Anda di halaman 1dari 6

Tumpahnya Cappuccino di Hari Itu.

Jezz…jezz…whuuzz…. Pekikan mesin kereta api yang melaju kencang dari stasiun kereta
Zurich menuju kota Lugano menemani perjalanan kami. Aku adalah anak tertua dari keluarga
Hazelium. Aku tinggal disebuah rumah yang terletak ditengah kota Zurich ditemani dengan
kedua orangtuaku dan adik kecilku, Phyllis. Pada liburan musim dingin kali ini, keluargaku telah
berencana untuk mencoba bermain ski disebuah gunung bernama Dolomites yang terletak
didekat kota kecil bernama Lugano. Dan saat yang dinanti - nantikan pun tiba.

Pagi ini, kami telah melihat berbagai pemandangan menakjuban dari sisi jendela kereta.
Mulai dari danau, lembah, jurang, sampai tebing - tebing hijau nan tinggi telah kami lalui. Tiba -
tiba, kereta memasuki terowongan yang gelap gulita. Suasana menjadi gelap dan hening
seketika. Adikku memegang erat tanganku, aku balik memeluknya seolah aku adalah
pelindungnya, padahal aku juga sedikit takut. Tetapi aku tetap bertindak sebagai kakak yang baik
dan mulai menenangkan adikku. Beberapa saat kemudian, sebuah titik cahaya terlihat dari depan
kereta. Kereta kami terus melaju sampai akhirnya keluar dari terowongan. Seketika, dari sisi
kanan jendela, terbentang sebuah panorama air terjun yang sangat indah, dan dilanjutkan dengan
pemandangan - pemandangan lainnya. Rasa takutku mulai menghilang, begitu juga adikku.

Lalu tiba – tiba, seorang pelayan datang. Iapun berkata “Buongiorno, cisa ti piacerebbe
per la prima colazione?” yang artinya “Selamat pagi, kalian ingin sarapan apa?”. “Quattro
panino per favore” ujar ayahku, yang artinya “Empat Sandwch tolong”. Beberapa saat kemudian,
sarapan kami datang. Pelayan itu memberikan sebuah Sandwich yang terdiri dari roti lembut
putih, daging sapi panggang, selada, dan beberapa bahan lain yang tak kukenali. Akupun
memakan Sandwichku dengan lahapnya, walaupun sandwich di sini berbeda dengan sandwich
yang biasa kubuat di rumah, tapi aku tetap memakannya sampai habis. Setelah makan, ayahku
mulai bercerita banyak tentang ski. Mulai dari sejarah penemuan permainan ski, tempat-tempat
yang cocok untuk bermain ski, sampai dengan cara yang dilakukan jika terjebak longsor. Tetapi,
aku sudah terlelap tidur dan tak mendengar topik terakhir yang ayah ceritakan.

“Elver…Elver…bangun!!! Kita udah sampai nih” suara ayah membangunkanku. Udara


dingin langsung menusuk menembus kulitku dan dagingku terasa membeku. “Dingin yah”
gerangku sambil menggigil. “Ayo pakai jaketmu!” kata ayah sambil menyodorkan jaket
berwarna biru gelapku. Ternyata semua sudah lengkap dengan pakaiannya. Ayah dengan jaket
merah maroon dan syal rajutan ibu, ibu dengan jaket coklat berbulunya, dan adikku dengan jaket
putih berkilauannya. Kamipun mengambil barang - barang kami, dan keluar menuju stasiun
Lugano. Sebenarnya aku masih mengantuk, tetapi kantukku hilang seketika setelah melihat
pemandangan gunung - gunung salju seputih Kristal menjunjung tinggi disekeliling kami yang
dihiasi langit biru cerah diatas kepala kami. Dari stasiun, kami bisa melihat banyaknya orang
bermain ski diatas gunung - gunung tersebut. Melihat itu, adikku meloncat kesana kemari “Yee...
main ski... main ski”. Akupun tertawa, ibuku tersenyum melihat tingkah laku adikku, Ayahku
juga tertawa, dan ia tiba tiba menggendong adikku dan menciumnya tepat di pipinya. Melihat
kejadian itu, entah kenapa hatiku terasa hangat, dan aku merasa sangat bahagia berada disekitar
keluaraku.

Saat yang ditunggu - tunggu pun tiba, kami mulai bermain ski. Ayah menyewa seorang
pemandu untuk mengajari aku dan adikku cara bermain ski. Kami mulai berlatih di daerah para
pemula. Daerah pemula adalah daerah yang terletak hampir mendekati dasar gunung dan terdiri
dari salju putih yang lembut yang sangat cocok sebagai tempat berlatih. Pemandu kami mulai
mengajari kami dasar dasar bermain ski. Dari cara memegang alat, sampai meluncur. Pada
awalnya, aku sedikit kesulitan dalam menjaga keseimbangan, tetapi setelah beberapa kali
mencoba, mencoba dan mencoba, aku sudah bisa dibilang “bisa” bermain ski. Anehnya, adikku
yang masih berumur 6 tahun juga seketika “bisa” bermain ski. Tetapi, ia tidak diizinkan untuk
naik ke atas gunung karena umurnya tidak mencukupi. Akhirnya, setelah berkali - kali mencoba
lagi, aku diizinkan untuk menaiki gunung. Ayahku menungguku diatas, sedangkan ibuku
menemani adikku disebuah Kafe didasar gunung Dolomites. Aku dan ayahkupun mulai bermain
ski.

