Agama Belongs To Bu Vivi
Agama Belongs To Bu Vivi
perbuatan yang yang di larang oleh Allah SWT, yaitu dengan cara meminjamkan uang dengan bunga
tertentu yang sering kali begitu besar sehingga memberatkan si peminjam, bahkan tidak jarang
seluruh harta bendanya ikut disita karena tidak mampu untuk membayar pinjaman yang telah jatuh
tempo,sehingga bunga pinjaman menjadi membengkak, hingga bunga berbunga dan berbunga. Pada
awal meminjam dengan tujuan untuk memperbaiki keadaan perekonomian, tetapi apa daya semua
yang di impikan musnah tiada berbekas.
Riba dengan contoh di atas sudah kita fahami bersama dan mungkin kita akan berfikir berkali-kali
untuk melakukannya. Tapi tahukah anda bahwa tanpa kita sadari kita sering melakukan perbuatan
riba dan kita tidak menyadari bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan riba. contoh nyata adalah
seperti di bawah ini :
Percakapan di atas sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari, bahkan mungkin salah satu
pelakunya adalah kita sendiri, apa yang bisa kita ambil dari percakapan di atas adalah sebagai berikut
:
Mungkin anda akan berfikir, kalau harga kontan sama dengan harga kredit sang penjual pasti rugi.
Untuk mengatasi hal tersebut bisa kita lakukan hal-hal berikut :
1. Misalkan harga beli selimut sebesar 175 ribu, terus kalau kita jual biasanya 200 ribu
2. Maka kita menjualnya sebesar 250 ribu
3. Apabila ada yang menanyakan harga selimut bila kredit, kita jawab 50 ribu X 5
4. bila pembeli menanyaka harga bila membeli secara kontan, maka kita jawab 250 ribu
5. Sehingga baik membeli secara kontan ataupun kredit, harga yang di dapat adalah sama, yaitu
sebesar 250 rib, sehingga kita bisa terhindar dari praktek riba
“Sungguh akan datang kepada manusia suatu masa, yaitu seseorang tidak
lagi peduli dari mana dia mendapatkan harta, dari jalan halal ataukah (yang)
haram”. [HR Bukhari]
“Sungguh beruntung orang yang telah berserah diri, diberi kecukupan rizki
dan diberi sifat qana’ah terhadap apa yang diberikan Allah kepadanya”. [HR
Muslim]
Dengan sifat qana’ah ini, seorang muslim harus bisa menjaga dalam mencari
rizki atau mata pencaharian. Ketika bermu’amalah dalam mencari
penghidupan, jangan sampai melakukan tindak kezhaliman dengan
memakan harta orang lain dengan cara haram. Inilah kaidah mendasar yang
harus kita jadikan barometer dalam bermu’amalah. Allah berfirman :
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara
kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan)
harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada
harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu
mengetahui”. [al Baqarah/2 : 188].
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan :
“Setiap muslim terhadap muslim yang lain adalah haram darahnya, harga
dirinya, dan hartanya”. [HR Muslim].
“Sungguh akan datang kepada manusia suatu masa, yaitu seseorang tidak
lagi peduli dari mana dia mendapatkan harta, dari jalan halal ataukah (yang)
haram”. [HR Bukhari]
“Demi Allah, bukanlah kefaqiran yang aku takutkan menimpa kalian. Akan
tetapi, yang aku takutkan adalah terbukanya dunia bagi kalian, sebagaimana
telah terbuka bagi umat-umat sebelum kalian. Sehingga kalian akan
berlomba-lomba, sebagaimana mereka telah berlomba-lomba. Demikian itu
akan menghancurkan kalian, sebagaimana juga telah menghancurkan umat
sebelum kalian”. [Muttafaqun 'alaih].
Oleh karena itu, ingatlah terhadap hisab, pembalasan dan siksa di akhirat.
