Anda di halaman 1dari 29

TUGAS SISTEM PELEPASAN OBAT

SONOFORESIS PADA SISTEM PELEPASAN OBAT


TRANSDERMAL

Disusun Oleh :
Elsa Fitria Apriani 1506777133

Dosen Pengampu : Dr. Silvia Surini, M.Pharm.Sc., Apt

PROGRAM MAGISTER ILMU KEFARMASIAN


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS INDONESIA
2015
KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan
karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Sistem Pelepasan Obat yang
berjudul ‘Sonoforesis pada Sistem Pelepasan Obat Transdermal’. Makalah ini disusun
untuk memenuhi salah satu syarat nilai mata kuliah Sistem Pelepasan Obat Program Magister
Ilmu Kefarmasian Universitas Indonesia. Makalah ini berisi uraian tentang anatomi dan
fisiologi kulit, sistem pelepasan obat transdermal dan sonoforesis pada sistem pelepasan obat
transdermal.

Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak sekali mendapat bantuan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh
sebab itu, bila ada saran dan kritik yang membangun akan penulis terima dengan hati terbuka.
Akhir kata semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas semua kebaikan dan bantuan yang telah
diberikan selama penyusunan makalah ini dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.

Depok, November 2015

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dewasa ini, pemberian obat melalui kulit atau disebut juga transdermal mengalami
kemajuan. Tujuan utama dari pengembangan sistem pelepasan obat secara transdermal
adalah untuk meningkatkan efisiensi dan keamanan pemberian obat dan memberikan
kenyamanan lebih bagi pasien. Sistem pelepasan obat secara transdermal memiliki beberapa
keuntungan jika dibandingkan dengan sediaan konvensional, diantaranya dapat mencegah
metabolisme lintas pertama dan untuk obat yang tidak sesuai bila diberikan melalui saluran
cerna.
Meskipun sediaan transdermal memiliki banyak keuntungan, akan tetapi tidak
banyak obat yang dapat diberikan melalui rute tersebut. Selain itu, kebanyakan obat
mengalami transport yang sangat lambat ketika melewati kulit dan waktu yang dibutuhkan
untuk mencapai steady state menjadi lama. Berbagai strategi telah dilakukan untuk
meningkatkan penetrasi kulit mulai dari menggunakan agen kimia peningkat penetrasi, cara
fisika, hingga modifikasi gugus fungsi obat agar dapat menembus kulit, khususnya lapisan
stratum korneum. Pada makalah ini, akan dibahas salah satu cara meningkatkan penetrasi
obat melalui kulit dengan metode fisika, yaitu sonoforesis. Metode sonoforesis
menggunakan gelombang ultrasonik untuk meningkatkan penetrasi obat melalui kulit.
Metode ini sudah digunakan di pasaran dan cukup efektif untuk meningkatkan penetrasi
obat melalui kulit

B. PERUMUSAN MASALAH
Makalah ini disusun berdasarkan rumusan masalah berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan sonoforesis?
2. Bagaimanakah mekanisme sonoforesis dalam sistem pelepasan obat transdermal?
3. Apa saja yang mempengaruhi teknik sonoforesis?

C. TUJUAN PENULISAN
Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk memberikan informasi kepada
pembaca mengenai “Sonoforesis pada Sediaan Pelepasan Obat Transdermal” yang dapat
digunakan sebagai teknik pelepasan obat serta sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi
pada mata kuliah Sistem Pelepasan Obat.
D. METODE PENULISAN
Metode yang penulis gunakan dalam penyusunan makalah ini yaitu metode studi
pustaka. Informasi-informasi yang ada dalam makalah ini penulis dapatkan dari beberapa
buku teks, jurnal, dan literatur-literatur lain mengenai Sonoforesis.

E. SISTEMATIKA PENULISAN
Makalah ini penulis susun dalam lima bab yang terdiri dari pendahuluan, tinjauan
pustaka, sonoforesis dan penutup. Pada bab pertama, penulis menjelaskan latar belakang,
perumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan
makalah. Pada bab kedua, penulis menguraikan tentang anatomi dan fisiologi kulit serta
sistem pelepasan obat transdermal. Pada bab ketiga, penulis menguraikan tentang definisi
sonoforesis, gelombang ultrasonik, efek biologi dari sonoforesis, mekanisme sonoforesis,
faktor yang mempengaruhi sonoforesis, hubungan sinergis sonoforesis dan enhancer
transdermal lainnya, perbaikan kulit setelah penggunaan sonoforesis dan aplikasi
sonoforesis. Pada bab empat, penulis menguraikan penggunaan sonoforesis pada
transdermal. Pada bab lima, penulis membuat kesimpulan isi makalah. Akhirnya, penulis
menyajikan daftar pustaka sebagai bahan referensi penulis dalam penyusunan makalah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI KULIT


Kulit merupakan organ terluar yang melindungi tubuh dari lingkungan luar. Secara
anatomi, kulit dibagi menjadi tiga lapisan yaitu lapisan epidermis, dermis, dan jaringan
subkutan atau hipodermis.

Gambar 1. Struktur Kulit

1. Epidermis
Epidemis merupakan lapisan terluar dari kulit. Epidermis terdiri dari lapisan
squamous epithelium. Epidermis dapat dibagi menjadi lima lapisan, yaitu :
a) Stratum Korneum
Stratum korneum merupakan lapisan kulit yang paling luar dan terdiri atas beberapa
lapisan sel-sel gepeng yang mati, tidak berinti, dan protoplasmanya telah berubah
menjadi keratin (zat tanduk). Stratum korneum ini merupakan suatu barrier terhadap
UV, mekanis dan juga hidrasi.

