G4a016130 - Aditya Pratama - Cerita Dari Sudut Kamar Operasi - Isu Etik
G4a016130 - Aditya Pratama - Cerita Dari Sudut Kamar Operasi - Isu Etik
untuk menjalani rotasi pada tiap-tiap bagian di RSUD Prof. dr. Margono Soekarjo
adalah tiga bagian yang sudah saya jalani selama kurang lebih tiga bulan menyandang status
Melalui tulisan ini, izinkan saya untuk menceritakan pengalaman saya khususnya pada
salah satu bagian yang sudah saya jalani, yakni bagian Obstetri-Ginekologi. Bagian Obstetri-
Ginekologi memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk dapat mempelajari etika serta
prosedur yang berlaku di kamar operasi khususnya di Instalasi Bedah Sentral (IBS) RSUD
diberikan kesempatan untuk menjadi asisten operator (ass-op) yang bertugas membantu
Cerita ini bermula pada hari ketiga saya menjalankan tugas sebagai dokter muda di
bagian Obstetri-Ginekologi, Hari itu merupakan giliran saya untuk mendapatkan kesempatan
sebagai asisten operator pada program operasi yang sudah dijadwalkan sebelumnya di IBS.
Pada hari itu hanya ada dua jadwal operasi, yakni operasi kuretase yang dilakukan untuk
mengambil sisa jaringan pada pasien pasca keguguran (abortus) serta operasi histerektomia
atau operasi pengangkatan rahim pada pasien dengan mioma stadium lanjut.
Operasi pertama (kuretase) dijadwalkan pukul 08.00. Berdasarkan aturan tidak tertulis
yang selama ini berlaku, mahasiswa sebagai asisten operator diwajibkan datang setengah jam
sebelumnya yakni pukul 07.30. Setelah melakukan persiapan, saya bergegas menuju ke
dalam kamar operasi. Pasien sudah berbaring di meja operasi beserta beberapa orang perawat
yang sedang melakukan tugasnya secara teliti dan cekatan. Sebuah kerja tim yang keren
menurut saya dan membutuhkan waktu latihan yang lama. Pertanyaan pertama muncul di
pikiran saya, dimanakah dokter yang akan bertindak sebagai operator operasi?
Pasien pada hari itu adalah seorang wanita berusia 20 tahun yang baru saja mengalami
keguguran pada kandungannya. Pasien merupakan golongan kelas III yang artinya berasal
dari keluarga tidak mampu, sehari-hari selama di bangsal pasien ditemani oleh ibunya
sedangkan bapak dari janin yang ada di dalam kandungan pasien kabur dan menolak untuk
di bangsal saat melakukan follow-up. Latar belakang pasien yang sedemikian rupa membuat
saya iba, apalagi pasien tersebut merupakan pasien pertama yang saya follow-up sebagai
mahasiswa tingkat profesi. Namun sifat pasien yang ceria, serta punya rasa keingintahuan
banyak terkait prosedur medis yang akan ia jalani membuat saya dapat berkomunikasi secara
Mendekati pukul 08.00, dokter belum juga datang. Lalu datanglah seorang residen
(sebutan bagi peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis) ke dalam kamar operasi. Usut
punya usut, ternyata yang akan menjadi operator operasi adalah residen tersebut. Pertanyaan
selanjutnya muncul, apakah residen memiliki kompetensi yang sepadan dengan dokter
spesialis dalam melakukan tindakan operasi? Atau jika memiliki kompetensi yang sepadan,
apakah sudah meminta persetujuan pasien atau keluarga pasien terlebih dahulu jika operasi
akan dilakukan oleh residen sebagai operator tanpa pendampingan dokter spesialis? Jika
memang hal tersebut dilakukan atas dasar tujuan pendidikan, alangkah lebih baik jika dokter
kepada residen selama dilakukan tindakan operasi sehingga tidak menghilangkan unsur “care
provider” sebagai salah satu tanggungjawab dokter kepada pasien serta tidak menganggap
Sebelum operasi, pasien diminta untuk melakukan posisi litotomi (posisi mengangkang
seperti orang hendak melahirkan) dengan kaki dipasang pada penyangga. Pada posisi ini,
pasien mengeluh kesakitan pada bagian organ kelaminnya jika mengangkang lebar-lebar.
Amat disayangkan, respon residen beserta para perawat bukan malah menenangkan pasien
melainkan menjadikan hal tersebut sebagai bahan lelucon yang terbilang porno. Pasien pada
saat itu dalam keadaan belum dilakukan tindakan anestesi sehingga otomatis mengetahui
setiap kata yang berasal dari residen dan para perawat. Selanjutnya operasi berjalan lancar
dan tanpa ada halangan, namun residen dan para perawat masih saja menjadikan organ
Pasien dalam hal ini merupakan seseorang yang tengah berada dalam kondisi rentan
(vulnerable) sehingga memerlukan perhatian bukan hanya dari segi medis tetapi juga dari
segi psikologis dan sosialnya dari para tenaga medis. Alangkah lebih bijak jika tenaga medis
tidak mengeluarkan kata-kata yang sekiranya kurang pantas dan malah semakin membuat
cemas pasien. Adanya sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang menyebabkan
terdapatnya sistem kelas yang diberlakukan pada pasien, dari kelas VVIP hingga kelas I
semestinya tidak menjadikan perbedaan perilaku pula dari tenaga medis kepada setiap pasien
Aditya Pratama
G4A016130