Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

Appendisitis adalah peradangan yang terjadi pada appendix vermicularis


dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering pada anak-anak
maupun dewasa. Appendicitis akut merupakan kasus bedah emergensi yang
paling sering ditemukan pada anak-anak dan remaja. Terdapat sekitar 250.000
kasus appendicitis yang terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya dan terutama
terjadi pada anak usia 6-10 tahun.

Appendisitis dapat mengenai semua kelompok usia, meskipun tidak umum


pada anak usia sekolah. Hampir 1/3 anak dengan appendicitis akut mengalami
perforasi setelah dilakukan operasi. Meskipun telah dilakukan peningkatan
pemberian resusitasi cairan dan antibiotik yang lebih baik, appendicitis pada anak-
anak, terutama usia anak prasekolah masih tetap memiliki angka morbiditas yang
signifikan. Diagnosis appendicitis akut pada anak kadang-kadang sulit. Diagnosis
yang tepat dibuat hanya pada 50-70%. Pasien-pasien pada saat penilaian awal.
Angka appendectomy pada pediatrik berkisr 10-50%. Riwayat perjalanan
penyakit pasien dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang paling penting dalam
mendiagnosis appendicitis.

Semua kasus appendicitis memerlukan tindakan pengangkatan dan


appendix yang terinflamasi, baik dengan laparotomy maupun laparozcopy.
Apabila tidak dilakukan tindakan pengobatan, maka angka kematian akan tinggi,
terutama disebabkan karena peritonitis dan shock. Reginald Fitz pada tahun 1886
adalah orang pertama yang menjelaskan bahwa appendicitis acuta merupakan
salah satu penyebab utama terjadinya akut abdomen diseluruh dunia.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

Appendiks merupakan organ bebrbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10


cm (kissaran 3-15 cm) dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit dibagina
proksimal dan melebar dibagiandistal. Namun demikian, pada bayi appendiks
berbentuk kerucut, lebar dan pangkalnya dan menyempit ke arah ujungnya.
Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden apendisitis pada usia itu.
Pada 65% kasus, appendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu
memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang
mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus selebihnya, appendiks terletak
retroperitoneal, yaitu dibelakang sekum, dibelakang kolon asendens, atau ditepi
lateral kolon asendens. Gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak apendiks.

Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti


arteri mesenterika superior dan arteri appendikularis, sedangkan persarafan
simpatis berasal dari nervus torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada
appendisitis bermula di sekitar umbilikus. Pendarahan appendiks berasal dari
arterri appendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini
tersumbat, misalnya karena trombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami
gangren.

2.2 Fisiologi

Appendiks menghasilkan lendir sebanyak 1-2 ml per hari. Lendir itu


normalnya dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum.
Hambatan aliran lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada patogenesis
appendisitis. Imugloblobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut
associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna, termasuk
appendiks, iaalah Ig A. Immunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung
terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak memengaruhi
sistem imun tubuh karena jumlah limf disini kecil sekali jika dibandingkan
dengan jumlahnya disaluran cerna dan diseluruh tubuh.

2.3 Defenisi

Appendisitis adalah peradangan pada appendiks vermiformis dan


merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering. Appendisitis adalah
penyebab paling umum inflamasi akut pada kkuadran kanan bawah rongga
abdomen dan penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat. Appendisitis
adalah peradangan appendiks yang mengenai semua lapisan dinding organ
tersebut. Appendisitis adalah kondisi dimana infeksi terjadi di umbai cacing.
Dalam kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus
memerlukan laparotomi dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi. Bila
tidak terawat, angka kematian cukup tinggi dikarenakan oleh peritonitis dan syok
ketika umbai cacing terinfeksi hancur.

2.4 Etiologi

Appendisitis akut merupakan infeksi bakteri. Berbagai hal berperan


sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang
diajukan sebagai faktor pencetus. Dismaping hiperplasia jaringan limf, fekalit,
tumor appendiks, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan.
Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan appendisitis adalah erosi mukosa
apendiks akibat parasit seperti E. Histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukan
peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap
timbulnhya appendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang
berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya
pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini akan mempermudah
timbulnya apendisitis akut.

