Anda di halaman 1dari 3

KASUS ISU ETIK

“ Cerita dari Sudut Kamar Operasi “

Sistem pendidikan Program Pendidikan Dokter Tingkat Profesi (PPDTP) Fakultas

Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman mewajibkan mahasiswa sebagai peserta didik

untuk menjalani rotasi pada tiap-tiap bagian di RSUD Prof. dr. Margono Soekarjo

Purwokerto selama kurang lebih 19 bulan. Obstetri-Ginekologi, Anestesi, dan Radiologi

adalah tiga bagian yang sudah saya jalani selama kurang lebih tiga bulan menyandang status

sebagai mahasiswa tingkat profesi/dokter muda.

Melalui tulisan ini, izinkan saya untuk menceritakan pengalaman saya khususnya pada

salah satu bagian yang sudah saya jalani, yakni bagian Obstetri-Ginekologi. Bagian Obstetri-

Ginekologi memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk dapat mempelajari etika serta

prosedur yang berlaku di kamar operasi khususnya di Instalasi Bedah Sentral (IBS) RSUD

Prof. dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Pada bagian Obstetri-Ginekologi mahasiswa

diberikan kesempatan untuk menjadi asisten operator (ass-op) yang bertugas membantu

operator (dokter spesialis Obstetri-Ginekologi) dalam melakukan tindakan operasi.

Cerita ini bermula pada hari ketiga saya menjalankan tugas sebagai dokter muda di

bagian Obstetri-Ginekologi, Hari itu merupakan giliran saya untuk mendapatkan kesempatan

sebagai asisten operator pada program operasi yang sudah dijadwalkan sebelumnya di IBS.

Pada hari itu hanya ada dua jadwal operasi, yakni operasi kuretase yang dilakukan untuk

mengambil sisa jaringan pada pasien pasca keguguran (abortus) serta operasi histerektomia

atau operasi pengangkatan rahim pada pasien dengan mioma stadium lanjut.

Operasi pertama (kuretase) dijadwalkan pukul 08.00. Berdasarkan aturan tidak tertulis

yang selama ini berlaku, mahasiswa sebagai asisten operator diwajibkan datang setengah jam

sebelumnya yakni pukul 07.30. Setelah melakukan persiapan, saya bergegas menuju ke
dalam kamar operasi. Pasien sudah berbaring di meja operasi beserta beberapa orang perawat

yang sedang melakukan tugasnya secara teliti dan cekatan. Sebuah kerja tim yang keren

menurut saya dan membutuhkan waktu latihan yang lama. Pertanyaan pertama muncul di

pikiran saya, dimanakah dokter yang akan bertindak sebagai operator operasi?

Pasien pada hari itu adalah seorang wanita berusia 20 tahun yang baru saja mengalami

keguguran pada kandungannya. Pasien merupakan golongan kelas III yang artinya berasal

dari keluarga tidak mampu, sehari-hari selama di bangsal pasien ditemani oleh ibunya

sedangkan bapak dari janin yang ada di dalam kandungan pasien kabur dan menolak untuk

dimintai pertanggungjawabannya. Kebetulan, saya sudah berhari-hari bertemu dengan pasien

di bangsal saat melakukan follow-up. Latar belakang pasien yang sedemikian rupa membuat

saya iba, apalagi pasien tersebut merupakan pasien pertama yang saya follow-up sebagai

mahasiswa tingkat profesi. Namun sifat pasien yang ceria, serta punya rasa keingintahuan

banyak terkait prosedur medis yang akan ia jalani membuat saya dapat berkomunikasi secara

kooperatif dengan pasien tersebut.

Mendekati pukul 08.00, dokter belum juga datang. Lalu datanglah seorang residen

(sebutan bagi peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis) ke dalam kamar operasi. Usut

punya usut, ternyata yang akan menjadi operator operasi adalah residen tersebut. Pertanyaan

selanjutnya muncul, apakah residen memiliki kompetensi yang sepadan dengan dokter

spesialis dalam melakukan tindakan operasi? Atau jika memiliki kompetensi yang sepadan,

apakah sudah meminta persetujuan pasien atau keluarga pasien terlebih dahulu jika operasi

akan dilakukan oleh residen sebagai operator tanpa pendampingan dokter spesialis? Jika

memang hal tersebut dilakukan atas dasar tujuan pendidikan, alangkah lebih baik jika dokter

spesialis yang bersangkutan meminta persetujuan, atau bahkan melakukan pendampingan

kepada residen selama dilakukan tindakan operasi sehingga tidak menghilangkan unsur “care
provider” sebagai salah satu tanggungjawab dokter kepada pasien serta tidak menganggap

pasien hanya sebagai objek pembedahan semata.

Sebelum operasi, pasien diminta untuk melakukan posisi litotomi (posisi mengangkang

seperti orang hendak melahirkan) dengan kaki dipasang pada penyangga. Pada posisi ini,

pasien mengeluh kesakitan pada bagian organ kelaminnya jika mengangkang lebar-lebar.

Amat disayangkan, respon residen beserta para perawat bukan malah menenangkan pasien

melainkan menjadikan hal tersebut sebagai bahan lelucon yang terbilang porno. Pasien pada

saat itu dalam keadaan belum dilakukan tindakan anestesi sehingga otomatis mengetahui

setiap kata yang berasal dari residen dan para perawat. Selanjutnya operasi berjalan lancar

dan tanpa ada halangan, namun residen dan para perawat masih saja menjadikan organ

kelamin pasien sebagai lelucon.

Pasien dalam hal ini merupakan seseorang yang tengah berada dalam kondisi rentan

(vulnerable) sehingga memerlukan perhatian bukan hanya dari segi medis tetapi juga dari

segi psikologis dan sosialnya dari para tenaga medis. Alangkah lebih bijak jika tenaga medis

tidak mengeluarkan kata-kata yang sekiranya kurang pantas dan malah semakin membuat

cemas pasien. Adanya sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang menyebabkan

terdapatnya sistem kelas yang diberlakukan pada pasien, dari kelas VVIP hingga kelas I

semestinya tidak menjadikan perbedaan perilaku pula dari tenaga medis kepada setiap pasien

yang ada. Terimakasih.

Aditya Pratama

G4A016130

Anda mungkin juga menyukai