Anda di halaman 1dari 46

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

LAPORAN KASUS
“ENSEFALITIS”

Disusun untuk Memenuhi Syarat Kelulusan Kepaniteraan Klinik


di Bagian Ilmu Penyakit Saraf
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

Diajukan Kepada :
Pembimbing : Dr. Nurtakdir Kurnia Setiawan, Sp.S, M.Sc
Disusun Oleh :
Azwar Asy’ari Fahruddin
H2A009005

Kepaniteraan Klinik
Departemen Ilmu Penyakit Saraf
FAKULTAS KEDOKTERAN – UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SEMARANG
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa
Periode 19 Januari 2015 – 14 Februari 2015

1
LEMBAR PENGESAHAN KOORDINATOR KEPANITERAAN
ILMU PENYAKIT SARAF

Laporan Kasus dengan judul :


ENSEFALITIS

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


di Bagian Ilmu Penyakit Saraf
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

Disusun Oleh:
Azwar Asy’ari Fahruddin H2A009005

Telah disetujui oleh Pembimbing:

Nama pembimbing Tanda Tangan Tanggal

dr. Nur Takdir Kurnia S, Sp.S, M.Sc .......................... ........................

Mengesahkan:

Koordinator Kepaniteraan Penanggung jawab Kepaniteraan


Ilmu Penyakit Saraf Ilmu Penyakit Saraf

dr. Nur Takdir Kurnia S, Sp.S, M.Sc dr. Kemalasari

2
IDENTITAS
Nama : Sdra. D
Umur : 18 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status Marital : Belum menikah
Pekerjaan : Pelajar
Agama : Islam
Alamat : Krajan 01/01 Kel. Jambu Kab. Semarang
Tanggal masuk RS : 25 Januari 2015 (07:39 WIB)
No. RM : 073164-2015

ANAMNESIS (26 JANUARI 2015)


Aloanamnesis, diperoleh dari keluarga pasien.

Keluhan Utama:
Kesadaran menurun

Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan penurunan kesadaran, pasien
tidak sadarkan diri + 1 jam sebelum dibawa ke RS. Sebelumnya pasien hanya
mengeluh pusing berputar, timbul secara mendadak, pusing berputar dirasa
bertambah parah saat berubah posisi dari duduk ke berdiri atau sebaliknya dan
bergerak terlalu cepat. Bila berjalan serasa mau jatuh dan tidak kuat berdiri lama.
Keluhan pusing juga disertai dengan mual, muntah, tidak ada darah, melihat silau.
Sebelum masuk RS, pasien menyangkal adanya demam, penurunan pendengaran,
telingan berdenging, kelemahan anggota gerak, kejang, rasa baal, kesemutan,
pilek dan sesak nafas. Buang air kecil dan buang air besar tidak ada keluhan.
Dari anamnesis kepada keluarga didapat bahwa pasien juga menderita TB
Paru dan sedang dalam masa pengobatan, terapi sudah berlangsung + 3 bulan.
Awalnya hanya batuk-batuk biasa tetapi batuk tidak sembuh-sembuh oleh
keluarga dibawa berobat kesalah satu RS di semarang dan di diagnosis TB Paru.

3
Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat keluhan serupa sebelumnya : Disangkal
 Riwayat jatuh pada daerah kepala : Disangkal
 Riwayat penyakit darah tinggi : Disangkal
 Riwayat konsumsi obat-obatan : Disangkal
 Riwayat keganasan atau tumor : Disangkal
 Riwayat batuk lama : Disangkal
 Riwayat alergi : Disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada anggota keluarga yang menderita sakit serupa dengan pasien. Disangkal
adanya riwayat penyakit darah tinggi, kencing manis dan batuk lama.

Anamnesis Sistem
Sistem serebrospinal : Pusing berputar
Sistem kardiovaskuler : tidak ada keluhan
Sistem respirasi : Batuk
Sistem gastrointestinal : tidak ada keluhan
Sistem musculoskeletal : tidak ada keluhan
Sistem integumentum : tidak ada keluhan
Sistem urogenital : tidak ada keluhan

Resume Anamnesa:
Seorang laki-laki usia 18 tahun datang ke RSUD Ambarawa dengan
penurunan kesadaran, pasien tidak sadarkan diri + 1 jam sebelum dibawa ke RS.
Sebelumnya pasien hanya mengeluh pusing berputar, timbul secara mendadak,
pusing berputar dirasa bertambah parah saat berubah posisi dari duduk ke berdiri
atau sebaliknya dan bergerak terlalu cepat. Bila berjalan serasa mau jatuh dan
tidak kuat berdiri lama. Keluhan pusing juga disertai dengan mual, muntah, tidak
ada darah, melihat silau. Sebelum masuk RS, pasien menyangkal adanya demam,
penurunan pendengaran, telingan berdenging, kelemahan anggota gerak, kejang,
rasa baal, kesemutan, pilek dan sesak nafas. Buang air kecil dan buang air besar

4
tidak ada keluhan. Pasien juga menderita TB Paru dan sedang dalam masa
pengobatan, terapi sudah berlangsung + 3 bulan.

DISKUSI I
Dari data anamnesis didapatkan keterangan mengenai seorang pasien laki-
laki, umur 18 tahun datang ke IGD RSUD Ambarawa dengan keluhan berupa
suatu kumpulan gejala berupa penurunan kesadaran, pusing berputar, mual,
muntah, Keluhan utama yang dialami pasien adalah penurunan kesadaran disertai
dengan pusing berputar atau yang disebut dengan vertigo. Penurunan kesadaran
adalah keadaan dimana penderita tidak sadar dalam arti tidak terjaga/ tidak
terbangun secara utuh sehingga tidak mampu memberikan respons yang normal
terhadap stimulus. Kesadaran secara sederhana dapat dikatakan sebagai keadaan
dimana seseorang mengenal/ mengetahui tentang dirinya maupun lingkungannya.
(Padmosantjojo, 2000). Vertigo adalah halusinasi gerakan lingkungan sekitar
serasa berputar mengelilingi pasien atau pasien serasa berputar mengelilingi
lingkungan sekitar. (Sura, 2010) Keluhan vertigo harus benar-benar dicermati
pada saat anamnesis karena sering kali dikacaukan dengan nyeri kepala atau
keluhan lain yang bersifat psikosomatis. Riwayat sakit serupa sebelumnya serta
adanya rasa berdengung yang diabaikan pasien mungkin dapat menjadi salah satu
faktor risiko terhadap beratnya penyakit yang dialami pasien saat ini.

PENURUNAN KESADARAN
A. DEFINISI
Kesadaran adalah pengetahuan penuh atas diri, lokasi dan waktu. (Corwin, 2001).
Penurunan kesadaran adalah keadaan dimana penderita tidak sadar dalam arti
tidak terjaga/ tidak terbangun secara utuh sehingga tidak mampu memberikan
respons yang normal terhadap stimulus. Kesadaran secara sederhana dapat
dikatakan sebagai keadaan dimana seseorang mengenal/ mengetahui tentang
dirinya maupun lingkungannya. (Padmosantjojo, 2000).
Dalam menilai penurunan kesadaran dikenal beberapa istilah yaitu:
1. Kompos mentis

5
Kompos mentis adalah kesadaran normal, menyadari seluruh asupan dari panca
indra dan bereaksi secara optimal terhadap seluruh rangsangan baik dari luar
maupun dalam.
2. Somnelen/ drowsiness/ clouding of consciousness
Mata cenderung menutup, mengantuk, masih dapat dibangunkan dengan perintah,
masih dapat menjawab pertanyaan walau sedikit bingung, tampak gelisah dan
orientasi terhadap sekitarnya menurun.
3. Stupor/ Sopor
Mata tertutup dengan rangsang nyeri atau suara keras baru membuka mata atau
bersuara satu dua kata. Motorik hanya berupa gerakan mengelak terhadap
rangsang nyeri.
4. Soporokoma/ Semikoma
Mata tetap tertutup walaupun dirangsang nyeri secara kuat, hanya dapat
mengerang tanpa arti, motorik hanya gerakan primitif.
5. Koma
Dengan rangsang apapun tidak ada reaksi sama sekali, baik dalam hal membuka
mata, bicara maupun reaksi motorik. (Harsono, 1996)

B. ETIOLOGI
Intra cranial:
1. Neoplasma
Tumor otak baik primer maupun metastasis.
2. Epilepsi
Pasca serangan Grand Mall atau pada status epileptikus dapat menyebabkan
penurunan kesadaran.
3. Perdarahan epidural, perdarahan subdural
4. Stroke ( Harsono , 1996 )
Ekstra cranial:
1. Infark miokard akut
2. Ruptur katup mitral atau katup aorta
3. Defek akut septum ventrikel

6
4. Bedah kardiovaskuler
5. Gagal jantung kongestif
6. Metabolik
Misalnya hiperglikemia, hipoglikemia, hipoksia, uremia, koma hepatikum
7. Elektrolit
Misalnya diare dan muntah yang berlebihan
8. Intoksikasi berbagai macam obat maupun bahan kimia dapat menyebabkan
penurunan kesadaran. ( Harsono, 1996 )

C. MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinik yang terkait dengan penurunan kesadaran adalah :
1. Penurunan kesadaran secara kwalitatif
2. GCS kurang dari 13
3. Sakit kepala hebat
4. Muntah proyektil
5. Papil edema
6. Asimetris pupil
7. Reaksi pupil terhadap cahaya melambat atau negatif
8. Demam
9. Gelisah
10. Kejang
11. Retensi lendir/ sputum di tenggorokan
12. Retensi atau inkontinensia urin
13. Hipertensi atau hipotensi
14. Takikardi atau bradikardi
15. Takipnu atau dispnea
16. Edema lokal atau anasarka
17. Sianosis, pucat dan sebagainya

