Anda di halaman 1dari 30

Tugas Eksplorasi Batubara

Resume Materi Kuliah


Diajukan sebagai pengganti nilai Kuliah Lapangan mata kuliah Eksplorasi
Batubara Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjajaran

Disusun oleh
Stephen
270110140141
Kelas A

Program Studi Teknik Geologi

Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjajaran

Tahun ajaran 2016/2017


1. Definisi Batubara
 Menurut Spackman (1958) Batubara adalah suatu benda padat karbonan
berkomposisi maseral tertentu.
 Menurut The lnternational Hand Book of Coal Petrography (1963), Batubara
adalah batuan sedimen yang mudah terbakar, terbentuk dari sisa-sisa tanaman
dalam variasi tingkat pengawetan, diikat oleh proses kompaksi dan terkubur dalam
cekungan-cekungan pada kedalaman yang bervariasi, dari dangkal sampai dalam.
 Menurut Thiessen (1974) Batubara adalah suatu benda padat yang kompleks,
terdiri dari bermacam-macam unsur kimia atau merupakan benda padat organik
yang sangat rumit.
 Menurut Achmad Prijono, dkk. (1992) Batubara adalah bahan bakar hydro-karbon
padat yang terbentuk dari tumbuh-tumbuhan dalam lingkungan bebas oksigen dan
terkena pengaruh temperatur serta tekanan yang berlangsung sangat lama.

2. Proses Pembentukan Batubara

Batubara bagus terbentuk dari endapan yang terbentuk pada zaman Karbon, kira-
kira 340 juta tahun yang lalu (jtl)> Pada masa ini pembentukan batu bara terjadi
paling produktif dimana hampir seluruh deposit batu bara (black coal) yang
ekonomis di belahan bumi bagian utara terbentuk. Pada Zaman Permian, kira-kira
270 jtl, juga terbentuk endapan-endapan batu bara yang ekonomis di belahan bumi
bagian selatan, seperti Australia, dan berlangsung terus hingga ke Zaman Tersier
(70 - 13 jtl) di berbagai belahan bumi lain. Selanjutnya bahan organik tersebut
mengalami berbagai tingkat pembusukan (dekomposisi) sehingga menyebabkan
perubahan sifat-sifat fisik maupun kimia baik sebelum ataupun sesudah tertutup
oleh endapan lainnya. Proses pembentukan batubara terdiri dari dua tahap yaitu
tahap biokimia (penggambutan) dan tahap geokimia (pembatubaraan).
Tahap Diagenetik atau Biokimia, dimulai pada saat material tanaman terdeposisi
hingga lignit terbentuk. Agen utama yang berperan dalam proses perubahan ini
adalah kadar air, tingkat oksidasi yang terjadi pada tumbuhan pembentuk batubara
dan gangguan biologis yang dapat menyebabkan proses pembusukan
(dekomposisi) dan kompaksi material organik serta membentuk gambut. Tahap
Malihan atau Geokimia, meliputi proses perubahan dari lignit menjadi bituminus
dan akhirnya antrasit.

Tahap penggambutan (peatification) adalah tahap dimana sisa-sisa tumbuhan yang


terakumulasi tersimpan
dalam kondisi reduksi di
daerah rawa dengan
sistem pengeringan
yang buruk dan selalu
tergenang air pada
kedalaman 0,5 – 10
meter. Material
tumbuhan yang busuk
ini melepaskan H, N, O, dan C dalam bentuk senyawa CO2, H2O, dan NH3 untuk
menjadi humus. Selanjutnya oleh bakteri anaerobik dan fungi diubah menjadi
gambut (Stach, 1982, op cit Susilawati 1992).

Tahap pembatubaraan (coalification) merupakan gabungan proses biologi, kimia,


dan fisika yang terjadi karena pengaruh pembebanan dari sedimen yang
menutupinya, temperatur, tekanan, dan waktu terhadap komponen organik dari
gambut (Stach, 1982, op cit Susilawati 1992). Pada tahap ini prosentase karbon
akan meningkat, sedangkan prosentase hidrogen dan oksigen akan berkurang
(Fischer, 1927, op cit Susilawati 1992). Proses ini akan menghasilkan batubara
dalam berbagai tingkat kematangan material organiknya mulai dari lignit, sub
bituminus, bituminus, semi antrasit, antrasit, hingga meta antrasit.

3. Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Batubara


Cara terbantuknya batubara melalui proses yang sangat panjang dan lama,
disamping dipengaruhi faktor alamiah yang tidak mengenal batas waktu terutama
ditinjau dari segi fisika, kimia ataupun biologis. Faktor-faktor tersebut (Hutton dan
Jones, 1995) antara lain

3.1. Posisi Geotektonik


Posisi geoteknik adalah letak suatu tempat yang merupakan cekungan
sedimentasi yang keberadaanya dipengaruhi oleh gaya tektonik lempeng. Posisi
geoteknik dapat mempengaruhi struktur cekungan batubara, iklim lokal,
topologi dan morfologi serta kecepatan penurunan gambut. Semakin dekat
cekungan sedimentasi batubara yang terbentuk atau terakumulasi, terhadap
posisi kegiatan tektonik lempeng, maka kualitas batubara yang dihasilkan akan
semakin baik.

3.2. Keadaan Topografi


Daerah tempat tumbuhan berkembang biak merupakan daerah yang relatif
mempunyai ketersediaan air. Tempat tersebut mempunyai topografi yang relatif
lebih rendah dibandingkan dengan daerah yang ada di sekelilingnya. Makin
luas daerah dengan topografi rendah, maka makin banyak pula tanaman yang
tumbuh, sehingga makin banyak bahan pada pembentukan batubara. Apabila
keadaan topografi daerah dipengaruhi pleh gaya tektonik, baik yang
mengakibatkan penaikan ataupun penurunan topografi, maka akan berpengaruh
pula terhadap luas tanaman yang merupakan bahan utama sebagai bahan
pembentuk batubara. Hal ini merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan
penyebaran batubara berbentuk seperti melensa.

