Bab I
Bab I
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 ANATOMI
1.1.1 Kandung Empedu
Kandung empedu terdiri dari epitel columnar tinggi yang mengandung kolesterol dan
tetesan lemak. Mukus disekresi ke dalam kandung empedu dalam kelenjar tubuloalveolar
yang ditemukan dalam mukosa infundibulum dan leher kandung empedu, tetapi tidak pada
fundus dan corpus. Epitel yang berada sepanjang kandung empedu ditunjang oleh lamina
propria. Lapisan ototnya adalah serat longitudinal sirkuler dan oblik, tetapi tanpa lapisan
yang berkembang sempurna. Perimuskular subserosa mengandung jaringan penyambung,
syaraf, pembuluh darah, limfe dan adiposa. Kandung empedu ditutupi oleh lapisan serosa
kecuali bagian kandung empedu yang menempel pada hepar. Kandung empedu di bedakan
secara histologis dari organ-organ gastrointestinal lainnya dari lapisan muskularis mukosa
dan submukosa yang sedikit.
1.3 FISIOLOGI
Fungsi kandung empedu, yaitu:
a. Tempat menyimpan cairan empedu dan memekatkan cairan empedu yang ada di
dalamnya dengan cara mengabsorpsi air dan elektrolit. Cairan empedu ini adalah cairan
elektrolit yang dihasilkan oleh sel hati.
b. Garam empedu menyebabkan meningkatnya kelarutan kolesterol, lemak dan vitamin
yang larut dalam lemak, sehingga membantu penyerapannya dari usus. Hemoglobin yang
berasal dari penghancuran sel darah merah diubah menjadi bilirubin (pigmen utama
dalam empedu) dan dibuang ke dalam empedu.(10),(11)
Kandung empedu mampu menyimpan 40-60 ml empedu. Diluar waktu makan, empedu
disimpan sementara di dalam kandung empedu. Empedu hati tidak dapat segera masuk ke
duodenum, akan tetapi setelah melewati duktus hepatikus, empedu masuk ke duktus
sistikus dan ke kandung empedu. Dalam kandung empedu, pembuluh limfe dan pembuluh
darah mengabsorpsi air dari garam-garam anorganik, sehingga empedu dalam kandung
empedu kira-kira lima kali lebih pekat dibandingkan empedu hati.(12)
Empedu disimpan dalam kandung empedu selama periode interdigestif dan diantarkan ke
duodenum setelah rangsangan makanan.(10) Pengaliran cairan empedu diatur oleh 3
faktor, yaitu sekresi empedu oleh hati, kontraksi kandung empedu, dan tahanan sfingter
koledokus. Dalam keadaan puasa, empedu yang diproduksi akan dialih-alirkan ke dalam
kandung empedu. Setelah makan, kandung empedu berkontraksi, sfingter relaksasi, dan
empedu mengalir ke duodenum.(13)
Memakan makanan akan menimbulkan pelepasan hormon duodenum, yaitu
kolesistokinin (CCK), yang merupakan stimulus utama bagi pengosongan kandung
empedu, lemak merupakan stimulus yang lebih kuat. Reseptor CCK telah dikenal terletak
dalam otot polos dari dinding kandung empedu. Pengosongan maksimum terjadi dalam
waktu 90-120 menit setelah konsumsi makanan. Empedu secara primer terdiri dari air,
lemak, organik, dan elektrolit, yang normalnya disekresi oleh hepatosit. Zat terlarut
organik adalah garam empedu, kolesterol, dan fosfolipid.(11) Sebelum makan, garam-
garam empedu menumpuk di dalam kandung empedu dan hanya sedikit empedu yang
mengalir dari hati. Makanan di dalam duodenum memicu serangkaian sinyal hormonal
dan sinyal saraf sehingga kandung empedu berkontraksi. Sebagai akibatnya, empedu
mengalir ke dalam duodenum dan bercampur dengan makanan. Empedu memiliki fungsi,
yaitu membantu pencernaan dan penyerapan lemak, berperan dalam pembuangan limbah
tertentu dari tubuh, terutama hemoglobin yang berasal dari penghancuran sel darah merah
dan kelebihan kolesterol, garam empedu meningkatkan kelarutan kolesterol, lemak dan
vitamin yang larut dalam lemak untuk membantu proses penyerapan, garam empedu