7
D. KOMPLIKASI
Komplikasi yang muncul dapat meliputi:
1. Edema otak
Dapat mengakibatkan peningkatan TIK sehingga dapat menyebabkan kematian.
2. Gagal ginjal
Akibat penurunan perfusi ke korteks ginjal.
3. Kelainan asam basa
Hampir selalu terjadi alkaliosis respiratorik hiperventilasi, sedangkan alkaliosis
metabolic terjadi akibat hipokalemi. Asidosis metabolic dapat terjadi karena
penumpukan asam laktat atau asam organic lainnya akibat gagal ginjal.
4. Hipoksia
Sering terjadi karena edema paru atau radang paru akibat peningkatan
permeabilitas pemmbuluh darah kapiler di jaringan intersisial atau alveoli.
5. Gangguan faal hemoestasis dan perdarahan
6. Gangguan metabolisme atau hipoglikemia dan gangguan keseimbangan
elektrolit atau hipokalsemia.
7. Kerentanan terhadap infeksi
Sering terjadi sepsis terutama karena bakteri gram negative, peritonitis, infeksi
jalan nafas atau paru.
8. Gangguan sirkulasi
Pada tahap akhir dapat terjadi hipotensi, bradikardi maupun henti jantung. (I
Made Bakta, 1999)

E. PATOFISIOLOGI
Penurunan kesadaran pada pasien stroke apabila yang diserang batang otak. Dia
akan mengalami gangguan pada fungsi kesadaran, pernafasan dan aliran darah ke
otak menurun.
Apabila yang mengalami gangguan pada fungsi kesadarannya maka akan terjadi
penurunan tingkat kesadaran, hal tersebut dapat mengakibatkan apatis sampai
dengan koma.

8
Apabila yang mengalami gangguan pad fungsi pernafasan salah satu akibatnya
dapat menyebabkan penurunan kecepatan bernafas dan pola bernafas menjadi
irregular.
Apabila yang mengalami aliran darah maka aliran darah yang menuju ke otak
menurun, suplai darah menjadi menurun, sehingga menyebabkan anemia dan Hb
menjadi menurun, sehingga suplai O2 juga menurun dan terjadi hipoksia.
Selain itu, gangguan yang terjadi pada batang otak juga akan mengalami
kompensasi intracranial yang gagal sehingga terjadi peningkatan TIK. Dengan
gejala sakit kepala hebat, mual dan papil edema.

VERTIGO
Definisi
Vertigo adalah halusinasi gerakan lingkungan sekitar serasa berputar
mengelilingi pasien atau pasien serasa berputar mengelilingi lingkungan sekitar
(Wreksoatmodjo, 2009). Vertigo berasal dari bahasa Latin vertere yang artinya
memutar merujuk pada sensasi berputar sehingga mengganggu rasa keseimbangan
seseorang, umumnya disebabkan oleh gangguan pada sistim keseimbangan
(Wreksoatmodjo, 2009). Vertigo merupakan suatu gejala dengan sederet
penyebab antara lain akibat kecelakaan, stres, gangguan pada telinga dalam. Obat-
obatan, terlalu sedikit atau banyak aliran darah ke otak dan lain-lain. Tubuh
merasakan posisi dan mengendalikan keseimbangan melalui saraf yang
berhubungan dengan area tertentu di otak. Vertigo bisa disebabkan oleh kelainan
didalam telinga, didalam saraf yang menghubungkan telinga dengan otak dan
didalam otak itu sendiri (Mardjono, 2008).

Fisiologi Alat Keseimbangan


Informasi yang berguna akan ditangkap oleh reseptor alat keseimbangan
tubuh (reseptor vestibuler memiliki kontribusi paling besar, sekitar 50%, disusul
reseptor visual dan reseptor propioseptik). Arus informasi berjalan intensif bila
ada gerakan/perubahan gerakan pada kepala atau tubuh. Akibat gerakan ini
menyebabkan perpindahan cairan endolimfe di labirin dan selanjutnya cilia dari

9
hair cell akan menekuk, Tekukan cillia akan menyebabkan perubahan
permeabilitas membran hair cell sehingga ion Ca2+ masuk ke dalam sel (influks).
Influks Ca akan menyebabkan depolarisasi dan juga merangsang pelepasan
neurotransmiter eksitatorik (glutamat, aspartat, asetilkolin, histamin, substansia P,
dan lainnya) yang selanjutnya akan meneruskan impuls sensorik ini lewat saraf
aferen (vestibularis) ke pusat alat keseimbangan di otak dan timbullah persepsi.
Bila dalam keadaan sinkron dan wajar maka muncul respon berupa penyesuaian
otot mata dan penggerak tubuh, tidak terjadi vertigo. (Joesoef, 2003).
Pusat integrasi pertama diduga berada pada inti vestibularis, menerima
impuls aferen dari propioseptif, visual dan vestibuler. Serebelum selain
merupakan pusat integrasi kedua juga merupakan pusat komparasi informasi yang
sedang berlangsung dengan informasi gerakan yang sudah lewat, karena memori
gerakan yang dialami di masa lalu diduga tersimpan di vestibuloserebeli. Selain
serebelum, informasi tentang gerakan juga tersimpan di pusat memori prefrontal
korteks memori (Keith, 2001).
Alat vestibuler (alat keseimbangan) terletak di telinga dalam (labirin),
terlindung oleh tulang yang paling keras yang dimiliki oleh tubuh.Labirin secara
umum adalah telinga dalam, tetapi secara khusus dapat diartikan sebagai alat
keseimbangan.Labirin terdiri atas labirin tulang dan labirin membran.Labirin
membran terletak dalam labirin tulang dan bentuknya hampir menurut bentuk
labirin tulang. Antara labirin membran dan labirin tulang terdapat perilimfa,
sedang endolimfa terdapat di dalam labirin membran.Berat jenis cairan endolimfa
lebih tinggi daripada cairan perilimfa. Ujung saraf vestibuler berada dalam labirin
membran yang terapung dalam perilimfa, yang berada dalam labirin tulang. Setiap
labirin terdiri dari 3 kanalis semi-sirkularis (kss), yaitu kss horizontal (lateral), kss
anterior (superior) dan kss posterior (inferior). Selain 3 kanalis ini terdapat pula
utrikulus dan sakulus.(Sherwood,1996)
Keseimbangan dan orientasi tubuh seseorang terhadap lingkungan di
sekitarnya tergantung pada input sensorik dari reseptor vestibuler di labirin, organ
visual dan proprioseptif. Gabungan informasi ketiga reseptor sensorik tersebut

10
akan diolah di SSP, sehingga menggam¬barkan keadaan posisi tubuh pada saat
itu.
Labirin terdiri dari labirin statis yaitu utrikulus dan sakulus yang
merupakan pelebaran labirin membran yang terdapat dalam vestibulum labirin
tulang.Pada tiap pelebarannya terdapat makula utrikulus yang di dalamnya
terdapat sel-sel reseptor keseimbangan.Labirin kinetik terdiri dari tiga kanalis
semisirkularis dimana pada tiap kanalis terdapat pelebaran yang ber¬hubungan
dengan utrikulus, disebut ampula. Di dalamnya terdapat krista ampularis yang
terdiri dari sel-sel reseptor keseimbangan dan se-luruhnya tertutup oleh suatu
substansi gelatin yang disebut kupula. (Sherwood,1996)
Gerakan atau perubahan kepala dan tubuh akan menimbulkan perpindahan
cairan endolimfa di labirin dan selanjutnya silia sel rambut akan menekuk.
Tekukan silia menyebabkan permeabilitas membran sel berubah, sehingga ion
kalsium akan masuk ke dalam sel yang menyebabkan terjadinya proses depolari-
sasi dan akan merangsang pelepasan neurotransmiter eksitator yang selanjutnya
akan meneruskan impuls sensoris melalui saraf aferen ke pusat keseimbangan di
otak. Sewaktu berkas silia terdorong ke arah berlawanan, maka terjadi
hiperpolarisasi.(Sherwood,1996)
Organ vestibuler berfungsi sebagai transduser yang mengubah energi
mekanik akibat rangsangan otolit dan gerakan endolimfa di dalam kanalis
semisirkularis menjadi energi biolistrik, sehingga dapat memberi informasi
mengenai perubahan posisi tubuh akibat per-cepatan linier atau percepatan sudut.
Dengan demikian dapat memberi informasi mengenai semua gerak tubuh yang
sedang berlangsung.(Sherwood,1996)
Sistem vestibuler berhubungan dengan sistem tubuh yang lain, sehingga
kelainannya dapat menimbulkan gejala pada sistem tubuh bersangkutan. Gejala
yang timbul dapat berupa vertigo, rasa mual dan muntah.Pada jantung berupa
bradikardi atau takikardi dan pada kulit reaksinya berkeringat dingin.
(Sherwood,1996)

11
Patologi gangguan keseimbangan
Dalam kondisi alat keseimbangan baik sentral maupun perifer yang tidak
normal atau adanya gerakan yang aneh /berlebihan, maka tidak terjadi proses
pengolahan yang wajar dan muncul vertigo. Selain itu terjadi pula respon
penyesuaian otot-otot yang tidak adekuat, sehingga muncul gerakan abnormal dari
mata (nistagmus), unsteadiness/ataksia waktu berdiri/berjalan dan gejala lainnya.
Sebab pasti mengapa terjadi gejala tersebut belum diketahui (Perdossi, 2000).