Bermain ski sangat menyenangkan. Walaupun aku masih sering terjatuh, tapi aku masih
tetap bermain dengan senang hati. Ayahku mulai bermain ke gunung yang lebih tinggi,
sedangkan aku tetap berada di gunung yang sama. Stelah beberapa kali meluncur dan terjatuh,
akupun mulai merasa lelah. Akhirnya, aku turun menemui ibuku dan adikku di kafe. “Gimana?
Elver udah bisa? Mudahkan?” Tanya ibu. “Udah sih bu, tapi elver masih sering jatuh bu”
jawabku, “Nggak papa, kan baru belajar.” Ibuku menyuruhku duduk dan memesan sebuah
Cappuccino untukku. Ibuku mulai bercerita tentang bagaimana ayah bisa bermain ski. Ibuku
bilang, ketika SMA, ibuku dan ayahku adalah teman sekelas. Pada suatu hari, SMA ibu dan ayah
sedang mengadakan perjalanan ke kota Lugano untuk bermain ski. Sama seperti tujuan kami
datang ke sini. Pada saat pertama kali ayah bermain ski, ayahku adalah murid terlama yang dapat
memahiri permainan ini. Ia tak pernah berhenti terjatuh, teman-temannya selalu menertawainya,
tetapi ayahku tak pernah menyerah. Ayahku selalu mencoba sampai ia bisa. Itulah yang membuat
ibuku kagum dengan ayahku. Dan akhirnya, ketika ia sedang mencoba untuk ke yang sekian
ratus kalinya,…”BDBBUUUUAAAARRR!!!” suara gemuruh menghentikan cerita ibu dan
menumpahkan Capuccinnoku ke jaket biruku. Kamipun berlari keluar menuju sumber suara.
Diluar, terlihat bongkahan salju yang luar biasa besar meluncur pelan dari puncak gunung.
Ketika bongkahannya terguling ke bawah, hal itu mengakibatkan sebuah dinding salju besar
terbentuk dan terdorong didepannya. Kelihatannya seluruh gunung akan runtuh. Pandangan
mataku melekat pada ayah. Dengan gelisah, aku menarik – narik jaket ibuku dan berdoa keras -
keras “Ayo ayah, lebih cepat!!!” Ibuku yang berdiri disampingku mulai berteriak – teriak
menyemangati ayah sambil menangis, sedangkan Phyllis hanya terdiam kebingungan. Ayahku
kelihatan seperti akan berhasil melewati longsor salju tersebut, tapi, seiring bertambahnya
kecepatan salju turun dan bergumpal, jarak jangkauannya makin melebar, bergelombang, dan
bergelung dibelakang mereka.

Semuanya hanya terjadi dalam hitungan menit, tapi rasanya seperti kami merasa
membeku disana selama berjam – jam. Mataku masih tetap terpaku pada ayah, beberapa saat
kemudian, ayahku kelihatan kehilangan keseimbangan, dan iapun tersandung, terjatuh dan
berguling. Ibuku berteriak memanggil nama ayah. Ayahku mulai berdiri. Pada saat ayahku
sedang berusaha berdiri, longsor itu menghantam dan menggulungnya. Ibupun berteriak lagi, dan
terjatuh lunglai karena shock.

Sesaat setelah terjadi longsor, suasana terasa sunyi mencekam, tim - tim penyelamat
langsung memulai pencarian korban longsor. Salah satu dari mereka berkata bahwa kebanyakan
korban longsor tidak selamat bukan karena hantaman yang keras dari longsor, melainkan karena
terperangkap dan kehabisan oksigen dan tenaga dibawah tumpukan salju. Akupun mulai ingat
bahwa ayah baru saja bercerita tentang bagaimana cara menyelamatkan diri ketika terperangkap
longsor diperjalanan kereta api tadi. Tetapi, aku tidak bisa membayangkan apa yang sedang ayah
lakukan, karena ceritanya terpotong ketika aku tertidur di kereta tersebut.

