Anda di halaman 1dari 11

TETANUS

PENDAHULUAN

Tetanus yang juga dikenal dengan lockjaw, merupakan penyakit yang disebakan oleh
tetanospasmin, yaitu sejenis neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium tetani yang
menginfeksi sistem urat saraf dan otot sehingga saraf dan otot menjadi kaku (rigid). Kitasato
merupakan orang pertama yang berhasil mengisolasi organisme dari korban manusia yang
terkena tetanus dan juga melaporkan bahwa toksinnya dapat dinetralisasi dengan antibodi
yang spesifik. Kata tetanus diambil dari bahasa Yunani yaitu tetanos dari teinein yang berarti
menegang. Penyakit ini adalah penyakit infeksi di saat spasme otot tonik dan hiperrefleksia
menyebabkan trismus (lockjaw), spasme otot umum, melengkungnya punggung
(opistotonus), spasme glotal, kejang, dan paralisis pernapasan.

ETIOLOGI

Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif; Clostridium tetani Bakteri ini berspora,
dijumpai pada tinja binatang terutama kuda, juga bisa pada manusia dan juga pada tanah yang
terkontaminasi dengan tinja binatang tersebut. Spora ini bisa tahan beberapa bulan bahkan
beberapa tahun, jika ia menginfeksi luka seseorang atau bersamaan dengan benda daging atau
bakteri lain, ia akan memasuki tubuh penderita tersebut, lalu mengeluarkan toksin yang
bernama tetanospasmin. Pada negara belum berkembang, tetanus sering dijumpai pada
neonatus, bakteri masuk melalui tali pusat sewaktu persalinan yang tidak baik, tetanus ini
dikenal dengan nama tetanus neonatorum.

PATOGENESIS

Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia melalui luka. Semua jenis luka
dapat terinfeksi oleh kuman tetanus seperti luka laserasi, luka tusuk, luka tembak, luka bakar,
luka gigit oleh manusia atau binatang, luka suntikan dan sebagainya. Pada 60 % dari pasien
tetanus, port d’entre terdapat didaerah kaki terutama pada luka tusuk.

Otitis media atau gigi berlubang dapat dianggap sebagai port d’entre, bila pada pasien
tetanus tersebut tidak dijumpai luka yang diperkirakan sebagai tempat masuknya kuman
tetanus. Bentuk spora akan berubah menjadi bentuk vegetatif bila lingkungannya
memungkinkan untuk perubahan bentuk tersebut dan kemudian mengeluarkan ekotoksin.
Kuman tetanusnya sendiri tetap tinggal di daerah luka, tidak ada penyebaran kuman. Kuman
ini membentuk dua macam eksotoksin yang dihasilkan yaitu tetanolisin dan tetanospasmin.

Tetanospamin mempengaruhi sistem saraf simpatis pada kasus yang berat, sehingga
terjadi overaktivitas simpatis berupa hipertensi yang labil, takikardi, keringat yang berlebihan
dan meningkatnya ekskresi katekolamin dalam urine.

MANIFESTASI KLINIS

Periode inkubasi bervariasi 3 - 21 hari dengan rerata 8 hari. Makin jauh lokasi luka
dari SSP, periode inkubasi makin lama. Singkatnya periode inkubasi berkaitan dengan
peningkatan risiko kematian. Pada tetanus neonatorum, gejala biasanya muncul mulai dari
hari ke-4 hingga 14 setelah melahirkan dengan rerata 7 hari. Toksin tetanus menyebabkan
hiperaktivitas otot rangka dalam bentuk rigiditas dan spasme. Rigiditas merupakan kontraksi
otot involunter tonik, sedangkan spasme merupakan kontraksi otot yang berlangsung lebih
singkat, dapat dirangsang oleh peregangan otot atau stimulasi sensorik sehingga disebut
sebagai refleks spasme.

Secara klinis tetanus ada 3 macam :

1. Tetanus general
2. Tetanus lokal
3. Tetanus chepalic

Sekitar 80% tetanus merupakan tipe generalisata. Tetanus lokal jarang dengan
presentasi kontraksi otot persisten di area anatomi yang mengalami trauma. Tetanus tipe ini
dapat menjadi awal dari tetanus umum, tetapi lebih ringan, dan hanya sekitar 1% menjadi
fatal.

Tetanus sefalik jarang terjadi, biasanya pada otitis media atau pasca-trauma kepala
dengan gejala terutama di daerah fasial. Tetanus generalisata tampak dengan pola menyebar
ke distal. Gejala awal bermula dari trismus diikuti spasme leher, kesulitan menelan, dan
rigiditas otot abdominal. Tungkai biasanya sedikit terpengaruh; jika terdapat opistotonus
penuh, akan muncul fleksi lengan dan ekstensi kaki seperti posisi dekortikasi. Gejala lain
meliputi peningkatan suhu, berkeringat, peningkatan tekanan darah, dan takikardia episodik.

