Anda di halaman 1dari 94

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Ginjal Kronik / Chronic Kidney Disease

2.1.1 Definisi

Penyakit ginjal kronis adalah kelainan struktur atau fungsional ginjal,

yang berlangsung lebih dari 3 bulan dan diklasifikasian berdasarkan kausa,

kategori LFG, dan kategori albuminuria.4

2.1.2 Etiologi

Dua penyebab utama penyakit gagal ginjal kronis adalah diabetes melitus tipe

1 dan tipe 2 (44%) dan hipertensi (27%). Diabetes melitus adalah suatu

keadaan dimana terjadi peningkatan kadar glukosa dalam darah sehingga

menyebabkan kerusakan pada organ-organ vital tubuh seperti ginjal dan

jantung serta pembuluh darah, saraf dan mata. Sedangkan hipertensi

merupakan keadaan dimana terjadi peningkatan tekanan darah yang jika tidak

terkontrol akan menyebabkan serangan jantung, stroke, dan penyakit ginjal

kronik. Gagal ginjal kronik juga dapat menyebabkan hipertensi. Kondisi lain

yang dapat menyebabkan gangguan pada ginjal antara lain :4

 Penyakit peradangan seperti glomerulonefritis (10%), dapat menyebabkan

inflamasi dan kerusakan pada unit filtrasi ginjal. Merupakan penyakit

ketiga tersering penyebab gagal ginjal kronik

4
 Penyakit keturunan seperti penyakit ginjal polikistik (3%) menyebabkan

pembesaran kista di ginjal dan merusak jaringan sekitar, dan asidosis

tubulus.

 Malformasi yang didapatkan oleh bayi pada saat berada di dalam rahim si

ibu. Contohnya, penyempitan aliran urin normal sehingga terjadi aliran

balik urin ke ginjal. Hal ini menyebabkan infeksi dan kerusakan pada

ginjal.

 Lupus dan penyakit lain yang memiliki efek pada sistem imun (2%)

 Penyakit ginjal obstruktif seperti batu saluran kemih, tumor, pembesaran

glandula prostat pada pria dan refluks ureter

 Infeksi traktus urinarius berulang kali seperti pielonefritis kronik.

Penggunaan analgesik seperti acetaminophen (Tylenol) dan ibuprofen

(Motrin, Advil) untuk waktu yang lama dapat menyebabkan neuropati

analgesik sehingga berakibat pada kerusakan ginjal

 Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis dan stenosis arteri

renalis

 Penyebab lainnya adalah infeksi HIV, penyakit sickle cell,

penyalahgunaan heroin, amyloidosis, gout, hiperparatiroidisme dan

kanker.

5
2.1.3 Patofisiologi

Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada

penyakityang mendasari, tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang

terjadi kuranglebih sama. Pada gagal ginjal kronik terjadi pengurangan massa

ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih

tersisa. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh

peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini

berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis

nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan

fungsi nefron yang progresif. Perubahan fungsi neuron yang tersisa setelah

kerusakan ginjal menyebabkan pembentukan jaringan ikat, sedangkan nefron

yang masih utuh akan mengalami peningkatan beban eksresi sehingga terjadi

lingkaran setan hiperfiltrasi dan peningkatan aliran darah glomerulus.

Demikian seterusnya, keadaan ini berlanjut menyerupai suatu siklus yang

berakhir dengan Gagal Ginjal Terminal (GGT) atau End Stage Renal Disease

(ESRD). Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron

intrarenal, hipertensi sistemik, nefrotoksindan hipoperfusi ginjal, proteinuria,

hiperlipidemia ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi,

sklerosis, dan progresifitas tersebut.7

2.1.4 Gejala Klinis

Pada gagal ginjal kronik, gejala–gejalanya berkembang secara

perlahan. Pada awalnya tidak ada gejala sama sekali, kelainan fungsi ginjal

hanya dapat diketahui dari pemeriksaan laboratorium. Sejalan dengan

6
berkembangnya penyakit, maka lama kelamaan akan terjadi peningkatan

kadar ureum darah semakin tinggi (uremia). Pada stadium ini, penderita

menunjukkan gejala – gejala fisik yang melibatkan kelainan berbagai organ

seperti :4

 Kelainan saluran cerna : nafsu makan menurun, mual, muntah dan fetor

uremik

 Kelainan kulit : urea frost dan gatal di kulit

 Kelainan neuromuskular : tungkai lemah, parastesi, kram otot, daya

konsentrasi menurun, insomnia, gelisah

 Kelainan kardiovaskular : hipertensi, sesak nafas, nyeri dada, edema

 Gangguan kelamin: libido menurun, nokturia, oligouria

2.1.5 Klasifikasi

Klasifikasi penyakit gagal ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu,

atas dasar derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi: 4

Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit

Derajat Penjelasan GFR (ml/mn/1,73m2)

1 Kerusakan ginjal dengan GFR normal atau ≥ 90

2 Kerusakan ginjal dengan GFR ringan 60 – 89

3 Kerusakan ginjal dengan GFR sedang 30 – 59

4 Kerusakan ginjal dengan berat 15 – 29

5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis

7
Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Atas Dasar Diagnosis Etiologi

Penyakit Tipe mayor (contoh)

Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2

Penyakit ginjal non diabetes Penyakit glomerular

(penyakit autoimun, infeksi sistemik,

obat, neoplasia)

Penyakit vascular

(penyakit pembuluh darah besar,

hipertensi, mikroangiopati)

Penyakit tubulointerstisial

(pielonefritis kronik, batu, obstruksi,

keracunan obat)

Penyakit kistik (ginjal polikstik)

Penyakit pada transplantasi Rejeki kronik

Keracunan obat (siklosporin /

takrolimus)

Penyakit recurrent (glomerular)

Transplantasi glomerulopathy

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang

 Pemeriksaan Darah rutin, pemeriksaan ini untuk melihat nilai hemoglobin

dimana pada pasien dengan penyakit ginjal kronik kadar hemoglobin akan

menurun, hal ini disebabkan menurunnya hormon eritropoietin yang

8
berfungsi untuk merangsang pengeluaran sel darah merah oleh sumsun

tulang.4

 Pemeriksaan Fungsi Ginjal, pemeriksaan fungsi ginjal diliakukan untuk

melihat kadar ureum dan kreatinin, dimana kadar kreatinin digunakan

untuk menentukan stadium penyakit ginjal kronik dengan cara

memasukan nilai kreatinin kedalam rumus creatinin clearance atau laju

filtrasi glomelurus.4

 Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi :4

o Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio – opak

o Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa

melewati filter glomerulus, disamping kekhawatiran terjadinya

pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami

kerusakan

o Pielografi antegrad atau retrograd sesuai indikasi

o Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang

mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal,

kista, massa, kalsifikasi

o Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi bila ada indikasi

9
2.1.8 Diagnosa

Kriteria diagnosis untuk penyakit ginjal kronik.4

Kriteria Kesan

Durasi> 3 bulan, berdasarkan riwayat Durasi dibutuhkan untuk

dokumentasi atau tindakan membedakan CKD dengan AKI.

Evaluasi secara klinis biasanya

dapat menunjukkan adanya

dokumentasi dari durasi

GFR <60 ml/min/1.73m2 GFR merupakan indeks terbaik

(GFR categories G3a-G5) untuk melihat fungsi dan

kelainan pada ginjal

 GFR normal untuk

dewasa muda sekitar 125

ml/min/1.73m2, GFR <

15 didefinisikan sebagai

gagal ginjal

 Penurunan GFR dapat

dilihat dari perhitungan

Serum Creatinin atau

Cystatin C, namun tidak

dengan Serum Creatinin

atau Cystatin C saja

10
 Penurunan GFR dapat

dikonfirmasi dengan

mengukur GFR,

jikadibutuhkan

Kerusakan Ginjal didefinisikan sebagai Albuminuria merupakan tanda

abnormalitas struktural atau fungsional dari kerusakan ginjal (kenaikan

selain kelainan pada GFR permeabilitas glomerulus) AER

>30mg/24 jam kurang lebih

sama dengan ACR > 30mg/g

(>3mg/mmol)

 Normal ACR urine orang

dewasa sehat adalah<

10mg/g

Sedimen urin dapat menandakan

adanya kelainan ginjal

 Microhematuria dengan

adanya kelainan

morfologi sel darah

merah (anisositosis) pada

kelainan GBM

 Silinder sel darah merah

11
pada glomerulonephritis

poliferatif

 Silinder sel darah putih

pada pyelonephritis atau

interstisial nephritis

 Oval fat bodies atau

silinder lemak pada

penyakit dengan

proteinuria

 Silinder granular dan sel

tubulus ginjal pada

banyak penyakit

parenkim ginjal

Kelainan Tubulus Ginjal

 Renal tubular acidosis

 Nephrogenic diabetes

incipidus

 Fanconi syndrome

 Renal potassium wasting

 Renal sodium wasting

 Non-albumin proteinuria

 Cystinuria

12
Kelainan Patologis yang

dideteksi dengan pemeriksaan

histologi atau pemeriksaan

lainnya

 Penyakit glomerular

(diabetes, autoimun

disease, systemic

infections, drugs,

neoplasia)

 Penyakit vaskular

(atherosclerosis,

hypertension, ischemia,

vasculitis, thrombotic

microangiopathy)

 Penyakit tubule

interstitial(urinary tract

infections, stones,

obstruction, drugtoxicity)

 Cystic and congenital

diseases

Kelainan struktural yang

menandakan kerusakan ginjal

13
dengan pencitraan

 Polycystic kidney

 Dyplastic kidney

 Hydronephrosis karena

obstruksi

 Kerusakan kortikal yang

disebabkan oleh infarct,

pyelonephritis, atau

vesicourethral reflux

 Massa ginjal atau

pembesaran ginjal karena

penyakit infiltrative

 Renal artery stenosis

 Ginjal kecil dan

hipoechoic

Riwayat Transplantasi Ginjal

Stadium untuk penyakit ginjal kronik direkomendasikan untuk mengklasifikasikan

kategori GFR.4

14
Kategori GFR

Kategori GFR GFR (ml/min/1.73 m2) Kesan

G1 ≥ 90 Normal atau tinggi

G2 60-89 Sedikit menurun*

G3a 45–59 Penurunan sedikit sampai sedang

G3b 30–44 Penurunan sedang sampai berat

G4 15–29 Penurunan berat

G5 ≤15 Gagal Ginjal atau dialisis

*Relatif pada dewasa muda

Tanpa adanya bukti kerusakan ginjal, G1 dan G2 tidak memenuhi kriteria PGK

Rumus menghitung GFR

Pembagian CKD berdasarkan stadium dari tingkat penurunan GFR: 7

-Stadium 1: kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria persisten dan GFR

yang masih normal ( > 90 ml/menit/1,73 m2)

-Stadium 2: Kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan GFR antara (60-89

ml/menit/1,73m2)

-Stadium 3: kelainan ginjal dengan GFR antara (30-59 ml/menit/1,73m2)

-Stadium 4: kelainan ginjal dengan GFR antara (15-29 ml/menit/1,73m2)

-Stadium 5: kelainan ginjal dengan GFR (< 15mL/menit/1,73m2 atau gagal ginjal

terminal)

15
2.1.9 Penatalaksanaan

1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya

2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition)

3. Memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal

4. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular

5. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi

6. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal

Perencanaan tatalaksana (action plan). Penyakit ginjal kronik sesuai dengan

derajatnya, dapat dilihat pad tabel berikut:4

Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik Sesuai dengan Derajatnya

Derajat LFG (ml/mn/1,73m2) Rencana Tatalaksana

1 ≥ 90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorboid,

evaluasi pemburukan (progression) fungsi

ginjal, memperkecil resiko kardiovaskular

2 60 – 89 Menghambat pemburukan (progression)

fungsi ginjal

3 30 – 59 Evaluasi dan terapi komplikasi

4 15 – 29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal

5 < 15 Terapi pengganti ginjal

Terapi non farmakologi:

A. Pembatasan protein:

16
- Pasien non dialisis 0,6 -0,75 gram /kg BB/hr sesuai CCT dan toleransi pasien

- Pasien hemodialisis 1-1,2 gram/kgBB ideal/hari

- Pasien hemodialisis 1-1,2 gram/kgBB ideal/hari

- Pasien peritoneal dialisis 1,3 gram/kgBB/hari

B. Pengaturan asupan kalori: 35 kkal/kgBB ideal/hari

C. Pengaturan asupan lemak: 30 -40% dari kalori total dan mengandung jumlah yang

sama antara asam lemak bebas jenuh dan tak jenuh

D. Pengaturan asupan KH: 50 -60% dari total kalori

E. Garam NaCl: 2 -3 gr/hari

F. Kalsium: 1400 - 1600 mg/hari

G. Besi: 10 -18 mg/hari

H. Magnesium: 200 – 300 mg/hari

I. Asam folat pasien HD: 5 mg

J. Air: jumlah urin 24 jam + 500 ml (insensible)

Terapi farmakologis:

A. Kontrol tekanan darah:

- Penghambat ACE atau antagonis reseptor angiotensin II evaluasi kreatinin dan

kalium serum, bila terdapat peningkatan kreatinin > 35% atau timbul hiperkalemi

harus dihentikan.