merangsang pelepasan air oleh usus besar untuk membantu menggerakkan isinya,
bilirubin (pigmen utama dari empedu) dibuang ke dalam empedu sebagai limbah dari sel
darah merah yang dihancurkan, serta obat dan limbah lainnya dibuang dalam empedu dan
selanjutnya dibuang dari tubuh. Garam empedu kembali diserap ke dalam usus halus,
disuling oleh hati dan dialirkan kembali ke dalam empedu. Sirkulasi ini dikenal sebagai
sirkulasi enterohepatik. Seluruh garam empedu di dalam tubuh mengalami sirkulasi
sebanyak 10-12 kali/hari. Dalam setiap sirkulasi, sejumlah kecil garam empedu masuk ke
dalam usus besar (kolon). Di dalam kolon, bakteri memecah garam empedu menjadi
berbagai unsur pokok. Beberapa dari unsur pokok ini diserap kembali dan sisanya
dibuang bersama tinja.Hanya sekitar 5% dari asam empedu yang disekresikan dalam
feses.(11)
2.1 Defenisi
Cholelithiasis atau pembentukan batu empedu; batu ini mungkin terdapat dalam
kandung empedu (cholecystolithiasis) atau dalam ductus choledochus (choledocholithiasis).
Kolelitiasis (kalkuli/kalkulus, batu empedu) merupakan suatu keadaan dimana
terdapatnya batu empedu di dalam kandung empedu (vesica fellea) yang memiliki
ukuran,bentuk dan komposisi yang bervariasi. Kolelitiasis lebih sering dijumpai pada
individu berusia diatas 40 tahun terutama pada wanita dikarenakan memiliki faktor
resiko,yaitu: obesitas, usia lanjut, diet tinggi lemak dan genetik.
2.2 Epidemiologi
Insiden kolelitiasis di negara barat adalah 20% dan banyak menyerang orang dewasa dan usia
lanjut. Angka kejadian di Indonesia di duga tidak berbeda jauh dengan angka di negara lain di Asia
Tenggara dan sejak tahu 1980-an agaknya berkaitan erat dengan cara diagnosis dengan ultrasonografi.
Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin
banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya
kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain:
a. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan pria. Ini
dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh
kandung empedu. Kehamilan, yang menigkatkan kadar esterogen juga meningkatkan resiko
terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon (esterogen) dapat
meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas pengosongan
kandung empedu.
b. Usia
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Orang dengan
usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan orang degan
usia yang lebih muda.
d. Makanan
Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah operasi
gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat
menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.
e. Riwayat keluarga
Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar dibandingn dengan
tanpa riwayat keluarga.
f. Aktifitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya kolelitiasis. Ini
mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi.
2.4 Patofisiologi
2.4.1 Patogenesis Bentukan Batu Empedu
Avni Sali tahun 1984 membagi batu empedu berdasarkan komponen yang terbesar
yang terkandung di dalamnya. Hal ini sesuai dengan pembagian dari Tetsuo Maki tahun 1995
sebagai berikut:
a) Batu kolesterol dimana paling sedikit 50 % adalah kolesterol. Ini bisa berupa
sebagai:
Batu Kolesterol Murni
Batu Kombinasi
Batu Campuran (Mixed Stone)
b) Batu bilirubin dimana garam bilirubin kadarnya paling banyak, kadar kolesterolnya
paling banyak 25 %. Bisa berupa sebagai:
Batu Ca bilirubinat atau batu pigmen calcium
Batu pigmen murni
c) Batu empedu lain yang jarang
Sebagian ahli lain membagi batu empedu menjadi:
Batu Kolesterol
Batu Campuran (Mixed Stone)
Batu Pigmen.