Hal ini disebabkan oleh peningkatan dramatis adrenalin dan noradrenalin yang dapat
berujung pada nekrosis miokardial. Spasme dapat berlangsung hingga 3-4 minggu. Toksin
tetanus dapat menyerang saraf sensorik yang menyebabkan perubahan sensasi seperti nyeri
dan alodinia. Toksin tidak dapat menyeberangi ganglia sensorik spinal, sehingga efek
sensorik seharusnya terjadi di perifer. Akan tetapi, pelepasan neurotransmitter dari saraf
sensorik terjadi sentral di medula spinalis atau batang otak. Paradoks ini merefleksikan
bahwa perubahan sensasi dapat terlihat di daerah kepala seperti daerah saraf trigeminus.

Severitas Tetanus Berdasarkan Klasifikasi Ablett:

Dakar Score
 Dakar score 0-1, severitas ringan dengan mortalitas 10%;
 Dakar score 2-3, severitas sedang dengan mortalitas 10-20%;
 Dakar score 4, severitas berat dengan mortalitas 20-40%;
 Dakar score 5-6, severitas sangat berat dengan mortalitas >50%.
DIAGNOSIS

 Diagnosis tetanus ditegakkan berdasarkan :

– Riwayat adanya luka yang sesuai dengan masa inkubasi

– Gejala klinis

– Penderita biasanya belum mendapatkan imunisasi.

 Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan uji spatula. Hasil tes positif jika terjadi
kontraksi rahang involunter (menggigit spatula) dan hasil negatif berupa refleks
muntah.

 Laporan singkat The American Journal of Tropial Medicine and Hygiene menyatakan
bahwa uji sptula memiliki spesifisitas tinggi (tidak ada hasil postif palsu) dan
sensitifitas tinggi (94% pasien terinfeksi menunjukkan hasil positif).

 pemeriksaan mikrobiologi hanya pada 30% kasus ditemukan Clostridium Tetani.

 Pemeriksaan cairan serebrospinalis dalam batas normal.

 Pemeriksaan elektroensefalogram adalah normal dan pada pemeriksaan


elektromiografi hasilnya tidak spesifik.
KOMPLIKASI

 Saluran pernafasan : Spasme laring, asfiksia, aspirasi pneumonia

 Kardiovaskuler : simpatis meningkat.

 Tulang dan otot : Fr. Collum Vertebra, spasme otot dada yang paling berbahaya.

 Laserasi lidah

 Dekubitus

 Demam tinggi : infeksi sekunder atau toksin yang menggangu pusat pengatur suhu.

PROGNOSIS

Dipengaruhi beberapa faktor, antara lain :

 Masa inkubasi

 Umur

 Period of onset

 Ada atau tidaknya demam

 Frekuensi kejang

 Pengobatan terlambat

 Komplikasi penyerta

PENATALAKSANAAN

 Pengobatan umum :

– Isolasi

– Rawat luka

– Suplemen O2 atau tracheostomy


– Suction berkala

– Nutrisi Enteral dan atau Parenteral bila perlu

– Fisioterapi

 Pengobatan khusus :

– Anti Tetanus Toksin

– Anti konvulsan dan sedasi

– Antibiotik

– Magnesium Sulfat

– Oksigen

– Tracheostomy

– Ventilasi mekanik jika memang ada indikasi

 Sebelum pemberian antitoksin harus dilakukan :

– Anamnesa apakah ada alergi

– Tes kulit dan mata

– Harus sedia Adrenalin

ANTI TETANUS TOKSIN

 Dosis :

– ATS dengan dosis 100.000-200.000 unit diberikan 50.000 unit intramuskular dan 50.000
unit intravena pada hari pertama.

– Kemudian 60.000 unit dan 40.000 unit intramuskuler masing-masing pada hari kedua
dan ketiga.

ANTIKONVULSAN
Dahulu dilakukan isolasi karena suara dan cahaya dapat menimbulkan serangan kejang. Saat
ini prinsip isolasi sudah ditinggalkan, karena dengan pemberian anti kejang yang memadai
maka kejang dapat dicegah.

