Oleh :
SYAHRUL ARIYADI
NIM 12202184
Puji syukur kepada Tuhan YME atas segala kekuatan sehingga penulisan makalah
yang diharapkan.
dan kemampuan yang sangat terbatas dimiliki oleh penulis, sehingga dalam penulisan,
penyusunan kalimat dan dalam mencari sumber buku serta internet masih kurang dan
teramat sulit. Namun penulis sudah berusaha semaksimal mungkin agar makalah ini dapat
diselesaikan untuk memenuhi tugas yang telah diberikan oleh dosen pembimbing dan
Dengan segala kerendahan hati, penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran saran
yang sifatnya membangun demi penyempurnaan makalah ini. Dan penulis berharap
SYAHRUL ARIYADI
1
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Pengertian ................................................................................. 5
B. Epidemiologi ................................................................................. 5
C. Etiologi ................................................................................. 6
D. Klasifikasi ................................................................................. 7
E. Patofisiologi ................................................................................. 8
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Lupus dalam bahasa latin berarti “Anjing Hutan”. Istilah ini mulai dikenal sekitar satu
abad lalu. Gejala penyakit ini dikenal sebagai Lupus Eritomatosus Sistemik (LES) alias
hampir seluruh organ yang ada di dalam tubuh. Bercak Malar / Malar Rash (Butterfly rash) =
Adanya eritema berbatas tegas, datar, atau berelevasi pada wilayah pipi sekitar hidung
(wilayah malar)
Systemic Lupus Erytematosus (SLE) atau Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah
penyakit radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga karena adanya
suatu kelompok penyakit yang melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah
yang mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks.
Etiologi dari beberapa penyakit collagen-vascularsering tidak diketahui tetapi sistem imun
terlibat sebagai mediator terjadinya penyakit tersebut (Delafuente, 2002). Berbeda dengan
HIV/AIDS, SLE adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan sistem kekebalan
tubuh sehingga antibodi yang seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri maupun virus
yang masuk ke dalam tubuh berbalik merusak organ tubuh itu sendiri seperti ginjal, hati,
sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Karena organ tubuh yang diserang bisa
berbeda antara penderita satu dengan lainnya, maka gejala yang tampak sering berbeda,
misalnya akibat kerusakan di ginjal terjadi bengkak pada kaki dan perut, anemia berat, dan
Lembaga Konsumen Jakarta (LKJ), pada tahun 2009 saja, di RS Hasan Sadikin Bandung
sudah terdapat 350 orang yang terkena SLE (sistemic lupus erythematosus). Hal ini
disebabkan oleh manifestasi penyakit yang sering terlambat diketahui sehingga berakibat
pada pemberian terapi yang inadekuat, penurunan kualitas pelayanan, dan peningkatan
masalah yang dihadapi oleh penderita SLE. Masalah lain yang timbul adalah belum
terpenuhinya kebutuhan penderita SLE dan keluarganya tentang informasi, pendidikan, dan
dukungan yang terkait dengan SLE. Manifestasi klinis dari SLE bermacam-macam meliputi
Penderita dengan SLE membutuhkan pengobatan dan perawatan yang tepat dan
benar. Pengobatan pada penderita SLE ditujukan untuk mengatasi gejala dan induksi remisi
manifestasi klinis yang sangat bervariasi maka pengobatan didasarkan pada manifestasi yang
muncul pada masing-masing individu. Obat-obat yang umum digunakan pada terapi
obat-obat yang lain seperti terapi hormon, imunoglobulin intravena, UV A-1 fototerapi,
monoklonal antibodi, dan transplantasi sumsum tulang yang masih menjadi penelitian para
ilmuwan.
1.2 Tujuan
Erythematosus (SLE).
(1). Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian, penyebab, klasifikasi, tanda dan gejala,
Erythematosus (SLE).
