Anda di halaman 1dari 16

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 ANATOMI
1.1.1 Kandung Empedu

Kandung empedu merupakan sebuah kantung berbentuk seperti buah pear,panjangnya


7-10 cm dengan kapasitas 30-50 ml. Ketika terjadi obstruksi, kandung empedu dapat
terdistesi dan isinya dapat mencapai 300 ml. Kandung empedu berlokasi di sebuah fossa pada
permukaaan inferior hepar yang secara anatomi membagi hepar menjadi lobus kanan dan
lobus kiri.(5),(6)
Kandung empedu dibagi menjadi:
 Fundus : Berbentuk bulat, dan ujungnya 1-2 cm melebihi batas hepar
 Korpus : Bagian dari kandung empedu yang di dalamnya berisi getah empedu. Getah
empedu adalah cairan yang di ekskresi setiap hari oleh sel hati sebanyak 500-1000 cc,
sekresinya berjalan terus menerus dan produksi meningkat sewaktu mencerna lemak
 Leher : Merupakan saluran pertama masuknya getah empedu ke badan kantung
empedu lalu menjadi pekat berkumpul dalam kandung empedu.
Arteri cystica yang menyuplai kandung empedu biasanya berasal dari cabang arteri
hepatika kanan. Lokasi arteri cystica dapat bervariasi tetapi hampir selalu di temukan di
segitiga hepatocystica, yaitu area yang di batasi oleh Ductus cysticus, Ductus hepaticus
communis dan batas hepar (segitiga Calot). Ketika arteri cystica mencapai bagian leher dari
kandung empedu, akan terbagi menjadi anterior dan posterior. Aliran vena akan melalui vena
kecil dan akan langsung memasuki hepar, atau lebih jarang akan menuju vena besar cystica
menuju vena porta. Aliran limfe kandung empedu akan menuju kelenjar limfe pada bagian
leher.(5),(7)
Persyarafan kandung empedu berasal dari nervus vagus dan dari cabang simpatis
melewati pleksus celiaca. Tingkat preganglionik simpatisnya adalah T8 dan T9. Rangsang
dari hepar, kandung empedu, dan duktus biliaris akan menuju serat aferen simpatis melewati
nervus splanchnic memediasi nyeri kolik bilier. Cabang hepatik dari nervus vagus
memberikan serat kolinergik pada kandung empedu, duktus biliaris dan hepar.(8)

1.1.2 Duktus Biliaris


Duktus biliaris extrahepatik terdiri dari Ductus hepatikus kanan dan kiri, Ductus
hepatikus komunis, Ductus sisticus dan Ductus koledokus. Ductus koledokus memasuki
bagian kedua dari duodenum lewat suatu struktur muskularis yang disebut Sphincter Oddi.(9)
 Duktus sistikus : Panjangnya kurang lebih 3 ¾ cm, berjalan dari leher kandung
empedu dan bersambung dengan duktus hepatikus membentuk saluran empedu ke
duodenum. Bagian dari duktus sistikus yang berdekatan dengan bagian leher kandung
empedu terdiri dari lipatan-lipatan mulkosa yang disebut valvula heister. Valvula ini
tidak memiliki fungsi valvula, tetapi dapat membuat pemasukan kanul ke duktus
sistikus menjadi sulit
 Duktus hepatikus komunis : Ductus hepaticus communis umumnya 1-4cm dengan
diameter mendekati 4 mm. Berada di depan vena porta dan di kanan Arteri hepatica.
duktus hepatikus komunis dihubungkan dengan duktus sistikus membentuk duktus
koledokus
 Duktus koledokus : Panjang Ductus choledochus kira-kira 7-11 cm dengan diameter
5-10 mm. Bagian supraduodenal melewati bagian bawah dari tepi bebas dari ligamen
hepatoduodenal, disebelah kanan arteri hepatica dan di anterior vena porta. Ductus
koledokus bergabung dengan ductus pankreatikus masuk ke dinding duodenum
(Ampulla Vateri) kira-kira 10cm distal dari pylorus.
Suplai arteri untuk Duktus biliaris berasal dari Arteri gastroduodenal dan Arteri hepatika
kanan, dengan jalur utama sepanjang dinding lateral dan medial dari Ductus koledokus
(kadang-kadang pada posisi jam 3 dan jam 9). Densitas serat saraf dan ganglia meningkat di
dekat Sphincter Oddi tetapi persarafan dari Ductus koledokus dan Sphinchter Oddi sama
dengan persarafan pada kandung empedu.(7)
1.2 HISTOLOGI

Kandung empedu terdiri dari epitel columnar tinggi yang mengandung kolesterol dan
tetesan lemak. Mukus disekresi ke dalam kandung empedu dalam kelenjar tubuloalveolar
yang ditemukan dalam mukosa infundibulum dan leher kandung empedu, tetapi tidak pada
fundus dan corpus. Epitel yang berada sepanjang kandung empedu ditunjang oleh lamina
propria. Lapisan ototnya adalah serat longitudinal sirkuler dan oblik, tetapi tanpa lapisan
yang berkembang sempurna. Perimuskular subserosa mengandung jaringan penyambung,
syaraf, pembuluh darah, limfe dan adiposa. Kandung empedu ditutupi oleh lapisan serosa
kecuali bagian kandung empedu yang menempel pada hepar. Kandung empedu di bedakan
secara histologis dari organ-organ gastrointestinal lainnya dari lapisan muskularis mukosa
dan submukosa yang sedikit.

1.3 FISIOLOGI
Fungsi kandung empedu, yaitu:
a. Tempat menyimpan cairan empedu dan memekatkan cairan empedu yang ada di
dalamnya dengan cara mengabsorpsi air dan elektrolit. Cairan empedu ini adalah cairan
elektrolit yang dihasilkan oleh sel hati.
b. Garam empedu menyebabkan meningkatnya kelarutan kolesterol, lemak dan vitamin
yang larut dalam lemak, sehingga membantu penyerapannya dari usus. Hemoglobin yang
berasal dari penghancuran sel darah merah diubah menjadi bilirubin (pigmen utama
dalam empedu) dan dibuang ke dalam empedu.(10),(11)
Kandung empedu mampu menyimpan 40-60 ml empedu. Diluar waktu makan, empedu
disimpan sementara di dalam kandung empedu. Empedu hati tidak dapat segera masuk ke
duodenum, akan tetapi setelah melewati duktus hepatikus, empedu masuk ke duktus
sistikus dan ke kandung empedu. Dalam kandung empedu, pembuluh limfe dan pembuluh
darah mengabsorpsi air dari garam-garam anorganik, sehingga empedu dalam kandung
empedu kira-kira lima kali lebih pekat dibandingkan empedu hati.(12)
Empedu disimpan dalam kandung empedu selama periode interdigestif dan diantarkan ke
duodenum setelah rangsangan makanan.(10) Pengaliran cairan empedu diatur oleh 3
faktor, yaitu sekresi empedu oleh hati, kontraksi kandung empedu, dan tahanan sfingter
koledokus. Dalam keadaan puasa, empedu yang diproduksi akan dialih-alirkan ke dalam
kandung empedu. Setelah makan, kandung empedu berkontraksi, sfingter relaksasi, dan
empedu mengalir ke duodenum.(13)
Memakan makanan akan menimbulkan pelepasan hormon duodenum, yaitu
kolesistokinin (CCK), yang merupakan stimulus utama bagi pengosongan kandung
empedu, lemak merupakan stimulus yang lebih kuat. Reseptor CCK telah dikenal terletak
dalam otot polos dari dinding kandung empedu. Pengosongan maksimum terjadi dalam
waktu 90-120 menit setelah konsumsi makanan. Empedu secara primer terdiri dari air,
lemak, organik, dan elektrolit, yang normalnya disekresi oleh hepatosit. Zat terlarut
organik adalah garam empedu, kolesterol, dan fosfolipid.(11) Sebelum makan, garam-
garam empedu menumpuk di dalam kandung empedu dan hanya sedikit empedu yang
mengalir dari hati. Makanan di dalam duodenum memicu serangkaian sinyal hormonal
dan sinyal saraf sehingga kandung empedu berkontraksi. Sebagai akibatnya, empedu
mengalir ke dalam duodenum dan bercampur dengan makanan. Empedu memiliki fungsi,
yaitu membantu pencernaan dan penyerapan lemak, berperan dalam pembuangan limbah
tertentu dari tubuh, terutama hemoglobin yang berasal dari penghancuran sel darah merah
dan kelebihan kolesterol, garam empedu meningkatkan kelarutan kolesterol, lemak dan
vitamin yang larut dalam lemak untuk membantu proses penyerapan, garam empedu
merangsang pelepasan air oleh usus besar untuk membantu menggerakkan isinya,
bilirubin (pigmen utama dari empedu) dibuang ke dalam empedu sebagai limbah dari sel
darah merah yang dihancurkan, serta obat dan limbah lainnya dibuang dalam empedu dan
selanjutnya dibuang dari tubuh. Garam empedu kembali diserap ke dalam usus halus,
disuling oleh hati dan dialirkan kembali ke dalam empedu. Sirkulasi ini dikenal sebagai
sirkulasi enterohepatik. Seluruh garam empedu di dalam tubuh mengalami sirkulasi
sebanyak 10-12 kali/hari. Dalam setiap sirkulasi, sejumlah kecil garam empedu masuk ke
dalam usus besar (kolon). Di dalam kolon, bakteri memecah garam empedu menjadi
berbagai unsur pokok. Beberapa dari unsur pokok ini diserap kembali dan sisanya
dibuang bersama tinja.Hanya sekitar 5% dari asam empedu yang disekresikan dalam
feses.(11)

2.1 Defenisi
Cholelithiasis atau pembentukan batu empedu; batu ini mungkin terdapat dalam
kandung empedu (cholecystolithiasis) atau dalam ductus choledochus (choledocholithiasis).
Kolelitiasis (kalkuli/kalkulus, batu empedu) merupakan suatu keadaan dimana
terdapatnya batu empedu di dalam kandung empedu (vesica fellea) yang memiliki
ukuran,bentuk dan komposisi yang bervariasi. Kolelitiasis lebih sering dijumpai pada
individu berusia diatas 40 tahun terutama pada wanita dikarenakan memiliki faktor
resiko,yaitu: obesitas, usia lanjut, diet tinggi lemak dan genetik.
2.2 Epidemiologi
Insiden kolelitiasis di negara barat adalah 20% dan banyak menyerang orang dewasa dan usia
lanjut. Angka kejadian di Indonesia di duga tidak berbeda jauh dengan angka di negara lain di Asia
Tenggara dan sejak tahu 1980-an agaknya berkaitan erat dengan cara diagnosis dengan ultrasonografi.

2.3 Faktor Resiko

Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin
banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya
kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain:

a. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan pria. Ini
dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh
kandung empedu. Kehamilan, yang menigkatkan kadar esterogen juga meningkatkan resiko
terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon (esterogen) dapat
meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas pengosongan
kandung empedu.

b. Usia
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Orang dengan
usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan orang degan
usia yang lebih muda.

c. Berat badan (BMI)


Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadi
kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol dalam kandung
empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam empedu serta mengurangi kontraksi/
pengosongan kandung empedu.

d. Makanan
Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah operasi
gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat
menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.

e. Riwayat keluarga
Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar dibandingn dengan
tanpa riwayat keluarga.

f. Aktifitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya kolelitiasis. Ini
mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi.

g. Penyakit usus halus


Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah crohn disease, diabetes,
anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik.

h. Nutrisi intravena jangka lama


Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi untuk
berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang melewati intestinal. Sehingga resiko
untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung empedu.