Gambar 2. Fungsi Barrier dari Stratum Korneum


b) Stratum Lucidum
Stratum Lucidum berada dibawah stratum korneum, terdiri atas lapisan tipis sel
epidermis eosinofilik yang sangat gepeng, tidak berinti dan sitoplasma terdiri atas
keratin padat.
c) Stratum Granulosum
Stratum granulosum terdiri atas 2 atau 3 lapis sel-sel gepeng dengan sitoplasma
berbutir kasar dan terdapat inti di antaranya. Butir-butir kasar ini terdiri atas
keratohialin.
d) Stratum Spinosum
Stratum spinosum terdiri atas beberapa lapis sel yang berbentuk poligonal yang
besarnya berbeda-beda karena adanya proses mitosis. Protoplasmanya jernih karena
banyak mengandung glikogen, dan inti terletak ditengah-tengah. Sel-sel ini makin
dekat ke permukaan makin gepeng bentuknya. Di antara sel-sel stratum spinosun
terdapat jembatan-jembatan antar sel yang terdiri atas protoplasma dan tonofibril atau
keratin. Pelekatan antar jembatan-jembatan ini membentuk penebalan bulat kecil yang
disebut nodulus Bizzozero. Di antara sel-sel spinosum terdapat pula sel Langerhans.
e) Stratum Basal/Germinativum
Stratum germinativum terdiri atas sel-sel berbentuk kubus yang tersusun vertical pada
perbatasan dermo-epidermal berbasis seperti pagar (palisade). Lapisan ini merupakan
lapisan epidermis yang paling bawah. Sel-sel basal ini mengalami mitosis sehingga
stratum ini bertanggung jawab dalam proses pembaharuan sel-sel epidermis secara
berkesinambungan. Lapisan ini terdiri atas dua jenis sel yaitu sel-sel yang berbentuk
kolumnar dengan protoplasma basofilik inti lonjong dan besar, dihubungkan satu
dengan lain oleh jembatang antar sel, dan sel pembentuk melanin atau clear cell yang
merupakan sel-sel berwarna muda, dengan sitoplasma basofilik dan inti gelap, dan
mengandung butir pigmen (melanosomes).
Gambar 3. Lapisan Epidermis

2. Dermis
Lapisan dermis adalah lapisan yang terletak dibawah lapisan epidermis. Lapisan
dermis yang jauh lebih tebal daripada epidermis. Lapisan ini terdiri atas lapisan elastis
dan fibrosa padat dengan elemen-elemen selular dan folikel rambut. Secara garis besar
dibagi menjadi 2 bagian yakni pars papilare yaitu bagian yang menonjol ke epidermis,
berisi ujung serabut saraf dan pembuluh darah, dan pars retikulare yaitu bagian bawahnya
yang menonjol ke arah subkutan, bagian ini terdiri atas serabut-serabut penunjang
misalnya serabut kolagen, elastin dan retikulin. Dasar lapisan ini terdiri atas cairan kental
asam hialuronat dan kondroitin sulfat, di bagian ini terdapat pula fibroblast, membentuk
ikatan yang mengandung hidrksiprolin dan hidroksisilin. Kolagen muda bersifat lentur
dengan bertambah umur menjadi kurang larut sehingga makin stabil. Retikulin mirip
kolagen muda. Serabut elastin biasanya bergelombang, berbentuk amorf dan mudah
mengembang serta lebih elastis.

Gambar 4. Lapisan Dermis


3. Hipodermis
Lapisan hipodermis atau subkutan terdapat di bagian bawah dermis. Lapisan
subkutan tersusun atas jaringan ikat dan lemak. Lapisan ini berfungsi sebagai pelindung
dan membantu keseimbangan tubuh dengan cara memonitoring peningkatan suhu dan
panas yang hilang. Subkutan sebagian besar tersusun atas sel lemak (adiposit), saraf dan
pembuluh darah. Sel lemak tersusun hingga lobulus, yang terpisahkan oleh struktur yang
dikenal dengan septae. Septae mengandung saraf, pembuluh darah besar, jaringan serat
dan fibroblasts.

Gambar 5. Lapisan Hipodermis

B. SISTEM PELEPASAN OBAT TRANSDERMAL


Sistem pelepasan obat transdermal adalah sistem yang memfasilitasi obat atau zat
aktif masuk ke sirkulasi sistemik melalui kulit dengan dosis terapetik dan memberikan efek
sistemik. Bukti penyerapan obat secara perkutan dapat dilihat melalui pengukuran
konsentrasi obat atau zat aktif dalam darah, deteksi obat yang diekskresi dan/atau metabolit
obat dalam urin, dan respon klinis pasien terhadap terapi.
Keuntungan dari sistem pelepasan obat trasndermal dibandingkan dengan sediaan
konvensional diantaranya :
a. Sistem pelepasan obat transdermal dapat meningkatkan bioavailabilitas dari banyak obat
dengan menghindari masalah spesifik terkait dengan obat seperti iritasi gastrointestinal,
absorbsi rendah, dekomposisi karena first pass effect di hati, waktu paruh pendek yang
mengharuskan frekuensi pemberian dosis sering
b. Sistem ini mempermudah pasien dalam menggunakannya, karena hanya perlu
menempelkannya di permukaan kulit (patch)
c. Karena frekuensi dosisnya diturunkan, penghantaran transdermal dapat memberikan
kenyamanan dan meningkatkan kepatuhan pasien
d. Menghindari kesulitan absorpsi obat melalui saluran cerna yang disebabkan oleh pH
saluran cerna, aktivitas enzimatik, dan interaksi antara obat dengan makanan, minuman,
dan obat oral lainnya
e. Menggantikan pemakaian obat melalui mulut karena muntah dan/atau diare
f. Bersifat non – invasif dan menghindari ketidaknyamanan terapi parenteral
g. Penghentian efek obat dapat dilakukan secara cepat (apabila diperlukan secara klinik)
dengan cara melepaskan pemakaian obat dari permukaan kulit
h. Menyediakan kemudahan identifikasi secara cepat tentang pengobatan dalam keadaan
darurat (misalnya tidak menerima, tidak sadar, atau pasien dalam keadaan koma)
(Gaikwad, 2013).
Meskipun sistem pelepasan obat transdermal memiliki banyak keuntungan, namun
sistem pelepasan obat transdermal juga memiliki beberapa kekurangan diantaranya :
a. Hanya obat-obat yang relatif mempunyai potensi yang sesuai dapat melalui kulit oleh
karena sifat permeabilitas kulit, sehingga obat yang dapat masuk menembus pada kulit
terbatas
b. Sediaan transdermal dapat menimbulkan dermatitis kontak pada beberapa pasien dilokasi
pemberian sediaan sehingga pemakaian harus dihentikan
c. Penggunaan penghantaran transdermal mungkin tidak ekonomis
d. Metode ini terbatas hanya untuk molekul zat aktif yang poten, dimana dosis hariannya
kurang dari 10 mg atau konsentrasi efektif plasma dalam ng/mL (Gaikwad, 2013).
Tidak semua obat bisa diberikan secara transdermal. Obat-obat yang bisa diberikan
secara transdermal harus memenuhi sifat fisika kimia dan sifat biologi tertentu. Sifat fisika
kimia yang harus dipenuhi antara lain :
a. Obat harus memiliki bobot molekul kurang dari 500 dalton.
b. Obat memiliki afinitas baik pada fase lipofilik maupun hidrofilik.
c. Obat harus memiliki titik lebur yang rendah yaitu kurang dari 200oC.
d. Obat dengan koefisien partisi terlalu rendah atau tinggi akan sulit mencapai sirkulasi
sistemik, sehingga obat yang diberikan secara transdermal umumnya memiliki nilai log
P 1 sampai 3.
Sedangkan sifat biologi yang harus dipenuhi antara lain :
a. Obat memiliki konsentrasi yang cukup untuk dosis harian.
b. Waktu paruh obat pendek.
c. Obat tidak menimbulkan respon alergi dan iritasi.
d. Obat yang terdegradasi di dalam saluran cerna dan di-inaktivasi oleh first pass effect di
hati, cocok untuk diberikan secara transdermal (Bhowmik et al, 2013).
Obat akan mencapai sirkulasi sistemik dengan beberapa tahap, yaitu :
1. Adsorpsi dari molekul penetran ke lapisan permukaan stratum korneum.
2. Obat akan mengalami permeasi dimana obat akan berdifusi dari satu lapisan ke lapisan
lain hingga ke lapisan dermis secara difusi pasif.
3. Ketika molekul obat mencapai lapisan vaskular dermis, molekul obat akan diabsorbsi ke
dalam sirkulasi sistemik (Dhamecha et al, 2009).
Penetrasi obat menembus kulit dapat terjadi dengan beberapa cara, yaitu :
1. Penetrasi Interseluler
Molekul obat melewati celah sempit antara sel stratum korneum. Umumnya terlihat pada
kasus obat – obat hidrofilik. Stratum korneum terhidrasi dan terjadi akumulasi air dekat
permukaan luar dari filamen protein. Molekul polar nampak bergerak melewati air.
2. Penetrasi Transeluler
Bahan – bahan non polar mengikuti rute dari penetrasi interseluler. Molekul – molekul
ini melarut dan berdifusi melalui matriks lipid non aqueous yang selanjutnya diserap
antara filamen protein.
3. Penetrasi Transappendegeal
Rute penetrasi ini juga disebut sebagai jalur shunt. Pada rute ini, molekul obat
kemungkinan melintasi melalui folikel rambut, jalur sebasea dari pilosebaseus atau jalur
aqueous dari kelenjar keringat. Jalur transappendegeal dipertimbangkan sebagai jalur
minor yang penting karena secara relatif memiliki area yang sangat kecil (kurang dari
0,1% dari total permukaan). Namun rute ini kemungkinan penting untuk beberapa
senyawa - senyawa polar yang berukuran besar (Dhamecha et al, 2009)

Gambar 6. Rute Penetrasi Obat Transdermal

Untuk meningkatkan penetrasi obat transdermal biasanya digunakan suatu


Enhancer. Enhancer meningkatkan penetrasi obat dengan cara merusak struktur lapisan
stratum korneum dan bisa juga dengan meningkatkan kelarutan obat. Enhancer untuk
meningkatkan penetrasi obat transdermal dibagi menjadi 3 kelompok yaitu :
1. Physical Enhancer
Physical enhancer yang telah digunakan untuk meningkatkan penetrasi obat antara lain
iontoforesis, elektroforasi, magnetoforesis, microneedle dan ultrasound atau dikenal juga
sebagai sonoforesis.
2. Chemical Enhancer
Bahan kimia yang biasa digunakan sebagai peningkat penetrasi obat antara lain
sulfoksida, glikol, alkanol, terpen, azon dan lain-lain. Enhancer kimia ini meningkatkan
penetrasi obat dengan cara meningkatkan permeabilitas obat melalui kulit yang
menyebabkan lapisan stratum korneum rusak secara reversibel dan dengan cara
meningkatkan koefisien partisi obat sehingga obat dapat lepas dari pembawanya.
The enhancers of Transdermal drug delivery system
3. Particulate System
Partikulat yang dapat meningkatkan penetrasi obat antara lain liposom, microemulsion,
transfersome, niosome dan nanopartikel (Sharma et al, 2013).
Faktor yang mempengaruhi bioavailibilitas obat melalui transdermal dibagi
menjadi 2 kelompok yaitu :
1. Faktor Fisiologis
- Lapisan Stratum Korneum
Stratum korneum merupakan penghalang utama dalam pengantaran obat secara
transdermal. Oleh karena itu, untuk meningkatkan bioavabilitas obat transdermal
dibutuhkan strategi untuk meningkatkan pengantaran obat transdermal dengan cara
merubah komposisi atau susunan dari lipid interselular, seperti menggunakan
peningkat penetrasi (penetration enhancer). Situasi pada stratum korneum tidak dapat
ditrentukan. Pada sediaan yang bersifat sangat lipofilik (seperti campuran octanol-air
dengan koefisien partisi >104), keterbatasan dalam pengantaran obat bukan
dikarenakan oleh difusi melewati stratum korneum, tapi dikarenakan oleh gaya kinetik
meninggalkan membran ini dan masuk ke dalam epidermis yang memiliki sifat lebih
hidrofil. Campuran seperti ini memberikan dua masalah lain dalam bioavabilitas
transdermal, yaitu:
a) Lag-time: terjadi jeda waktu yang cukup panjang untuk obat mencapai kadar yang
dibutuhkan dalam darah karena partisi kinetik yang lambat.
b) Zat aktif atau obat, karena daya tarik yang kuat karena sifat lipofilik stratu
korneum, sering terbentuk reservoir dalam membran dan tetap terjadi pelepasan
obat walaupun sediaan telah dilepas atau dihilangkan.
- Anatomi Kulit
Kemampuan absorbsi pada kulit berbeda-beda pada setiap tempat. Tempat-tempat
dengan permeabilitas yang tinggi umunya untuk obat-obat tertentu seperti testosteron
patch yang dipakai pada skrotum. Dan seringkali penggunaan transdermal memiliki
fungsi yang sama walaupun tempat pemasangan yang berbeda, dan lokasi yang
direkomendasikan sering tergantung kenyamanan pasien.
- Kondisi Kulit dan Penyakit
Perubahan fungsi pelindung dari kulit menjadi penyakit kulit merupakan hasil dari
perubahan komposisi lipid/protein stratum korneum atau diferensiasi epidermis yang
abnormal. Penggunaan trandermal hanya pada kulit yang normal, terbebas dari
patologi dermatologi.
- Metabolime Kulit
Kulit memetabolisme hormon steroid, karsinogenik, dan obat Presistemik
metabolisme dalam kulit dapat mempengaruhi bioavabilitas obat. Contohnya:
“cutaneous first-past effect” pada nitroglycerin terjadi 15-20%. Bagian epidermis aktif
merupakan jaringan yang aktif secara biokimia dengan kemampuan metabolisme.
- Iritasi dan Sensitifitas Kulit
Obat yang digunakan untuk pemberian secara transdermal tidak boleh mengiritasi
kulit.
2. Faktor Formulasi
- Enhancer penetrasi yang digunakan
- Metode aplikasi
- Sifat fisikokimia pembawa yang digunakan
Obat harus memiliki kecenderungan berikatan pada kulit lebih besar daripada dengan
pembawa.kelarutan obat dalam minyak dan air (koefisien partisi) sangat penting
dalam efektifitas absorbsi dan laju penetrasi. Umumnya obat berpenetrasi lebih baik
ke dalam kulit, dalam bentuk molekul dibanding terion. Obat nonpolar lebih mudah
masuk dengan rute transelular, sedangkan obat polar dengan rute interselular.
- Konsentrasi obat
Umumnya jumlah obat yang diabsorbsi secara perkutan tiap unit dari luar permukaan
per interval waktu meningkat dengan meningkatnya konsentrasi obat dalam sistem
transdermal (Latheeshjlal et al, 2011).
BAB III
SONOFORESIS