BAB II
KONSEP DASAR
A. Pengertian
Lupus adalah penyakit yang terjadi karena kelainan dalam sistem pertahanan tubuh
(sistem imun). Pada penderita SLE organ dan sel mengalami kerusakan yang disebabkan
oleh tissue-binding autoantibody dan kompleks imun, yang menimbulkan peradangan dan
bisa menyerang berbagai sistem organ namun sebabnya belum diketahuisecara pasti, dengan
perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminanatau kronik, terdapat remisi dan
Sistem imun normal akan melindungi kita dari serangan penyakit yang diakibatkan
kuman, virus, dan lain-lain dari luar tubuh kita. Tetapi pada penderita lupus, sistem imun
menjadi berlebihan, sehingga justru menyerang tubuh sendiri, oleh karena itu disebut
penyakit autoimun. Penyakit ini akan menyebabkan keradangan di berbagai organ tubuh kita,
misalnya: kulit yang akan berwarna kemerahan atau erythema, lalu juga sendi, paru, ginjal,
otak, darah, dan lain-lain. Oleh karena itu penyakit ini dinamakan SISTEMIK karena
mengenai hampir seluruh bagian tubuh kita. Jika Lupus hanya mengenai kulit saja, sedangkan
organ lain tidak terkena, maka disebut LUPUS KULIT (lupus kutaneus) yang tidak terlalu
ruam ini tidak menimbulkan sakit atau gatal, bila sembuh akan meninggalkan parut, ulser di
dalam mulut, keguguran rambut, demam berkepanjangan, dan penderita akan sensitif
B. Epidemiologi
SLE lebih banyak terjadi pada wanita dari pada pria dengan perbandingan 10:1.
Perbandingan ini menurun menjadi 3:2 pada lupus yang diinduksi oleh obat. Penyakit SLE
juga menyerang penderita usia produktif yaitu 15–64 tahun. Meskipun begitu, penyakit ini
dapat terjadi pada semua orang tanpa membedakan usia dan jenis kelamin (Delafuente,
2002). Prevalensi SLE berbeda–beda untuk tiap etnis yaitu etnis Afrika – Amerika
mempunyai prevalensi sebesar 1 kasus per 2000 populasi, Cina 1 dalam 1000 populasi, 12
kasus per 100.000 populasi terjadi di Inggris, 39 kasus dalam 100.000 populasi terdapat di
Swedia. Di New Zealand, terjadi perbedaan prevalensi antara etnis Polynesian sebanyak 50
kasus per 100.000 populasi dengan orang kulit putih sebesar 14,6 kasus dalam 100.000
C. Etiologi
1. Faktor Genetik
Jenis kelamin, frekuensi pada wanita dewasa 8 kali lebih sering dari pada pria dewasa
Etnik, Faktor keturunan, dengan Frekuensi 20 kali lebih sering dalam keluarga yang
Hormon estrogen menambah resiko SLE, sedangkan androgen mengurangi resiko ini.
3. Sinar UV
Sinar Ultra violet mengurangi supresi imun sehingga terapimenjadi kurang efektif, sehingga
SLE kambuh atau bertambahberat. Ini disebabkan sel kulit mengeluarkan sitokin
4. Imunitas
Pada pasien SLE, terdapat hiperaktivitas sel B atau intoleransi terhadap sel T
5. Obat
Obat tertentu dalam presentase kecil sekali pada pasien tertentudan diminum dalam jangka
waktu tertentu dapat mencetuskanlupus obat (Drug Induced Lupus Erythematosus atau
6. Infeksi
Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang- kadang penyakit ini kambuh
setelah infeksi
7. Stres
Stres berat dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah memiliki kecendrungan akan
penyakit ini.
D. Klasifikasi
Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitudiscoid lupus, Systemic
Discoid Lupus
Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema yang meninggi,
skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit kepala, telinga, wajah,
lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan karena lesi ini
memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian tengahnya serta hilangnya apendiks kulit
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh
banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan
disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang
Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada asetilator lambat
yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak
terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein
tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks
antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000).
E. Patofisiologi
Penyakit sistemik lupus eritematosus ( SLE ) tampaknya terjadi akibat terganggunya regulasi
kekebalan yang menyebabkan peningkatan auto anti bodi yang berlebihan. Gangguan
sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif )
dan lingkungan ( cahaya matahari, luka bakar termal ). Obat-obat tertentu seperti hidralasin (
antikonvulsan disamping makanan kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE akibat
Pada sistemik lupus eritematosus, peningkatan produksi auto anti bodi diperkirakan terjadi
akibat fungsi sel T-Supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun
dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya merangsang
Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang mempunyai prediposisi genetic akan
toleransi sel T terhadap self-antigen. Sebagai akibatnya muncullah sel T autoreaktif yang
akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik yang memproduksi auto antibody
maupun yang berupa sel memori. Ujud pemicu ini masih belum jelas. Sebagian dari yang
diduga termasuk didalamnya ialah hormon seks, sinar ultraviolet dan berbagai macam
infeksi.