- Penghambat kalsium

- Diuretik

B. Pada pasien DM, kontrol gula darah hindari pemakaian metformin dan obat –

obat sulfonil urea dengan masa kerja panjang.

17
C. Koreksi asidosis metabolik dengan target HCO3 20 – 22 mEq/l. Kontrol

dislipidemia dengan target LDL < 100 mg/dl, dianjurkan golongan satin.

2.1.10 Komplikasi

Gagal ginjal kronik dapat menyebabkan berbagai komplikasi sebagai berikut:4

1. Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, katabolisme,

dan masukan diet berlebih.

2. Prikarditis, efusi perikardinal, dan tamponade jantung akibat retensi

produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.

3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin

angiotensin aldosteron.

4. Anemia akibat penurunan eritropoitin.

5. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar

kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan

peningkatan kadar alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion

anorganik.

6. Uremia akibat peningkatan kadar ureum dalam tubuh.

7. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebihan.

8. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.

9. Hiperparatiroid, hiperkalemia, dan hiperfosfatemia.

2.1.11 Pencegahan

Pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah mulai

dilakukan pada stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya

18
pencegahan yang telah terbukti bermanfaat dalam mencegah penyakit ginjal

dan kardiovaskular adalah: 8

a. Pengobatan hipertensi yaitu makin rendah tekanan darah makin kecil

risiko penurunan fungsi ginjal.

b. Pengendalian gula darah, lemak darah, dan anemia.

c. Penghentian merokok.

d. Peningkatan aktivitas fisik.

e. Pengendalian berat badan.

f. Obat penghambat sistem renin angiotensin seperti penghambat ACE

(angiotensin converting enzyme) dan penyekat reseptor angiotensin telah

terbukti dapat mencegah dan menghambat proteinuria dan penurunan

fungsi ginjal.

2.1.12 Prognosis

Prognosis pasien CKD berdasarkan data epidemiologi dan angka

kematian meningkat sejalan dengan fungsi ginjal yang memburuk. Penyebab

kematian pada pasien CKD adalah penyakit cardiovaskular. Dengan adanya

renal replacement theraphy dapat meningkatkan angka harapan hidup pada

pasien CKD stadium 5.

19
2.2 Diabetes Melitus Tipe 2

2.2.1 Definisi

Diabetes melitus tipe 2 merupakan suatu kelompok penyakit metabolik

dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi

insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes

berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan

beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh

darah.9

2.2.2 Etiologi

Penyebab dari Diabetes Melitus tipe 2 yaitu dikarenakan oleh adanya

kelainan sekresi insulin yang progresif dan adanya resistensi insulin.9

2.2.3 Patogenesis

Pada DM tipe II (DM yang tidak tergantung insulin (NIDDM),

sebelumnya disebut dengan DM tipe dewasa) hingga saat ini merupakan

diabetes yang paling sering terjadi. Pada tipe ini, disposisi genetik juga

berperan penting. Namun terdapat defisiensi insulin relatif; pasien tidak

mutlak bergantung pada suplai insulin dariluar. Pelepasan insulin dapat

normal atau bahkan meningkat, tetapi organ target memiliki sensitifitas yang

berkurang terhadap insulin. Sebagian besar pasien DM tipe II memiliki berat

badan berlebih. Obesitas terjadi karena disposisi genetik, asupan makanan

yang terlalu banyak, dan aktifitas fisik yang terlalu sedikit. Ketidak

seimbangan antara suplai dan pengeluaran energi meningkatkan konsentrasi

asam lemak di dalam darah. Hal ini selanjutnya akan menurunkan

20
penggunaan glukosa di otot dan jaringan lemak. Akibatnya, terjadi resistensi

insulin yang memaksa untuk meningkatan pelepasan insulin. Akibat regulasi

menurun pada reseptor, resistensi insulin semakin meningkat. Obesitas

merupakan pemicu yang penting, namun bukan merupakan penyebab tunggal

diabetes tipe II. Penyebab yang lebih penting adalah adanya disposisi genetik

yang menurunkan sensitifitas insulin. Sering kali, pelepasan insulin selalu

tidak pernah normal. Beberapa gen telah diidentifikasi sebagai gen yang

menigkatkan terjadinya obesitas dan DM tipe II. Diantara beberapa faktor,

kelainan genetik pada protein yang memisahkan rangkaian dimitokondria

membatasi penggunaan substrat. Jika terdapat disposisi genetik yang kuat,

diabetes tipe II dapat terjadi pada usia muda. Penurunan sensitifitas insulin

terutama mempengaruhi efek insulin pada metabolisme glukosa, sedangkan

pengaruhnya pada metabolisme lemak dan protein dapat dipertahankan

dengan baik. Jadi, diabetes tipe II cenderung menyebabkan hiperglikemia

berat tanpa disertai gangguan metabolisme lemak.10

2.2.4 Gejala Klinis

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes.

Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM

seperti di bawah ini:9

 Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan

berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

21
 Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur,

dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.

2.2.5 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium sangat diperlukan dalam mendiagnosis dan

memantau keberhasilan terapi penyakit diabetes Melitus tipe 2 ini, berikut

pemeriksaan laboratorium yang digunakan dalam mendiagnosis, memantau

keberhasilan terapi maupun evaluasi komplikasi yang ditimbulkan dari

diabetes melitus tipe 2 :9

 Kadar Glukosa darah puasa, 2 jam post prandial dan sewaktu di periksa

untuk mendiagnosis pasien yang sebelumnya memiliki gejala klinis

diabetes melitus tipe 2 yang khas.

 HbA1C, diperiksa untuk menentukan terapi DM tipe 2 dan melihat

keberhasilan terapi.

 Profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL, LDL, dan

trigliserida), diperiksa untuk mengetahui kemungkinan sindrom metabolik

lain seperti dislipdemia yang merupakan komorbid pada pasien pasien

DM tipe 2.

 Kreatinin serum di periksan untuk mengetahui fungsi ginjal, dimana dapat

terjadi komplikasi mikrovaskular pada pasien DM tipe 2 yaitu nefropati.

 Keton, sedimen, dan protein dalam urin

 Elektrokardiogram

 Foto sinar-x dada

22
2.2.6 Diagnosa Banding

Diagnosa banding dari diabetes melitus tipe 2 meliputi :9

 Diabetes Mellitus Tipe 2

 Diabetes Mellitus Tipe 1

 Diabetes Mellitus Insipidus

 Diabetes Tipe Lainnya

 Diabetes Gestasional

2.2.7 Diagnosis

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa

darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna

penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah

pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena.

Penggunaan bahan darah utuh (whole blood), vena, ataupun kapiler tetap

dapat dipergunakan dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik

yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan

pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan

pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer.11

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes.

Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM

seperti di bawah ini:11

 Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan

berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

23
 Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal,mata kabur, dan

disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:9

1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu

>200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkandiagnosis DM

2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL dengan adanya keluhan

klasik.

3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g

glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa

plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri.

TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang

dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus. Apabila hasil pemeriksaan

tidak memenuhi kriteria normal atau DM, bergantung pada hasil yang

diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa

terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT).

Keterangan:

1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan

glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 –199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L).

2. GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma

puasa didapatkan antara 100 – 125 mg/dL (5,6– 6,9 mmol/L) dan pemeriksaan TTGO

gula darah 2 jam < 140mg/dL.

24
Tabel 2.2.1 Kriteria diagnosis DM

1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL (11.2 mmol/L)

Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu

hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir

Atau

2. Gejala klasik DM

Kadar glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL (7.0 mmol/L)

Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam

Atau

3. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dL (11.1 mmol/L)

TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa

yang setara dengan 75 g glukosaan hidrus yang dilarutkan kedalam air.

*Pemeriksaan HbA1c (≥6.5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi salah

satu kriteria diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telah

terstandarisasi dengan baik.

Ada perbedaan antara uji diagnostik diabetes melitus dengan pemeriksaan

penyaring. Uji diagnostik diabetes melitus dilakukan pada mereka yang menunjukkan

gejala atau tanda diabetes melitus, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk

mengidentifikasikan mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai resiko diabetes

melitus. Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan kemudian pada mereka yang hasil

pemeriksaan penyaringnya positif, untuk memastikan diagnosis definitif.10

25
Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk menemukan pasien dengan Diabetes

melitus, toleransi glukosa terganggu (TGT) maupun glukosa darah puasa terganggu

(GDPT), sehingga dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan TGT dan

GDPT juga disebut sebagai intoleransi glukosa, merupakan tahapan sementara

menuju diabetes melitus. Kedua keadaan tersebut merupakan faktor risiko untuk

terjadinya diabetes melitus dan penyakit kardiovaskular di kemudian hari.10

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa

darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan

testoleransi glukosa oral (TTGO) standar.10

Tabel 4. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai standar penyaring

dan diagnosis diabetes melitus.

Diabetes Meilitus

Kadar glukosa darah sewaktu (mg/dL) ≥ 200

Kadar glukosa darah puasa (mg/dL) ≥ 126

Kadar glukosa darah 2 jam post prandial (mg/dL) ≥ 200

Diperlukan anamnesis yang cermat serta pemeriksaan yang baik untuk

menentukan diagnosis diabetes melitus, toleransi glukosa terganggu dan glukosa

darah puasa terganggu. Berikut adalah langkah-langkah penegakkan diagnosis

diabetes melitus, TGT, dan GDPT.10

26
2.2.8 Penatalaksaan

Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan

jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah

belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat

hipoglikemik oral (OHO) danatau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu,

OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai

indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya

ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, dan adanya

ketonuria, insulin dapat segera diberikan.10

1. Edukasi

Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan

perilaku telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang

diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat.

Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku

sehat. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan

edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi.

Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri, tandadan gejala

hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien.

Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah

mendapat pelatihan khusus.10

27
2. Terapi Nutrisi Medis

Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari

penatalaksanaan diabetes secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah

keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi,

petugas kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya). Setiap

penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan

kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Prinsip pengaturan makan

pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk

masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan

kebutuhan kalori danzat gizi masing-masing individu. Pada penyandang

diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal

jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang

menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.10

A. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:10

Karbohidrat

 Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.

 Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan

 Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi.

 Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat

makan sama dengan makanan keluarga yang lain

 Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.

28
 Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak

melebihi batas aman konsumsi harian (Accepted Daily Intake)

 Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam

sehari. Kalau diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau

makanan lain sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.

Lemak

 Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Tidak

diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.

 Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori

 Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh

tunggal.

 Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung

lemak jenuh dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu

penuh (whole milk).

 Anjuran konsumsi kolesterol < 200 mg/hari.

Protein

 Dibutuhkan sebesar 10 – 20% total asupan energi.

 Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi, dll), daging

tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-

kacangan, tahu, dan tempe.

29
 Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi

0,8 g/Kg BB perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65%

hendaknya bernilai biologik tinggi.

Natrium

 Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran

untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama

dengan 6-7 gram (1 sendok teh) garam dapur.

 Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg garam

dapur.

 Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan

pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.

Serat

 Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan

mengonsumsi cukup serat dari kacang-kacangan, buah, dan sayuran serta

sumber karbohidrat yang tinggi serat, karena mengandung vitamin,

mineral, serat, dan bahan lain yang baik untuk kesehatan.

 Anjuran konsumsi serat adalah ± 25 g/hari.

Pemanis alternatif

 Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak

berkalori. Termasuk pemanis berkalori adalah gula alkohol dan fruktosa.

30
 Gula alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol dan

xylitol.

 Dalam penggunaannya, pemanis berkalori perlu diperhitungkan

kandungan kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.

 Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes karena

efek samping pada lemak darah.

 Pemanis tak berkalori yang masih dapat digunakan antara lain aspartam,

sakarin, acesulfame potassium, sukralose, dan neotame.

 Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman (Accepted

Daily Intake / ADI).

B. Kebutuhan kalori

Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan

penyandang diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan

kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kalori/kgBB ideal, ditambah atau

dikurangi bergantung pada beberapa faktor seperti: jenis kelamin, umur,

aktivitas, berat badan, dll.

Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang dimodifikasi

adalah sbb:10

 Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.

 Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150

cm, rumus dimodifikasi menjadi :

 Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg.

31
 BB Normal : BB ideal ± 10 %

 Kurus : < BBI - 10 %

 Gemuk : > BBI + 10 %

Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT).

Indeks massa tubuh dapat dihitung dengan rumus:

IMT = BB(kg)/
TB(m2)

Klasifikasi IMT

 BB Kurang < 18,5

 BB Normal 18,5-22,9

 BB Lebih ≥ 23,0

Keterangan:

o Dengan risiko 23,0-24,9

o Obes I 25,0-29,9

o ObesII > 30

3. Latihan jasmani

Dianjurkan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu) selama

kurang lebih 30 menit, sifatnya sesuai CRIPE (Continuous, Rhithmical, Interval,

Progressive training). Sedapat mungkin mencapai zona sasaran 75-85 % denyut

nadi maksimal (220/umur), disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi

penyakit penyerta. Sebagai contoh olahraga ringan adalah berjalan kaki biasa

32
selama 30 menit, olahraga sedang adalah berjalan selama 20 menit dan olahraga

berat misalnya joging.

4. Terapi farmakologis

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan

latihan jasmani (gaya hidup sehat).Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan

bentuk suntikan.10

1. Obat hipoglikemik oral

Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:

A. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid

B. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformindan tiazolidindion

C. Penghambat glukoneogenesis (metformin)

D. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa.

E. DPP-IV inhibitor

A. Pemicu Sekresi Insulin

1. Sulfonilurea

Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi

insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien

dengan berat badan normal dan kurang. Namun masih boleh diberikan

kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia

berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal

ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak

dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang.

33
2. Glinid

Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan

sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase

pertama. Golongan ini terdiri dari 2macam obat yaitu Repaglinid (derivat

asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi

dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat

melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial.

B. Peningkat sensitivitas terhadap insulin

Tiazolidindion

Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator

Activated Receptor Gamma (PPAR-g), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak.

Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan

jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa

diperifer. Tiazolidindion dikontra indikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas

I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal

hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal

hati secara berkala.

C. Penghambat glukoneogenesis

Metformin

Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati

(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama

dipakaipada penyandang diabetes gemuk. Metformin dikontra indikasikan pada

pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta

34
pasien pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebro-

vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek samping

mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah

makan. Selain itu harus diperhatikan bahwa pemberian metformin secara titrasi pada

awal penggunaanakan memudahkan dokter untuk memantau efek samping obat

tersebut.

D. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)

Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa diusus halus, sehingga

mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak

menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering

ditemukan ialah kembung dan flatulens.

E. DPP-IV inhibitor

Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon peptida yang

dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptidaini disekresi oleh sel mukosa usus bila

ada makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan

perangsang kuat pelepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi

glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP-1 diubah oleh enzim

dipeptidylpeptidase-4 (DPP-4), menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-amide yang tidak

aktif. Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upayayang ditujukan untuk

meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam pengobatan DM tipe

2. Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang

menghambat kinerja enzim DPP-4 (penghambat DPP-4), atau memberikan hormon

asli atau analognya (analog incretin=GLP-1 agonis). Berbagai obat yang masuk

35
golongan DPP-4 inhibitor, mampu menghambat kerja DPP-4 sehingga GLP-1 tetap

dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif dan mampu merangsang pelepasan

insulin serta menghambat pelepasan glukagon.

2. Suntikan

A.Insulin

Insulin diperlukan pada keadaan:

• Penurunan berat badan yang cepat

• Hiperglikemia berat yang disertai ketosis

• Ketoasidosis diabetik

• Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik

• Hiperglikemia dengan asidosis laktat

• Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal

• Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)

• Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan

perencanaan makan

• Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat

• Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Jenis dan lama kerja insulin

Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni:

• Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)

• Insulin kerja pendek (short acting insulin)

• Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)

• Insulin kerja panjang (long acting insulin)

36
Sediaan Insulin Onset Of Peak Action Effective

Action (Puncakkerja) Duration

(Awalkerja) of Action

(Lama kerja)

Insulin prandial (meal-

rolated)

Insulin short-acting 30 – 60 30 – 90 menit 3 – 5 jam

Regular (Actrapid", menit

Humulin" R) 30 – 90 menit 3 – 5 jam

Insulin analog rapid-acting 6 – 15 30 – 90 menit 3 – 5 jam

Insulin lispro (Humalog") menit 30 – 90 menit 3 – 5 jam

Insulin glulicino (Apidra") 6 – 15

Insulin aspart (NovoRapid") menit

6 – 15

menit

Insulin Intermediate-acting

NPH (Insulaterd", Humulin" 2 – 4 jam 4 – 10 jam 10 – 16 jam

N) Lenle" 3 – 4 jam 4 – 12 jam 12 – 18 jam

Insulin long-acting

Insulin glargine (Lantus") 2 – 4 jam No peak

Ultralento" 6 – 10 jam 8 – 10 jam

37
Insulin detemir (Levenir") 2 – 4 jam No peak

Insulin campuran

(short- dan intermediate-

acting)

30 – 60 Dual 10 – 16 jam

70%NPH/30%regular menit

(Mixtard"; Humulin" 30/70)

Dual 15 – 18 jam

70% insulin 10 – 20

aspartprotamina/30% menit

Insulin aspart (NovoMix"30) 1 – 2 jam 16 – 18 jam

75% insulin Espre 5 – 15

protamine/25% insulin lepro menit

injection (Humalog"Mip25)

Keterangan :

*Belum tersedia di Indonesia

Nama dalam tanda kurung adalah nama dagang

38
Efek samping terapi insulin

• Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia.

•Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat

menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.

B. Agonis GLP-1

Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru

untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1dapat bekerja sebagai perangsang penglepasan

insulinyang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan yang

biasanya terjadi pada pengobatan denganinsulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1

bahkan mungkin menurunkan berat badan. Efek agonis GLP-1 yang lain adalah

menghambat pelepasan glukagon yang diketahui berperan pada proses

glukoneogenesis. Pada percobaan binatang, obat ini terbukti memperbaiki cadangan

sel beta pankreas. Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini antara lain rasa

sebah dan muntah.

3. Terapi Kombinasi

Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk

kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah.

Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat

dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi dengan

OHO kombinasi (secara terpisah ataupun fixed-combination dalam bentuk tablet

tunggal), harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai

mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat

pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi

39
OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis di mana

insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga OHO

dapat menjadi pilihan. Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak

dipergunakan adalah kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah

atau insulin kerja panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang tidur.

Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa

darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja

menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan

evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan

harinya. Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih

tidak terkendali, maka OHO dihentikan dan diberikan terapi kombinasi insulin.

2.2.9 Komplikasi

1. Komplikasi Metabolik Akut

Komplikasi metabolik diabetes disebabkan oleh perubahan yang

relatif akut dari konsentrasi glukosa plasma. Komplikasi metabolik yang

paling serius pada diabetes adalah:10

A. Ketoasidosis Diabetik (DKA).

Merupakan komplikasi metabolik yang paling serius pada DM . Hal

ini terjadi karena kadar insulin sangat menurun, dan pasien akan

mengalami hal berikut:

· Hiperglikemia

· Hiperketonemia

· Asidosis metabolik

40
Hiperglikemia dan glukosuria berat, penurunan lipogenesis,

peningkatan lipolisis dan peningkatan oksidasi asam lemak bebas disertai

pembentukan benda keton (asetoasetat, hidroksibutirat, dan aseton).

Peningkatan keton dalam plasma mengakibatkan ketosis. Peningkatan

produksi keton meningkatkan beban ion hidrogendan asidosis metabolik.

Glukosuria dan ketonuria yang jelas juga dapat mengakibatkan diuresis

osmotik dengan hasil akhir dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Pasien dapat

menjadi hipotensi dan mengalami syok.

Akhirnya, akibat penurunan penggunaan oksigen otak, pasien akan

mengalamikoma dan meninggal. Koma dan kematian akibat DKA saat ini

jarang terjadi, karena pasien maupun tenaga kesehatan telah menyadari

potensi bahaya komplikasi ini dan pengobatan DKA dapat dilakukan sedini

mungkin.

B. Hiperglikemia, Hiperosmolar, Koma Nonketotik (HHNK)

Komplikasi metabolik akut lain dari diabetes yang sering terjadi pada

penderita diabetes tipe 2 yang lebih tua. Bukan karena defisiensi insulin absolut,

namun relatif, hiperglikemia muncul tanpa ketosis. Ciri-ciri HHNK adalah sebagai

berikut:9

· Hiperglikemia berat dengan kadar glukosa serum > 600 mg/dl.

· Dehidrasi berat

· Uremia

41
Pasien dapat menjadi tidak sadar dan meninggal bila keadaan ini tidak segera

ditangani. Angka mortalitas dapat tinggi hingga 50%. Perbedaan utama antara HHNK

dan DKA adalah pada HHNK tidak terdapat ketosis.

C. Hipoglikemia (reaksi insulin, syok insulin)

Hipoglikemia adalah keadaan klinik gangguan saraf yang disebabkan

penurunan glukosa darah. Gejala ini dapat ringan berupa gelisah sampai berat berupa

koma dengan kejang. Penyebab tersering hipoglikemia adalah obat-obatan

hipoglikemik oral golongan sulfonilurea, khususnya glibenklamid. Hasil penelitian di

RSCM 1990-1991 , memperllihatkan kekerapan episode hipoglikemia sebanyak 15,5

kasus pertahun, dengan wanita lebih besar daripada pria, dan sebesar 65% berlatar

belakang DM. meskipun hipoglikemia sering pula terjadi pada pengobatan dengan

insulin, tetapi biasanya ringan. Kejadian ini sering timbul karena pasien tidak

memperlihatkan atau belum mengetahui pengaruh beberapa perubahan pada

tubuhnya.11

Penyebab Hipoglikemia

1. Makan kurang dari aturan yang ditentukan

2. Berat badan turun

3. Sesudah olah raga

4. Sesudah melahirkan

5. Sembuh dari sakit

6. Makan obat yang mempunyai sifat serupa

42
Tanda hipoglikemia mulai timbul bila glukosa darah < 50 mg/dl, meskipun

reaksi hipoglikemia bisa didapatkan pada kadar glukosa darah yang lebih tinggi.

Tanda klinis dari hipoglikemia sangat bervariasi dan berbeda pada setiap orang.

Tanda-tanda Hipoglikemia

1) Stadium parasimpatik: lapar, mual, tekanan darah turun.

2) Stadium gangguan otak ringan: lemah, lesu, sulit bicara, kesulitan menghitung

sederhana.

3) Stadium simpatik: keringat dingin pada muka terutama di hidung, bibir atau

tangan, berdebar-debar.

4) Stadium gangguan otak berat: koma dengan atau tanpa kejang. Keempat stadium

hipoglikemia ini dapat ditemukan pada pemakaian obat oral atau pun suntikan. Ada

beberapa catatan perbedaan antara keduanya:

1) Obat oral memberikan tanda hipoglikemia lebih berat.