A. DEFINISI SONOFORESIS
Sonoforesis telah banyak digunakan untuk pelepasan obat melalui transdermal.
Penggunaan gelombang ultrasonik sebagai peningkat penetrasi pertama kali muncul tahun
1954 dimana Fellinger dan Schmidt melaporkan bahwa mereka telah berhasil melakukan
pengobatan poliartritis menggunakan salep hidrokortison dengan sonoforesis. Penelitian
yang dilakukan oleh Fellinger dan Schmidt menunjukkan bahwa penggunaan hidrokortison
yang dikombinasi dengan sonoforesis memberikan efek pelepasan yang lebih baik.
Semenjak saat itu, penggunaan sonoforesis dalam pelepasan obat transdermal mulai
berkembang dan banyak diteliti (Mitragotri and Kost, 2008).

Gambar 7. Gelombang Ultrasonik sebagai Peningkat Penetrasi

Sonoforesis adalah teknik yang secara eksponensial meningkatkan absorpsi obat


melalui epidermis, dermis dan kulit pelengkap. Sonoforesis meningkatkan absorpsi obat
melalui kombinasi antara termal, kimia dan mekanis. Sonoforesis terjadi karena gelombang
ultrasonik menstimulasi getaran mikro melalui epidermis kulit dan meningkatan energi
kinetik molekul obat. Sonoforesis telah banyak digunakan untuk pemberian obat melalui
transdermal di Rumah Sakit. Mekanisme kerja dari sonoforesis secara umum adalah ketika
gelombang ultrasonik dipancarkan pada frekuensi tertentu, gelombang ini akan merusak
membran lipid bilayer sehingga menciptakan lubang di kulit dan memungkinkan obat untuk
masuk ke dalam kulit. Frekuensi yang biasa digunakan pada sonoforesis berkisar antara 20
kHz hingga 16 MHz dengan intensitas mencapai 3 W/cm2. Menurut Mitragotri (2008),
frekuensi ideal yang digunakan pada sonoforesis adalah 50-60 kHz.
B. GELOMBANG ULTRASONIK
Gelombang ultrasonik merupakan gelombang longitudinal dengan frekuensi di atas
20 kHz atau frekuensi diluar jangkauan pendengaran manusia.

Gambar 8. Frekuensi gelombang ultrasonik

Gelombang ini dikarakterisasi oleh dua parameter utama yaitu frekuensi dan
amplitudo. Amplitudo ultrasonik digambarkan sebagai tekanan gelombang puncak (dalam
Pascal) atau intensitas (W/cm2) (Pahade et al, 2010). Intensitas mendefinisikan jumlah
energi yang disampaikan oleh gelombang ultrasonik saat melewati situs pengiriman obat
tertentu (Meidan, 2003).

Gambar 9. Gelombang Ultrasonik

Gelombang ultrasonik dihasilkan dari perangkat yang disebut sonikator. Sonikator


terdiri dari sinyal listrik yang kemudian diubah menjadi energi mekanik dalam bentuk
getaran yang menghasilkan gelombang akustik. Sonikator yang tersedia di pasaran memiliki
frekuensi pada kisaran 20 kHz hingga 3 mHz. Jika frekuensi yang digunakan tidak terdapat
di pasaran maka bisa dilakukan modifikasi antara generator sinyal, amplifier dan transducer
(Pahade et al, 2010).
Gelombang ultrasonik dihasilkan dari fenomena yang disebut efek piezoelectric, di
mana arus listrik bolak balik dengan frekuensi tinggi dilewatkan pada kristal quartz atau
silikon dioksida, atau bahan polikristal tertentu seperti timbal-zirconate-titanate (PZT) dan
barium titanate. Kristal tersebut mengalami deformasi berirama akibat arus listrik sehingga
menghasilkan getaran ultrasonik. Pada proses pembentukan gelombang ultrasonik, energi
listrik dikonversi menjadi energi mekanik dalam bentuk getaran yang menghasilkan
gelombang akustik. Frekuensi dari gelombang yang diemisikan bergantung pada ukuran
kristal. Peredaman gelombang akustik berbanding terbalik dengan frekuensi sehingga
makin besar frekuensi maka ultrasonik akan makin sulit berpenetrasi hingga ke dalam kulit
(Nanda et al, 2011).

