Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Disusun Oleh:
Kelompok 2 :
Kelas X MIA 3
Puji syukur penulis aturkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, nikmat, taufik,
serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu
dalam proses pengerjaan makalah ini. Adapun makalah ini penulis beri judul “Islam
dan Jaringan Perdagangan antar Pulau”, disusun untuk memenuhi salah satu tugas
kelompok pada mata pelajaran Sejarah untuk Kelas X Semester II tahun ajaran
2017/2018.
Seperti halnya kata pepatah, “Tak Ada Gading Yang Tak Retak”. Meskipun dalam
penulisan makalah ini penulis telah mengoptimalkan kemampuan yang penulis miliki,
tentunya masih banyak kekurangan-kekurangan didalamnya. Untuk itu saran dan kritik
dari pembaca yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan demi kemajuan
penulisan makalah atau tugas-tugas berikutnya. Akhir kata semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman Judul i
Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii
BAB I Pendahuluan 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Manfaat dan Tujuan 1
BAB II Pembahasan 2
A. Kedatangan Islam ke Indonesia 2
B. Pola Jaringan Perdagangan dan Pelayaran antar Pulau di Indonesia 2
C. Jalur Perdagangan antar Pulau di Indonesia 4
D. Pola Perdagangan Setelah Jatuhnya Malaka 5
BAB III Kesimpulan 8
Daftar Pustaka 9
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kepulauan Indonesia memiliki laut dan daratan yang luas. Masyarakat Nusantara
pada umumnya adalah masyarakat pesisir yang kehidupan mereka tergantung pada
perdagangan antarpulau dan antarbenua. Sedangkan mereka yang berada di pedalaman
adalah masyarakat agraris, yang kehidupan mereka tergantung kepada pertanian. Pelaut
tradisional Indonesia telah memiliki keterampilan berlayar yang dipelajari dari nenek
moyang secara turun-temurun. Sejak dulu mereka sudah mengenal teknologi arah angin
dan musim untuk menentukan perjalanan pelayaran dan perdagangan. Warisan terbaik
dari sejarah zaman Islam lainnya ialah adanya pengintegrasian Nusantara lewat
nasionalisme keagamaan dan jaringan perdagangan antarpulau.
Laut telah berfungsi sebagai jalur pelayaran dan perdagangan antar suku bangsa di
kepulauan indonesia dan bangsa-bangsa di dunia. Nenek moyang kita telah memiliki
keterampilan berlayar yang di pelajari secara turun temurun. Sejak dulu mereka sudah
mengenal teknologi arah angin dan musim untuk menentukan perjalanan, pelayaran dan
perdagangan.
Jaringan perdagangan dan pelayaran antarpulau di Nusantara terbentuk karena
antarpulau saling membutuhkan barang-barang yang tidak ada di tempatnya. Untuk
menunjang terjadinya hubungan itu, para pedagang harus melengkapi diri dengan
pengetahuan tentang angin, navigasi, pembuatan kapal dan kemampuan diplomasi
dagang. Dalam kondisi seperti itu, muncullah saudagar-saudagar dan syahbandar yang
berperan melahirkan dan membangun pusat-pusat perdagangan di Nusantara.
B. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan kita bahas pada makalah ini yaitu:
a. Bagaimana kedatangan Islam ke Indonesia?
b. Bagaimana pola jaringan perdagangan dan pelayaran antar pulau di
Indonesia?
c. Bagaimana jalur perdagangan antar pulau di Indonesia?
d. Bagaimana pola perdagangan setelah jatuhnya Malaka?
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
Jalur perdagangan tersebut yang dikenal dengan nama Jalur Sutra Laut (Jalan Sutera
Lama/kuno via darat).
Jalur perniagaan dan pelayaran tersebut melalui laut, yang dimulai dari Cina melalui
Laut Cina Selatan kemudian Selat Malaka, Calicut: sekarang Kalkuta (India), lalu ke Teluk
Persia melalui Syam (Syuria) sampai ke Laut Tengah atau melalui Laut Merah sampai ke
Mesir lalu menuju Laut Tengah.