2.4 Patofisiologi
2.4.1 Patogenesis Bentukan Batu Empedu
Avni Sali tahun 1984 membagi batu empedu berdasarkan komponen yang terbesar
yang terkandung di dalamnya. Hal ini sesuai dengan pembagian dari Tetsuo Maki tahun 1995
sebagai berikut:
a) Batu kolesterol dimana paling sedikit 50 % adalah kolesterol. Ini bisa berupa
sebagai:
 Batu Kolesterol Murni
 Batu Kombinasi
 Batu Campuran (Mixed Stone)
b) Batu bilirubin dimana garam bilirubin kadarnya paling banyak, kadar kolesterolnya
paling banyak 25 %. Bisa berupa sebagai:
 Batu Ca bilirubinat atau batu pigmen calcium
 Batu pigmen murni
c) Batu empedu lain yang jarang
Sebagian ahli lain membagi batu empedu menjadi:
 Batu Kolesterol
 Batu Campuran (Mixed Stone)
 Batu Pigmen.

 Batu Kolesterol
Pembentukan batu Kolesterol melalui tiga fase:
a. Fase Supersaturasi
Kolesterol, phospolipid (lecithin) dan garam empedu adalah komponen yang
tak larut dalam air. Ketiga zat ini dalam perbandingan tertentu membentuk
micelle yang mudah larut. Di dalam kandung empedu ketiganya
dikonsentrasikan menjadi lima sampai tujuh kali lipat. Pelarutan kolesterol
tergantung dari rasio kolesterol terhadap lecithin dan garam empedu, dalam
keadaan normal antara 1 : 20 sampai 1 : 30. Pada keadaan supersaturasi
dimana kolesterol akan relatif tinggi rasio ini bisa mencapai 1 : 13. Pada rasio
seperti ini kolesterol akan mengendap.
Kadar kolesterol akan relatif tinggi pada keadaan sebagai berikut:
 Peradangan dinding kandung empedu, absorbsi air, garam empedu dan
lecithin jauh lebih banyak.
 Orang-orang gemuk dimana sekresi kolesterol lebih tinggi sehingga
terjadi supersaturasi.
 Diet tinggi kalori dan tinggi kolesterol (western diet).
 Pemakaian obat anti kolesterol sehingga mobilitas kolesterol jaringan
tinggi.
 Pool asam empedu dan sekresi asam empedu turun misalnya pada
gangguan ileum terminale akibat peradangan atau reseksi (gangguan
sirkulasi enterohepatik).
 Pemakaian tablet KB (estrogen) sekresi kolesterol meningkat dan kadar
chenodeoxycholat rendah, padahal chenodeoxycholat efeknya melarutkan
batu kolesterol dan menurunkan saturasi kolesterol. Penelitian lain
menyatakan bahwa tablet KB pengaruhnya hanya sampai tiga tahun.
b. Fase Pembentukan inti batu
Inti batu yang terjadi pada fase II bisa homogen atau heterogen. Inti batu
heterogen bisa berasal dari garam empedu, calcium bilirubinat atau sel-sel
yang lepas pada peradangan. Inti batu yang homogen berasal dari kristal
kolesterol sendiri yang menghadap karena perubahan rasio dengan asam
empedu.
c. Fase Pertumbuhan batu menjadi besar
Untuk menjadi batu, inti batu yang sudah terbentuk harus cukup waktu untuk
bisa berkembang menjadi besar. Pada keadaan normal dimana kontraksi
kandung empedu cukup kuat dan sirkulasi empedu normal, inti batu yang
sudah terbentuk akan dipompa keluar ke dalam usus halus. Bila konstruksi
kandung empedu lemah, kristal kolesterol yang terjadi akibat supersaturasi
akan melekat pada inti batu tersebut. Hal ini mudah terjadi pada penderita
Diabetes Mellitus, kehamilan, pada pemberian total parental nutrisi yang
lama, setelah operasi trunkal vagotomi, karena pada keadaan tersebut
kontraksi kandung empedu kurang baik. Sekresi mucus yang berlebihan dari
mukosa kandung empedu akan mengikat kristal kolesterol dan sukar dipompa
keluar.
 Batu bilirubin/Batu pigmen
Batu bilirubin dibagi menjadi dua kelompok:
a. Batu Calcium bilirubinat (batu infeksi).
b. Batu pigmen murni (batu non infeksi).
Pembentukan batu bilirubin terdiri dari 2 fase:
a. Saturasi bilirubin
Pada keadaan non infeksi, saturasi bilirubin terjadi karena pemecahan eritrosit
yang berlebihan, misalnya pada malaria dan penyakit Sicklecell. Pada
keadaan infeksi saturasi bilirubin terjadi karena konversi konjugasi bilirubin
menjadi unkonjugasi yang sukar larut. Konversi terjadi karena adanya enzim
b glukuronidase yang dihasilkan oleh Escherichia Coli. Pada keadaan normal
cairan empedu mengandung glokaro 1,4 lakton yang menghambat kerja
glukuronidase.
b. Pembentukan inti batu
Pembentukan inti batu selain oleh garam-garam calcium dan sel bisa juga
oleh bakteri, bagian dari parasit dan telur cacing. Tatsuo Maki melaporkan
bahwa 55 % batu pigmen dengan inti telur atau bagian badan dari cacing
ascaris lumbricoides. Sedangkan Tung dari Vietnam mendapatkan 70 % inti
batu adalah dari cacing tambang.

