional bermigrasi atas dasar pertimbangan biaya dan manfaat. Dalam
pendekatan ini, diasumsikan bahwa jika keadaan para migran tampak lebih
buruk di perkotaan, hal ini dikarenakan manfaat lain yang membuat para
migran merasa lebih baik (atau meningkatkan kegunaan mereka secara
keseluruhan) diabaikan.

Model migrasi todaro menyatakan bahwa migrasi yang diamati secara individu
merupakan hal yang rasional, tetapi para migran merespons (membuat
pertimbangan) berdasarkan selisih pendapatan perkotaan dan pedesaan yang
diharapkan ketimbang selisih pendapatan actual. Pendapatan sektor modern
perkotaan jauh lebih tingga dibandingkan dengan pedapatan di sektor
pedesaan, yang boleh jadi sebernarnya justru jauh lebih tinggi daripada
pendapatan di sektor tradisional perkotaan. Migrasi akan terus terjadi sampai
pendapatan rata-rata atau pendapatan yang diharapkan alih-alih pendapatan
actual menjadi sama di seluruh wilayah, yang menghasilkan ekulibrium
terbuka atau terselubung disektor tradisional perkotaan. Perluasan model ini
dengan memasukkan ekulibrium dan berbagai efek tindakan seperti kenaikan
upah dan probabilitas memperoleh pekerjaan di kawasan perkotaan seperti
yang dilakukan Harris dan Todaro menunjukkan bahwa dalam kondisi
tertentu, terutama dalam penawaran tenaga kerja yang elastis, penciptaan
lapangan kerja di kota sebenarnya dapat menimbulkan kenaikan tingkat
pengangguran karena lebih banyaknya rang yang bermigrasi ketimbang
pekerjaan baru yang tersedia. Sekalipun rasional secara individu, migrasi
desa-kota yang luas juga menimbulkan biaya social bagi kota yang padat
penduduk. Pada saat yang sama migrasi juga menimbulkan biaya eksternal
terhadap kawasan pedesaan karena terkurasnya orang muda yang
berpendidikan lebih baik dan berani mengambil resiko serta biaya eksternal
terhadap infrastruktur perkotaan dan output yang hilang.

Seperangkat kebijakan migrasi dan lapangan kerja menekan pembangunan


pedesaan, strategi kebutuhan dasar pedesaan, meniadakan distorsi harga
factor, pilihan teknologi yang sesuai, dan pendidikan yang tepat. Masing-
masing kebijakan ini ditujukkan untuk memperbesar insentif bagi warga
pedesaan untuk tetap tinggal di kawasan pedesaan untuk mendapatkan
manfaat terbesar dari mgrasi dengan biaya paling sedikit.

India menyediakan situasi yang menarik sebagai studi kasus karena migrasi
ke kota di masa-masa mendatang mungkin akan sangat besar, dank arena
adanya sejumlah studi menarik yang telah dilaksanakan di Negara ini.
Botswana menawarkan sudut pandang berbeda kaena memiliki data lebih
baik yang telah dipublikasikan, dan analisis statistic yang lebih canggih atas
dasar tersebut telas dilakukan di Negara itu dibandingkan dengan
kebanyakan Negara berkembang lainnya.

India

Salah satu studi paling mendalam mengenai migrasi desa-kota yang telah
menguji model migrasi Todarp serta menggambarkan karakteristik para
migran dan proses migrasi, adalah studi yang dilakukan Biswajit Banerjee dan
dilaporkan dalam tulisannya yang berjudul Rural to Urban Migration and The
Urban Labpur Market: A Caese Study of India.

Setiap orang yang telah mengunjungi kota besar di sebuah Negara


berkembang akan segera melihat adanya ketimpagan tajam Antara orang-
orang yang bekerja di sektor modern dan mereka yang bekerja di sektor
informal. Persoalannya adalah: dapat akan sektor informal dipandang sebagia
tempat penantian sementara sebelum pindah ke sektor formal, atau hambatan
di kedua sektor ini disebabkan oleh persyaratan pendidikan dan kertampilan
yang tidak dapat dipenuhi para pekerja sektor informal? Bnerjee menemukan
bahwa gagasan tentang pasar tenaga kerja pedesaan formal-informal yang
tersegmentasi dapat diperkuat secara statistic. Setelah mengendalikan
variable modal manusia secara seksama, temuan Banerjee masih
menyisakan fakta bahwa pendapatan di sektor formal yang hanya 9% lebih
tinggi daripada pendapatan di sektor informal tidak dapat dijelaskan oleh
factor ekonomi standart manapun. Meskipun begitu, selisih pendapatan yang
ditemukan di India nyaris tidak sedramatis sebagaimana yang telah
disimpulkan dalam literature dalam migrasi.

