Anda di halaman 1dari 10

BIOFARMASETIKA

Bio berarti hidup. Farmasetik secara umum diartikan merupakan ilmu mengenai formulasi,
manufaktur, stabilitas dan keefektivitasan bentuk sediaan obat. Biofarmasetika mempelajari
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi Bioavibilitas atau BA obat pada manusia dan hewan,
dan menggunakan informasi ini untuk mengoptimalkan efek farmakologi dan aktivitas terapetik
obat untuk aplikasi klinis. Ilmu yang mempelajari pengaruh formulasi terhadap aktivitas
terapetik produk obat. Ilmu yang mencakup keterkaitan antara ilmu fisika, kimia dan biologi,
serta aplikasinya pada obat, bentuk sediaan dan aksi obat.

Faktor Farmasetik Bioavalabilitas Obat

Faktor farmasetik yang mempengaruhi biovailabilitas obat aktif yaitu:

1. Disentegrasi. Sebelum absorpsi terjadi, obat padat harus mengalami disentegrasi kedalam
partikel kecil dan melepaskan obat. Disentegrasi yang sempurna menurut USP XX yaitu
keadaan dimana berbagai residu tablet, kecuali fragmen penyalut yang tidak larut, tinggal
dalam saringan alat uji sebagai massa yang lunak dan jelas tidak mempunyai inti teraba.
2. Pelarutan obat, merupakan proses dimana suatu bahan kimia atau obat menjadi terlarut
dalam suatu pelarut. Obat yang terlarut dalam larutan jenuh (stagnant layer), berdifusi ke
pelarut dari daerah konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah. Laju pelarutan merupakan
jumlah obat terlarut per satuan luas per waktu. Suhu media dan kecepatan pengadukan
juga mempengaruhi laju pelarutan. Kenaikan suhu meningkatkan energi kinetik molekul
dan tetapan difusi, sebaliknya kenaikan pengadukan dari media pelarut akan menurunkan
tebal “stagnant layer” dan h sehingga pelarutan obat lebih cepat.
Sifat fisikokimia obat. Sifat fisika dan kimia partikel obat berpengaruh pada kinetika
pelarutan. Sifat tersebut terdiri dari, luas permukaan, bentuk geometrik partikel, derajat
kelarutan obat dalam air, dan bentuk obat polimorf.
Faktor formulasi yang mempengaruhi pelarutan obat, dimana adanya bahan tambahan
(bahan penyuspensi, surfaktan, pelincir tablet) yang digunakan pada formulasi obat dapat
berinteraksi secara langsung dengan obat membentuk kompleks yang larut/tidak larut air.
Pertimbangan dalam rancangan bentuk sediaan

Tujuan Pembelajaran Biofarmaseika

Biofarmasetika bertujuan untuk mengatur pelepasan obat sedemikian rupa ke sirkulasi sistemik
agar diperoleh pengobatan yang optimal pada kondisi klinik tertentu.
Absorpsi sistemik suatu obat dari tempat ekstravaskular dipengaruhi oleh sifat-sifat anatomik
dan fisiologik tempat absorpsi serta sifat-sifat fisikokimia produk obat. Biofarmasetika berusaha
mengendalikan variabel-variabel tersebut melalui rancangan suatu produk obat dengan tujuan
terapetik tertentu. Dengan memilih secara teliti rute pemberian obat dan rancangan secara tepat
produk obat, maka bioavailabilitas obat aktif dapat diubah dari absorpsi yang sangat cepat dan
lengkap menjadi lambat, kecepatan absorpsi yang diperlambat atau bahkan sampai tidak terjadi
absorpsi sama sekali.
Pada umumnya produk obat mengalami absorpsi sistemik melalui suatu rangkaian proses. Proses
tersebut meliputi
1. disintegrasi produk obat yang diikuti pelepasan obat;
2. pelarutan obat;
3. absorpsi melewati membran sel menuju sirkulasi sistemik.

Di dalam proses disintegrasi obat, pelarutan dan absorpsi, kecepatan obat mencapai sistem
sirkulasi ditentukan oleh tahapan yang paling lambat dalam rangkaian tersebut.