2) Obat oral tidak dapat dipastikan waktu serangannya, sedangkan insulin bisa

diperkirakan pada puncak kerjanya, misalnya:

· Insulin reguler : 2-4 jam setelah suntikan

· Insulin NPH : 8-10 jam setelah suntikan

· P.Z.I : 18 jam setelah suntikan

2. Komplikasi Kronik Jangka Panjang

A. Mikrovaskular / Neuropati.10

–Retinopati, katarak : penurunan penglihatan

–Nefropati : gagal ginjal

– Neuropati perifer : hilang rasa, malas bergerak

43
– Neuropati autonomik : hipertensi, gastroparesis

– Kelainan pada kaki : ulserasi, atropati

B. Makrovaskular.10

– Sirkulasi koroner : iskemi miokardial/infark miokard

– Sirkulasi serebral : transient ischaemic attack, strok

–Sirkulasi : claudication, iskemik

2.2.10 Prognosis

Prognosis pada penderita diabetes tipe 2 bervariasi. Namun pada pasien

diatas prognosisnya dapat baik apabila pasien bisa memodifikasi

(meminimalkan) risiko timbulnya komplikasi dengan baik. Serangan jantung,

stroke, dan kerusakan saraf dapat terjadi. Beberapa orang dengan diabetes

mellitus tipe 2 menjadi tergantung pada hemodialisa akibat kompilkasi gagal

ginjal. Ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk meminimalkan risiko

komplikasi :12

 Makan makanan yang sehat / gizi seimbang (rendah lemak, rendah gula),

perbanyak konsumsi serat (buncis 150gr/hari, pepaya, kedondong, salak,

tomat, semangka, dianjurkan pisang ambon namun dalam jumlah terbatas)

 Gunakan minyak tak jenuh / PUFA (minyak jagung)

 Hindari konsumsi alkohol dan olahraga yang berlebihan

 Pertahankan berat badan ideal

 Kontrol ketat kadar gula darah, HbA1c, tekanan darah, profil lipid

44
 Konsumsi aspirin untuk cegah ateroskelrosis (pada orang dalam kategori

prediabetes).

2.2.11 Pencegahan

Menurut WHO tahun 1994, upaya pencegahan pada diabetes ada 3 tahap yaitu

:10

Pencegahan primer: Semua aktifitas ditujukan untuk mencegah timbulnya

hiperglikemia pada individu yang berisiko untuk jadi diabetes atau pada

populasi umum.

Pencegahan sekunder: Menemukan pengidap DM sedini mungkin, misalnya

dengantes penyaringan terutama pada populasi resiko tinggi. Dengan

demikian pasien diabetes yang sebelumnya tidak terdiagnosis dapat terjaring,

hingga dengan demikian dapat dilakukan upaya untuk mencegah komplikasi

atau kalaupun sudah ada komplikasi masih reversible (cegah kompilkasi).

Pencegahan tersier: Semua upaya untuk mencegah kecacatan akibat

komplikasi yang sudah ada. Usaha ini meliputi:

 Mencegah progresi dari pada komplikasi itu supaya tidak menjadi

kegagalan organ (jangan sampai timbul chronic kidney disease)

 Mencegah kecacatan tubuh

45
2.3 Hipertensi

2.3.1 Definisi

Hipertensi didefinisikan sebagai peningakatan tekanan darah sistolik

sedikitnya 140 mmHg atau tekanan diastolik sedikitnya 90 mmHg menurut JNC

VII. 6

2.3.2 Epidemiologi

Data epidemiologi menunjukkan bahwa dengan meningkatnya populasi

usia lanjut maka jumlah pasien dengan hipertensi kemungkinan besar juga

bertambah, di mana baik hipertensi sistolik maupun kombinasi hipertensi sistolik

dan diastolik sering timbul pada lebih dari separuh orang yang berusia > 65 tahun.

Selain itu, laju pengendalian tekanan darah yang dahulu terus meningkat dalam

dekade terakhir tidak menunjukkan kemajuan lagi (pola kurva mendatar) dan

pengendalian tekanan darah ini hanya mencapai 34% dari seluruh pasien

hipertensi.

Sampai saat ini, data hipertensi yang lengkap sebagian besar berasal dari

negara maju. Data dari The National Health and Nutrition Examination Survey

(NHNES) menunjukkan bahwa dari tahun ke 2005-2010, insiden hipertensi pada

orang dewasa adalah sekitar 29-31% yang berarti terdapat 58-65 juta orang

hipertensi di Amerika dan terjadi peningkatan 15 juta dari data tahun 2004-2008.

Hipertensi esensial sendiri merupakan 95% dari seluruh kasus hipertensi.13

46
2.3.3 Kriteria

Berdasarkan penyebabnya hipertensi dapat diklasifikasikan menjadi

hipertensi esensial/ primer dan hipertensi sekunder. Hipertensi esensial/primer

adalah hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya disebut sebagai hipertensi

esensial. Sedangkan hipertensi sekunder adalah hipertensi yang terjadi karena ada

suatu penyakit yang melatarbelakanginya.

Menurut The Seventh of The Joint National Committee on Prevention,

Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7) klasifikasi

tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi kelompok normal,

prehipertensi, hipertensi derajat 1, dan hipertensi derajat 2.14

Klasifikasi Tekanan Darah menurut JNC 7

Klasifikasi TDS (mmHg) TDD (mmHg)

Tekanan Darah

Normal < 120 Dan < 80

Prehipertensi 120-139 Atau 80-90

Hipertensi derajat 1 140-159 Atau 90-99

Hipertensi derajat 2 ≥ 160 Atau ≥ 100

Pasien dengan prehipertensi berisiko mengalami peningkatan tekanan

darah menjadi hipertensi, yang tekanan darahnya 130-139/80-89 mmHg

47
sepanjang hidupnya memiliki 2 kali risiko menjadi hipertensi dan mengalami

penyakit kardiovaskuler daripada yang tekanan darahnya lebih rendah.

Pada orang yang berumur lebih dari 50 tahun, tekanan darah sistolik > 140

mmHg merupakan faktor risiko yang lebih penting untuk terjadinya penyakit

kardiovaskuler daripada tekanan darah diastolik.

 Risiko penyakit kardiovaskuler dimulai pada tekanan darah 115/75 mmHg,

meningkat 2 kali dengan tiap kenaikan 20/10 mmHg.

 Risiko penyakit kardiovaskuler bersifat kontinyu, konsisten, dan independen

dari faktor risiko lainnya.

2.3.4 Klasifikasi

Berdasarkan Etiologinya

Hipertensi berdasarkan etiologi / penyebabnya dibagi menjadi 2 :

 Hipertensi Primer atau Esensial

Hipertensi primer atau yang disebut juga hipertensi esensial atau

idiopatik adalah hipertensi yang tidak diketahui

etiologinya/penyebabnya. 90% dari semua penyakit hipertensi

merupakan penyakit hipertensi esensial.

 Hipertensi Sekunder

Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang terjadi sebagai akibat

suatu penyakit, kondisi dan kebiasaan. Karena itu umumnya

hipertensi ini sudah diketahui penyebabnya. Terdapat 10% orang

menderita apa yang dinamakan hipertensi sekunder. Skitar 5-10%

48
penderita hipertensi penyebabnya adalah penyakit ginjal

(stenoisarteri renalis, pielonefritis, glomerulonefritis, tumor ginjal),

sekitar 1-2% adalah penyakit kelaian hormonal

(hiperaldosteronisme, sindroma cushing) dan sisanya akibat

pemakaian obat tertentu (steroid, pil KB).13

2.3.5 Faktor risiko

- Faktor Genetika (Riwayat keluarga)

Hipertensi merupakan suatu kondisi yang bersifat menurun dalam suatu

keluarga. Anak dengan orang tua hipertensi memiliki kemungkinan dua kali

lebih besar untuk menderita hipertensi daripada anak dengan orang tua yang

tekanan darahnya normal.

- Ras

Orang –orang yang hidup di masyarakat barat mengalami hipertensi secara

merata yang lebih tinggi dari pada orang berkulit putih. Hal ini kemungkinan

disebabkan karena tubuh mereka mengolah garam secara berbeda.

- Usia

Hipertensi lebih umum terjadi berkaitan dengan usia, Khususnya pada

maseyarakat yang banyak mengkonsumsi garam. Wanita pre – menopause

cenderung memiliki tekanan darah yang lebih tinggi daripada pria pada usia

yang sama, meskipun perbedaan diantara jenis kelamin kurang tampak setelah

usia 50 tahun. Penyebabnya, sebelum menopause, wanita relatif terlindungi

dari penyakit jantung oleh hormon estrogen. Kadar estrogen menurun setelah

menopause dan wanita mulai menyamai pria dalam hal penyakit jantung

49
- Jenis kelamin

Pria lebih banyak mengalami kemungkinan menderita hipertensi dari pada

wanita. Hipertensi berdasarkan jenis kelamin ini dapat pula dipengaruhi oleh

faktor psikologis. Pada pria seringkali dipicu oleh perilaku tidak sehat

(merokok, kelebihan berat badan), depresi dan rendahnya status pekerjaan.

Sedangkan pada wanita lebih berhubungan dengan pekerjaan yang

mempengaruhi faktor psikiskuat

- Stress psikis

Stress meningkatkan aktivitas saraf simpatis, peningkatan ini mempengaruhi

meningkatnya tekanan darah secara bertahap. Apabila stress berkepanjangan

dapat berakibat tekanan darah menjadi tetap tinggi. Secara fisiologis apabila

seseorang stress maka kelenjer pituitary otak akan menstimulus kelenjer

endokrin untuk mengahasilkan hormon adrenalin dan hidrokortison kedalam

darah sebagai bagian homeostasis tubuh. Penelitian di AS menemukan enam

penyebab utama kematian karena stress adalah PJK, kanker, paru-paru,

kecelakan, pengerasan hati dan bunuh diri.

- Obesitas

Pada orang yang obesitas terjadi peningkatan kerja pada jantung

untuk memompa darah agar dapat menggerakan beban berlebih dari tubuh

tersebut. Berat badan yang berlebihan menyebabkan bertambahnya volume

darah dan perluasan sistem sirkulasi. Bila bobot ekstra dihilangkan, TD dapat

turun lebih kurang 0,7/1,5 mmHg setiap kg penurunan berat badan. Mereduksi

50
berat badan hingga 5-10% dari bobot total tubuh dapat menurunkan resiko

kardiovaskular secara signifikan.

- Asupan garam Na

Ion natrium mengakibatkan retensi air, sehingga volume darah bertambahdan

menyebabkan daya tahan pembuluh meningkat. Juga memperkuat

efek vasokonstriksi noradrenalin. Secara statistika, ternyata bahwa pada

kelompok penduduk yang mengkonsumsi terlalu banyak garam terdapat lebih

banyak hipertensi daripada orang-orang yang memakan hanya sedikit garam.

- Rokok

Nikotin dalam tembakau adalah penyebab tekanan darah meningkat. Hal ini

karena nikotin terserap oleh pembuluh darah yang kecil dalam paru – paru dan

disebarkan keseluruh aliran darah. Hanya dibutuhkan waktu 10 detik bagi

nikotin untuk sampai ke otak. Otak bereaksi terhadap nikotin dengan

memberikan sinyal kepada kelenjer adrenal untuk melepaskan efinephrine

(adrenalin). Hormon yang sangat kuat ini menyempitkan pembuluh darah,

sehingga memaksa jantung untuk memompa lebih keras dibawah tekanan

yang lebih tinggi.

- Konsumsi alcohol

Alkohol memiliki pengaruh terhadap tekanan darah, dan secara keseluruhan

semakin banyak alkohol yang di minum semakin tinggi tekanan darah. Tapi

pada orang yang tidak meminum minuman keras memiliki tekanan darah yang

agak lebih tinggi dari pada yang meminum dengan jumlah yang sedikit.

51
2.3.6 Manifestasi Klinis

Pada sebagian besar penderita, hipertensi tidak menimbulkan gejala

walaupun secara tidak sengaja beberapa gejala terjadi bersamaan dan dipercaya

berhubungan dengan tekanan darah tinggi. Gejala yang dimaksud adalah sakit

kepala, perdarahan dari hidung, pusing, wajah kemerahan, dan kelelahan yang

bisa saja terjadi baik pada penderita hipertensi maupun pada seseorang dengan

tekanan darah yang normal.

Jika hipertensinya berat atau menahun dan tidak diobati, bisa timbul gejala

berikut:

 Sakit kepala

 Kelelahan

 Mual-muntah

 Sesak napas

 Gelisah

 Pandangan menjadi kabur yang terjadi karena adanya kerusakan pada otak,

mata, jantung, dan ginjal

 Kadang penderita hipertensi berat mengalami penurunan kesadaran dan

bahkan koma karena terjadi pembengkakan otak disebut ensefalopati

hipertensif yang memerlukan penanganan segera

2.3.7 Diagnosis

1. Anamnesis

Anamnesis yang perlu ditanyakan kepada seorang penderita hipertensi

meliputi:

52
a. Lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah

b. Indikasi adanya hipertensi sekunder

 Keluarga dengan riwayat penyakit ginjal (ginjal polikistik)

 Adanya penyakit ginjal, infeksi saluran kemih hematuri,

pemakaian oba-obatan analgesic dan obat/ bahan lain.

