Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH PORTOFOLIO BEDAH

OSTEOMYELITIS KRONIK

DISUSUN OLEH:
Florence Low (0906550751)

PEMBIMBING:
dr.

Modul Praktik Klinik Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia
November 2015
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa makalah ini
saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas
Indonesia.

Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan tindakan plagiarisme, saya akan bertanggung
jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Indonesia kepada
kami.

Jakarta, 30 November 2015

Florence Low
BAB I
ILUSTRASI KASUS

1. Identitas Pasien
Nama Pasien (Inisial) : Tn. DLG
Umur : 71 tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Kristen
Pekerjaan : Pensiunan
Pendidikan : Sarjana
Status Perkawinan : Menikah
Alamat : Kampung Pangsor
No. Rekam Medis : 354-96-87
Tanggal Masuk : 13 November 2015
Tanggal Berkunjung : 17 November 2015

2. Anamnesis (autoanamnesis)
 Keluhan Utama :
Keluar cairan kekuningan dari luka bekas operasi sejak 2 tahun SMRS

 Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien riwayat kecelakaan lalu lintas 7 tahun yang lalu. Waktu itu, pasien sedang
berjalan dan tiba-tiba ditabrak oleh motor dari sisi kanan. Pasien dibawa ke IGD di
RS Persahabatan dan dikatakan terdapat patah pada tulang panjang di tungkai bawah
kanan. Luka terbuka tidak ada.
Pada pasien dilakukan operasi pemasangan pen dan setelah 6 bulan, pasien
sudah dapat berjalan namun pasien menyadari bahwa sejak 3 bulan pasca operasi,
kaki kanan terkesan membengkok ke arah luar sehingga pasien kesulitan berjalan.
Nyeri saat berjalan, bengkak ataupun kemerahan pada kaki disangkal.
Pasien kembali konsultasi ke dokter dan diputuskan menjalani operasi
pemasangan implant pada tulang. Setelah evaluasi 6 bulan kemudian, dikatakan
tulang tidak menyatu dan masih terdapat kelainan tulang karena implant tidak
diterima oleh jaringan tubuh. Pasien kembali dilakukan operasi bone grafting yang
diambil dari tulang panggul.
Beberapa bulan setelah operasi, luka operasi tidak menutup. Pada pasien
kembali dilakukan operasi skin-graft yang diambil dari bagian paha. Luka operasi
tetap tidak menutup dan mulai keluar cairan bening dari bekas luka. Pada waktu itu
mulai muncul kemerahan dan bengkak di sekitar luka namun keluhan nyeri atau
kesulitan berjalan tidak ada. Pasien kemudia dirujuk ke RSCM. Pasien dikatakan
terdapat infeksi dalam tulang akibat pen yang tertinggal kemudian dilakukan operasi
pengangkatan pen dan debridement. Setelah operasi, tidak ada cairan yang keluar
dari luka dan tidak ada keluhan dalam pergerakan pasien.
Tahun 2013, pasien kembali mengeluhkan keluar cairan kuning-kecoklatan
dari bekas luka operasi. Jumlah cairan tidak terlalu banyak, hanya seperti rembesan
yang keluar dari kulit. Terdapat kemerahan dan bengkak namun tidak ada nyeri. Pada
pasien dilakukan tindakan debridement kembali dan dibuatkan gutter pada kaki.
Hingga saat ini, keluhan cairan yang merembes masih ada dan pasien kembali
dilakukan tindakan debridemen. Saat ditemui, pasien post tindakan debridemen hari
pertama. Riwayat demam, penurunan nafsu makan disangkal.
Pasien didiagnosis diabetes mellitus sejak 6 bulan yang lalu namun
mengatakan bahwa pada 7 tahun yang lalu hingga 6 bulan lalu, kadar gula darah
masih normal. Pasien sekarang kontrol gula darah dengan metformin dan acarbose.
Pasien juga didiagnosis dengan hipertensi sejak 5 tahun yang lalu, kontrol hipertensi
dengan pengobatan candesartan.

 Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien hanya dirawat setiap kali akan tindakan pada kaki. Pasien menyangkal
memiliki penyakit jantung, paru atau ginjal. Riwayat asma dan alergi disangkal.