Fase-Fase Biofarmasetik

Fase biofarmasetik melibatkan seluruh unsur-unsur yang terkait mulai saat pemberian obat
hingga terjadinya penyerapan zat aktif. Kerumitan peristiwa tersebut tergantung pada cara
pemberian dan bentuk sediaan, yang secara keseluruhan berperan pada proses predisposisi zat
aktif dalam tubuh. Seperti diketahui fase farmakodinamik dan farmakokinetik mempunyai sifat
individual spesifik dalam interaksi tubuh dan zat aktif. Hal tersebut selanjutnya mempengaruhi
intensitas farmakologik dan kinetik zat aktif suatu obat di dalam tubuh. Dengan demikian fase
biofarmasetik merupakan salah satu kunci penting untuk memperbaiki aktivitas terapetik.
Fase bioarmasetik dapat diuraikan dalam tiga tahap utama, yaitu L.D.A yang berarti Liberasi
(pelepasan), Disolusi (Pelarutan), dan Absorpsi (penyerapan)

Disintegrasi

Sebelum absorpsi terjadi, suatu produk obat padat harus mengalami disintegrasi ke dalam
partikel-partikel kecil dan melepaskan obat.

Liberasi (pelepasan)

Suatu obat mulanya merupakan zat aktif yang jika mencapai tempat penyerapannya akan segera
diserap. Proses pelepasan zat aktif dari sediaannya cukup rumit dan tergantung pada jalur
pemberian dan bentuk sediaan, serta dapat terjadi secara cepat dan lengkap. Pelepasan zat aktif di
pengaruhi oleh keadaan lingkungan biologis mekanis pada tempat pemasukan obat, misalnya
gerakan peristaltic usus, hal ini penting untuk bentuk sediaan yang keras atau yang kenyal.

Disolusi

Setelah terjadi pelepasan yang bersifat setempat, maka tahap kedua adalah pelarutan zat aktif
yang terjadi secara progresif, yaitu pembentukan dispersi molekuler dalam air. Tahap ketiga ini
merupakan keharusan agar selanjutnya terjadi penyerapan. Tahap ini juga ditetapkan pada obat-
obatan yang dibuat dalam bentuk larutan zat aktif dalam minyak tetapi yang terjadi disini adalah
proses ekstraksi (penyarian). Dengan demikian pemberian sediaan larutan tidak selalu dapat
mengakibatkan penyerapan segera. Laju pelarutan adalah jumlah obat yang terlarut per satuan
luas per waktu (misal g/cm2.menit). Laju pelarutan juga dipengaruhi pula oleh sifat fisikokimia
obat, formulasi, pelarut, suhu media dan kecepatan pengadukan.

Absorpsi
Tahap ini merupakan tahap dari biofarmasetik dan awakl farmakokinetik jadi fase ini merupakan
masuknya zat aktif dalam tubuh yang yang aturannya di tenggarai oleh pemahaman
ketersediyaan hayati (bioavailibilitas). Penyerapan zat aktif tergantung pada berbagai parameter
terutama sifat fisiko-kimia molekul obat. Dengan demikian proses penyerapan zat aktif terjadi
apabila sebelumnya sudah dibebaskan dari sediaan dan sudah melarut dalam cairan biologi
setempat. Tahap pelepasanm dan pelarutan zat aktif merupakan tahap penentu pada proses
penyerapan zat aktif baik dalam hal jumlah yang diserap maupun jumlah penyerapannya..

FARMAKOKINETIKA

1. Farmakokinetik
Farmakokinetik atau kinetika obat adalah nasib obat dalam tubuh atau efek tubuh
terhadap obat. Farmakokinetik mencakup 4 proses, yaitu proses absorpsi (A), distribusi (D),
metabolisme (M), dan ekskresi (E). Metabolisme atau biotransformasi dan ekskresi bentuk utuh
atau bentuk aktif merupakan proses eliminasi obat (Gunawan, 2009).