Gambar 10. Efek Piezoelektrik

Pada teknik sonoforesis, obat yang diinginkan dilarutkan dalam pelarut dan
diaplikasikan pada kulit. Sonoforesis diaplikasikan dengan menghubungkan transducer
dengan kulit melalui suatu medium untuk memastiikan bahwa terjadi kontak yang baik
antara transducer dengan kulit. Medium yang digunakan dapat berupa pelarut yang
digunakan untuk melarutkan obat atau dapat juga menggunakan medium gel untuk
sonoforesis yang telah tersedia di pasaran seperti Aquasonic, Polar, NJ (Pahade et al, 2010).

Gambar 11. Ultrasonic Generation System


C. KLASIFIKASI SONOFORESIS
Ada tiga macam sonoforesis berdasarkan rentang frekuensi yang digunakan, yaitu:
1. Sonoforesis Frekuensi Tinggi
Sonoforesis frekuensi tinggi memiliki frekuensi antara 3 hingga 10 MHz. Sonoforesis
frekuensi tinggi biasa digunakan untuk diagnostik klinis (Pahade et al, 2010).
2. Sonoforesis Frekuensi Sedang
Sonoforesis frekuensi sedang memiliki frekuensi antara 0.7 hingga 3 MHz. Sonoforesis
frekuensi sedang biasa digunakan untuk terapi fisik (Pahade et al, 2010).
3. Sonoforesis Frekuensi Rendah
Sonoforesis frekuensi rendah memiliki frekuensi dibawah 100 kHz. Sonoforesis
frekuensi rendah dibagi menjadi dua macam, yaitu :
a. Sonoforesis kontinyu
Sonoforesis kontinyu merupakan sonoforesis yang dilakukan secara simultan
selama pengobatan. Metode ini meningkatkan transpor transdermal dengan dua cara
yaitu meningkatkan difusi melalui perubahan struktural kulit dan konveksi yang
diinduksi oleh ultrasonik. Peningkatan transpor transdermal akan berkurang setelah
ultrasonik dimatikan. Oleh karena itu, metode ini digunakan untuk memperoleh
kontrol sementara transpor transdermal. Dengan metode ini pasien harus
menggunakan alat ultrasonik selama pengobatan (Mitragotri and Kost, 2008).
b. Sonoforesis pretreatment
Pada metode ini, penggunaan ultrasonik adalah untuk meningkatkan
permeabilitas kulit yang dilakukan sebelum pemberian obat dimana kulit berada
dalam status permeabilitas tinggi selama beberapa jam sebelum kembali ke normal.
Obat dapat dihantarkan melalui kulit yang permeabel selama periode tersebut.
Ultrasonik yang digunakan untuk sonoforesis tipe ini memiliki intensitas tinggi
(sekitar 7 W/cm2, 20 kHz) dan dapat meningkatkan permeabilitas kulit hingga 100
kali lipat selama lebih dari 10 jam. Dengan metode ini, pasien tidak perlu
menggunakan alat ultrasonik. Alat ultrasonik dapat diletakkan pada kulit selama
jangka waktu yang pendek kemudian diikuti dengan pemberian sediaan transdermal
(Mitragotri and Kost, 2008).
D. MEKANISME SONOFORESIS
1. Kavitasi
Kavitasi merupakan pembentukan rongga gas dalam medium yang terpapar
ultrasonik. Penyebab utama kavitasi adalah variasi tekanan dalam medium yang
diinduksi oleh ultrasonik. Ada 2 tipe kavitasi, yaitu:
a. Kavitasi inersial : pertumbuhan dan pecahnya gas yang berlangsung cepat.
b. Kavitasi stabil : gerakan osilasi yang lambat dari gelembung dalam area yang terpapar
ultrasonik.

Gambar 12. Pembentukan gelembung udara akibat paparan ultrasonic

Kavitasi dapat terjadi di dalam maupun di luar kulit. Kavitasi dapat terjadi di dalam
jaringan biologis yang terpapar gelombang ultrasonik yang disebabkan adanya inti gas
dalam jumlah besar yang terdapat secara alami di dalam jaringan biologi. Inti tersebut
merupakan kantung udara yang terjerap baik di dalam struktur intraseluler maupun
ekstraseluler. Kavitasi di dalam stratum korneum dapat terjadi di keratinosit atau daerah
lipid, ataupun keduanya. Akan tetapi karena efek ultrasonik pada transpor transdermal
sangat bergantung pada kandungan udara yang terlarut dalam cairan di sekelilingnya, dan
sebagian besar air di stratum korneum ada di keratinosit, maka kavitasi paling utama
terjadi di keratinosit
Gambar 13. Kavitasi di dalam kulit

Osilasi gelembung kavitasi akibat ultrasonik yang berada di dekat antarmuka


keratinosit-lipid bilayer dapat menyebabkan osilasi lipid bilayer. Gelombang kejut yang
dihasilkan dari pecahnya gelembung kavitasi pada antarmuka juga dapat berkontribusi
dalam mengacak-acak struktur lipid. Karena difusi permean melalui lipid bilayer yang
tidak beraturan lebih cepat daripada melalui lipid bilayer normal, maka transpor
transdermal dengan adanya ultrasonik menjadi lebih cepat.
Kavitasi dapat terjadi pada cairan di sekitar kulit setelah terpapar ultrasonik.
Gelembung kavitasi ini memainkan peranan penting dalam meningkatkan penetrasi
perkutan (Mitragotri et al, 1995). Pertama, gelembung ini dapat menyebabkan erosi kulit
ketika pecah pada permukaan kulit, karena terbentuk gelombang kejut, sehingga
meningkatkan transport transdermal. Kedua, osilasi dan pecahnya gelembung kavitasi
juga menghasilkan microstreaming yaitu arus mikroskopik dengan kecepatan tinggi pada
antarmuka kulit-cairan pendonor. Arus mikro tersebut menginduksi transpor konvektif
melalui kulit, yaitu transpor panas melalui medium cair atau gas, sehingga meningkatkan
transpor transdermal.

2. Efek termal
Gelombang ultrasonik tidak melewati jaringan dengan efisiensi 100%. Selama
proses perambatannya, sebagian gelombang ultrasonik akan dihamburkan dan sebagian
lagi diabsorpsi oleh jaringan sehingga terjadi peredaman gelombang yang dipancarkan.
Energi yang hilang dikonversi menjadi panas sementara sisanya berpenetrasi dan
merambat melalui medium. Absorpsi ultrasonik meningkatkan suhu medium. Bahan
yang memiliki koefisien absorpsi ultrasonik lebih tinggi akan mengalami efek termal
akut. Kuantitas panas yang diabsorpsi tergantung pada karakteristik jaringan yang
diiradiasi dan jumlah energi ultrasonik yang melewatinya (Meidan, 2003). Jaringan
dengan kandungan protein yang tinggi menyerap energi lebih mudah dibandingkan
dengan jaringan dengan kandungan lemak yang lebih tinggi. Peningkatan suhu dapat
meningkatkan permeabilitas kulit dengan cara: meningkatkan energi kinetik dan
difusivitas senyawa obat, mendilatasi titik masuk pada kulit (misalnya folikel rambut dan
kelenjar keringat), memfasilitasi absorpsi obat, dan meningkatkan sirkulasi darah pada
area tempat aplikasi.

3. Mekanisme terkait konveksi


Aliran cairan dihasilkan pada medium berpori yang terpapar ultrasonik karena
interferensi gelombang ultrasonik pada sel difusi dan osilasi gelembung kavitasi. Aliran
cairan tersebut mempengaruhi transport transdermal dengan menginduksi transpor
konvektif permean melalui kulit, khususnya melalui folikel rambut dan saluran keringat.
Akan tetapi mekanisme ini tidak berlaku untuk sonoforesis dengan cara pretreatment
karena pada cara itu, obat tidak ada di permukaan kulit pada saat pemaparan ultrasonic
(Pahade et al, 2010).

E. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI SONOFORESIS


Faktor-faktor yang mempengaruhi sonoforesis antara lain :
1. Frekuensi
Gelombang akustik berbanding terbalik dengan frekuensi. Semakin besar frekuensi maka
gelombang ultrasonik yang berpenetrasi ke kulit akan semakin berkurang, begitu juga
sebaliknya bila frekuensi yang digunakan dalam sonoforesis rendah (kurang dari 20 kHz)
maka permeabilitas kulit akan meningkat.
2. Intensitas
Konduktivitas kulit meningkat dengan meningkatnya intensitas namun hanya sampai
intensitas tertentu kemudian akan mengalami penurunan. Penurunan konduktivitas kulit
pada intensitas yang lebih tinggi ( lebih dari 15 W/cm2) dapat disebabkan karena adanya
efek lain seperti “decoupling acoustic” yaitu fenomena dimana kavitasi yang dihasilkan
dekat dengan sumber ultrasonik pada saat pembentukkan rongga gas sehingga
mengurangi jumlah energi yang dikirim ke sistem.
3. Mode
Sonoforesis dapat diaplikasikan dengan dua mode yaitu kontinyu dan pulsed sequential.
Kenaikan suhu lebih cepat dan intens jika menggunakan mode kontinyu. Mode pulsed
sequential biasanya digunakan untuk mengurangi keparahan efek samping seperti efek
termal (Pahade et al, 2010).

F. KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN SONOFORESIS


1. Keuntungan dari sonoforesis antara lain:
a. Dapat meningkatkan penetrasi obat lebih baik dibandingkan transport aktif
b. Dapat melakukan pengawasan ketat terhadap penetrasi transdermal
c. Memungkinkan penghentian dengan cepat pada saat pemberian obat melalui
penghentian ultrasonik
d. Kulit tetap pada kondisi baik, karena resiko infeksi rendah
e. Mengurangi kekhawatiran pasien karena rasa sakit seperti pemberian dengan injeksi
f. Tidak mengganggu sistem kekebalan tubuh
2. Kerugian dari sonoforesis antara lain :
a. Membutuhkan waktu untuk mengaplikasikannya
b. Menimbulkan rasa kesemutan, iritasi dan panas (efek ini dapat diminimalisir dengan
cara melakukan pengaturan terhadap gelombang ultrasonik)
c. Kulit harus dalam kondisi baik untuk penetrasi obat yang efektif (Escobar-Chavez et
al, 2012).

G. PERBAIKAN BARRIER KULIT SETELAH PERLAKUAN SONOFORESIS


Penggunaan sonoforesis hanya merusak kulit sementara dan tidak bersifat
permanen. Proses ini bersifat reversibel. Setelah beberapa jam penggunaan sonoforesis,
permeabilitas kulit akan kembali seperti semula dan tidak ada perbedaan antara bagian kulit
yang diaplikasikan sonoforesis dengan kulit yang tidak di aplikasikan sonoforesis.

H. APLIKASI SONOFORESIS
 Transdermal drug delivery
 Pengobatan glaukoma dan infeksi kornea
 Nail drug delivery
 Pengobatan berbagai jenis cedera olahraga
 Terapi kecantikan kulit
 Hormone delivery
 Low frequency ultrasonic gene delivery

I. HUBUNGAN SINERGIS SONOFORESIS DAN ENHANCER TRANSDERMAL


LAINNYA
Sonoforesis frekuensi rendah telah terbukti meningkatkan pelepasan obat transdermal.
Kombinasi sonoforesis dengan enhancer lain juga telah terbukti lebih efektif dibandingkan
penggunaan sonoforesis saja. Sonoforesis frekuensi rendah yang dikombinasikan dengan
enhancer kimia dan iontoforesis telah terbukti meningkatkan permeabilitas kulit.
1. Sonoforesis dengan Enhancer Kimia
Tezel et al (2001), melakukan evaluasi dari efek kombinasi sonoforesis frekuensi rendah
(20 kHz) dengan Sodium Lauril Sulfat (SLS). SLS merupakan surfaktan yang berguna
sebagai enhancer kimia dalam pelepasan transdermal. Penggunaan SLS sendiri diketahui
dapat menginduksi peningkatan permeabilitas kulit sekitar 3 kali lipat dalam waktu 90
menit. Sedangkan penggunaan sonoforesis sendiri dapat menginduksi peningkatan
permeabilitas kulit sekitar 8 kali lipat dalam waktu 90 menit. Ketika sonoforesis dan SLS
dikombinasi maka permeabilitas kulit dapat ditingkatkan hingga 200 kali lipat.
2. Sonoforesis dengan Iontoforesis
Le et al (2000), melakukan evaluasi dari efek kombinasi sonoforesis frekuensi rendah
dengan iontoforesis pada pelepasan transdermal menggunakan heparin sebagai model
obat. Sonoforesis diaplikasikan hanya sekali untuk setiap bagian kulit (menggunakan
larutan dodesil piridinium klorida) selama sekitar 10 menit sebelum penggunaan
iontoforesis. Kombinasi sonoforesis dan iontoforesis meningkatan pelepasan obat
heparin sekitar 56 kali lipat. Pelepasan obat ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan
pelepasan obat yang hanya menggunakan sonoforesis (3 kali lipat) maupun iontoforesis
(15 kali lipat).
BAB IV
PENGGUNAAN SONOFORESIS PADA TRANSDERMAL

Sistem Penghantaran Transdermal Diklofenak Dengan Teknik Sonoforesis

A. PENDAHULUAN
Penelitian ini dilakukan oleh Basson (2005) untuk mengetahui efek dari teknik
sonoforesis terhadap permeasi obat diklofenak. Diklofenak merupakan obat golongan
NSAID yang digunakan sebagai anti inflamasi. Banyak obat diklofenak yang diberikan
secara transdermal yang tidak dapat berpenetrasi secara optimum. Sehingga dalam
penelitian ini akan dilihat efek dari teknik sonoforesis terhadap permeabilitas obat
diklofenak dan kadar obat diklofenak dalam darah.

B. BAHAN DAN METODE


1. Kulit
Spesimen kulit diperoleh dari kelebihan jaringan yang diambil dari 18 wanita dengan
usia rata-rata 41 ±13 SD (dari rentang usia 18 – 62 tahun), selama prosedur breast
reduction di Rumah Sakit Louis Leipoldt. Tidak ada spesimen yang terbukti secara klinis
mengalami penyakit yang dapat mempengaruhi permeabilitas kulit.
Semua spesimen kulit segera ditempatkan dalam cairan transport dan ditrasnfer ke
laboratorium dalam waktu 24 jam. Spesimen kulit dari setiap pasien (10 x 10 mm)
dibekukan dengan cepat dalam cairan nitrogen dan disimpan pada suhu -85oC. Ketika
akan digunakan, spesimen kulit dicairkan dan dihidrasi selama 24 jam pada suhu 4oC.
Untuk pengujian in vivo, subjek uji adalah 14 relawan sehat. Penelitian ini telah disetujui
oleh Komite Etik Universitas Stellenbosch dan Rumah Sakit Akademik Tygerberg.
2. Diklofenak
Diklofenak yang digunakan dalam penelitian ini adalag Voltaren Emulgel®.
3. Sonikasi
Spesimen kulit diletakkan pada kantong plastik berisi gel dan ditutup rapat dengan
Parafilm® dan dimasukkan ke dalam fenestration ukuran 6 x 6 mm.
Gambar 14. Spesimen kulit yang ditutup Parafilm®

Sejumlah diklofenak (0.05 ml ~ 0.05 mg) diaplikasikan pada daerah kulit terpapar dan
transducer ditempatkan diatas gel. Gel ini juga bertindak sebagai medium kontak.
Sonoforesis dilakukan dengan intensitas 2 W/cm2 dan frekuensi 3 MHz selama 10 menit
menggunakan sonikator Sonopuls 590®. Spesimen kontrol yang tidak terpapar
sonoforesis tetap dilakukan pengujian permeabilitas. Spesimen kontrol juga tetap
diberikan diklofenak.

Gambar 15. Sonopuls 590®

Gambar 16. Transducer Head


4. Uji Permeabilitas
Spesimen kulit kontrol dan yang disonikasi di pasang pada flow through diffusion cell.
Uji permeabilitas dilakukan pada 7 replikasi jaringan kulit untuk setiap pasien. Voltaren
emulgel® ditempatkan pada donor compartment dari sistem flow through diffusion cell.

Gambar 17. Flow through diffusion cell system

Gel ditutup dengan Teflon disk dan 0.5 ml PBS. PBS pada suhu 37oC dipompa melalui
acceptor chamber pada kecepatan 1.5 ml/jam dan dikumpulkan dengan fraction collector
setiap 2 jam selama 24 jam. Specimen kontrol dan yang telah disonikasi dilakukan
replikasi dan fraksi dikumpulkan setiap 20 menit selama 4 jam. Kadar diklofenak dalam
acceptor chamber dihitung dengan analisis HPLC.
5. Analisis Statistik
Analisis statistik yang digunakan adalah uji t-test dengan taraf kepercayaan 95 %.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Nilai Fluks
Nilai fluks rata-rata dari Voltaren Emulgel® pada spesimen kontrol dan yang disonikasi
terlihat pada Gambar 18. Dari grafik terdapat dua fase (dual stage kinetic diffusion
pattern) dimana fase pertama ditandai dengan lingkaran hijau. Selama fase pertama atau
selama 4 jam pertama terjadi penurunan nilai fluks dan selama fase kedua terjadi
peningkatan nilai fluks baik pada spesimen kontrol maupun spesimen yang disonikasi.
Fluks steady state diperoleh setelah 14 jam. Terjadi perbedaan signifikan pada level 5 %
antara spesimen kontrol dan spesimen yang disonikasi (P = 4.16 x 10-9). Nilai fluks untuk
diklofenak pada spesimen yang disonikasi rata-rata dua kali lipat dibandingkan spesimen
kontrol.