 Riwayat Dalam Keluarga :


Riwayat keluhan serupa dalam keluarga disangkal. Riwayat DM, hipertensi, dan
kolesterol tinggi dalam keluarga disangkal.
 Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi, dan Kebiasaan
Pasien adalah pensiunan pegawai swasta. Pasien sudah menikah dan memiliki 3
anak. Pasien riwayat merokok sebanyak 1 bungkus per hari, sudah berhenti sejak 10
tahun yang lalu. Pasien tidak pernah minum alkohol. Pasien merupakan peserta BPJS

3. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 96 x/menit
Suhu : 36,30C
Pernapasan : 24 x/menit
Keadaan Gizi : tampak gizi cukup
Tinggi Badan : 170 cm
Berat Badan : 75 kg

Status Generalis
Kulit : kulit sawo matang, turgor kulit baik
Kepala : normocephal, deformitas (-), nyeri tekan (-)
Rambut : rambut warna hitam, tumbuh pendek, tersebar merata, tidak mudah tercabut
Mata : konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-
Telinga : tidak tampak kelainan daun telinga, nyeri tekan tragus (-), serumen (+)
minimal, membran timpani tidak terlihat, pendengaran baik
Hidung : tidak ada deviasi, tidak ada deformitas, tidak tampak sekret, konka tidak
hiperemis
Tenggorok : faring tidak hiperemis, arkus faring simetris, uvula di tengah, tonsil T1/T1
Mulut : oral hygiene kurang baik, oral thrush tidak ada
Leher : JVP tidak meningkat, KGB tidak teraba

Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis tidak teraba
Perkusi : batas jantung kanan di linea sternalis dextra, batas jantung kiri tidak dapat di
linea midklavikula sinistra
Auskultasi : bunyi jantung I dan II normal, murmur tidak ada, gallop tidak ada
Paru
Inspeksi : Pasien tidak tampak sesak, tidak terdapat penggunaan otot bantu napas,
pengembangan dada simetris statis-dinamis
Palpas : Ekspansi dada simetris dan fremitus kanan sama dengan fremitus kiri
Perkusi : Perkusi umum sonor
Auskultasi : Suara napas vesikular, tidak terdapat wheezing ataupun ronkhi pada kedua
lapang paru

Abdomen
Inspeksi : perut datar, tidak tampak venektasi
Palpasi : lemas, nyeri tekan (-), hepar dan limpa tidak teraba
Perkusi : shifting dullness (-)
Auskultasi : bising usus normal

Ekstremitas : akral hangat, capillary refill time < 2 detik.

Status Lokalis Kaki Kanan


Look : Pada regio cruris dextra tampak tertutup verban, rembesan (-), edema (+), eritema (-)
Feel : Akral hangat, nyeri (-)
Move : ROM normal
4. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan Laboratorium
14 November 2015 16 November 2015
Haemoglobin 12,6 11,4
Haematocrite 36,9 344
Leukocyte 4080 6980
Thrombocyte 207.000 184 000
Na+ 138 -
K+ 4 -
Cl- 103 -
SGOT 22 -
SGPT 21 -
PT 11,5 (10,9) -
APTT 33,2 (33,1) -
Ureum 32
Creatinine 1

 Pemeriksaan Radiologi
o Defek di sisi medial metadiafisis os tibia kanan
o Tampak deformitas epimetadiafisis distal os tibia et fibula kana disertai
penebalan korteks dengan tepi irregular di metadiafisis distal tibia dan diafisis
distal fibula dengan reaksi periosteal solid
o Densitas tulang menurun dengan trabekulasi kasar
o Sendi femorotibia kana kesan tidak menyempit, kesan tidak tampak subluksasi/
dislokasi
o Jaringan lunak di region cruris distal kanan tampak menebal
o Tampak terasang kateter drainage di jaringan lunak region cruris distal
Kesimpulan: osteomyelitis kronik os tibia et fibula, tampak penebalan korteks di dital
tibia disertai defek di metadiafisis distal os tibia kanan
5. Ringkasan
Pasien laki-laki usia 71 tahun datang dengan keluhan keluar rembesan cairan kekuningan
dari bekas luka operasi pada kaki kanan sejak 2 tahun SMRS. Riwayat trauma fraktur
tertutup dan dilakukan pemasangan pen dalam, implan dan bone graft karena
penyembuhan tulang tidak baik. Sejak 7 tahun lalu mulai muncul rembesan, dikatakan
terdapat infeksi tulang dan telah dilakukan tindakan debridemen numun keluhan kembali
muncul. Riwayat kemerahan, bengkak (+). Nyeri, mobilitas berkurang, demam, malaise
disangkal.
Pada PF ditemukan status lokalis kaki telah dilakuka tindakan debridemen. Edema (+),
eritema (+). Pada pemeriksaan lab ditemukan dalam batas normal, pemeriksaan radiologis
menunjukkan gambaran osteomyelitis kronik,