Para pelaku kezhaliman akan mengalami kebangkrutan di akhirat. Meskipun
ia membawa pahala begitu banyak yang dikumpulkan ketika di dunia, namun
pahala-pahala yang telah berhasil ia himpun sewaktu di dunia, akan
dialihkan kepada orang-orang yang pernah dia zhalimi. Jika pahalanya telah
habis sementara kezhaliman yang ia lakukan belum bisa tertutupi, maka dosa
orang-orang yang dia zhalimi dialihkan kepada dirinya, sehingga dia
terbebani dengan dosa orang-orang yang ia zhalimi tersebut, sehingga ia pun
bangkrut tanpa pahala. Dan akhirnya dilemparkan ke dalam api neraka. Wal
‘iyyadzu billah.
Lihatlah sekarang ini, begitu banyak orang-orang yang pintar namun licik
dengan memakan harta orang lain. Bahkan ada di antaranya yang
mempermasalahkan dan membawanya ke hadapan hakim. Ditempuhlah
berbagai cara, supaya bisa mendapatkan harta yang bukan menjadi haknya.
Padahal, barangsiapa mengambil bagian hak milik orang lain, maka
hakikatnya dia telah mengambil bagian dari bara api neraka.
“Berilah upah kepada para pegawai sebelum kering keringatnya”. [HR Ibnu
Majah].
Bahwa usaha yang haram tidak akan menghasilkan, kecuali kebinasaan. Suap
demi suap makanan yang didapat dari jalan haram, akan menurunkan harga
diri kita di masyarakat. Sebaliknya, usaha yang baik dan halal, walaupun
sedikit, akan menjadi pahala dan tabungan yang selalu bertambah tidak
terputus di akhirat dan berbarakah.
Dalam kehidupan, terkadang kita tidak bisa dipisahkan dengan apa yang
disebut dengan hutang, disebabkan adanya keperluan tertentu. Meski
demikian, sebaiknya kita menjauhi dan menghindari hutang, kecuali keadaan
telah memaksanya, karena adanya hajat mendesak, yang tak mungkin kecuali
harus dengan menempuh hutang. Karena seorang yang berhutang, ia akan
selalu dalam keadaan tertawan, sampai dia melunasi hutangnya.
Melihat betapa besarnya pengaruh dan akibat yang akan ditanggung oleh
orang yang berhutang, maka semestinya kita memiliki kepedulian. Karena,
barangsiapa bisa membantu orang yang sedang dalam kesusahan, ikut
meringankan beban yang ditanggungnya, memberikan tempo atau bahkan
membebaskan orang yang terlilit hutang, maka Allah akan menaungi dirinya
pada hari Kiamat. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Akhirnya, marilah dalam mencari rizki, tetaplah dari jalan yang halal, yang
diridhai Allah, sehingga kita akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di
akhirat. Kita hindari sejauh-jauhnya jalan-jalan yang diharamkan. Dan tidak
ada kebenaran, kecuali datang dari Allah dan RasulNya. Wallahu a’lam.
Telah menceritakan kepada kami Ubaidullah bin Maisarah dia berkata, telah menceritakan
kepada kami Abdurrahman bin Mahdi telah menceritakan kepada kami Hammad bin
Salamah dari Tsabit al-Bunani dari Abdurrahman bin Abu Laila dari Shuhaib dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: Bila penduduk surga telah masuk ke surga,
maka Allah berfirman: ‘Apakah kalian ingin sesuatu yang perlu Aku tambahkan kepada
kalian? ‘ Mereka menjawab, ‘Bukankah Engkau telah membuat wajah-wajah kami putih?
Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari
neraka? ‘ Beliau bersabda: Lalu Allah membukakan hijab pembatas, lalu tidak ada satu pun
yang dianugerahkan kepada mereka yang lebih dicintai daripada anugrah (dapat) memandang
Rabb mereka. Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah
menceritakan kepada kami Yazid bin Harun dari Hammad bin Salamah dengan sanad ini, dan
dia menambahkan, ‘Kemudian beliau membaca Firman Allah: ‘(Bagi orang-orang yang
berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya) ‘ (Qs.Yunus: 26) (HR
Muslim) Sumber:
http://www.indoquran.com/index.php?surano=2&ayatno=258&action=display&option=com_
muslim
Proses melihat dengan penglihatan mata kepala terjadi ketika cahaya dipantulkan dari sebuah
benda melewati lensa mata dan menimbulkan bayangan terbalik di retina yang berada di
belakang otak. Setelah melewati proses kimiawi yang ditimbulkan oleh sel-sel kerucut dan
batang retina, penglihatan ini pun berubah menjadi implus listrik. Implus ini kemudian
dikirim melalui sambungan di dalam sistem syaraf ke belakang otak. Kemudian otak
menerjemahkan aliran ini menjadi sebuah penglihatan tiga dimensi yang penuh makna.