Setelah hampir setengah jam, baru lima korban yang sudah ditemukan, dan tidak satupun
dari mereka adalah ayah. Mereka semua langsung dibawa oleh helikopter menuju rumah sakit
terdekat. Beberapa saat kemudian... “Guardate!” terdengar teriakan dari salah satu tim penolong
Mereka menemukan korban lagi. Akupun berdoa dan berharap korban yang ditemukan adalah
ayah. Mereka mengangkat korban itu ke atas sebuah tandu, korban itu terlihat seperti memakai
jaket merah maroon persis seperti jaket yang dikenakan oleh ayahku, hanya saja, jaket itu terlihat
kumuh dan lusuh. “Dreizzel!!!” tiba - tiba, ibuku berteriak memanggil nama ayahku dan berlari
menuju si korban. Akupun sadar bahwa itu adalah ayahku sendiri. Akupun menjemput Phyllis
dari dalam kafe, keluar menyusul ibu, dan akhirnya ikut naik helikopter mengantar ayah ke
rumah sakit terdekat.

Di perjalanan, suasana di dalam helikopter terasa tegang dan mencemaskan. Ibuku yang
sejak tadi histeris mulai tenang ketika mengetahui ayah masih hidup, adikku mulai menangis,
sedangkan aku hanya terdiam dengan cemas sambil berharap keadaan ayah baik baik saja.
Setelah beberapa menit, helikopter akhirnya mendarat di tempat pendaratan di depan rumah
sakit, dan ayahku dengan cepat dibawa ke UGD. Setelah beberapa saat menunggu di kursi
tunggu, dokterpun keluar dan mengatakan bahwa ayahku baik baik saja. Ayahku mendapat luka
memar di kepala dan patah tulang dibagian siku kanan, lutut kanan, dan tulang kering kirinya.
Kamipun masuk kedalam ruangan ayah. Ruangan itu berwarna krem hambar berukuran kira-kira
tiga kali empat meter, lumayan luas untuk ayah sendiri. Diujung kamar dekat jendela, terlihat
ayah terbaring di atas tempat tidur dengan tangan kakinya terbalut dengan kain putih seperti
mummy. Wajah ayah memar membesar dan terlihat sangat berbeda dengan ayah. Ibuku
mengusap - usap kepala ayah, dan mencium keningnya sambil meneteskan air mata. Aku dan
adikku menatap ibu yang kelihatan sangat sedih. Kami terus menunggu. Sampai matahari
terbenam, ayah masih tetap tak sadarkan diri. Akhirnya, kami terlelap tidur diruangan ayah.

“Elver...Elver...bangun!!!” suara ayah membangunkanku. Eeeehh... Ayah sudah


bangun???” teriakanku menggema didalam ruangan membangunkan ibu dan Phyllis. Wajah ibu
tiba - tiba berubah bahagia. Ia langsung berdiri dan mencium ayah lagi dan lagi sambil menangis,
sedangkan ayah tersenyum dan tertawa. Pada momen seperti ini, aku merasakan bagaimana ibu
sangat mencintai ayah. Tak bisa kubayangkan apa yang terjadi jika ayah tak bisa bertahan hidup.
"Hehe... kepala ayah serasa membesar, apa sekarang ayah terlihat seperti balon???” ujar ayah
menunjuk wajah memarnya yang membengkak sambil tertawa. Kamipun ikut tertawa. Ayah
dalam kondisi separah itu, masih bisa tertawa. Aku melihat bagaimana ayah berusaha menahan
rasa sakitnya agar kami tidak merasa cemas dengan kondisinya. Seketika, aku merasa ayah
adalah pria paling bijaksana sedunia. Ayahpun duduk dengan kesulitan dan sedikit merintih,
“Maafin ayah ya... udah buat kalian cemas” kata ayah dengan suara lembutnya. Ayahpun
mendapat pelukan dari ibu, disusul dengan pelukan dariku dan Phyllis.
Lima hari telah berlalu. Kondisi ayah sudah membaik, walaupun ia masih harus berjalan
dengan tongkat dan masih dililiti perban, tetapi ayah sudah terlihat seperti sedia kala. Sehat,
bahagia, dan masih bersemangat. Kami akhirnya bisa kembali pulang ke Zurich. Kami pulang
menaiki kereta yang sama, melewati pemandangan yang sama, dan terowongan yang sama.
Setelah beberapa jam menunggu, kamipun akhirnya tiba di rumah dengan sehat dan selamat.

Liburan kali ini adalah liburan yang tidak akan pernah bisa kulupakan. Selain bermain ski
dan terjadinya kecelakaan yang hampir menewaskan ayah, Aku juga menemui kehangatan,
kecintaan, kebahagiaan, dan kepedulian yang ada dalam keluargaku. Sejak saat itu, setiap kali
aku meminum Cappuccino lagi, aku selalu teringat suara gemuruh bongkahan salju pada hari itu,
hari dimana aku menyadari betapa indahnya hidup bersama keluargaku.
Data Diri :

Nama : Fidruzal Fahlevi

Tempat/Tanggal Lahir : Payakumbuh, 3 Juni 1999

Jenis Kelamin : Laki - laki

Alamat : Jl. Jendral Ahmad Yani no.49 Payakumbuh

Nomor Telepon : 082288196677

Agama : Islam

Pekerjaan : Pelajar (SMA Negeri 1 Sumatera Barat)

Facebook : Fidruzal Fahlevi

E mail : fidruzalfahlevi@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai