Anda di halaman 1dari 34

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi (AKB), dan anak balita di Indonesia
masih cukup tinggi. Berdasarkan Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007
menunjukkan AKI masih 228 per 100.000 KH dan AKB 34 per 100.000 KH. Angka ini
dilaporkan meningkat pada tahun 2012 yakni sebesar 359 per 100.000 KH. Survei tersebut
memaparkan kenaikan AKI Indonesia yang serupa bahkan lebih besar dari tahun 1997 yakni
(334 per 100.000 KH).
Salah satu provinsi yang memiliki kontribusi AKI tinggi adalah Jawa Timur. Data dari
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur tahun 2010 menunjukkan AKI sebesar 108/100.000 KH,
tahun 2011 sebesar 104/100.000 KH dan menurun pada tahun 2012 menjadi 97,4/100.000 KH.
Salah satu penyebab kematian ibu di Provinsi Jawa Timur tahun 2012 adalah preeklamsi dan
eklampsi. Penyebab tersebut merupakan penyebab utama yaitu sebesar 34,88% (Profil
Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2012)
Data Riskesdas tahun 2013 menunjukkan prevalensi hipertensi pada usia ≥ 18 tahun
rata-rata adalah 25,8%, sedangkan prevalensi hipertensi pada wanita ialah 28,8% (Bappenas,
2013). Preeklampsia dapat terjadi pada masa antenatal, intranatal, dan postnatal. Ibu yang
mengalami hipertensi akibat kehamilan berkisar 10%, 34 % diantaranya mengalami
preeklampsia, 5% mengalami hipertensi dan 1-2% mengalami hipertensi kronik (Robson dan
Jason, 2012).
Preeklampsia merupakan sindrom yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah dan
proteinuria yang muncul pada trimester kedua kehamilan. Sindrom ini akan selalu pulih
diperiode postnatal. Perempuan dengan banyak faktor resiko dan riwayat penyakit yang buruk
sebelumnya serta mengalami awitan resiko preeklampsia sejak dini meningkatkan resiko 20%
(Robson dan Jason, 2012).
Preeklampsia disebabkan oleh beberapa faktor risiko. Faktor-faktor risiko tersebut
yaitu, primigravida, primipaternitas, primi sekunder, diabetes mellitus, bayi besar, umur
ekstrem saat kehamilan, penyakit ginjal, anemia, obesitas, kehamilan pertama dengan pasangan
baru, riwayat preeklampsia sebelumnya, riwayat keluarga dengan preeklampsia, kehamilan
kembar, kondisi medis tertentu, adanya proteinuria, umur >40 tahun, obesitas, dan fertilitas in
vivo (Bothamley dan Maureen, 2012; Saifuddin, 2014).
Kehamilan dengan preeklamsia dapat menimbulkan resiko prematuritas dikarenakan
dilakukannya tindakan terminasi segera, Persalinan preterm mengakibatkan mortalitas dan
morbiditas neonatus yang tinggi (85%) (Norwitz & Schorge, 2013). Kesulitan utama yang
terjadi pada persalinan preterm adalah masalah perawatan bayi. Semakin muda umur bayi dan
semakin kecil berat badan bayi, semakin memiliki risiko mengalami morbiditas dan mortalitas
(Saifuddin, 2009).
Upaya penanganan persalinan preterm dapat dilakukan dengan pendekatan obstetrik.
Penanganan dengan metode ini dapat meningkatkan harapan pada ketahanan hidup dan kualitas
pelayanan. Dibeberapa negara maju, peranan asuhan dan akses asuhan memberikan prognosis
yang baik. Dinyatakan bahwa teknologi ikut berperan dalam keberhasilan upaya penanganan
persalinan preterm. Umumnya upaya primer merupakan upaya yang relatif lebih murah dan
upaya sekunder relatif lebih mahal (Saifuddin, 2009).
Pembelajaran klinik merupakan salah satu cara pembelajaran yang dapat memberikan
pengalaman bagi mahasiswa. Salah satu pengalaman tersebut yaitu pengalaman dalam
memberikan asuhan kebidanan patologi pada kasus kompleks. Asuhan kebidanan patologi
kedepan akan efektif apabila pengalaman mahasiswa dalam asuhan terasah sejak dini. Solusi
jangka panjang yang dapat penulis usulkan adalah dengan melakukan pembelajaran klinik
dengan membahas asuhan kebidanan patologi pada ibu hamil dengan preeklampsia dan risiko
persalinan prematur di Rumah Sakit Universitas Airlangga.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan umum
Diharapkan mahasiswi mampu memahami asuhan kebidanan patologi pada ibu hamil
dengan preeklampsia dan risiko persalinan prematur.
1.2.2 Tujuan khusus
Diharapkan mahasiswi mampu:
1) Menjelaskan konsep dasar persalinan prematur
2) Menjelaskan konsep dasar preeklampsi/eklampsi
3) Menjelaskan konsep dasar persalinan dengan tindakan seksio sesarea
4) Melakukan asuhan kebidanan pada ibu hamil dengan preeklampsia dan risiko persalinan
prematur menggunakan pola pikir Varney
5) Melakukan pendokumentasian hasil asuhan kebidanan
6) Menjelaskan kesesuaian antara teori yang ada dengan fakta dan praktik dipelayanan ruang
bersalin.
1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat bagi mahasiswa
Mahasiswa mampu mengaplikasikan teori yang telah dipelajari kepada klien dan
mampu memberikan asuhan kebidanan patologi.

1.3.2. Manfaat bagi kesehatan


Laporan pendahuluan ini diharapkan dapat menjadi referensi untuk melakukan
asuhan kebidanan pada ibu hamil dengan preeklampsia dan risiko persalinan prematur dan
meningkatkan kualitas pelayanan kebidanan dalam bidang obstetric dan ginekologi.

1.3.3. Manfaat bagi institusi pendidikan


Mempererat hubungan kerjasama antara pendidikan dan pelayanan kesehatan

1.3.4 Manfaat bagi institusi pelayanan


Laporan ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah referensi mengenai
asuhan kebidanan patologi, sebagai sarana evaluasi asuhan kebidanan agar tercipta lingkungan
yang mendukung kualitas pelayanan kebidanan.

1.3.5. Manfaat bagi klien


Klien mendapatkan health education selama masa masa kehamilan dengan masalah dan
mendapatkan asuhan kebidanan yang efektif.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Persalinan Prematur


2.1.1 Pengertian persalinan prematur.
Persalinan prematur adalah persalinan yang terjadi sebelum memasuki usia aterm.
Persalinan dikategorikan dalam persalinan prematur apabila terdapat kontraksi reguler
yang menyebabkan dilatasi dan penipisan servik sebelum usia kehamilan 37 minggu.
Definisi persalinan prematur dibedakan dengan kelahiran prematur. Kelahiran prematur
adalah kelahiran bayi yang terjadi saat usia kehamilan 20-37 minggu (American College
of Obstetricians and Gynecologists, 2016). Partus prematurus atau persalinan prematur
dapat diartikan sebagai dimulainya kontraksi uterus yang teratur disertai pendataran
dan/atau dilatasi serviks serta turunnya bayi pada wanita hamil yang lama kehamilannya
kurang dari 37 minggu (kurang dari 259 hari) sejak hari pertama haid terakhir (Oxorne
& Forte, 2010).
Definisi persalinan prematur beragam, akan tetapi definisi yang paling mudah
diterima berdasarkan literatur adalah persalinan yang terjadi dengan ditandai oleh
kontraksi yang reguler, penipisan dan dilatasi servik, serta pengeluaran hasil konsepsi
yang terjadi di antara usia kehamialan 20-37 minggu. Hal ini didukung dengan definisi
bahwa masalah pengeluaran hasil konsepsi di bawah usia 20 minggu disebut abortus.

2.1.2 Patofisiologi persalinan prematur.


Persalinan prematur terjadi karena kelainan proses yang multifaktor. Kombinasi
keadaan obstetrik, sosiodemografi, dan faktor medik mempunyai pengaruh terhadap
terjadinya peralinan prematur. Kadang hanya risiko tunggal yang dijumpai seprti distensi
berlebihan uterus, ketuban pecah dini, atau trauma. Banyak kasus persalinan sebagai
akibat prose patogenik yang merupakan mediator biokimia yang mempunyai dampak
terjadinya kontraksi rahim dan perubahan serviks (Saifuddin, 2016) yaitu :
1) Aktivasi aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal baik pada ibu maupun janin akibat stres
pada ibu dan janin.
2) Inflamasi desidua-korioamnion atau sistemik akibat dari infeksi asenden dari saluran
genitourinaria atau infeksi sistemik.
3) Perdarahan desidua.
4) Peregangan uterus yang patologik
5) Kelainan uterus atau servik.
Infeksi intrauterin memicu persalinan kurang bulan akibat aktivasi sistem imun
bawaan. Mikroorganisme menyebabkan pelepasan sitokin inflamasi seperti interleukin
dan tumor necrosis factor (TNF) yang kemudian merangsang produksi prostaglandin
dan/atau matrix-degrading enziym. Prostaglandin merangsang kontraksi rahim dan
degtadasi matriks ekstraseluler pada membran janin menyebabkan ketuban pecah dini
kurang bulan. Vaginosis bakterialis akibat perburukan flora vagina dilaporkan
mengakibatkan kelahiran kurang bulan spontan (Cunningham dkk, 2017). Vaginsis
bakterialis adalah sebuah kondisi yang berkaitan dengan ketuban pecah dini, persalinan
prematur, dan infeksi amnion. Kondisi ini terjadi ketika flora normal vagina predominan
laktobasilus digantikan dengan bakteri anaerob.
Sebuah jalur penting yang menyebabkan inisiasi persalinan menyebabkan aktivasi
inflamasi desidua. Pada kehamilan aterm aktivasi nampaknya dimediasi setidaknya
sebagian oleh sistem parakrin desidua janin dan mungkin melalui penurunan konsentrasi
progesteron lokal. Namun pada kasus persalinan kurang bulan, aktivasi desidua
tampaknya muncul pada kasus perdarahan intrauterin (Cunningham dkk, 2017).
Kehamilan ganda mengakibatkan ditensi uterus. Seiring dengan regangan uterus, cukup
sering terjadi persalinan sebelum waktunya (Saifuddin, 2016).
Kondisi hipertensi dan preeklamsia, serta inkompetensi servik merupakan
beberapa kondisi yang meningkatkan kejadian persalinan prematur. Beragam faktor
risiko yang telah disebutkan di atas perlu diidentifikasi sehingga dapat memberikan
asuhan serta penyuluhan yang dapat menghindari dan mengurangi risiko tambahan.

2.1.3 Faktor predisposisi persalinan prematur.


Kondisi selama kehamilan yang berisiko terjadinya persalinan preterm (Saifuddin,
2016) adalah :
1) Faktor Ibu
a. Penyakit berat pada ibu.
b. Diabetes mellitus
c. Preeklamsi dan hipertensi.
d. Infeksi saluran kemih / genital / intrauterin
e. Penyakit infeksi dengan demam.
f. Stress psikologik
g. Kelainan bentuk uterus.
h. Riwayat perdalinan preterm / abortus berulang.
i. Inkompetensi servik (servik dengan panjang 1 cm)
j. Pemakaian obat narkotika.
k. Trauma
l. Perokok berat.
m. Kelainan imunologi / kelainan rhesus.
2) Faktor janin dan plasenta
a. Perdarahan pada trimester awal.
b. Perdarahan antepartum seperti plasenta previa, solusio plasenta, vasa previa.
c. Ketuban pecah dini (KPD).
d. Pertumbuhan janin terhambat.
e. Cacatan bawaan janin.
f. Kehamilan ganda/gemeli.
g. Polihidramnion.

2.1.4 Diagnosis persalinan prematur.


Beberapa kriteria yang dapat dipakai sebagai diagnosis ancaman persalinan
preterm (Saifuddin, 2016), yaitu :
1) Kontraksi berulang setidaknya setiap 7-8 menit sekali, atau 2-3 kali dalam 10 menit.
2) Adanya nyeri pada punggung bawah (low back pain).
3) Perdarahan bercak.
4) Perasaan menekan daerah serviks.
5) Dilatasi serviks setidaknya 2 cm dan penipisan 50%-80%.
6) Presetasi rejanin rendah, sampai mencapai spina isciadika.
7) Selaput ketuban pecah dapat merupakan tanda awal terjadinya persalinan preterm.
8) Terjadi di usia kehamilan 22-37 minggu.
Indikator yang dapat digunakan untuk meramalkan terjadinya persalinan prematur
(saifuddin, 2016), sebagai berikut :
1) Indikator klinik.
Indikator klinik yang dapat dijumapi seperti timbulnya kontraksi dan pemendekan
serviks (secara manual maupun ultrasonografi). Terjadinya KPD juga meramalkan
akan terjadinya persalinan preterm.
2) Indikator laboratorik.
Indikator laboratorik yang bermakna antara lain jumlah leukosit dalam air ketuban
20 /ml atau lebih, hasil pemeriksaan CRP > 0,7 mg/ml, dan pemeriksaan leukosit
dalam serum ibu >13.000/ml.
3) Indikator biokimia.
Peningkatan kadar fibronektin pada vagina, servik, dan air ketuban lebih dari 50
mg/ml, peningkatan corticotropin Releasing Hormone (CRH) dini atau pada
trimester 2, adanya sitokin inflamasi sebagai mediator yang mungkin berperan dalam
sintesis prostaglandin, penurunan isoferitin plasenta, dan peningkatan ekspresi
feritin berkaitan dengan berbagai keadaan reaksi fase akut merupakan indikator yang
meningkatkan kejadian persalinan preterm.

2.1.5 Komplikasi persalian prematur.


Komplikasi yang mungkin dapat terjadi pada bayi adalah :
1) Mortalitas dan morbiditas bayi
2) Masalah jangka panjang seperti kelainan neurologik misalnya sereberal palsi,
retinopati, retardasi mental, disfungsi neurobehavioral dan prestasi sekolah yang
kurang baik.
3) Masalah jangka pendek seperti Respiratory Distress Syndrome (RDS), perdarahan
intra.perivntrikuler, Necrotizing Entero Cilitis (NEC), displasi bronko-pulmonar,
sepsis, paten duktus arteriosus.

2.1.6 Tatalaksanaan persalinan prematur.


Beberapa langkah yang dapat dilakukan pada persalinan preterm, terutama
mencegah morbiditas dan mortalitas neonatus preterm (Saifuddin, 2016) adalah :
1) Tirah baring.
2) Menghambat proses persalinan preterm dengan pemberian tokolisis.
Pemberian tokolisis masih perlu dipertimbangkan bila dijumpai kontraksi uterus
yang reguler dengan perubahan serviks. Alasan pemberian tokolisis adaah
menghambat persalinan preterm untuk mencegah mortalitas dan morbiditas bayi
prematur, memberi kesempatan kortikosteroid untuk menstrimulasi surfaktan paru
dan janin, memberikan kesemmpatan transfer intrauterin pada fasilitas yang lebih
lengkap. Tokolitik yang paling sering digunakan yaitu kalsium antagonis seperti
nifedipin 10 mg via oral di ulang 2-3 kali per jam, dilanjutkan tiap 8 jam hingga
kontraksi hilang.
3) Pematangan surfaktan paru janin dengan kortikosteroid.
Pemberian kortikosteroid menurunkan insidensi RDS, mencegah perdarahan
intraventrikular, yang bpada akhirnya menurunkan kematian neonatus. Pemberian
kortikosteroid dilakukan bila usia kehamilan kurang dari 35 minggu. Obat yang
diberikan berupa dexametasone 4x6 mg dengan cara intramuskular dengan jarak
pemberian 12 jam atau betametason 2x 12 mg dengan cara intramuskular dengan
jarak pemberian 24 jam. Pemberian obat ini tidak diulangi karena berisiko terjadi
pertumbuhan janin terhambat.
4) Lakukan pencegahan terhadap infeksi.
Antibiotika diberikan apabila kehamilan mengandung resiko infeksi seperti pada
kasus KPD. Obat yang dianjurkan diminum per oral seperti eritromisin 3 x 500 mg
selama 3 hari, ampisilin 3 x 500 mg selama 3 hari), atau menggunakan klindamisin.
Pengobatan dengan ko-amoksiklaf (Saifuddin, 2009).

2.1.7 Cara persalinan.


Bila janin presentasi kepala diperbolehkan partus pervaginam. Seksio sesarea tidak
memberikan prognosis yang lebih baik bagi bayi, bahkan merugikan ibu. Prematuritas
jangan dipakai sebagai indikasi untuk melakukan seksio sesarea. Oleh karena itu, sesarea
hanya dilakukan atas indikasi obstetrik.
Pada kehamilan sungsang usia kehamilan 30 – 34 minggu, seksio sesarea dapat
dipertimbangkan. Setelah kehamilan lebih dari 34 minggu, persalinan dibiarkan terjadi
karena morbiditas dianggap sama dengan kehamilan aterm (Saifuddin, 2016).

2.2 Konsep Dasar Persalinan Dengan Preeklamsi.


2.2.1 Definisi preeklamsi.
Preeklamsi adalah hipertensi yang timbul setelah umur kehamilan 20 minggu
disertai dengan proteinuria (Saifuddin, 2016). Hipertensi dalam kehamilan secara empiris
bila pengukuran tekanan darah > 140/90 mmHg yang terjadi pada kehamilan 20 minggu
dengan proteinuria > 300 mg /24 jam atau > 1+ pada pemeriksaan carik celup. Protein
uria merupakan penanda objektif yang menunjukan adanya kebocoran endotel yang luas.
Tetapi jika tekanan darah meningkat dan diabaikan karena proteinuri belum ada sangat
berbahaya karena 10% kejang eklamsi terjadi sebelum ditemukannya proteinuri
(Cunningham, 2017). Hipertensi dalam kehamilan adalah tekanan darah sekurang-
kurangnya 140mmHg sistolik atau 90mmHg diastolik pada 2 kali pemeriksaan berjarak
4 sampai 6 jam pada wanita yang sebelumnya normotensi (Kememkes, 2013).

2.2.2 Patofisiologi preeklamsi.


Penyebab pasti preeklamsi belum pasti, meskipun banyak teori telah dikemukakan.
Setiap teori harus dapat menjelaskan setiap pengamatan bahwa penyakit hipertensi pada
kehamilan lebih dapat timbul pada perempuan yang :
1) Terpajan villi korionik untuk pertama kalinya.
2) Terpajan villi korionik dalam jumlah berlebihan, seperti pada kehamilan ganda atau
mola hidatidosa.
3) Telah memiliki penyakit ginjal atau kardiovaskuler.
4) Secara genetis berisiko untuk mengalami hipertensi selama kehamilan (Cunningham,
2017).
Meskipun penyebab preeklamsi belum diketahui, tetapi teori-teori yang dianut
(Saifuddin, 2016) adalah :
1) Teori kelainan vaskularisasi plasenta.
Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapat aliran darah dari cabang-
cabang arteri uterina dan arteri ovarika. Kedua pembuluh darah tersebut menembus
miometrium berupa arteru akuarta, kemudian arteri arkuata memberi cabang pada
arteri radialis. Arteri radialis menembus miometrium menjadi arteri basalis dan
arteri basalis memberi cabang arteri spiralis. Kemudian terjadi invasi trofoblas ke
dalam lapisan otot arteri spiralis yang menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut,
sehingga terjadi dilatasi dilatasi arteri spiralis. Invasi trofoblas juga memasuki
jaringan sekitar arteri spiralis, sehingga jaringan matriks menjadi lebih gembur dan
memudahkan arteri spiralis mengalami distensi dan dilatasi. Distensi dan
vasodilatasi arteri spirali memberi dampak penurunan tekanan darah, penurunan
resistensi vaskular, dan peningkatan aliran darah uteroplasenter. Aliran darah ke
janin yang cukup banyak dan perfusi jaringan meningkat, menjamin pertumbuhan
janin dengan baik. proses ini disebut remodeling arteri spiralis.
Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada jaringan
otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot arteri spiralis tetap
kaku dan keras sehingga lumen arteri spiralis tidak memungkinkan mengalami
distensi dan vasodilatasi. Akibatnya, arteri spiralis relatif mengalami vasokonstriksi
dan terjadi kegagalan remodeling arteri spiralis. sehingga aliran darah uteroplasenter
menurun dan terjadilah hipoksia dan iskemia uteri.
2) Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel.
a. Iskemia plasenta dan pembentukan radikal bebas.
Plasenta yang mengalami iskemia akan menjadi oksidan atau radikal bebas. Salah
satu oksidan yang dihasilkan oleh iskemia plasenta adalah radikal hidroksil.
Radikal hidroksil sangat toksik, khususnya terhadap membran sel endotel
pembuluh darah. Radikal hidroksil akan merusak membran sel yang mengandung
banyak asam lemak tak jenuh menjadi peroksida lemak. Peroksida lemak akan
merusak membran sel, merusak nukleus, dan protein sel endotel.
b. Peroksida lemak sebagai oksidan.
Peningkatan peroksida lemak mengakibatkan antioksidan menurun misalnya
vitamin E, sehingga terjadi dominasi kadar oksidan peroksida lemak yang relatif
tinggi. Peroksida lemak yang tinggi dan sangat toksik beredar keseluruh tubuh
dalam aliran darah akan merusak membran sel endotel karena letaknya langsung
berhubungan dengan aliran darah dan mengandung banyak asam lemak tak jenuh.
Asam lemak idak jenuh sangat rentan terhadap oksidan radikal hidroksil yang
akan berubah menjadi peroksida lemak.
c. Disfungsi endotel.
Sel endotel terpapar peroksida lemak mengalami kerusakan yang dimulai dari
membran sel endotel. Kerusakan ini mengakibatkan terganngunya fungsi endotel,
bahkan kerusakan seluruh struktur sel endotel yang disebut disfungsi endotel,
Akibat disfungsi endotel akan terjadi :
 Gangguan metabolisme prostaglandin.
 Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel mengalami kerusakan.
 Perubahan khas pada sel endotel kapiler glomerulus.
 peningkatan permiabilitas kapiler.
 Peningkatan bahan-bahan vasopressor yaitu endotelin.
 Peningkatan faktor koagulasi.
3) Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin.
Faktor imunologik berperan terhadap terjadinya hipertensi dalam kehamilan terbukti
dengan fakta :
a. Primigravida berisiko lebih besar terjadi hipertensi daripada multigravida.
b. Multigravida yang menikah lagi berisiko lebih besar terjadi hipertensi
dibandingkan dengan suami sebelumnya.
c. Seks oral mempunyai risiko lebih rendah terjadinya hipertensi dalam kehamilan.
Pada hamil normal respon imun tidak menolak adanya hasil konsepsi yang bersifat
asing karena adanya human leukocyte antigen protein G (HLA-G) yang berperan
dalam modulasi respon imun, sehingga ibu tidak menolak hasil konsepsi (plasenta).
Adanya HLA-G pada plasenta dapat melindungi trofoblas janin dari lisis oleh sel
Natural Kliler (NK) ibu dan mempermudah invasi trovoblas ke dalam jaringan
desidua ibu. Pada plasenta hipertensi dalm kehamilan terjadi penurunan ekspresi
HLA-G, sehingga memudahkan terjadi reaksi inflamasi. Kemungkinan terjadi
Immune-Maladaptation pada preeklamsi.
4) Teori adaptasi kardiovaskular.
Pada kehamilan normal pembuluh darah refrakter terhadap bahan-bahan vasopressor,
atau dibutuhkan vasopressor yang lebih tinggi untuk menyebabkan respon
vasokonstriksi. Ini terjadi karena dilindungi oleh sistesis prostaglandin pada sel
endotel pembuluh darah. Prostaglandin ini adalah prostasiklin. Pada hipertensi
dalam kehamilan, terjadi kehilangan daya refrakter terhadap bahan vasokonstriktor,
dan terjadi peningkatan kepekaan terhadap bahan-bahan vasopressor. Artinya, daya
refrakter pembuluh darah terhadap bahan vasopresor hilang sehingga pembuluh
darah menjadi sangat peka terhadap bahan vasopressor dan sudah dapat ditemukan
pada kehamilan 20 minggu.
5) Teori generik.
Ada faktor keturunan dengan model gen tunggal. Gen ibu lebih menentukan
terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara familiar dibanding dengan genotip
janin.
6) Teori defisiensi gizi.
Penelitian membuktikan bahwa konsumsi minuak ikan dapat mengurangi risiko
preeklamsi. Minyak ikan mengandung banyakasam lemak tidak jenuh yang dapat
menghambat produksi tromboksan, menghambat aktivasi trombosit, dan mencegah
vasokonstriksi pembuluh darah.
7) Teori stimulus inflamasi.
Lepasnya debris trofoblast di dalm sirkulasi darah merupakan rangsangan utama
terjadinya proses inflamasi. Pada kehamilan normal, plasenta juga melepaskan
debris trofoblast sebagai sisa prose apoptosis dan nekrotik trofoblas, akibat reaksi
stress oksidatif. Bahan-bahan ini sebagai bahan asing yang merangsang timbulnya
proses inflamasi.
Pada kehamilan normal debris trofoblas dalam batas normal sehingga reaksi
inflamasi juga dalam batas normal. Proses apoptosis pada preeklamsi terjadi
peningkatan stress oksidatif, sehingga produksi debris apoptosis dan nekrotik
trofoblas juga meningkat. Keadaan ini menimbulkan beban rekasi inflamasi dalam
darah ibu menjadi lebih besar, dibanding rekasi inflamasi pada kehamilan normal.
Respon inflamasi ini akan mengaktifkan sel endotel dan sel makrofag yang lebih
besar pula, sehingga terjadi rekasi sistemik inflamasi yang menimbulkan gejala-
gejala preeklamsi pada ibu (Saifuddin 2106).

Kegagalan invasi trofoblas

Vasokonstriksi arteri spiralis

Iskemia plasenta

Produksi radikal bebas (oksidan) : radikal hidroksil

Oksidasi asam lemak idak jenuh pada membran sel endotel


Menghasilkan : peroksida lemak (oksidan)

Disfungsi endotel dengan segala akibatnya.

Prostasiklin turun Agregat trombosit


Tromboksan meningkat

Peningkatan kepekaaan vaskuler terhadap bahan vasopressor

Vasokonstriksi lumen pembuluh darah

Hipovolemia

Aliran darah menurun.

2.2.3 Faktor predisposisi preeklamsi.


1) Primigravida, primipaternitas.
2) Hiperplasentosis, misalnya pada mola hidatidosa, kehamilan multipel, diabetus
mellitus, bayi besar.
3) Umur yang ekstrim.
4) Riwayat keluarga pernah preeklamsi/eklamsi.
5) Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil.
6) Obesitas.
7) Gangguan vaskuler plasenta.
8) Riwayat preeklamsi sebelumnya (Saifuddin, 2016; Cunningham, 2017)

2.2.4 Diagnosis Preeklamsi.


1) Preeklamsi.
a. Tekanan darah > 140/90 mmHg pada usia kehamilan > 20 minggu.
b. Tes celup urine menunjukan protein urine 1+ atau pemeriksaan protein kuantitatif
menunjukan hasil > 300 mg / 24 jam.
2) Preeklamsi berat.
a. Tekanan darah > 160/110 mmHg pada usia kehamilan > 20 minggu.
b. Tes celup urin menunjukan protein urin > 2+ atau pemeriksaan protein urin
kuantitatif menunjukan hasil > 5 g/24 jam.
c. Atau disertai keterlibatan organ lain :
 Trombositopenia < 100.000 sel/uL, hemolisis mikroangiopati.
 Peningkatan SGOT/SGPT, nyeri abdomen kuadaran kanan atas.
 Sakit kepala, skotoma penglihatan.
 Pertumbuhan janin terhambat, oligohiramnion.
 Edema paru dan atau gagal jantung kongestif.
 Oligouria < 500 ml/24 jam, kreatinin > 1,2 mg/dl.
3) Eklamsi.
 Kejang umum dan/atau koma.
 Ada tanda dan gejala preeklamsi.
 Tidak ada kemungkinan penyebab lain.

2.2.5 Dampak preeklamsi.


Terdapat sejumlah manifestasi neurologis sindrom preeklamsi pada ibu. Masing-
masing manifestasi menunjukan keterlibatan berat suatu organ dan memerlukan
perhatian segera, yaitu :
1) Nyeri kepala dan skotomata diduga timbul akibat hiperperfusi serebrovaskular.
Nyeri kepala dapat ringan hingga berat dan dapat intermiten atau konstan.
2) Kejang bersifat diagnostik untuk eklamsi.
3) Kebutaan walau jarang terjadi pada eklamsi saja, tapi sering menjadi komplikasi
pada kejang eklamtik.
4) Edema otak menyeluruh dan biasanya bermanifestasi sebagai perubahan status
mental yang bervriasi dari kebingungan hingga koma. Kondisi ini khusunya
berbahaya karena dapat menyebabkan herniasi supratentorial yang membahayakan
jiwa (Cunningham 21017)
Dampak preeklamsi pada janin adalah :
1) IUGR.
2) Kenaikan morbiditas dan mortalitas janin secara tidak langsung akibat IUGR,
prematuritas, oligohidramnion, dan solusio plasenta (Saifuddin, 2016).

2.2.6 Terapi preeklamsi.


Perawatan yang penting pada preeklamsi adalah pengelolaan cairan karena
penderita preeklamsi berisiko tinggi untuk terjadi oedema paru dan oligouri. Monitoring
input cairan (oral dan infus), maupun output cairan (kencing) sangat penting.
MgSO4 merupakan obat anti kejang pilihan pertama dan lebih efektif dibanding
obat anti kejang lain (Fenitoin, Diazepam). MgSO4 menghambat dan menurunkan kadar
asetikollin pada rangsangan serat saraf dengan menghambat transmisi neuromuskuler.
Transmisi neomuskuler membutuhkan kaslsium. Pemberian magnesium akan menggeser
kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak terjadi. MgSO4 pada preeklamsi sebagai
pencegahan kejang (Saifuddin, 2016; Kemenkes, 2013).

1) Syarat pemberian MgSO4.


a. Tersedia Ca Glukonas 10 %
b. Ada refleks patella (+)
c. Jumlah urin minimal 0.5 ml/kgBB/jam
d. Frekwnsi pernapasan > 16 kali/menit, tidak ada tanda-tanda distress napas.
2) Cara pemberian :
a. Dosis awal.
- Ambil 4 gr (10 cc) larutan MgSO 40 % larutkan dengan aquades 10 cc.
- Berikan secara intravena selama 20 menit.
- ika akses intravena sulit, berikan masing-masing 5 gr (12.5 cc) MgSO4 40%
IM di bokong kiri dan kanan.
b. Dosis rumatan :
- Ambil 6 gr (15 cc) MgSO4 40% larutkan dalam larutan Ringer Laktat /Ringer
Asetat, berikan secara IV dengan kecepatan 28 tetes per menit selama 6 jam
dan diulang hingga 24 jam atau kejang berhenti pada eklamsi.
- Pada rujukan, jika terjadi eklamsi berikan kembali MgSO4 2 gr IV perlahan
15 sampai 20 menit.
c. Jika terjadi depresi napas berikan Ca Glukonas 1 gr = 10% (dalam 10cc) bolus
dalam 10 menit.
3) Observasi pemberian MgSO4.
Lakukan pemeriksaan fisik setiap jam, meliputi tekanan darah, frekwensi nadi,
frekwensi pernapasan, refleks patella, dan jumlah urin (tanda-tanda intoksikasi). Bila
frekwensi pernapasan < 16 x/ menit, dan/atau tidak didapatkan refleks tendon patella,
dan/atau oligouri (produksi urin < 0.5 ml/kgBB/jam) segera hentikan pemberian
MgSO4.
4) Penghentian pemberian MgSO4.
a. Ada tanda-tanda intoksikasi.
b. Setelah 24 jam persalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir.

Diuretikum tidak diberikan secra rutin, kecuali jika ada edema paru, payah jantung
kongestif, atau anasarka. Tidak diberikan secara rutin karena memperberat hipovolemia,
memperburuk perfusi uteroplasental, menimbulkan dehidrasi dan penurunan berat badan
pada janin. Pemberian obat antihipertensi diberikan jika tekanan darah > 160/110 mmHg.
Jenis yang dapat digunakan :
1) Nifedipin : 4 x 10 – 30 mg per oral (short acting).
1x 20 – 30 mg per oral (long acting).
2) Metildopa : 2 x 250 – 500 mg per oral (dosis maksimal 2.000 mg/hari)

2.2.7 Pertimbangan persalinan preeklamsi.


Terminasi kehamilan pada ibu dengan preeklamsi berat, janin belum viabel atau
tidak akan viabel dalam 1 – 2 minggu dianjurkan untuk induksi persalinan. Pada ibu
dengan preeklamsi berat, janin sudah viabel tapi usia kehamilan belum 34 minggu, maka
dianjurkan manajemen ekspektan asalkan tidak ada kontra indikasi. Jika usia kehamilan
antara 34 dan 37 minggu, manajemen ekspektan boleh dianjurkan asalkan tidak terdapat
hipertensi yang tidak terkontrol, disfungsi organ ibu, dan gawat janin, serta lakukan
dengan pengawasan ketat. Pada ibu dengan preeklamsi berat yang kehamilannya sudah
aterm, dianjurkan persalinan dini. Pada preeklamsi ringan atau hipertensi gestasional
ringan yang aterm, dianjurkan untuk induksi persalinan (Kemenkes, 2013).

Preeklamsi dengan gejala


berat :
 MRS, evaluasi gejala,
DJJ, dan cek > 34 minggu
laboratorium.
 Stabilisasi, pemberian
MgSO$ profilaksis.
 Anti HT jika > 160/110

< 34 minggu

Jika didapat :
 Eklamsi Jika usia kehamilan
 Edeme paru. > 24 minggu anin
 Dic hidup : Terminasi
 HT berat tidak Ya Berikan pematangan kehamilan seelah
terkontrol paru (dosis tidak stabilisasi
 Gawat janin. harus selalu lengkap)
 solutio plasenta. tanpa menunda
 IUFD terminasi.
 Janin tidak viabel

Tidak
Jika didapatkan
 Gejala persistensi. Jika usia kehamilan >
 Sindrom HELLP 24 minggu :
 PJT Ya Pematangan paru
 Severe oligohydramnion (Dexametason 2x6mg
 Reversed and diastolic atau betamethason IM
flow 1x12mg) 2x24 jam
 KPP atau inpartu
 Gangguan renal berat

Tidak

Perawatan konservatif :
 Evaluasi di kamar bersalin selam 24 – 48
jam.  Usi a kehamilan >
 Rawat inap hingga terminasi. 34 minggu
 Stop MgSO4 profilaksis (1x24 jam)  KPD atau inpartu
 Pemberian anti hipertensi jika TD>  Pemburukan
160/110 mmHg maternal-fetal
 Pematangan paru 2x24 jam
 Evaluasi maternal-fetal secara berkala

Gambar : Algoritma penatalaksanaan preeklamsi berat (RSUA, 2017)


2.3 Konsep Dasar Persalinan Dengan Seksio Sesarea.
2.3.1 Definisi seksio sesarea
Seksio sesarea adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan melalui
suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam
keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram (Prawirohardjo, 2011b). Sectio Caesarea
ialah tindakan untuk melahirkan janin dengan berat badan diatas 500 gram melalui
sayatan pada dinding uterus yang utuh (Gulardi & Wiknjosastro, 2006). Kelahiran janin
melalui abdominal (laparotomi) yang memerlukan insisi ke dalam uterus (Norwitz, 2008).

