Anda di halaman 1dari 33

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Demam dengue/dengue fever (DF) dan demam berdarah dengue
(DBD)/dengue haemorrhagic fever (DHF) adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam genus Flavivirus, famili
Flaviviridae dan ditularkan melalui vektor nyamuk aedes (terutama A. aegypti dan
A. albopictus) dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan atau nyeri sendi
yang disertai leukopenia, ruam, trombositopenia dan diatesis hemoragik. Pada
DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai dengan hemokonsentrasi
(peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindroma
renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang
ditandai oleh renjatan/syok.2,3
2.2 Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus
dengue, yang termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus
merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat (RNA)
rantai tunggal dengan berat molekul 4x106.2

Gambar 1. Virus dengue


Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang
semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue.

1
Infeksi oleh salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang
bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat
kurang, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap
serotipe lain tersebut. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat
terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe selama hidupnya. Keempat serotipe ditemukan di
Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotipe terbanyak. Terdapat reaksi silang
antara serotipe dengue dengan Flavivirus lain seperti yellow fever, Japanese
encephalitis dan West Nile virus.2,4,8
Virus Dengue dapat ditularkan oleh Nyamuk Aedes aegypti dan nyamuk
Aedes albopictus. Nyamuk Aedes aegypti merupakan nyamuk yang paling sering
ditemukan. Nyamuk Aedes aegypti hidup di daerah tropis, terutama hidup dan
berkembang biak di dalam rumah, yaitu tempat penampungan air jernih atau
tempat penampungan air sekitar rumah. Nyamuk ini sepintas lalu tampak berlurik,
berbintik – bintik putih, biasanya menggigit pada siang hari, terutama pada pagi
dan sore hari. Jarak terbang nyamuk ini 100 meter. Sedangkan nyamuk Aedes
albopictus memiliki tempat habitat di tempat air jernih. Biasanya nyamuk ini
berada di sekitar rumah dan pohon – pohon, tempat menampung air hujan yang
bersih, seperti pohon pisang, pandan, kaleng bekas. Nyamuk ini menggigit pada
siang hari dan memiliki jarak terbang 50 meter.10

Gambar 2. Distribusi nyamuk Aedes aegypti dan nyamuk Aedes albopictus


2.3 Epidemiologi
Setiap tahun diperkirakan 50-100 juta kasus demam dengue dan 500.000
kasus demam berdarah dengue terjadi di seluruh dunia. Menurut WHO, demam
dengue mempunyai peringkat penting penyakit infeksi virus yang ditularkan
melalui nyamuk. Dalam 50 tahun terakhir, kejadian virus dengue meningkat 30

2
kali lipat di seluruh dunia. Grafik yang menunjukkan peningkatan virus dengue di
dunia dari WHO pada tahun 2007.7

Gambar 3. Epidemiologi DHF menurut WHO


Demam berdarah dengue adalah salah satu penyebab utama pasien rawat
inap dan kematian pada anak-anak dibanyak negara Asia Tenggara dengan
Indonesia melaporkan sebagian besar kasus demam berdarah dengue.7 Di
Indonesia DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat selama 41 tahun
terakhir. Sebagian besar sekitar 90% infeksi dengue terjadi pada remaja dengan
umur 15 tahun. Sejak tahun 1968 telah terjadi peningkatan persebaran jumlah
provinsi dan kabupaten/kota yang endemis DBD, dari 2 provinsi dan 2 kota,
menjadi 32 (97%) provinsi dan 382 (77%) kabupaten/kota pada tahun 2009.
Selain itu terjadi juga peningkatan jumlah kasus DBD, pada tahun 1968 hanya 58
kasus menjadi 158.912 kasus pada tahun 2009. Peningkatan dan penyebaran kasus
DBD tersebut kemungkinan disebabkan oleh mobilitas penduduk yang tinggi,
perkembangan wilayah perkotaan, perubahan iklim, perubahan kepadatan dan
distribusi penduduk serta faktor epidemiologi lainnya yang masih memerlukan
penelitian lebih lanjut.4
Selama 5 tahun terakhir, insiden DBD meningkat setiap tahun. Insiden
tertinggi pada tahun 2007 yakni 71,78 per 100.000 pddk, namun pada tahun 2008

3
menurun menjadi 59,02 per 100.000 penduduk. Walaupun angka kesakitan sudah
dapat ditekan namun belum mencapai target yang diinginkan yakni <20 per
100.000 penduduk.4

Gambar 4. Grafik angka kesakitan dan kematian demam berdarah dengue di


Indonesia
Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes
(terutama A. zegypti dan A. albopictus). Peningkatan kasus setiap tahunnya
berkaitan dengan sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi
nyamuk betina yaitu bejana yang berisi air jernih (bak mandi, kaleng bekas dan
tempat penampungan air lainnya). Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan
peningkatan transmisi virus dengue yaitu :
1) Vektor : perkembang biakan vektor, kepadatan vektor di lingkungan,
transportasi vektor dilingkungan, transportasi vektor dari satu tempat ke tempat
lain.
2) Pejamu : terdapatnya penderita di lingkungan/keluarga, mobilisasi dan paparan
terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin.

3) Lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk.2


2.4 Patogenesis
Mekanisme sebenarnya tentang patofisiologi, hemodinamika, dan
biokimiawi demam berdarah dengue belum diketahui secara pasti karena
kesukaran mendapatkan model binatang percobaan yang dapat dipergunakan
untuk menimbulkan gejala klinis DBD seperti pada manusia. Hingga kini
4
sebagaian besar masih menganut the secondary heterologous infection hypothesis
atau the sequential infection hypothesis yang menyatakan bahwa DBD dapat
terjadi apabila seseorang telah terinfeksi virus dengue pertama kali mendapatkan
infeksi kedua dengan virus serotype lain dalam jarak waktu 6 bulan sampai 5
tahun.2

Gambar 5. Hipotesis secondary heterologous infection.


Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih
diperdebatkan. Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa
mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue
dan sindrom renjatan dengue.2

Gambar 6. Peran sistem imun terhadap infeksi virus dengue

5
Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Aedes
Aegypti atau Aedes Albopictus. Organ sasaran dari virus adalah organ RES
meliputi sel kuffer hepar, endotel pembuluh darah, nodus limfaticus, sumsum
tulang serta paru-paru. Data dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa sel-sel
monosit dan makrofag mempunyai peranan besar pada infeksi ini. Dalam
peredaran darah, virus tersebut akan difagosit oleh sel monosit perifer.2
Virus DEN mampu bertahan hidup dan mengadakan multifikasi di dalam
sel tersebut. Infeksi virus dengue dimulai dengan menempelnya virus genomnya
masuk ke dalam sel dengan bantuan organel-organel sel, genom virus membentuk
komponen-komponennya, baik komponen perantara maupun komponen struktural
virus. Setelah komponen struktural dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Proses
perkembangan biakan virus DEN terjadi di sitoplasma sel.2
Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah:
a. Respon imun humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam
proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas
yang dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam
mempercepat replikasi virus pada monosit dan makrofag. Hipotesis ini disebut
antibody dependent enhancement (ADE);
b. Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T-sitotoksik (CD8) berperan dalam
respon imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T-helper yaitu TH1
akan memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2
memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10;
c. Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus ini menyebabkan
peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofag;
d. Selain itu aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan
terbentuknya C3a dan C5a.2

Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous


infection yang menyatakan bahwa DHF terjadi bila seseorang terinfeksi ulang
virus dengue dengan tipe yang berbeda. Re-infeksi menyebabkan reaksi

6
anamnestik antibodi sehingga mengakibatkan konsentrasi kompleks imun yang
tinggi.2
Kurane dan Ennis pada tahun 1994 merangkum pendapat Halstead dan
peneliti lain; menyatakan bahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi
makrofag yang memfagositosis kompleks virus-antibody non netralisasi sehingga
virus bereplikasi di makrofag. Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue
menyebabkan aktivasi T helper dan T sitotoksik sehingga diproduksi limfokin dan
interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit sehingga
disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF-α, IL-1, PAF (platelet
activating factor), IL-6 dan histamine yang mengakibatkan terjadinya disfungsi
sel endotel dan terjadi kebocoran plasma. Peningkatan C3a dan C5a terjadi
melalui aktivasi oleh kompleks virus-antibodi yang juga mengakibatkan
terjadinya kebocoran plasma.2
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme : 1)
Supresi sumsum tulang, dan 2) Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit.2
Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (<5 hari) menunjukkan
keadaan hiposeluler dan supresi megakariosit. Setelah keadaan tercapai akan
terjadi peningkatan proses hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar
tromobopoietin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru menunjukkan
kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi trombositopenia. Destruksi
trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen C3g, terdapatnya antibody VD,
konsumsi trombosit selama proses koagulopati dan sekuestrasi di perifer.
Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme gangguan pelepasan ADP,
peningkatan kadar b-tromoboglobulin dan PF4 yang merupakan petanda
degranulasi trombosit.2
Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang
menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya
koagulopati konsumtif pada demam berdarah dengue stadium III dan IV. Aktivasi
koagulasi pada demam berdarah dengue terjadi melalui aktivasi jalur ekstrinsik
(tissue factor pathway). Jalur intrinsik juga berperan melalui aktivasi factor XIa
namun tidak melalui aktivasi kontak (kalikrein C1-inhibitor complex).2
7
2.5 Patofisiologi

Bagan patofisiologi DBD


Gigitan nyamuk Aedes Aegypti betina

Virus dengue masuk ke tubuh manusia

Virus masuk ke sirkulasi darah

Viremia

Virus bereaksi dengan antibodi

Membentuk kompleks antigen-antibodi

Mengaktifkan monosit & makrofag Aktivasi system komplemen Supresi sumsum tulang
belakang, destruksi &
Pelepasan zat pirogen endogen (IL-1, Terbentuk peptide C3a pemendekan masa hidup
IL-6, TNF, dan IFN) dan C5a trombosit

Trombositopenia,
Mengeluarkan asam arakhidonat Melepaskan histamin
gangguan koagulasi
dan fibrinolisis
Pelepasan PGE2 Peningkatan permeabilitas dinding
kapiler & pembuluh darah
Memacu kerja thermostat hipotalamus Plasma berpindah dari Manifestasi perdarahan
intravaskuler ke interstitial (Ptekie, epistaksis, melena)
Meningkatkan set point termoregulasi

Cairan
Hipertermia Meningkatnya Cairan
berpindah ke
nilai berpindah ke
intersisial di
Hematokrit intersisial
paru
abdomen

Hemokonsentrasi
Ascites Efusi
pleura

8
Virus dengue dibawa oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus
sebagai vektor ke tubuh manusia melalui gigitan nyamuk tersebut. Infeksi yang
pertama kali dapat memberi gejala sebagai Demam dengue.5
Peningkatan akut permeabilitas vaskuler yang mengarah ke kebocoran
plasma ke dalam ruang ekstravaskuler, sehingga menimbulkan hemokonsentrasi
dan penurunan tekanan darah. Pada kasus berat, volume plasma menurun lebih
dari 20%, hal ini didukung penemuan postmortem meliputi efusi
pleura,hemokonsentrasi dan hipoproteinemia.5,6
Setelah masuk dalam tubuh manusia, virus dengue berkembang biak
dalam sel retikuloendotelial yang selanjutnya diikuti dengan viremia yang
berlangsung 5-7 hari. Akibat infeksi ini, muncul respon imun baik humoral
maupun selular, antara lain anti netralisasi, anti-hemaglutinin dan anti
komplemen. Antibodi yang muncul pada umumnya adalah IgG dan IgM, pada
infeksi dengue primer antibodi mulai terbentuk, Antibodi terhadap virus dengue
dapat ditemukan di dalam darah sekitar demam hari ke-5, meningkat pada minggu
pertama sampai dengan ketiga, dan menghilang setelah 60-90 hari. Kinetik kadar
IgG berbeda dengan kinetik kadar antibodi IgM, oleh karena itu kinetik antibodi
IgG harus dibedakan antara infeksi primer dan sekunder. Pada infeksi primer
antibodi IgG meningkat sekitar demam hari ke-14 sedang pada infeksi sekunder
antibodi IgG meningkat pada hari ke-2. Oleh karena itu diagnosa dini infeksi
primer hanya dapat ditegakkan dengan mendeteksi antibodi IgM setelah hari sakit
ke-5, diagnosis dan pada infeksi sekunder kadar antibodi yang telah ada jadi
meningkat infeksi sekunder dapat ditegakkan lebih dini dengan adanya
peningkatan antibodi IgG dan IgM yang cepat.5,6
Patofisiologi DBD dan DSS sampai sekarang belum jelas, oleh karena itu
muncul banyak teori tentang respon imun. Pada infeksi pertama terjadi antibodi
yang memiliki aktivitas netralisasi yang mengenali protein E dan monoklonal
antibodi terhadap NS1, Pre M dan NS3 dari virus penyebab infeksi akibatnya
terjadi lisis sel yang telah terinfeksi virus tersebut melalui aktivitas netralisasi atau
aktifasi komplemen.6