2.4.2 Patofisiologi Umum


Batu empedu yang ditemukan pada kandung empedu di klasifikasikan berdasarkan bahan
pembentuknya sebagai batu kolesterol, batu pigment dan batu campuran. Lebih dari 90% batu
empedu adalah kolesterol (batu yang mengandung > 50% kolesterol) atau batu campuran (batu yang
mengandung 20-50% kolesterol). Angka 10% sisanya adalah batu jenis pigmen, yang mana
mengandung < 20% kolesterol. Faktor yang mempengaruhi pembentukan batu antara lain adalah
keadaan statis kandung empedu, pengosongan kandung empedu yang tidak sempurna dan konsentrasi
kalsium dalam kandung empedu.

Batu kandung empedu merupakan gabungan material mirip batu yang terbentuk di dalam
kandung empedu. Pada keadaan normal, asam empedu, lesitin dan fosfolipid membantu dalam
menjaga solubilitas empedu. Bila empedu menjadi bersaturasi tinggi (supersaturated) oleh substansi
berpengaruh (kolesterol, kalsium, bilirubin), akan berkristalisasi dan membentuk nidus untuk
pembentukan batu. Kristal yang yang terbentuk terbak dalam kandung empedu, kemuadian lama-
kelamaan kristal tersubut bertambah ukuran,beragregasi, melebur dan membetuk batu. Faktor
motilitas kandung empedu, biliary stasis, dan kandungan empedu merupakan predisposisi
pembentukan batu empedu empedu.

Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan mengakibatkan/


menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada dalam kandung empedu
terdorong dan dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat menetap ataupun dapat terlepas lagi.
Apabila batu menutupi duktus sitikus secara menetap maka mungkin akan dapat terjadi mukokel, bila
terjadi infeksi maka mukokel dapat menjadi suatu empiema, biasanya kandung empedu dikelilingi
dan ditutupi oleh alat-alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga membentuk suatu fistel
kolesistoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus dapat juga berakibat terjadinya kolesistitis akut yang
dapat sembuh atau dapat mengakibatkan nekrosis sebagian dinding (dapat ditutupi alat sekiatrnya)
dan dapat membentuk suatu fistel kolesistoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi kandung empedu
yang berakibat terjadinya peritonitis generalisata.

Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat kontraksi dari
kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus koledokus kemudian menetap asimtomatis
atau kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang menyumbat di duktus koledokus juga berakibat
terjadinya ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis.
Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya fistel
kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat menyumbat pad bagian tersempit saluran
cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi.

