Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS


( SLE )

Oleh :

SYAHRUL ARIYADI
NIM 12202184

Program Studi S1 Keperawatan


Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Cahaya Bangsa
Banjarmasin
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan YME atas segala kekuatan sehingga penulisan makalah

berjudul “Systemic Lupus Erythematosus (SLE)” dapat di selesaikan sesuai dengan

yang diharapkan.

Dalam penyusunan makalah ini penulis menyadari akan segala kekurangan

dan kemampuan yang sangat terbatas dimiliki oleh penulis, sehingga dalam penulisan,

penyusunan kalimat dan dalam mencari sumber buku serta internet masih kurang dan

teramat sulit. Namun penulis sudah berusaha semaksimal mungkin agar makalah ini dapat

diselesaikan untuk memenuhi tugas yang telah diberikan oleh dosen pembimbing dan

berusaha untuk menjadikan yang terbaik.

Dengan segala kerendahan hati, penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran saran

yang sifatnya membangun demi penyempurnaan makalah ini. Dan penulis berharap

semoga makalah ini dapat memenuhi harapan kita semua.

Banjarmasin, Nopember 2014

SYAHRUL ARIYADI
1

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................... 1

DAFTAR ISI ................................................................................. 2

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ................................................................................. 3

1.2 Tujuan ............................................................................................. 4

1.2.1 Tujuan Umum ..................................................................... 4

1.2.2 Tujuan Khusus ..................................................................... 4

BAB II KONSEP DASAR

A. Pengertian ................................................................................. 5

B. Epidemiologi ................................................................................. 5

C. Etiologi ................................................................................. 6

D. Klasifikasi ................................................................................. 7

E. Patofisiologi ................................................................................. 8

F. Kriteria SLE ................................................................................. 9

G. Manifestasi Klinis ................................................................................. 10


H. Pemeriksaan Laboraturium ......................................................... 11

I. Tinjauan Pengobatan SLE ..................................................................... 13

J. Asuhan Keperawatan ..................................................................... 18

BAB III PENUTUP

3.1 Simpulan ................................................................................. 23

3.2 Saran ................................................................................. 23

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................... 24

DAFTAR PUSTAKA INTERNET ......................................................... 25

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Lupus dalam bahasa latin berarti “Anjing Hutan”. Istilah ini mulai dikenal sekitar satu

abad lalu. Gejala penyakit ini dikenal sebagai Lupus Eritomatosus Sistemik (LES) alias

Lupus Eritomatosus, artinya kemerahan. Sedangkan sistemik bermakna menyebar luas ke


berbagai organ tubuh. Penyakit ini tidak hanya menyerang kulit, tetapi juga dapat menyerang

hampir seluruh organ yang ada di dalam tubuh. Bercak Malar / Malar Rash (Butterfly rash) =

Adanya eritema berbatas tegas, datar, atau berelevasi pada wilayah pipi sekitar hidung

(wilayah malar)

Systemic Lupus Erytematosus (SLE) atau Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah

penyakit radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga karena adanya

perubahan sistem imun (Albar, 2003). SLE termasuk penyakitcollagen-vascular yaitu

suatu kelompok penyakit yang melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah

yang mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks.

Etiologi dari beberapa penyakit collagen-vascularsering tidak diketahui tetapi sistem imun

terlibat sebagai mediator terjadinya penyakit tersebut (Delafuente, 2002). Berbeda dengan

HIV/AIDS, SLE adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan sistem kekebalan

tubuh sehingga antibodi yang seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri maupun virus

yang masuk ke dalam tubuh berbalik merusak organ tubuh itu sendiri seperti ginjal, hati,

sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Karena organ tubuh yang diserang bisa

berbeda antara penderita satu dengan lainnya, maka gejala yang tampak sering berbeda,

misalnya akibat kerusakan di ginjal terjadi bengkak pada kaki dan perut, anemia berat, dan

jumlah trombosit yang sangat rendah (Sukmana, 2004).

Perkembangan penyakit lupus meningkat tajam di Indonesia. Menurut hasil penelitian

Lembaga Konsumen Jakarta (LKJ), pada tahun 2009 saja, di RS Hasan Sadikin Bandung

sudah terdapat 350 orang yang terkena SLE (sistemic lupus erythematosus). Hal ini

disebabkan oleh manifestasi penyakit yang sering terlambat diketahui sehingga berakibat

pada pemberian terapi yang inadekuat, penurunan kualitas pelayanan, dan peningkatan

masalah yang dihadapi oleh penderita SLE. Masalah lain yang timbul adalah belum

terpenuhinya kebutuhan penderita SLE dan keluarganya tentang informasi, pendidikan, dan
dukungan yang terkait dengan SLE. Manifestasi klinis dari SLE bermacam-macam meliputi

sistemik, muskuloskeletal, kulit, hematologik, neurologik, kardiopulmonal, ginjal, saluran

cerna, mata, trombosis, dan kematian janin (Hahn, 2005).

Penderita dengan SLE membutuhkan pengobatan dan perawatan yang tepat dan

benar. Pengobatan pada penderita SLE ditujukan untuk mengatasi gejala dan induksi remisi

serta mempertahankan remisi selama mungkin pada perkembangan penyakit. Karena

manifestasi klinis yang sangat bervariasi maka pengobatan didasarkan pada manifestasi yang

muncul pada masing-masing individu. Obat-obat yang umum digunakan pada terapi

farmakologis penderita SLE yaitu NSAID (Non-Steroid Anti-Inflammatory Drugs), obat-obat

antimalaria, kortikosteroid, dan obat-obat antikanker (imunosupresan) selain itu terdapat

obat-obat yang lain seperti terapi hormon, imunoglobulin intravena, UV A-1 fototerapi,

monoklonal antibodi, dan transplantasi sumsum tulang yang masih menjadi penelitian para

ilmuwan.