1.1 Absorpsi
Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam darah.
Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran cerna (mulut sampai
rektum), kulit, paru, otot, dan lain-lain. Yang terpenting adalah cara pemberian obat per oral,
dengan cara ini tempat absorpsi utama adalah usus halus karena memiliki permukaan absorpsi
yang sangat luas, yakni 200 meter persegi (panjang 280 cm, diameter 4 cm, disertai dengan vili
dan mikrovili ) (Gunawan, 2009).
Absorpsi obat meliputi proses obat dari saat dimasukkan ke dalam tubuh, melalui
jalurnya hingga masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Pada level seluler, obat diabsorpsi melalui
beberapa metode, terutama transport aktif dan transport pasif.
Gambar 1. 1 Proses Absorbsi Obat
a. Metode absorpsi
- Transport pasif
Transport pasif tidak memerlukan energi, sebab hanya dengan proses difusi obat dapat berpindah
dari daerah dengan kadar konsentrasi tinggi ke daerah dengan konsentrasi rendah. Transport aktif
terjadi selama molekul-molekul kecil dapat berdifusi sepanjang membrane dan berhenti bila
konsentrasi pada kedua sisi membrane seimbang.
- Transport Aktif
Transport aktif membutuhkan energy untuk menggerakkan obat dari daerah dengan konsentrasi
obat rendah ke daerah dengan konsentrasi obat tinggi
b. Kecepatan Absorpsi
Apabila pembatas antara obat aktif dan sirkulasi sitemik hanya sedikit sel. Absorpsi terjadi cepat
dan obat segera mencapai level pengobatan dalam tubuh.
- Detik s/d menit: SL, IV, inhalasi
- Lebih lambat: oral, IM, topical kulit, lapisan intestinal, otot
- Lambat sekali, berjam-jam / berhari-hari: per rektal/ sustained frelease.
c. Faktor yang mempengaruhi penyerapan
1. Aliran darah ke tempat absorpsi
2. Total luas permukaan yang tersedia sebagai tempat absorpsi
3. Waktu kontak permukaan absorpsi
d. Kecepatan Absorpsi
1. Diperlambat oleh nyeri dan stress
Nyeri dan stress mengurangi aliran darah, mengurangi pergerakan saluran cerna, retensi gaster
2. Makanan tinggi lemak
Makanan tinggi lemak dan padat akan menghambat pengosongan lambung dan memperlambat
waktu absorpsi obat
3. Faktor bentuk obat
Absorpsi dipengaruhi formulasi obat: tablet, kapsul, cairan, sustained release, dll)
4. Kombinasi dengan obat lain
Interaksi satu obat dengan obat lain dapat meningkatkan atau memperlambat tergantung jenis
obat

Obat yang diserap oleh usus halus ditransport ke hepar sebelum beredar ke seluruh tubuh.
Hepar memetabolisme banyak obat sebelum masuk ke sirkulasi. Hal ini yang disebut dengan
efek first-pass. Metabolisme hepar dapat menyebabkan obat menjadi inaktif sehingga
menurunkan jumlah obat yang sampai ke sirkulasi sistemik, jadi dosis obat yang diberikan harus
banyak.

1.2 Distribusi
Distribusi obat adalah proses obat dihantarkan dari sirkulasi sistemik ke jaringan dan
cairan tubuh.
Distribusi obat yang telah diabsorpsi tergantung beberapa faktor:
a. Aliran darah
Setelah obat sampai ke aliran darah, segera terdistribusi ke organ berdasarkan jumlah aliran
darahnya. Organ dengan aliran darah terbesar adalah Jantung, Hepar, Ginjal. Sedangkan
distribusi ke organ lain seperti kulit, lemak dan otot lebih lambat
b. Permeabilitas kapiler

Tergantung pada struktur kapiler dan struktur obat

c. Ikatan protein
Obat yang beredar di seluruh tubuh dan berkontak dengan protein dapat terikat atau bebas. Obat
yang terikat protein tidak aktif dan tidak dapat bekerja. Hanya obat bebas yang dapat
memberikan efek. Obat dikatakan berikatan protein tinggi bila >80% obat terikat protein