Dalam banyak literature urbanisasi, umumnya migran bekerja secara


swakarya atau beberapa jenis pekerjaan dengan oasar bayaran upah per
satuan output (piecework). Tetapi, Benerjee menemukan hanaya 14% sampel
sektor informalnya yang bekerja dalam pekerjaan pekerjaan tanpa upah tetap.
Menariknya, rata-rata pendapatan bulanan para pekerja tanpa upah tetap ini
47% lebih tinggi daripada sektor formal.

Banerjeen mengemukakan bahwa jalan masuk ke pasar pekerjaan tidak tetap


di Delhi tidak mudak. Beberapak aktivitas mengharuskan adanya
keterampilan atau modal yang cukup besar. Mereka yang mengendalikan
aktivitas di berbagai bidang usaha. Hambatan masuk kedalam aktivitas usaha
jasa kecil-kecilan mungkin lebih rendah di kota-kota besar Negara
berkembang lainnya.

Sejalan dengan temuan itu, Banerjee juga menemukan rendahnya mobilitas


dari sektor informal ke sektor formal: hanya sedikit bukti yang menunjukkan
banyaknya pekerja sektor informal yang secara aktif mencari pekerjaan di
sektor formal, dan hanya 5 sampai 15% migran pedesaan yang bekerja di
sektor informal yang telah pindah ke sektor formal di tahun penelitian
dilakukan.

Selain itu, tingkat kepindahan pekerja dari sektor informal ke sektor formal
hanya satu per enam dibanding satu per tiga pekerja dari luar kawasan itu
yang langsung memasuki sektor formal perkotaan

Para pekerja sektor informal cenderung menggeluti pekerjaan yang sama


dalam rentangwaktu yang sama dengan mereka yang bekerja di sektor
formal; rata-rata pekerja sektor informal telah melakukan 1,67 pekerjaan
selama 61 bulan di kota, sedangan para pekerja sektor formal rata-rata
melakukan 1,24% pekerjaan dalam karier perkotaanya selama 67 bulan.

Survey data Banerjee menunjukkan bahwa banyak pekerja sektor informal


yang bermigrasi ke kota karena tertarik untuk bekerja di sektor informal
ketimbang di sektor formal,datang keto untuk bekerja sebagai pembantu
rumah tangga, pekerja bangunan informal, dan tenaga penjual. Dari jumlah
orang yang memulai pekerjaan tanpa upah tetap saat tiba di perkotaan, 71%
memang berharap melakukan hal itu. Fakta bahwa hanya sebagian kecil
pekerja sektor informal yang tetap berusaha mencari pekerjaan di sektor
formal dipandang sebagai bukti lebih lanjut bahwa para miran datang ke Delhi
hanya untuk mencari pekerjaan di sektor informal.

Para pekerja yang tampak setengah menganggur memungkinkan tidak


menganggapnya seperti itu; mereka barang kali merasa tidak melihat adanya
kemungkinan untuk pindah ke sektor modern, atau boleh jadi tidak dapat
mencari pekerjaan sektor modern secara efektif sementara masih bekerja di
sektor informal sehingga tidak menimbulkan banyak tekanan penurunan upah
sektor modern berada cukup jauh diatas upah sektor informal dalam periode
yang tidak terbatas, sekalipun jumlah orang yang setengan menganggur di
perkotaan sangat tinggi.

Salah satu alasan dari focus penelitian ini pada sektor informal disimpulkan
karena kurangnya kontak Antara pekerja sektor informal dengan sektor
formal. Sekita dua per tiga orang-orang yang langsung memasuki sektor
formal dan hamper semua orang yang pindah dari sektor informal ke sektor
formal memperolehnya melalui kontak pribadi. Kontak ini sangat penting untuk
menjelaskan mengapa sekitar 43% dari sampel Banerjee bermigrasi setelah
menerima saran dari sebuah konak/ kenalannya di kota, yang menunjukkan
bahwa informasi pasar pekerjaan dapat diperoleh calon migran tanpa harus
berada di kota. Selain itu, 10% sampel dalam studi itu sudah behasil
mendapatkan pekerjaan di kota sebelum bermigrasi ke sana.

