Laporan Pendahuluan B

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 6

LAPORAN PENDAHULUAN

PTERIGIUM

A. Pengertian
Pterigium adalah suatu timbunan atau benjolan pada selaput lendir atau konjungtiva
yang bentuknya seperti segitiga dengan puncak berada di arah kornea. Pterigium (pterygium)
adalah kelainan pada konjungtiva bulbi, pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat
degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terdapat pada celah kelopak bagian nasal
ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterigium berbentuk segitiga
dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Pterigium mudah meradang dan bila
terjadi iritasi, maka bagian pterigium akan berwarna merah. Pterigium sering mengenai kedua
mata. Timbunan atau benjolan ini membuat penderitanya agak kurang nyaman karena
biasanya akan berkembang dan semakin membesar dan mengarah ke daerah kornea, sehingga
bisa menjadi menutup kornea dari arah nasal dan sampai ke pupil, jika sampai menutup pupil
maka penglihatan kita akan terganggu. Suatu pterygium merupakan massa ocular eksternal
superficial yang mengalami elevasi yang sering kali terbentuk diatas konjungtiva perilimbal
dan akan meluas ke permukaan kornea. Pterygia ini bisa sangat bervariasi, mulai dari yang
kecil, jejas atrofik yang tidak begitu jelas sampai yang besar sekali, dan juga jejas
fibrofaskular yang tumbuhnya sangat cepat yang bisa merusakkan topografi kornea dan dalam
kasus yang sudah lanjut, jejas ini kadangkala bisa menutupi pusat optik dari kornea.
Kondisi pterygium akan terlihat dengan pembesaran bagian putih mata, menjadi merah
dan meradang. Dalam beberapa kasus, pertumbuhan bisa mengganggu proses cairan mata atau
yang disebut dry eye syndrome. Sekalipun jarang terjadi, namun pada kondisi lanjut atau
apabila kelainan ini didiamkan lama akan menyebabkan hilangnya penglihatan si penderita.
Evakuasi medis dari dokter mata akan menentukan tindakan medis yang maksimal dari setiap
kasus, tergantung dari banyaknya pembesaran pterygium. Dokter juga akan memastikan
bahwa tidak ada efek samping dari pengobatan dan perawatan yang diberikan.

B. Klasifikasi
Pterygium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe, stadium,
progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera , yaitu:
1. Berdasarkan Tipenya pterygium dibagi atas 3 :
Tipe I : Pterygium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau menginvasi kornea
pada tepinya saja. Lesi meluas 4 mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas
khususnya pada kasus rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang
meluas ke forniks dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola mata serta
kebutaan.
2. Berdasarkan stadium pterygium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:
a. Stadium I : jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea.
b. Stadium II : jika pterygium sudah melewati limbus dan belum mencapai pupil, tidak
lebih dari 2 mm melewati kornea.
c. Stadium III : jika pterygium sudah melebihi stadium II tetapi tidak melebihi pinggiran
pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm).
d. Stadium IV : jika pertumbuhan pterygium sudah melewati pupil sehingga mengganggu
penglihatan.
3. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterygium dibagi menjadi 2 yaitu:
a. Pterygium progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di kornea di depan
kepala pterygium (disebut cap dari pterygium).
b. Pterygium regresif : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi bentuk membran,
tetapi tidak pernah hilang.
4. Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterygium dan harus diperiksa
dengan slit lamp pterygium dibagi 3 yaitu:
a. T1 (atrofi) : pembuluh darah episkleral jelas terlihat
b. T2 (intermediet) : pembuluh darah episkleral sebagian terlihat.
c. T3 (fleshy, opaque) : pembuluh darah tidak jelas.

C. Etiologi
Etiologi belum diketahui pasti. Namun ada teori yang dikemukakan :
1. Paparan sinar matahari (UV)
Paparan sinar matahari merupakan faktor yang penting dalam perkembangan
terjadinya pterigium. Hal ini menjelaskan mengapa insidennya sangat tinggi pada populasi
yang berada pada daerah dekat equator dan pada orang –orang yang menghabiskan banyak
waktu di lapangan.
UV-B merupakan mutagenik untuk p53 tumor supressor gen pada stem sel limbal. Tanpa
apoptosis, transforming growth factor-beta over produksi dan memicu terjadinya
peningkatan kolagenasi, migrasi seluler, dan angiogenesis. Selanjutnya perubahan
patologis yang terjadi adalah degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan
fibrovaskuler subepitelial. Kornea menunjukkan destruksi membran Bowman akibat
pertumbuhan jaringan fibrovaskuler.
2. Iritasi kronik dari lingkungan (udara, angin, debu)
Faktor lainnya yang berperan dalam terbentuknya pterigium adalah alergen, bahan kimia
berbahaya, dan bahan iritan (angin, debu, polutan).
Faktor risiko yang mempengaruhi antara lain :
a. Usia
Prevalensi pterygium meningkat dengan pertambahan usia banyak ditemui pada usia
dewasa tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak. Tan berpendapat pterygium
terbanyak pada usia dekade dua dan tiga.
b. Pekerjaan
Pertumbuhan pterygium berhubungan dengan paparan yang sering dengan sinar UV. 8
c. Tempat tinggal
Gambaran yang paling mencolok dari pterygium adalah distribusi geografisnya.
Distribusi ini meliputi seluruh dunia tapi banyak survei yang dilakukan setengah abad
terakhir menunjukkan bahwa negara di khatulistiwa memiliki angka kejadian pterygium
yang lebih tinggi. Survei lain juga menyatakan orang yang menghabiskan 5 tahun
pertama kehidupannya pada garis lintang kurang dari 300 memiliki risiko penderita
pterygium 36 kali lebih besar dibandingkan daerah yang lebih selatan.

d. Jenis kelamin
Tidak terdapat perbedaan risiko antara laki-laki dan perempuan.
e. Herediter
Pterygium diperengaruhi faktor herediter yang diturunkan secara autosomal dominan.
f. Infeksi
Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab pterygium.

