Anda di halaman 1dari 3

Identitas

“Mari jamaah sholat Isya setelah sholat sunnah rawatib ikut ta’lim bersama-sama untuk hidupkan
sunnah Nabi”, kata seorang pria berjenggot dan menggunakan jubah panjang berwarna biru.

Setelah selesai sholat sunnah. Orang-orang berjubah ini berkumpul di depan, sambil duduk
berdekat-dekatan.
“Mari duduk rapat-rapat”
“Hidupkan sunnah, hidupkan sunnah, duduk rapat-rapat”
Salah seorang dari mereka maju di depan, memberi ta’lim.
“Tuan-tuan sesungguhnya dunia ini fana. Kita sedang berada di masjid tuan-tuan ini, untuk sedang
keluar 3 hari. Tuan-tuan sekalian, sesungguhnya Allah kuasa, makhluk tidak kuasa. Tidak sembah
kepada makhluk, hanya kepada Allah. Tuan-tuan sekalian hidup ini hanya sementara. Maka kita
patut bertanya apa bekal kita”, salah seorang berjubah ini, berjubah warna coklat, bercakap-cakap
di depan.
“Pertama, keimanan kita, hanya kepada Allah kita menyembah, hanya kepada Allah kita
mengharapkan ridho, hanya kepada Allah pula kita mengharap segalanya bukan kepada makhluk”

Teman-teman berjubah lain, duduk sambil rapat-rapat, ada yang saling memijat belakang
temannya lain.
“Tuan-tuan, kedua adalah ibadah kita, sudah seharusnya kita menjaga sholat lima waktu kita, sholat
tepat waktu. Kita saling mengingatkan dalam menjaga sholat. Meningkat sholat sunnah yang lain,
sholat malam. Sholat adalah amalan kita yang nanti tanya oleh Rabb-kita saat kita berhadapannya
kelak nanti. Seperti kata Ulama mencontohkan, burung, ayam, dan hewan lain itu hidup asal hidup,
kalau mereka yang asal hidup seperti kadang butuh bekal. Mengapa kita manusia yang bukan
sekedar hidup asal hidup tidak membutuhkan bekal di akhirat nanti?”

“Benar ya Allah, benar ya Allah, benar ya Allah”, yang berjubah yang lain menyahut demikian.

Yang berjubah di depan ini melanjutkan, “Yang kita sibukkan hanya bagaimana rumah kita,
bagaimana kenderaan kita, bagaimana harta kita. Hidup hanya untuk itu. Astagfirullah”

“Benar ya Allah, benar ya Allah, benar ya Allah”, yang berjubah yang lain ikut kembali menyahut.

“Ketiga, tuan-tuan, adalah muamalah. Kita seharusnya masuk kantor, bila kerja kantor, masuk jam
08.00 pagi sesuai waktu masuk dan pulang sesuai jam pulang, 16.00. Kita harus bekerja sesuai
dengan kaidah-kaidah dan aturan-aturan yang ada”

“Keempat, tuan-tuan, ini yang penting. Usaha. Usaha dakwah yang dilakukan Nabi dan para
sahabat. Tuan-tuan bagaimana para sahabat dulu berjuang dalam dakwah. Maka para ulama kini
melihat yang tepat untuk menghidupkan masyarakat kembali bukan politik, bukan ekonomi, tapi
dakwah tuan-tuan. Para ulama menginfakkan waktunya 3 hari dalam sebulan, 40 hari dalam satu
tahun, dan 4 bulan seumur hidup. Untuk dakwah tuan-tuan. Mengajak orang sholat. Khuruj fhi
shabilillah. Ini dakwah para Nabi lakukan tuan-tuan. Bahkan mereka lebih banyak meluangkan
waktu tuan-tuan. Mari kita sama-sama keluar di jalan dakwah. Kami disini sedang keluar 3 hari.
Mengajak-mengajak saudara-saudara Muslim kita yang lain untuk sama-sama menguatkan
ibadahnya. Dibalik sunnah ada kejayaan. Mari tuan-tuan kesankan dalam hati, niat amalkan dan
sampaikan”. Orang berjubah ini mengakhiri, kemudian diantara mereka saling bersalaman.
Melanjutkan program kata orang-orang berjubah ini lagi.
Yusuf ada diantara mereka. Ia sholat di masjid yang kebetulan mereka sedang khuruj. Ia kemudian
berpikir, “Kita berjamaah walau tak serumah”. Me’liberal’kan pemikiran Islamnya, membebaskan
tanpa fanatik dalam rumahnya, atau kelompoknya. Hanya dalam harakah, berbagai harakah Islam.
Berbagai gerakan dakwah. Liberal berarti menerima semua pikiran tanpa harus membenarkan
pikiran-pikirannya sendiri, menghargai berbagai gerakan Islam, menerima pandangannya. Dengan
begitu bentuk penerapan liberasi, karena Allah-lah adalah tuhan kita, dan kelompok hanyalah
sarana.