9
Akhirnya banyak virus difagosit dan penderita mengalami penyembuhan,
selanjutnya terjadilah kekebalan seumur hidup terhadap serotipe virus yang sama,
tetapi apabila terjadi antibodi non netralisasi yang memiliki sifat memacu
replikasi virus, keadaan penderita akan menjadi parah apabila epitop virus yang
masuk tidak sesuai dengan antibodi yang tersedia di hospest. Pada infeksi kedua
yang dipicu oleh virus dengue dengan serotipe yang berbeda, virus dengue
berperan sebagai super antigen setelah difagosit oleh monosit atau makrofag.
Makrofag ini menampilkan antigen presenting cell (APC) yang membawa muatan
polipeptida spesifik yang berasal dari mayor histocompatibility complex (MHC).6

Menurut Suhendro et al (2009), infeksi virus dengue dapat bersifat


asimptomatik, atau dapat berupa demam yang tidak khas, demam dengue, demam
berdarah dengue atau sindrom syok dengue. Pada umumnya pasien mengalami
fase demam selama 2-7 hari, yang diikuti oleh fase kritis selama 2-3 hari. Pada
waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi mempunyai risiko untuk
terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan adekuat.
Vaskulopati
Disfungsi endotel pada infeksi virus dengue tampak dalam manifestasi
klinis berupa peningkatan permeabilitas kapiler, yang bertanggung jawab
terhadap proses kebocoran plasma, hemokonsentrasi, hipoproteinemia atau
hipoalbuminemia, efusi pleura, asites dan gangguan sirkulasi. Kebocoran
plasma biasanya terjadi pada fase febris akut dan sangat menonjol terlihat
terutama pada pasien-pasien dengan kegagalan sirkulasi. Tes torniquet atau uji
Rumple Leede yang positif menandakan adanya kebocoran plasma, dan
biasanya terjadi pada hari awal serangan. Infeksi virus Dengue pada makrofag
dan monosit selanjutnya akan mengaktivasi limfosit T, baik CD4 maupun
CD8. Aktivasi ini makrofag dan monosit akan merangsang infeksi virus dengue
untuk mengaktivasi makrofag dan monosit yang lainnya, yang selanjutnya akan
memproduksi mediator inflamasi seperti TNF , IL-1, PAF, IL-6, histamin
sedangkan limfosit T menghasilkan mediator inß amasi berupa IL-2, TNF , IL-1,

10
IL-6 dan IFN. Peningkatan C3a dan C5a juga mengakibatkan terjadinya
kebocoran plasma melalui laktoksin yang dihasilkannya.5
Koagulopati
Komplek virus antibodi yang terbentuk akan dapat mengaktifkan
sistem koagulasi yang dimulai dari aktivasi faktor Haegeman (faktor XII)
menjadi bentuk aktif (faktor XIIa). Selanjutnya faktor XIIa ini akan mengaktifkan
faktor koagulasi lainnya secara berurutan mengikuti suatu kaskade sehingga
akhirnya terbentuk fibrin. Di samping mengaktifkan sistem koagulasi, faktor
XIIa juga akan mengaktifkan sistem fibrinolisis, yaitu terjadi perubahan
plasminogen menjadi plasmin melalui proses enzimatik. Plasmin memiliki sifat
proteolitik dengan sasaran khusus yaitu fibrin. Fibrin polimer akan dipecah
menjadi fragmen X dan Y. Selanjutnya fragmen Y dipecah lagi menjadi
fragmen D dan fragmen E yang dikenal sebagai D-dimer. Degradasi fibrin ini
(FDP) memiliki sifat sebagai anti koagulan, sehingga jumlah yang cukup banyak
akan menghambat hemostasis. Aktivasi sistem koagulasi dan fibrinolisis yang
berkepanjangan berakibat menurunnya berbagai faktor koagulasi seperti faktor II,
V, VII, VIII, IX, dan X serta plasminogen. Hal ini memperberat perdarahan yang
terjadi pada penderita DBD. 5
Sistem kinin dan sistem komplemen juga turut diaktifkan oleh faktor XIIa.
Faktor XIIa mengaktifkan prekalikrein menjadi kalikrein yang juga merupakan
enzim proteolitik. Kalikrein akan mengubah kinin menjadi bradikinin, suatu
zat yang berperan dalam proses spesifik diantaranya adalah proses inflamasi
yang menyebabkan pelebaran dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah.
Sistem komplemen merupakan salah satu mediator dasar pada proses inß
amasi dan memegang peranan penting dalam sistem pertahanan tubuh terhadap
infeksi. Komplemen merupakan sejumlah protein inaktif yang dapat diaktifkan
oleh faktor XIIa. Sebagai hasil akhir aktivasi ini ialah terjadi lisis dari sel.
Disamping itu terbentuk juga anafilatoksin yang juga meningkatkan permiabilitas
pembuluh darah.5
Trombositopenia

11
Trombositopenia merupakan salah satu kriteria sederhana yang diajukan
oleh WHO sebagai diagnosis klinis penyakit DBD. Jumlah trombosit biasanya
masih normal selama 3 hari pertama. Trombositopenia mulai tampak beberapa
hari setelah panas dan mencapai titik terendah pada fase syok. Penyebab
trombositopenia pada DBD masih kontroversial, disebutkan terjadi karena
adanya supresi sumsum tulang serta akibat destruksi dan pemendekan masa
hidup trombosit. Mekanisme peningkatan destruksi ini belum diketahui
dengan jelas. Ditemukannya kompleks imun pada permukaan trombosit yang
mengeluarkan ADP (adenosin di posphat) diduga sebagai penyebab agregasi
trombosit yang kemudian akan dimusnahkan oleh sistem retikuloendotelial
khususnya limpa dan hati. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran
platelet faktor III yang mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif. Pada
suatu studi yang dilakukan pada 35 anak-anak dengan DBD di Thailand,
ditemukan pada fase akut infeksi DBD baik dengan ataupun tanpa syok
terjadi penurunan aktivitas agregasi trombosit, hal ini diimbangi dengan
meningkatnya betatromboglobulin (BTG) dan platelet factor-4 (PF4) dalam
plasma. 5
Pada beberapa kasus, penurunan jumlah trombosit ini bisa terjadi
hingga waktu yang cukup lama. Suatu laporan kasus di Malaysia
melaporkan bahwa pemulihan jumlah trombosit pada seorang penderita DBD
sampai mencapai hari ke-40. Setelah menyingkirkan kemungkinan dari
penyebab lain terjadinya trombositopenia, diperkirakan hal ini terjadi karena
infeksi virus Dengue yang menyerang berasal dari jenis virus yang mengalami
mutasi. Atau kemungkinan lain diperkirakan penderita terinfeksi virus dengue
yang baru saat berada dalam fase konvalesen. 5
Terdapat beberapa pendapat mengenai indikasi dan dosis pemberian
transfusi trombosit. Departemen Kesehatan merekomendasikan transfusi
trombosit konsentrat pada penderita DBD diberikan hanya pada kasus dengan
perdarahan masif dan jumlah trombosit < 100.000 . Perdarahan spontan dan
masif termasuk perdarahan yang tampak ataupun yang tersembunyi dengan
jumlah perdarahan sebanyak 4-5 cc/kgbb/jam. Nimamanitya menuliskan indikasi
12
transfusi pada DBD bila perdarahan yang volumenya melebihi 10% dari jumlah
cairan tubuh aktif. Makroo di India tahun 2007 menuliskan bahwa penderita
dengan kadar trombosit < 20.000/mm3 termasuk ke dalam kelompok risiko
tinggi terjadi perdarahan karenanya indikasi untuk diberikan transfusi trombosit,
Sedangkan kelompok risiko sedang terjadi perdarahan (trombosit 20.000-
40.000/cumm) indikasi diberikan trombosit bila terjadi perdarahan. Kelompok
dengan risiko ringan perdarahan (trombosit 41.000 -50.000/cumm) tidak
diberikan transfusi trombosit. 5
Hematokrit dan hemoglobin
Nilai hematokrit biasanya mulai meningkat pada hari ketiga dari
perjalanan penyakit dan makin meningkat sesuai dengan proses perjalanan
penyakit DBD. Peningkatan nilai hematokrit merupakan manifestasi
hemokonsentrasi yang terjadi akibat kebocoran plasma ke ruang
ekstravaskular disertai efusi cairan serosa, melalui kapiler yang rusak. Akibat
kebocoran ini volume plasma menjadi berkurang yang dapat mengakibatkan
terjadinya syok hipovolemik dan kegagalan sirkulasi. Pada kasus-kasus berat yang
telah disertai perdarahan, umumnya nilai hematokrit tidak meningkat, bahkan
malahan menurun. 5
Kadar hemoglobin pada hari-hari pertama biasanya normal atau
sedikit menurun. Tetapi kemudian kadarnya akan naik mengikuti peningkatan
hemokonsentrasi dan merupakan kelainan hematologi paling awal yang
ditemukan pada DBD. 5
Jumlah leukosit dan hitung jenis
Pada penderita DBD dapat terjadi leukopenia ringan sampai
leukositosis sedang. Leukopeni dapat dijumpai antara hari pertama dan ketiga
dengan hitung jenis yang masih dalam batas normal. Jumlah granulosit menurun
pada hari ketiga sampai ke delapan. Pada syok berat, dapat dijumpai leukositosis
dengan netropenia absolut. Hal lain yang menarik adalah ditemukannya cukup
banyak (20 - 50%) limfosit bertransformasi atau atipik dalam sediaan apus
darah tepi penderita DBD, terutama pada infeksi sekunder. Limfosit atipik ini
merupakan sel berinti satu (mononuklear) dengan struktur kromatin inti halus
13
dan agak padat, serta sitoplasma yang relatif lebar dan berwarna biru tua. Oleh
karenanya sel ini juga dikenal sebagai limfosit plasma biru. Limfosit plasma
biru ini sudah dapat ditemukan sejak hari ketiga panas dan digunakan
sebagai penunjang diagnostik.5
Koagulasi intravaskular diseminata (KID)
KID dapat merupakan salah satu kedaruratan medik pada pasien DBD.
Aktifasi dari sistem koagulasi dan penurunan jumlah trombosit akibat ikatan
virus antibodi pada pasien DBD dapat mencetuskan terjadinya KID. Selain itu
kondisi lain seperti syok, hipoksia dan assidosis juga dapat menjadi pencetus
terjadinya KID. 5
Gejala klinis yang bervariasi dapat timbul, namun pada dasarnya terjadi
proses perdarahan dan trombosis pada waktu yang bersamaan. Manifestasi
perdarahan yang sering muncul adalah ptekie, ekimosis, hematom di kulit,
hematuri, melena, epistaksis dan perdarahan gusi, serta kesadaran menurun
akibat perdarahan otak. Sedangkan gejala trombosis yang terjadi dapat berupa
gagal ginjal akut, gagal nafas dan iskemia serta kesadaran menurun akibat
trombosis pada otak. 5
Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis terjadinya KID
pada pasien DBD sama dengan KID yang terjadi atas dasar penyakit lainnya,
yaitu pemeriksaan hemostasis (masa protrombin dan masa trombin parsial),
kadar faktor pembekuan, FDP, D-Dimer, serta plasmin. Suatu studi yang
dilakukan di Thailand menunjukkan bahwa ada korelasi yang signifikan
antara kadar D-dimer sebagai indikator terjadinya KID dengan beratnya
penyakit pada pasien DBD. 5
Penekanan sumsum tulang
Beberapa peneliti mengatakan bahwa pada pemeriksaan sumsum tulang
penderita DBD pada awal masa demam, terdapat hipoplasi sumsum tulang dengan
hambatan dari semua sistem hemopoesis, terutama megakriosit. Setelah itu
pada hari kelima sampai kedelapan perjalanan penyakit, terjadi peningkatan
cepat eritropoesis dan megakariosit muda. Pada masa konvalesensi sumsum