3.3. Iklim Daerah


Iklim sangatlah berperan penting dalam pertumbuhan tanaman. Didaerah yang
berilklim tropis, hampir semua tanaman dapat hidup yang dikarenakan tingkat
curah hujan dan ketersediaan matahari sepanjang waktu yang memungkin
tanaman tumbuh dengan cukup baik. Oleh karena itu, didaerah yang beriklin
tropis pada masa lampau sangatlah memungkinkan didapatkan endapan
batubara dalam jumlah banyak, sebaliknya pada daerah yang beriklim
subtropics mempunyai endapan batubara yang relative lebih sedikit.

3.4. Proses Penurunan Cekungan Sedimentasi


Cekungan sedimentasi yang ada di alam relative dinamis, artinya dasar
cekungan akan mengalami proses penurunan atau pengangkatan. Makin sering
dasar cekungan sedimentasi mengalami proses penurunan, maka batubara yang
terbentuk akan semakin tebal.

3.5. Umur Geologi


Zaman Karbon (± 350 juta tahun yang lalu), merupakan awal munculnya
tumbuh-tumbuhan di dunia. Sejalan dengan proses tektonik yang terjadi, daerah
tempat tumbuhnya tanaman telah mengalami proses coalification cukup lama,
sehingga menghasilkan mutu batubara yang sangat baik. Jenis batubara dengan
jenis ini banyak dijumpai di belahan bumi bagian Utara. Contohnya: Amerika
Utara dan Eropa (pada kedalam 3 mil yang membentang dari Scotlandia sampai
Selesia (Polandia). Batubara di Indonesia, didapatkan di cekungan sedimentasi
yang berumur Tersier (± 70 juta tahun yang lalu). Dalam kurung waktu
tersebut, proses coalification belum terjadi secara sempurna. Hal ini
mengakibatkan kualitas batubara di Indonesia belum berkualitas baik. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa semakin tua lapisan batuan sedimen yang
mengandung batubara, maka semakin tinggi rank (peringkat) dari baubara
tersebut.

3.6. Jenis Tumbuh-Tumbuhan


Present is the key to the past merupakan salah satu konsep geologi yang mampu
menjelaskan kaitan antara mutu batubara dengan tumbuhan semula yang
merupakan bahan utama pembentuk batubara. Batubara yang terbentuk dari
tumbuhan keras dan berumur tua akan lebih baik debandingkan dengan
batubara yang terbentuk dari taanaman berbentuk semak dan hanya berumur
semusim. Makin tinggi tingkataan tumbuhan dan makin tua umur tumbuhan
tersebut, apabila menalami proses coalification, akan menghasilkan batubara
dengan kualitas baik.
3.7. Proses Dekomposisi
Proses dekomposisi tumbuhan merupakan bagian dari transformasi biokimia
pada bahan organik. Selama porses pembentukkan batubara, sisa tumbuhan
akan mengalami perubahan baik secara fisik maupun kimia. Setelah tumbuhan
mati, proses degredasi biokimia lebih berperan. Proses pembusukan (decay)
kan terjadi sebagai akibat kinerja dari mikrobiologi dalam bentuk
bakteri anaerobic. Bakteri ini bekerja dalam keadaan tanpa oksegen,
menghancurkan bagaian yang lunak dari tumbuhan seperti cellulose,
protolasma, dan karbohidrat. Proses ini membuat kayu berubah menjadi lignit,
bitumina. Selama poses biokimia berlangsung, dalam keadaan kurang oksigen
mengakibatkan keluarnya air (H2O) dan sebagian unsur karbon (C) yang akan
hilang dalam bentuk karbon dioksida (CO2), karbon monoksida (CO) dan
metana (CH4). Akibat lepasnya unsur atau senyawa ini maka jumlah unsur
karbon (C) akan relatif bertambah.

3.8. Sejarah Setelah Pengendapan


Sejarah cekungan tempat terjadi pembentukan batubara salah satu faktor
diantaranya ditentukan pleh posisi cekungan sedimentasi tersebut terhadap
posisi geoteknik. Semakin dekat posisi cekungan sedimentasi terhadap posisi
geoteknik yang selalu dinamis, akan mempengaruhi perkembangan batubara
dan cekungan letak batubara berada. Selama waktu itu pula, proses geokimia
dan metamorfisme organic akan ikut berperan dalam mengubah gambut
(endapan sedimen organic yang mudah terbakar dengan kandungan air lebih
dari 75%)menjadi batubara. Apabila dinamika geoteknik memungkinkan
terjadinya pensesaran dan perlipata pada lapisan batubara, dapat mempercepat
batubara dengan rank tinggi. Proses ini akan dipercepat pula apabila daerah
tersebut mengalami proses intrusi magmatis. Panas yang dihasilkan dari proses
intrusi magmatis akan mempercepat proses coalification, sehingga kadar C
akan lebih tinggi dari H2O.
3.9. Struktur Geologi Cekungan
Batubara terbentuk pada cekungan sedimentasi yang sangat luas, sehingga
mencapai ratusan hingga ribuan hektar. Dalam sejarah bumi, batuan sedimen
merupakan bagian kulit bumi, akan mengalami deformasi akibat gaya tektonik.
Cekungan akan mengalami deformasi lebih hebat apabila cekungan tersebut
berada dalam satu sistem geantiklin atau geosinklin. Akibat gaya tektonik yang
terjadi pada waktu-waktu tertentu, batubara bersama dengan batuan sedimen
yang merupakan perlapisan diantaranya akan terlipat dan tersesarkan. Proses
perlipatan dan pensesaran tersebut akan berpengaruh pada proses metamorfosis
batubara dan batubara akan menjadi lebih keras dan lapisannya terpatah-patah.
Makin banyak perlipatan dan pensesaran yang terjadi di lapisan sedimen yang
mengandung batubara, secara teoritis akan meningkatkan kualitas dari batubara
tersebut. Oleh sebab itu, pencarian batubara bermutu baik diarahkan pada
daerah daerah geosinklin atau geantiklin karena daerah tersebut tektoniknya
intensif.