#
“Umat manusia secara umum sudah jauh dari pemahaman dan pengertian tentang esensi
dari nilai-nilai Islam itu sendiri, tidak lagi sekedar jauh dari etika Islam, aturan Islam dan syariat
Islam”
“Oleh sebab itu, pergerakan Islam harus berangkat dari pengertian sebagai gerakan untuk
menghunjamkan kembali akidah Islam ke dalam hati dan pikiran setiap individu Muslim”, jelas Said.
Di waktu itu Said sedang memberikan materi dalam diskusi tentang “Islam dan Gerakan”.
“Gerakan berikut, gerakan Islam akan melakukan pembinaan kepada siapupun yang mau
menerima dakwah dan pemahaman yang benar, dengan pola-pola pendidikan Islam yang baik”,
lanjut Said.
“Akan tetapi pergerakan ini harus berangkat dengan misi menyelamatkan masyarakat,
rakyat, dan pemimpinnya secara bersama-sama”, Said menjelaskan kurang lebih mirip dengan
konsepsi pergerakan berdasarkan pemikiran Sayyid Qutbh. Sayyid Qutbh adalah seorang ideolog
Ikhwanul Muslimin. Sebuah organisasi yang lahir di Timur Tengah.
Yusuf dan Said adalah dua kader yang tergabung dalam organisasi Kepemudaan Islam
Indonesia. Yusuf bertipikal lebih terbuka menerima segala pemikiran Islam. Sedangkan Said lebih
terlihat terfokus pada pemikiran-pemikiran Islam dengan ideologi Ikhwanul Muslimin.
Setelah menyelesaikan penyampain materi diskusi itu di teman-teman Pengurus Komisariat,
Said balik ke sekretariat. Said dan Yusuf adalah Pengurus Daerahnya. Di sekretariat Ridwan
bertemu dengan Dawam. Dawan tentu bertipikal berbeda, jauh lebih terbuka dari Yusuf, bukan
hanya dalam pemikiran Islam tapi juga dalam gerakan pemikiran lain.
Saat di sekretariat, Dawam sedang membaca Bumi Manusia karya Pramoedya.
“Akh, tidakkah antum memilih membaca buku ikhwan atau Islam yang lain?”, Said dengan muka
agak heran pada Wahib.
“Bukankah itu buku komunis? Bukankah itu buku Pramoedya?”
“Afwan akh, ana bukan suka dengan Komunis. Dan tidak tertarik pada komunis. Ana hanya
penikmat sastra”, Dawan sambil tersenyum kepada Yusuf.
Dawan bukan menyukai Komunis. Atau pemikiran Sosialis. Dawam hanya senang membaca
karya sastra. Hampir semua karya sastra berbentuk novel dilahap oleh Dawam. Dari novel Islami,
konspirasi, hingga sastra realisme-sosialis pun ia tertarik. “Seseorang yang tanpa mencintai sastra
walau ia mencapai gelar kesarjanaan apa saja, ia hanya sekedar seongkok daging yang pandai.
Sastra adalah lukisan dalam bahasa. Selalu menyentuh bila terjerembab dalam sastra, apapun
ideologi sastranya”. Ini alasan normatif yang membuat Dawan juga tertarik dengan Pramoedya
Ananta Toer.
Terkadang identitas menjadi kata bisu bagi mereka. Bahkan bagi setiap kader yang terlibat
dalam organisasi Kepemudaan Islam ini. Ya, bagi Yusuf segala harus berbentuk kepada Sifat bukan
identitas. Bila kita memiliki Identitas tapi tidak memiliki Sifat maka sama saja. Tapi apakah kita
hanya dapat mendefinisikan Identitas dalam tahapan organisasi saja dengan segala bentuk
pergerakannya. Sedangkan Sifat sebagai bentuk moralitas yang berbasis kepada akidah. Sebuah
bentuk pendalaman ideologi. Tentu sifat jauh lebih penting dari identitas. Baiknya memiliki