1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum

Mahasiswa dapat memahami penjabaran tentang penyakit Systemic Lupus

Erythematosus (SLE).

1.2.2 Tujuan Khusus

(1). Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian, penyebab, klasifikasi, tanda dan gejala,

patofisiologi, pathway, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan, serta komplikasi dari

penyakitSystemic Lupus Erytematosus (SLE).

(2). Mahasiswa dapat menambah wawasan baru mengenai penyakitSystemic Lupus

Erythematosus (SLE).
BAB II

KONSEP DASAR

A. Pengertian

Lupus adalah penyakit yang terjadi karena kelainan dalam sistem pertahanan tubuh

(sistem imun). Pada penderita SLE organ dan sel mengalami kerusakan yang disebabkan

oleh tissue-binding autoantibody dan kompleks imun, yang menimbulkan peradangan dan

bisa menyerang berbagai sistem organ namun sebabnya belum diketahuisecara pasti, dengan

perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminanatau kronik, terdapat remisi dan

eksaserbasi disertaioleh terdapatnyaberbagai macam autoantibody dalam tubuh.

Sistem imun normal akan melindungi kita dari serangan penyakit yang diakibatkan

kuman, virus, dan lain-lain dari luar tubuh kita. Tetapi pada penderita lupus, sistem imun

menjadi berlebihan, sehingga justru menyerang tubuh sendiri, oleh karena itu disebut

penyakit autoimun. Penyakit ini akan menyebabkan keradangan di berbagai organ tubuh kita,

misalnya: kulit yang akan berwarna kemerahan atau erythema, lalu juga sendi, paru, ginjal,

otak, darah, dan lain-lain. Oleh karena itu penyakit ini dinamakan SISTEMIK karena

mengenai hampir seluruh bagian tubuh kita. Jika Lupus hanya mengenai kulit saja, sedangkan

organ lain tidak terkena, maka disebut LUPUS KULIT (lupus kutaneus) yang tidak terlalu

berbahaya dibandingka Lupus yang sistemik (Sistemik Lupus /SLE).


Gejala-gejala SLE adalah seperti ruam di wajah, kepala dan anggota-anggota badan,

ruam ini tidak menimbulkan sakit atau gatal, bila sembuh akan meninggalkan parut, ulser di

dalam mulut, keguguran rambut, demam berkepanjangan, dan penderita akan sensitif

terhadap pancaran sinar matahari.

B. Epidemiologi

SLE lebih banyak terjadi pada wanita dari pada pria dengan perbandingan 10:1.

Perbandingan ini menurun menjadi 3:2 pada lupus yang diinduksi oleh obat. Penyakit SLE

juga menyerang penderita usia produktif yaitu 15–64 tahun. Meskipun begitu, penyakit ini

dapat terjadi pada semua orang tanpa membedakan usia dan jenis kelamin (Delafuente,

2002). Prevalensi SLE berbeda–beda untuk tiap etnis yaitu etnis Afrika – Amerika

mempunyai prevalensi sebesar 1 kasus per 2000 populasi, Cina 1 dalam 1000 populasi, 12

kasus per 100.000 populasi terjadi di Inggris, 39 kasus dalam 100.000 populasi terdapat di

Swedia. Di New Zealand, terjadi perbedaan prevalensi antara etnis Polynesian sebanyak 50

kasus per 100.000 populasi dengan orang kulit putih sebesar 14,6 kasus dalam 100.000

populasi (Bartels, 2006).

C. Etiologi

Faktor Resiko terjadinya SLE

1. Faktor Genetik

 Jenis kelamin, frekuensi pada wanita dewasa 8 kali lebih sering dari pada pria dewasa

 Umur, biasanya lebih sering terjadi pada usia 20-40 tahun

 Etnik, Faktor keturunan, dengan Frekuensi 20 kali lebih sering dalam keluarga yang

terdapat anggota dengan penyakit tersebut

2. Faktor Resiko Hormon

Hormon estrogen menambah resiko SLE, sedangkan androgen mengurangi resiko ini.
3. Sinar UV

Sinar Ultra violet mengurangi supresi imun sehingga terapimenjadi kurang efektif, sehingga

SLE kambuh atau bertambahberat. Ini disebabkan sel kulit mengeluarkan sitokin

danprostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut maupunsecara sistemik

melalui peredaran pebuluh darah

4. Imunitas

Pada pasien SLE, terdapat hiperaktivitas sel B atau intoleransi terhadap sel T

5. Obat

Obat tertentu dalam presentase kecil sekali pada pasien tertentudan diminum dalam jangka

waktu tertentu dapat mencetuskanlupus obat (Drug Induced Lupus Erythematosus atau

DILE). Jenisobat yang dapat menyebabkan Lupus Obat adalah :

 Obat yang pasti menyebabkan Lupus obat : Kloropromazin, metildopa, hidralasin,

prokainamid, dan isoniazid

 Obat yang mungkin menyebabkan Lupus obat : dilantin,penisilamin, dan kuinidin

 Hubungannya belum jelas : garam emas, beberapa jenisantibiotic dan griseofurvin

6. Infeksi

Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang- kadang penyakit ini kambuh

setelah infeksi

7. Stres

Stres berat dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah memiliki kecendrungan akan

penyakit ini.