Pada SLE, antibodi yang berbentuk ditunjukkan terhadap antigen yang terutama terletak pada
nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan non-histon. Kebanyakan
di antaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan atau
Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear antibody). Dengan antigennya
yang spesifik, ANA membentuk komplek imun yang beredar dalam sirkulasi. Kompleks
imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi
komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang
Bagian yang penting dalam patogenesis ini ialah terganggunya mekanisme regulasi yang
dalam keadaan normal mencegah automunitas patologis pada individu yang resisten.
Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi seperti kontak dengan
sinar matahari, infeksi virus/bakteri, obat misalnya golongan sulfa, penghentian kehamilan
dan trauma fisis/psikis. Setiap serangan biasanya disertai gejala umum yang jelas seperti
demam, malaise, kelemahan, nafsu makan berkurang, berat badan menurun dan iritabilitas.
Gejala yang paling sering pada SLE pada system musculoskeletal, berupa arthritis atau
artralgia (93%) dan acapkali mendahului gejala-gejala lainnya. Yang paling sering terkena
metakarpofalangeal, siku dan pergelangan kaki, sering terkena adalah kaput femoris.
F. Kriteria SLE
Pada tahun 1982, American Rheumatism Association (ARA) menetapkan kriteria baru
untuk klasifikasi SLE yang diperbarui pada tahun 1997. Kriteria SLE ini mempunyai
selektivitas 96%. Diagnosa SLE dapat ditegakkan jika pada suatu periode pengamatan
1. Artritis, arthritis nonerosif pada dua atau lebih sendi perifer disertai rasa nyeri, bengkak, atau
2. Tes ANA diatas titer normal = Jumlah ANA yang abnormalditemukan dengan
immunofluoroscence atau pemeriksaan serupajika diketahui tidak ada pemberian obat yang
3. Bercak Malar / Malar Rash (Butterfly rash) = Adanya eritemaberbatas tegas, datar, atau
4. Fotosensitif bercak reaksi sinar matahari = peka terhadap sinar UV /matahari, menyebabkan
anemia hemolitik,
Limfosit<1500/mm³,
Trombosit <100.000/mm³
Sedimen seluler = adanya elemen abnormal dalam air kemih yang berasal dari sel
Pleuritis,
Perikarditis
Konvulsi / kejang,
Psikosis
10. Ulser Mulut, Termasuk ulkus oral dan nasofaring yang dapatditemukan
Sel LE+
G. Manifestasi Klinis
Jumlah dan jenis antibodi pada lupus, lebih besar dibandingkan dengan pada penyakit
lain, dan antibodi ini (bersama dengan faktor lainnyayang tidak diketahui) menentukan gejala
mana yang akan berkembang. Karena itu, gejala dan beratnya penyakit, bervariasi pada setiap
penderita. Perjalanan penyakit ini bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai
Gejala pada setiap penderita berlainan, serta ditandai oleh masa bebas gejala (remisi)
dan masa kekambuhan (eksaserbasi). Pada awal penyakit, lupus hanya menyerang satu organ,
• Muskuloskleletal
Hampir semua penderita lupus mengalami nyeri persendian dan kebanyakanmenderitaar tr
itis. Persendian yang sering terkena adalah persendian padajari tangan, tangan, pergelangan
tangan dan lutut. Kematian jaringan padatulang panggul dan bahu sering merupakan
• Integumen
Pada 50% penderita ditemukan ruam kupu-kupu pada tulang pipi dan pangkal hidung. Ruam
ini biasanya akan semakin memburuk jika terkena sinar matahari. Ruam yang lebih tersebar
bisa timbul di bagian tubuh lain yang terpapar oleh sinar matahari.
• Ginjal
Sebagian besar penderita menunjukkan adanya penimbunan protein di dalam sel-sel ginjal,
tetapi hanya 50% yang menderita nefritis lupus (peradangan ginjal yangmenetap). Pada
pencangkokkan ginjal.