Vertigo disebabkan oleh gangguan keseimbangan tubuh yang


mengakibatkan ketidakcocokan antara posisi tubuh yang sebenarnya dengan apa
yang dipersepsi oleh susunan saraf pusat. Ada beberapa teori yang berusaha
menerangkan kejadian tersebut, diantaranya ;
1. Teori konfliks sensoris : rangsang diatas ambang fisiologis akan
mengakibatkan banjir informasi di pusat kesimbangan, sehingga
meningkatkan kegiatan SSP, koordinasi dan menjalar ke sekitarnya,
terutama saraf otonom, korteks dan timbul sindroma vertigo.
2. Teori Neural Mismatch: reaksi timbul akibat rangsang gerakan yang
sedang dihadapi tidak sesuai dengan harapan yang sudah tersimpan di
memori dari pengalaman gerak sebelumnya. Pengalaman gerak dimemori
di cerebelum dan korteks cerebri. Lama kelamaan akan terjadi penyusunan
kembali pola gerakan yang sedang dihadapi sama dengan pola yang ada di
memori. Orang menjadi beradaptasi. Makin besar ketidaksesuaian pola
gerakan yang dialami dengan memori maka makin hebat sindroma yang
muncul. Makin lama proses sensory rearrangement maka makin lama pula
adaptasi orang tersebut terjadi.
3. Ketidakseimbangan saraf Otonomik: sindrome terjadi karena
ketidakseimbangan saraf otonom akibat rangsang gerakan. Bila
ketidakseimbangan mengarah ke saraf parasimpatis maka muncul gejala
dan bila mengarah ke dominasi saraf simpatis sindrome menghilang.
4. Teori neurohumoral: munculnya sindrome vertigo berawal dari pelepasan
Corticotropin releasing hormon(CRH) dari hipothalamus akibat rangsang

12
gerakan. CRH selanjutnya meningkatkan aktifitas saraf simpatis di locus
coeruleus, hipokampus dan korteks serebri melalui mekanisme influks
calcium. Akibatnya keseimbangan saraf otonon mengarah ke dominasi
saraf simpatis dan timbul gejala pucat, rasa dingin di kulit, keringat dingin
dan vertigo. Bila dominasi mengarah ke saraf parasimpatis sebagai akibat
otoregulasi, maka muncul gejala mual, muntah dan hipersalivasi.
Rangsangan ke locus coerulus juga berakibat panik. CRH juga dapat
meningkatkan stress hormon lewat jalur hipothalamus-hipofise-adrenalin.
Rangsangan ke korteks limbik menimbulkan gejala ansietas dan atau
depresi. Bila sindroma tersebut berulang akibat rangsangan atau latihan,
maka siklus perubahan dominasi saraf simpatis dan parasimpatis
bergantian tersebut juga berulang sampai suatu ketika terjadi perubahan
sensitifitas reseptor (hiposensitif) dan jumlah reseptor (down regulation)
serta penurunan influks calsium. Dalam keadaan ini pasien tersebut telah
mengalami adaptasi. ( Perdossi, 2000)
5. Teori rangsang berlebihan (overstimulation)
Teori ini berdasarkan asumsi bahwa rangsangan yang berlebihan
menyebabkan hiperemi kanalis semisirkularis sehingga fungsinya
terganggu, akibatnya akan timbul vertigo, nistagmus, mual dan muntah.
6. Teori sinaps
Merupakan pengembangan dari teori sebelumnya yang meninjau peranan
neurotransmisi dan perubahan-perubahan biomolekuler yang terjadi pada
proses adaptasi, belajar dan daya ingat.
Vertigo akan timbul bila terdapat ketidaksesuaian dalam informasi yang
oleh susunan aferen disampaikan ke pusat kesadaran. Susunan aferen yang
terpenting adalah susunan vestibuler yang secara terus menerus menyampaikan
impuls ke pusat keseimbangan. Susunan lain yang berperan adalah susunan optik
dan susunan propioseptik yang melibatkan jaras yang menghubungkan nuklei
vestibularis dengan nuklei n III, IV dan VI, susunan vestibuloretikularis, dan
vestibulospinalis (Joesoef, 2003).
Jaringan saraf yang terlibat dalam proses timbulnya vertigo adalah:

13
1. Reseptor alat keseimbangan tubuh. Berperan dalam mengubah rangsang
menjadi bioelektrokimia, terdiri dari reseptor mekanis di vestibulum,
reseptor cahaya di retina dan reseptor mekanis/ propioseptik di kulit, otot,
dan sendi.
2. Saraf aferen berperan dalam proses transmisi. Terdiri dari saraf
vestibularis, saraf optikus dan saraf spino-vestibulo-serebelaris.
3. Pusat keseimbangan. Berperan dalam modulasi, komparasi, koordinasi dan
persepsi. Terletak pada inti vestibularis, serebelum, korteks serebri,
hipothalamus, inti okulomtorius dan formatio retikularis (Joesoef, 2003).
Vertigo patologis terdiri dari vertigo vestibular dan nonvestibular.
Vertigo vestibular adalah vertigo yang disebabkan oleh gangguan sistem
vestibular, sedangkan vertigo non vestibular adalah vertigo yang
disebabkan oleh gangguan system visual dan somatosensori
Karakteristik Vertigo Vestibular Vertigo Non-vestibular
Waktu Episodic Konstan
Sifat vertigo Berputar Melayang
Faktor Gerakan kepala, perubhan
Stress, hiperventilasi
pencetus posisi
Gangguan mata,
Gejala penyerta Mual, muntah, tuli, tinnitus
gangguan somatosensorik

Vertigo vestibular dapat diklasifikasikan menjadi :


a. Sentral, vertigo yang terjadi akibat gangguan alat keseimbangan
tubuh di sistem saraf pusat, baik di pusat integrasi (serebelum dan
batang otak) ataupun di area persepsi (korteks)
b. Perifer, vertigo yang terjadi akibat gangguan alat keseimbangan
tubuh di labirin (telinga dalam) atau di saraf kranial VIII (Saraf
Vestibulokoklear) divisi vestibular
Kata kunci untuk vertigo yang berasal dari sentral adalah gejala
atau tanda batang otak lainnya atau tanda onset akut misalnya sakit
kepala tuli dan temuan neurologis lainnya misalnya trigeminal sensory

14
loss pada infark arteri cebellar postero inferior. Pada pasien seperti ini
perlu cepat dirujuk dan diinvestigasi.
Red flag pada pasien dengan vertigo meliputi :
 Sakit kepala
 Gejala neurologis
 Tanda neurologis

Klinis vertigo perifer dan sentral


Perifer Sentral
Bangkitan vertigo Mendadak Lambat
Derajat vertigo Berat Ringan
Pengaruh gerakan kepala + -
Gejala otonom ++ -
Gangguan pendengaran + -

Ciri-ciri Vertigo perifer Vertigo sentral


Lesi Sistem vestibuler Sistem vertebrobasiler dan
(telinga dalam, saraf gangguan vaskular (otak,
perifer) batang otak, serebelum)
Penyebab Vertigo posisional iskemik batang otak,
paroksismal jinak vertebrobasiler insufisiensi,
(BPPV), penyakit neoplasma, migren basiler
maniere, neuronitis
vestibuler, labirintis,
neuroma akustik, trauma
Gejala gangguan SSP Tidak ada Diantaranya : diplopia,
parestesi, gangguan
sensibilitas dan fungsi
motorik, disartria,
gangguan serebelar
Masa laten 3-40 detik Tidak ada
Habituasi Ya Tidak

Berdasarkan gejala klinis yang menonjol, vertigo dibagi 3 kelompok

15
1. vertigo paroksismal
2. vertigo yang kronis
3. vertigo dengan serangan akut berangsur berkurang tanpa bebas keluhan
( Harsono, 2000.; Perdossi, 2000).

1. Vertigo paroksismal
Ciri khas: serangan mendadak, berlangsung beberapa menit atau hari,
menghilang sempurna, suatu ketika muncul lagi, dan diantara serangan
penderita bebas dari keluhan. Berdasar gejala penyertanya dibagi:
a. Dengan keluhan telinga, tuli atau telinga berdenging: sindrome
Meniere, arahnoiditis pontoserebelaris, TIA vertebrobasiler, kelainan
odontogen, tumor fossa posterior
b. Tanpa keluhan telinga: TIA vertebrobasiler, epilepsi, migraine,
vertigo anak, labirin picu
c. Timbulnya dipengaruhi oleh perubahan posisi: vertigo posisional
paroksismal benigna.

2. Vertigo Kronis
Ciri khas: vertigo menetap lama, keluhan konstan tidak membentuk serangan-
serangan akut.
Berdasar gejala penyertanya dibagi:
a. Dengan keluhan telinga: OMC, tumor serebelopontin,
meningitis TB, labirinitis kronik, lues serebri.
b. Tanpa keluhan telinga: kontusio serebri, hipoglikemia,
ensefalitis pontis, kelainan okuler, kardiovaskuler dan psikologis, post
traumatik sindrom, intoksikasi, kelainan endokrin.
c. Timbulnya dipengaruhi oleh perubahan posisi: hipotensi
orthostatik, vertigo servikalis.