Indonesia, melaui selat Malaka, terlibat dalam perdagangan dengan modal utama
rempah-rempah (komoditas utama), seperti lada dari Sumatera, cengkeh dan pala dari
Indonesia Timur, dan jenis kayu-kayuan dari Nusa Tenggara. Posisi Indonesia yang
strategis dan hasil sumber daya alam yang berlimpah menyebabkan Indonesia mampu
menjadi salah satu pusat perdagangan yang penting di jalur dagang antara Asia Timur –
Asia Barat (Timur Tengah dan semenanjung Arab), dengan Selat Malaka yang menjadi
pusat-pusat dagang atau pelabuhan-pelabuhan dagangnya.
Sekitar abad ke-7 hingga abad ke-14, ada dua kerajaan besar yang telah mampu
menguasai perairan atau perniagaan di Nusantara, yakni Kerajaan Sriwijaya (Sumatera)
dan Kerajaan Majapahit (Jawa). Keberhasilan ini karena kemampuan kedua kerajaan
tersebut mendominasi bahkan memonopoli jaringan perdagangan di Selat Malaka. Perlu
diketahui, bahwa Selat Malaka mempunyai posisi strategis baik secara geografis,
iklim/cuaca, maupun secara politis dan ekonomi. Itu sebabnya Selat Malaka merupakan
“kunci” penting. Dengan demikian, perdagangan dan pelayaran di Nusantara bahkan
jaringan dagang internasional Asia di dominasi oleh dua Kerajaan bercorak Hindu-Budha
tersebut dalam periode yang berbeda.
Sekitar abad ke-15 (setelah Majapahit runtuh), telah muncul kerajaan-kerajaan
yang bercorak Islam di Nusantara, dan yang juga akan melanjutkan tradisi perdagangan
dan pelayaran di Nusantara. Walaupun Majapahit runtuh, namun pelabuhan-pelabuhan
Tuban dan Gresik (di pesisir utara Jawa) tetap berperan sebagai bandar transito dan
distribusi penting, yaitu sebagai gudang sekaligus penyalur rempah-rempah asal
Indonesia Timur (Maluku). Bahkan, Tuban berkembang menjadi bandar terbesar di Pulau
Jawa. Perkembangan perdagangan dan pelayaran di perairan Jawa tersebut memacu
munculnya pelabuhan-pelabuhan baru seperti pelabuhan Banten, Jepara dan Surabaya.
Pada abad ke-15 sampai awal abad ke-16, jalur perdagangan di asia Tenggara
diwarnai oleh dua jalur besar, yaitu jalur Cina-Malaka dan jalur Maluku-Malaka. Jalur
perdagangan antara Maluku-Malaka mendorong terjadinya perdagangan dan pelayaran
antar pulau di Indonesia. Jalur Maluku-Malaka ramai karena banyaknya para pedagang
yang hilir-mudik. Orang-orang Jawa misalnya, ke Maluku membawa beras dan bahan
makanan yang lain untuk ditukarkan dengan rempah-rempah. Mereka ke Malaka, dengan
ditambah beras, membawa rempah-rempah dari Maluku, dan sebaliknya dari arah
Malaka membawa barang-barang dagangan yang berasal dari luar (pedagang-pedagang
Asia). Berkat komoditas “beras” dan letak strategis antara Maluku dan Malaka, Jawa
3
menjadi kekuatan yang diperhitungkan di dalam perdagangan dan pelayaran di
Nusantara. Terutama setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, Jawa
yang kemudian akan memainkan peranan penting dalam perdagangan dan pelayaran di
Nusantara. Terutama keberadaan pelabuhan atau bandar dagang Banten, yang akan
mengambil peran penting di dalam perdagangan di Jawa dan Nusantara.Sebelum bangsa
Barat masuk ke Indonesia, bangsa Indonesia telah menguasai perdagangan dan pelayaran
Nusantara. Perdagangan dan pelayaran saat itu bersifat antar pulau, yakni antara Pulau
Jawa, Sumatera, Kalimantan dan pulau-pulau di bagian timur, terutama Maluku.