3.10. Metamorfosa Orogenik


Tingkat kedua dalam proses pembentukan batubara adalah penimbunan atau
penguburan oleh sedimen baru. Apabila telah terjadi proses penimbunan, proses
degradasi biokimia tidak berperan lagi., tetapi mulai digantikan dan didominasi
oleh proses dinamokimia. Proses ini menyebabkan terjadinya perubahan
gambut menjadi batubara dalam berbagai mutu. Selama proses ini terjadi
pengurangan air lembab, oksigen dan senyawa kimia lainnya antara lain CO,
CO2, CH4 serta gas lainnya. Dilain pihak terjadi pertambahan presentasi karbon
(C), Belerang (S) dan kandungan abu. Peningkatan mutu batubara sangat
ditentukan oleh facktor tekanan dan waktu. Tekanan dapat diakibatkan oleh
lapisan sedimen penutup yang tebal atau karena adanya tektonik. Makin lama
selang waktu dari mulai bergradasi sampai terbentuk batubara, maka makin
baik mutu dari batubara yang diperoleh. Faktor tersebut dapat mempercepat
proses metamorfosa organik. Proses ini akan mengubah gambut menjadi
batubara sesuai dengan perubahan kimia, fisika dan tampak pula pada sifat
optiknya (Sukandarrumidi, 2006).

4. Batubara di Indonesia

Di Indonesia, endapan batubara yang bernilai ekonomis terdapat di cekungan


Tersier, yang terletak di bagian barat Paparan Sunda (termasuk Pulau Sumatera dan
Kalimantan), pada umumnya endapan batu bara ekonomis tersebut dapat
dikelompokkan sebagai batu bara berumur Eosen atau sekitar Tersier Bawah, kira-
kira 45 juta tahun yang lalu dan Miosen atau sekitar Tersier Atas, kira-kira 20 juta
tahun yang lalu menurut Skala waktu geologi.

Batubara ini terbentuk dari


endapan gambut pada iklim
purba sekitar khatulistiwa
yang mirip dengan kondisi
kini. Beberapa diantaranya
tegolong kubah gambut yang
terbentuk di atas muka air
tanah rata-rata pada iklim basah sepanjang tahun. Dengan kata lain, kubah gambut
ini terbentuk pada kondisi dimana mineral-mineral anorganik yang terbawa air
dapat masuk ke dalam sistem dan membentuk lapisan batu bara yang berkadar abu
dan sulfur rendah dan menebal secara lokal. Hal ini sangat umum dijumpai pada
batu bara Miosen. Sebaliknya, endapan batu bara Eosen umumnya lebih tipis,
berkadar abu dan sulfur tinggi. Kedua umur endapan batu bara ini terbentuk pada
lingkungan lakustrin, dataran pantai atau delta, mirip dengan daerah pembentukan
gambut yang terjadi saat ini di daerah timur Sumatera dan sebagian besar
Kalimantan.
5. Program Eksplorasi Batubara

Peters (1978) membagi program eksplorasi dalam sejumlah langkah:


 Merumuskan tujuan, karakteristik batubara yang diinginkan, besarnya
cadangan yang diperlukan, dan kegunaannya.
 Memilih daerah eksplorasi, yakni daerah yang prospektif dan sesuai dengan
tujuan yang ingin diraih, serta mempertimbangkan keterjangkauan lokasi.
 Setelah tujuan dan daerah eksplorasi diketahui, selanjutnya adalah
menentukan strategi eksplorasi berikut metode tepat yang akan digunakan.
 Menyusun organisasi yang lengkap dan solid.
 Segi pembiayaan dan logistik berjalan bersamaan dengan program eksplorasi.

6. Tahapan Eksplorasi Batubara


Tahapan eksplorasi batubara sebagaimana tercantum dalam Standar Nasional
Indonesia, Amandemen 1 – SNI – 13-50141998, tentang Klasifikasi Sumberdaya
dan Cadangan Indonesia, umumnya dilaksanakan dalam beberapa tahap:

6.1. Survei Tinjau


Survey tinjau merupakan tahap eksplorasi batubara yang paling awal dengan
tujuan untuk mengidentifikasi daerah-daerah yang mengandung endapan
batubara yang prospek untuk diselidiki lebih lanjut. Kegiatan yang dilakukan
pada tahap ini meliputi studi geologi regional, interpretasi potret udara,
geofisika, dan peninjauan lapangan pendahuluan. Sebelum dilakukan kegiatan
survey tinjau, perlu dilakukan:

6.1.1. Studi Literatur


Sebelum memilih lokasi-lokasi eksplorasi dilakukan studi terhadap data
dan peta-peta yang sudah ada (dari survei-survei terdahulu), catatan-
catatan lama, laporan-laporan temuan dll, lalu dipilih daerah yang akan
disurvei. Setelah pemilihan lokasi ditentukan langkah berikutnya, studi
faktor-faktor geologi regional dan provinsi metalografi dari peta geologi
regional sangat penting untuk memilih daerah eksplorasi, karena
pembentukan endapan bahan galian dipengaruhi dan tergantung pada
proses-proses geologi yang pernah terjadi, dan tanda-tandanya dapat
dilihat di lapangan

6.1.2. Survey dan Pemetaan


Jika peta dasar (peta topografi) dari daerah eksplorasi sudah tersedia,
maka survei dan pemetaan singkapan (outcrop) atau gejala geologi
lainnya sudah dapat dimulai (peta skala 1 : 200.000 sampai 1 : 50.000).
Tetapi jika belum ada, maka perlu dilakukan pemetaan topografi lebih
dahulu. Kalau di daerah tersebut sudah ada peta geologi, maka hal ini
sangat menguntungkan, karena survei bisa langsung ditujukan untuk
mencari tanda-tanda endapan yang dicari (singkapan), melengkapi peta
geologi dan mengambil conto dari singkapan-singkapan yang penting.