2.5 Manifestasi Klinis


Penderita batu kandung empedu baru memberi keluhan bila batu tersebut bermigrasi
menyumbat duktus sistikus atau duktus koledokus, sehingga gambaran klinisnya bervariasi
dari yang tanpa gejala (asimptomatik), ringan sampai berat karena adanya komplikasi.
Dijumpai nyeri di daerah hipokondrium kanan, yang kadang-kadang disertai kolik
bilier yang timbul menetap/konstan. Rasa nyeri kadang-kadang dijalarkan sampai di daerah
subkapula disertai nausea, vomitus dan dyspepsia, flatulen dan lain-lain. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan nyeri tekan hipokondrium kanan, dapat teraba pembesaran kandung empedu
dan tanda Murphy positif. Dapat juga timbul ikterus. Ikterus dijumpai pada 20 % kasus,
umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila kadar bilirubin tinggi, perlu
dipikirkan adanya batu di saluran empedu ekstra hepatic.
Kolik bilier merupakan keluhan utama pada sebagian besar pasien. Nyeri viseral ini
berasal dari spasmetonik akibat obstruksi transient duktus sistikus oleh batu. Dengan istilah
kolik bilier tersirat pengertian bahwa mukosa kandung empedu tidak memperlihatkan
inflamasi akut.
Kolik bilier biasanya timbul malam hari atau dini hari, berlangsung lama antara 30 –
60 menit, menetap, dan nyeri terutama timbul di daerah epigastrium. Nyeri dapat menjalar ke
abdomen kanan, ke pundak, punggung, jarang ke abdomen kiri dan dapat menyerupai angina
pektoris. Kolik bilier harus dibedakan dengan gejala dispepsia yang merupakan gejala umum
pada banyak pasien dengan atau tanpa kolelitiasis.
Diagnosis dan pengelolaan yang baik dan tepat dapat mencegah terjadinya komplikasi
yang berat. Komplikasi dari batu kandung empedu antara lain kolesistitis akut, kolesistitis
kronis, koledokolitiasis, pankreatitis, kolangitis, sirosis bilier sekunder, ileus batu empedu,
abses hepatik dan peritonitis karena perforasi kandung empedu. Komplikasi tersebut akan
mempersulit penanganannya dan dapat berakibat fatal.
Sebagian besar (90 – 95 %) kasus kolesititis akut disertai kolelitiasis dan keadaan ini
timbul akibat obstruksi duktus sistikus yang menyebabkan peradangan organ tersebut.
Pasien dengan kolesistitis kronik biasanya mempunyai kolelitiasis dan telah sering
mengalami serangan kolik bilier atau kolesistitis akut. Keadaan ini menyebabkan penebalan
dan fibrosis kandung empedu dan pada 15 % pasien disertai penyakit lain seperti koledo
kolitiasis, panleneatitis dan kolongitis.
Batu kandung empedu dapat migrasi masuk ke duktus koledokus melalui duktus
sistikus (koledokolitiasis sekunder) atau batu empedu dapat juga terbentuk di dalam saluran
empedu (koledokolitiasis primer). Perjalanan penyakit koledokolitiasis sangat bervariasi dan
sulit diramalkan yaitu mulai dari tanpa gejala sampai dengan timbulnya ikterus obstruktif
yang nyata.
Batu saluran empedu (BSE) kecil dapat masuk ke duodenum spontan tanpa
menimbulkan gejala atau menyebabkan obstruksi temporer di ampula vateri sehingga timbul
pankreatitis akut dan lalu masuk ke duodenum (gallstone pancreatitis). BSE yang tidak keluar
spontan akan tetap berada dalam saluran empedu dan dapat membesar. Gambaran klinis
koledokolitiasis didominasi penyulitnya seperti ikterus obstruktif, kolangitis dan pankreatitis.

2.6 Diagnosis
2.6.1 Anamnesis
Kolelitiasis dapat dibagi menjadi beberapa stadium yaitu: asimptomatik (adanya
batu empedu tanpa gejala), simptomatik (kolik bilier), dan kompleks ( menyebabkan
kolesistitis, koledokolitiasis, serta kolangitis). Sekitar 60-80 % kolelitiasis adalah
asimptomatik.1 Trias yang terdiri dari nyeri akut kuadran kanan atas demam dan
leukositosis sangat sugestif. Biasanya terjadi leukositosis yang berkisar antara
10.000 sampai dengan 15.000 sel per mikroliter dengan pergeseran ke kiri pada hitung
jenis. Bilirubin serum sedikit meningkat. Pemeriksaan enzim amilase dan lipase
diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan pankreatitis, namun amilase dapat
meningkat pada kolesistitis. Urinalisis diperlukan untuk menyingkirkan
kemungkinan pielonefritis. Apabila keluhan bertambah berat disertai suhu tinggi dan
menggigil serta leukositosis berat, kemungkinan terjadi empiema dan perforasi
kandungempedu dipertimbangkan.

Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asimptomatis. Keluhan


yang mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran terhadap
makanan berlemak. Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di daerah
epigastrium, kuadran kanan atas atau perikomdrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik
bilier yang mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang
beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan tetapi pada 30%
kasus timbul tiba-tiba.

Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak bahu,
disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa
nyeri berkurang setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan
nyeri menetap dan bertambah pada waktu menarik nafas dalam.

2.6.2 Pemeriksaan Fisik


 Batu kandung empedu
Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi, seperti
kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrop kandung empedu,
empiema kandung empedu, atau pangkretitis. Pada pemeriksaan ditemukan nyeri
tekan dengan punktum maksimum didaerah letak anatomis kandung empedu.
Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik
nafas panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan
pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas.

 Batu saluran empedu


Baru saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang. Kadang teraba
hatidan sklera ikterik. Perlu diktahui bahwa bila kadar bilirubin darah kurang dari
3 mg/dl, gejal ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran empedu bertambah
berat, akan timbul ikterus klinis.

2.6.3 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan kelainan
pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi
leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan
bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin
serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di dalam duktus koledukus.
Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya
meningkat sedang setiap setiap kali terjadi serangan akut.
b. Foto polos Abdomen
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya
sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung
empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat
dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar
atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di
kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura
hepatica.
c. Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk
mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun
ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang
menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab
lain. Batu yang terdapat pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi karena
terhalang oleh udara di dalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada
batu kandung empedu yang ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa.
3.7. Diagnosis Banding

Diagnosis kolelitiasis dan kolesistitis harus dapat ditegakkan sesegera mungkin


agar dapat dilakukan penanganan sedini mungkin dan menghindari terjadinya
peningkatan morbiditas dan mortalitas pada pasien.

Untuk kolelitiasis, dapat dipertimbangkan kemungkinan adanya patologi intra-


abdominal maupun ekstra-abdominal yang menyebabkan nyeri abdomen bagian atas.
Beberapa penyakit yang perlu dipertimbangkan adalah penyakit ulkus peptik,
pankreatitis (akut atau kronik), hepatitis, dispepsia, gastroesophageal reflux
disease (GERD), irritable bowel syndrome, spasme esofagus, pneumonia, nyeri dada
karena penyakit jantung, ketoasidosis diabetik, apendisitis, striktura

duktus biliaris, kolangiokarsinoma, kolesistitis, atau kanker pankreas.9

Untuk kolesistitis akut, dapat dipertimbangkan diagnosis banding untuk nyeri


perut kanan atas yang tiba – tiba, perlu dipikirkan seperti penjalaran nyeri saraf spinal,
kelainan organ di bawah diafragma seperti appendiks yang retrosekal, sumbatan usus,
perforasi ulkus peptikum, pankreatitis akut, pielonefritis dan infark miokard. Pada
wanita hamil kemungkinannya dapat preeklampsia, appendisitis dan kolelitiasis.
Pemeriksaan lebih lanjut dan penanganan harus dilakukan segera karena dapat
mengancam nyawa ibu dan bayi. Penyakit lain yang dapat dipertimbangkan
antara lain adalah aneurisma aorta abdominal, iskemia mesenterik akut, dan kolik
biliaris.1
3.8. Penatalaksanaan3,9,10