D. Klasifikasi
Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitudiscoid lupus, Systemic

Lupus Erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat.

 Discoid Lupus

Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema yang meninggi,

skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit kepala, telinga, wajah,

lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan karena lesi ini

memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian tengahnya serta hilangnya apendiks kulit

secara menetap (Hahn, 2005).

 Systemic Lupus Erythematosus

SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh

banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan

disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang

berlebihan (Albar, 2003). Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam

ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan

jaringan (Albar, 2003) melalui mekanime pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).

 Lupus yang diinduksi oleh obat

Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada asetilator lambat

yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak

terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein

tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks

antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000).
E. Patofisiologi

Penyakit sistemik lupus eritematosus ( SLE ) tampaknya terjadi akibat terganggunya regulasi

kekebalan yang menyebabkan peningkatan auto anti bodi yang berlebihan. Gangguan

imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (

sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif )

dan lingkungan ( cahaya matahari, luka bakar termal ). Obat-obat tertentu seperti hidralasin (

Apresoline , prokainamid ( Pronestyl ), isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat

antikonvulsan disamping makanan kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE akibat

senyawa kimia atau obat-obatan.

Pada sistemik lupus eritematosus, peningkatan produksi auto anti bodi diperkirakan terjadi

akibat fungsi sel T-Supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun

dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya merangsang

anti bodi tambahan, dan siklus tersebut berulang kembali.

Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang mempunyai prediposisi genetic akan

menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel T CD4+, mengakibatkan hilangnya

toleransi sel T terhadap self-antigen. Sebagai akibatnya muncullah sel T autoreaktif yang

akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik yang memproduksi auto antibody

maupun yang berupa sel memori. Ujud pemicu ini masih belum jelas. Sebagian dari yang

diduga termasuk didalamnya ialah hormon seks, sinar ultraviolet dan berbagai macam

infeksi.

Pada SLE, antibodi yang berbentuk ditunjukkan terhadap antigen yang terutama terletak pada

nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan non-histon. Kebanyakan

di antaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan atau

kompleks protein-RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Cirri khas


autoantigen ini ialah bahwa mereka tidak tissue-spesific dan merupakan komponen integral

semua jenis sel.

Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear antibody). Dengan antigennya

yang spesifik, ANA membentuk komplek imun yang beredar dalam sirkulasi. Kompleks

imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi

komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang

menghasilkan subtansi penyebab timbulnya reaksi radang.

Bagian yang penting dalam patogenesis ini ialah terganggunya mekanisme regulasi yang

dalam keadaan normal mencegah automunitas patologis pada individu yang resisten.

Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi seperti kontak dengan

sinar matahari, infeksi virus/bakteri, obat misalnya golongan sulfa, penghentian kehamilan

dan trauma fisis/psikis. Setiap serangan biasanya disertai gejala umum yang jelas seperti

demam, malaise, kelemahan, nafsu makan berkurang, berat badan menurun dan iritabilitas.

Yang paling menonjol ialah demam, kadang-kadang disertai menggigil.

Gejala yang paling sering pada SLE pada system musculoskeletal, berupa arthritis atau

artralgia (93%) dan acapkali mendahului gejala-gejala lainnya. Yang paling sering terkena

adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan,

metakarpofalangeal, siku dan pergelangan kaki, sering terkena adalah kaput femoris.

F. Kriteria SLE
Pada tahun 1982, American Rheumatism Association (ARA) menetapkan kriteria baru

untuk klasifikasi SLE yang diperbarui pada tahun 1997. Kriteria SLE ini mempunyai

selektivitas 96%. Diagnosa SLE dapat ditegakkan jika pada suatu periode pengamatan

ditemukan 4 atau lebih kriteria dari 11 kriteria yaitu :

1. Artritis, arthritis nonerosif pada dua atau lebih sendi perifer disertai rasa nyeri, bengkak, atau

efusi dimana tulang di sekitar persendiantidak mengalami kerusakan

2. Tes ANA diatas titer normal = Jumlah ANA yang abnormalditemukan dengan

immunofluoroscence atau pemeriksaan serupajika diketahui tidak ada pemberian obat yang

dapat memicu ANAsebelumnya

3. Bercak Malar / Malar Rash (Butterfly rash) = Adanya eritemaberbatas tegas, datar, atau

berelevasi pada wilayah pipi sekitarhidung (wilayah malar)

4. Fotosensitif bercak reaksi sinar matahari = peka terhadap sinar UV /matahari, menyebabkan

pembentukan atau semakin memburuknyaruam kulit

5. Bercak diskoid = Ruam pada kulit

6. Salah satu Kelainan darah;

 anemia hemolitik,

 Leukosit < 4000/mm³,

 Limfosit<1500/mm³,

 Trombosit <100.000/mm³

7. Salah satu Kelainan Ginjal;

 Proteinuria > 0,5 g / 24 jam,

 Sedimen seluler = adanya elemen abnormal dalam air kemih yang berasal dari sel

darah merah/putih maupun sel tubulus ginjal

8. Salah satu Serositis :

 Pleuritis,
 Perikarditis

9. Salah satu kelainan Neurologis;

 Konvulsi / kejang,

 Psikosis

10. Ulser Mulut, Termasuk ulkus oral dan nasofaring yang dapatditemukan

11. Salah satu Kelainan Imunologi

 Sel LE+

 Anti dsDNA diatas titer normal

 Anti Sm (Smith) diatas titer normal

 Tes serologi sifilis positif palsu

G. Manifestasi Klinis

Jumlah dan jenis antibodi pada lupus, lebih besar dibandingkan dengan pada penyakit

lain, dan antibodi ini (bersama dengan faktor lainnyayang tidak diketahui) menentukan gejala

mana yang akan berkembang. Karena itu, gejala dan beratnya penyakit, bervariasi pada setiap

penderita. Perjalanan penyakit ini bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai

penyakit yang berat.