14
tulang menjadi hiperseluler yang terutama diisi oleh proses eritropoesis dan
trombopoesis dengan pembentukan eritrosit dan trombosit yang sangat aktif. 5
Mekanisme penekanan sumsum tulang pada infeksi virus dijelaskan
sebagai akibat dari proses penekanan virus secara langsung, ataupun karena
mekanisme tidak langsung melalui produksi sitokin-sitokin proinflamasi yang
menekan sumsum tulang.5
Sebuah telaah pustaka mengenai supresi sumsum tulang pada infeksi
DBD menyatakan proses ini terjadi dalam 6 fase yaitu fase pertama, saat terjadi
supresi sumsum tulang di hari 3-4 infeksi, fase kedua yaitu saat timbulnya respon
inflamasi dari sumsum tulang pejamu, selanjutnya fase ketiga saat hari keempat
atau kelima bebas panas terjadi fase nadir dari neutrofil. Fase keempat terjadi
hampir secara simultan aktivasi sistem imun yang akan menetralisasi viremia
dan mempercepat eliminasi sel yang terinfeksi. Fase kelima masa pemulihan
dan terakhir terjadi resolusi sitopenia. 5
Mekanisme perdarahan pada DBD
Penyebab perdarahan pada pasien DBD adalah vaskulopati,
trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit, serta koagulasi intravaskular
yang menyeluruh. Komplek virus antibodi mengakibatkan trombositopenia dan
juga gangguan fungsi trombosit. Selain itu komplek virus antibodi ini
mengaktifkan faktor Hageman (faktor XIIa) sehingga terjadi gangguan sistem
koagulasi dan fibrinolisis yang memperberat perdarahan, serta mengaktifkan
sistem kinin dan komplemen yang mengakibatkan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah dan kebocoran plasma serta meningkatkan risiko terjadinya KID
yang juga memperberat perdarahan yang terjadi. 5
Jenis perdarahan yang terbanyak adalah perdarahan kulit seperti
torniquet (uji Rumple Leede, uji bendung) positif, petekie, purpura, ekimosis
dan perdarahan konjungtiva. Ptekie merupakan tanda yang tersering
ditemukan. Tanda ini muncul pada hari-hari pertama demam. Bentuk
perdarahan lain yaitu epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan melena.
Kadang-kadang dijumpai pula perdarahan subkonjungtiva atau hematuri. 5

15
Tanda perdarahan tersebut tidak semuanya terjadi pada penderita
DBD. Perdarahan yang paling ringan adalah uji torniquet positif. Hal ini
berarti bahwa fragilitas kapiler meningkat. Perlu diingat bahwa hal ini juga
dapat dijumpai pada penyakit yang disebabkan oleh virus lain seperti juga seperti
campak, demam chikungunya, infeksi bakteri seperti pada tifus abdominalis. Data
menyebutkan bahwa uji torniquet positif pada kasus DBD pada awal perjalanan
penyakit sekitar 70,2% kasus. Uji torniquet dinyatakan positif jika terdapat lebih
dari 10 petekie dalam diameter 2,5 cm di lengan bawah bagian depan (volar)
termasuk pada lipatan siku (fossa cubiti). 5
2.6 Manifestasi Klinis

Gambar 7. Perjalanan penyakit demam dengue


Manifestasi klinis menurut WHO (2011) penderita dengue terdiri atas 3 fase
yaitu fase febris, fase kritis, dan fase pemulihan :
1. Fase febris
Biasanya demam mendadak tinggi 2-7 hari, disertai muka kemerahan, eritema
kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia, artralgia, dan sakit kepala. Pada beberapa
kasus ditemukan nyeri tenggorokan, faring hiperemis, dan injeksi
konjungtiva, anoreksia, mual, dan muntah. Pada fase ini dapat pula ditemukan

16
tanda perdarahan seperti ptekie, perdarahan mukosa, walaupun jarang dapat
pula terjadi perdarahan pervaginam, dan perdarahan gastrointestinal.
2. Fase kritis
Terjadi pada hari ke 3-7 sakit dan ditandai dengan penurunan suhu tubuh
disertai kenaikan permeabilitas kapiler dan timbulnya kebocoran plasma yang
biasanya berlangsung selama 24-48 jam. Kebocoran plasma sering didahului
oleh leukopeni progresif disertai penurunan hitung trombosit. Pada fase ini
dapat terjadi syok.
3. Fase pemulihan
Bila fase kritis terlewati maka terjadi pengembalian cairan dari ekstravaskuler
ke intravaskuler secara perlahan pada 48 – 72 jam setelahnya. Keadaan umum
penderita membaik, nafsu makan pulih kembali, hemodinamik stabil, dan
diuresis membaik.

Gambar 8. Demam Bifasik pada Demam Berdarah Dengue

Dengue berat
Dengue berat harus dicurigai bila pada penderita ditemukan :
1. Bukti kebocoran plasma seperti hematokrit yang tinggi atau meningkat secara
progresif, adanya efusi pleura atau asites, gangguan sirkulasi atau syok
(takikardi, ekstremitas yang dingin, waktu pengisian kapiler (capillary refill
time) >3 detik, nadi lemah atau tidak terdeteksi, tekanan nadi yang menyempit
atau pada syok lanjut tidak terukurnya tekanan darah
2. Adanya perdarahan yang signifikaan