Perdagangan dan pelayaran yang berkembang sebelum masuknya bangsa Barat ke Asia
Tenggara maupun ke Indonesia itu telah membentuk pusat-pusat kekuasaan. Disamping
Malaka sebagai pusat perdagangan dan juga pusat kekuasaan, maka terbentuk pula
pusat-pusat kekuasaan lain seperti Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Banten, Ternate, dan
Tidore, yang juga merupakan pusat-pusat kekuasaan yang bercorak Islam di Nusantara.
Di Indonesia Timur, pelabuhan penting adalah Ternate dan Tidore. Barang dagangan yang
dihasilkan adalah cengkih, sedangkan kayu cendana diperoleh dari pulau-pulau
sekitarnyaDi bagian Barat Indonesia, bandar-bandar yang penting seperti Pasai/Aceh,
Pedir, Jambi, Palembang, Barus, Banten, dan Sunda Kelapa. Pelabuhan-pelabuhan
tersebut kebanyakan mengekspor lada. Pelabuhan-pelabuhan di pantai Barat Sumatera
juga menghasilkan barang dagangan lain seperti kapur barus, kemenyan, sutera, madu,
dan damar.
4
Gambar Jalur Perdagangan dari Sumber Tome Pires
5
Pariaman, dan Tiku. Berikut ini adalah gambar jalur perdagangan sebelum dan sesudah
Malaka jatuh ke tangan Portugis.
6
cengkih sampai 34 kg. Hamparan cengkih ditanam di perbukitan di pulau-pulau kecil
Ternate, Tidore, Makian, dan Motir di lepas pantai barat Halmahera dan baru berhasil
ditanam di pulau yang relatif besar, yaitu Bacan, Ambon dan Seram.
Meningkatnya ekspor lada dalam kancah perdagangan internasional, membuat
pedagang Nusantara mengambil alih peranan India sebagai pemasok utama bagi pasaran
Eropa yang berkembang dengan cepat. Selama periode (1500- 1530) banyak terjadi
gangguan di laut sehingga bandar-bandar Laut Tengah harus mencari pasokan hasil bumi
Asia ke Lisabon. Oleh karena itu secara berangsur jalur perdagangan yang ditempuh
pedagang muslim bertambah aktif, ditambah dengan adanya perang di laut Eropa,
penaklukan Ottoman atas Mesir (1517) dan pantai Laut Merah Arabia (1538)
memberikan dukungan yang besar bagi berkembangnya pelayaran Islam di Samudra
Hindia.
Meskipun banyak kota bandar, namun yang berfungsi untuk melakukan ekspor dan
impor komoditi pada umumnya adalah kota-kota bandar besar yang beribu kota
pemerintahan di pesisir, seperti Banten, Jayakarta, Cirebon, Jepara-Demak, Ternate,
Tidore, Goa-Tallo, Banjarmasin, Malaka, Samudra Pasai, Kesultanan Jambi, Palembang
dan Jambi. Kesultanan Mataram berdiri dari abad ke-16 sampai ke-18. Meskipun
kedudukannya sebagai kerajaan pedalaman namun wilayah kekuasaannya meliputi
sebagian besar pulau Jawa yang merupakan hasil ekspansi Sultan Agung. Kesultanan
Mataram juga memiliki kota-kota bandar, seperti Jepara, Tegal, Kendal, Semarang, Tuban,
Sedayu, Gresik, dan Surabaya.
Dalam proses perdagangan telah terjalin hubungan antaretnis yang sangat erat.
Berbagai etnis dari kerajaan-kerajaan tersebut kemudian berkumpul dan membentuk
komunitas. Misalnya di Jakarta terdapat perkampungan Keling, Pekojan, dan kampung-
kampung lainnya yang berasal dari daerah-daerah asal yang jauh dari kota-kota yang
dikunjungi, seperti Kampung Melayu, Kampung Bandan, Kampung Ambon, dan Kampung
Bali.
Pada zaman pertumbuhan dan perkembangan Islam, sistem jual beli barang masih
dilakukan dengan cara barter. Sistem barter dilakukan antara pedagang-pedagang dari
daerah pesisir dengan daerah pedalaman. Di beberapa kota pada masa pertumbuhan dan
perkembangan Islam telah menggunakan mata uang sebagai nilai tukar barang.