3. Vertigo yang serangannya akut


Berangsur-angsur berkurang tetapi tidak pernah bebas serangan.
Berdasar gejala penyertanya dibagi:

16
a. Dengan keluhan telinga: neuritis N. VIII, trauma labirin, perdarahan
labirin, herpes Zoster otikus.
b. Tanpa keluhan telinga: neuritis vestibularis, sklerosis multipel, oklusi
arteri serebeli inferior posterior,encefalitis vestibularis, sklerosis multiple,
hematobulbi.

Pada umunya diagnosis vertigo tidaklah sulit. Tetapi akan sulit


mendiagnosis lokalisasi lesi dan sangat sulit mendiagnosis etiologinya. Anamnesis
memegang peranan paling vital dalam diagnosis vertigo, karena 50% lebih
informasi yang berguna untuk diagnosis berasal dari anamnesis. Di negara maju
pun, anamnesis merupakan sumber informasi paling penting. (Perdossi, 2000)
Penderita mengeluh adanya perasaan sensasi berputar, lingkungan sekitar
dirasakan berputar, bukan headache. perubahan posisi kepalamemperburuk
keluhan, adanya mual dan muntah dapat mendukung ke arah vertigo perifer
walaupun vertigo central belum dapat disingkirkan hanya dari anamnesis.

TUBERKULOSIS PARU
Definisi
Tuberkulosis paru (Tb paru) adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang
penyakit parenkim paru. Nama tuberkulosis berasal dari tuberkel yang berarti
tonjolan kecil dan keras yang terbentuk waktu sistem kekebalan membangun
tembok mengelilingi bakteri dalam paru. Tb paru ini bersifat menahun dan secara
khas ditandai oleh pembentukan granuloma dan menimbulkan nekrosis jaringan.
Tb paru dapat menular melalui udara, waktu seseorang dengan Tb aktif pada paru
batuk, bersin atau bicara.

Klasifikasi
Ada beberapa klasifikasi Tb paru yaitu menurut Depkes (2007) yaitu:
a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:
1. Tuberkulosis paru

17
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru.
tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
2. Tuberkulosis ekstra paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura,
selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian,
kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
a. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada Tb
Paru:
1. Tuberkulosis paru BTA positif
 Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan
gambaran tuberkulosis.
 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman Tb positif.
 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS
pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan
setelah pemberian antibiotika non OAT.
2. Tuberkulosis paru BTA negatif
Kriteria diagnostik Tb paru BTA negatif harus meliputi:
 Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.
 Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
 Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
 Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
b. Klasifikasi berdasarkan tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan
sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu:
1. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan
OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
2. Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh tetapi kambuh lagi.
3. Kasus setelah putus berobat (default)

18
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan
BTA positif.
4. Kasus setelah gagal (failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
5. Kasus lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, dalam kelompok ini
termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif
setelah selesai pengobatan ulangan (Depkes RI, 2006).

Epidermiologi
A. Personal
1. Umur
Tb Paru Menyerang siapa saja tua, muda bahkan anak-anak. Sebagian besar
penderita Tb Paru di Negara berkembang berumur dibawah 50 tahun. Data WHO
menunjukkan bahwa kasus Tb paru di negara berkembang banyak terdapat pada
umur produktif 15-29 tahun. Penelitian Rizkiyani pada tahun 2008 menunjukkan
jumlah penderita baru Tb Paru positif 87,6% berasal dari usia produktif (15-54
tahun) sedangkan 12,4 % terjadi pada usia lanjut (≤ 55 tahun).
2. Jenis Kelamin
Penyakit Tb Paru menyerang orang dewasa dan anak-anak, laki laki dan
perempuan.Tb paru menyerang sebagian besar laki-laki usia produktif.
3. Stasus gizi
Status nutrisi merupakan salah satu faktor yang menetukan fungsi seluruh sistem
tubuh termasuk sistem imun.Sistem kekebalan dibutuhkan manusia untuk
memproteksi tubuh terutama mencegah terjadinya infeksi yang disebabkan oleh
`mikroorganisme. Bila daya tahan tubuh sedang rendah, kuman Tb paru akan
mudah masuk ke dalam tubuh. Kuman ini akan berkumpul dalam paruparu
kemudian berkembang biak.Tetapi, orang yang terinfeksi kuman TB Paru belum
tentu menderita Tb paru. Hal ini bergantung pada daya tahan tubuh orang tersebut.
Apabila, daya tahan tubuh kuat maka kuman akan terus tertidur di dalam tubuh

19
(dormant) dan tidak berkembang menjadi penyakt namun apabila daya tahan
tubuh lemah makan kuman Tb akan berkembang menjadi penyakit. Penyakit Tb
paru Lebih dominan terjadi pada masyarakat yang status gizi rendah karena sistem
imun yang lemah sehingga memudahkan kuman Tb Masuk dan berkembang biak.
a. Tempat
1. Lingkungan
TB paru merupakan salah satu penyakit berbasis lingkungan yang ditularkan
melalui udara. Keadaan berbagai lingkungan yang dapat mempengaruhi
penyebaran Tb paru salah satunya adalah lingkungan yang kumuh,kotor. Penderita
Tb Paru lebih banyak terdapat pada masyarakat yang menetap pada lingkungan
yang kumuh dan kotor.
2. Kondisi sosial ekonomi
Sebagai penderita Tb paru adalah dari kalangan miskin. Data WHO pada tahun
2011 yang menyatakan bahwa angka kematian akibat Tb paru sebagaian besar
berada di negara yang relatif miskin.
b. Waktu
Penyakit Tb paru dapat menyerang siapa saja, dimana saja, dan kapan saja tanpa
mengenal waktu. Apabila kuman telah masuk ke dalam tubuh pada saat itu kuman
akan berkembang biak dan berpotensi untuk terjadinya Tb paru.

Etiologi
Penyakit Tb paru adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri.
Mycobakterium tuberkulosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan
asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA).
Sumber penularan adalah penderita tuberkulosis BTA positif pada waktu batuk
atau bersin. Penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet
(percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada
suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut
terhirup ke dalam saluran pernafasan.Setelah kuman tuberkulosis masuk ke dalam
tubuh manusia melalui pernafasan, kuman tuberkulosis tersebut dapat menyebar
dari paru kebagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, saluran nafas,

20
atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. Daya penularan dari
seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari
parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular
penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman),
maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Seseorang terinfeksi tuberkulosis
ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara
tersebut.

Diagnosis
Diagnosis tuberkulosis paru ditegakkan melalui pemeriksaan gejala klinis,
mikrobiologi, radiologi, dan patologi klinik. Pada program tuberkulosis nasional,
penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis
utama. Pemeriksaan lain seperti radiologi, biakan dan uji kepekaan dapat
digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.
Tidak dibenarkan mendiagnosis tuberkulosis hanya berdasarkan pemeriksaan foto
toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB
paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.

DIAGNOSIS SEMENTARA
Diagnosis Klinik : Penurunan kesadaran
Diagnosis topik : Organ vestibularis, Organ Respiratori, Organ
Serebrospinal
Diagnosis etiologik : Vertigo
TB Paru
PEMERIKSAAN FISIK
(Dilakukan pada tanggal 26 Januari 2015)

Status generalis : Tampak lemas, status gizi tampak kurus


Keadaan Umum Kesadaran stupor, GCS: E2V2M2
Tanda Vital : T : 130/80 mmHg
N : 89x/mnt
RR : 24x/mnt
S : 36,7o C

21
Kulit : Turgor kulit baik
Kepala : Normocephal, rambut hitam, distribusi merata, tidak
mudah dicabut.
Mata : Edema palpebra -/-, konjungtiva anemis -/-, sklera
ikterik -/-, pupil isokor diameter 3/3 mm, reflek cahaya +/
+, reflek kornea +/+
Telinga : Bentuk normal, simetris, serumen -/-
Hidung : Bentuk normal, tidak ada septum deviasi, sekret -/-
Mulut : Faring tidak hiperemis, Tonsil T1-T1.
Leher : Simetris, tidak tampak pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada
deviasi trakhea, tidak teraba pembesaran kelenjar getah
bening, kaku kuduk (-), Meningeal sign (-), Kaku leher(-).
Dada : Pulmo : I = Normochest, dinding dada simetris
P = Fremitus taktil kanan = kiri, ekspansi dinding
dada simetris
P = Sonor di kedua lapang paru
A= Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Cor : I = Tidak tampak ictus cordis
P = Iktus cordis tidak teraba
P = Batas atas ICS III linea parasternal sinistra
Batas kiri ICS VI linea midklavicula sinistra
Batas kanan ICS IV linea stemalis dextra
A= BJ I dan II reguler, Gallop -/-, Murmur -/-
Abdomen : I = Supel
P = Dinding perut supel, turgor kulit baik
Hepar Lien tidah teraba membesar, tidak ada
nyeri tekan
P = Timpani
A = Bising usus (+) normal
Ekstremitas : Edema (-), sianosis (-), atrofi otot (-), capillary refill
<2detik, akral dingin pada kedua ekstremitas atas dan
kedua ekstremitas bawah

Status Psikiatrik

22
Tingkah Laku : Tidak dapat dinilai
Perasaan Hati : Tidak dapat dinilai
Orientasi : Tidak dapat dinilai
Kecerdasan : Tidak dapat dinilai
Daya Ingat : Tidak dapat dinilai