17
3. Gangguan kesadaran
4. Gangguan gastrointestinal berat (muntah berkelanjutan, nyeri abdomen yang
hebat, atau bertambah, ikterik)
5. Gangguan organ berat (gagal hati akut, gagal ginjal akut,
ensefalopati/ensefalitis, kardiomiopati, dan manifestasi tak lazim lainnya)
(WHO, 2011).
2.7 Pemeriksaan Penunjang
2.7.1 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien
tersangka demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin,
hematokrit, jumlah trombosit dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya
limfositosis relative disertai gambaran limfosit plasma biru.2
Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture)
ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reserve
Transcriptase Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang lebih
rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya antibody spesifik
terhadap dengue berupa antibody total, IgM maupun IgG.2
Parameter Laboratorium yang dapat diperiksa antara lain :
a. Leukosit
Normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui limfositosis
relatif (>45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma biru
(LPB) > 15% dari jumlah total leukosit yang pada fase syok akan
meningkat.
b. Trombosit
Umumnya terdapat trombositopenia (jumlah trombosit
<100.000/µl) pada hari ke 3-8.
c. Hematokrit
Kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan
hematokrit ≥ 20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai pada hari ke-3
demam.
d. Hemostasis
18
Dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau
FDP pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan
pembekuan darah.
e. Protein/albumin
Dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma. Nilai
normal albumin adalah 3-5,5 g/dl, nilai normal protein total adalah 5-8
g/dl.
f. SGOT/SGPT (serum alanin aminotransferase)
Dapat meningkat. Nilai normal alanine aminotransferase adalah 0-
40 IU/I.
g. Elektrolit
Sebagai parameter pemantauan pemberian cairan.
h. Golongan darah dan cross match (uji cocok serasi)
Bila akan diberikan transfusi darah atau komponen darah. Jumlah
kalium normal serum adalah 3,5-5,2 mEq/l, sedangkan natrium 135-145
mEq/l.
i. Imuno serologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue.
IgM: terdeksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3,
menghilang setelah 60-90 hari.
IgG: pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada
infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi hari ke-2.
NS 1: antigen NS1 dapat dideteksi pada awal demam hari pertama
sampai hari ke delapan. Sensitivitas antigen NS1 berkisar 63-93,4%
dengan spesifisitas 100% sama tingginya dengan spesifisitas gold
standard kultur virus. Hasil negatif antigen NS1 tidak menyingkirkan
adanya infeksi virus dengue.2

19
Gambar 9. Deteksi jumlah Ig M dan Ig G pada Demam Berdarah Dengue

2.7.2 Pemeriksaan Radiologis


Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks
kanan tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat
dijumpai pada kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya
dalam posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur pada sisi badan sebelah
kanan). Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan
USG. 2
Di antara tiga jenis uji etiologi yang di anggap sebagai baku emas
adalah isolasi virus. Pemeriksaan yang saat ini banyak digunakan adalah
pemeriksaan serologi, yaitu dengan mendeteksi IgM atau IgG-anti dengue.
Imunoserologi berup IgM terdeteksi mulai hari ke-3 dan menghilang setelah
60-90 hari. Pada infeksi primer, IgG terdeteksi pada hari ke-14, sedangkan
pada infeksi sekunder dapat terdeteksi mulai hari ke-2.9
2.8 Kriteria Diagnosis
1. Demam Dengue (DF)
a. Kemungkinan dengue
Demam akut dengan 2 atau lebih kriteria dibawah ini :
 Sakit kepala
 Nyeri retroorbital
20
 Myalgia
 Arthralgia
 Hemokonsentrasi (5-10%)
 Ruam pada kulit
 Manifestasi perdarahan
 Leukopenia (WBC < 5.000 cell/mm3)
 Trombositopenia (<150.000 cell/mm3)
Sedikitnya 1 kriteria dibawah ini :
 Pemeriksaan serologi dengan sampel serum; peningkatan titer ≥
1.280 dengan haemaglutination inhibition test, membandingkan
IgG titer dengan pemeriksaan ELISA atau titer IgM positif.
 Riwayat tinggal/bepergian ke daerah endemik.
b. Diagnosis Konfirmasi
Kriteria kemungkinan dengue + sedikitnya 1 kriteria di bawah ini :
 Isolasi virus dengue dari serum, LCS, atau sampel autopsy
 Meningkatnya serum IgG atau meningkatnya IgM
 Deteksi virus dengue atau antigen pada jaringan, serum atau LCS
dengan pemeriksaan imunohistokimia, immunofluoresen, atau
ELISA.
 Mendeteksi rantai genom virus dengue dengan pemeriksaan
reverse transcription-polymerase chain reaction (RT-PCR).
2. Demam berdarah dengue (DHF)
Semua kriteria di bawah ini :
 Demam akut 2-7 hari
 Adanya manifestasi perdarahan, seperti : tes tourniquet positif, ptekie,
ekimosis atau purpura, atau perdarahan dari mukosa, traktus
gastrointestinal, tempat suntikan, atau tempat lainnya.
 Jumlah trombosit ≤ 100.000 sel/mm3.
 Bukti objektif tanda kebocoran plasma, yaitu meningkatnya
permeabilitas vaskuler yang tampak pada meningkatnya hematokrit/

21
hemokonsentrasi ≥20% dari nilai normal, atau bukti kebocoran
plasma seperti efusi pleura, ascites, atau
hipoproteinemia/albuminemia.
3. Dengue shock syndrome (DSS)
Kriteria DHF dengan tanda syok di bawah ini :
 Takikardi, akral dingin, pengisian kapiler lambat, nadi lemah, letargi
atau gelisah yang menunjukkan menurunnya perfusi ke otak.
 Tekanan nadi ≤ 20 mmHg dengan meningkatnya tekanan diastolik.
 Hipotensi berdasarkan umur, dimana tekanan sistolik < 80 mmHg
pada usia < 5 tahun atau 80-90 mmHg pada usia >5 tahun dan
dewasa.
2.9 Derajat infeksi virus dengue
Untuk menentukan penatalaksanaan pasien infeksi virus dengue, perlu
diketahui klasifikasi derajat penyakit seperti tertera pada tabel dibawah ini.2

DD/DBD Grade Tanda dan Gejala Laboratorium

Demam Demam disertai 2 keadaan Leukopenia


Dengue berikut : ( < 5000 sel/mm3 )
1. Nyeri Kepala Trombositopenia
2. Nyeri retro-orbita ( < 150.000 sel/mm3 )
3. Mialgia Peningkatan Hematokrit
4. Rash ( 5 – 10 % )
5. Atralgia/Nyeri Tidak ditemukan
tulang kebocoran plasma
6. Manifestasi
perdarahan
7. Tanpa disertai
adanya plasma
Leakage

22
DBD I Demam disertai manifestasi Trombositopenia
perdarahan (torniquet tes + ) ( < 100.000 sel/mm3 )
dan adanya plasma leakage Hematokrit Meningkat
( > 20 % )
DBD II Grade I ditambah Trombositopenia
perdarahan spontan ( < 100.000 sel/mm3 )
Hematokrit Meningkat
( > 20 % )
DBD III Grade I atau II ditambah Trombositopenia
(DSS) adanya kegagalan sirkulasi : ( < 100.000 sel/mm3 )
i. pulsasi nadi yang Hematokrit Meningkat
lemah, ( > 20 % )
ii. hipotensi,
iii. perbedaan sistole dan
diastole yang sempit
iv. kondisi umum gelisah