Gejala pada setiap penderita berlainan, serta ditandai oleh masa bebas gejala (remisi)

dan masa kekambuhan (eksaserbasi). Pada awal penyakit, lupus hanya menyerang satu organ,

tetapi di kemudian hari akan melibatkan organ lainnya.

• Muskuloskleletal
Hampir semua penderita lupus mengalami nyeri persendian dan kebanyakanmenderitaar tr

itis. Persendian yang sering terkena adalah persendian padajari tangan, tangan, pergelangan

tangan dan lutut. Kematian jaringan padatulang panggul dan bahu sering merupakan

penyebab dari nyeri di daerahtersebut.

• Integumen

Pada 50% penderita ditemukan ruam kupu-kupu pada tulang pipi dan pangkal hidung. Ruam

ini biasanya akan semakin memburuk jika terkena sinar matahari. Ruam yang lebih tersebar

bisa timbul di bagian tubuh lain yang terpapar oleh sinar matahari.

• Ginjal

Sebagian besar penderita menunjukkan adanya penimbunan protein di dalam sel-sel ginjal,

tetapi hanya 50% yang menderita nefritis lupus (peradangan ginjal yangmenetap). Pada

akhirnya bisa terjadi gagal ginjal sehingga penderita perlumenjalanidialis a atau

pencangkokkan ginjal.

• Sistem Neuron

Kelainan saraf ditemukan pada 25% penderita lupus. Yang paling seringditemukan adalah

disfungsi mental yang sifatnya ringan, tetapi kelainanbisa terjadi pada bagian manapun dari

otak, korda spinalis maupun sistemsaraf. Kejang,ps ikos a, sindroma otak organik dan sakit

kepala merupakanbeberapa kelainan sistem saraf yang bisa terjadi.

• Sistem Hematologi

Kelainan darah bisa ditemukan pada 85% penderita lupus. Bisa terbentuk bekuan darah di

dalam vena maupun arteri, yang bisa menyebabkanstroke danemboli paru. Jumlah trombosit

berkurang dan tubuh membentuk antibodi yang melawan faktor pembekuan darah, yang bisa

menyebabkan perdarahan yang berarti. Seringkali terjadi anemia akibat penyakit menahun.

• Sistem Kardiovaskuler
Peradangan berbagai bagian jantung bisa terjadi, sepertiper ikar ditis,endokar

ditismaupunmiokarditis. Nyeri dada danaritmia bisa terjadi sebagai akibat darikeadaan

tersebut.

• Sistem Respirasi

Pada lupus bisa terjadipleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi pleura(penimbunan

cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibat dari keadaantersebut sering timbul nyeri

dada dan sesak nafas.

H. Pemeriksaan Laboratorium

 Anti ds-DNA

Batas normal : 70 – 200 IU/mL

Negatif : < 70 IU/mL

Positif : > 200 IU/mL

Antibodi ini ditemukan pada 65% – 80% penderita dengan SLE aktif dan jarang pada

penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE sedangkan

kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderita dengan penyakit reumatik yang

lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat

turun dengan pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit

terutama lupus glomerulonefritis. Jumlahnya mendekati negatif pada penyakit SLE yang

tenang (dorman).

Antibodi anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi antinukleus (ANA). Ada dua

tipe dari antibodi anti-DNA yaitu yang menyerang double-stranded DNA (anti ds-DNA) dan

yang menyerang single-stranded DNA (anti ss-DNA). Anti ss-DNA kurang sensitif dan

spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit autoimun yang lain. Kompleks antibodi-
antigen pada penyakit autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja tetapi merupakan

konstributor yang besar dalam perjalanan penyakit tersebut. Kompleks tersebut akan

menginduksi sistem komplemen yang dapat menyebabkan terjadinya inflamasi baik lokal

maupun sistemik (Pagana and Pagana, 2002).

 Antinuclear antibodies (ANA)

Harga normal : nol

ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain. ANA adalah

sekelompok antibodi protein yang bereaksi menyerang inti dari suatu sel. ANA cukup sensitif

untuk mendeteksi adanya SLE, hasil yang positif terjadi pada 95% penderita SLE. Tetapi

ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan dengan penyakit reumatik

yang lain. Jumlah ANA yang tinggi berkaitan dengan kemunculan penyakit dan keaktifan

penyakit tersebut.Setelah pemberian terapi maka penyakit tidak lagi aktif sehingga jumlah

ANA diperkirakan menurun. Jika hasil tes negatif maka pasien belum tentu negatif terhadap

SLE karena harus dipertimbangkan juga data klinik dan tes laboratorium yang lain, tetapi jika

hasil tes positif maka sebaiknya dilakukan tes serologi yang lain untuk menunjang

diagnosa bahwa pasien tersebut menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-Smith (anti-Sm),

anti-RNP (anti-ribonukleoprotein), dan anti-SSA (Ro) atau anti-SSB (La) (Pagana and

Pagana, 2002).