6.2. Prospeksi

Pada tahap ini, dilakukan pemilihan lokasi daerah yang mengandung endapan
batubara yang potensial untuk dikembangkan dengan tujuan untuk
mengidentifikasi sebaran dan potensi endapan batubara yang akan menjadi
target eksplorasi selanjutnya. Pemboran uji pada tahap ini bertujuan untuk
mempelajari stratigrafi regional atau litologi, khususnya di daerah yang
mempunyai indikasi adanya endapan batubara. Jarak antar titik bor berkisar
dari 1000 sampai 3000 meter. Pada tahap ini peta yang dipakai mulai dari
1:50.000 sampai 1:25.000.
6.3. Eksplorasi Pendahuluan
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memperoleh gambaran awal tentang
endapan batubara yang meliputi jarak titik pengamatan, ketebalan, kemiringan
lapisan, bentuk, korelasi lapisan, sebaran, struktur geologi dan sedimen,
kuantitas dan kualitasnya. Jarak antar titik bor berkisar 500 – 1000 meter, skala
peta yang digunakan mulai dari 1: 25.000 sampai 1:10.000. Sesuai dengan
Keputusan Direktur Jendral Pertambangan Umum No. 661.K/201/DDJP/1996
tentang Pemberian Kuasa Pertambangan, Laporan Kuasa Pertambangan
Penyelidikan Umum perlu dilampiri dengan beberapa peta:

 Peta lokasi/situasi
 Peta geologi lintasan dan singkapan (skala 1:25.000)
 Peta kegiatan penyelidikan umum, termasuk lokasi sumur uji, parit uji,
pengambilan contoh batubara (skala 1:10.000)
 Peta anomali geofisika, bila dilakukan (skala 1:10.000)
 Peta penyebaran endapan batubara dan daerah prospek (skala 1:10.000)
 Peta wilayah rencana peningkatan Kuasa Pertambangan
 Penampang sumur uji
 Penampang parit uji
 Penampang lubang bor
Dari kegiatan ini akan dihasilkan model geologi, model penyebaran endapan,
gambaran mengenai cadangan geologi, kadar awal, dll. dipakai untuk
menetapkan apakah daerah survei yang bersangkutan memberikan harapan
baik (prospek) atau tidak. Kalau daerah tersebut mempunyai prospek yang baik
maka dapat diteruskan dengan tahap eksplorasi selanjutnya.

6.4. Eksplorasi Rinci


Setelah tahapan eksplorasi pendahuluan diketahui bahwa cadangan yang ada
mempunyai prospek yang baik, maka diteruskan dengan tahap eksplorasi detail
(White, 1997). Kegiatan utama dalam tahap ini adalah sampling dengan jarak
yang lebih dekat (jarak antar titik bor 200 meter), yaitu dengan memperbanyak
sumur uji atau lubang bor untuk mendapatkan data yang lebih teliti mengenai
penyebaran dan ketebalan cadangan (volume cadangan), penyebaran
kadar/kualitas secara mendatar maupun tegak. Dari sampling yang rapat
tersebut dihasilkan cadangan terhitung dengan klasifikasi terukur, dengan
kesalahan yang kecil (<20%). Sebelum dilakukan kegiatan ini, dilakukan
terlebih dahulu studi kelayakan dan amdal, geoteknik, serta geohidrologi.
Skala peta yang digunakan adalah 1:2.000 sampai 1:500. Pengetahuan atau
data yang lebih akurat mengenai kedalaman, ketebalan, kemiringan, dan
penyebaran cadangan secara 3-Dimensi (panjang-lebar-tebal) serta data
mengenai kekuatan batuan sampling, kondisi air tanah, dan penyebaran
struktur (kalau ada) akan sangat memudahkan perencanaan kemajuan
tambang, lebar/ukuran bahwa bukaan atau kemiringan lereng tambang. Juga
penting untuk merencanakan produksi bulanan/tahunan dan pemilihan
peralatan tambang maupun prioritas bantu lainnya. Sesuai dengan Keputusan
Direktur Jendral Pertambangan Umum No. 661.K/201/DDJP/1996 tentang
Pemberian Kuasa Pertambangan, Laporan Kuasa Pertambangan Eksplorasi
perlu dilampiri dengan ebberapa peta:

 Peta lokasi/situasi
 Peta topografi (skala 1:500 sampai 1:2.000)
 Peta kegiatan eksplorasi, meliputi lokasi singkapan batubara, sumur uji,
parit uji, pemboran, dan pengambilan contoh batubara (skala 1:2.000
sampai 1:10.000)
 Peta geologi daerah (skala 1:500 sampai 1:2.000)
 Peta penyebaran endapan batubara (skala 1:500 sampai 1:2.000)
 Peta perhitungan 2 dimensi batubara (skala 1:500 sampai 1:2.000)
 Peta penyebaran kualitas, antara lain nilai kalori, kandungan abu, dan
kandungan sulphur (skala 1:500 sampai 1:2.000)
 Peta isopach tanah penutup (skala 1:500 sampai 1:2.000)
 Peta isopach ketebalan lapisan batubara (skala 1:500 sampai 1:2.000)
 Peta kontur struktur (skala 1:500 sampai 1:2.000)
 Penampang geologi
 Penampang bor
 Penampang/sketsa singkapan batubara
 Penampang perhitungan cadangan batubara
 Fotokopi hasil analisis contoh batubara dari laboratorium
 Peta wilayah rencana peningkatan dan atau penciutan Kuasa
Pertambangan

Dari uraian tentang tahapan kegiatan eksplorasi diatas, dapat disimpulkan


bahwa kegiatan penyelidikan lapangan bertujuan untuk mendapatkan data
tentang sifat fisik-mekanik batuan, struktur geologi dan kondisi air tanah
sampai dengan kedalaman rencana penambangan. Secara spesifik harus dibuat
laporan struktur geologi meliputi litologi, geometri dan kemiringan dari
formasi lapisan batubara, geometri dan komposisi struktur major seperti
patahan, serta domain dan orientasi dari bidang-bidang diskontinuitas.
Demikian juga dengan data geoteknik terutama sifat fisik dan mekanik dari
over burden, interburden, lapisan batubara dan batuan alas. Gambaran tentang
data level air tanah, permeabelitas dan aliran air tanah artesis yang diperoleh
pada waktu kegiatan pengeboran dan pemasangan piezometer perlu juga
dibuat dalam laporan tertulis.