 Episode berkeringat, sakit kepala, kecemasan palpitasi

(feokromositoma).

c. Faktor-faktor resiko (riwayat hipertensi/ kardiovaskular pada pasien

atau keluarga pasien, riwayat hiperlipidemia, riwayat diabetes

mellitus, kebiasaan merokok, pola makan, kegemukan, insentitas

olahraga)

d. Gejala kerusakan organ

 Otak dan mata: sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan,

transient ischemic attacks, defisit neurologis

 Jantung: Palpitasi,nyeri dada, sesak, bengkak di kaki

 Ginjal: Poliuria, nokturia, hematuria

e. Riwayat pengobatan antihipertensi sebelumnya

2. Pemeriksaan Fisik

a. Memeriksa tekanan darah

b. Evaluasi penyakit penyerta kerusakan organ target serta kemungkinan

hipertensi sekunder

53
Umumnya untuk penegakkan diagnosis hipertensi diperlukan

pengukuran tekanan darah minimal 2 kali dengan jarak 1 minggu bila tekanan

darah < 160/100 mmHg.

3. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang pasien hipertensi terdiri dari:

 Tes darah rutin (hemoglobin, hematokrit, leukosit, trombosit)

 Urinalisis terutama untuk deteksi adanya darah, protein, gula

 Profil lipid (total kolesterol (kolesterol total serum, HDL serum, LDL

serum, trigliserida serum)

 Elektrolit (kalium)

 Fungsi ginjal (Ureum dan kreatinin)

 Asam urat (serum)

 Gula darah (sewaktu/ puasa dengan 2 jam PP)

 Elektrokardiografi (EKG)

Beberapa anjurantest lainnya seperti:

 Ekokardiografi jika diduga adanya kerusakan organ sasaran seperti adanya

LVH

 Plasma rennin activity (PRA), aldosteron, katekolamin urin

 Ultrasonografi pembuluh darah besar (karotis dan femoral)

 Ultrasonografi ginjal jika diduga adanya kelainan ginjal

 Pemeriksaaan neurologis untuk mengetahui kerusakan pada otak

 Funduskopi untuk mengetahui kerusakan pada mata

54
 Mikroalbuminuria atau perbandingan albumin/kreatinin urin

 Foto thorax.15

2.3.9 Tatalaksana

1. Terapi non obat (non farmakologi)

Terapi non farmakologi adalah terapi yang dilakukan dengan cara pola hidup

sehat untuk menurunkan tekanan darah, mencegah peningkatan tekanan darah

dan mengurangi resiko kardiovaskuler secara keseluruhan, meliputi:

a) Penurunan berat badan jika gemuk.

b) Membatasi atau mengurangi natrium menjadi 2,3 gram atau < 6 gram

NaCl sehari.

c) Latihan olah raga secara teratur.

d) Membatasi konsumsi alkohol

e) Berhenti merokok dan mengurangi makanan kolesterol, agar dapat

menurunkan resiko kardiovaskuler yang berkaitan1

Gambar. Skema Dalam Penanganan Hipertens

55
2. Terapi obat-obatan (farmakologi)

Selain tindakan umum seperti terapi diatas, pada hipertensi lebih berat

perlu ditambahkan obat-obat hipertensi untuk menormalkan tekanan darah.12

Tujuan terapi hipertensi adalah untuk mencegah terjadinya morbiditas

dan mortalitas akibat tekanan darah tinggi. Tekanan darah harus diturunkan

serendah mungkin yang tidak menggangu fungsi ginjal, otak, jantung, maupun

kualitas hidup. Terapi dengan hipertensi harus selalu dimulai dengan dosis

rendah agar darah jangan menurun terlalu drastis atau mendadak. Kemudian,

setiap 1-2 minggu dosis berangsur-angsur dinaikan sampai tercapai efek yang

diinginkan (metode: starts low, go slow). Begitu pula penghentian terapi harus

secara berangsur pula.13

Antihipertensi hanya menghilangkan gejala tekanan darah tinggi dan

tidak penyebabnya. Maka, obat pada hakikatnya harus diminum seumur

hidup, tetapi setelah beberapa waktu dosis pemeliharaan pada umumnya dapat

diturunkan.12

Pemberian antihipertensi pada penderita usia lanjut harus hati-hati

karena pada mereka ini terdapat : penurunan reflek baroreseptor sehingga

mereka lebih mudah mengalami hipotensi artostatik, gangguan autoregulasi

otak sehingga iskemia serebral mudah terjadi dengan hanya sedikit penurunan

tekanan darah sistemik, penurunan fungsi ginjal dan hati sehingga terjadi

akumulasi obat, pengurangan volume intravaskuler sehingga lebih sensitivitas

terhadap hipokalemia sehingga mudah terjadi aritmia dan kelemahan otot.13

56
Obat-obat yang digunakan untuk pengobatan hipertensi digolongkan

berdasarkan pengetahuan patologisnya. Macam-macam obat antihipertensi,

yaitu:

a. Diuretik

b. α 1-Blokers (Antagonis Adrenoreseptor)

c. β-Blokers (Penghambat Adrenoresptor)

d. Calsium Channel Bloker

e. Inhibitor (ACEi)

f. Angiotensin II Antagonists

g. Direct Vasodilator14

2.3.10 Komplikasi

Adapun komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh hipertensi antara lain:

a. Otak : Stroke

b. Jantung : Aterosklerosis, penyakit jantung koroner, gagal jantung

c. Mata : Kebutaan (pecahnya pembuluh darah pada mata)

d. Paru-paru : Edema paru

e. Ginjal : Penyakit ginjal kronik

f. Sistemik :Penyakit arteri perifer atau penyakit oklusi arteri perifer

2.3.11 Prognosis

Hipertensi dapat dikendalikan dengan baik dengan pengobatan yang tepat.

Terapi dengan kombinasi perubahan gaya hidup dan obat-obatan antihipertensi

biasanya dapat menjaga tekanan darah pada tingkat yang tidak akan menyebabkan

kerusakan pada jantung atau organ lain.

57
BAB III

LAPORAN KASUS

Anamnesis Pribadi

Nama : Sutrisno

Umur : 52 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Status Kawin : Menikah

Agama : Islam

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Jl. Ambai no 21 Medan

Suku : Jawa

Anamnesa Penyakit

Keluhan Utama : Sesak Nafas

Telaah : Pasien datang ke Rumah Sakit Haji Medan dengan

keluhan sesak nafas sejak + 3 bulan yang lalu dan memberat

dalam 5 hari ini. Sesak nafas dirasakan memberat saat

aktivitas dan dalam posisi berbaring. Sesak nafas berkurang

saat istirahat dalam posisi setengah duduk atau meninggikan

sandaran. Sesak nafas tidak disertai dengan mengi. Sesak

nafas tidak dipengaruhi oleh cuaca.

58
Pasien juga mengeluh mual sejak 3 hari yang lalu, mual

disertai muntah. Muntah 1 sampai 3 kali sehari, banyaknya

kurang lebih 1/4 aqua gelas berisi apa yang dimakan dan

diminum, muntah disertai darah disangkal.

Pasien juga mengeluhkan bengkak di kedua kaki sejak

3 hari yang lalu. Bengkak semakin hari semakin bertambah

berat. Selain itu, pasien juga mengeluh badan lemas sejak 1

minggu yang lalu, lemas dikeluhkan setiap saat, dan keluahan

lemas semakin memberat saat pasien melakukan banyak

aktivitas.

Pasien mengaku memiliki riwayat penyakit gula sejak 7

tahun yang lalu. Pasien juga memiliki riwayat hipertensi,

asam urat dan kolesterol tinggi sejak 5 tahun yang lalu.

BAK : (+) 2-3 kali/ hari, seikit-sedikit, sebanyak ½ aqua gelas

dalam 1 kali kencing, bewarna kuning pekat, tidak

disertai nyeri

BAB : (+) normal, 1 kali hari, konsistensi padat, warna kuning

kecoklatan

RPT : DM, hipertensi, asam urat tinggi, kolesterol tinggi

RPK : Ibu pasien memiliki hipertensi

RPO : pasien lupa nama obat.