 Tes Laboratorium lain

Tes laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta untuk

monitoring terapi pada penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P, antikardiolipin,

lupus antikoagulan,Coombs test, anti-histon, marker reaksi inflamasi (Erythrocyte

Sedimentation Rate/ESR atau C-Reactive Protein/CRP), kadar komplemen (C3 dan


C4), Complete Blood Count (CBC), urinalisis, serum kreatinin, tes fungsi hepar, kreatinin

kinase (Pagana and Pagana, 2002).

I. Tinjauan Pengobatan SLE

Tujuan dari pengobatan SLE adalah untuk mengurangi gejala penyakit, mencegah

terjadinya inflamasi dan kerusakan jaringan, memperbaiki kualitas hidup pasien,

memperpanjang ketahanan pasien, memonitor manifestasi penyakit, menghindari penyebaran

penyakit, serta memberikan edukasi kepada pasien tentang manifestasi dan efek samping dari

terapi obat yang diberikan. Karena banyaknya variasi dalam manifestasi klinik setiap individu

maka pengobatan yang dilakukan juga sangat individual tergantung dari manifestasi klinik

yang muncul. Pengobatan SLE meliputi terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi

(Herfindal et al., 2000).

 Terapi nonfarmakologi

Gejala yang sering muncul pada penderita SLE adalah lemah sehingga diperlukan

keseimbangan antara istirahat dan kerja, dan hindari kerja yang terlalu berlebihan. Penderita

SLE sebaiknya menghindari merokok karena hidrasin dalam tembakau diduga juga

merupakan faktor lingkungan yang dapat memicu terjadinya SLE. Tidak ada diet yang

spesifik untuk penderita SLE (Delafuente, 2002). Tetapi penggunaan minyak ikan pada

pasien SLE yang mengandung vitamin E 75 IU and 500 IU/kg diet dapat menurunkan

produksi sitokin proinflamasi seperti IL-4, IL-6, TNF-a, IL-10, dan menurunkan kadar

antibodi anti-DNA (Venkatraman et al., 1999). Penggunaan sunblock (SPF 15) dan

menggunakan pakaian tertutup untuk penderita SLE sangat disarankan untuk mengurangi

paparan sinar UV yang terdapat pada sinar matahari ketika akan beraktivitas di luar rumah

(Delafuente, 2002).
 Terapi farmakologi

Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan mengatasi

inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat keparahan dan lamanya pasien

menderita SLE serta manifestasi yang timbul pada setiap pasien.

 NSAID

Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan termasuk salisilat dan

NSAID yang lain (Delafuente, 2002). NSAID memiliki efek antipiretik, antiinflamasi, dan

analgesik (Neal, 2002). NSAID dapat dibedakan menjadi nonselektif COX inhibitor dan

selektif COX-2 inhibitor. Nonselektif COX inhibitor menghambat enzim COX-1 dan COX-2

serta memblok asam arakidonat. COX-2 muncul ketika terdapat rangsangan dari mediator

inflamasi termasuk interleukin, interferon, serta tumor necrosing factorsedangkan COX-1

merupakan enzim yang berperan pada fungsi homeostasis tubuh seperti produksi

prostaglandin untuk melindungi lambung serta keseimbangan hemodinamik dari ginjal.

COX-1 terdapat pada mukosa lambung, sel endotelial vaskular, platelet, dan tubulus

collecting renal (Katzung, 2002). Efek samping penggunaan NSAID adalah perdarahan

saluran cerna, ulser, nefrotoksik, kulit kemerahan, dan alergi lainnya. Celecoxib

merupakan inhibitor selektif COX-2 yang memiliki efektivitas seperti inhibitor COX non

selektif, tapi kejadian perforasi lambung dan perdarahan menurun hingga 50% (Neal, 2002).

Terapi pada SLE didasarkan pada kesesuaian obat, toleransi pasien terhadap efek

samping yang timbul, frekuensi pemberian, dan biaya. Pemberian terapi pada pasien SLE

dilakukan selama 1 sampai 2 minggu untuk mengevaluasi efikasi NSAID. Jika NSAID yang

digunakan tidak efektif dan menimbulkan efek samping maka dipilih NSAID yang lain

dengan periode 1 sampai 2 minggu. Penggunaan lebih dari satu NSAID tidak meningkatkan

efikasi tetapi malah meningkatkan efek samping toksisitasnya sehingga tidak


direkomendasikan. Apabila terapi NSAID gagal maka dapat digunakan imunosupresan

seperti kortikosteroid atau antimalaria tergantung dari manifestasi yang muncul (Herfindal et

al., 2000).

 Antimalaria

Antimalaria efektif digunakan untuk manifestasi ringan atau sedang (demam, atralgia,

lemas atau serositis) yang tidak menyebabkan kerusakan organ-organ penting. Beberapa

mekanisme aksi dari obat antimalaria adalah stabilisasi membran lisosom sehingga

menghambat pelepasan enzim lisosom, mengikat DNA, mengganggu serangan antibodi

DNA, penurunan produksi prostaglandin dan leukotrien, penurunan aktivitas sel T, serta

pelepasan IL-1 dan tumor necrosing factor α (TNF- α).

Pemberian antimalaria dilakukan pada 1 sampai 2 minggu awal terapi dan

kebanyakan pasien mengalami regresi eritema lesi kulit pada 2 minggu pertama. Jika pasien

memberikan respon yang baik maka dosis diturunkan menjadi 50% selama

beberapa bulan sampai manifestasi SLE teratasi. Sebelum pengobatan dihentikan sebaiknya

dilakukan tapering dosis dengan memberikan obat malaria dosis rendah dua atau tiga kali per

minggu. Sekitar 90% pasien kambuh setelah 3 tahun penghentian obat (Herfindal et al.,

2000).