Batu Kolesterol
Pembentukan batu Kolesterol melalui tiga fase:
a. Fase Supersaturasi
Kolesterol, phospolipid (lecithin) dan garam empedu adalah komponen yang
tak larut dalam air. Ketiga zat ini dalam perbandingan tertentu membentuk
micelle yang mudah larut. Di dalam kandung empedu ketiganya
dikonsentrasikan menjadi lima sampai tujuh kali lipat. Pelarutan kolesterol
tergantung dari rasio kolesterol terhadap lecithin dan garam empedu, dalam
keadaan normal antara 1 : 20 sampai 1 : 30. Pada keadaan supersaturasi
dimana kolesterol akan relatif tinggi rasio ini bisa mencapai 1 : 13. Pada rasio
seperti ini kolesterol akan mengendap.
Kadar kolesterol akan relatif tinggi pada keadaan sebagai berikut:
Peradangan dinding kandung empedu, absorbsi air, garam empedu dan
lecithin jauh lebih banyak.
Orang-orang gemuk dimana sekresi kolesterol lebih tinggi sehingga
terjadi supersaturasi.
Diet tinggi kalori dan tinggi kolesterol (western diet).
Pemakaian obat anti kolesterol sehingga mobilitas kolesterol jaringan
tinggi.
Pool asam empedu dan sekresi asam empedu turun misalnya pada
gangguan ileum terminale akibat peradangan atau reseksi (gangguan
sirkulasi enterohepatik).
Pemakaian tablet KB (estrogen) sekresi kolesterol meningkat dan kadar
chenodeoxycholat rendah, padahal chenodeoxycholat efeknya melarutkan
batu kolesterol dan menurunkan saturasi kolesterol. Penelitian lain
menyatakan bahwa tablet KB pengaruhnya hanya sampai tiga tahun.
b. Fase Pembentukan inti batu
Inti batu yang terjadi pada fase II bisa homogen atau heterogen. Inti batu
heterogen bisa berasal dari garam empedu, calcium bilirubinat atau sel-sel
yang lepas pada peradangan. Inti batu yang homogen berasal dari kristal
kolesterol sendiri yang menghadap karena perubahan rasio dengan asam
empedu.
c. Fase Pertumbuhan batu menjadi besar
Untuk menjadi batu, inti batu yang sudah terbentuk harus cukup waktu untuk
bisa berkembang menjadi besar. Pada keadaan normal dimana kontraksi
kandung empedu cukup kuat dan sirkulasi empedu normal, inti batu yang
sudah terbentuk akan dipompa keluar ke dalam usus halus. Bila konstruksi
kandung empedu lemah, kristal kolesterol yang terjadi akibat supersaturasi
akan melekat pada inti batu tersebut. Hal ini mudah terjadi pada penderita
Diabetes Mellitus, kehamilan, pada pemberian total parental nutrisi yang
lama, setelah operasi trunkal vagotomi, karena pada keadaan tersebut
kontraksi kandung empedu kurang baik. Sekresi mucus yang berlebihan dari
mukosa kandung empedu akan mengikat kristal kolesterol dan sukar dipompa
keluar.
Batu bilirubin/Batu pigmen
Batu bilirubin dibagi menjadi dua kelompok:
a. Batu Calcium bilirubinat (batu infeksi).
b. Batu pigmen murni (batu non infeksi).