59
Anamnesa Umum

- Badan kurang enak : ya - Tidur : terganggu

- Merasa Lemas : ya - Berat badan : menurun

- Merasa kurang sehat : ya - Malas : tidak

- Menggigil : tidak - Demam : tidak

- Nafsu makan : menurun - Pening : ya

Anamnesa organ

1. Cor

- Dyspneu d’effort : tidak - Cyanosis : tidak

- Dyspnea d’repos : tidak - Angina pectoris : tidak

- Oedema : tidak - Palpitasi cordis : tidak

- Nokturia : tidak - Asma Cardiale : tidak

2. Sirkulasi perifer

- Claudicatio intermitten: tidak - Gangguan tropis : tidak

- Sakit waktu istirahat : tidak - Kebas- kebas : ya

- Rasa mati Ujung jari : tidak

3. Traktus respiratorius

- Batuk : tidak - Stidor : tidak

- Berdahak :tidak - sesak nafas : ya

- Haemoptoe : tidak - Pernafasan cuping hidung : tidak

- Sakit dada waktu bernafas :tidak - Suara parau : tidak

60
4. Traktus digestivus

a. Lambung

- Sakit di epigastrium : tidak - Sendawa :tidak

- Rasa panas di epigastrium : tidak - Anoreksia : ya

- Muntah : ya, 1-3 kali/hari - Mual-mual : ya

- Hematemesis : tidak - Dysphagia : tidak

- Ructus : tidak - Feotor ex ore : tidak

- Pyrosis : tidak

b. Usus

- Sakit di abdomen : tidak - Melena :tidak

- Borborygmi : tidak - Tenesmi : tidak

- Defekasi : ya, 1x/hari - Flatulensi : tidak

- Obstipasi : tidak - Haemorrhoid : tidak

- Diare : tidak

c. Hati dan Saluran empedu

- Sakit perut kanan : tidak - Gatal dikulit : tidak

- Kolik : tidak - Asites : tidak

- Icterus : tidak - Oedema : tidak

- Berak dempul : tidak

5. Ginjal dan saluran kencing

- Muka sembab : tidak - Sakit pinggang : tidak

- Kolik : tidak - Oligouria : ya

- Miksi : ya 2-3 x/hari,

61
sedikit-sedikit,

kuning jernih - Anuria : tidak

- Poliuria : tidak - Polakisuria : tidak

6. Sendi

- Sakit : tidak - Sakit digerakan : tidak

- Sendi kaku : tidak - Bangkak : tidak

- Merah : tidak - Stand abnormal : tidak

7. Tulang

- Sakit : tidak - Fraktur spontan : tidak

- Bengkak : tidak - Deformitas : tidak

8. Otot

- Sakit : tidak - kejang-kejang : tidak

- Kebas-kebas : ya - Atrofi : tidak

9. Darah

- Sakit dimulut dan lidah : tidak - Muka pucat : ya

- Mata berkunang-kunang: tidak - Bengkak : tidak

- Pembengkakan kelenjar : tidak - Penyakit darah : tidak

- Merah dikulit : tidak - Perdarahan subkutan : tidak

10. Endokrin

a. Pankreas

- Polidipsi : tidak - Pruritus : tidak

- Polifagi : tidak - Pyorrhea : tidak

- Poliuri : tidak

62
b. Tiroid

- Nervositas : tidak - struma : tidak

- Exoftalmus : tidak - miksoderm : tidak

c. Hipofisis

- Akromegali : tidak - distrofi adipos kongenital : tidak

11. Fungsi genital

- Menarche :- - Ereksi : tidak ditanyakan

- Siklus Haid :- - Libido sexual : tidak ditanyakan

- Menopause :-

- G/P/AB :- - Coitus : tidak ditanyakan

12. Susunan syaraf

- Hipoastesia : tidak - Sakit kepala : tidak

- Parastesia : tidak - Gerakan tics : tidak

- Spasme : tidak - Paralisis : tidak

13. Panca indra

- Penglihatan : normal - Pengecapan : normal

- Pendengaran : normal - Perasa : normal

- Penciuman : normal

14. Psikis

- Mudah tersinggung : tidak - Pelupa : tidak

- Takut : tidak - Lekas marah : tidak

- Gelisah : tidak

63
15. Keadaan sosial

- Pekerjaan : wiraswasta

- Hygiene : baik

Anamnesa Penyakit terdahulu

Asam urat, hiperkolesterol, hipertensi, DM

Riwayat pemakaian Obat

Pasien lupa nama obat

Anamnesa penyakit Veneris

- Bengkak kelenjar regional : tidak Pyuria : tidak

- Luka-luka di kemaluan : tidak Bisul- bisul : tidak

Anamnesa Intoksikasi

Tidak ada

Anamnesa Makanan

- Nasi : ya, frekuensi 3 x/ Hari - Sayur sayuran : tidak

- Ikan : ya - Daging : ya

Anamnesa Family

- Penyakit-penyakit family : ibu pasien memiliki hipertensi

- Penyakit seperti orang sakit : tidak ada

- Anak-anak: 1, Hidup: 1, Mati: 0

64
STATUS PRESENT

Keadaan Umum

- Sensorium : Compos Mentis

- Tekanan Darah : 160/110 mmHg

- Temperatur : 36,5 C

- Pernafasan : 24 x/ menit

- Nadi : 84 x/ menit

Keadaan Penyakit

- Anemi : ya - Eritema : tidak

- Ikterus : tidak - Turgor : baik

- Sianosis : tidak - Gerakan Aktif : ya

- Dispnoe : ya - Sikap tidur paksa: ya

- Edem : ya, kedua ekstremitas inferior

Keadaan Gizi

BB: 80 Kg TB: 170 cm


80
RBW = BB x 100% = 170−100 x 100% = 114 %

TB– 100

Kesan : Overweight

IMT = BB/ (TB/100)2 = 80/1,72 = 27,6 kg/m2

Kesan : Overweight

Pemeriksaan Fisik

1. Kepala

65
- Pertumbuhan rambut : normal

- Sakit kalau dipegang : tidak

- Perubahan lokal : tidak

a. Muka

- Sembab : tidak Parese : tidak

- Pucat : ya gangguan lokal : tidak

- Kuning : tidak

b. Mata

- Stand Mata : normal - Ikterus : tidak

- Gerakan : kesegala arah - Anemia : tidak

- Exoftalmos : tidak - Reaksi pupil : ya, RC (+/+)

diameter 3 mm

- Ptosis : tidak - Gangguan lokal : tidak

c. Telinga

- Sekret : tidak - Bentuk : Normal

- Radang : tidak - Atrofi : tidak

d. Hidung

- Sekret : tidak - Benjolan-benjolan : tidak

- Bentuk : Normal

e. Bibir

- Sianosis : tidak - Kering : tidak

- Pucat : tidak - Radang : tidak

f. Gigi

66
- Karies : tidak - Jumlah : tidak dihitung

- Pertumbuhan : Normal - Pyorroe alveolaris : tidak

g. Lidah

- Kering : tidak - Beslag : tidak

- Pucat : tidak - Tremor : tidak

h. Tonsil

- Merah : tidak - Membran : tidak ada

- Bengkak : tidak - Angina lacunaris : tidak

- Beslag : tidak

2. Leher

Inspeksi :

- Struma : tidak - Torticolis : tidak

- Kelenjar bengkak : tidak - Venektasi : tidak

- Pulsasi Vena : tidak

Palpasi

- Posisi trachea : Medial - TVJ : R-2cm H2O

- Sakit/ nyeri tekan: tidak - Kosta servikalis : tidak

3. Thorax depan

Inspeksi

- Bentuk : Fusiformis - Venektasi : tidak

- Simetris/asimetris: simetris - Pembengkakan : tidak

- Bendungan Vena : tidak - Pulsasi verbal : tidak

- Ketinggalan bernafas : tidak - Mammae : Normal

67
Palpasi

- Nyeri tekan : tidak - Iktus : tidak teraba

- Fremitus suara : kanan=kiri

Kesan : normal a. Lokasi :-

- Fremissement : tidak b. Kuat angkat : -

Perkusi

- Suara perkusi paru : Sonor - Gerakan bebas : 2 cm

- Batas Jantung : - Batas paru hati :

- A. Atas : ICS II linea parasternal sinistra a. Relatif : ICS V

- B. Kanan : ICS IV linea sternalis dextra b. Absolut : ICS VI

- C. Kiri : ICS V 1 cm medial dari linea

Midclavicula sinistra

Auskultasi

- Paru –paru

o Suara pernafasan : Vesikuler

o Suara Tambahan : (-)

- Cor :

o Heart Rate : 84 x/i reguler intensitas sedang

o Suara katup : (M1 > M2), (A2>A1), (P2 > P1), (A2>P2)

o Suara tambahan : Tidak ada

4. Thorax belakang

Inspeksi

- Bentuk : Fusiformis Scapulae alta : tidak

68
- Simetris/tidak : simetris Ketinggalan bernafas: tidak

- Benjolan : tidak Venektasi : tidak

Terdapat makula hipopigmentasi di scapula

Palpasi

- Nyeri tekan : tidak Penonjolan : tidak

- Fremitus suara : kanan=kiri

kesan : normal

Perkusi

- Suara perkusi paru: sonor kedua lapang paru

- Gerakan bebas : 2 cm

- Batas bawah paru:

- A. Kanan : Proc. Spinosus Vertebra VIII

- B. Kiri : Proc. Spinosus Vertebra IX

Aukultasi

- Pernafasan : Vesikuler di kedua lapangan paru

- Suara tambahan : (-)

69
5. Abdomen

Inspeksi

- Bengkak : tidak

- Venektasi : tidak

- Gembung : tidak

- Sirkulasi Collateral : tidak

- Pulsasi : tidak

Palpasi

- Defens muskular : tidak

- Nyeri tekan : tidak

- Lien : tidak teraba

- Ren : tidak teraba

- Hepar : tidak teraba

Perkusi

- Pekak hati : ya

- Pekak beralih : tidak

Auskultasi

- Peristaltik usus : 6 x/menit

6. Genitalia

- luka : tidak diperiksa

- sikatrik : tidak diperiksa

- nanah : tidak diperiksa

- hernia : tidak diperiksa

70
7. Extremitas

a. Atas Kanan Kiri

- Bengkak : tidak tidak

- Merah : tidak tidak

- Stand abnormal : tidak tidak

- Gangguan fungsi : tidak tidak

- Tes Rumpelit :- -

- Refleks :

o Bisep : ++ ++

o Trisep : ++ ++

- Radio periost : ++ ++

b. Bawah

- Bengkak : tidak tidak

- Merah : tidak tidak

- Eodema : ya ya

- Pucat : tidak tidak

- Gangguan fungsi : tidak tidak

- Luka/gangren : tidak tidak

- Varises : tidak tidak

- Refleks

o KPR : ++ ++

o APR : ++ ++

o Struple :+ +

71
PEMERIKSAAN LABORATORIUM RUTIN

Tanggal : 07-07-2017

Nama : Sutrisno

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

Hematologi

Darah Rutin

Haemoglobin 9,6 g/dl 13-18

Hitung Eritrosit 3,6 106/ul 4.5-6.5

Hitung Leukosit 8500 /ul 4000-11.000

Hematokrit 31,0 % 40-54

Hitung trombosit 314.000 /ul 150.000-450.000

Index Eritrosit

MCV 87,1 Fl 80-96

MCH 26,6 Pg 27-31

MCHC 30,6 % 30-34

Hitung Jenis Leukosit

Eosinofil 2 % 1-3

Basofil 0 % 0-1

N. Stab 0 % 2-6

N. Seg 77 % 53-75

Limfosit 16 % 20-45

Monosit 5 % 4-8

72
LED 45 Mm/jam 0-10

KIMIA KLINIK

Glukosa Darah

Glukosa Darah sewaktu 60 mg/dL < 140

Fungsi Ginjal

Ureum 98 mg/dl 20-140

Kreatinin 7,01 mg/dl 0,6-1.1

Asam Urat 13,9 mg/dl 3,4-7,0

Elektrolit

Natrium 139 mEq/L 135-155

Kalium 5,2 mEq/L 3.5-5.5

Chlorida 103 mEq/L 98-106

URINE

Urin Rutin

Makroskopis

Warna Kuning Kuning

Kejernihan Keruh Jernih

pH 6,0 4,6-8,0

Berat Jenis 1,030 1,013-1030

Leukocyte esterase Negatif /LPB

Protein 1+ Negatif

Glukosa Negatif Negatif

73
Nitrit Negatif Negatif

Bilirubin Negatif Negatif

Urobilinogen Negatif UE 0,1-1

RESUME

Anamnesis

- Keluhan utama : Dispnoe

- Telaah : Pasien datang ke Rumah sakit Haji Medan dengan keluhan :

- Dispnoe, sejak 5 bulan ini dan semakin memberat dalam 5

hari ini

- Nausea, sejak 3 hari ini

- Vomiting, sejak 3 hari ini,1-3 kali/hari, 1/4 aqua gelas,

berisi apa yang dimakn dan minum

- Oedem kedua ekstremitas inferior sejak 3 hari ini

- Lemas, sejak 1 minggu ini

- Anoreksia

BAK : (+) 2-3 kali/ hari, seikit-sedikit, sebanyak ½ gelas aqua

dalam 1 kali kencing, bewarna kuning pekat, tidak

disertai nyeri

BAB : (+) normal, 1 kali hari, konsistensi padat, warna

kuning kecoklatan

RPT : Hiperurisemia, hiperkolesterol, DM dan Hipertensi

74
RPK : kakak pasien memiliki hipertensi

RPO : pasien lupa nama obat.

Status Present

Keadaan umum Keadaan penyakit Keadaan gizi

Sensoriun: Compos Mentis Anemia : ya TB : 170 cm

Tekanan Darah: 160/110mmHg Ikterus : tidak BB : 80 kg

Nadi: 84x / menit Sianosis : tidak

Nafas: 24 x/ menit Dyspnea : ya RBW= BB x 100%

Suhu: 36,50 C Edema : ya, kedua TB - 100

ekstremitas inferiot = 114 %

Eritema : tidak Kesan : overweight

Turgor : Baik IMT = BB/ (TB/100)2 =

Gerakan aktif : ya 80/1,72 = 27,6 kg/m2

Sikap tidur paksa : ya Kesan : overweight

Pemeriksaan Fisik

Kepala : muka pucat

Leher : Dalam Batas Normal

Thorax : Dalam Batas Normal

Abdomen : Dalam Batas Normal

Extremitas : Superior : dalam batas normal

Inferior : edema kedua ekstremitas

75
Pemeriksaan laboratorium

Darah :

Hemoglobin menurun, eritrosit menurun, hematokrit menurun, MCH menurun, N.

Stab menurun, N. Seg meningkat, limfosit menurun, LED meningkat, ureum

meningkat, kreatinin meningkat, asam urat meningkat

Urin :

Protein 1+

Diagnosa Banding

1. Chronic Kidney Disease stage V e.c diabetikum nefropati + anemia e.c penyakit

kronik + Hipertensi stage II + Diabetes Melitus tipe 2

2. Chronic Kidney Disease stage V e.c hipertensi nefropati + anemia defisiensi besi

+ Hipetensi stage II + Diabetes Melitus tipe 2

3. Chronic Kidney Disease stage V e.c penyakit ginjal obstruksi infeksi + anemia e.c

defisiensi B12 + Hipertensi stage II + Diabetes Melitus tipe 2

4. Chronic Kidnes Disease stage V e.c Glomerulonefritis + anemia e.c perdarahan +

hipertensi stage II + Diabetes Melitus tipe 2

5. Chronic Kidney Disease stage V e.c Pielonefritis + anemia e.c hemolitik +

hipertensi stage II + Diabetes Melitus tipe 2

Diagnosis Sementara

Chronic Kidney Disease stage V e.c diabetikum nefropati + anemia e.c penyakit

kronik + Hipertensi stage II + Diabetes Melitus tipe 2

76
Terapi

 Aktivitas tirah baring

 Diet  Diet Ginjal

 Medikamentosa

- IVFD Nacl 0,9% 10 gtt/menit

- Inj. Ranitidin 50 mg /12 jam

- Inj. Ondansetron 8mg / 8 jam

- Inj. Glukosa 40 %

- Inj. Furosemide 10 mg/12 jam

- Amplodipin tablet 1 x 10 mg

- Curcuma 2x1

Pemeriksaan Anjuran/ Usul

- Darah rutin

- Elektrolit

- Fungsi ginjal

- Fungsi hati

- KGD

- USG Ginjal

- Urin Rutin

77
DISKUSI KASUS CKD

Teori Kasus

Anamnesa Anamnesa

- Mual - Mual (+)