identitas dan memiliki sifat tentunya.
Inilah cobaan dalam gerakan Kepemudaan Islam. Terlebih ketika bergabung dengan
berbagai organisasi lain di luar ideologi. Bagi Dawam, “Proses interaksi antara nilai-nilai yang
diyakini atau agama dengan manusia yang menjadi pelaku ruang dan waktu tertentu. Proses
manusia menerapkan nilai-nilai agama di dalam ruang dan waktunya bukan proses sekali jadi,
melainkan membutuhkan waktu yang panjang”.
“Membaca buku-buku dari segala macam ilmu dan paham dan mendengarkan pendapat-
pendapat dari segala macam ahli akan memperkaya kita”, begitu pikir Dawam.
“Dalam masyarakat sekuler, dan adanya proses sekurelisasi kekinian. Baik hendaknya
organisasi Islam menjadi organisasi pendidikan, bukan organisasi perjuangan langsung, bila masih
tetap memakai atribut Islamnya. Sebagai organisasi pengkaderan, hanya akan terus melakukan
kegiatan-kegiatan pengkaderan. Jadi kader bukan dalam arti sebagi orang-orang yang masuk guna
menegakkan suatu cita kemasyarakatan, tetapi kader dengan maksud masuk untuk membina diri”,
pikir Yusuf. Dengan pandangan yang terbuka untuk semua pemikiran Islam.
“Tarbiyah adalah seni untuk menciptakan ulang manusia. Manusia yang terdiri dari semua
bentuk anasir, unsur ruh, akal, dan jasad. Tarbiyah Islamiyah adalah seni menciptakan manusia
dengan cara-cara Islami”, pandangan Said. Said terkesan ikhwan-centris.
Walaupun mereka bertiga, Yusuf, Said, dan Dawam memang tertarik dengan berbagai
pemikiran tokoh Ikhwan. Sebuah organisasi Islam yan terlahir di Mesir. Dan berkembang hingga ke
Indonesia, hingga ke kota kecil seperti Ternate.
Mereka berbincang tentang bentuk sifat sebagai ideologi jauh lebih penting daripada
identitas yang hanya terpatri secara struktural organisasi. Menyepakati bahwa tarbiyah membentuk
manusia-manusia shalih yang cerdas untuk tempat dan zamannya. Bukan sekedar berubah menjadi
manusia suci yang bagai turun dari langit. Bukan pula manusia malaikat. Karena itu bagi mereka
adalah yang diberi nama proses tarbiyah dan proses pembinaan. Karena pelaku tarbiyah adalah
manusia, objek yang membina pula adalah manusia. Maka bentuknya menjadi berbeda-beda. Tapi
selalu ada amaliyah tarbawiyah.
Tapi sebagaimanapun berjamaah, terlibat dalam organisasi, jauh lebih baik. Mau sebatas
identitas atau mempadukannya dengan sifat. Seperti ungkapan Ali bin Abu Thalib, “Bagaimanapun
kekeruhan jamaah jauh lebih baik daripada kejernihan individu”. Individu-individu yang hatinya
telah steril dari penghambaan selain Allah, hendaknya bersatu dalam sebuah komunitas Islam.
Komunitas dimana hati para anggotanya telah steril dari penghambaan kepada selain Allah secara
keyakinan, peribadatan, dan peraturannya, inilah yang akan mendirikan masyarakat Muslim.
“dan Allah yang mempersatukan hati mereka (orang yang beriman). Walaupun kamu
infakkan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati
mereka. Tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka...” (Q.S Al-Anfaal : 8 : 63)

Anda mungkin juga menyukai