Status Neurologis
Sikap Tubuh : Normal simetri
Gerakan Abnormal : (-)
Nervi Cranialis Kanan Kiri
NI Daya Penghidu Tidak dapat dinilai
N II Daya Penglihatan Tidak dapat dinilai
Lapang Pandang Tidak dapat dinilai
Pengenalan warna Tidak dapat dinilai
N III Ptosis (-) (-)
Gerakan Mata (Medial, Atas, Bawah) Tidak dapat dinilai
Ukuran Pupil 3 mm 3 mm
Bentuk Pupil Bulat Bulat
Refleks Cahaya (langsung dan tidak (+) (+)
langsung)
Refleks Akomodasi Baik
N IV Strabismus Divergen (-) (-)
Gerakan Mata Ke Lateral Bawah Tidak dapat dinilai
Strabismus Konvergen (-) (-)
NV Menggigit Tidak dapat dinilai
Membuka Mulut Tidak dapat dinilai

Sensibilitas Muka N N
Refleks Cornea (+) (+)
Trismus (-)
N VI Gerakan Mata Ke Lateral Tidak dapat dinilai
Strabismus Konvergen (-) (-)
Diplopia (-)
N VII Kedipan Mata Tidak dapat dinilai
Lipatan Nasolabial Simetris
Sudut Mulut Simetris
Mengerutkan Dahi Tidak dapat dinilai
Mengerutkan Alis Tidak dapat dinilai
Menutup Mata Tidak dapat dinilai
Meringis Tidak dapat dinilai
Menggembungkan Pipi Tidak dapat dinilai
Daya Kecap Lidah 2/3 Depan Tidak dilakukan
N VIII Mendengar Suara Berbisik Tidak dapat dinilai
Mendengar Detik Arloji Tidak dapat dinilai

23
Sikap Tubuh : Normal simetri
Tes Rinne Tidak Tidak
dilakukan dilakukan
Tes Weber Tidak Tidak
dilakukan dilakukan
Tes Schwabach Tidak Tidak
dilakukan dilakukan
N IX Arkus Faring Simetris
Daya Kecap Lidah 1/3 Belakang Tidak dilakukan
Refleks Muntah Tidak dilakukan
Suara Sengau (-)
Tersedak (-)
NX Denyut Nadi regular, 89 x / menit
Arkus Faring Simetris, di tengah
Bersuara (+)
Menelan Tidak ada kelainan
N XI Memalingkan Kepala Tidak dapat dinilai
Sikap Bahu Simetris
Mengangkat Bahu Tidak dapat dinilai
Trofi Otot Bahu Eutrofi Eutrofi
N XII Sikap Lidah Di tengah
Artikulasi Tidak Jelas
Tremor Lidah (-) (-)
Menjulurkan Lidah Simetris
Trofi Otot Lidah Eutrofi Eutrofi
Fasikulasi Lidah (-) (-)

Leher : Kaku kuduk (-), Meningeal Sign (-), Kaku leher (-)
Ekstremitas :
G : sde sde K : sde sde
sde sde sde sde
Tn : + + Tr : E E
+ + E E
RF : + N +N RP : - -
+N +N - -
CL - / -
RC + / +, isokor, 3mm / 3mm
RK + / +

24
Sensibilitas : dalam batas normal
Fungsi Vegetatif : BAB dan BAK dalam batas normal

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium: (tanggal 26 Januari 2015)
Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan
Hematologi
Darah Lengkap
Hemoglobin 14,3 12-16 g/dl
Lekosit 7,8 4,0-10 ribu
Eritrosit 4,99 4,2-5,4 juta
Hematokrit 43,5 37-43 %
Trombosit 256 150-400 ribu
MCV 87,2 80-90 mikro m3
MCH 28,7 27-34 pg
MCHC 32,9 32-36 g/dl
RDW 15,9 10-16 %
MPV 5,9 L 7-11 mikro m3
Limfosit 0,8 L 1,7-3,5 10^3/mikroL
Monosit 0,9 0,2-0,6 10^3/mikroL
Eosinofil 0,1 0,004-0,8 10^3/mikroL
Basofil 0,0 0-0,2 10^3/mikroL
Neutrofil 5,9 1,8-7,5 10^3/mikroL
Limfosit % 10,2 L 25-35 %
Monosit % 11,6 H 4-6%
Eosinofil % 1,9 2-4 %
Basofil % 0,2 0-1 %
Neutrofil % 76,1 H 50-70 %
PCT 0,150 0,2-0,9 %
PDW 9,5 10-15 %
Kimia Klinik
Glukosa Puasa 106 70-106 mg/dl
Glukosa 2 jam PP 116 < 120 mg/dl
Ureum 20,1 10-50 mg/dl
Creatinin 0,46 0,45-1,1 mg/dl
SGOT 15 0-50 U/L
SGPT 26 0-50 IU/L
Uric acid 5,12 2-7 mg/dL
Cholesterol 171 <245 mg/dL

HDL Cholesterol 42 34-87 mg/dL

25
LDL Cholesterol 105,4 <150 mg/dL
Trigliserid 118 30-150 mg/dL
Serologi
HBsAg Non Reactive
Anti Salmonella IgM 4 <=2 : Negatif
3 : Bonderline
4-5 : Positif lemah
=>6 : Positif kuat
Anti Dengue IgG Negatif
Anti Dengue IgM Negatif

Laboratorium: (tanggal 04 Februari 2015)


Darah Rutin Hasil Nilai Rujukan
Hemoglobin 13,7 12 - 16
Leukosit 8,4 4.0 - 10
Eritrosit 5,11 4.2 – 5.4
Hematokrit 41,3 40-50
Trombosit 601 H 200 - 400
Limfosit 1,1 1.7 – 3.5
Monosit 0,8 0.2 – 0.6
Granulosit 6,5 H 2.5 - 4
Limfosit% 12,7 L 25 - 35
Monosit% 9,9 H 4-6
Granulosit% 77,4 50 - 80
PCT 0,325 0.2 – 0.5
PDW 12,6 10 - 18

Konsultasi dr. Spesialis Penyakit Dalam


Hasil konsultasi : (26 Januari 2015)
 Inj. Ceftriaxone 2 x 1 grm

Konsultasi dr. Spesialis Kulit dan Kelamin

26
Hasil Konsultasi: (27 Januari 2015)
 Stomatitis
 Candistatin 2 x 1 oral drop
Konsultasi tim VCT
Hasil konsultasi : (30 Januari 2015)
 Hasil non reactive

Konsultasi Rehab Medik


Hasil konsultasi : (04 Februari 2015)
 Positioning alih baring
 Edukasi keluarga

DISKUSI II
Berdasarkan hasil perawatan pasien di bangsal, keadaan pasien semakin
memburuk dengan di temukannya nyeri sendi di seluruh tubuh, kaku kuduk,
demam, kesadaran yang semakin hari semakin menurun dengan cepat dan tiba-
tiba, ditemukannya candida dan stomatitis di mulut, tekanan darah yang tidak
stabil, kejang, fotofobia.
Pada pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan hasil Anti
Salmonella IgM 4 (positif lemah).
Dari semua hasli yang dikumpulkan, dapat dicurigai adanya infeksi
jaringan otak (ensefalitis) yang ditandai timbulnya keluhan pusing, demam,
muntah, kelemahan anggota gerak, gangguan dalam berbahasa, gelisah, kaku
kuduk, penurunan kesadaran yang cepat, kejang. Hal ini juga di dukung dengan
adanya demam tifoid yang kemungkinan besar memperburuk keadaan pasien dari
terjadinya infeksi jaringan otak dan pasien juga menderita penyakit TB Paru.
Secara umum gejala ensefalitis yang terdiri dari demam, kejang, kesadaran
menurun, fotofobia. (Arif, 2000).
Setelah masa inkubasi kurang lebih 5-10 hari akan terjadi kenaikan suhu
yang mendadak, seringkali terjadi hiperpireksia, nyeri kepala pada anak besar,
menjerit pada anak kecil. Ditemukan tanda perangsangan SSP (koma, stupor,

27
letargi), kaku kuduk, peningkatan reflek tendon, tremor, kelemahan otot dan
kadang-kadang kelumpuhan (Kempe, 1982).
Manifestasi klinik ensefalitis 28supurativa, pada permulaan terdapat gejala
yang tidak khas seperti infeksi umum, kemudian timbul tanda-tanda peningkatan
tekanan yaitu nyeri kepala, muntah-muntah, nafsu makan tidak ada, demam,
penglihatan kabur, kejang umum atau fokal dan kesadaran menurun. Gejala nervi
kranialis, hemiparesis, tendon meningkat, kaku kuduk, afasia, hemianopia,
nistagmus dan ataksia (Harsono, 1996).
Penyebab kelainan neurologis adalah invasi dan perusakan langsung pada
jaringan otak oleh virus yang sedang berkembang biak; reaksi jaringan saraf
terhadap antigen virus yang akan berakibat demielinisasi, kerusakan dan
paravaskular; 28reaksi aktivasi virus neurotropik yang bersifat laten. (Arif, 2000).
Pada ensefalitis viral gejala-gejala awal nyeri kepala ringan, demam,
gejala infeksi saluran nafas atas atau gastrointestinal selama beberapa hari
kemudian muncul tanda-tanda radang SSP seperti kaku kuduk, tanda kernig
positif, gelisah, lemah dan sukar tidur. Defisit 28bacterial28 yang timbul
bergantung pada tempat kerusakan. Selanjutnya kesadaran mulai menurun sampai
koma, dapat terjadi kejang fokal atau umum, hemiparesis, gangguan koordinasi,
kelainan kepribadian, disorientasi, gangguan bicara dan gangguan mental
(Harsono, 1996).
Temuan-temuan klinis pada ensefalitis ditentukan oleh (1) berat dan
lokalisasi anatomis susunan saraf yang terlihat (2) patogenesitas agen yang
menyerang (3) kekebalan dan mekanisme reaktif lain penderita (Nelson 1992).
ETIOLOGI
I. Infeksi-infeksi Virus
A. Penyebaran hanya dari manusia ke manusia
1. Gondongan
Sering, kadang-kadang bersifat ringan.
2. Campak
Dapat memberikan sekuele berat.
3. Kelompok virus entero