2.3.2 Jenis seksio sesarea..


Menurut Wiknjosastro (2007), Seksio sesarea dapat diklasifikasikan menjadi 4
jenis yaitu :
1) Seksio sesarea transperitonealis profunda.
Seksio sesarea transperitonealis profunda dengan insisi di segmen bawah rahim.
Insisi bisa dengan teknik melintang atau memanjang. Keunggulan pembedahan ini
adalah :
a. Pendarahan luka insisi tidak seberapa banyak.
b. Bahaya peritonitis tidak besar.
c. Perut uterus umumnya kuat sehingga bahaya ruptur uteri dikemudian hari tidak
besar karena pada nifas segmen bawah uterus tidak seberapa banyak mengalami
kontraksi seperti korpus uteri sehingga luka dapat sembuh lebih sempurna.
2) Seksio sesarea klasik atau section cecaria korporal.
Seksio sesarea klasik merupakan pembedahan ini yang agak mudah dilakukan dan
hanya diselenggarakan apabila ada halangan untuk melakukan section cacaria
transperitonealis profunda. Insisi memanjang pada segmen atas uterus.
3) Seksio sesarea ekstra peritoneal.
Jenis ini dilakukan untuk mengurangi bahaya injeksi perporal akan tetapi dengan
kemajuan pengobatan terhadap injeksi pembedahan ini sekarang tidak banyak lagi
di lakukan. Rongga peritoneum tak dibuka, dilakukan pada pasien infeksi uterin
berat.
4) Seksio sesarea histerektomi.
Jenis ini dilakukan histeroktom atas indikasi :
a. Atonia uteri.
b. Plasenta akreta.
c. Myoma uteri.
d. Infeksi intra uteri berat

2.3.3 Etiologi seksio sesarea.


Manuaba (2002), indikasi ibu dilakukan seksio sesarea adalah ruptur uteri iminen,
perdarahan antepartum, ketuban pecah dini. Sedangkan indikasi dari janin adalah fetal
distress, dan janin besar melebihi 4.000 gram. Dari beberapa faktor seksio sesarea diatas
dapat diuraikan beberapa penyebab seksio sesarea, yaitu :
1) Chepalo Pelvik Disproportion (CPD)
CPD adalah ukuran lingkar panggul ibu tidak sesuai dengan ukuran lingkar kepala
janin dan dapat menyebabkan ibu tidak dapat melahirkan secara alami. Tulang-
tulang panggul merupakan susunan beberapa tulang yang membentuk rongga
panggul, merupakan jalan yang harus dilalui oleh janin ketika akan lahir secara alami.
Bentuk panggul yang menunjukkan kelainan atau panggul patologis menyebabkan
kesulitan dalam proses persalinan alami sehingga harus dilakukan tindakan operasi.
Keadaan patologis menyebabkan bentuk rongga panggul menjadi asimetris dan
ukuran-ukuran bidang panggul menjadi abnormal.
2) PEB (Pre-Eklamsi Berat)
Pre-eklamsi dan eklamsi merupakan kesatuan penyakit yang langsung disebabkan
oleh kehamilan, sebab terjadinya masih belum jelas. Setelah perdarahan dan infeksi,
pre-eklamsi dan eklamsi merupakan penyebab kematian maternal dan perinatal
paling penting dalam ilmu kebidanan. Karena itu diagnosa dini amatlah penting,
yaitu mampu mengenali dan mengobati agar tidak berlanjut menjadi eklamsia.
3) Ketuban Pecah Dini (KPD)
KPD adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda persalinan dan ditunggu satu
jam belum terjadi inpartu.
4) Bayi Kembar.
Kelahiran kembar memiliki resiko terjadi komplikasi yang lebih tinggi daripada
kelahiran satu bayi. Bayi kembar dapat mengalami sungsang atau salah letak lintang
sehingga sulit untuk dilahirkan secara normal. Tetapi tidak selamanya bayi kembar
dilahirkan secara caesar.
5) Faktor Hambatan Jalan Lahir
Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir yang tidak memungkinkan
adanya pembukaan, adanya tumor dan kelainan bawaan pada jalan lahir, tali pusat
pendek dan ibu sulit bernafas.
6) Kelainan Letak Janin
a. Kelainan pada letak kepala.
- Letak kepala tengadah.
Bagian terbawah adalah puncak kepala, pada pemeriksaan dalam teraba UUB
yang paling rendah. Etiologinya kelainan panggul, kepala bentuknya bundar,
anaknya kecil atau mati, kerusakan dasar panggul.
- Presentasi muka.
Letak kepala tengadah (defleksi), sehingga bagian kepala yang terletak paling
rendah ialah muka. Hal ini jarang terjadi, kira-kira 0,27-0,5 %.
- Presentasi dahi.
Posisi kepala antara fleksi dan defleksi, dahi berada pada posisi terendah dan
tetap paling depan. Pada penempatan dagu, biasanya dengan sendirinya akan
berubah menjadi letak muka atau letak belakang kepala.
b. Letak Sungsang.
Letak sungsang adalah keadaan dimana janin terletak memanjang dengan kepala
di fundus uteri dan bokong berada di bagian bawah kavum uteri. Beberapa jenis
letak sungsang yakni presentasi bokong murni, presentasi bokong kaki sempurna,
presentasi bokong kaki tidak sempurna dan presentasi kaki (Saifuddin, 2002).
2.3.4 Patofisiologi.
SC merupakan tindakan untuk melahirkan bayi dengan berat di atas 500 gr dengan
sayatan pada dinding uterus yang masih utuh. Indikasi pada ibu untuk dilakukan tindakan
ini jika ditemukan adanya distorsi kepala panggul, disfungsi uterus, distorsia jaringan
lunak, plasenta previa, dan sebagainya. Sedangkan untuk faktor janin adalah lebih
diperuntukkan pada kondisi gawat janin, janin besar dan posisi letak lintang. Setelah
dilakukan SC, ibu akan mengalami adaptasi post partum baik dari aspek kognitif berupa
kurang pengetahuan yaitu akibat kurang informasi dan dari aspek fisiologis yaitu produk
oksitosin yang tidak adekuat akan mengakibatkan ASI yang keluar hanya sedikit,
sedangkan luka dari insisi SC akan menjadi post de entris bagi kuman. Oleh karena itu
perlu diberikan antibiotik dan perawatan luka dengan prinsip steril. Nyeri adalah salah
efek samping dari luka bekas SC yang mengakibatkan gangguan rasa nyaman.
Sebelum dilakukan operasi pasien perlu dilakukan anestesi bisa bersifat regional dan
umum. Namun anestesi umum lebih banyak pengaruhnya terhadap janin maupun ibu
anestesi janin sehingga kadang-kadang bayi lahir dalam keadaan apnue yang tidak dapat
diatasi dengan mudah. Akibatnya janin bisa mati, sedangkan pengaruhnya anestesi bagi
ibu sendiri yaitu terhadap tonus uteri berupa atonia uteri sehingga darah banyak yang
keluar. Untuk pengaruh terhadap nafas yaitu jalan nafas yang tidak efektif akibat sekret
yan berlebihan karena kerja otot nafas silia yang menutup. Anestesi ini juga
mempengaruhi saluran pencernaan dengan menurunkan mobilitas usus.
Seperti yang telah diketahui setelah makanan masuk lambung akan terjadi proses
penghancuran dengan bantuan peristaltik usus. Kemudian diserap untuk metabolisme
sehingga tubuh memperoleh energi. Akibat dari mortilitas yang menurun maka peristaltik
juga menurun. Makanan yang ada di lambung akan menumpuk dan karena reflek untuk
batuk juga menurun. Maka pasien sangat beresiko terhadap aspirasi sehingga perlu
dipasang pipa endotracheal. Selain itu motilitas yang menurun juga berakibat pada
perubahan pola eliminasi yaitu konstipasi (Saifuddin, Mansjoer & Prawirohardjo, 2011).

2.3.5 Indikasi.
Sebagian besar indikasi bedah sesar bersifat relatif dan bergantung pada penilaian
penolong, Indikasi paling umum untuk bedah sesar primer (pertama) adalah kegagalan
proses persalinan. Disproporsi sefalopelvik absolut adalah kondisi klinis ketika janin
terlalu besar dibandingkan rongga tulang panggul sehingga tidak dapat dilakukan
persalinan per vaginam bahkan dalam kondisi paling optimum sekalipun. CPD relative
adalah ketika janin terlalu besar bagi tulang panggul karena adanya kondisi malpresentasi
(Norwitz, 2008)

Absolut Relatif
 Induksi persalinan  Bedah sesar elektif
Ibu gagal  PEB, penyakit jantung ,
 Distosia persalinan diabetes, kanker serviks
 Disproporsi
sefalopelvik
 Sesar klasik (bedah  Riwayat bedah uterus
uterus sebelumnya.. sebelumnya
Uteroplasnta.  Riwayat ruptur uterus (miomektomi dengan
 Obstruksi jalan lahir ketebalan penuh)
 Plasenta previa,  Presentasi funik (tali
abruption plasenta pusat) pada saat
berukuran besar persalinan
 Gawat janin/ hasil  Malpresentasi janin
pemeriksaan janin yang (sungsang)
Janin tidak meyakinkan  Makrosomia
 Propalps tai pusat  Kelainan janin
 Malpresentasi janin (hidrosefalus)
(post melintang )