- Muntah - Muntah (+)

- Sesak nafas - Sesak Nafas (+)

- Oedem pada periorbita dan tungkai - Oedem pada tungkai (+)

- Anemia / pucat - Anemia/pucat (+)

Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Fisik

 Keadaan umum  Keadaan umum

Sensoriun : compos mentis Sensoriun : Compos Mentis

Tekanan Darah : >140/90 mmHg Tekanan Darah : 160/110 mmHg

Hate rate : 60-100x/menit Hate rate : 84x / menit

Respirasi : 16-24x/menit Respirasi : 24 x/ menit

Temperature : 36,5-37,5 c Temperature : 36,50 C

 Keadaan penyakit  Keadaan penyakit

Anemia : ya Anemia : ya

Ikterus : tidak Ikterus :tidak

Sianosis : tidak Sianosis : tidak

Dyspnea : ya Dyspnea : ya

Edema : ya Edema : ya

Eritema : tidak Eritema : tidak

78
Turgor : baik Turgor : baik

Gerakan aktif: ya Gerakan aktif: ya

Sikap tidur paksa : ya Sikap tidur paksa : ya

 Keadaan gizi  Keadaan gizi

TB : cm TB : 170 cm

BB : kg BB : 80 kg

RBW= BB x 100% RBW= BB x 100%

TB - 100 TB - 100

=90-110% = 114%

Kesan :normoweight Kesan : overweight

IMT = BB/ (TB/100)2 = 18,5-24,9 kg/ IMT = BB/ (TB/100)2 = 80/1,72 = 27,6

m2 kg/m2

Kesan : normoweight Kesan : overweight

Kepala : Dalam Batas Normal Kepala : muka pucat

Leher : Dalam Batas Normal Leher : Dalam Batas Normal

Thorax : Dalam Batas Normal atau Thorax : Dalam batas normal

terdapat ronkhi basah basal (+) Abdomen: Dalam Batas Normal

Abdomen: Dalam Batas Normal Extremitas: edema kedua ekstremitas

Extremitas: edema inferior

Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan Laboratorium

79
 Darah Rutin :  Darah Rutin :

- Hemoglobin = 12-16 g/dL, - Hemoglobin = 9,6 g/dL,

- Hitung Eritrosit = 4,5-6,5 x 106/ul - Hitung Eritrosit = 3,6 x 106/ul

- Hitung Leukosit = 4.000-11.000/ul, - Hematokrit = 31,0%,

- Hematokrit = 36-47%, - MCH = 26,6 Pg

- N.stab = 2-6 %, N.Seg = 53-75%, - N.Stab = 0%, N.Seg = 77%,

- Limfosit = 20-45%, - Limfosit = 16%,

- LED = 45 mm/jam

 Fungsi Ginjal :  Fungsi Ginjal :

- Kreatinin = 0,6-1,1mg/dl - Kreatinin = 7,01 mg/dl

- Ureum = 98 mg/dl

 Elektrolit :  Elektrolit :

- Natrium = 135-155mEq/L - Natrium = 139mEq/L

- Chlorida = 98-106mEq/L - Chlorida = 103mEq/L

Diagnosa Banding Diagnosa Banding

1. CKD Stage V 1. CKD Stage V

2. Diabetes Mellitus 2. Diabetes Mellitus

3. Hipertensi 3. Hipertensi

Diagnosa Diagnosa

CKD Stage V CKD Stage V

Penatalaksanaan Penatalaksanaan

80
 Terapi Nonmedikamentosa  Terapi Nonmedikamentosa

 Aktivitas tirah baring  Aktivitas tirah baring

 Diet diet ginjal  Diet diet ginjal

 Terapi Medikamentosa  Terapi Medikamentosa

 IVFD Nacl 20 gtt/menit  IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/menit

 Penghambat ACE atau  Inj. Furosemid 1 amp/12 jam

antagonis reseptor  Amplodipin tablet 1 x 10 mg

angiotensin II (Valsartan

80mg) evaluasi kreatinin dan kalium serum, bila t

 Penghambat kalsium

(Amplodipin 10 mg)

 Diuretik

Komplikasi CKD Komplikasi CKD

1. Hiperkalemi akibat penurunan 1. Tidak ditemukan adanya hiperkalemi,

sekresi asidosis metabolik, sekresi asidosis metabolik, katabolisme,

katabolisme, dan masukan diet dan masukan diet berlebih.

berlebih. 2. Tidak ditemukan prikarditis, efusi

2. Prikarditis, efusi perikardinal, dan perikardinal, dan tamponade jantung

tamponade jantung akibat retensi akibat retensi produk sampah uremik

produk sampah uremik dan dialisis dan dialisis yang tidak adekuat.

yang tidak adekuat. 3. Ditemukan hipertensi akibat retensi

3. Hipertensi akibat retensi cairan dan cairan dan natrium serta malfungsi

81
natrium serta malfungsi sistem sistem renin angiotensin aldosteron.

renin angiotensin aldosteron. 4. Ditemukan anemia akibat penurunan

4. Anemia akibat penurunan eritropoitin.

eritropoitin. 5. Tidak ditemukan penyakit tulang serta

5. Penyakit tulang serta klasifikasi klasifikasi metabolik akibat retensi

metabolik akibat retensi fosfat, fosfat, kadar kalsium serum yang

kadar kalsium serum yang rendah, rendah, metabolisme vitamin D yang

metabolisme vitamin D yang abnormal dan peningkatan kadar

abnormal dan peningkatan kadar alumunium akibat peningkatan nitrogen

alumunium akibat peningkatan dan ion anorganik.

nitrogen dan ion anorganik. 6. Ditemukan uremia akibat peningkatan

6. Uremia akibat peningkatan kadar kadar ureum dalam tubuh.

ureum dalam tubuh. 7. Tidak ditemukan Gagal jantung akibat

7. Gagal jantung akibat peningkatan peningkatan kerja jantung yang

kerja jantung yang berlebihan. berlebihan.

8. Malnutrisi karena anoreksia, mual, 8. Tidak ditemukan malnutrisi karena

dan muntah. anoreksia, mual, dan muntah.

9. Hiperparatiroid, hiperkalemia, dan 9. Tidak ditemukan hiperparatiroid,

hiperfosfatemia. hiperkalemia, dan hiperfosfatemia.

Prognosis Prognosis

- Dubia et bonam (Baik) - Dubia et malam (Buruk)

- Prognosis gagal ginjal kronik pada - Pada pasien kasus ini prognosis gagal

82
usia lanjut kurang begitu baik jika ginjal kronik pada usia lanjut kurang

dibandingkan dengan prognosis begitu baik jika dibandingkan dengan

gagal ginjal kronik pada usia muda prognosis gagal ginjal kronik pada usia

muda

Pencegahan Pencegahan

 Pengobatan hipertensi yaitu makin  Pasien dapat melakukan pengobatan

rendah tekanan darah makin kecil hipertensi agar makin rendah tekanan

risiko penurunan fungsi ginjal. darah makin kecil risiko penurunan

fungsi ginjal.

 Pengendalian gula darah, lemak  Pasien dapat mengendalikan gula

darah, dan anemia. darah, lemak darah, dan anemia.

 Penghentian merokok.  Penghentian Merokok.

 Peningkatan aktivitas fisik.  Pasien bisa berolahraga agar

peningkatan aktivitas fisiknya baik.

 Pengendalian berat badan.  Pasien bisa mengontrol berat badan.

 Obat penghambat sistem renin  Pasien dapat meminum obat

angiotensin seperti penghambat penghambat sistem renin angiotensin

ACE (angiotensin converting seperti penghambat ACE (angiotensin

enzyme) dan penyekat reseptor converting enzyme) dan penyekat

angiotensin telah terbukti dapat reseptor angiotensin telah terbukti

mencegah dan menghambat dapat mencegah dan menghambat

proteinuria dan penurunan fungsi proteinuria dan penurunan fungsi

83
ginjal. ginjal.

Edukasi Edukasi

1. Banyak istirahat 1. Banyak istirahat

2. Banyak minum air putih 2. Banyak minum air putih

3. Hindari makan daging 3. Hindari makan daging

4. Hindari makan banyak garam 4. Hindari makan banyak garam

84
DISKUSI KASUS DM TIPE 2

Teori Kasus

Anamnesis Anamnesis

- Polifagi - Tidak ditemukan polifagi

- polidipsi - Tidak ditemukan polidipsi

- poliuri - Tidak ditemukan poliuri

- penurunan berat badan tanpa sebab - Penurunan berat badan

- pruritus vulva - Tidak ditemukan pruritus vulva

- kebas pada ektremitas - Kebas kedua ektremitas inferior

Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Fisik

 Keadaan umum  Keadaan umum

Sensoriun : compos mentis Sensoriun : Compos Mentis

Tekanan Darah : normotensi Tekanan Darah : 160/110 mmHg

Hate rate : 80-100x/menit Hate rate : 84x / menit

Respirasi : 16-24x/menit Respirasi : 24 x/ menit

Temperature : 36,5-37,5 c Temperature : 36,50 C

 Keadaan penyakit  Keadaan penyakit

Anemia : ? Anemia : ya

Ikterus : tidak Ikterus : tidak

Sianosis : tidak Sianosis : tidak

Dyspnea : tidak Dyspnea : ya

Edema : tidak Edema : ya kedua ekstremitas inferior

85
Eritema : tidak Eritema : tidak

Turgor : baik Turgor : baik

Gerakan aktif: ya Gerakan aktif: ya

Sikap tidur paksa : tidak Sikap tidur paksa : ya

 Keadaan gizi  Keadaan gizi

TB : cm TB : 170 cm

BB : kg BB : 80 kg

RBW= BB x 100% RBW= BB x 100%

TB – 100 TB - 100

=90-100% = 114 %

Kesan : normoweight Kesan : overweight

IMT = BB/ (TB/100)2 =18,5-24,9 kg/ IMT = BB/ (TB/100)2 = 80/1,72 = 27,6

m2 kg/m2

Kesan : normoweight Kesan : overweight

Kepala : Dalam Batas Normal Kepala : muka pucat

Leher : Dalam Batas Normal Leher : Dalam Batas Normal

Thorax : Dalam Batas Normal Thorax : Dalam Batas Normal

Abdomen: Dalam Batas Normal

Abdomen: Dalam Batas Normal Extremitas: Edema kedua ekstremitas

Extremitas: Dalam Batas Normal inferior

Pemeriksaan Laboratorium: Pemeriksaan Laboratorium:

86
- Peningkatan kadar gula darah puasa - Tidak dilakukan pemeriksaan

≥ 126 mg/ dl

- Peningkatan kadar gula post - Tidak dilakukan pemeriksaan

prandial ≥ 200 mg/ dl

- Peningkatan kadar gula darah - Didapatkan kadar gula darah

sewaktu ≥ 200 mg/dl. sewaktu 60 mg/dl.

- Peningkatan kadar HbA1c ≥ 6,5 - Terdapat peningkatan kadar HbA1c

(9,1)

- Pada pemeriksaan urin rutin di - Tidak terdapat glukosuria

dapatkan adanya glukosuria

- Kadar hemoglobin menurun < 12 - Didapatkan kadar hemoglobin

menurun 9,6 g/dl

Diagnosa Banding Diagnosa Banding

 Diabetes Mellitus Tipe 2  Diabetes Mellitus Tipe 2

 Diabetes Mellitus Tipe 1  Diabetes Mellitus Tipe 1

 Diabetes Mellitus Insipidus  Diabetes Mellitus Insipidus

 Diabetes Tipe Lainnya  Diabetes Tipe Lainnya

 Diabetes Gestasional  Diabetes Gestasional

Diagnosa Diagnosa

 Diabetes Mellitus Tipe 2  Diabetes Mellitus Tipe 2

87
Tata Laksana Tata Laksana

- Edukasi tentang pola gaya hidup - Edukasi tentang pola gaya hidup

dan olahraga rutin dan olahraga rutin

- Terapi nutrisi medis - Terapi nutrisi medis

- Pemberian Obat hiperglikemi Oral - Tidak diberikan OHO

1. Pemicu sekresi insulin ( - Glucosa IV 40%

golongan sulfonylurea)

2. Penambah sensitivitas terhadap

insulin (metformin)

3. Penghambat gluconeogenesis

4. Penghambat glukosidasealfa

Komplikasi Komplikasi

- Ulkus kaki diabetik - hipoglikemia

- Hipoglikemia

- Ketoasidosis diabetik

- Neuropati diabetic

Pencegahan Pencegahan

- Pencegahan primer - Pencegahan primer

(penyuluhan untuk menurunkan (penyuluhan untuk menurunkan

berat badan, diet sehat, latihan berat badan, diet sehat, latihan

jasmani, dan menghentikan jasmani, dan menghentikan

merokok) merokok)

88
- Pencegahan sekunder - Pencegahan sekunder

(upaya mencegah atau (upaya mencegah atau

menghambat timbulnya penyulit menghambat timbulnya penyulit

pada pasien yang telah menderita pada pasien yang telah menderita

DM) DM)

- Pencegahan tersier - Pencegahan tersier

( ditujukan untuk pasien yang telah (ditujukan untuk pasien yang telah

mengalami penyulit dalam upaya mengalami penyulit dalam upaya

mencegah terjadinya kecacatan mencegah terjadinya kecacatan

lebih lanjut) lebih lanjut)

Prognosis Prognosis

- Dubia adbonam (Baik) - Dubia admalam (Buruk)

Jika Diabetes mellitus tipe 2

mendapat insulin dapat bertahan

hidup seperti orang normal.