28
Sering pada semua umur, keadaannya lebih berat pada neonatus.
4. Rubela
Jarang; sekuele jarang, kecuali pada 29acteri 29acterial29
5. Kelompok Virus Herpes
a. Herpes Simpleks (tipe 1 dan 2) : 29acteria sering; sekuele sering
ditemukan pada neonatus menimbulkan kematian.
b. Virus varicela-zoster; jarang; sekuele berat sering ditemukan.
c. Virus sitomegalo-kongenital atau akuista : dapat memberikan sekuele
lambat pada CMV 29acterial29
d. Virus EB (29acterial2929ic infeksiosa) : jarang
6. Kelompok virus poks
Vaksinia dan variola ; jarang, tetapi dapat terjadi kerusakan SSP berat.
B. Agen-agen yang ditularkan oleh antropoda
- Virus arbo : menyebar ke manusia melalui nyamuk
- Caplak : 29acteria musiman tergantung pada ekologi 29acter serangga.
C. Penyebaran oleh mamalia berdarah panas.
- Rabies : saliva mamalia jinak dan liar
- Virus herpes Simiae (virus “B”) : saliva kera
- Keriomeningitis limfositik : tinja binatang pengerat
II. Infeksi-infeksi Non virus
A. Riketsia
Komponen ensefalitik dari vaskulitis serebral.
B. Mycoplasma 29bacterial
Terdapat interval beberapa hari antara gejala tuberculosis dan bakteri lain;
sering mempunyai komponen ensefalitik.
C. Bakteri
Tuberculosa dan meningitis bakteri lainnya; seringkali memiliki
komponen-komponen ensefalitis.
D. Spirochaeta
Sifilis, 29acterial29 atau akuisita; leptospirosis
E. Jamur

29
Penderita-penderita dengan gangguan imunologis mempunyai resiko
khusus; kriptokokosis; histoplasmosis; aspergilosis, mukor mikosis,
moniliosis; koksidioidomikosis
F. Protozoa
Plasmaodium Sp; Tyypanosoma Sp; naegleria Sp; Acanthamoeba;
Toxoplasma gondii.
G. Metazoa
Trikinosis; ekinokokosis; sistiserkosis; skistosomiasis.
III. Parainfeksiosa-pascainfeksiosa, alergi
Penderita-penderita dimana agen-agen infeksi atau salah satu komponennya
berperan sebagai etiologi penyakit, tetapi agen-agen infeksinya tidak dapat
diisolasi secara utuh in vitro dari susunan syaraf. Diduga pada kelompok ini,
kompleks antigen-antibodi yang diperantarai oleh sel dan komplemen,
terutama berperan penting dalam menimbulkan kerusakan jaringan.
A. Berhubungan dengan penyakit-penyakit spesifik tertentu (Agen ini dapat
pula secara langsung menyebabkan kerusakan SSP)
- Campak
- Rubela
- Pertusis
- Gondongan
- Varisela-zoster
- Influenza
- Mycoplas,a 30acterial
- Infeksi riketsia
- Hepatitis
B. Berhubungan dengan vaksin
- Rabies
- Campak
- Influenza
- Vaksinis
- Pertusis

30
- Yellow fever
- Typhoid
IV. Penyakit-penyakit virus manusia yang lambat.
Semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa berbagai virus yang
didapatkan pada awal masa kehidupan, yang tidak harus disertai dengan
penyakit akut, sedikit banyak ikut berperan sebagian pada penyakit neurologis
kronis di kemudian hari :
- Panensefalitis sklerosis sub akut (PESS); campak; 31acteri
- Penyakit Jakob-Crevtzfeldt (ensefalitis spongiformis)
- Leukoensefalopati 31acterial31 progresif
V. Kelompok kompleks yang tidak diketahui
Contoh : Sindrom Reye, Ensefalitis Von Economo, dan lain-lain (Nelson,
1992).

KLASIFIKASI
Penyebab ensefalitis yang terpenting adalah virus. Infeksi dapat terjadi karena
virus langsung menyerang otak atau reaksi radang akut karena infeksi sistemik
atau vaksinasi terdahulu.
Sesuai dengan jenis virus, ensefalitis diklasifikasikan menjadi 3, yaitu :
I. Ensefalitis virus 31acteria
Virus yangbersifat 31acteria adalah virus rabies, Herpes Simpleks Virus
(HSV), Herpes Zoster, mumps, limfogranuloma dan 31acterial3131
choriomeningitis yang ditularkan melalui gigitan tupai dan tikus. (Bradley,
1991).
II. Ensefalitis virus 31acteria
Golongan virus ini adalah virus entero seperti poliomyelitis, virus Coxsacki,
virus ECHO, serta golongan virus ARBO.
III. Ensefalitis pasca infeksi
Pasca morbili, pasca varisela, pasca rubella, pasca vaksinasi, dan jenis-jenis
virus yang mengikuti infeksi traktus respiratorius yang tidak spesifik
(Anonim, 1985).

31
PATOFISIOLOGI
Pada umumnya virus ensefalitis termasuk 32acter limfatik, baik berasal
dari menelan enterovirus akibat gigitan nyamuk atau serangga lain. Didalam
32acter limfatik ini terjadi perkembangbiakan dan penyebaran ke dalam aliran
darah yang mengakibatkan infeksi pada beberapa organ.
Kemungkinan besar kerusakan neurologis disebabkan oleh (1) invasi
langsung dan destruksi jaringan saraf oleh virus yang berproliferasi aktif atau (2)
reaksi jaringan saraf terhadap antigen-antigen virus. Perusakan neuron mungkin
terjadi akibat invasi langsung virus, sedangkan respon jaringan pejamu yang hebat
mungkin mengakibatkan demielinisasi, kerusakan pembuluh darah dan
perivaskular. Kerusakan pembuluh darah mengakibatkan gangguan peredaran
darah dan menimbulkan tanda-tanda serta gejala-gejala yang sesuai. Penentuan
besarnya kerusakan susunan syaraf pusat yang ditimbulkan langsung oleh virus
dan bagaimana menggambarkan banyaknya perlukaan yang diperantarai oleh
kekebalan, mempunyai implikasi teraupetik; agen-agen yang membatasi
multiplikasi virus diindikasikan untuk keadaan pertama dan agen-agen yang
menekan respons kekebalan selular pejamu digunakan untuk keadaan lain.
(Nelson, 1992).
Pada ensefalitis 32acterial, 32acteria piogenik masuk ke dalam otak
melalui peredaran darah, penyebaran langsung, komplikasi luka tembus.
Penyebaran melalui peredaran darah dalam bentuk sepsis atau berasal dari radang
fokal di bagian lain di dekat otak. Penyebaran langsung dapat melalui
tromboflebitis, osteomielitis, infeksi telinga bagian tengah dan sinus paranasalis.
Mula-mula terjadi peradangan supuratif pada jaringan otak. Biasanya terdapat di
bagian substantia alba, karena bagian ini kurang mendapat suplai darah. Proses
peradangan ini membentuk eksudat, 32acterial32 32acter pada pembuluh-
pembuluh darah dan agregasi leukosit yang sudah mati. Di daerah yang
mengalami peradangan tadi timbul edema, perlunakan dan kongesti jaringan otak
disertai peradangan kecil. Di sekeliling abses terdapat pembuluh darah dan
infiltrasi leukosit. Bagian tengah kemudian melunak dan membentuk ruang abses.
Mula-mula dindingnya tidak begitu kuat, kemudian terbentuk dinding kuat

32
membentuk kapsul yang konsentris. Di sekeliling abses terjadi infiltrasi leukosit
PMN, sel-sel plasma dan limfosit. Abses dapat membesar, kemudian pecah dan
masuk ke dalam ventrikulus atau ruang 33acterial3333i yang dapat
mengakibatkan meningitis. (Harsono, 1996).
Proses radang pada ensefalitis virus selain terjadi jaringan otak saja, juga
sering mengenai jaringan selaput otak. Oleh karena itu ensefalitis virus lebih tepat
bila disebut sebagai meningo ensefalitis. (Arif, 2000)

MANIFESTASI KLINIK
Meskipun penyebabnya berbeda, gejala klinis ensefalitis lebih kurang
sama 33acteria sehingga dapat digunakan sebagai kriteria 33acterial33. Secara
umum gejala berupa trias ensefalitis yang terdiri dari demam, kejang dan
kesadaran menurun. (Arif, 2000).
Setelah masa inkubasi kurang lebih 5-10 hari akan terjadi kenaikan suhu
yang mendadak, seringkali terjadi hiperpireksia, nyeri kepala pada anak besar,
menjerit pada anak kecil. Ditemukan tanda perangsangan SSP (koma, stupor,
letargi), kaku kuduk, peningkatan reflek tendon, tremor, kelemahan otot dan
kadang-kadang kelumpuhan (Kempe, 1982).
Manifestasi klinik ensefalitis 33acterial, pada permulaan terdapat gejala
yang tidak khas seperti infeksi umum, kemudian timbul tanda-tanda peningkatan
tekanan 33acterial3333i yaitu nyeri kepala, muntah-muntah, nafsu makan tidak
ada, demam, penglihatan kabur, kejang umum atau fokal dan kesadaran menurun.
Gejala 33acteri nervi kranialis, hemiparesis, 33acter tendon meningkat, kaku
kuduk, afasia, hemianopia, nistagmus dan ataksia (Harsono, 1996).
Penyebab kelainan neurologis (33acteri neurologis) adalah invasi dan
perusakan langsung pada jaringan otak oleh virus yang sedang berkembang biak;
reaksi jaringan saraf terhadap antigen virus yang akan berakibat demielinisasi,
kerusakan 33acteria, dan paravaskular; 33acterial33 reaksi aktivasi virus
neurotropik yang bersifat laten. (Arif, 2000).
Pada ensefalitis viral gejala-gejala awal nyeri kepala ringan, demam,
gejala infeksi saluran nafas atas atau gastrointestinal selama beberapa hari