7. Metode Eksplorasi
7.1. Konvensional
Pemetaan (geologi) permukaan dan bawah permukaan: pengamatan secara
langsung terhadap objek penyelidikan.Untuk pemetaan pada eksplorasi
pendahuluan skala 1:10.000 dan untuk pemetaan eksplorasi rinci 1:2.000.
Metode ini juga biasa disebut dengan metode geologi (tak langsung). Metode
ini dapat dilakukan dengan survei indrajauh, baik dari ruang angkasa seperti
analisa citra satelit dengan berbagai band dan dari udara yaknik analisa foto
udara, citra radar dan sebagainya. Selain itu, dilakukan dengan melakukan
survei geologi permukaan seperti survei geologi tinjau dan survei geologi
singkapan.

7.2. Geofisika
Di interpretasikan berkaitan dengan pola geologi dan pada umumnya
digunakan pada tahap eksplorasi pendahuluan. Bekerja berdasarkan kondisi
atau sifat fisik bawah permukaan. Metode yang sering digunakan untuk
eksplorasi bahan galian : elektromagnetik, geolistrik, magnetik-gravitasi dan
seismik. Berdasarkan kontras dan sifat fisik dari batuan, mineral dan bijih
endapan yang diukur.

7.3. Geokimia
Metode yang menggunakan pola dispersi mekanis diterapkan pada mineral
yang relatif stabil pada kondisi permukaan bumi, cocok digunakan didaerah
yang kondisi iklimnya membatasi pelapukan kimiawi. Metode yang
didasarkan pada pengenalan pola dispersi kimiawi. Dapat diperoleh baik pada
endapan bijih yang tererosi ataupun yang tidak tererosi, baik yang lapuk
ataupun yang tidak lapuk.
8. Metode Logging Geofisika Dalam Eksplorasi Batubara

Seiring dengan meningkatnya ilmu pengetahuan dan teknologi maka hadirlah


survey geofisika tahanan jenis yang merupakan suatu metode yang dapat
memberikan gambaran susunan dan kedalaman lapisan batuan dengan mengukur
sifat kelistrikan batuan. Loke (1999) mengungkapkan bahwa survey geofisika
tahanan jenis dapat menghasilkan informasi perubahan variasi harga resistivitas
baik arah lateral maupun arah vertical. Metode ini memberikan injeksi listrik ke
dalam bumi, dari injeksi tersebut maka akan mengakibatkan medan potensial
sehingga yang terukur adalah besarnya kuat arus (I) dan potensial (ΔV), dengan
menggunakan survey ini maka dapat memudahkan para geologist dalam melakukan
interpretasi keberadaan cebakan-cebakan batubara dengan biaya eksplorasi yang
relatif murah.

Logging geofisik berkembang dalam ekplorasi minyak bumi untuk analisa kondisi
geologi dan reservior minyak. Logging geofisik untuk eksplorasi batubara
dirancang tidak hanya untuk mendapatkan informasi geologi, tetapi untuk
memperoleh berbagai data lain, seperti kedalaman, ketebalan dan kualitas lapisn
batubara, dan sifat geomekanik batuan yang menyertai penambahan batubara. Dan
juga mengkompensasi berbagai masalah yang tidak terhindar apabila hanya
dilakukan pengeboran, yaitu pengecekan kedalaman sesungguhnya dari lapisan
penting, terutama lapisan batubara atau sequence rinci dari lapisan batubara
termasuk parting dan lain-lain.

8.1. Gamma Ray Log


Kekuatan radiasi sinar gamma adalah lebih kuat dari mudstone dan lebih
lemah dari sandstone. Terutama yang dari mudstone laut menunjukan nilai
yang ekstra tinggi, sedangkan yang dari lapisan batubara lebih rendah pada
sandstone. Log sinar gamma dikombinasikan dengan log utama, seperti log
densitas, netron dan gelombang bunyi, digunakan untuk memastikan batas
antara lapisan penting, seperti antara lapisan batubara dengan langit-langit atau
lantai.

8.2. Density Log


Sinar gamma dari sumber radioaktif dipancar oleh tumbukan dengan elektron
di dalam lapisan tanah dan energi sinar gamma akan hilang kepada elektron
untuk setiap tumbukan (efek compton). Densitas elektron di dalam material
sebanding dengan densitas curahan atau massa (bulk or mass density) material.

8.3. Neutron Log


Pada waktu netro berkecepatan tinggi menyebar ke dalam lapisan tanah, terjadi
tumbukan berulang-ulang dengan inti atom material pembentuk lapisan tanah
yang mengakibatkan hilangnya energi dan menjadi netron termal berkecepatan
rendah. Kehilangan energi terbesar terjadi pada waktu tumbukan dengan inti
atom unsur Hidrogen yang massanya sama dengan netron. Sehingga,
pengurangan kecepatan netron ditentukan oleh kerapatan inti atom hidrogen
di dalam lapisan tanah. Secara umum, kerapatan inti atom hidrogen pada
batuan sebanding dengan jumlah kandungan cairan (air) di dalam material.
Apabila diasumsikan, bahwa porositas pada batuan diisi oleh air, maka
kerapatan inti atom hidrogen sebanding dengan porositas batuan. Berdasarkan
prinsip ini, maka distribusi netron termal yang diukur berbanding terbalik
dengan distribusi porositas lapisan tanah. Angka pengukuran tersebut,
biasanya besar untuk sandstone dan kecil untuk mudstone. Dengan kata lain,
porositas tampak kecil untuk sandstone dan besar untuk mudstone. Karena
kerapatan inti atom hidrogen pada batubara tinggi, maka pada log netron
menunjukan nilai yang kecil dan mudah membedakan dengan batuan lain.
Tetapi, kadang kala sulit untuk mengenal batas yang jelas apabila penting atau
langit-langit/lantai terdiri dari batuan yang banyak mengandung karbon seperti
coaly shale.