2.5 Patogenesis

Appendicitis terjadi dari proses inflamasi ringan hingga pergorasi, khas


dalam 24-36 jam setelah munculnya gejala, kemudian diikuti dengan
pembentukan abces setelah 2-3 hari. Appendicitis dapat terjadi karena berbagai
macam penyebab, antara lain obstruksi oleh fecalith, gallstone, tumor, atau
bahkan cacing (Oxyuris vermicularis), akan tetapi paling sering disebabkan
obstruksi oleh fecalith dan kemudian diikuti oleh proses peradangan. Hiperplasia
jaringan lymfoid juga dapat mengakibatkan obstruksi lumen. Penyebab dari
Reaksi jaringan imfatik baik lokal ataupun general misalnya akibat infeksi
Salmonella,dan Shigella atau akibat invasi parasit seperti Entamoeba, Shigella,
Schistosoma, atau Ascaris. Appendisitis juga dapat disebabkan oleh infeksi virus
enteric maupun sistemik, seperti measles, chicken pox, dan cytomegalovirus.
Pasien dengan cystic fibrosis memilki peningkatan insiden appendisitis akibat
perubahan pada kelenjar yang mensekresi mukus. Carcinoid tumor juga dapat
mengakibatkan obstruksi appendiks, khusunya jika tumor terletak 1/3 proksimal.
Trauma, stress psikologis, dan herediter juga mempengaruhi terjadinya
appendisitis. Awalnya pasien akan merasa gejala gastrointestinal ringan seperti
berkurangnya nafsu makan, perubahan kebiasaan BAB yang minimal, dan
kesalahan pencernaan. Anoreksia berperan penting pada diagnosis appendicitis
khususnya pada anak-anak. Distensi appendiks menyebabkan perangsangan
serabut saraf viseral dan dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical.
Nyeri awal ini bersifat nyeri dalam, tumpul, dan berlokasi di dermatom Th.X.
adanya distensi yang semakin bertambah menyebabkan mual dan muntah, dalam
beberapa jam setelah nyeri. Jika mual dan muntah timbul lebih dahulu dari nyeri
perut maka dapat difikirkan diagnosis lain. Appendiks yang obstruksi merupakan
tempat yang baik untuk berkembang biaknya bakteri, seiring dengan peningkatan
tekanan intraluminal terjadi gangguan aliran limf, terjadi oedema yang lebih heba.
Akhirnya peningkatan tekanan menyebabkan obstruksi vena yang mengarah pada
iskemik jaringan, infark, dan gangrene. Setelah itu, terjadi invasi bakteri ke
dinding appendiks, diikuti demam, takikardi, dan leukositosis akibat pelepadsan
mediator inflamasi dari jaringan yang iskemik. Saat eksudat inflamasi dari
dinding appendiks berhubungan dengan peritonneum parietale, serabut saraf
somatic akan teraktivasi dan nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi appendiks,
khususnya di titik Mc Burney’s. Nyeri jarang timbul hanya pada kuadran kanan
bawah tanpa didahului nyeri viseral sebelumnya. Pada appendiks retrosekal atau
pelvic, nyeri somatic biasanya tertunda karena eksudat inflamasi tidak mengenai
peritoneum parietale sampai saat terjadinya rupture dan penyebaran infeksi. Nyeri
pada appendiks retrocecal dapat muncul dipunggung atau pinggang. Appendiks
pelvic yang terletak dekat ureter atau pembuluh darah testis dapat menyebabkan
peningkatan frekuensi BAK, nyeri pada testis, atau keduanya. Perforasi appendiks
akan menyebabkan terjadinya abses lokal atau peritonitis umum. Proses ini
terganung pada kecepatan progresivitas ke arah perforasi dan kemampuan pasien
berespon terhadap adanya perforasi. Tanda perforasi appendiks mencakup
peningkatan suhu melebihi 36,6°C, leukositosis >14.000, dan gejala peritonitis
pada pemeriksaan fisik.anak yang lebih tau atau remaja lebih memungkinkan
untuk terjadinya abses yang dapat diketahui oleh adanya massa pada pemeriksaan
fisik. Pasien dapat tidak bergejala sebelum terjaidnya perforasi , dan gejala dapat
menetap hingga >48 jam tanpa perforasi. Secara umum, semakin lama gejala
berhubungan dengan peningkatan resiko perforasi.

2.5 Klasifikasi Appendisitis

Klasifikasi appendisitis terbagi menjadi dua yaitu appendisitis akut dan


appendisitis kronis.

1. Appendisitis akut
Appendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh
radang mendadak pada appendiks yang memberikan tanda setempat,
disertai maupun tidak disertai rangsang peritonium lokal. Gejala
appendisitis akut adalah nyeri samar dan tumpul yang merupakan nyeri
viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini sering
disertai mual, muntah, dan umumnya nafsu makan menurun. Dalam
beberapa jam nyeri akan berpindah ke titik Mc. Burney. Nyeri diraskaan
lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik
setempat.
Appendisitis akut dibagi menjadi :
1. Appendisitis akut sederhana
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan submukosa disebabkan
obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan
terjadi peningkatan intralumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa
appendiks menebal, edema, dan kemerahan. Gejala diawali dnegan
rasa nyeri didaerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia, malaise, dan
demam ringan.
2. Appendisitis akut purulenta (Suppurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema
menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan
menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema
pada appendiks. Mikroorganisme yang ada diusus besar menginvasi ke
dalam dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa
menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Appendiks dan
mesoappendiks menjadi edema, hiperemia, dan didalam lumen
tereapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan
peritonium lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney,
defens muskular dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans
muskular dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda
peritonitis umum.
3. Appendisitis akut gangrenosa
Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai
terganggu sehingga terjadi infark dan gangren. Selain itu didapatkan
tanda-tanda supuratif, apendiks mengalami gangren pada bagian
tertentu. Dinding appendiks berwarna ungu, hijau keabuan atau merah
kehitaman. Pada appendisitis akut gangrenosa terdapat mikroperforasi
dan kenaikan cairan intraperitoneal yang purulen.
4. Appendisitis infiltrat
Appendisitis infiltrat adalah proses radang appendiks yang
penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum,
kolon, dan peritoneum sehingga membentuk gumpalan massa flegmon
yang melekat erat satu dengan yang lainnya.
5. Appendisitis abses
Appendisitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah
(pus), biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrosekal,
subsekal, dan pelvikal.
6. Appendisitis perforasi
Appendisitis perforasi adalah pecahnya appendiks yang sudah gangren
yang menyebabkan pus masuk kedalam rongga perut sehingga terjadi
peritonitis umum. Pada dinding appendiks tampak daerah perforasi
dikelilingi oleh jaringan nekrotik.
2. Appendisitis kronis
Diagnosis appendisitis dapat ditegakkan jika ditemukan adanya riwayat
nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik appendiks
secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik appendisitis
kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding appendiks, sumbatan parsial
atau total lumen appendiks, adanya jaringa parut dan ulkus lama di
mukosa dan adanya sel inflamasi kronik. Insiden apendisitis kronik antara
1-5%. Appendisitis kronik kadang-kadang dapat menjadi akut lagi dan
disebut appendisitis kronik eksaserbasi akut yang tampak jelas sudah
adanya pembentukan jaringan ikat.

2.6 Diagnosis

Pada annamnesis akan mengeluhkan nyeri atau sakit perut . ini terjadi
karena hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi dan terjadi pada sleuruh saluran
cerna sehingga nyeri viseral dirasakan pada seluruh perut. Muntah atau
rangsangan viseral akibat aktivasi nervus vagus. Obstipasi karena penderita takut
mengejan, demam tidak terlalu tinggi, antara 37,5-38,5°C tetapi jika suhu lebih
tinggi diduga telah terjadi perrforasi. Pada pemeriksaan fisik yaitu pada inspeksi
didapat penderita berjalan membungkuk sambil memegangi perutnya yang sakit,
kembung bila terjadi perforasi dan penonjolan perut bagian kanan bawah terlihat
pada appendikular abses. Pada palpasi abdomen biasanya tampak datar dan sedikit
kembung. Palpasi dinding abdomen dengan ringan dan hati-hati dengan sedikit
tekanan, dimulai dari tempat yang jauh dari lokasi nyeri. Pada perkusi akan
terrdapat nyeri ketok, pada auskultasi akan terdapat peristaltik normal, peristaltik
tidak ada pada ileus paralitik karena peritonitis generalisata akibat appendisitis
perforata, auskultasi tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis
appendisitis tetapi jika telah terjadi peritonitis maka tidak terdengar lagi bunyi
peristaltik usus. Pada pemeriksaan colok dubur (Ractal Toucher) akan terdapat
nyeri pada jam 9-12.

Appendisitis dapat didiagnosis dengan skor Alvarado.

Tabel Skor Alvarado Skor


Gejala Klinis
Nyeri perut yang berpindah ke kanan 1
bawah
Nafsu makan menurun 1
Mual dan atau muntah 1
Tanda Klinis
Nyeri lepas Mc Burney 1
Nyeri tekan pada titik Mc Burney 2
Demam (Suhu >37.2°C) 1
Pemeriksaan Laboratorium
Leukositosis (Leukosit >10.000/ml) 2
Shift to the left (neutrofil >75%) 1
Total 10

Interpretasi :

Skor 7-10 : appendisitis akut

Skor 5-6 : curiga appendisitis akut

Skor 1-4 : bukan appendisitis akut


2.7 Diagnosis banding

Banyak masalah yang dihadapi saat menegakkan diagnosis appendisitis


karena penyakit lain yang memberikan gambaran klinis yang hampir sama denga
appendisitis, yaitu :

1. Gastroenteritis, ditandai dengan terjadi mual, muntah, dan diare


mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih ringan, panas, dan leukositosis
kurang menonjol dibandingkan appendisitis akut
2. Limfadenitis mesenterika, biasanya didahului oleh enteritis atau
gastroenteritis, ditandai dengan nyeri perut kanan disertai dengan perasaan
mual dan nyeri tekan perut.
3. Demam dengue, dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis dan diperoleh
hasil positif untuk rumple leed, trombositopenia, dan hematokrit yang
meningkat.
4. Infeksi panggul dan salpingitis akut kanan sulit dibedakan dengan
appendisitis akut. Suhu biasanya lebih tinggi dari pada appendisitis dan
nyeri perut bagian bawah lebih difus. Infeksi panggul pada wanita
biasnaya disertai keputihan dan infeksi urine.
5. Gangguan alat reproduksi wanita, folikel ovarium yang pecah dapat
memberikan nyeri perut kanan bawah pada pertengahan siklus menstruasi.
Tidak ada tanda radang dan nyeri biasa hilang dalam waktu 24 jam.
6. Kehamilan ektopik, hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan
keluhan yang tidak jelas seperti ruptur tuba dan abortus. Kehamilan diluar
rahim diserta pendarahan menimbulkan nyeri mendadak difus di pelvik
dan bisa terjaddi syok hipovolemik.
7. Ulkus peptikum perforasi, sangat mirip dengan appendisitis jika isi
gastroduodenum mengendap turun ke daerah usus bagian kanan sekum.
8. Batu ureter, jika diperlukan mengendap dekat appendiks dan menyerupai
appendisitis retrosekal. Nyeri menjalar ke labia, skrotum, penis, hematuria
dan terjadi demam dan leukositosis.
2.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita appendisitis


meliputi penanggulangan konservatif dan operatif

1. Penanggulangan konservatif
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak
mempunyai akses ke layanan bedah berupa pembeerian antibiotik.
Pemberian antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita
appendisitis perforasi, sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan
elektrolit, serta pemberian antibiotik sistemik.
2. Operatif
Bila diagnosa sudh tepat dan jelas ditemukan appendisitis maka tindakan
yang dilakukan adalah operasi membuang appendiks dengan
Appendiktomi. Penundaan appendektomi dengan pemberian antibiotik
dapat mengakibatkan abses dan perforasi. Pada abses appendiks dilakukan
drainase. Pada appendektomi dilakukan persiapan pasien dengan
memuasakan pasien 4-6 jam dan dilakukan pemasangan infus agar tidak
terjadi dehidrasi, pemasangan pipa nasogastrik, dan pemberian antibiotik
spektrum luas. Alternatif lain operasi pengangakatan usus buntu yaitu
dengan cara bedah laparoskopi.operasi ini dilakukan dengan bantuan video
camera yang dimasukkan ke dalam rongga perut sehingga jelas dapat
melihat dan melakukan appendektomi dan juga dapat memeriksa organ-
organ didalam perut lebih lengkap selain appendiks. Keuntungan bedah
laparoskopi selain yang disebut diatas adalah luka operaasi kecil, biasanya
antara 0.5-1 cm sehingga secara kosmetik lebih baik.
2.10 Komplikasi
Komplikasi yang paling membahayakan adalah perforasi, baik berupa
perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami
pendindingan sehingga berupa massa yang terdiri atas kumpulan
apendiks, sekum, dan lekuk usus halus.
Massa periapendikular
Massa apendiks terjadi bila apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi
ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan/atau lekuk usus halus. Pada
massa periapendikular dengan pembentukan dinding yang belum
sempurna dapat terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum
jika perforasi diikuti oleh peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena
itu, massa periapendikular yang masih bebas (mobile) sebaiknya segera
dioperasi untuk mencegah penyulit tersebut.
Appendisitis perforata
Adanya fekalit di dalam lumen, umur (orang tua atau anak kecil) dan
keterlambatan diagnosis, merupakan faktor yang berperanan dalam
terjadinya perforasi apendiks. Insidens perforasi pada penderita diatas
usia 60 tahun dilaporkan sekitar 60%. Faktor yang memengaruhi
tingginya insidens perforasi pada orang tua adanya gejala yang samar,
keterlambatan berobat, adanya perubahan anatomi apendiks berupa
penyempitan lumen dan aterosklerosis. Insiden tinggi pada anak
disebabkan oleh dinding appendiks yang masih tipis, anak kurang
komunikatif sehingga memperpanjang waku diagnosis dan proses
perdindingan kurang sempurna akibat perforasi yang berlangsung cepat
dan omentum anak belum berkembang. Perforasi appendiks akan
mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai dengan demam tinggi,
nyeri makin hebat yang meliputi seluruh perut, mungkin disertai dengan
pungtum maksimum di regio iliaka kanan, peristaltik usus dapat menurun
bahkan menghilang akibat adanya ileus paralitik. Keadaan ini perlu
dilakukan laparotomy dengan insisi yang panjang , supaya dapat
dilakukan pencucian rongga peritonium dari pus maupun pengeluaran
fibrin yang adekuat secara mudah serta pembersihan kantong nanah.
Akhir-akhir ini mulai banyak dilaporkan pengelolaan apendisitis
perforasi secara laparoskopi apendektomi. Pada prosedur ini, rongga
abdomen dapat dibilas dengan mudah. Hasilnya dilaporkan tidak berbeda
jauh dibandingkan dengan laparotomy terbuka, tetapi keuntungannya
adalah lama rawat lebih pendek dan secara kosmetik lebih baik. Karena
terdapat kemungkinan terjadi infeksi luka operasi , sebaiknya dilakukan
pemasangan penyalir subfasia; kulit dibiarkan terbuka dan nantinya akan
dijahit bila sudah dipastikan tidak ada infeksi. Pemasangan penyalir
intraperitoneal tidak perlu dilakukan pada anak karena justru lebih sering
menyebabkan komplikasi infeksi.
BAB III
KESIMPULAN

Appendisitis adalah peradangan yang terjadi pada appendix vermicularis


dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering pada anak-anak
maupun dewasa. Appendicitis akut merupakan kasus bedah emergensi yang
paling sering ditemukan pada anak-anak dan remaja. Gejala appendisitis akut pada
anak-anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya rewel dan tidak mau
makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa nyerinya. Dalam beberapa jam
kemudian akan timbul muntah-muntah dan akan menjadi lemah dan letargi.
Gejala appendisitis pada dewasa lebih jelas daripada anak-anak. Gejala
appendisitis sering diketahui jika telah terjadi perforasi. Pada appendisitis dapat
dilakukan tindakan konservatif dan tindakan pembedahan.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Syamsuhidayat, R dan de Jong, Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi


ketiga. Jakarta : Penerbit buku kedokteran EGC , 2010.
2. R. Schrock MD, Theodore. Ilmu Bedah, Edisi Ketujuh, Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1995
3. http://repositoryUSU-Appendisitis-PDF// diakses pada 8 februari 2017
4. http://digilab.unila.ac.id-Appendisitis-PDF// diakses pada 9 februari
2017
5. http://med-Unhas.ac.id-Appendisitis-PDF// diakses pada 9 februari
2017

Anda mungkin juga menyukai