Dosis Orang
Jenis Obat Dosis Anak – anak Dewasa

Mula – mula 60 – 100 mg IM,


Fenobarbital
kemudian 6 x 30 mg per
(Luminal) oral. Maksimum 200 mg/hari 3 x 100 mg IM

Klorpromazin
4 – 6 mg/kg BB/hari, mula –
(Largactil) mula IM, kemudian per oral 3 x 25 mg IM

Mula – mula 0,5 – 1 mg/kg BB


3 x 10 mg IM
IM, kemudian per oral 1,5 – 4
Diazepam
mg/kg BB/hari, dibagi dalam 6 0.2-0.5 mg/kgBB
(Valium) dosis IV

3 x 500 – 100 mg
Klorhidrat – per rectal

Bila kejang belum juga teratasi, dapat digunakan pelemas otot (muscle relaxant) ditambah
alat bantu pernapasan (ventilator).
ANTIBIOTIK

 Penisilin Prokain

– Digunakan untuk membasmi bentuk vegetatif Clostridium Tetani.

– Dosis: 50.000 – 100.000 u/kg.bb/hari i.m selama 7-10 hari atau 3 hari setelah panas
turun.

– Dosis optimal 600.000 u/hari.

 Tetrasiklin dan Eritromisin

– Diberikan terutama bila penderita alergi terhadap penisilin.

– Tetrasiklin : 30–50 mg/kg.bb/hari dalam 4 dosis.

– Eritromisin : 50 mg/kg.bb/hari dalam 4 dosis, selama 10 hari.

 Metronidazole

– Diberikan secara iv dengan dosis inisial 15mg/kgBB dilanjutkan dosis 30 mg/kgBB/hari


setiap 6 jam selama 7-10 hari.

– Metronidazole efektif mengurangi jumlah kuman C. tetani bentuk vegetatif.

MGSO4

Mekanisme MgSO4 terhadap penatalaksanaan tetanus yaitu:

– Memblok neuromuscular pra sinaps, menghambat pelepasan katekolamin dari saraf dan
medulla adrenal, menurunkan respon reseptor untuk melepaskan katekolamin, sebagai
antagonis calcium dalam miokardium dan neuromuscular junction, menghambat pelepasan
hormone paratiroid.

 Dosis:

– Dewasa: loading dose 5 gram selama 20 menit IV dilanjutkan dengan 1 gram per jam
dan ditingkatkan sampai 2.5 gram per jam jika perlu.

– Pada anak; 100mg/kg/24 jam, ditingkatkan bila perlu.


– Cek kadar Mg bila terdapat gejala toksisitas, target konsentrasi serum 2 sampai 4
mmol/L.

– Untuk menghindari overdosis, dimonitorreflek patella.

– Terkadang MgSO4 tidak adekuat bila digunakan tunggal, kombinasi dengan


benzodiazepine juga dapat juga dilakukan.

OBAT OBAT LAINNYA

 Obat pelemas otot (muscle relaxant) intermittent bila diperlukan.

 Penghambat beta: Esmolol

 Opioid kombinasi dengan sedatif: Morphine + midazolam atau diazepam

 Oksigen, bila terjadi asfiksia dan sianosis.

 Trakeostomi, dilakukan pada penderita tetanus jika terjadi:

 Spasme berkepanjangan dari otot respirasi

 Tidak ada kesanggupan batuk atau menelan

 Obstruksi laring.

 Koma.

PENCEGAHAN

1. Perawatan Luka.

2. Imunisasi pasif.

3. Imunisasi aktif.
DAFTAR PUSTAKA

1. Adams. R.D,et al : Tetanus in :Principles of New’ology,McGraw-Hill,ed 1997, 1205-


1207.

2. Current recommendations for treatment of tetanus during humanitarian emergencies


WHO Technical Note January 2010

3. Edlich RF, et al. Management and prevention of tetanus. Niger J Paed.


2003;13(3):139-54

4. Farrar JJ, et al. Neurological aspects of tropical disease: tetanus 2000;69:292-301.

5. Irwin and Rippe’s intensive care medicine. 6th ed. Massachusetts: Lippincot Williams
& Wilkins. 2008.p.1140-1.

6. Mahadewa TGB, Maliawan S. Diagnosis & Tatalaksana Kegawat Daruratan Tulang


Belakang.Jakarta: CV Sagung Seto;2009

7. Taylor AM. Tetanus. Continuing education in anesthesia, critical care & pain. Vol. 6
No. 3.

8. Thwaites CL, Yen LM. Tetanus. Textbook of Critical Care. 5 th ed. Philadelphia:
Elsevier Saunders; 2005.p.1401-4.

9. Witt MD, Chu LA. Infections in the critically ill. 2nd ed. California: McGraw-Hill;
2003.p.432-4.

10. Sumiardi Karakata, Bob Bachsinar; Bedah Minor, edisi 2,J akarta : Hipokrates,1995
11. Ismael Chairul ; Pencegahan dan Pengelolaan Tetanus dalam bidang bedah : UNPAD,
2000

Anda mungkin juga menyukai