2.3.6 Komplikasi.
1) Perdarahan (kemungkinan membutuhkan transfusi darah). Rata – rata darah hilang
akibat Sectio Caesarea 2 kali lebih banyak dari pada yang hilang dengan kelahiran
melalui vagina. Kira – kira 800 – 1000 ml yang disebabkan oleh banyaknya
pembuluh darah yang terputus, atonia uteri (efek pasca operasi dari pemberian
anestesi) dan pelepasan plasenta.
2) Infeksi (faktor resiko untuk infeksi pasca operasi termasuk diabetes, obesitas, bedah
sesar darurat, demam intrapartum, pemantauan janin internal, anemia, riwayat
pembedahan abdomen sebelumnya, hematoma, induksi persalinan, status
sosioekonomi rendah, ketuban pecah dini memanjang).
3) Cedera pada janin.
4) Cedera pada organ di dekat uterus (usus, kandung kemih, ureter, pembuluh darah)
5) Emboli pulmonal. Terjadi karena penderita dengan insisi abdomen kurang dapat
mobilisasi dibandingkan dengan melahirkan melalui vagina (normal).
6) Plasenta Akreta. Ibu yang menjalani operasi caesar berisiko mengalami perlengkatan
plasenta pada rahim (plasenta akreta). Perlengketan juga bisa terjadi bila darah,
jaringan rahim (endometrium) atau jaringan plasenta tertinggal dan menempel pada
usus atau organ dalam lainnya.
7) Mungkin perlu pembedahan lebih lanjut (histerektomi, masa nifas, jahitan diusus)
(Norwitz, 2008)