• Sistem Neuron
Kelainan saraf ditemukan pada 25% penderita lupus. Yang paling seringditemukan adalah
disfungsi mental yang sifatnya ringan, tetapi kelainanbisa terjadi pada bagian manapun dari
otak, korda spinalis maupun sistemsaraf. Kejang,ps ikos a, sindroma otak organik dan sakit
• Sistem Hematologi
Kelainan darah bisa ditemukan pada 85% penderita lupus. Bisa terbentuk bekuan darah di
dalam vena maupun arteri, yang bisa menyebabkanstroke danemboli paru. Jumlah trombosit
berkurang dan tubuh membentuk antibodi yang melawan faktor pembekuan darah, yang bisa
menyebabkan perdarahan yang berarti. Seringkali terjadi anemia akibat penyakit menahun.
• Sistem Kardiovaskuler
Peradangan berbagai bagian jantung bisa terjadi, sepertiper ikar ditis,endokar
tersebut.
• Sistem Respirasi
Pada lupus bisa terjadipleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi pleura(penimbunan
cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibat dari keadaantersebut sering timbul nyeri
H. Pemeriksaan Laboratorium
Anti ds-DNA
Antibodi ini ditemukan pada 65% – 80% penderita dengan SLE aktif dan jarang pada
penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE sedangkan
kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderita dengan penyakit reumatik yang
lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat
turun dengan pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit
terutama lupus glomerulonefritis. Jumlahnya mendekati negatif pada penyakit SLE yang
tenang (dorman).
Antibodi anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi antinukleus (ANA). Ada dua
tipe dari antibodi anti-DNA yaitu yang menyerang double-stranded DNA (anti ds-DNA) dan
yang menyerang single-stranded DNA (anti ss-DNA). Anti ss-DNA kurang sensitif dan
spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit autoimun yang lain. Kompleks antibodi-
antigen pada penyakit autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja tetapi merupakan
konstributor yang besar dalam perjalanan penyakit tersebut. Kompleks tersebut akan
menginduksi sistem komplemen yang dapat menyebabkan terjadinya inflamasi baik lokal
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain. ANA adalah
sekelompok antibodi protein yang bereaksi menyerang inti dari suatu sel. ANA cukup sensitif
untuk mendeteksi adanya SLE, hasil yang positif terjadi pada 95% penderita SLE. Tetapi
ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan dengan penyakit reumatik
yang lain. Jumlah ANA yang tinggi berkaitan dengan kemunculan penyakit dan keaktifan
penyakit tersebut.Setelah pemberian terapi maka penyakit tidak lagi aktif sehingga jumlah
ANA diperkirakan menurun. Jika hasil tes negatif maka pasien belum tentu negatif terhadap
SLE karena harus dipertimbangkan juga data klinik dan tes laboratorium yang lain, tetapi jika
hasil tes positif maka sebaiknya dilakukan tes serologi yang lain untuk menunjang
diagnosa bahwa pasien tersebut menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-Smith (anti-Sm),
anti-RNP (anti-ribonukleoprotein), dan anti-SSA (Ro) atau anti-SSB (La) (Pagana and
Pagana, 2002).
Tes laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta untuk
monitoring terapi pada penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P, antikardiolipin,
Tujuan dari pengobatan SLE adalah untuk mengurangi gejala penyakit, mencegah
penyakit, serta memberikan edukasi kepada pasien tentang manifestasi dan efek samping dari
terapi obat yang diberikan. Karena banyaknya variasi dalam manifestasi klinik setiap individu
maka pengobatan yang dilakukan juga sangat individual tergantung dari manifestasi klinik
yang muncul. Pengobatan SLE meliputi terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi
Terapi nonfarmakologi
Gejala yang sering muncul pada penderita SLE adalah lemah sehingga diperlukan
keseimbangan antara istirahat dan kerja, dan hindari kerja yang terlalu berlebihan. Penderita
SLE sebaiknya menghindari merokok karena hidrasin dalam tembakau diduga juga
merupakan faktor lingkungan yang dapat memicu terjadinya SLE. Tidak ada diet yang
spesifik untuk penderita SLE (Delafuente, 2002). Tetapi penggunaan minyak ikan pada
pasien SLE yang mengandung vitamin E 75 IU and 500 IU/kg diet dapat menurunkan
produksi sitokin proinflamasi seperti IL-4, IL-6, TNF-a, IL-10, dan menurunkan kadar
antibodi anti-DNA (Venkatraman et al., 1999). Penggunaan sunblock (SPF 15) dan
menggunakan pakaian tertutup untuk penderita SLE sangat disarankan untuk mengurangi
paparan sinar UV yang terdapat pada sinar matahari ketika akan beraktivitas di luar rumah
(Delafuente, 2002).