33
kemudian muncul tanda-tanda radang SSP seperti kaku kuduk, tanda kernig
positif, gelisah, lemah dan sukar tidur. Defisit 34acterial34 yang timbul
bergantung pada tempat kerusakan. Selanjutnya kesadaran mulai menurun sampai
koma, dapat terjadi kejang fokal atau umum, hemiparesis, gangguan koordinasi,
kelainan kepribadian, disorientasi, gangguan bicara dan gangguan mental
(Harsono, 1996).
Temuan-temuan klinis pada ensefalitis ditentukan oleh (1) berat dan
lokalisasi anatomis susunan saraf yang terlihat (2) patogenesitas agen yang
menyerang (3) kekebalan dan mekanisme reaktif lain penderita (Nelson 1992).

DIAGNOSIS
Diagnosis pasti untuk ensefalitis ialah berdasarkan pemeriksaan patologi
anatomi jaringan otak. Scara praktis 34acterial34 dibuat berdasarkan manifestasi
34acterial34 dan informasi 34acterial3434ic (komite Medik RSUP Dr. Sadjito,
2000).
Hal-hal penting dalam menegakkan diagnosis ensefalitis adalah :
1. Panas tinggi, nyeri kepala hebat, kaku kuduk, stupor, koma, kejang dan gejala-
gejala kerusakan SSP.
2. Pada pemeriksaan cairan serebro spinal (CSS) terdapat pleocytosis dan sedikit
peningkatan protein (normal pada ESL).
3. Isolasi virus dari darah, CSS atau 34acteria post mortem (otak dan darah)
4. Identifikasi serum 34acteria dilakukan dengan 2 spesimen yang diperoleh
dalam 3-4 minggu secara terpisah (Kempe, 1982).
Sebaiknya diagnosis ensefalitis ditegakkan dengan :
1. Anamnesis yang cermat, tentang kemungkinan adanya infeksi akut atau
kronis, keluhan, kemungkinan adanya peningkatan tekanan intra 34acteri,
adanya gejala, fokal serebral/serebelar, adanya riwayat pemaparan selama 2-3
minggu terakhir terhadap penyakit melalui kontak, pemaparan dengan
nyamuk, riwayat bepergian ke daerah 34acteri dan lain-lain (Nelson, 1992)
2. Pemeriksaan fisik/34acterial34, perlu dikonfirmasikan dengan hasil anamnesis
dan sebaliknya anamnesis dapat diulang berdasarkan hasil pemeriksaan.

34
- Gangguan kesadaran
- Hemiparesis
- Tonus otot meninggi
- Reflek patologis positif
- Reflek fiisiologis meningkat
- Klonus
- Gangguan nervus kranialis
- Ataksia (Komite Medik RSUP Dr. Sarjito, 2000)
3. Pemeriksaan laboratorium
 Pungsi lumbal, untuk menyingkirkan gangguan-gangguan lain yang akan
memberikan respons terhadap pengobatan spesifik. Pada ensefalitis virus
umumnya cairan serebro spinal jernih, jumlah lekosit berkisar antara nol
hingga beberapa ribu tiap mili meter kubik, seringkali sel-sel
polimorfonuklear mula-mula cukup bermakna (Nelson, 1992). Kadar
protein meningkat sedang atau normal, kadar protein mencapai 360 mg%
pada ensefalitis yang disebabkan virus herpes simplek dan 55 mg% yang
disebabkan oleh toxocara canis . Kultur 70-80 % positif dan virus 80%
positif (Komite Medik RSUP Dr. Sardjito, 2000).
 Darah
- Al (angka lekosit) : normal/meninggi tergantung etiologi
- Hitung jenis : normal/dominasi sel polimorfenuklear
- Kultur : 80-90 % positif (Komite Medik RSUP Dr. Sardjito, 2000)
4. Pemeriksaan pelengkap
 Isolasi virus
Virus terdapat hanya dalam darah pada infeksi dini. Biasanya timbul
sebelum munculnya gejala. Virus diisolasi dari otak dengan inokulasi
intraserebral mencit dan diidentifikasi dengan tes-tes 35acterial dengan
antiserum yang telah diketahui.
 Serologi
Antibodi netralisasi ditemukan dalam beberapa hari setelah timbulnya
penyakit. Dalam membuat diagnosis perlu untuk menentukan kenaikan

35
titer 36acteria spesifik selama infeksi diagnosis 36acterial menjadi sukar
bila 36acteria yang disebabkan oleh salah satu anggota golongan 36acterial
terjadi pada daerah dimana anggota golongan lain 36acteri atau bila
individu yang terkena infeksi, sebelumnya pernah terkena infeksi virus
arbo yang mempunyai hubungan dekat. Dalam keadaan tersebut, secara
pasti tidak mungkin dilakukan (Jawetz, 1991).
 EEG
 CT scan kepala

DIAGNOSIS AKHIR
Diagnosis Klinik : Ensefalitis Supurativa
Diagnosis topik : Organ cerebral, Organ Respirasi
Diagnosis etiologik : Tuberkulosa TB
Salmonella Typhi

PENATALAKSANAAN
Pada pasien ini diberikan terapi :
 Ranitidin 2 x 1 amp
Ranitidine merupakan antagonis reseptor H2 (AH2) yang bekerja menghambat
sekresi asam lambung. Perangsangan reseptor H2 akan merangsang sekresi
asam lambung, dengan pemberian ranitidine maka reseptor tersebut akan
dihambat secara selektif dan reversible sehingga sekresi asam lambung
dihambat. Ranitidine diberikan sebagai gastroprotektor dan mencegah efek
samping dan interaksi obat lain
 Metilcobalamin 1 x 1 amp
Secara biokimia, Mecobalamin adalah koenzim yang mengandung vitamin
B12 yang ikut berpartisipasi dalam reaksi transmetilasi. Mecobalamin adalah
homolog vitamin 812 yang paling aktif di dalam tubuh. Mecobalamin bekeria
dengan memperbaiki jaringan syaraf yang rusak. Mecobalamin juga terlibat
dalam maturasi eritroblast, mempercepat pembelahan eritroblast dan sintesis
heme sehingga dapat memperbaiki status darah pada anemia megaloblastik.

36
Uji klinis tersamar ganda menunjukkan bahwa Mecobalamin tidak hanya
efektif untuk anemia megaloblastik, namun juga untuk neuropati perifer.
 Dexametason 4 x 1
Deksametason adalah glukokortikoid sintetik dengan aktivitas imunosupresan
dan anti-inflamasi. Sebagai imunosupresan Deksametason bekerja dengan
menurunkan respons imun tubuh terhadap stimulasi rangsang. Aktivitas anti-
inflamasi Deksametason dengan jalan menekan atau mencegah respon
jaringan terhadap proses inflamasi dan menghambat akumulasi sel yang
mengalami inflamasi, termasuk makrofag dan leukosit pada tempat inflamasi.
 Ondansetron 3 x 1 prn
Ondansetron adalah obat yang digunakan untuk mencegah dan mengobati
mual dan muntah yang disebabkan oleh efek samping kemoterapi, radioterapi
atau operasi. Mual dan muntah disebabkan oleh senyawa alami tubuh yang
bernama serotonin. Jumlah serotonin dalam tubuh akan meningkat ketika kita
menjalani kemoterapi, radioterapi, dan operasi. Seretonin akan bereaksi
terhadap reseptor 5HT3 yang berada di usus kecil dan otak, dan membuat
merasa mual. Ondansetron akan menghambat serotonin bereaksi pada receptor
5HT3 sehingga membuat kita tidak mual dan berhenti muntah.
 Sefotaksim 4 x 2 mg
Sefotaksim merupakan golongan antibiotic sefalosforin generasi ketiga.
Mekanisme Kerja : Seperti halnya antimikroba betalaktam lain yakni
Menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan berikatan dengan satu atau
lebih ikatan protein – penisilin (penicillin-binding proteins-PBPs) yang
selanjutnya akan menghambat tahap transpeptidasi sintesis peptidoglikan
dinding sel bakteri sehingga menghambat biosintesis dinding sel. Bakteri akan
mengalami lisis karena aktivitas enzim autolitik (37acterial dan murein
hidrolase) saat dinding sel bakteri terhambat.
 Betahistine 3 x 1
Betahistin merupakan obat antivertigo yang bekerja dengan memperlebar
sphincter prekapiler sehingga meningkatkan alira darah pada telinga bagian
dalam, dengan demikian menghilagkan endolymphatic hydrops. Betahistin