6. Daftar Masalah
 Osteomyelitis tibalis dextra psot debridement

7. Prognosis
 Ad vitam : bonam
 Ad functionam : bonam
 Ad sanationam : dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Osteomyelitis
Inflamasi adalah suatu reaksi yang terjadi pada jaringan akibat iritan. Manifestasi klinis yang
terlihat pada proses ini adalah rubor (kemerahan), dolor (nyeri), kalor (panas), tumor
(bengkak) dan functio laesa (hilangnya fungsi). Pada daerah muskuloseletal, reaksi inflamasi
dapat terjadi pada berbagai jaringan, diantaranya tulang, sendi, kartiolago, membran sinovial
dan ligamen.
Osteomyelitis adalah reaksi inflamasi pada tulang yang biasanya diakibatkan oleh
reaksi terhadap infeksi. Infeksi dapat terjadi akibat introduksi dari mikoorganisme ke jaringan
tulang. Introduksi terjadi secara langsung (melalui luka tusuk, fraktur, tindakan bedah),
penyebaran dari focus infeksi yang terdekat atau penyebaran secara hematogen.
Osteomyelitis sendiri dapat dibagi berdasarkan karakteristik infeksi yaitu pyogenik,
dimana terjadi formasi pus dan granulomatosa yang biasanya terjadi formasi granuloma
akibat infeksi tuberkulosis. Berdasarkan waktunya, osteomyelitis dibagi menjadi akut
maupun kronik.

Osteomyelitis Akut
Acute Hematogenous Osteomyelitis atau Osteomyelitis akut biasanya tedjai pada anak
walaupun pada dewasa yang memiliki kelemahan pada imunitas, infeksi juga dapat terjadi.
Infeksi pada tulang terjadi cukup cepat akibat karakteristik tulang yang memiliki
kompartemen yang lebih pada daripada jaringan lunak lainnya. Daerah predileksi untuk
osteomyelitis yaitu pada daerah tulang panjang seperti femur, tibia dan humerus.
Karakteristik umum adalah infeksi terjadi pada region metafisis tulang. Portal of entry
adalah infeksi sekunder akibat penyebaran sekunder dari infeksi saluran pernapasan atau
laryngitis dan dapat pula berasal dari infeksi pada kulit akibat luka terbuka. Bakteri utama
yang sering diidentifikasi adalah Staphylococcus aureus dan Streptococcus β-haemolyticus.
Patofisiologi dari perjalanan osteomyelitis akut ditandai dengan progresi dari
inflamasi hingga fase supuratif, fase nekrotik, fase pembentukan tulang baru kemudian fase
resolusi atau perjalanan kornik yang tergantung pada tatalaksana.
1. Fase inflamasi
Fase ini ditandai oleh reaksi inflamasi pada fokus infeksi. Reaksi inflamasi
menyebabakan kongesti vascular akibat inflitrasi dari sel PMN dan eksudat. Karena
kompartemen tulang yang lebih padat dan tidak dapat berekspansi untuk
mengakomodasi pembengkakan, terjadi peningkatan tekanan intraoseus yang
menyebabkan rasa nyeri terus menerus.
2. Fase nekrotik
Peningkatan tekanan intraoseus dan kongesti vascular diperparah oleh pembentukan
pus dan menyebabkan thrombus yang lebih lanjut sehingga terjadi nekrosis tulang.
Dari titik ini, infeksi yang tidak ditangani dapat menyebabkan penghancuran tulang/
osteolitik atau menyebar melalui peredarah darah menyebabkan septisemia yang
ditandai oleh demam dan malaise. Pembentukan pus dapat mendorong periosteal dan
membentuk abses subperiosteal. Abses lebih terlihat pada pasien anak karena pda
anak daerah periosteum tidak terlalu menempel pada tulang.
3. Fase pembentukan tulang baru (periosteal new bone formation)
Pembentukan jaringan nekrotik tulang terus berlangsung yang diperparah oleh toxin
dari bakteri dan enzim leukosit. Area ini kemudian terpisah dari jaringan sehat dan
membentuk suatu fragmen yang disebut sequestrum. Selanjutnya terbentuk formasi
periosteum baru yang menyelimuti daerah sequestrum, yang disebut involucrum. Dari
involucrum dapat terbentuk sinus menuju kulit yang menyebabakan keluarnya
rembesan dari sequestrum.
4. Fase resolusi
Pada tahap ini, progresi penyakit ditentukan oleh tatalaksana yang didapat. Apabila
infeksi ditangani dengan baik, maka terjadi penyembuhan tulang walaupun deformitas
tulang akan tetap ada. Apabila proses infeksi terus berlanjut, pus dan debris dari
jaringan nekrotik akan tetap keluar dari sinus yang persisten dan osteomyelitis kronik
akan terjadi sebagai komplikasi lanjut.
Figure 1 Proses yang terjadi pada osteomyelitis akut
A: Infeksi local yang membentuk abses subperiosteal
B: Pembentukan sequestrum
C: Pembentukan involucrum dan jalur sinus