8.4. Resistivity Log


Log resistansi normal dirancang untuk mengukur suatu potensial listrik pada
elektroda pengukur, M, selama arus listrik konstan dialirkan ke dalam lapisan
tanah melalui elektroda A dan potensial tersebut dokonversi kepada resistensi
tampak berdasarkan hukum Ohm dan konfigurasi penempatan elektroda.
Guard electroda logging dirancang untuk mengukur resistansi lapisan tanah
setelah memusatkan distribusi arus listrik ke dalam bagian tertentu dari lapisan
tanah dengan menggunakan elektroda tambahan. Dengan demikian akan
menaiokan akurasi resistensi dan kemapuan pengukuran di lapisan tipis.
Metoda pengukuran ini disebut juga sebagai laterolog.

8.5. Sonic Log


Sonic log yang digunakan saat ini kebanyakan tipe BHC (bore hole
compensated). Metoda ini dapat mengurangi efek pemalsuan (spurious) pada
perubahan ukuran lubang dan juga mengkompensasi kesalahan karena
kemiringan sonde. Karena BHC menggunakan satu transmitter di atas dan satu
transmitter di bawah dua pasang penerima (receiver), dan interval waktu
perambatan gelombang yang diterima kedua set receiver dirata-ratakan.

9. Transportasi
Transportasi adalah komponen utama pada pemasaran batubara. Sistem transportasi
harus sesuai dengan jarak yang akan dilalui. Banyak pertambangan modern
mengangkut batubara ke daerah pengirimannya, dengan mengangkutnya dulu ke
silo tertutup.

9.1. Transportasi Darat


Dalam transportasi jarak dekat sampai 25 km dapat ditempuh dengan
menggunakan ban berjalan (conveyor belt). Jarak yang lebih jauh dapat
dilakukan oleh truk atau kereta api. Truk digunakan untuk mengangkut
batubara di pertambangan batubara swasta, Cekungan Kutai, Kalimantan
Timur.

Sebagai alat pengangkutan, dibandingkan dengan truk, conveyor belt lebih


unggul karena:
• Tidak mengganggu jalan dan lingkungan umum.
• Tidak memerlukan wilayah konstruksi yang luas.
• Kemajuan produksi konsisten, karena waktu tunda dapat dieliminasi.
• Mengurangi polusi udara dan emisi panas, karena tidak menggunakan bahan
bakar.
• Konsumsi energi rendah dan pengelolaannya mudah.
9.2. Transportasi Air
Batubara diangkut dengan ponton, tongkang, atau kapal. Tongkang atau
ponton digunakan secara luas untuk transportasi air atau sungai besar,
seperti Mahakam, Barito, dan Berau di Kalimantan dan Musi atau
Batanghari, di Sumatra. Sementara, kapal digunakan di laut atau
samudra.

10. Pemboran Batubara

Proses Pemboran diawali dengan melakukan proses study regional dimana


didalamnya untuk mengetahui geologi struktur, stratigrafi serta bagaimana
geomorfologi yang ada didalamnya, setelah itu dilakukan mapping yaitu proses
pembuatan peta singkapan beserta struktur geologinya, kemudian dilakukan
planning pemboran didalamnya mencakup penentuan titik, mengenai berapa jarak
interval, kedalaman yang harus dilakukan proses pemboran serta luasan wilayah
yang akan dilakukan pemboran. Setelah dilakukan planning dan telah ditentukan
titik yang akan dibor pada skema model maka dilakukan proses penentuan titik bor
dilapangan, kemudian melakukan survey layout dan ploting dilokasi pemboran
yaitu melakukan preparasi pemboran dimana proses ini mencakup proses
dilakukanya persiapan lokasi, yaitu dengan pembuatan mud pit (tempat sirkulasi
air), apabila daerah pemboran berada di daerah lereng dan bergelombang maka
dilakukan perataan tanah sehingga daerah titik pemboran rata dan tidak
mengganggu jalannya proses pemboran dan juga termasuk keamanan/safety pada
daerah tersebut diperhatikan.

Setelah semua tahapan dan semua persiapan tempat pemboran selesai maka alat-
alat pengeboran dan alat pendukung lainya di setting di tempat tersebut sehingga
jalan pengeboran dapat berlangsung dengan lancar, setelah semua persiapan
selesai maka sesuai dengan planning awal apakah pemboran akan dilakukan
dengan metode full core/coring maupun open hole dan apakah pemboran dilakukan
dengan model miring atau vertikal

10.1. Open Hole

Drilling open hole merupakan pengeboran yang dilakukan untuk


mendapatkan data-data bawah permukaan tanah sehingga menjadi data
geologi. Pengeboran ini menghasilkan lubang terbuka dengan kedalaman
sesuai dengan target kedalaman yang diinginkan.

Selama proses pengeboran berlangsung, diperoleh data cutting yang


merupakan material hasil gerusan mata bor (bit) yang mengalir keluar ke
permukaan bersama fluid. Cutting tersebut diambil setiap interval 1,5 meter
yang menjadi representasi jenis litologi yang sedang dibor pada kedalaman
interval tersebut.