1.3 Metabolisme
Metabolisme/biotransformasi obat adalah proses tubuh merubah komposisi obat sehingga
menjadi lebih larut air untuk dapat dibuang keluar tubuh.
Obat dapat dimetabolisme melalui beberapa cara:
a. Menjadi metabolit inaktif kemudian diekskresikan;
b. Menjadi metabolit aktif, memiliki kerja farmakologi tersendiri dfan bisa dimetabolisme lanjutan.
Beberapa obat diberikan dalam bentuk tidak aktif kemudian setelah dimetabolisme baru
menjadi aktif (prodrugs).
Metabolisme obat terutama terjadi di hati, yakni di membran endoplasmic reticulum
(mikrosom) dan di cytosol. Tempat metabolisme yang lain (ekstrahepatik) adalah : dinding usus,
ginjal, paru, darah, otak, dan kulit, juga di lumen kolon (oleh flora usus).
Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang nonpolar (larut lemak) menjadi
polar (larut air) agar dapat diekskresi melalui ginjal atau empedu. Dengan perubahan ini obat
aktif umunya diubah menjadi inaktif, tapi sebagian berubah menjadi lebih aktif, kurang aktif,
atau menjadi toksik.
Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme:
1. Kondisi Khusus
Beberapa penyakit tertentu dapat mengurangi metabolisme, al. penyakit hepar seperti sirosis.
2. Pengaruh Gen
Perbedaan gen individual menyebabkan beberapa orang dapat memetabolisme obat dengan
cepat, sementara yang lain lambat.
3. Pengaruh Lingkungan
Lingkungan juga dapat mempengaruhi metabolisme, contohnya: Rokok, Keadaan stress,
Penyakit lama, Operasi, Cedera
4. Usia
Perubahan umur dapat mempengaruhi metabolisme, bayi vs dewasa vs orang tua.
1.4 Ekskresi
Ekskresi obat artinya eliminasi/pembuangan obat dari tubuh. Sebagian besar obat
dibuang dari tubuh oleh ginjal dan melalui urin. Obat jugadapat dibuang melalui paru-paru,
eksokrin (keringat, ludah, payudara), kulit dan taraktusintestinal.
Organ terpenting untuk ekskresi obat adalah ginjal. Obat diekskresi melalui ginjal dalam
bentuk utuh maupun bentuk metabolitnya. Ekskresi dalam bentuk utuh atau bentuk aktif
merupakan cara eliminasi obat melui ginjal. Ekskresi melalui ginjal melibatkan 3 proses, yakni
filtrasi glomerulus, sekresi aktif di tubulus. Fungsi ginjal mengalami kematangan pada usia 6-12
bulan, dan setelah dewasa menurun 1% per tahun. Ekskresi obat yang kedua penting adalah
melalui empedu ke dalam usus dan keluar bersama feses. Ekskresi melalui paru terutama untuk
eliminasi gas anastetik umum (Gunawan, 2009).
Hal-hal lain terkait Farmakokinetik:
a. Waktu Paruh
Waktu paruh adalah waktu yang dibutuhkan sehingga setengah dari obat dibuang dari tubuh.
Faktor yang mempengaruhi waktu paruh adalah absorpsi, metabolism dan ekskresi.
Waktu paruh penting diketahui untuk menetapkan berapa sering obat harus diberikan.
b. Onset, puncak, and durasi
Onset adalah Waktu dari saat obat diberikan hingga obat terasa kerjanya. Sangat tergantung rute
pemberian dan farmakokinetik obat
Puncak, Setelah tubuh menyerap semakin banyak obat maka konsentrasinya di dalam tubuh
semakin meningkat, Namun konsentrasi puncak~ puncak respon
Durasi, Durasi kerjaadalah lama obat menghasilkan suatu efek terapi

2. Farmakodinamik
Farmakodinamik adalah subdisiplin farmakologi yang mempelajari efek biokimiawi dan
fisiologi obat, serta mekanisme kerjanya. Tujuan mempelajari farmakodinamik adalah untuk
meneliti efek utama obat, mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetahui urutan peristiwa
serta spektrum efek dan respons yang terjadi (Gunawan, 2009).