Kita perhatikan bahwa “proses melihat terjadi ketika cahaya dipantulkan dari sebuah benda”
dan Allah Azza wa Jalla bukanlah benda !
Sampai kapan pun manusia tidak akan melihat Rabb dengan kasat mata (mata kepala) yang
terproyeksikan / tergambarkan ke dalam benak (otak) nya karena Allah Azza wa Jalla tidak
serupa dengan apapun yang terproyeksikan / tergambarkan dalam benak (otak) manusia.
“Allah laysa kamitslihi syai’un”, “Allah tidak sama dengan segala sesuatu” (QS Assyura
[42]:11)
Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang
kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Pada akhir-akhir ini kesalahpahaman keyakinan (i’tiqod) bahwa penduduk surga melihat
Rabb dengan mata kepala semakin meluas berdasarkan pemahaman mereka terhadap hadits
pada awal tulisan ini.
Mereka berpendapat bahwa dalil penduduk surga melihat Rabb membenarkan keyakinan
mereka bahwa Allah ta’ala bertempat di langit atau di atas ‘Arsy dan turun ke langit dunia
pada setiap malam, ketika masih tersisa sepertiga malam terakhir
Sebenarnya, keyakinan ini terimbas oleh cerita-cerita tradisional bahwa ‘alam Tuhan’ itu
berada di langit, seiring dengan ‘alam dewa-dewa’ keyakinan non muslim. Alam dewa dan
alam Tuhan selalu dikaitkan dengan alam tinggi, yang dipersepsi berada di langit, dalam arti
ruang yang sesungguhnya. Sehingga, kita sering mendengar cerita-cerita tentang ‘turunnya’
para dewa-dewi, bidadari, atau bahkan ‘Tuhan’ sendiri dari langit nun jauh di sana menuju ke
Bumi.
Sebenarnya, konsep seperti ini bukan konsep Islam. Melainkan konsep keyakinan pagan yang
justru diluruskan oleh datangnya Islam yang dibawa oleh para Nabi dan keluarga nabi
Ibrahim alaihi salam – termasuk keturunan terakhirnya Rasulullah Muhammad Shallallahu
Alaihi Wasallam
Keyakinan pagan adalah keyakinan yang menyembah dewa-dewi dan unsur-unsur alam. Di
antaranya adalah keyakinan penyembah Matahari, Bintang, Bulan, penyembah api,
penyembah pepohonan, gunung-gunung, dan lain sebagainya. Tanpa disadari, doktrin-doktrin
keyakinan kuno ini meresap dalam pemahaman segelintir umat Islam dalam konsep
keimanannya. Termasuk keimanan kepada Allah ta’ala
Ada di antara kita, yang menganggap Allah ta’ala adalah Tuhan yang bertempat di dalam
Surga atau di alam akhirat atau di langit yang ke tujuh, di Sidratul Muntaha, atau berada di
alam tinggi, di atas awan sana. Sebuah negeri dongeng jaman dahulu kala, yang tidak akan
pernah anda temui ketika anda naik pesawat ruang angkasa sekalipun, baik dengan teknologi
pesawat ruang angkasa pada masa kini maupun nanti. Karena itu, ada di antara umat Islam
yang berpendapat, untuk bertemu Allah kita harus mengarungi jarak ke langit, ke luar
angkasa sana. Termasuk ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam Mi’raj. Beliau datang
ke Sidratul Muntaha itu dipersepsi untuk bertemu Allah. Sebab, dalam persepsi mereka,
Allah itu di langit, jauh dari kita.
Sungguh ini bukan konsep Al Qur’an. Ini bukan konsep Islam. Ini adalah konsep keyakinan
pagan, karena di dalam Al Qur’an, Allah digambarkan sebagai Dzat Maha Besar yang tidak
menempati ruang. Justru Dia meliputi ruang, sebesar apa pun ruang itu. Termasuk ruang alam
semesta yang tidak diketahui tepinya hingga kini.
