Bab 1
Bab 1
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
2.2 Fisiologi
2.3 Defenisi
2.4 Etiologi
2.5 Patogenesis
1. Appendisitis akut
Appendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh
radang mendadak pada appendiks yang memberikan tanda setempat,
disertai maupun tidak disertai rangsang peritonium lokal. Gejala
appendisitis akut adalah nyeri samar dan tumpul yang merupakan nyeri
viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini sering
disertai mual, muntah, dan umumnya nafsu makan menurun. Dalam
beberapa jam nyeri akan berpindah ke titik Mc. Burney. Nyeri diraskaan
lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik
setempat.
Appendisitis akut dibagi menjadi :
1. Appendisitis akut sederhana
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan submukosa disebabkan
obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan
terjadi peningkatan intralumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa
appendiks menebal, edema, dan kemerahan. Gejala diawali dnegan
rasa nyeri didaerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia, malaise, dan
demam ringan.
2. Appendisitis akut purulenta (Suppurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema
menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan
menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema
pada appendiks. Mikroorganisme yang ada diusus besar menginvasi ke
dalam dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa
menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Appendiks dan
mesoappendiks menjadi edema, hiperemia, dan didalam lumen
tereapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan
peritonium lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney,
defens muskular dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans
muskular dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda
peritonitis umum.
3. Appendisitis akut gangrenosa
Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai
terganggu sehingga terjadi infark dan gangren. Selain itu didapatkan
tanda-tanda supuratif, apendiks mengalami gangren pada bagian
tertentu. Dinding appendiks berwarna ungu, hijau keabuan atau merah
kehitaman. Pada appendisitis akut gangrenosa terdapat mikroperforasi
dan kenaikan cairan intraperitoneal yang purulen.
4. Appendisitis infiltrat
Appendisitis infiltrat adalah proses radang appendiks yang
penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum,
kolon, dan peritoneum sehingga membentuk gumpalan massa flegmon
yang melekat erat satu dengan yang lainnya.
5. Appendisitis abses
Appendisitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah
(pus), biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrosekal,
subsekal, dan pelvikal.
6. Appendisitis perforasi
Appendisitis perforasi adalah pecahnya appendiks yang sudah gangren
yang menyebabkan pus masuk kedalam rongga perut sehingga terjadi
peritonitis umum. Pada dinding appendiks tampak daerah perforasi
dikelilingi oleh jaringan nekrotik.
2. Appendisitis kronis
Diagnosis appendisitis dapat ditegakkan jika ditemukan adanya riwayat
nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik appendiks
secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik appendisitis
kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding appendiks, sumbatan parsial
atau total lumen appendiks, adanya jaringa parut dan ulkus lama di
mukosa dan adanya sel inflamasi kronik. Insiden apendisitis kronik antara
1-5%. Appendisitis kronik kadang-kadang dapat menjadi akut lagi dan
disebut appendisitis kronik eksaserbasi akut yang tampak jelas sudah
adanya pembentukan jaringan ikat.
2.6 Diagnosis
Pada annamnesis akan mengeluhkan nyeri atau sakit perut . ini terjadi
karena hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi dan terjadi pada sleuruh saluran
cerna sehingga nyeri viseral dirasakan pada seluruh perut. Muntah atau
rangsangan viseral akibat aktivasi nervus vagus. Obstipasi karena penderita takut
mengejan, demam tidak terlalu tinggi, antara 37,5-38,5°C tetapi jika suhu lebih
tinggi diduga telah terjadi perrforasi. Pada pemeriksaan fisik yaitu pada inspeksi
didapat penderita berjalan membungkuk sambil memegangi perutnya yang sakit,
kembung bila terjadi perforasi dan penonjolan perut bagian kanan bawah terlihat
pada appendikular abses. Pada palpasi abdomen biasanya tampak datar dan sedikit
kembung. Palpasi dinding abdomen dengan ringan dan hati-hati dengan sedikit
tekanan, dimulai dari tempat yang jauh dari lokasi nyeri. Pada perkusi akan
terrdapat nyeri ketok, pada auskultasi akan terdapat peristaltik normal, peristaltik
tidak ada pada ileus paralitik karena peritonitis generalisata akibat appendisitis
perforata, auskultasi tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis
appendisitis tetapi jika telah terjadi peritonitis maka tidak terdengar lagi bunyi
peristaltik usus. Pada pemeriksaan colok dubur (Ractal Toucher) akan terdapat
nyeri pada jam 9-12.