3.8.1. Penatalaksanaan untuk Kolelitiasis

Saat ditemukan adanya batu empedu asimptomatik selama melakukan


pemeriksaan pasien, maka umumnya belum perlu dilakukan kolesistektomi
profilaktik karena adanya beberapa faktor. Hanya sekitar 30% pasien dengan
kolelitiasis asimptomatik yang memerlukan operasi selama masa hidup mereka, dan
ini menunjukkan bahwa pada beberapa pasien, kolelitiasis merupakan suatu kelainan
yang relatif ringan dan tidak berbahaya. Pada beberapa pasien ini dapat dilakukan
penanganan konservatif.3,9 Namun, terdapat beberapa faktor yang
menunjukkan kemungkinan terjadinya perjalanan penyakit yang lebih berat pada
pasien dengan batu empedu asimptomatik sehingga perlu dilakukan
kolesistektomi profilaksis. Beberapa faktor ini antara lain adalah pasien dengan batu
empedu yang berukuran besar (>2,5 cm), pasien dengan anemia hemolitik
kongenital atau kandung empedu yang tidak berfungsi, atau pasien yang
menjalani operasi kolektomi.3

Pada batu empedu yang simptomatik, umumnya diindikasikan untuk


melakukan intervensi bedah definitif menggunakan kolesistektomi, meskipun
pada beberapa kasus dapat dipertimbangkan untuk meluruhkan batu menggunakan
terapi medikamentosa. Pada kolelitiasis non-komplikata dengan kolik biliaris,
penanganan medikamentosa dapat menjadi alternatif untuk beberapa pasien tertentu,
terutama yang menunjukkan risiko tinggi bila menjalani operasi.9

A. Penatalaksanaan konservatif

Untuk penatalaksanaan konservatif dapat diberikan obat yang dapat


menekan sintesis dan sekresi kolesterol, serta menginhibisi absorbsi kolesterol di
usus. Ursodiol merupakan jenis obat yang paling sering digunakan. Ursodiol
(asam ursodeoksikolat) diindikasikan untuk batu empedu radiolusens yang
berdiameter kurang dari 20 mm pada pasien yang tidak dapat menjalani
kolesistektomi. Obat ini memiliki sedikit efek inhibitorik pada sintesis dan sekresi
asam empedu endogen ke dalam cairan empedu dan nampaknya tidak
mempengaruhi sekrresi fosfolipid ke dalam cairan empedu. Setelah pemberian
dosis berulang, obat akan mencapai kondisi seimbang setelah kurang lebih 3 minggu.
Dosis lazim yang digunakan ialah 8-10 mg/kgBB terbagi dalam 2-3 dosis harian. Intervensi ini
membutuhkan waktu 6-18 bulan dan umumnya berhasil bila batu berukuran kecil dan murni
merupakan batu kolesterol, serta memiliki angka kekambuhan sebesar 50 % dalam 5 tahun.1,9
Terapi lain yang dapat digunakan adalah Extarcorporal Shock Wave Lithotripsy (ESWL).
Litotripsi pernah sangat populer beberapa tahun yang lalu, namun saat ini hanya digunakna pada
pasien yang benar-benar dianggap perlu menjalani terapi ini karena biayanya yang mahal.
Supaya efektif, ESWL memerlukan terapi tambahan berupa asam ursodeoksilat.16

B. Penatalaksanaan Operatif

Sebaiknya tidak dilakukan terapi bedah untuk batu empedu asimptomatik. Risiko
komplikasi akibat intervensi pada penyakit asimptomatik nampak lebih tinggi dari risiko
pada penyakit simptomatik. Sekitar 25% pasien dengan batu empedu asimptomatik akan
mengalami gejala dalam waktu 10 tahun. Individu dengan diabetes dan wanita hamil perlu
menjalani pengawasan ketat untuk menentukan apakah mereka mulai mengalami gejala
atau komplikasi. Terdapat beberapa indikasi untuk melakukan kolesistektomi pada
batu empedu asimpomatik, antara lain adalah:

 Pasien dengan batu empedu besar yang berdiameter lebih dari 2 cm

 Pasien dengan kandung empedu yang nonfungsional atau nampak mengalami


kalsifikasi (porcelain gallbladder) pada pemeriksaan pencitraan dan pada pasien
yang berisiko tinggi mengalami karsinoma kandung empedu

 Pasien dengan cedera medula spinalis atau neuropati sensorik yang mempengaruhi
abdomen

 Pasien dengan anemia sel sabit, dimana kita akan sulit membedakan antara krisis
yang menyebabkan nyeri dengan kolesistitis

Anda mungkin juga menyukai