 Kortikosteroid

Penderita dengan manifestasi klinis yang serius dan tidak memberikan respon

terhadap penggunaan obat lain seperti NSAID atau antimalaria diberikan terapi

kortikosteroid. Beberapa pasien yang mengalami lupus eritematosus pada kulit baik kronik

atau subakut lebih menguntungkan jika diberikan kortikosteroid topikal atau intralesional.

Kortikosteroid mempunyai mekanisme kerja sebagai antiinflamasi melalui hambatan enzim


fosfolipase yang mengubah fosfolipid menjadi asam arakidonat sehingga tidak terbentuk

mediator – mediator inflamasi seperti leukotrien, prostasiklin, prostaglandin, dan

tromboksan-A2 serta menghambat melekatnya sel pada endotelial terjadinya inflamasi dan

meningkatkan influks neutrofil sehingga mengurangi jumlah sel yang bermigrasi ke tempat

terjadinya inflamasi. Sedangkan efek imunomodulator dari kortikosteroid dilakukan dengan

mengganggu siklus sel pada tahap aktivasi sel limfosit, menghambat fungsi dari makrofag

jaringan dan APCs lain sehingga mengurangi kemampuan sel tersebut dalam merespon

antigen, membunuh mikroorganisme, dan memproduksi interleukin-1, TNF-α,

metaloproteinase, dan aktivator plasminogen (Katzung, 2002). Tujuan pemberian

kortikosteroid pada SLE adalah untuk antiinflamasi, imunomodulator, menghilangkan gejala,

memperbaiki parameter laboratorium yang abnormal, dan memperbaiki manifestasi klinik

yang timbul. Penderita SLE umumnya menerima kortikosteroid dosis tinggi selama 3 sampai

6 hari (pulse therapy) untuk mempercepat respon terhadap terapi dan menurunkan potensi

efek samping yang timbul pada pemakaian jangka panjang. Yang sering digunakan adalah

metil prednisolon dalam bentuk intravena (10–30 mg/kg BB lebih dari 30 menit). Terapi ini

diikuti dengan pemberian prednison secara oral selama beberapa minggu.

Penggunaan kortikosteroid secara intravena pada 75% pasien menunjukkan perbaikan

yang berarti dalam beberapa hari meskipun pada awalnya marker yang menunjukkan

penyakit ginjal (serum kreatinin, blood urea nitrogen) memburuk. Proteinuria membaik pada

4 sampai 10 minggu pemberian glukokortikoid Kadar komplemen dan antibodi DNA

dalam serum menurun dalam 1 sampai 3 minggu. Beberapa manifestasi seperti

vaskulitis, serositis, abnormalitas hematologik, abnormalitas CNS umumnya memberikan

respon dalam 5 sampai 19 hari.

Oral prednison lebih sering digunakan daripada deksametason karena waktu paronya

lebih pendek dan lebih mudah apabila akan diganti ke alternate-day therapy. Jika tujuan
terapi sudah tercapai maka untuk terapi selanjutnya didasarkan pada pengontrolan gejala

yang timbul dan penurunan toksisitas obat. Setelah penyakit terkontrol selama paling sedikit

2 minggu maka dosisnya diubah menjadi satu kali sehari. Jika penyakitnya sudah

asimtomatik pada 2 minggu berikutnya maka dilakukan tapering dosis menjadi alternate-

day dan adanya kemungkinan untuk menghentikan pemakaian. Yang perlu diperhatikan

adalah ketika akan melakukan tapering dosis prednison 20 mg per hari atau kurang dan

penggantian menjadi alternate-day sebaiknya berhati-hati karena dapat terjadi insufisiensi

kelenjar adrenal yang dapat menyebabkan supresi hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA).

Pada penyebaran penyakit tanpa kerusakan organ-organ besar (contoh demam,

atralgia, lemas atau serositis), tapering dosis dapat dilakukan dengan mudah yaitu dengan

penambahan NSAID atau hidroksiklorokuin. Sedangkan untuk kerusakan organ-organ besar

selama penyebaran (contoh nefritis) tidak selalu dipertimbangkan untuk melakukan tapering

dosis karena penggunaan dosis tinggi lebih efektif untuk mengontrol gejala (Herfindal et al.,

2000).

Penggunaan kortikosteroid dosis tinggi dapat menyebabkan diabetes melitus atau

hipertensi sehingga diperlukan monitoring terhadap tekanan darah dan kadar glukosa darah

selama penggunaan obat ini. Kortikosteroid dapat mensupresi sistem imun sehingga dapat

meningkatkan kerentanan terhadap infeksi yang merupakan salah satu penyebab kematian

pada pasien SLE. Osteoporosis juga terjadi pada pasien yang menerima kortikosteroid karena

kortikosteroid dapat menyebabkan penurunan absorpsi kalsium dan peningkatan ekskresi

kalsium dalam urin sehingga kalsium diambil dari tulang dan tulang kehilangan kalsium, oleh

karena itu pada pasien SLE terapi kortikosteroid sering dikombinasikan dengan suplemen

kalsium dan vitamin D (Rahman, 2001).