Kemunduran perdagangan dan kerajaan yang berada di daerah tepi pantai
disebabkan karena kemenangan militer dan ekonomi Belanda, dan munculnya kerajaan-
kerajaan agraris di pedalaman yang tidak menaruh perhatian pada perdagangan.
7
BAB III
KESIMPULAN
Islam dan Jaringan Perdagangan Antar Pulau Jaringan perdagangan dan pelayaran
antarpulau di Nusantara terbentuk karena antarpulau saling membutuhkan barang-
barang yang tidak ada di tempatnya. Untuk menunjang terjadinya hubungan itu, para
pedagang harus melengkapi diri dengan pengetahuan tentang angin, pembuatan kapal,
dan kemampuan diplomasi dagang. Dalam kondisi seperti itu, muncullah saudagar-
saudagar dan syahbandar yang berperan melahirkan dan membangun pusat-pusat
perdagangan di Nusantara.
Pelaut-pelaut Nusantara juga telah mengetahui beberapa rasi bintang. Ketika
berlayar pada siang hari, mereka mencari pedoman arah pada pulau-pulau, gunung-
gunung, tanjung-tanjung, atau letak kedudukan matahari di langit. Pada malam hari
mereka memanfaatkan rasi bintang di langit yang cerah sebagai pedoman arahnya. Para
pelaut mengetahui bahwa rasi bintang pari berguna sebagai pedoman mencari arah
selatan dan rasi bintang biduk besar menjadi pedoman untuk menentukan arah utara.
Hubungan perdagangan antarpulau di Indonesia sebelum tahun 1500 berpusat di
beberapa wilayah, antara lain Samudera Pasai, Sriwijaya, Melayu, Pajajaran, Majapahit,
Gowa-Tallo, Ternate, dan Tidore.
Wilayah Nusantara menyimpan berbagai kekayaan di darat dan di laut. Sumber
daya alam ini sejak dulu telah dimanfaatkan untuk keperluan sendiri dan diperdagangkan
antarpulau atau antarnegara. Barang dagangan utama yang mendapat prioritas dalam
perdagangan antarpulau, yaitu a.lada, emas, kapur barus, kemenyan, sutera, damar madu,
bawang putih, rotan, besi, katun (Sumatera); b.beras, gula, kayu jati (Jawa); c.emas, intan,
kayu-kayuan (Kalimantan); d.kayu cendana, kapur barus, beras, ternak, belerang (Nusa
Tenggara); e.emas, kelapa (Sulawesi); dan f. perak, sagu, pala, cengkih, burung
cenderawasih, perahu Kei (Maluku dan Papua).
Rasi bintang biduk besar dan rasi bintang pari. Pada saat ini cara perdagangan
dilakukan melalui system barter (tukar menukar barang dengan barang). Sistem barter
umumnya dilakukan oleh para pedagang daerah pedalaman. Hal ini disebabkan kegiatan
komunikasi dengan daerah-daerah luar kurang lancer.
Para pedagang Nusantara, baik dari Jawa, Sumatera, Sulawesi, Maluku, maupun
pulau-pulau lain telah berjasil menjalin hubungan dagang bandar-bandar, seperti Malaka
dan Johor di Semenanjung Malaka; Pattani, dan Kra di Thailand; Pegu di Myanmar
(Birma); Campa di Kamboja; Manila di Filipina; Brunei dan bandar-bandar lain. Perahu
yang dipakai dalam pelayaran di masa lalu.
8
DAFTAR PUSTAKA
http://chyput06.blogspot.co.id/2015/04/v-behaviorurldefaultvmlo.html diakses
pada tanggal 12 Januari 2018
http://www.mikirbae.com/2015/10/islam-dan-jaringan-perdagangan-antar.html
diakses pada tanggal 12 Januari 2018
http://chandrajunitha07.blogspot.co.id/2014/04/islam-dan-jaringan-perdagangan-
antar.html diakses pada tanggal 12 Januari 2018