- Dubia admalam (buruk)

Jika pasien diabetes mellitus

tipe 2 sudah mengalami

komplikasi

Edukasi Edukasi

1. Diabetes tipe 2 umumnya terjadi 1. Diabetes tipe 2 bisa dihindari dengan

pada saat pola gaya hidup dan menerapkan pola gaya hidup sehat

89
perilaku telah terbentuk dengan dan prilaku yang baik.

mapan.

2. Pemberdayaan penyandang diabetes 2. Penyandang diabetes perlu perhatian

memerlukan partisipasi aktif pasien, aktif dari diri sendiri pasien, keluarga

keluarga dan masyarakat. dan masyarakat.

3. Tim kesehatan mendampingi pasien 3. Pasien harus didampingi oleh tim

dalam menuju perubahan perilaku kesehatan dalam menuju perubahan

sehat. Untuk mencapai keberhasilan perilaku sehat agar tercapai

perubahan perilaku, dibutuhkan keberhasilan perubahan perilaku

edukasi yang komprehensif dan serta mengedukasi pasien dalam

upaya peningkatan motivasi. upaya meningkatkan motivasi.

4. Pengetahuan tentang pemantauan 4. Pasien diharapkan mengetahui dan

glukosa darah mandiri, tanda dan memantau glukosa darah mandiri,

gejala hipoglikemia serta cara tanda dan gejala hipoglikemia serta

mengatasinya harus diberikan cara mengatasinya agar terhindar dari

kepada pasien. komplikasi tersebut.

5. Pemantauan kadar glukosa darah 5. Pasien diharapkan bisa memantau

dapat dilakukan secara mandiri, kadar glukosa secara mandiri, setelah

setelah mendapat pelatihan khusus. diberikan pelatihan khusus.

90
Diskusi Kasus Hipertensi

Teori Kasus

Anamnesis Anamnesis

- Pusing - Pusing

- Nyeri Kuduk - Sesak Nafas

- Jantung Berdebar

- Nyeri dada

- Sesak Nafas

- Penurunan Kesadaran

Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Fisik

 Keadaan umum  Keadaan umum

Sensoriun : compos mentis Sensoriun : Compos Mentis

Tekanan Darah : > 140 mmHg Tekanan Darah : 160/110 mmHg

Hate rate : 60-100x/menit Hate rate : 84x / menit

Respirasi : 16-24x/menit Respirasi : 24 x/ menit

Temperature : 36,5-37,5 c Temperature : 36,50 C

 Keadaan penyakit  Keadaan penyakit

Anemia : tidak Anemia : ya

Ikterus : tidak Ikterus : tidak

Sianosis : tidak Sianosis : tidak

Dyspnea : ? Dyspnea : ya

Edema : tidak Edema : ya kedua ekstremitas inferior

91
Eritema : tidak Eritema : tidak

Turgor : baik Turgor : baik

Gerakan aktif: ya Gerakan aktif: ya

Sikap tidur paksa : tidak Sikap tidur paksa : ya

 Keadaan gizi  Keadaan gizi

TB : cm TB : 170 cm

BB : kg BB : 80 kg

RBW= BB x 100% RBW= BB x 100%

TB – 100 TB - 100

=90-100% = 114 %

Kesan : normoweight Kesan : overweight

IMT = BB/ (TB/100)2 =18,5-24,9 kg/ IMT = BB/ (TB/100)2 = 80/1,72 = 27,6

m2 kg/m2

Kesan : normoweight Kesan : overweight

Kepala : Dalam Batas Normal Kepala : muka pucat

Leher : Dalam Batas Normal Leher : Dalam Batas Normal

Thorax : Dalam Batas Normal Thorax : Dalam Batas Normal

Abdomen: Dalam Batas Normal

Abdomen: Dalam Batas Normal Extremitas: Edema kedua ekstremitas

Extremitas: Dalam Batas Normal inferior

Pemeriksaan Laboratorium: Pemeriksaan Laboratorium:

- EKG kesan LVH, gangguan irama, - Tidak ada

92
PJK

Diagnosa Banding Diagnosa Banding

 Hipertensi stage I  Hipertensi stage I

 Hipertensi stage II  Hipertensi stage II

 Krisis Hipertensi  Krisis Hipertensi

Diagnosa Diagnosa

 Hipertensi stage 2  Hipertensi stage 2

Tata Laksana Tata Laksana

- Edukasi tentang pola gaya hidup - Edukasi tentang pola gaya hidup

dan olahraga rutin dan olahraga rutin

- Pemberian Anti Hipertensi - Antihipertensi

1. Diuretik Furosemid 1amp / 12 jam


2. α 1-Blokers (Antagonis
Amlodipin 1x10mg
Adrenoreseptor)
3. β-Blokers (Penghambat
Adrenoresptor)
4. Calsium Channel Bloker
5. Inhibitor (ACEi)
6. Angiotensin II Antagonists
7. Direct Vasodilator
Komplikasi Komplikasi

1. Stroke 1. Penyakit Ginjal Kronik


2. Aterosklerosis, penyakit jantung
koroner, gagal jantung
3. Edema paru

93
4. Penyakit ginjal kronik
5. Penyakit arteri perifer atau
penyakit oklusi arteri perifer
Pencegahan Pencegahan

- Pencegahan primer - Pencegahan primer

(penyuluhan untuk menurunkan (penyuluhan untuk menurunkan

berat badan, diet sehat, latihan berat badan, diet sehat, latihan

jasmani, dan menghentikan jasmani, dan menghentikan

merokok) merokok)

- Pencegahan sekunder - Pencegahan sekunder

(upaya mencegah atau (upaya mencegah atau

menghambat timbulnya penyulit menghambat timbulnya penyulit

pada pasien yang telah menderita pada pasien yang telah menderita

Hipertensi) Hipertensi)

- Pencegahan tersier - Pencegahan tersier

( ditujukan untuk pasien yang telah (ditujukan untuk pasien yang telah

mengalami penyulit dalam upaya mengalami penyulit dalam upaya

mencegah terjadinya kecacatan mencegah terjadinya kecacatan

lebih lanjut) lebih lanjut)

Prognosis Prognosis

- Dubia adbonam (Baik) - Dubia admalam (Buruk)

94
BAB IV

KESIMPULAN

Gagal ginjal kronik adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan

penurunan fungsi ginjal yang progresif dan ireversibel, pada suatu derajat yang

memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi

ginjal. Dan ditandai dengan adanya uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lainnya

dalam darah).

Dua penyebab utama penyakit gagal ginjal kronis adalah diabetes melitus tipe

1 dan tipe 2 (44%) dan hipertensi (27%). Kondisi lain yang dapat menyebabkan

gangguan pada ginjal antara lain penyakit peradangan seperti glomerulonefritis (10%)

merupakan penyakit ketiga tersering penyebab gagal ginjal kronik.

Pada gagal ginjal kronik, gejala – gejalanya berkembang secara perlahan.

Pada awalnya tidak ada gejala sama sekali, kelainan fungsi ginjal hanya dapat

diketahui dari pemeriksaan laboratorium. Sejalan dengan berkembangnya penyakit,

maka lama kelamaan akan terjadi peningkatan kadar ureum darah semakin tinggi

(uremia). Pada stadium ini, penderita menunjukkan gejala – gejala fisik yang

melibatkan kelainan berbagai organ seperti kelainan saluran cerna (nafsu makan

menurun, mual, muntah dan fetor uremik), kelainan kulit (urea frost dan gatal di

kulit), kelainan neuromuskular (tungkai lemah, parastesi, kram otot, daya konsentrasi

menurun, insomnia, gelisah), kelainan kardiovaskular (hipertensi, sesak nafas, nyeri

dada, edema), gangguan kelamin (libido menurun, nokturia, oligouria).

95
Diagnosis gagal ginjal kronik dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang

diperoleh melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium,

pemeriksaan radiologis, serta pemeriksaan biopsi dan histopatologi ginjal.

Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi terapi spesifik terhadap

penyakit dasarnya, pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid, memperlambat

perburukan fungsi ginjal, pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular,

pencegahan dan terapi terhadap penyakit komplikasi, terapi pengganti ginjal berupa

dialisis atau transplantasi ginjal.

Diabetes Mellitus adalah sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh

kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia.. Penyakit Diabetes Mellitus

merupakan the great imitator. Hal ini disebabkan penyakit DM mampu menyebabkan

kerusakan organ secara menyeluruh secara anatomis maupun fungsional.

Patogenesis diabetes mellitus melibatkan faktor–faktor genetik, biomolekuler,

imunologi, dan lingkungan. Penyakit diabetes mellitus memerlukan penatalaksanaan

medis dan keperawatan untuk mencegah komplikasi akut seperti ketoasidosis dan

sindrom koma hiperglikemik hiperosmolar non ketotik yang dapat menyebabkan

kematian dan juga dapat menimbulkan komplikasi jangka panjang, seperti penyakit

makrovaskuler, penyakit mikrovaskuler dan penyakit oftamologi lainnya. Penyakit

diabetes mellitus perlu mendapat perhatian dan penanganan yang baik oleh dokter

serta petugas medis lainnya. Secara kuratif dan rehabilitatif seperti pengontrolan

kadar gula darah, melakukan perawatan luka dan mengatur diet makanan yang harus

dimakan sehingga tidak terjadi peningkatan kadar gula darah.

96
Selain itu dokter juga berperan secara preventif yaitu dengan cara

memberikan pendidikan kesehatan tentang penyakit diabetes melitus untuk

meningkatkan pemahaman pasien dan mencegah terjadinya komplikasi. Komplikasi

DM akut dan kronik frekuensinya masih sangat tinggi di Indonesia, karena kesadaran

/ kepatuhan penderita masih rendah, tenaga medis yang belum memadai dalam

pencegahan primer, sekunder, dan tersier, dan fasilitas RS belum memadai dan

merata.

Hipertensi atau tekanan darah tinggi diderita oleh hampir semua golongan

masyarakat di seluruh dunia. Batasan hipertensi ditetapkan dan dikenal dengan

ketetapan JNC VII (The Seventh Report of The Joint National Committee on

Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of Hight Blood Pressure). Menurut

criteria JNC VII, pasien dengan hipertensi dibagi menjadi normal, pre hipertensi,

hipertensi derajat 1, dan hipertensi derajat 2.

Menurut perkiraan, sekitar 30% penduduk dunia tidak terdiagnosis adanya

hipertensi (underdiagnosed condition). Hal ini disebabkan tidak adanya gejala atau

dengan gejala ringan bagi mereka yang menderita hipertensi. Sedangkan, hipertensi

ini sudah dipastikan dapat merusak organ tubuh seperti jantung (70% penderita

hipertensi akan merusak jantung), ginjal, otak, mata, serta organ tubuh lainnya

sehingga hipertensi disebut sebagai silent killer. Deteksi dini penting dilakukan untuk

mencegah timbulnya berbagai komplikasi. Apabila sudah di diagnosis dengan

hipertensi, seorang pasien harus diedukasi dengan baik mengenai pengaturan pola

hidup yang benar selain dari terapi dengan medikamentosa.

97

Anda mungkin juga menyukai