Pembentukan batu bilirubin terdiri dari 2 fase:
a. Saturasi bilirubin
Pada keadaan non infeksi, saturasi bilirubin terjadi karena pemecahan eritrosit
yang berlebihan, misalnya pada malaria dan penyakit Sicklecell. Pada
keadaan infeksi saturasi bilirubin terjadi karena konversi konjugasi bilirubin
menjadi unkonjugasi yang sukar larut. Konversi terjadi karena adanya enzim
b glukuronidase yang dihasilkan oleh Escherichia Coli. Pada keadaan normal
cairan empedu mengandung glokaro 1,4 lakton yang menghambat kerja
glukuronidase.
b. Pembentukan inti batu
Pembentukan inti batu selain oleh garam-garam calcium dan sel bisa juga
oleh bakteri, bagian dari parasit dan telur cacing. Tatsuo Maki melaporkan
bahwa 55 % batu pigmen dengan inti telur atau bagian badan dari cacing
ascaris lumbricoides. Sedangkan Tung dari Vietnam mendapatkan 70 % inti
batu adalah dari cacing tambang.
Batu kandung empedu merupakan gabungan material mirip batu yang terbentuk di dalam
kandung empedu. Pada keadaan normal, asam empedu, lesitin dan fosfolipid membantu dalam
menjaga solubilitas empedu. Bila empedu menjadi bersaturasi tinggi (supersaturated) oleh substansi
berpengaruh (kolesterol, kalsium, bilirubin), akan berkristalisasi dan membentuk nidus untuk
pembentukan batu. Kristal yang yang terbentuk terbak dalam kandung empedu, kemuadian lama-
kelamaan kristal tersubut bertambah ukuran,beragregasi, melebur dan membetuk batu. Faktor
motilitas kandung empedu, biliary stasis, dan kandungan empedu merupakan predisposisi
pembentukan batu empedu empedu.
Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat kontraksi dari
kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus koledokus kemudian menetap asimtomatis
atau kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang menyumbat di duktus koledokus juga berakibat
terjadinya ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis.
Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya fistel
kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat menyumbat pad bagian tersempit saluran
cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi.
2.6 Diagnosis
2.6.1 Anamnesis
Kolelitiasis dapat dibagi menjadi beberapa stadium yaitu: asimptomatik (adanya
batu empedu tanpa gejala), simptomatik (kolik bilier), dan kompleks ( menyebabkan
kolesistitis, koledokolitiasis, serta kolangitis). Sekitar 60-80 % kolelitiasis adalah
asimptomatik.1 Trias yang terdiri dari nyeri akut kuadran kanan atas demam dan
leukositosis sangat sugestif. Biasanya terjadi leukositosis yang berkisar antara
10.000 sampai dengan 15.000 sel per mikroliter dengan pergeseran ke kiri pada hitung
jenis. Bilirubin serum sedikit meningkat. Pemeriksaan enzim amilase dan lipase
diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan pankreatitis, namun amilase dapat
meningkat pada kolesistitis. Urinalisis diperlukan untuk menyingkirkan
kemungkinan pielonefritis. Apabila keluhan bertambah berat disertai suhu tinggi dan
menggigil serta leukositosis berat, kemungkinan terjadi empiema dan perforasi
kandungempedu dipertimbangkan.
Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak bahu,
disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa
nyeri berkurang setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan
nyeri menetap dan bertambah pada waktu menarik nafas dalam.
A. Penatalaksanaan konservatif
B. Penatalaksanaan Operatif
Sebaiknya tidak dilakukan terapi bedah untuk batu empedu asimptomatik. Risiko
komplikasi akibat intervensi pada penyakit asimptomatik nampak lebih tinggi dari risiko
pada penyakit simptomatik. Sekitar 25% pasien dengan batu empedu asimptomatik akan
mengalami gejala dalam waktu 10 tahun. Individu dengan diabetes dan wanita hamil perlu
menjalani pengawasan ketat untuk menentukan apakah mereka mulai mengalami gejala
atau komplikasi. Terdapat beberapa indikasi untuk melakukan kolesistektomi pada
batu empedu asimpomatik, antara lain adalah:
Pasien dengan cedera medula spinalis atau neuropati sensorik yang mempengaruhi
abdomen
Pasien dengan anemia sel sabit, dimana kita akan sulit membedakan antara krisis
yang menyebabkan nyeri dengan kolesistitis