2.3.7 Penatalakanaan pra dan post pembedahan.


1) Persiapan pra pembedahan.
Menurut Manuaba (2002), persiapan tindakan operasi perlu dilakukan dengan
pedoman “Psikosomatik” untuk mempersiapkan penderita menjalani tindakan fisik
operasi. Diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Informed Consent. Setelah penderita mendapatkan penjelasan tentang
penyakitnya yang memerlukan tindakan operasi diminta untuk mengisi “Surat
persetujuan operasi” untuk menghindari tuntutan hukum. Dengan demikian
dokter yang melakukantindakan operasi terhindar dari tuntutan hukum, bila
terjadi komplikasi yang beratsampai kematian.
b. Persiapan Fisik. Pemeriksaan fisik meliputi hal sebagai berikut :
- Anamnesa.
- Kebutuhan nutrisi ditentukan dengan mengukur tinggi badan dan berat badan,
lipat kulit trisep, lingkar lengan atas, kadar protein darah (albumin dan
globulin) dan keseimbangan nitrogen. Segala bentuk defisiensi nutrisi harus
dikoreksi sebelum pembedahan untuk memberikan protein yang cukup untuk
perbaikan jaringan. Kondisi gizi buruk dapat mengakibatkan pasien
mengalami berbagai komplikasi pasca operasi dan mengakibatkan pasien
menjadi lebih lama dirawat di rumah sakit. Komplikasi yang paling sering
terjadi adalah infeksi pasca operasi, dehisiensi (terlepasnya jahitan sehingga
luka tidak bisa menyatu), demam dan penyembuhan luka yang lama. Pada
kondisi yang serius pasien dapat mengalami sepsis yang bisa mengakibatkan
kematian.
- Pemeriksaan penunjang (Laboratorium (Fungsi lumbal : menganalisis cairan
serebrovaskuler, hitung darah lengkap : mengevaluasi trombosit dan
hematokrit, panel elektrolit, skrining toksik dari serum dan urin, kadar kalsium
darah, kadar natrium darah, dan kadar magnesium darah) , rontgen (digunakan
kepada pasien dengan gangguan pada paru atau pernapasan dan gangguan pada
jantung), USG, NST).
- Konsultasi terhadap hasil laboratorium terkait (Interna, Kardiologi, dll) dan
laboratorium anastesia.
- Lambung dan kolon harus dibersihkan terlebih dahulu. Pentalakasnaan yang
bisa diberikan diantaranya adalah pasien dipuasakan dan dilakukan tindakan
pengosongan lambung dan kolon dengan tindakan enema/lavement. Lamanya
puasa berkisar antara 7 sampai 8 jam (biasanya puasa dilakukan mulai pukul
24.00 WIB). Tujuan dari pengosongan lambung dan kolon adalah untuk
menghindari aspirasi (masuknya cairan lambung ke paru-paru) dan
menghindari kontaminasi feses ke area pembedahan sehingga menghindarkan
terjadinya infeksi pasca pembedahan. Khusus pada pasien yang membutuhkan
operasi CITO (segera), seperti pada pasien kecelakaan lalu lintas, maka
pengosongan lambung dapat dilakukan dengan cara pemasangan NGT (naso
gastric tube).
2) Penanganan post pembedahan.
Setelah menjalani operasi kilen dibawa ke recovery room. Pengawasan yang perlu
dilakukan adalah :
a. Kesadaran penderita meliputi pulihnya kesadaran dan kembalinya rasa nyeri dari
pengaruh anestesia.
b. Keseimbangan cairan dan elektrolit meliputi kontrol cairan masuk melalui cairan
infus dan keluar melalui dower katheter serta pemeriksaan paru-paru untuk
menegakkan edema paru. Setelah 24 jam pertama puasa pasca operasi, pasien
diberikan cairan per intravena yang mengandung elektrolit agar tidak terjadi
hipotermi, dehidarasi, atau komplikasi pada organ tubuh lainnya. Cairang yang
biasa diberikan DS 10%, garam fisiologi dan RL secara bergantian dan jumlah
tetesan tergantung kebutuhan. Bila kadar Hb rendah diberikan tranfusi darah
sesuai kebutuhan. Kemudian, pemberian cairan infus biasanya dihentikan setelah
penderita flatus diganti dengan pemberian minum dan makanan peroral.
Pemberian minuman dengan jumlah yang sedikit sudah dapat dilakukan 6-10 jam
pasca operasi berupa air putih dan air teh.
c. Pemeriksaan keadaan umum meliputi TD, nadi, temperatur, bising usus dan
pemeriksaan Laboratorium ulang.
d. Mobilisasi penderita (mobilisasi dini sehingga fungsi organ segera dapat pulih).
Pasien dapat melakukan mobilasasi sejak 6-10 jam pasca operasi,
e. Profilaksis meliputi antibiotika adekuat, obat-obatan penunjang yang diperlukan.
Sebagai akibat anestesi, biasanya timbul rasa mual kadang sampai muntah. Pasien
tidak boleh minum sampai rasa enek hilang dan boleh minum sedikit-sedikit
untuk lambat laun ditingkatkan. Dalam 24-48 jam pasca bedah hendaknya diberi
makanan cairan, jika sudah flatus dapat diberikan makanan lunak yang bergizi
untuk selanjutnya lambat laun menjadi makanan biasa. Peristaltik usus biasanya
kembali lagi pada hari ke-2 pasca operasi dengan gejala mules dan kadang-
kadang sedikit kembung. Terapi : Analgetik, Antibiotik, Antiemetik,Antihistamin,
dan Vitamin C.
f. Pengawasan Lokal.
Luka operasi atau infeksi infeksi: dolor (rasa nyeri), kalor (rasa panas),
fungsiolaesa (perubahan fungsi jaringan yang terkena infeksi), rubor (warna pada
luka), pernanahan atau abses. Luka pasca operasi dapat diolesi dengan salep
antibiotik atau sofratulle, lalu ditutup dengan plester plastik sekali pakai
(disposible) dan luka tidak boleh terkena air sampai hari ke-3 pasca operasi.
g. Pasien dapat dipulangkan setelah kondisi membaik dan mendapat persetujuan
dari dokter penanggung jawab operasi. Pasien dapat kontrol luka bekas operasi
pada hari ke- 7 pasca operasi untuk konsultasi dan melihat luka operasi.
2.4 Konsep Dasar Asuhan Kebidanan Pada Persalinan Dengan Preterm Dan
Preeklamsi.
2.4.1 Pengkajian
Pada pengkajian data dituliskan tanggal, waktu dan lokasi pengkajian untuk
mengetahui kapan data diperoleh dan dimana data didapatkan. Data yang dikaji adalah
data subjektif dan data objektif. Data subjektif diperoleh melalui wawancara dengan klien
atau keluarga klien. Data objektif dikaji melalui melakukan pemeriksan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
1) Data subjektif.
a. Identitas ibu dan suami
- Nama: ditanyakan untuk untuk identifikasi pasien sehingga menghindari
kesalahan dalam memberi asuhan.
- Umur: Untuk menentukan prognosis kehamilan. Kehamilan dengan usia di
bawah 20 tahun otot rahim terlalu lemah untuk berkontraksi sehingga berisiko
perdarahan. Kehamilan da persalinan terbaik pada usia 20 sampai 35 tahun
karea tubuh dalam kondisi prima (Rohan, dkk). Umur diatas 35 tahun memiliki
risiko kehamilan dan persalinan karena telah terjadi perubahan pada jaringan
alat-alat kandungan (Rochjati, 2011).
- Agama: agama memiliki peran dalam sosial budaya pada kehidupan ibu.
Tujuan menanyakan agama adalah untuk memudahkan bidan melakukan
pendekatan dalam melaksanakan asuhan kebidanan, karena agama merupakan
aspek yang mendukung kesehatan klien (Momon Sudarma, 2008).
- Suku Bangsa: suku bangsa ditanyakan untuk mengetahui resiko penyakit yang
mungkin menyangkut etnic dan kebiasaan suatu suku/bangsa sebagai
penunjang diagnosis dan asuhan. Suku Jawa memiliki gaya bahasa yang halus
(Anonim, 2017) sehingga dalam asuhan kebidanan saat melakukan anamnesa,
budaya dan bahasa jawa harus diperhatikan untuk menjaga kepercayaan klien
dan menghindari kesalahan dalam berkomunikasi. Untuk itu, setiap bidan
harus mempelajari ilmu sosial dan budaya di tempatnya bekerja.
- Pendidikan: pendidikan ditanyakan untuk mengetahui tingkat pengetahuan
klien sehingga dapat memilih bahasa yang lebih mudah digunkan dalam
pemberian informasi atau health education.
- Pekerjaan: ditanyakan untuk mengetahui pengaruh pekerjaan terhadap
permasalahan kesehatan serta menunjukkan tingkat ekonomi keluarga klien.
Klien hamil dengan preeklampsia dan risiko persalinan prematur berhubungan
dengan faktor risiko pemenuhan nutrisi dan faktor sosiodemografi termasuk
pekerjaan dan pendapatan yang sering dihubungkan dengan bagaimana
keluarga memenuhi kebutuhan pokok.
- Alamat: ditanyakan untuk mengetahui tempat tinggal klien, sehingga mudah
untuk melakukan kunjungan apabila dibutuhkan.
b. Keluhan utama.
Aasan utama klien datang ke pusat layanan kesehatan. Keluhan utama klien
digunakan untuk menentukan diagnosa kebidanan (Oxorn dan William, 2010).
Contoh keluhan yang dialami klien seperti pusing, nyeri ulu hati, mata berkunang-
kunang, bengkak pada kaki, tangan, wajah, tekanan darah tinggi, dan kejang.
Keluhan lain yang dapat timbul dalam kehamilan dengan preeklampsia adalah
perdarahan yang keluar selama kehamilan lanjut atau nyeri perut kuat yang
diiringi oleh pembesaran perut dan pengeluarah darah merah kecoklatan.
c. Riwayat menstruasi.
HPHT untuk menentukan usia kehamilan dan taksiran persalinan.
d. Riwayat obstetri.
Penting untuk mengetahui resiko persalinan saat ini dengan menanyakan riwayat
kehamilan dan persalinan terdahulu. Berapa kali ibu hamil, apakah ini merupakan
kehamilan dengan suami kedua atau pertama yang memiliki riwayat menikah
dengan ibu yang mengalami preeklampsia. Apakah pernah mengalami kematian
bayi di dalam rahim, abortus, berapa jumlah anak, jarak kehamilan cara
persalinan lalu, siapa penolong persalinan, keadaan nifas yang lalu, kontrasepsi
yang digunakan, alasan penggantian (Ambarwati, 2010).
- Kehamilan: untuk mengetahui gangguan yang dialami klien seperti perdarahan
yang hebat pada kehamilan lalu dan penyulit kehamilan seperti hipertensi,
preeklampsia, preeklampsia berat, nyeri hebat saat hamil > 20 minggu.
- Persalinan: untuk mengetahui riwayat persalinan yang lalu berjalan spontan
atau section caesarea, aterm atau premature, siapa penolong persalinan lalu,
serta tanyakan penyulit persalinan yang pernah dialami seperti kejang atau
hilang kesadaran.
- Nifas: untuk mengetahui gangguan yang pernah dialami selama masa nifas
terdahulu seperti perdarahan, kejang, hilang kesadaran, dan peningkatan
tekanan darah serta maslah laktasi.
- Anak: untuk mengetahui anamnesis kehamilan dan persalinan anak
sebelumnya. Jenis kelamin anak, hidup atau tidak, umur, sebab meninggal
(jika ada yang meninggal), serta berat bayi baru lahir.
e. Riwayat kehamilan sekarang.
Untuk memperoleh informasi terkait pemeriksaan atau perjalanan kehamilan saat
ibu termasuk pemberian TT, serta mengetahui berat badan ibu sebelum hamil.
f. Riwayat kesehatan.
- Riwayat kesehatan yang lalu dan sekarang.
Untuk mengetahui apakah ibu mempunyai penyakit atau riwayat penyakit
yang dapat mempengaruhi kehamilan dengan preeklampsia. Kehamilan
dengan preeklampsia umumnya memiliki keluhan yang komplikatif, seperti:
 Jantung: Ditandai dengan mudah lelah, jantung berdebar, sesak nafas,
angina pektoris, pembesaran vena jugularis, oedema, tangan berkeringat,
takikardi.
 Hipertensi: Hipertensi essential (sejak sebelum hamil) tekanan darah
mencapai >140/90-160/100 mmHg.
 Asma: Ditandai dengan nafas pendek, berbunyi (wheezing), dada seperti
tertekan.
 Diabetes Melitus (DM): Ditandai dengan poliuri (sering kencing),
polidipsi (sering haus), poliphagi (sering lapar).
 Gemelli: untuk mengetahui apakah ada anggota keluarga yang memiliki
anak gemelli baik dari pihak istri dan suami.
- Riwayat kesehatan keluarga.
Ditanyakan adakah penyakit keturunan dalam keluarga, anak kembar, atau
penyakit menular yang dapat mempengaruhi kehamilan. Adakah riwayat
kelainan kongenital pada kelahiran sebelumnya, hal ini berguna untuk
mengidentifikasi resiko penyakit keturunan terhadap janin.
 Jantung : ditandai dengan mudah lelah, jantung berdebar, sesak nafas,
angina pektoris, pembesaran vena jugularis, oedema, tangan berkeringat,
takikardi.
 Hipertensi : hipertensi essential (sejak sebelum hamil) tekanan darah
mencapai >140/90-160/100 mmHg.
 Asma : ditandai dengan nafas pendek, berbunyi (wheezing), dada seperti
tertekan.
 Diabetes Melitus (DM) : ditandai dengan poliuri (sering kencing), polidipsi
(sering haus), poliphagi (sering lapar).
 Gemelli, untuk mengetahui apakah ada anggota keluarga yang memiliki
anak gemelli baik dari pihak istri dan suami.
g. Riwayat perkawinan..
- Perkawinan sah atau tidak, bisa mempengaruhi emosional ibu.
- Lamanya perkawinan dan terjadinya kehamilan untuk mengetahui nilai anak
h. Riwayat KB.
- Untuk mengetahui risiko KB yang dipakai, serta kebutuhan melakukan
konseling pemilihan kontrasepsi setelah melahirkan sehubungan dengan
kejadian preeklamsi yang dialami ibu.
i. Riwayat psiko sosial spiritual.
Untuk menilai keadaan emosional ibu yang dapat berpengaruh terhadap
konselong yang diberikan selama perawatan. Bagaimanan perasaan atau kesiapan
ibu untuk menjalani persalinan, apakag kehamilan ini direncanakan, hubungn
dengan suami dan anggota keluarga lain, dukungan suami dan pengambil
keputusan dalam keluarga, serta peribadatan pasien.
j. Pola fungsional kesehatan.
Tanyakan nutrisi selama hamil, eliminasi, istirahat dan alasan tidak bisa istirahat
apabila mengalami masalah, pola kebiasaan seperti merokok/tidak, minum
jamu/tidak, pola makan terlalu banyak, aktivitas yang minim, minum obat-
obatan/tidak, Hal tersebut ditanyakan karena mempengaruhi proses kehamilan.
Tanyakan pula mengenai nutrisi terakhir seperti makan terakhi dan minum
terakhir.
k. Pengetahuan ibu.
Pengetahuan yang diketahui ibu mengenai kehamialn seperti tanda bahaya
kehamilan. Contoh tanda bahaya kehamilan seperti bengkak pada tangan dan kaki,
pusing, nyeri ulu hati, hilang kesadaran atau kejang.
2) Data objektif.
Data objektif yang dikaji dapat diobservasi dan diukur melalui pemeriksaan
inspeksi, palpasi, auskultasi dan perkusi (Nursalam, 2001).
a. Pemeriksaan umum.
- Keadaan umum: Baik/cukup/kurang. Penilaian berdasarkan cara klien respon
terhadap petugas.
- Kesadaran: compos mentis (merespon dengan baik), apatis (perhatian
berkurang), somnolens (mudah tidur walau sedang mengobrol), sopor
(dengan rangsangan kuat masih memberi respon gerakan), sopor-komatus
(hanya reflek kornea) dan koma (tidak memberi respon sama sekali).
- Pemeriksaan tanda-tanda vital :
 Tekanan darah : > 140/90 merupakan salah satu tanda preeklamsi.
 Suhu badab : normal 36 – 37ᴼC. Kenaikan suhu badan kemungkinan
adanya infeksi, penurunan mengindikasikan ipotermi.
 Nadi : norma; 60 – 100 x/m, kenaikan menindikasikan
kemunkinan demam atau infeksi.
 Pernapasan : normal 16 – 20 x/m, pernapasan < 16 x/m merupakan
kontraidikasi pemberian MgSO4 pada preeklamsi.
 Berat badan : untuk menghitung IMT
 Tinggi badan : untu menghitung Imt dan menilai CPD.
 IMT : untuk mengidentifikasi obesitas
Obesitas kelas I, jika IMT 30 – 34.9 kg/m2
Obesitas kelas II, jika IMT 35 – 39.9 kg/m2
Obesitas kelas III, jika IMT > 40 kg/m2
b. Pemeriksaan fisik.
- Wajah : oedem/tidak, pucat/tidak, anemis, cyanosis.
Oedem salah satu kemungkinan indikasi preeklamsi. Keadaan muka pucat
merupakan salah satu tanda anemia. (Manuaba, 2007). Cyanosis merupakan
tanda kelainan pada jantung atau masalah sirkulasi klien.
- Mata : konjungtiva normal berwarna merah mudah jika pucat menandakan
keaan anemia, sklera berwarna putih jika ikterus kemungkinan menderita
penyakit menular seperti hepatitis.
- Leher: ada pembengkakan kelenjar tiroid, ada pembesaran vena jugularis
Bendungan vena jugularis mengindikasikan adanya gangguan pada jantung
dan pembesaran kelenjar limfe dapat mengganggu metabolisme tubuh ibu.
- Dada : adakah pengeluaran ASI, bentuk puting susu menonjol, datar atau
tenggelam untuk kesiapan ibu menyusui, serta auskultasi pada dada untuk
mengetahui suara jantung dan nafas.
- Abdomen :
 Mengidentifikasi adanya operasi.
 Melakukan pemeriksaan palpasi Leopold I-IV.
Leopold I : Mengukur tinggi fundus uteri untuk menentukan usia
kehamilan dan untk mengetahui bagian apa yang terdapat di fundus. Jika
teraba bulat keras, mudah digerakan dan melenting adalah kepala. Jika
teraba bulat, besar, lunak dan tidak melenting adalah bokong. Tinggi
fundus uterus menurut Spiegelberg dalam Mochtar (2012)
Leopold II : Menentukan bagian janin yang berada pada kedua sisi uterus,
dan pada letak lintang tentukan dimana kepala janin. Jika teraba jelas, rata,
cembung dan tidak dapat digerakan adalah punggung. Jika bentuk atau
posisi tidak jelas dan menonjol, serta teraba gerakan kaki janin aktif
maupun pasif adalah bagian-bagian kecil janin.
Leopold III : Menentukan bagian janin yang terdapat di bagian bawah
perut ibu, kepala atau janin, serta apakah bagian terbawah janin sudah
masuk pintu atas panggul (PAP).
Leopold IV : Mengetahui seberapa jauh bagian bawah janin sudah masuk
PAP. Sudut yang terbentuk oleh jari-jari bertemu disebut konvergen, tidak
bertemu disebut divergen.
 DJJ sesuai posisi punggung janin, terdengar berati janin hidup, tunggal /
lebih dari satu. Pada oligohidramnion DJJ lebih kuat terdengar. Pada
keadaan obesitas agak sulit didengar.
 His yang dapat memicu persalinan adalah kontraksi dengan durasi 2-3 kali
dalam 10 menit selama lebih dari 20 detik. Kehamilan preterm diharapkan
tidak mengalami kontraksi sehingga dapat mempertahankan kehamilan.
Pengecualian hal ini adalah adanya Denyut jantung janin yang irreguler
atau mengalami takikardi atau bradikardi sehingga harus dilakukan
terminasi segera dengan secio caesarea.
- Genitalia : pemeriksaan dalam tidak dilakukan dan hanya dengan pemeriksaan
inspeksi.
- Ekstremitas atas dan bawah.
 Oedem merupakan salah satu tanda kemungkinan preeklamsi.
 Refleks patella, merupakan salh satu syarat pemberian terapi MgSO4 pada
preeklamsi :
0 : tidak ada
+ : kurang aktif
++ : normal
+++ : hiperaktif tanpa klonus.
++++ : hiperaktif dengan klonus