2.2 Mekanisme Kerja Obat


kebanyakan obat menimbulkan efek melalui interaksi dengan reseptornya pada sel organism.
Interaksi obat dengan reseptornya dapat menimbulkan perubahan dan biokimiawi yang
merupakan respon khas dari obat tersebut. Obat yang efeknya menyerupai senyawa endogen di
sebut agonis, obat yang tidak mempunyai aktifitas intrinsic sehingga menimbulkan efek dengan
menghambat kerja suatu agonis disebut antagonis.

2.3 Reseptor Obat


protein merupakan reseptor obat yang paling penting. Asam nukleat juga dapat merupakan
reseptor obat yang penting, misalnya untuk sitotastik. Ikatan obat-reseptor dapat berupa ikatan
ion, hydrogen, hidrofobik, vanderwalls, atau kovalen. Perubahan kecil dalam molekul obat,
misalnya perubahan stereoisomer dapat menimbulkan perubahan besar dalam sifat
farmakologinya.

2.4 Transmisi Sinyal Biologis


penghantaran sinyal biologis adalah proses yang menyebabkan suatu substansi ekstraseluler yang
menimbulkan respon seluler fisiologis yang spesifik. Reseptor yang terdapat di permukaan sel
terdiri atas reseptor dalam bentuk enzim. Reseptor tidak hanya berfungsi dalam pengaturan
fisiologis dan biokimia, tetapi juga diatur atau dipengaruhi oleh mekanisme homeostatic lain.
Bila suatu sel di rangsang oleh agonisnya secara terus-menerus maka akan terjadi desentisasi
yang menyebabkan efek perangsangan.

2.5 Interaksi Obat-Reseptor


ikatan antara obat dengan resptor biasanya terdiri dari berbagai ikatan lemah (ikatan ion,
hydrogen, hidrofilik, van der Waals), mirip ikatan antara subtract dengan enzim, jarang terjadi
ikatan kovalen.

2.6 Antagonisme Farmakodinamik


a. Antagonis fisiologik
Terjadi pada organ yang sama tetapi pada sistem reseptor yang berlainan.
b. Antagonisme pada reseptor
Obat yang menduduki reseptor yang sama tetapi tidak mampu menimbulkan efek farmakologi
secara instrinsik

2.7 Kerja Obat Yang Tidak Diperantarai Reseptor


a. Efek Nonspesifik Dan Gangguan Pada Membran
b. Perubahan sifat osmotic
c. Diuretic osmotic (urea, manitol), misalnya, meningkatkan osmolaritas filtrate glomerulus
sehingga mengurangi reabsorpsi air di tubuli ginjal dengan akibat terjadi efek diuretic
d. Perubahan sifat asam/basa
Kerja ini diperlihatkan oleh oleh antacid dalam menetralkan asam lambung.
e. Kerusakan nonspesifik
Zat perusak nonspesifik digunakan sebagai antiseptik dan disinfektan, dan
kontrasepsi.contohnya, detergen merusak intregitas membrane lipoprotein.
f. Gangguan fungsi membrane
Anestetik umum yang mudah menguap misalnya eter,, halotan, enfluran, dan metoksifluran
bekerja dengan melarut dalam lemak membrane sel di SSP sehingga eksitabilitasnya menurun.
g. Interaksi Dengan Molekul Kecil Atau Ion
Kerja ini diperlihatkan oleh kelator (chelating agents) misalnya CaNa2 EDTA yang mengikat
Pb2+ bebas menjadi kelat yang inaktif pada keracunan Pb.
h. Masuk ke dalam komponen sel
Obat yang merupakan analog puri atau pirimidin dapat berinkoporasi ke dalam asam
nukleat
sehingga mengganggu fungsinya. Obat yang bekerja seperti ini disebut antimetabolit
misalnya
6-merkaptopurin atau anti mikroba lain.

Daftar Pustaka

Gunawan, Gan Sulistia. 2009. Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan
Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
FARMAKOKINETIK NON LINEAR

Anda mungkin juga menyukai