10.2. Coring

Drilling coring merupakan pengeboran yang dilakukan untuk mengambil


contoh sampel (coring) pada lapisan litologi di bawah permukaan sebagai
data geologi.
Coring dilakukan pada interval kedalaman tertentu berdasarkan dari
interpretasi data logging geofisika atau data cutting yang diperoleh melalui
drilling open hole sebelumnya. Drilling coring dapat juga dilakukan dengan
metode Touch Coring (single hole), artinya pengeboran coring yang tidak
didahului drilling open hole. Touch Coring dilakukan diawali dengan
drilling open hole kemudian ketika menemukan cutting batubara telah
muncul kemudian langsung dilakukan coring atau dengan menggunakan
data model/ korelasi titik di sekitarnya, kemudian diprediksikan bahwa
batubara berada di kedalaman tertentu sehingga ketika sudah mendekati
perkiraan posisi roof batubara selanjutnya langsung dilakukan coring.

Penentuan Roof batubara yang akan di coring sangat penting untuk


menghindari batubara lost karena tergerus bit yang mengakibatkan data tidak
akurat (panjang core sebenarnya tidak diketahui). Atau sebaliknya litologi
non-coal di atas lapisan batubara terlalu panjang di coring sehingga
menyebabkan peningkatan biaya drilling.

11. Utilisasi Batubara

11.1. Pembangkit Listrik

Saat ini, batubara terutama digunakan dalam pembangkit listrik tenaga


batubara untuk menghasilkan listrik yang handal dan murah. Di Amerika
Serikat, sekitar 50% listrik dihasilkan dari batubara. Lignit dan bituminous
sebagian besar digunakan untuk tujuan ini. Dalam pembangkit listrik tenaga
batu bara, bahan bakar fosil ini pertama dihancurkan dan kemudian dibakar
untuk memanaskan air. Air yang dipanaskan kemudian berubah menjadi
uap yang digunakan untuk memutar turbin untuk menghasilkan listrik.
11.2. Industri Baja

Batubara bituminous digunakan untuk membuat kokas yang terutama


digunakan dalam industri baja. Kokas pada dasarnya adalah residu batubara
yang dimanfaatkan sebagai bahan bakar dan sebagai reduktor. Kokas
digunakan dalam peleburan bijih besi pada tungku sembur untuk
menghasilkan pig iron. Pig iron lebih lanjut digunakan untuk memproduksi
baja. Untuk memproduksi kokas, batubara bituminous dipanaskan dalam
kondisi yang terkendali dengan tidak adanya udara pada suhu setinggi 1.000
°C. Batubara bituminous yang memiliki kadar sulfur rendah biasanya
digunakan untuk memproduksi kokas.

11.3. Pemanas Ruangan


Batubara antrasit lazim digunakan untuk pemanas ruangan hunian dan
komersial karena dianggap sebagai bahan bakar pemanas yang baik.

11.4. Moling Sand

Batubara bituminous merupakan komponen dari molding sand (cetakan


pasir) yang terutama digunakan membuat cetakan untuk pengecoran logam.
Untuk membuat cetakan pasir, pasir (silika atau olivin) dicampur dengan
campuran tanah liat dan air, batubara bituminous (pada rasio kurang dari
5%), serta beberapa zat lainnya. Ketika logam cair dituangkan ke dalam
cetakan, batubara terbakar pada kecepatan lambat dan melepaskan gas,
hingga dengan demikian mencegah logam menembus pori-pori pasir.

11.5. Tar Batubara

Coal tar (tar batubara) adalah residu tebal dan berwarna hitam yang
diperoleh selama distilasi batubara. Coal tar memiliki berbagai aplikasi di
sektor industri, mulai dari sebagai insulator bangunan, membuat bangunan
tahan air, hingga produksi berbagai macam produk, yang meliputi:

– Tekstil
– Cat
– Sabun
– Sampo
– Plastik
– Parfum
– Pewarna
– Kapur barus
– Aspirin

Sabun dan sampo yang mengandung tar batubara digunakan untuk


mengatasi berbagai masalah seperti ketombe, luka kulit, dan psoriasis.

11.6. Pupuk

Tidak banyak orang menyadari bahwa batubara dapat diubah menjadi


amonia dan urea, yang digunakan sebagai pupuk. Batubara pertama dipecah
menjadi elemen-elemen penyusunnya dengan proses yang disebut
gasifikasi batubara. Dalam proses ini, batubara dipaparkan pada tekanan
dan suhu tinggi. Akibatnya, campuran gas yang disebut syngas diperoleh.
Syngas terutama terdiri dari karbon monoksida, hidrogen, karbon dioksida,
dan uap air. Hidrogen yang diperoleh dalam proses gasifikasi ini dapat
digunakan untuk membuat amonia dengan menggabungkannya dengan
nitrogen.

11.7. Bensin dan Diesel


Syngas yang diperoleh selama proses gasifikasi batubara juga dapat diubah
menjadi bensin dan solar. Proses konversi batubara menjadi hidrokarbon
dikenal sebagai proses Fischer-Tropsch. Dalam proses ini, campuran
karbon monoksida dan hidrogen diubah menjadi hidrokarbon cair dengan
bantuan sejumlah reaksi kimia.

11.8. Pembuatan Beton

Batubara juga digunakan untuk membuat beton. Beton merupakan bahan


bangunan yang terbuat dari semen, dengan batubara digunakan sebagai
sumber energi untuk produksi semen dan batu bata. Produk pembakaran
batubara, seperti ‘fly ash’, juga digunakan dalam pembuatan semen.