D. Manifestasi Klinik
1. Mata irritatatif, merah gatal dan mungkin menimbulkan astigmatisme
2. Kemunduran tajam penglihatan akibat pteregium yang meluas ke kornea (Zone Optic)
3. Dapat diserati keratitis Pungtata, delen (Penipisan kornea akibat kering) dan garis besi
yang terletak di ujung pteregium.
4. Gangguan penglihatan

E. Patofisiologi
Terjadinya pterygium sangat berhubungan erat dengan paparan sinar matahari,
walaupun dapat pula disebabkan oleh udara yang kering, inflamasi, dan paparan terhadap
angin dan debu atau iritan yang lain. UV-B merupakan faktor mutagenik bagi tumor supressor
gene p53 yang terdapat pada stem sel basal di limbus. Ekspresi berlebihan sitokin seperti
TGF-β dan VEGF (vascular endothelial growth factor) menyebabkan regulasi kolagenase,
migrasi sel, dan angiogenesis. Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat
jaringan subepitelial fibrovaskular.
Jaringan subkonjungtiva mengalami degenerasi elastoid (degenerasi basofilik) dan
proliferasi jaringan granulasi fibrovaskular di bawah epitel yaitu substansia propia yang
akhirnya menembus kornea. Kerusakan kornea terdapat pada lapisan membran Bowman yang
disebabkan oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular dan sering disertai dengan inflamasi
ringan. Kerusakan membran Bowman ini akan mengeluarkan substrat yang diperlukan untuk
pertumbuhan pterygium. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia.
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi limbal
stem cell, terjadi konjungtivalisasi pada permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal
adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan
membran basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada
pterygium dan oleh karena itu banyak penelitian yang menunjukkan bahwa pterygium
merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral limbal stem cell.
Pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik dari kolagen serta proliferasi fibrovaskuler
yang ditutupi oleh epitel. Pada pemeriksaan histopatologi daerah kolagen abnormal yang
mengalami degenerasi elastolik tersebut ditemukan basofilia dengan menggunakan pewarnaan
hematoxylin dan eosin, Pemusnahan lapisan Bowman oleh jaringan fibrovascular sangat khas.
Epitel diatasnya biasanya normal, tetapi mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan
displastik dan sering menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet

F. Penatalaksanaan
1. Lindungi mata dengan pterygium dari sinar matahari, debu dan udara kering dengan
kacamata pelindung anti UV. Bila terdapat tanda radang berikan air mata
buatan/topicallubricating drops dan bila perlu dapat diberi steroid. Bila terdapat delen
(lekukan kornea) beri air mata buatan dalam bentuk salep. Bila diberi vasokontriktor maka
perlu kontrol 2 minggu dan bila terdapat perbaikkan maka pengobatan dihentikan.
2. Pterigium dengan inflamasi atau iritasi diobati dengan kombinasi dekongestan/antihistamin
(seperti Naphcon-A) dan/atau kortikosteroid topikal potensi sedang (seperti FML, Vexol) 4
kali sehari pada mata yang terkena.
3. Indikasi operasi eksisi pterigium yaitu karena masalah kosmetik dan atau adanya gangguan
penglihatan, pertumbuhan pterigium yang signifikan (> 3-4 mm), pergerakan bola mata
yang terganggu/terbatas, dan bersifat progresif dari pusat kornea/aksis visual.
4. Operasi mikro eksisi pterigium bertujuan mencapai keadaan yang anatomis, secara
topografi membuat permukaan okuler rata. Teknik operasi yang umum dilakukan adalah
menghilangkan pterigium menggunakan pisau tipis dengan diseksi yang rata menuju
limbus. Meskipun teknik ini lebih disukai dilakukan diseksi ke bawah bare sclera pada
limbus, akan tetapi tidak perlu diseksi eksesif jaringan Tenon, karena kadang menimbulkan
perdarahan akibat trauma terhadap jaringan otot. Setelah eksisi, biasanya dilakukan kauter
untuk hemostasis sclera.
Ada Beberapa Teknik operasi :
1. Bare Sclera : tidak ada jahitan atau menggunakan benang absorbable untuk melekatkan
konjungtiva pada sklera superfisial di depan insersi tendon rektus, meninggalkan area
sklera yang terbuka. (teknik ini menghasilkan tingkat rekurensi 40% – 50%).
2. Simple Closure : tepi bebas dari konjungtiva dilindungi (efektif jika defek konjungtiva
sangat kecil)
3. Sliding flap : insisi L-shaped dilakukan pada luka sehingga flap konjungtiva langsung
menutup luka tersebut.
4. Rotational flap : insisi U-shaped dibuat membuat ujung konjungtiva berotasi pada luka.
5. Conjunctival graft: graft bebas, biasanya dari konjungtiva bulbar superior dieksisi sesuai
ukuran luka dan dipindahkan kemudian dijahit.

Anda mungkin juga menyukai