Komplikasi pada osteomyelitis akut dibagi menjadi komplikasi awal dan komplikasi
lanjutan. Komplikasi awal meliputi kematian akibat sepsis, pembentukan abses, dan artritis
septik. Kamplikasi lanjutan meliputi osteomyelitis kronik persisten atau rekuren, fraktur
patologis pada daerah yang lemah, kontraktur sendi dan perkembangan tulang yang
terganggu.

Osteomyelitis Kronik
Osteomyelitis kronik biasanya merupakan sequel dari osteomyelitis akut terutama pada
pasien dewasa dan sering ditemukan setelah kasus fraktur terbuka atau tindakan operasi.
Setelah terjadi osteomyelitis akut dan tidak terobati, infeksi menetap pada bagian dalam
tulang. Sequestrum bersama dengan bakteri dan jaringan parut mencegah mekanisme
pertahanan imunitas untuk membersihkan area sehingga area infeksi dapat berkembang ke
daerah sekitar.
Kavitas dalam tulang juga terbentuk, biasanya berisi pus dan sequestra yang
dikelilingi oleh jaringan vascular dan diluarnya diselubungi oleh involucrum. Karena jaringan
vascular tidak dapat menembus sequestrum, jaringan tulang yang mati tidak dapat
direabsorpbsi dan sequestrum akan menetap dan mempertahankan infeksi hingga terjadi
perforasi dari involucrum akibat peningkatan tekan jaraingan di luar. Setelah terjadi perforasi,
sinus dapat terbentuk yang mengalirkan pus ke luar. Sinus dapat menutup sendiri namun akan
kembali terbuka bila tekanan meningkat. Kerusakan pada tulang dan peningkatan jaringan
nekrotik tulang juga dapat menyebabkan fraktur patologis.
Diagnosis Osteomyelitis
Diagnosis osteomyelitis dapat ditentukan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Manifestasi klinis pada kasus osteomyelitis berhubungan dengan patogenesis dan
perjalanan penyakit. Gejala-gejala awal osteomyelitis adalah nyeri pada bagian yang
terinfeksi. Pasien anak terutama akan merasakan nyeri yang semakin lama semakin memberat
dan biasanya anak akan menolak disentuh pada bagian yang nyeri. Setelah 24 jam, demam,
malaise, dan anorexia akan mulai muncul. Bengkak (soft-tissue swelling) baru muncul setelah
1 minggu infeksi sudah menyebar ke luar jaringan tulang. Pada anamnesis perlu ditanyakan
riwayat infeksi dalam waktu dekat. Riwayat trauma, operasi, pemasangan hardware pada
tulang penting untuk menentukan faktor risiko dan fokus infeksi.
Pada kasus osteomyelitis kronik, keluhan sistemik tidak muncul namun bagian tulang
yang terinfeksi tetap terasa nyeri disertai dengan bengkak, kadang kala terdapat hilangnya
fungsi gerak dan tampak sinus yang secara aktif mengeluarkan cairan.
Pemeriksaan laboratorium biasanya menunjang tanda-tanda inflamasi seperti
pemeriksaan hitung leukosit, hitung jenis, laju endap darah (LED) dan c-reactive protein
(CRP). Kultur aspirasi pus atau biosi jaringan dari abses periosteal, pemeriksaan gram dan
kultur darah penting dilakukan untuk identifikasi mikroorganisme. CRP biasanya neingkat
dalam waktu 12-24 jam sedangkan LED meningkat dalam 24-48 jam setelah gejala muncul.
Peningkatan LED yang persisten dalam waktu yang lama mengacu pada infeksi kronik.
Pemeriksaan radiologis yang menunjang diagnosis antara lain pemeriksaan foto polos,
USG dan MRI. Pada pemeriksaan foto polos, yang perlu diidentifikasi adalah soft-tissue
swelling, tanda osteolitik, dan pembentukan periosteal new bone formation. Tanda-tanda
osteomyelitis tidak akan tampak pada minggu pertama setelah keluhan muncul. Setelah
minggu pertama, soft-tissue swelling dapat terlihat pada pemeriksaan roentgen dan USG. New
bone formation terlihat 1-2 minggu setelah gejala muncul. MRI berguna dalam membedakan
jaringan lunak dan jaringan tulang yang terinfkesi dan penentuan sejauh mana infeksi meluas
Pada kasus kronik, tanda-tanda tampak terlihat jelas. Sequstrum dapat ditemukan, disertai
dengan periostel new bone formation dan abscess. Lesi osteolitik juga dapat ditemukan.
Diagnosis diferential dari penampakan antara lain neoplasma tulang yaitu osteosarcoma dan
Ewong’s sarcoma.
Tatalaksana Osteomyelitis
Prinsip tatalaksana pada osteomyelitis baik akut maupun kronik adalah:
1. Tatalaksana nyeri dan terapi suportif untuk dehidrasi
2. Istirahat pada daerah yang terkena dengan menggunakan splint atau cast
3. Identifikasi mikroorganisme penyebab dan terapi antibiotik yang sesuai
4. Drainase pus dan eradikasi jaringan nekrotik dan avascular dengan tindakan surgikal
5. Stabilisasi tulang bila terjadi fraktur
6. Menutup dead space tulang
7. Tatalaksana jaringan sekitar dan kulit luar