11.9. Penggunaan Lain

Selain penggunaan tersebut, batubara digunakan dalam produksi berbagai


produk industri lain, yang meliputi:

– Keramik
– Karet dan serat sintetik (rayon dan nilon)
– Insektisida
– Pelarut
– Kertas
– Pelumas
– Resin
– Kosmetik
– Serat karbon
– Karbon aktif (digunakan dalam penyaringan air dan pemurnian udara)
DAFTAR PUSTAKA

Sukandarrumidi. 2008. Batubara dan Gambut. Yogyakarta : UGM Press

Anggayana, K., 2002, Genesa Batubara, Departemen Teknik Pertambangan,


FIKTM, Institut Teknologi Bandung

Van Bemmelen,R.W., 1949, The Geology of Indonesia. Martinus Nyhoff. The


Haque, Netherland

Hower, J.C., Stanton, R.W., Gammidge, L.C., and Hutton, A.C., 1998. Coal
Petrology, in Papp, A.R., Hower, J.C., and Hutton, A.C. (eds): Atlas of Coal
Geology, Volume II, Energy Minerals Division, AmericanAssociation of
Petroleum Geologist.
Teichmüller, M. and Teichmüller, R., 1982. Fundamental of Coal Petrology. In:
Stach, E., Mackowsky, M.Th., Teichmüller, M., Taylor, G.H., Chandra, D., and
Teichmüller, R. (eds.), Stach's Textbook of Coal Petrology. Gebrüder Borntraeger,
Berlin, 3rd ed., 535 p.
http://psdg.bgl.esdm.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=873
&Itemid=611

https://www.amazine.co

https://psdg.geologi.esdm.go.id/kepmen_pp_uu/SNI_13-5104-1998.pdf
Judul Paper : “Stratigrafi Dan Keterdapatan Batubara Pada Formasi Lati Di Daerah
Berau, Kalimantan Timur”

Penulis : Sigit Maryanto


Instansi : Pusat Survey Geologi, Jl. Diponegoro 57 Bandung
Tahun : 2011
Publikasi : Buletin Sumber Daya Geologi Volume 6 Nomor 2

RESUME

Beberapa lintasan stratigrafi rinci di daerah Lati, Binungan dan Sambarata telah diukur
guna mengetahui keterdapatan dan kedudukan stratigrafi satuan pembawa batubara
Formasi Lati di daerah Berau, Kalimantan Timur. Data stratigrafi memperlihatkan
bahwa Formasi Lati yang terendapkan kala Miosen Tengah di lingkungan rawa-rawa
pada hutan hujan yang berada di dataran delta hingga sungai, dengan ketebalan total
terukur mencapai 400 meter. Perlapisan batubara mulai hadir secara setempat di bagian
tengah formasi, berkembang dengan baik di bagian atas formasi, dan sangat jarang
dijumpai di bagian teratas formasi. Perlapisan batubara tersebut pada umumnya
berwarna hitam hingga hitam kecoklatan, bright-banden hingga dull banded,
terkekarkan kuat, pecah subkonkoidal, densitas sedang, kadangkadang dengan parting
atau lensa batuan silisiklastika sangat halus, dan tebalnya mencapai 650 cm.

Berdasarkan data stratigrafi di lintasan Lati, Binungan dan Sambarata, yang didukung
oleh analisis laboratorium, dapat disimpulkan bahwa: Perlapisan batubara di daerah
Berau, Kalimantan Timur mulai hadir di bagian tengah Formasi Lati yang membentuk
perlapisan batubara bawah, mencapai puncaknya pada bagian atas formasi ini yang
membentuk perlapisan batubara tengah, dan menjadi sangat berkurang di bagian teratas
formasi yang membentuk perlapisan batubara atas; Perlapisan batubara terbentuk di
lingkungan rawa-rawa pada hutan hujan yang berada di dataran delta hingga sungai
beriklim basah pada kala Miosen Tengah; Batubara yang dijumpai tidak terlalu tebal
karena sering terganggu oleh banjir limpah permukaan dan terpengaruh oleh pasang-
surut. Lapisan batubara tersebut pada umumnya melampar cukup luas, meskipun
lapisannya seringkali tercerai, karena saluran deltanya nisbi sedikit bergeser dari waktu
ke waktu.
Judul Paper : “Penentuan Pola Penyebaran Batubara Berdasarkan Data Sinar
Gamma Dan Resistivitas Dengan Menggunakan Metode Logging
Geofisika”

Penulis : Haerani Jafar, Makhrani, S.Si, M.Si , Syamsuddin S.Si, MT

Instansi : Jurusan Fisika Program Studi Geofisika Fakultas Matematika dan


Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Hasanuddin, Makassar

RESUME

Telah dilakukan penelitian pada wilayah tambang suatu perusahaan yang bergerak
pada tambang batubara di daerah Provinsi Kalimantan Timur. Penelitian ini dilakukan
dengan menggunakan metode logging geofisika untuk menentukan pola penyebaran
batubara pada lokasi penelitian. Data log yang dianalisis dalam penelitian ini adalah
Sinar Gamma dan Resistivitas. Hasil korelasi kedua data tersebut memperlihatkan
kedalaman, tebal dan lapisan batubara. Hasil yang diperoleh merupakan peta yang
menggambarkan penyebaran batubara pada daerah penelitian. Gambaran batubara
yang diperoleh terdiri atas tiga lapis dengan kecenderungan menyebar ke arah Barat
Daya dan Timur Laut dengan kedudukan N 30º E / 10º. Lapisan batubara yang
diperoleh diberi nama seam 1A, seam 1B dan seam 2.

Berdasarkan hasil analisis data pada penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa : Pada penelitian ini diperoleh gambaran sebaran batubara berdasarkan data
Sinar Gamma dan Resistivitas secara vertikal. Penggunaan data Sinar Gamma dan
Resistivitas dapat memberi gambaran tentang keberadaan batubara pada masing –
masing sumur bor dalam hal ini memberikan gambaran kedalaman dan tebal batubara.
Pola sebaran batubara yang diperoleh pada penelitian ini memanjang dari barat daya
sampai timur laut dengan kemenerusan ( straight ) berkisar 30 derajat dari arah utara
dengan 10 dip berkisar 10 derajat. Walaupun pola sebaran batubara pada masing –
masing lintasan tidak merata, hal ini terjadi karena ada beberapa sumur bor yang
kandungan batubaranya berakhir pada sumur sebelumnya. Dari penampang anatara
Gamma Ray dan Resistivitas maka teridentifikasi tiga lapisan batubara yaitu seam 1A,
seam 1B, danseam 2. Namun tidak semua sumur bor memperlihatkan lapisan yang
lengkap.

Anda mungkin juga menyukai