 Siklofosfamid
Digunakan untuk pengobatan penyakit yang berat dan merupakan obat sitotoksik

bahan pengalkilasi. Obat ini bekerja dengan mengganggu proliferasi sel, aktivitas mitotik,

diferensiasi dan fungsi sel. Mereka juga menghambat pembentukan DNA yang menyebabkan

kematian sel B, sel T, dan neutrofil yang berperan dalam inflamasi. Menekan sel limfosit B

dan menyebabkan penekanan secara langsung pembentukan antibodi (Ig G) sehingga

mengurangi reaksi inflamasi. Terapi dosis tinggi dapat berfungsi sebagai imunosupresan yang

meningkatkan resiko terjadinya neutropenia dan infeksi. Oleh karena itu dilakukan

monitoring secara rutin terhadap WBC, hematokrit, dan platelet count. Yang perlu

diperhatikan adalah dosis optimal, interval pemberian, rute pemberian, durasi pulse therapy,

kecepatan kambuh, dan durasi remisi penyakit.

Siklofosfamid juga menurunkan proteinuria, antibodi DNA, serum kreatinin dan

meningkatkan kadar komplemen (C3) sehingga dapat mengatasi lupus nefritis. Penggunaan

siklofosfamid yang dikombinasi dengan steroid dosis tinggi pada penderita lupus nefritis

yang refrakter menunjukkan penurunan progesivitas end-stage dari penyakit ginjal dan

mengurangi dosis steroid.

Efek samping lain pada penggunaan siklofosfamid adalah mual, muntah, diare, dan

alopesia. Pengobatan mual dan muntah dapat dilakukan dengan cara pemberian obat

antiemetik. Pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan kegagalan ovarian pada wanita

yang produktif dan penurunan produksi sperma (Herfindal et al., 2000).

 Terapi hormon

Dehidroepiandrosteron(DHEA) merupakan hormon pada pria yang diproduksi pada

saat masih fetus dan berhenti setelah dilahirkan. Hormon ini kembali aktif diproduksi pada

usia 7 tahun, mencapai puncak pada usia 30 tahun, dan menurun seiring bertambahnya usia.

Pasien SLE mempunyai kadar DHEA yang rendah. Pemberian hormon ini memberikan
respon pada penyakit yang ringan saja dan mempunyai efek samping jerawat dan

pertumbuhan rambut (Isenberg and Horsfall, 1998). Secara in vitro, DHEA mempunyai

mekanisme menekan pelepasan IL-1, IL-6, dan TNF-α serta meningkatkan sekresi IL-2 yang

dapat digunakan untuk mengaktivasi sel T pada murine. Meskipun demikian mekanisme

secara in vivo belum diketahui (FDA Arthritis Advisory Comittee, 2001).

 Antiinfeksi/Antijamur/Antivirus

Pemberian imunosupresan dapat menurunkan sistem imun sehingga dapat

menyebabkan tubuh mudah terserang infeksi. Infeksi yang umum menyerang adalah

virus herpes zoster, Salmonella, danCandida (Isenberg and Horsfall, 1998). Untuk herpes

zoster dapat diatasi dengan pemberian antivirus asiklovir atau vidarabin secara oral 800 mg

lima kali sehari selama 5–7 hari. Salmonella dapat diterapi dengan antibiotik golongan

kuinolon, ampisilin, kotrimoksazol, dan kloramfenikol (Katzung, 2002). Sedangkan golongan

penisilin dan sefalosporin tidak digunakan karena menyebabkan rash yang sensitif

sehingga dapat memperparahrash SLE (Isenberg and Horsfall, 1998). Adanya infeksi

dariCandida dapat diatasi dengan pemberian amfoterisin B, flukonazol, dan itrakonazol

(Katzung, 2002).

J. Asuhan Keperawatan

 Pengkajian

1. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada gejala sekarang

dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku,

demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.

2. Kulit

Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
3. Kardiovaskuler

Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.

Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan

vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah

atau sisi lateral tanga.

4. Sistem Muskuloskeletal

Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.

5. Sistem integumen

Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal

hidung serta pipi.

Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.

6. Sistem pernafasan

Pleuritis atau efusi pleura.

7. Sistem vaskuler

Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura

di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral

tangan dan berlanjut nekrosis.

8. Sistem Renal

Edema dan hematuria.

9. Sistem saraf

Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun manifestasi

SSP lainnya.
Masalah Keperawatan

1. Nyeri

2. Keletihan

3. Gangguan integritas kulit

4. Kerusakan mobilitas fisik

5. Gangguan citra tubuh

 Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul

1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.

2. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri,

depresi.

3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang gerak,

kelemahan otot, rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik.

4. Gangguan citra tubuh berhubungqan dengan perubahan dan ketergantungan

fisaik serta psikologis yang diakibatkan penyakit kronik.

5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit,

penumpukan kompleks imun.

 Intervensi

1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.

Tujuan : perbaikan dalam tingkat kennyamanan

Intervensi :
a. Laksanakan sejumlah tindakan yang memberikan kenyamanan (kompres panas /dingin;

masase, perubahan posisi, istirahat; kasur busa, bantal penyangga, bidai; teknik relaksasi,

aktivitas yang mengalihkan perhatian)

b. Berikan preparat antiinflamasi, analgesik seperti yang dianjurkan.

c. Sesuaikan jadwal pengobatan untuk memenuhi kebutuhan pasien terhadap penatalaksanaan

nyeri.

d. Dorong pasien untuk mengutarakan perasaannya tentang rasa nyeri serta sifat kronik

penyakitnya.

e. Jelaskan patofisiologik nyeri dan membantu pasien untuk menyadari bahwa rasa nyeri sering

membawanya kepada metode terapi yang belum terbukti manfaatnya.

f. Bantu dalam mengenali nyeri kehidupan seseorang yang membawa pasien untuk memakai

metode terapi yang belum terbukti manfaatnya.

g. Lakukan penilaian terhadap perubahan subjektif pada rasa nyeri.

2. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri, depresi.

Tujuan : mengikutsertakan tindakan sebagai bagian dari aktivitas hidup sehari-hari yang diperlukan

untuk mengubah.

Intervensi :

1. Beri penjelasan tentang keletihan : hubungan antara aktivitas penyakit

dan keletihan

 menjelaskan tindakan untuk memberikan kenyamanan sementara melaksanakannya

 mengembangkan dan mempertahankan tindakan rutin unutk tidur (mandi air hangat

dan teknik relaksasi yang memudahkan tidur)

 menjelaskan pentingnya istirahat untuk mengurangi stres sistemik, artikuler dan

emosional
 menjelaskan cara mengggunakan teknik-teknik untuk menghemat tenaga

 kenali faktor-faktor fisik dan emosional yang menyebabkan kelelahan.

b. Fasilitasi pengembangan jadwal aktivitas/istirahat yang tepat.

c. Dorong kepatuhan pasien terhadap program terapinya.

d. Rujuk dan dorong program kondisioning.

e. Dorong nutrisi adekuat termasuk sumber zat besi dari makanan dan suplemen.

3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang gerak, kelemahan

otot, rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik.

Tujuan : mendapatkan dan mempertahankan mobilitas fungsional yang optimal.

Intervensi :

a. Dorong verbalisasi yang berkenaan dengan keterbatasan dalam mobilitas.

b. Kaji kebutuhan akan konsultasi terapi okupasi/fisioterapi :

 Menekankan kisaran gherak pada sendi yang sakit

 Meningkatkan pemakaian alat bantu

 Menjelaskan pemakaian alas kaki yang aman.

 Menggunakan postur/pengaturan posisi tubuh yang tepat.

c. Bantu pasien mengenali rintangan dalam lingkungannya.

d. Dorong kemandirian dalam mobilitas dan membantu jika diperlukan.

 Memberikan waktu yang cukup untuk melakukan aktivitas

 Memberikan kesempatan istirahat sesudah melakukan aktivitas.

 Menguatkan kembali prinsip perlindungan sendi


4. Gangguan citra tubuh berhubungqan dengan perubahan dan ketergantungan fisaik serta

psikologis yang diakibatkan penyakit kronik.

Tujuan : mencapai rekonsiliasi antara konsep diri dan erubahan fisik serta psikologik yang

ditimbulkan enyakit.

Intervensi :

a. Bantu pasien untuk mengenali unsur-unsur pengendalian gejala penyakit dan penanganannya.

b. Dorong verbalisasi perasaan, persepsi dan rasa takut

 Membantu menilai situasi sekarang dan menganli masahnya.

 Membantu menganli mekanisme koping pada masa lalu.

 Membantu mengenali mekanisme koping yang efektif.

5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit,

penumpukan kompleks imun.

Tujuan : pemeliharaan integritas kulit.

Intervensi :

a. Lindungi kulit yang sehat terhadap kemungkinan maserasi

b. Hilangkan kelembaban dari kulit

c. Jaga dengan cermat terhadap resiko terjadinya sedera termal akibat penggunaan kompres

hangat yang terlalu panas.

d. Nasehati pasien untuk menggunakan kosmetik dan preparat tabir surya.

e. Kolaborasi pemberian NSAID dan kortikosteroid.


BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

Dari penjelasan dalam makalah tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa SLE

(Sistemik Lupus Eritematosus) merupakan penyakit multifaktorial yang melibatkan interaksi


kompleks antar faktor genetik, hormonal dan faktor lingkungan, yang semuanya dianggap

ikut memainkan peran untuk menimbulkan aktivitasi hebat sel B, sehingga menghasilkan

pembuatan berbagai autoantibody polispesifik.

Selain itu, pada banyak penderita SLE gambaran klinisnya membingungkan.

Tampaknya semacam penyakit dengan demam yang tidak jelas asalnya, temuan urine yang

abnormal atau penyakit sendi yang menyamar sebagai arthritis rematoid atau demam

rheumatic.

3.2 Saran

Sebaiknya apabila ada salah satu anggota keluarga atau saudara kita terkena penyakit

SLE dan sedang menjalani pengobatan, lebih baik jangan dihentikan. Karena, apabila

dihentikan maka penyakit akan muncul kembali dan kumatlagi. Prognosisnya bertambah baik

akhir-akhir ini, kira-kira 70% penderita akan hidup 10 tahun setelah timbulnya penyakit ini.

Apabila didiagnosis lebih awal dan pengenalan terhadap bentuk penyakit ini ketika masih

ringan.
DAFTAR PUSTAKA

Corwin Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. buku Kedokteran.

Gibson J.M, MD.1996. Mikrologi dan patologi Modern untuk perawat. Buku Kedoktreran.

Golmeri S.K, levena G.M. 1993 . Tes diagnosa bergambar. Buku Kedokteran.

Robins dan kumar. 1995. Buku ajar patologi(eds.4). buku Kedokteran

Robins, DKK. 1996). Buku saku Robins Dasar Patologi Penyakit (eds.5). buku Kedokteran.

Underwodd J.C.E. 1999. Patologi Umum dan Sistematik (eds2). Buku Kedokteran.
DAFTAR PUSTAKA INTERNET

(http://www.nusaindah.tripod.2004.com )

http://www.scribd.com/doc/20459556/SLE

Anda mungkin juga menyukai