Terapi antibiotik yang rasional sangat penting dalam tatalaksana osteomyelitis. Terapi
antibiotic sebaiknya disesuaikan dengan hasil kultur. Faktor lainnya seperti usia pasien,
resistensi dari mikroorganisme, fungsi ginjal dan derajat septicaemia harus dipertimbangkan.
Pada pasien anak, terapi antibiotik yang disarankan adalah antibitik penicillin-resistant
seperti cloxacillin, flucloxacillin dan sefalosporin generasi tiga seperti cefotaxime atau
cefuroxime. Pada pasien dewasa dengan infeksi staphylococcus, antibiotik flucloxacillin dan
asam fusidat dapat diberikan secara intravena sedangkan infeksi streptococcus dapat diberikan
benzylpenicillin. Apabila terdapat alergi terhadap penisilin, sefalosporin generasi dua atau tiga seperti
cefepime dan ceftriaxone dapat diberikan. Pasien geriatri lebih rentan terhadap infeksi bakteri gram
negatif shingga antiobiotik yang diberikan dapat berupa kombinasi dari kedua antibiotic yang telah
disebut. Terapi antibiotik diberikan selama 2-4 minggu dengan memperhatikan kondisi klinik pasien
dan nilai CRP.
Drainase pus biasanya dilakukan apabila dalam 36 jam setelah terapi antibiotik dimulai gejala
tidak membaik atau terdapat pus pada aspirasi. Sinus dapat ditutup dengan dressing biasa sedangkan
abses memerlukan insisi dan drainase. Jaringan nekrotik dan jaringan terinfeksi harus dibersihkan
dengan debridement terutama kasus kronik. Implan atau hardware yang tertinggal harus diambil
untuk mencegah komplikasi. Dead space dapat dihilangkan dengan bone-graft dan defek pada
jaringan lunak dapat ditutup dengan skin graft.
BAB III
DISKUSI