DBD IV Grade III ditambah dengan Trombositopenia


(DSS) syok berat serta nadi dan ( < 100.000 sel/mm3 )
tekanan darah yang tidak Hematokrit Meningkat
terukur ( > 20 % )

23
2.11 Diagnosis Banding
Demam Tifoid Demam berdarah dengue
Kuman Salmonella typhi (S. Typhi) virus dengue yg tergolong arbovirus
Masa tunas demam tifoid 1. Fase febris
berlangsung antara 10-14 hari. demam mendadak tinggi 2-7 hari,
Pada minggu pertama gejala klinis muka kemerahan, eritema kulit, nyeri
yang ditemukan adanya keluhan dan seluruh tubuh, mialgia, artralgia, dan
gejala serupa penyakit infeksi akut sakit kepala. Pada fase ini dapat pula
lainnya seperti: demam, nyeri ditemukan tanda perdarahan seperti
kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, ptekie, perdarahan mukosa,
mual, muntah, obstipasi atau diare, 2. Fase kritis
perasaan tidak enak diperut, batuk, Terjadi pada hari ke3-ke7 sakit dan
dan epistaksis. ditandai dengan penurunan suhu
Pada minggu kedua gejala-gejala tubuh disertai kenaikan permeabilitas
menjadi lebih jelas berupa demam, kapiler, leukopeni dan
bradikardi relatif, lidah yang trombositopenia.
berselaput, hepatomegali, 3. Fase pemulihan Keadaan umum
splenomegali, meteroismus, penderita membaik, nafsu makan
gangguan mental berupa somnolen, pulih kembali, hemodinamik stabil,
stupor, koma, delirium, atau dan diuresis membaik.
psikosis.
Masuk ke dalam tubuh manusia Masuk ke dalam tubuh manusia melalui
melalui makanan yang sudah gigitan nyamuk Aedes Aegypti,
terkontaminasi kuman Salmonella
typhi (S. Typhi).
Gejala yang timbul berupa demam Gejala yang timbul berupa demam 2-7
yang meningkat perlahan-lahan dan hari, mual, muntah, ruam, mialgia,
terutama pada sore hingga malam arthralgia, leukopenia, perdarahan
hari, bradikadi relatif (peningkatan mukosa, lemas, kenaikan hematokrit
suhu1o C tidak diikuti peningkatan seiring dengan penurunan jumlah
denyut nadi 8 kali per menit), trombosit yang cepat.
pusing, mual, muntah, thypoid
tongue (lidah coated/kotor, tepi dan
ujung hiperemis, tremor).
- Darah rutin : leukopenia dengan - Darah rutin : hb normal/meningkat,
limfositosis relative, Ht , limfositosis relatif, leukopenia,
trombositopenia, LED , SGPT trombositopenia.
dan SGOT , bilirubinemia. - Serologi : uji haemaglutination
- Urinalisis : kuning tua, keruh inhibition, Uji Mac ELISA, dengue
(protein +), foam test (ada NS-1 Ag
bilirubin). - Isolasi virus dengue
- Uji widal : titer antibodi - RT-PCR
meningkat

24
2.12 Penatalaksanaan
Tata Laksana DBD dengan peningkatan hematokrit >20%:

5% defisit cairan

Terapi awal cairan


intravena kristaloid 6-7
ml/kg/jam

Evaluasi 3-4 jam

PERBAIKAN TIDAK MEMBAIK

Ht dan frekuensi nadi Ht, nadi meningkat


turun, tekanan darah tekanan darah turun
membaik, produksi urine <20mmHg produksi urine
meningkat menurun
Kurangi infus kristaloid 5
ml/kg/jam Tanda vital dan Infus kristaloid
hematokrit 10 ml/kg/jam
memburuk
PERBAIKAN

Kurangi infus kristaloid 5 Tidak membaik


ml/kg/jam

PERBAIKAN Infus kristaloid


PERBAIKAN 15 ml/kg/jam

Terapi cairan
Kondisi
dihentikan 24-48 jam
memburuk tanda
syok

Tatalaksana sesuai
PERBAIKAN protokol syok dan
perdarahan

25
Mengingat pada awal pasien datang, belum selalu dapat ditegakkan
diagnosis DBD dengan tepat, maka sebagai pedoman tatalaksana awal dapat
dibagi dalam beberapa bagian yaitu: Tatalaksana tersangka DBD (Bagan 1 dan
Bagan 2). Tatalaksana penderita DBD derajat I dan II (Bagan 3), dan Tatalaksana
penderita DBD derajat II dan derajat IV (sindrom syok dengue/SSD) (bagan 4).

Bagan 1. Tatalaksana pasien tersangka DBD

26
Bagan 2. Tatalaksana pasien DBD dengan gejala signifikan

27
Bagan 3. Tatalaksana pasien DBD derajat I dan II

28
Bagan 4. Tatalaksana pasien DBD derajat III dan SSD

29
Pasien demam berdarah dengue atau dengue shock syndrome (DSS) dapat
keluar dari rumah sait ketika memenuhi kriteria di bawah ini :
 Bebas demam selama 24 jam tanpa antipiretik
 Nafsu makan dan kondisi klinis membaik
 Urine output kembali normal
 Nilai hematokrit stabil
 48 jam pemulihan dari syok
 Tidak ada gangguan pernapasan
 Trombosit ≥ 50.000 sel/µl