Interpretasi :
1. Penanggulangan konservatif
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak
mempunyai akses ke layanan bedah berupa pembeerian antibiotik.
Pemberian antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita
appendisitis perforasi, sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan
elektrolit, serta pemberian antibiotik sistemik.
2. Operatif
Bila diagnosa sudh tepat dan jelas ditemukan appendisitis maka tindakan
yang dilakukan adalah operasi membuang appendiks dengan
Appendiktomi. Penundaan appendektomi dengan pemberian antibiotik
dapat mengakibatkan abses dan perforasi. Pada abses appendiks dilakukan
drainase. Pada appendektomi dilakukan persiapan pasien dengan
memuasakan pasien 4-6 jam dan dilakukan pemasangan infus agar tidak
terjadi dehidrasi, pemasangan pipa nasogastrik, dan pemberian antibiotik
spektrum luas. Alternatif lain operasi pengangakatan usus buntu yaitu
dengan cara bedah laparoskopi.operasi ini dilakukan dengan bantuan video
camera yang dimasukkan ke dalam rongga perut sehingga jelas dapat
melihat dan melakukan appendektomi dan juga dapat memeriksa organ-
organ didalam perut lebih lengkap selain appendiks. Keuntungan bedah
laparoskopi selain yang disebut diatas adalah luka operaasi kecil, biasanya
antara 0.5-1 cm sehingga secara kosmetik lebih baik.
2.10 Komplikasi
Komplikasi yang paling membahayakan adalah perforasi, baik berupa
perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami
pendindingan sehingga berupa massa yang terdiri atas kumpulan
apendiks, sekum, dan lekuk usus halus.
Massa periapendikular
Massa apendiks terjadi bila apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi
ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan/atau lekuk usus halus. Pada
massa periapendikular dengan pembentukan dinding yang belum
sempurna dapat terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum
jika perforasi diikuti oleh peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena
itu, massa periapendikular yang masih bebas (mobile) sebaiknya segera
dioperasi untuk mencegah penyulit tersebut.
Appendisitis perforata
Adanya fekalit di dalam lumen, umur (orang tua atau anak kecil) dan
keterlambatan diagnosis, merupakan faktor yang berperanan dalam
terjadinya perforasi apendiks. Insidens perforasi pada penderita diatas
usia 60 tahun dilaporkan sekitar 60%. Faktor yang memengaruhi
tingginya insidens perforasi pada orang tua adanya gejala yang samar,
keterlambatan berobat, adanya perubahan anatomi apendiks berupa
penyempitan lumen dan aterosklerosis. Insiden tinggi pada anak
disebabkan oleh dinding appendiks yang masih tipis, anak kurang
komunikatif sehingga memperpanjang waku diagnosis dan proses
perdindingan kurang sempurna akibat perforasi yang berlangsung cepat
dan omentum anak belum berkembang. Perforasi appendiks akan
mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai dengan demam tinggi,
nyeri makin hebat yang meliputi seluruh perut, mungkin disertai dengan
pungtum maksimum di regio iliaka kanan, peristaltik usus dapat menurun
bahkan menghilang akibat adanya ileus paralitik. Keadaan ini perlu
dilakukan laparotomy dengan insisi yang panjang , supaya dapat
dilakukan pencucian rongga peritonium dari pus maupun pengeluaran
fibrin yang adekuat secara mudah serta pembersihan kantong nanah.
Akhir-akhir ini mulai banyak dilaporkan pengelolaan apendisitis
perforasi secara laparoskopi apendektomi. Pada prosedur ini, rongga
abdomen dapat dibilas dengan mudah. Hasilnya dilaporkan tidak berbeda
jauh dibandingkan dengan laparotomy terbuka, tetapi keuntungannya
adalah lama rawat lebih pendek dan secara kosmetik lebih baik. Karena
terdapat kemungkinan terjadi infeksi luka operasi , sebaiknya dilakukan
pemasangan penyalir subfasia; kulit dibiarkan terbuka dan nantinya akan
dijahit bila sudah dipastikan tidak ada infeksi. Pemasangan penyalir
intraperitoneal tidak perlu dilakukan pada anak karena justru lebih sering
menyebabkan komplikasi infeksi.
BAB III
KESIMPULAN