Termasuk ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melakukan Mi’raj, beliau bukan
bertujuan untuk bertemu Allah di Sidratul Muntaha, karena Allah ta’ala memang bukan
‘tinggal’ di Sidratul Muntaha. Allah adalah Dzat yang digambarkan Al Qur’an ‘sangat dekat’
dengan kita. Bahkan lebih dekat daripada urat leher kita sendiri.
Allah ta’ala sendiri yang menyampaikan tentang diriNya bahwa “Aku adalah dekat”
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang “Aku” maka (jawablah)
bahwasanya Aku adalah dekat“.( Al Baqarah [2]:186 ).
“Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. Tetapi kamu tidak melihat” (QS Al-
Waqi’ah [56]: 85 ).
“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaaf [50] :16 )
“Dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan)“. (QS Al-’Alaq [96]:19 )
Di dalam berbagai ayat, justru Allah ta’ala digambarkan memenuhi seluruh ruang. Bahkan
ruang itu sendiri tidak muat untuk mewadahi DzatNya yang Maha Besar.
Allah ta’ala berfirman dalam hadist Qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu
’Umar r.a.: “Sesungguhnya langit dan bumi tidak akan/mampu menampung Aku. Hanya hati
orang beriman yang sanggup menerimanya.”
Kemana pun kita menghadap kita akan berhadapan dengan Dzat Allah itu.
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka
kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas
(rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui” (QS Al Baqarah [2]:115)
Salah satu kepahaman keyakinan pagan yang sangat melekat pada kepahaman segelintir
umat Islam adalah tentang keberadaan surga. Kebanyakan kita mempersepsi surga sebagai
suatu istana yang indah yang berada di atas langit dan jauh dari bumi. Sebagaimana konsep
dewa-dewi dalam keyakinan pagan itu. Sampai-sampai ada juga yang berpendapat bahwa
Allah ta’ala itu berada di surga. Yang ini adalah konsep keyakinan kaum Nasrani –
berpendapat Tuhannya berada di Surga.
Pemahaman seperti kaum Nasrani tersebut pada hakikatnya dipengaruhi oleh kaum Yahudi
yang mengaku sebagai “murid” Nabi Isa alaihi salam Kaum Yahudi yang hendak membunuh
para Nabi termasuk Nabi Isa alaihi salam.
Kaum Yahudi yang pada saat ini dikenal sebagai kaum Zionis Yahudi adalah mereka yang
mengikuti kembali keyakinan pada masa kerajaan Sulaiman , peninggalan mesir kuno yakni
kitab thalmud sebuah kitab yang berasal dari para penyihir di zaman Mesir Kuno yang
menganut ajaran Kaballah (menyembah Lucifer). Mereka berpaling dari kitab suci Taurat
“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman
(dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak
kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir).”
(QS Al Baqarah [2]:102 )
Islam sebenarnya tidak pernah mengajarkan pemahaman seperti pemahaman kaum Nasrani.
Akan tetapi, banyak di antara kita yang berpendapat bahwa untuk bisa bertemu Allah kita
harus berada di surga. Selama masih di Bumi, pertemuan itu tidak akan pernah bisa terjadi.
Al Qur’an justru mengatakan kepada kita bahwa untuk bertemu Allah kita tidak perlu harus
ke surga dulu. Semenjak hidup di dunia ini kita sudah bisa bertemu Allah dan melihatNya.
Kemana pun kita menghadap kita akan bertemu dengan Allah kecuali memang manusia yang
ingin berpaling dari Allah ta’ala
Di dalam shalat bertemu Allah. Di dalam dzikir bertemu Allah. Saat puasa bertemu Allah.
Saat haji pun bertemu Allah. Bahkan dalam seluruh aktifitas kita sehari-hari kita bertemu
Allah. Asalkan kita tahu caranya, seperti yang diajarkan oleh Al Qur’an, dan disampaikan
oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kepada kita.