Terapi farmakologi
Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan mengatasi
inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat keparahan dan lamanya pasien
NSAID
Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan termasuk salisilat dan
NSAID yang lain (Delafuente, 2002). NSAID memiliki efek antipiretik, antiinflamasi, dan
analgesik (Neal, 2002). NSAID dapat dibedakan menjadi nonselektif COX inhibitor dan
selektif COX-2 inhibitor. Nonselektif COX inhibitor menghambat enzim COX-1 dan COX-2
serta memblok asam arakidonat. COX-2 muncul ketika terdapat rangsangan dari mediator
merupakan enzim yang berperan pada fungsi homeostasis tubuh seperti produksi
COX-1 terdapat pada mukosa lambung, sel endotelial vaskular, platelet, dan tubulus
collecting renal (Katzung, 2002). Efek samping penggunaan NSAID adalah perdarahan
saluran cerna, ulser, nefrotoksik, kulit kemerahan, dan alergi lainnya. Celecoxib
merupakan inhibitor selektif COX-2 yang memiliki efektivitas seperti inhibitor COX non
selektif, tapi kejadian perforasi lambung dan perdarahan menurun hingga 50% (Neal, 2002).
Terapi pada SLE didasarkan pada kesesuaian obat, toleransi pasien terhadap efek
samping yang timbul, frekuensi pemberian, dan biaya. Pemberian terapi pada pasien SLE
dilakukan selama 1 sampai 2 minggu untuk mengevaluasi efikasi NSAID. Jika NSAID yang
digunakan tidak efektif dan menimbulkan efek samping maka dipilih NSAID yang lain
dengan periode 1 sampai 2 minggu. Penggunaan lebih dari satu NSAID tidak meningkatkan
seperti kortikosteroid atau antimalaria tergantung dari manifestasi yang muncul (Herfindal et
al., 2000).
Antimalaria
Antimalaria efektif digunakan untuk manifestasi ringan atau sedang (demam, atralgia,
lemas atau serositis) yang tidak menyebabkan kerusakan organ-organ penting. Beberapa
mekanisme aksi dari obat antimalaria adalah stabilisasi membran lisosom sehingga
DNA, penurunan produksi prostaglandin dan leukotrien, penurunan aktivitas sel T, serta
kebanyakan pasien mengalami regresi eritema lesi kulit pada 2 minggu pertama. Jika pasien
memberikan respon yang baik maka dosis diturunkan menjadi 50% selama
beberapa bulan sampai manifestasi SLE teratasi. Sebelum pengobatan dihentikan sebaiknya
dilakukan tapering dosis dengan memberikan obat malaria dosis rendah dua atau tiga kali per
minggu. Sekitar 90% pasien kambuh setelah 3 tahun penghentian obat (Herfindal et al.,
2000).
Kortikosteroid
Penderita dengan manifestasi klinis yang serius dan tidak memberikan respon
terhadap penggunaan obat lain seperti NSAID atau antimalaria diberikan terapi
kortikosteroid. Beberapa pasien yang mengalami lupus eritematosus pada kulit baik kronik
atau subakut lebih menguntungkan jika diberikan kortikosteroid topikal atau intralesional.