Gambar 18. Nilai fluks rata-rata diklofenak pada spesimen kontrol dan
spesimen yang disonikasi

2. Konsentrasi Diklofenak dalam Darah


Konsentrasi diklofenak dalam darah antara subjek uji yang disonikasi dan tidak
disonikasi tercantum pada gambar 19. Dari grafik terlihat bahwa pada subjek uji yang
disonikasi menunjukkan kadar plasma yang lebih tinggi selama kurang lebih 3 jam
dibandingkan dengan subjek uji yang tidak disonikasi. Dari hasil ini terlihat bahwa uji in
vitro tidak 100 % menggambarkan uji in vivo karena pada uji in vitro pada waktu kurang
dari 4 jam terjadi penurunan nilai fluks sedangkan kadar obat dalam darah ternyata cukup
tinggi.

Gambar 19. Konsentrasi diklofenak dalam darah antara spesimen kontrol dan
spesimen yang disonikasi
BAB V
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Sonoforesis adalah teknik yang secara eksponensial meningkatkan absorpsi obat
melalui epidermis, dermis dan kulit pelengkap.
2. Sonoforesis terjadi karena gelombang ultrasonik menstimulasi getaran mikro melalui
epidermis kulit dan meningkatan energi kinetik molekul obat.
3. Sonoforesis bekerja dengan cara ketika gelombang ultrasonik dipancarkan pada
frekuensi tertentu, gelombang ini akan merusak membran lipid bilayer sehingga
menciptakan lubang di kulit dan memungkinkan obat untuk masuk ke dalam kulit.
4. Berdasarkan rentang frekuensi yang digunakan, sonoforesis dibagi menjadi tiga yaitu
sonoforesis frekuensi tinggi, sonoforesis frekuensi sedang dan sonoforesis frekuensi
rendah.
5. Mekanisme sonoforesis terbagi menjadi 3 yaitu kavitasi, efek termal dan mekanisme
yang terkait konveksi.
6. Frekuensi, intensitas dan mode penggunaan sonoforesis merupakan faktor yang
mempengaruhi penetrasi obat dalam penggunaan sonoforesis.
7. Penggunaan sonoforesis hanya merusak kulit sementara. Setelah beberapa jam
penggunaan, permeabilitas kulit akan kembali seperti semula.
DAFTAR PUSTAKA

Basson, E., 2005, Effect of Ultrasound on Transdermal Permeation of Diclofenac and The
Temperature Effects on Human Skin, Tygerberg : Stellenbosch University.
Bhowmik, D., Pusupoleti, K.R., Duraivel, S., Kumar, K.P.S., 2013, Recent Approaches in
Transdermal Drug Delivery System, The Pharma Journal, Volume 2 No. 3.
Chien, Y.W., 1991, Transdermal Drug Delivery and Delivery System, Novel Drug Delivery
System Second Edition, Taylor & Francis Publishing Services Ltd.
Dhamecha, D.L., Rathi, A.A., Saifee, M., Lahoti, S.R., Dehghan, M.H.G., 2009, Drug Vehicle
Based Approaches of Penetration Enhancement, International Journal of Pharmacy and
Pharmaceutical Science, Volume 1 No. 1.
Escobar-Chavez, J.J., Rodríguez-Cruz, I.M., Domínguez-Delgado, C.L., 2012, Chemical and
Physical Enhancers for Transdermal Drug Delivery, Pharmacology, Croatia : InTech.
Gaikwad, A.K., 2013, Transdermal Drug Delivery System : Formulation Aspects and
Evaluation, Journal of Pharmaceutical Sciences, Volume 1 No. 1.
Hadgraft, J., 2008, Dermal and Transdermal Delivery, Modified Release Drug Delivery
Technology, CRC Press.
Latheeshjlal, L., Phanitejaswini, P., Soujanya, Y., Swapna, U., Sarika, V., Moulika, G., 2011,
Transdermal Drug Delivery System : An Overview, International Journal of PharmTech
Research, Volume 3 No. 4.
Le, L., Kost, J., Mitragotri, S., 2000, Combined effect of low-frequency ultrasound and
iontophoresis: applications for transdermal heparin delivery, Pharmaceutical Research,
Volume 17 No. 9, 1151–1154.
Lee, Y.F., Liu, H.N., 2002, The antinociceptive effect of transdermal EMLA delivery using
sonophoresis, Dermatol sinica, Volume 20, 280- 285.
Meidan, V., 2003, Sonophoresis: Ultrasound- Enhanced Transdermal Drug Delivery,
Transdermal Drug Delivery, Second Edition, New York : Marcel Dekker Inc.
Mitragotri, S., Blankenschtein, D., Langer, R., 1995, A mechanistic study of ultrasonically-
enhanced transdermal drug delivery, Journal of Pharmaceutical Science, Volume 84 No.
6, 694-706.
Mitragotri, S., and Kost, J., 2008, Ultrasound-Mediated Transdermal Drug Delivery, Modified
Release Drug Delivery Technology, CRC Press.
Nanda, S., Saroha, K., Sharma, B., 2011, Sonophoresis: An Eminent Advancement For
Transdermal Drug Delivery System, International Journal of Pharmacy and Technology,
Volume 3 No. 3, 1285-1307.
Pahade, A., Jadhav, V.M., Kadam, V.J., 2010, Sonophoresis : An Overview, International
Journal of Pharmaceutical Sciences Review and Research, Volume 3 No. 2.
Sharma, A., Saini, S., Rana, A.C., 2013, Transdermal Drug Delivery System : A Review,
International Journal of Research in Pharmaceutical and Biomedical Sciences, Volume
4 No. 1.
Tezel, A., Sanders, A., Tuchscherer, J., Mitragotri, S., 2001, Synergistic effect of low-
frequency ultrasound and surfactant on skin permeability, Journal of Pharmaceutical
Sciences, Volume 91 No. 1, 91– 100.

Anda mungkin juga menyukai