2.12 Komplikasi
Demam berdarah dengue dapat menyebabkan terjadinya kegagalan fungsi hati,
ginjal, dan lain sebagainya. Pada beberapa kasus ditemukan ensefalopati,
ensefalopati dapat terjadi karena adanya edema serebral, anoreksia, perdarahan,
hiponatremia, kegagalan hati, dan perdarahan kapiler. Selain itu dapat juga terjadi
ensefalitis akibat virus dengue, hal ini dibuktikan dengan ditemukan adanya IgM
dan RNA virus pada cairan serebrospinal. Demam berdarah dengue juga dapat
mengakibatkan Acute Respiratory Distress Syndrome. hal ini dibuktikan dengan
ditemukannya antigen virus dengue pada sel-sel lapisan alveolar paru-paru. Pada
stadium akut atau febris terjadi pelepasan mediator c3a dan c5a yang
menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler sehingga cairan plasma dapat
bocor ke ruang interstisial dan mengakibatkan edema serta disfungsi paru.7,8
2.13 Prognosis
Demam berdarah biasanya merupakan penyakit self-limiting dengan
kematian kurang dari 1%. Pemberian pengobatan demam berdarah dengue
memiliki angka kematian 2-5%. Ketika tidak diberikan pengobatan, demam
berdarah dengue memiliki angka kematian mencapai 50%. Pasien biasanya
sembuh tanpa gejala sisa dan menghasilkan kekebalan terhadap serotipe yang
menginfeksi. Tingkat kematian pada pasien yang memenuhi kriteria demam
berdarah dengue atau dengue shock syndrome (DSS) adalah sekitar 6%. Angka
kematian demam berdarah kurang dari 1%.7

30
Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan antara jenis kelamin
penderita demam berdarah dengue, tetapi kematian lebih banyak ditemukan pada
anak perempuan daripada laki – laki. Penyebab kematian tersebut antara lain :7
1. Syok lama
2. Dehidrasi berat
3. Perdarahan masif
4. Demam Berdarah Dengue dengan syok yang disertai manifestasi yang tidak
syok.
2.14 Pencegahan
Pencegahan yang dilakukan adalah dengan cara Pengendalian vector virus
dengue. Pengendalian vektor bertujuan :11
1. Mengurangi populasi vektor serendah – rendahnya sehingga tidak berarti lagi
sebagai penular penyakit.
2. Menghindarkan terjadi kontak antara vektor dan manusia.
Cara efektif untuk pengendalian vektor adalah dengan penatalaksanaan
lingkungan yang termasuk perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan
pemantauan aktivitas untuk modifikasi faktor-faktor lingkungan dengan suatu
pandangan untuk mencegah perkembangan vektor dan kontak manusia-vektor-
patogen. Pengendalian vektor dapat berupa :11
1. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
a. Melakukan metode 4 M (menguras, Menutup dan Menyingkirkan, dan
monitor tempat perindukan nyamuk) minimal 1 x seminggu bagi tiap
keluarga,
b. 100% tempat penampungan air sukar dikuras diberi abate tiap 3 bulan
c. ABJ (angka bebas jentik) diharapkan mencapai 95%
2. Foging Focus dan Foging Masal
a. Foging fokus dilakukan 2 siklus dengan radius 200 m dengan selang waktu
1 minggu
b. Foging masal dilakukan 2 siklus diseluruh wilayah suspek KLB dalam
jangka waktu 1 bulan

31
c. Obat yang dipakai : Malation 96EC atau Fendona 30EC dengan
menggunakan Swing Fog
3. Penyelidikan Epidemiologi
a. Dilakukan petugas puskesmas yang terlatih dalam waktu 3x24 jam setelah
menerima laporan kasus
b. Hasil dicatat sebagai dasar tindak lanjut penanggulangan kasus
4. Penyuluhan perorangan/kelompok untuk meningkatkan kesadaran masyarakat.
5. Kemitraan untuk sosialisasi penanggulangan DBD.
Kewajiban pelaporan kasus dalam tempo 24 jam ke Dinas Kesehatan
tingkat II/Puskesmas tempat tinggal pasien merupakan keharusan yang sesuai
dengan Peraturan Menteri Kesehatan 560 tahun 1989 dengan tujuan kemungkinan
terjadinya penularan lebih lanjut, penyakit DBD dapat dicegah dan ditanggulangi
sedini mungkin. Dengan adanya laporan kasus pada Puskesmas/ Dinas Kesehatan
tingkat II yang bersangkutan, dapat dengan segera melakukan penyelidika
epidemiologi di sekitar tempat tinggal kasus untuk melihat kemungkinan resiko
penularan.11
Apabila dari hasil penyelidikan epidemiologi diperoleh data adanya resiko
penularan DBD, maka pihak terkait akan melakukan langkah – langkah upaya
penanggulangan berupa : foging fokus dan abatisasi selektif. Tujuan abatisasi
adalah membunuh larva dengan butir – butir abate sand granule (SG) 1 % pada
tempat penyimpanan air dengan dosis ppm (part per milion) yaitu : 10 gram meter
100 liter air. Selain itu dapat dilakukan dengan menggalakkan masyarakat untuk
melakukan kerja bakti dalan pemberantasan sarang nyamuk.11

32
DAFTAR PUSTAKA
1. Bickley, LS. Bates. 2013. Buku Ajar Pemeriksaan Fisik dan Riwayat
Kesehatan Edisi 8. Jakarta : EGC
2. Sudoyo, A.W., dkk. 2009. Demam Berdarah Dengue. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi IV. Jilid III. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit
Dalam Indonesia. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta : FKUI.
3. Pedoman Tatalaksana Klinis Infeksi Dengue di Sarana Pelayanan
Kesehatan. 2005. Departemen Kesehatan RI.
4. Hadinegoro, SRH., Soegijanto, S., Wuryadi, S., Suroso T. 2004. Tata
Laksana Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan.
5. Rena NMRA, Utama S, Parwati T. 2014. Kelainan Hematologi pada Demam
Berdarah Dengue. Divisi Hematologi Onkologi Medik, Divisi Penyakit
Tropik dan Infeksi Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam. Denpasar :FK Unud.
6. Chandra, A. 2010. Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Faktor Risiko,
Penularan, dan Patogenesis. Aspirator Vol. 2 No. 2.
7. Shepperd, SM. Dengue. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/215840-overview (Updated: Oct 05,
2015).
8. World Health Organization. 2011. Comprehensive guidline for prevention
and control of dengue and dengue haemorrhagic fever. India : Regional
Office for South-East Asia.
9. Setiawan, B., Chen, K., T. Pohan, H. 2009. Diagnosis dan terapi cairan
demam berdarah. Jurnal Medicinus; 22:(1).
10. Soegijanto, Soegeng. 2006. Demam Berdarah Dengue edisi 2. Surabaya :
Tropical Disease Center (TDC) Airlangga University Press.
11. Purnama, S. Gede. 2010. Pengendalian Vektor DBD. Denpasar : Program
Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Udayana.

33

Anda mungkin juga menyukai