tromboksan-A2 serta menghambat melekatnya sel pada endotelial terjadinya inflamasi dan
meningkatkan influks neutrofil sehingga mengurangi jumlah sel yang bermigrasi ke tempat
mengganggu siklus sel pada tahap aktivasi sel limfosit, menghambat fungsi dari makrofag
jaringan dan APCs lain sehingga mengurangi kemampuan sel tersebut dalam merespon
yang timbul. Penderita SLE umumnya menerima kortikosteroid dosis tinggi selama 3 sampai
6 hari (pulse therapy) untuk mempercepat respon terhadap terapi dan menurunkan potensi
efek samping yang timbul pada pemakaian jangka panjang. Yang sering digunakan adalah
metil prednisolon dalam bentuk intravena (10–30 mg/kg BB lebih dari 30 menit). Terapi ini
yang berarti dalam beberapa hari meskipun pada awalnya marker yang menunjukkan
penyakit ginjal (serum kreatinin, blood urea nitrogen) memburuk. Proteinuria membaik pada
Oral prednison lebih sering digunakan daripada deksametason karena waktu paronya
lebih pendek dan lebih mudah apabila akan diganti ke alternate-day therapy. Jika tujuan
terapi sudah tercapai maka untuk terapi selanjutnya didasarkan pada pengontrolan gejala
yang timbul dan penurunan toksisitas obat. Setelah penyakit terkontrol selama paling sedikit
2 minggu maka dosisnya diubah menjadi satu kali sehari. Jika penyakitnya sudah
asimtomatik pada 2 minggu berikutnya maka dilakukan tapering dosis menjadi alternate-
day dan adanya kemungkinan untuk menghentikan pemakaian. Yang perlu diperhatikan
adalah ketika akan melakukan tapering dosis prednison 20 mg per hari atau kurang dan
atralgia, lemas atau serositis), tapering dosis dapat dilakukan dengan mudah yaitu dengan
selama penyebaran (contoh nefritis) tidak selalu dipertimbangkan untuk melakukan tapering
dosis karena penggunaan dosis tinggi lebih efektif untuk mengontrol gejala (Herfindal et al.,
2000).
hipertensi sehingga diperlukan monitoring terhadap tekanan darah dan kadar glukosa darah
selama penggunaan obat ini. Kortikosteroid dapat mensupresi sistem imun sehingga dapat
meningkatkan kerentanan terhadap infeksi yang merupakan salah satu penyebab kematian
pada pasien SLE. Osteoporosis juga terjadi pada pasien yang menerima kortikosteroid karena
kalsium dalam urin sehingga kalsium diambil dari tulang dan tulang kehilangan kalsium, oleh
karena itu pada pasien SLE terapi kortikosteroid sering dikombinasikan dengan suplemen
Siklofosfamid
Digunakan untuk pengobatan penyakit yang berat dan merupakan obat sitotoksik
bahan pengalkilasi. Obat ini bekerja dengan mengganggu proliferasi sel, aktivitas mitotik,
diferensiasi dan fungsi sel. Mereka juga menghambat pembentukan DNA yang menyebabkan
kematian sel B, sel T, dan neutrofil yang berperan dalam inflamasi. Menekan sel limfosit B
mengurangi reaksi inflamasi. Terapi dosis tinggi dapat berfungsi sebagai imunosupresan yang
meningkatkan resiko terjadinya neutropenia dan infeksi. Oleh karena itu dilakukan
monitoring secara rutin terhadap WBC, hematokrit, dan platelet count. Yang perlu
diperhatikan adalah dosis optimal, interval pemberian, rute pemberian, durasi pulse therapy,
meningkatkan kadar komplemen (C3) sehingga dapat mengatasi lupus nefritis. Penggunaan
siklofosfamid yang dikombinasi dengan steroid dosis tinggi pada penderita lupus nefritis
yang refrakter menunjukkan penurunan progesivitas end-stage dari penyakit ginjal dan
Efek samping lain pada penggunaan siklofosfamid adalah mual, muntah, diare, dan
alopesia. Pengobatan mual dan muntah dapat dilakukan dengan cara pemberian obat
antiemetik. Pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan kegagalan ovarian pada wanita
Terapi hormon
saat masih fetus dan berhenti setelah dilahirkan. Hormon ini kembali aktif diproduksi pada
usia 7 tahun, mencapai puncak pada usia 30 tahun, dan menurun seiring bertambahnya usia.