Terakhir, masa menganggur sebelum mendapat pekerjaan biasanya sangat


singkat. Dalam seminggu, 64% pendatang baru telahmendapat pekerjaan;
dan meski ada sedikit yang meganggur dalam waktu yang sama, rata-rata
waktu tunggu untuk mendapat pekerjaan pertama hanya 17 hari.

Banerjee juga menemukan para migran tetap mempertahankan hubungan


yang erat dengan desa asal mereka. Sektar tiga per empat migran
mengunjungi desa asal mereka, dan sekitar dua per tiga mengirimkan bagian
pendapatan mereka di kota yang rata-rata mencapai 23% dari pendapatan
yang diperoleh. Hal ini menunjukkan bahwa perhatian terhadap keluarga
merupakan dorongan kuat untuk bermigrasi. Hal itu juga yang menjelaskan
cepatnya arus informasi pasar pekerjaan dari kota ke desa.

Dalam studi lainnya, A.S Oberai, Pradhan Prasad, dan M.G Sardana mengkaji
determinan migrasi di tiga Negara bagian di India yaitu Bihar, Kerala, dan
Uttar Pradesh. Temuan mereka sejalandengan gagasan bahwa para migran
seringkali telah mengalami masa setengah menganggur yang kronis sebelum
bermigrasi, bermigrasi hanya sebagai bentuk keputusasaan, dan berharap
dapat bekerja di sektor informal perkotaan bahkan dalam jangka panjang.
Pengiriman uang dari desa ke kota cukup besar, dan tingkat kembalinya para
migran ke tempat asli mereka juga di dokumentasikan, bersama bukti-bukti
lainnya mengenaikuatnya hubungan para migran dengan desa asal mereka.

Akan tetapi, temuan Banerjee yang menarik itu tidak selalu berarti tantangan
bagi kelayakan model migrasi Harris-Todaro atau “model migrasi probabilistic”
lainnya. Sebaliknya, hal-hal itu menunjukkan perlunya memperluas model
tersebut untuk dapat mengakomodasi pola migrasi yang tampaknya telah
menjadi hal yang umum dengan tujuan akhir bekerja di sektor informal
perkotaan. Sebagaimana yang telah dikemukakan Ira Gangopadhyay, kita
dapat memodifikasi untuk model untuk memasukkan tidak hanya sektor
formal, tetapi juga sektor informal berupah tinggi serta sektor berupah rendah
(atau pengangguran) di kawasan perkotaan. Dalam kasus ini, orang-orang
akan bermigrasi tidak hanya untuk mendapatkan pekerjaan sektor formal
tetapi juga pekerjaan sektor informal berupah tinggi. Hal ini tanpaknya
konsisten dengan bukti yang ditemukan Benerjee. Asumsi yang membuat
esensi model probabilistic tetap utuh adalah upah sektor formal perkotaan
melebihi upak sektor informal yang berbayaran tinggi, yang lebih besar
daripada upah di sektor pertanian, yang lebih besar juga dari upah sektor
informal berbayaran rendah (pengangguran). Bahkan, jika upah pedesaan
tetap berada dibawah semua peluang pendapatan di perkotaan, hal ini
menunjukkan kondisi yang cukup jauh dari ekuilibrium, sehingga akan lebih
banyak tambahan migrasi yang harus terjadi sebelum pendapatan yang
diharapkan diantara semua sektor dapat deisamakan. Rumusan khusus
model Todaro sebenarnya tidak lebih dari sekedar contoh prinsip
umum: bahwa para migran pergi ketempat dimana mereka akan melakukan
sesuatu dengan menjadi lebih baik, bukan ke tempat dimana mereka akan
melakukan sesuatu dengan lebih baik setelah menghadapi kenyataan. Ide
dasar model Todaro tidak bergantung pada gagasan tertentu mengenai suatu
sektor informal atau suatu sektor formal.