37
juga memperbaiki sirkulasi serebral dan meningkatkan aliran darah arteri
karotis interna. Pemberian betahistin diindikasikan untuk mengurang vertigo
yang berhubungan dengan gangguan keseimbangan yang terjadi pada
gangguan sirkulasi darah atau sindroma meniere dan vertigo perifer.
 Diazepam 2 x 2 mg
Diazepam digunakan untuk memperpendek mengatasi gejala yang timbul
seperti gelisah yang berlebihan. Diazepam juga dapat digunakan untuk kejang
otot, kejang otot merupakan penyakit neurologi. Dizepam digunakan sebagai
obat penenang dan muscle relaxant dapat juga dikombinasikan dengan obat
lain.
 Paracetamol 3 x 500 mg prn
Sebagai antipiretik/38acterial, termasuk bagi pasien yang tidak tahan asetosal.
Sebagai 38acterial, misalnya untuk mengurangi rasa nyeri pada sakit kepala,
sakit gigi, sakit waktu haid dan sakit pada otot.menurunkan demam pada
influenza dan setelah vaksinasi.
 Candestatin 2 x 1
Kandistatin adalah salah satu obat tetes yang biasanya digunakan untuk
mengobati sariawan. Nistatin adalah antibiotika anti fungal yang berasal dari
stan melibatkan reptomyces noursei. Nistatin bekerja dengan melibatkan
ikatan Nistatin dengan sterol 38acteria jamur,terutama ergosterol. Akibat
ikatan tersebut maka permeabilitas 38acteria sel dan proses transportasi sel
akan terganggu dan komponen intraseluler dapat hilang. Nistatin mempunyai
aktifitas atau fungistatika terhadap berbagai jenis ragi (yeast) dan jamur
(fungi) termasuk candida 9monilia) spp akan tetapi tidak aktif terhadap
38acterial virus atau protozoa

38
PROGNOSIS
Death : Dubia ad malam
Disease : Dubia ad malam
Disability : Dubia ad malam
Discomfort : Dubia ad malam
Dissatisfaction : Dubia ad malam
Destitution : Dubia ad malam

39
Follow Up
25/1 26/1 27/1 28/1 29/1 30/1 31/1
KU Kesadaran menurun
TD 130/80 120/60 120/80 130/90 130/70 110/90 110/80
mmHg mmHg mmHg mmHg mmHg mmHg mmHg
N 80x/menit 80x/menit 82x/menit 80x/menit 104x/menit 95x/menit 80x/menit
RR 24x/menit 22x/menit 18x/menit 20x/menit 20x/menit 22x/menit 24x/menit
S 36,50 C 36,50 C 37,90 C 380 C 36,90 C 380 C 36,60 C

Subjective 25/1 26/1 27/1 28/1 29/1 30/1 31/1


Pusing sde sde sde sde sde sde sde
Muntah +++ + + + - - -
Sariawan - - + + + ++ +++
Demam - - + +++ ++ +++ ++
Kejang - - - + - + -

Planning 25/1 26/1 27/1 28/1 29/1 30/1 31/1


Inf RL 20 tpm 20 tpm
O2 kanul 3 l/m
NGT - V v v V V v
DC v V v v V v v
Ondansetron v V v v V v v
Ranitidin v V v v V v v
Metilcobalamin v V v v V v v
Betahistin v V v v V v v
Diazepam - V v v V v v
Cefotaksim - - - - - - -
Ceftriakson - - v v V v v
Dexametason - - - - - - v

40
Paracetamol - - - v V v v
Candistatin - - v v V v v
ket Konsul ipd Konsul Raber ipd Konsul Rencana
Inj. SpKK vct icu
Ceftriaxone Stomatitis Hasil non
2 x 1 grm Candistatin 2 reactive
x 1 oral drop

41
Follow Up
1/2 2/2 3/2 4/2 5/2 6/2
KU Kesadaran menurun
TD 120/70 120/80 120/80 130/80 140/90 -
mmHg mmHg mmHg mmHg mmHg
N 85x/menit 80x/menit 82x/menit 80x/menit 78x/menit -
RR 25x/menit 22x/menit 20x/menit 22x/menit 24x/menit -
S 380 C 37,90 C 370 C 36,50 C 380 C -

42
Subjective 1/2 2/2 3/2 4/2 5/2 6/2
Pusing sde sde sde sde sde -
Muntah - - - - - -
Sariawan +++ +++ +++ +++ +++ -
Demam +++ ++ + + +++ -
Kejang + - - - + -

Planning 1/2 2/2 3/2 4/2 5/2 6/2


Inf RL 20 tpm 20 tpm
O2 kanul 3 l/m
NGT v v v v v -
DC v v v v v -
Ondansetron v v v v v -
Ranitidin v v v v v -
Metilcobalamin v v v v v -
Betahistin v v v v v -
Diazepam v v v v v -
Cefotaksim - - - - v -
Ceftriakson v v v v stop -
Dexametason v v v v v -
Paracetamol v v v v v -
Candistatin v v v v v -
ket Tidak Konsultasi meninggal
bisa Rehab
msuk icu Medik
Usul Positioning
isolasi alih baring
Edukasi
keluarga
43
DAFTAR PUSTAKA

ABTA, 2002, Brain Tumor Basics in Research Resources Information, American


Brain Tumor Association (abta.org)
Adams R.D., Victor M., Rooper A.H., 2001, Disease of N. VIII in Principles of
Neurology, 7th ed. McGraw-Hill, New York
Baehr, Frotscher, 2010. Diagnosis topic neurologi Duus.Jakarta : EGC
Delaney KA, Bedside diagnosis of vertigo : value of the history and neurological
examination. Academic Emergency Medicine. 2003;10:1388-95
Eaton DA, Roland PS, Dizziness in the older adult, part 1 : Evaluation and general
treatment strategies. Geriatric. 2003;58:28-38
Ernoehazy W., 2001, Brain Abscess in eMedicine Journal ; Volume 2 Number 12
Greenberg, 2001, Handbook of Neurosurgery 5thed, Thieme Medical Publications
Hain, Timothy, 2003, Benign Paroxysmal Positional Vertigo @NEUROLOGY
\A\BPPV.htm
Hamid. Muhammad, 2003, Dizziness, Vertigo, and Imbalance @ NEUROLOGY\
Neurotoksikologi dan Vertigo \eMedicine
Harsono, 2000, Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada university Press
Harsono, 2007. Kapita Selekta Neurologi Edisi Kedua. UGM : Yogyakarta.
Hoffman DA, Stockdale S, Hicks LL, Schwaninger JE, 1996, Diagnosis and
Treatment of Head Injury, Journal of Neurotherapy, Reprint (1-1)3
Huff S.J, 2001, Vertigo and Dizzy in eMedicine Journal ; Volume 2 Number 5
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1960/1/bedah-iskandar
%20japardi50.pdf
http://books.google.co.id/books?
id=wzIGJflmD4gC&pg=PA239&lpg=PA239&dq=siadh+adalah&source=
bl&ots=c2cVWCNRA0&sig=0iJ2r4fBv5pBdnvzu-
meXz8oDV4&hl=id&sa=X&ei=R6fRU7maD8SQuATF64GICA&ved=0C
EEQ6AEwBA#v=onepage&q=siadh%20adalah&f=false
http://dc433.4shared.com/doc/XHU6F2Ws/preview.html

44
http://elib.fk.uwks.ac.id/asset/archieve/matkul/Ilmu_Kesehatan_Anak/Parotitis
%20Epidemica.pdf
http://nuzulul-fkp09.web.unair.ac.id/artikel_detail-35600-Kep%20Pencernaan-
Askep%20Parotitis.html
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23705/4/Chapter%20II.pdf
http://books.google.co.id/books?
id=wzIGJflmD4gC&pg=PA363&lpg=PA363&dq=meningoensefalitis+ada
lah&source=bl&ots=c2cVUCHPx2&sig=EFbjr5ILIQRNc1Fk8UYwgL5j
KTQ&hl=id&sa=X&ei=s4HOU8OoDsPh8AXT0ID4Cw&ved=0CF4Q6A
EwCDgK#v=onepage&q=meningoensefalitis%20adalah&f=false
http://eprints.unlam.ac.id/206/1/HULDANI%20-%20DIAGNOSIS%20DAN
%20PENATALAKSANAAN%20MENINGITIS
%20TUBERKULOSIS.pdf
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23705/4/Chapter%20II.pdf
Joesoef AA., Tinjauan Neurobiologi Molekuler dari Vertigo, 2003, Makalah
Konas V Perdossi, Bali
Keith, Marill, 2001, Central verigo, @ NEUROLOGY\ Neurotoksikologi dan
Vertigo\ eMedicine - Central Vertigo.htm
Mardjono, 2008. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat
Perdossi, 2000, Vertigo Patofisiologi, Diagnosis dan Terapi, Jansen
Pharmaceiuticals
Sardjono , 2007. Farmakologi dan terapi.Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Sidharta,P., 1999, Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi, PT Dian Rakyat,
Jakarta
Sura, DJ, Newell, S. 2010. Vertigo- Diagnosis and management in primary care,
BJMP 2010;3(4):a351
Wreaksoatmodjo, 2004.Vertigo : aspek neurologi. Bogor : Cermin Dunia
Kedokteran No. 144.
www.docstoc.com/docs/37864072/PAROTITIS
www.scribd.com/doc/53745066/MENINGOENSEFALITIS
www.docstoc.com/docs/159607287/LP-Meningoensefalitis

45
www.anakibu.com/anak/kesehatan-anak-anak/meningitis-atau-radang-selaput-
otak/
www.docstoc.com/docs/97854758/referat-saraf-Meningitis Mahar mardjono,
Priguna S. Neurologi klinis dasar. Jakarta: Penerbit Dian rakyat. 2006

46

Anda mungkin juga menyukai