Pasien SLE mempunyai kadar DHEA yang rendah. Pemberian hormon ini memberikan
respon pada penyakit yang ringan saja dan mempunyai efek samping jerawat dan
pertumbuhan rambut (Isenberg and Horsfall, 1998). Secara in vitro, DHEA mempunyai
mekanisme menekan pelepasan IL-1, IL-6, dan TNF-α serta meningkatkan sekresi IL-2 yang
dapat digunakan untuk mengaktivasi sel T pada murine. Meskipun demikian mekanisme
Antiinfeksi/Antijamur/Antivirus
menyebabkan tubuh mudah terserang infeksi. Infeksi yang umum menyerang adalah
virus herpes zoster, Salmonella, danCandida (Isenberg and Horsfall, 1998). Untuk herpes
zoster dapat diatasi dengan pemberian antivirus asiklovir atau vidarabin secara oral 800 mg
lima kali sehari selama 5–7 hari. Salmonella dapat diterapi dengan antibiotik golongan
penisilin dan sefalosporin tidak digunakan karena menyebabkan rash yang sensitif
sehingga dapat memperparahrash SLE (Isenberg and Horsfall, 1998). Adanya infeksi
(Katzung, 2002).
J. Asuhan Keperawatan
Pengkajian
1. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada gejala sekarang
dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku,
demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.
2. Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
3. Kardiovaskuler
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan
vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah
4. Sistem Muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
5. Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal
6. Sistem pernafasan
7. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura
di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral
8. Sistem Renal
9. Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun manifestasi
SSP lainnya.
Masalah Keperawatan
1. Nyeri
2. Keletihan
depresi.
kelemahan otot, rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik.
Intervensi
Intervensi :
a. Laksanakan sejumlah tindakan yang memberikan kenyamanan (kompres panas /dingin;
masase, perubahan posisi, istirahat; kasur busa, bantal penyangga, bidai; teknik relaksasi,
nyeri.
d. Dorong pasien untuk mengutarakan perasaannya tentang rasa nyeri serta sifat kronik
penyakitnya.
e. Jelaskan patofisiologik nyeri dan membantu pasien untuk menyadari bahwa rasa nyeri sering
f. Bantu dalam mengenali nyeri kehidupan seseorang yang membawa pasien untuk memakai
Tujuan : mengikutsertakan tindakan sebagai bagian dari aktivitas hidup sehari-hari yang diperlukan
untuk mengubah.
Intervensi :
dan keletihan
mengembangkan dan mempertahankan tindakan rutin unutk tidur (mandi air hangat
emosional
menjelaskan cara mengggunakan teknik-teknik untuk menghemat tenaga
e. Dorong nutrisi adekuat termasuk sumber zat besi dari makanan dan suplemen.
otot, rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik.
Intervensi :
Tujuan : mencapai rekonsiliasi antara konsep diri dan erubahan fisik serta psikologik yang
ditimbulkan enyakit.
Intervensi :
a. Bantu pasien untuk mengenali unsur-unsur pengendalian gejala penyakit dan penanganannya.
Intervensi :
c. Jaga dengan cermat terhadap resiko terjadinya sedera termal akibat penggunaan kompres
PENUTUP
3.1 Simpulan
Dari penjelasan dalam makalah tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa SLE
ikut memainkan peran untuk menimbulkan aktivitasi hebat sel B, sehingga menghasilkan
Tampaknya semacam penyakit dengan demam yang tidak jelas asalnya, temuan urine yang
abnormal atau penyakit sendi yang menyamar sebagai arthritis rematoid atau demam
rheumatic.
3.2 Saran
Sebaiknya apabila ada salah satu anggota keluarga atau saudara kita terkena penyakit
SLE dan sedang menjalani pengobatan, lebih baik jangan dihentikan. Karena, apabila
dihentikan maka penyakit akan muncul kembali dan kumatlagi. Prognosisnya bertambah baik
akhir-akhir ini, kira-kira 70% penderita akan hidup 10 tahun setelah timbulnya penyakit ini.
Apabila didiagnosis lebih awal dan pengenalan terhadap bentuk penyakit ini ketika masih
ringan.
DAFTAR PUSTAKA
Gibson J.M, MD.1996. Mikrologi dan patologi Modern untuk perawat. Buku Kedoktreran.
Golmeri S.K, levena G.M. 1993 . Tes diagnosa bergambar. Buku Kedokteran.
Robins, DKK. 1996). Buku saku Robins Dasar Patologi Penyakit (eds.5). buku Kedokteran.
Underwodd J.C.E. 1999. Patologi Umum dan Sistematik (eds2). Buku Kedokteran.
DAFTAR PUSTAKA INTERNET
(http://www.nusaindah.tripod.2004.com )
http://www.scribd.com/doc/20459556/SLE