Gagasan Oded Stark tentang penggunaan migrasi oleh keluarga dapat


menjadi pelengkap yang berguna bagi model Todaro, dan dapat juga
diterapkan dalam temuan Banerjee. Menurut Stark, sebuah keluarga akan
mengirim anggotanya ke wilayah yang berbeda sebagai strategi “diversifikasi
portofolio” yaitu untuk mengurangi resiko bahwa keluarga itu tidak memiliki
pendapatan. Pendekatan ini berguna untuk menjelaskan terjadinya migrasi
dari kawasan berupah lebih tinggi ke kawasan berupah lebih rendah dan
kawasan berupah lebih tinggi, tetapi tidak mesti di kawasan yang diharapkan
berupah paling tinggi. Gagasan dasar model Todaro masih berlaku, meskipun
pendekatan Stark diterapkan untuk mengamati keluarga alih-alih orang-orang
secara individu dan menekankan penghindaran resiko.

Beberapa studi lainnya menunjukkan bahwa model migrasi Todaro telah


dapat ditetapkan dengan baik dibelahan dunia lainnya tanpa harus
dimodifikasi. Survey yang dilakukan Deepak Mazumdar menegaskan sangat
banyaknya bukti yang menunjukkan bahwa keputusan migrasi diambil
berdasarkan motivasi ekonomi rasional.

Botswana

Sebauh studi tentang perilaku migrasi di Botswana, dilakukan Robert E.B


Lucas, mengkaji masalah-masalah tersebut dalam studi empiris yang paling
canggih secara ekonomi maupun statistic tentang migrasi di Negara
berkembang. Model ekonometrinya terdiri atas empat kelompok persamaan
untuk pekerjaan, pendapatan, migrasi internal, dan migrasi ke Afrika Selatan.
Setiap kelompok diestimasi dari data mikroekonomi tentang migran dan
nonmigran individual. Survey ini juga menggunakan informasi demiografi yang
sangat rinci.

Migran pedesaan di Botswana bermigrasi kelima pusat perkotaan (pusat


seperti ini lebih banyak disebut kecil ketimbang kota besar di banyak bagian
dunia) Serta ke tetangga Afrika Selatan. Lucas menemukan bahwa
pendapatan perkotaan yang belum disesuaikan jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan pendapatan di pedesaan 68% lebih tinggi bagi kaum laki-laki tetapi
perbedaan ini menjadi jauh lebih kecil jika ikut memperhitungkan pedidikan
dan pengalaman.

Hasil survey Lucas menegaskan, semakin tinggi pendapatan yang diharapkan


seseorang dan semakin tinggi probabilitas yang diperkirakan untuk
memperoleh pekerjaan setelah bermigrasi ke pusat perkotaan maka semakin
besar pula kemungkinan orang itu akan bermigrasi. Selain itu, semakin tinggi
upah yang diperkirakan dan probabilitas mendapat pekerjaan bagi seseorang
di desanya sendiri maka semakin rendah pula kemungkinannya orang ini
akan bermigrasi. Hasil survey ini sangan “kuat” tidak peka terhadap
subkelompok yang dikaji atau cara pengendalian verbagai factor dan secara
statistic signifikan. Hasil survey ini menunjukkan bukti jelas dukungan
terhadap hipotesis orisina Todaro.

Selain itu, Lucas memperkirakan bahwa pada selisih upah sekarang maka
penciptaan sebuah pekerjaan dipusat perkotaan akan mendorong lebih dari
satu orang untuk bermigrasi dari kawasan pedesaan, yang berarti
menegaskan efek Harris-Todaro. Lucas juga menemukan bahwa pendapatan
meningkat cukup besar dengan semakin lamanya seorang migran berada di
pusat perkotaan, dengan asumsi pendidikan dan usia tidak berubah.
Alasannya adalah karena meningkatnya probabilitas untuk bekerja di sektor
modern.

Dengan memperhitungkan semuannya, studi terbaik yang pernah dilakukan


tentang urbanisasi diatas mengaskan nilai dari model migrasidari desa ke
kota. Meskipun demikian, semua studi itu juga menegaskan perlunya
memperluas penjelasan tentang migrasi, dengan mempertimbangkan bahwa
banyak orang yang dewasa ini bermigrasi untuk bekerja di sektor informal
ketimbang di sektor formal perkotaan dan bahwa para pekerja mungkin
menghadapi beragam resiko dalam situasi yang berbeda.

Anda mungkin juga menyukai