Syaikh Ibnu Athoillah menyampaikan diawali dengan firman Allah Azza wa Jalla
َوه َُو القَاه ُِر فَ ْوقَ ِعبَا ِد ِه َوه َُو ال َح ِك ْي ُم ال َخبِي ُْر
Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya
Dan Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha mengetahui (QS. Al-An’am 18)
اإلحْ سا َ ِن الَّذِي يُعَبِ ُر ْونَ َع ْنهُ بِ َمقا َ ِم ال ُمشا َ َهدَ ِة ْ لى ال َّن
ِ َظ ِر إِ َل ْي ِه بِعَي ِْن ب
ِ صي َْرتِكَ َوه َُو َمقا َ ُم ِ ب يَ ْرت َ ِف ُع َع ْنكَ َفت
َ َِص ُل إ َ َ الحجا
ِ إِن
Pada akhirnya penghalang itu akan sirna, hilang dari anda sehingga sampai pada “Dapat
Melihat Allah” dengan “Ain Bashiroh” (Pandangan mata hati) dan inilah yang disebut
“Ihsan” yaitu beribadah kepada Allah seolah anda melihatNya, apabila anda tidak mampu
melihatNya, sesungguhnya Allah melihat anda. Para Ulama Sufi menyebutnya Maqom
Musyahadah artinya ruang kesakisan, “Aku besaksi tiada Tuhan selain Allah”.
Dari uraian syaikh Ibnu Athoillah di atas dapat kita simpulkan bahwa Manusia terhalang /
terhijab melihat Rabb adalah karena dosa mereka. Setiap dosa merupakan bintik hitam hati,
sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati Ketika bintik hitam memenuhi hati
sehingga terhalang (terhijab) dari melihat Allah. Inilah yang dinamakan buta mata hati.
Manusia melihat Rabb dengan penglihatan mata hati (ain bashiroh), melihat dengan hati
nurani, cahaya hati atau lubuk hati yang paling dalam.
Dalam sebuah hadits qudsi, Allah Azza wa Jalla berfirman: ’Telah Kucipta seorang malaikat
di dalam tubuh setiap anak keturunan Adam. Di dalam malaikat itu ada shadr. Di dalam shadr
itu ada qalb. Di dalam qalb itu ada fu`aad. Di dalam fu`aad itu ada syagf. Di dalam syagf itu
ada lubb. Di dalam lubb itu ada sirr. Dan di dalam sirr itu ada Aku.’
Hadits qudsi inilah yang menerangkan “man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu’ , Siapa
yang kenal kenal dirinya akan Mengenal Allah
Pertama, disebut shadr, karena ia merupakan tempat terbitnya cahaya Islam (nuuru-l-islaam).
Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
‘Adakah sama dengan mereka yang dibukakan shadrnya untuk Islam…. (QS 39:22)’.
Kedua, disebut qalb, karena ia merupakan tempat terbitnya keimanan. Hal ini sebagaiamana
firman-Nya,
‘Mereka itulah yang ditulis dalam hatinya terdapat keimanan. (QS 58:22)’
Ketiga disebut fu’aad karena ia merupakan tempat terbitnya ma’rifah. Hal ini sebagaimana
Firman Allah Swt,
‘Fu’aad tidak pernah mendustai apa-apa yang dilihatnya’ (QS 53:11).
Keempat disebut lubb, karena ia merupakan tempat terbitnya tauhid. Hal ini sebagaimana
firman-Nya,
‘Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang adalah
ayat-ayat bagi ulil albaab (sang pemilik lubb)’ (QS 3:190).
Kelima, disebut syagf, karena it merupakan tempat terbitnya rasa saling menyayangi dan
mencintai sesama makhluk. Hal ini sebagaimana firman-Nya,
’Sungguh ia (Zulaikha) telah dikuasai oleh rasa cinta yang membara….’ (QS 12:30)
Selain nama-nama yang telah disebutkan, hati pun disebut juga dengan nama habbah al-
quluub. Disebut demikian, karena ia merupakan tempat terbitnya cahaya, sebagaimana yang
diterangkan Allah dalam hadis qudsi-Nya, ’Tiada yang sanggup menampung-Ku, baik bumi
maupun langit-Ku. Hanya hati hamba-Ku yang Mukmin yang dapat menampung-Ku.’
“maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang
dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat
mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati
yang di dalam dada.” (QS Al Hajj [22]:46 )