c. Pemeriksaan penunjang.
Untuk mengetahui kondisi hematologi dan kondisi kimia klini serta untuk
mengatahui fungsi organ tubuh ibu. .
- Pemeriksaan penunjang kadar hemoglobin untuk menegakan diagnosa. Hb
normal menurut Depkes RI adalah 11gr%
- Protein urin > 300mg/24 jam atau > +1 pada pemeriksaan ssaat urin dipstik,
atau rasio urine protein : kreatinin > 0.3
Pada preeklamsi berat protein urin > 5gr/24 jam atau 4+ pada pemeriksaa
kualitatif.
- Trombosit < 100.000 /uL
- Hemolisis mikroangiopati (peningkatan LDL) > 600 Iu/l
- Peningkatan kadar serum transaminase (ALT dan/atau AST) > 40 IU/l
- Pemeriksaan SGOT dan SGPT.
- Pemeriksaan darah untuk mengetahui HbSAG dan anti HIV.

2.4.2 Interpretasi Data Dasar


1) Diagnosa aktual.
G?PAPAH, UK ..... minggu, janin intra uterin tunggal/gemelli hidup dengan preterm
dan preeklampsia.
2) Masalah :
a. Ibu merasa cemas dengan keadaannya dan janin yang dikandungnaya.
b. Sesak.
c. Penglihatan kabur.
d. Nyeri dada

2.4.3 Identifikasi diagnosa atau masalah potensial.


1) Ibu.
Potensial terjadi :
a. Oedem paru.
Rasionalisasi : sehubungan monitoring input cairan dan output cairan yang tidak
ketat.

b. Kejang eklamsi.
Raionalisasi : selama buah kehamilan belum dilahirkan, keadaan preeklamsi tidak
akan hilang dan isa mengalami keparahan termasuk kejang.
c. Solusio plasenta.
Rasionaliasi : keadaan insufisiensi plasenta bisa mengakibatkan terjadinya solisio
plasenta.
2) Janin.
Potensial terjadi ;
a. Respiratory Distress Syndrome
Rasionaliasis : sehubungan dengan maturitas organ paru yang belum sempurna.
b. Hipotermi :
Rasionalisai : Lemak coklat yang berfungsi menghasilkan energi pada bayi yang
kedinginan belum ada dalam tubuh bayi atau masih sedikit.
c. Perdarahan intrakranial.
Rasionalisasi : Penekatan kepala pada pelahiran pervaginam dengan tulang kepala
yang belum cukup kuat berisiko terjadi perdarahan.

2.4.4 Identifikasi tindakan segera.


Mengidentifikasi masalah atau komplikasi yang mungkin terjadi berdasarkan
diagnosa yang sudah diidentifikasi. Bidan diharapkan dapat waspada dan bersiap
mencegah diagnosa ini benar-benar terjadi.
1) Mandiri.
Beri dorongan moral kepada pasien.
Rasionalisasi : dorongan moral diberikan agar pasien koopertif dalam perawatan.
2) Kolaborasi.
Melaporkan temuan kondisi pasien kepada dokter penanggungjawab.
Rasionalisasi : untuk penatalkasanaan selanjutnya, termasuk pemberian MgSO4.

2.4.5 Prencanaan tindakan.


1) Beritahu hasil pemeriksaan, kondisi ibu dan kondisi janin
Rsionalisasi : klien mengeerti kondisinya maka akan lebih kooperatif.

2) Jelaskan tindakan yang akan dilakukan dan prosedur tindakannya.


Rasionalisasi : klien dan keluarga mengerti, sehingga akan lebih kooperatif.
3) Lakukan informed concent tentang tindakan yang akan dilakukan kepada klien dan
keluarga.
Rasionalisasi : sebagai bukti otentik bahwa tindakan yang dilakukan sudah mendapat
persetujuan dari klien dan keluarga.
4) Pemberian terapi MgSO4 sesuai prosedur dan dosis pemberian.
Rasionalisasi : untuk mencegah jangan terjadi kejang.
5) Hadirkan keluarga untuk mendampingi pasien.
Rasionalisasi : kehadiran keluarga memberi dukungan psikologis bagi klien..
6) Lakukan pemeriksaan kondisi ibu : tanda-tanda vital, pengeluaran urin.
Rasionalisasi : untuk mengidentifikasi kemungkina peningkatan kegawatdaruratan.
7) Lakukan pemeriksaan DJJ.
Rasionalisasi : untuk mengidentifikasi kondisi diluar batasan normal.
8) Lapor ke dokter jika pemeriksaan kondisi janin dan ibu diluar batas normal.
Rasionalisasi : agar kegawatan daruratan bisa segera tertangani dan teratasi.
9) Catat keluhan pasien, instruksi dokter, dan tindakan yang dilakukan.
Rasionalisasi : sebagai dokumen medik perjalanan perawatan atau persalinan pasien.

2.4.6 Pelaksanaan tindakan.


1) Memberitahu hasil pemeriksaan, kondisi ibu dan kondisi janin.
2) Jelaskan tindakan yang akan dilakukan dan prosedur tindakannya.
3) Melakukan informed concent kepada klien dan keluarga tentang tindakan yang akan
dilakukan.
4) Melayani pemberian terapi MgSO4 atas intruksi pendelegasian dari dokter jaga
sesuai prosedur dan dosis pemberian.
5) Hadirkan keluarga untuk mendampingi pasien.
6) Melakukan pemeriksaan kondisi ibu : tekanan darah, nadi, respirasi, pengeluaran
urin.
7) Melakukan pemeriksaan DJJ.
8) Melapor ke dokter jika pemeriksaan kondisi janin dan ibu diluar batas normal.
9) Mencatat keluhan pasien, instruksi dokter, dan tindakan yang dilakukan.

2.4.7 Evaluasi
Lakukan evaluasi terhadap perencanaan dan hasil dari asuhan yang diberikan.

Anda mungkin juga menyukai