Pasien datang dengan keluhan utama keluar cairan kekuningan dari bekas luka operasi
sejak 2 tahun yang lalu. Dari keluhan utama ini, yang dipikirkan adalah suatu kejadian yang
bersifat kronik karena suadh terjadi dalam waktu yang cukup lama. Dari anamnesis yang
lebih lanjut ditemukan bahwa pernah terjadi fraktur pada daerah kaki dan sudah dilakukan
berbagai tindakan operasi pada daerah tersebut. Hal ini merupakan salah satu faktor resiko
pada kasus infeksi.
Pasien menyebutkan bahwa pernah dipasang pen maupun implan dan grafting,
kemudian terdapat penyembuhan tulang tidak sempurna dan bekas luka terus-menerus
merembeskan cairan tanpa adanya luka terbuka. Pada operasi yang kesekian kali juga
ditemukan pen yang tertinggal. Terdapat tanda-tanda kemerahan dan bengkak namun nyeri
dan kesulitan mobilisasi disangkal. Keluahn demam, malaise, dan penurunan nafsu makan
juga disangkal. Salah satu faktor resiko dari terjadinya osteomyelitis kronik adalah adanya
implan atau hardware ynag tertinggal dan menyebabkan infeksi persisten, dalam kasus ini
adalah pen dalam. Kemudian, manifestasi klinis yang ditunjukkan sesuai dengan tanda-tanda
inflamasi kronik yaitu kurangnya gejala sistemik dan lebih menunjukkan pada gejala lokal.
Keluarnya rembesan yang terus menerus tanpa adanya luka terbuka juga merupakan tanda
khas dari osteomyelitis kronik.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan terdapat edema dan kemerahan pada kulit.
Pemeriksaan laboratorium tidak menunjukkan tanda-tanda inflamasi karena peningkatan
leukosit memang jarang ditemukan pada kasus osteomyelitis kronik. Pemeriksaan CRP dan
LED tidak dilakukan namun dapat disarankan pada pasien untuk menunjang diagnosis.
Sedangkan pemeriksaan radiologis sangat menggambarkan lesi osteomyelitis kronik yaitu
adanya formasi periosteal, peningkatan deformitas daerah epimetadiafisis, penurunan densitas
tulang, dan penebalan jaringan lunak. Abses tidak tampak pada gambaran radiologis,
kemungkinan karena sudah terdrainase keluar.
Berdasarkan hasil-hasil di atas, pasien dapat didiagnosis dengan osteomyelitis kronik.
Tatalaksana pada pasien meliputi debridemen jaringan terinfeksi, drainase pus dan terapi
antibiotik. Sequestrectomi dapat dilakukan apabila ditemukan sequestrum dan daerah
terinfeksi dapat diberikan aliran larutan salin bercampur antibiotik. Bone-graft dan skin-graft
dapat dilakukan untuk menutup defek pada jaringan.
Terapi empiris yang diberikan berupa kombinasi asam fusidat, penicillin dan
sefalosporin generasi tiga karena pasien sudah geriatri dan pertimbangan dari osteomyelitis
yang rekuren. Kultur pus dan jaringan dapat dilakukan untuk mengidentifikasi bakteri.
Antibiotic yang diberi antara lain ceftriaxone dan ampicillin-sulbactam atau penicillin G.
Apabila pasien alergi terhadap penicillin, clindamisin dapat diberikan. Antibiotic diberikan
selam 3-4 minggu dan dievaluasi keadaan infeksi. Tatalaksana lain berupa tirah baring dan
istirahat pada daerah yang terkena. Rehabilitasi medik dapat disarankan setelah penyembuhan
tulang sudah cukup baik untuk meningkatkan kekuatan tulang dan otot.
REFERENSI

1. Solomon LH, Srinivasa H, Tuli S, Govender S. Infection. In: Solomon L, Warwick D,


Nayagam S, editors. Apley’s system of orthopaedics and fractures. 9th ed. London:
Hodder education; 2010.

2. Salter RB. Inflammatory disorders of bones and joint. In: Txtbbook of disorders and
injuries of the musculoskeletal system. 3rd ed. London: Lippincott Williams and
Wilkins; 2009.

3. Hatzenbuehler J, Pulling TJ. Diagnosis and management of osteomyelitis. Am Fam


Physician. 2011;84:1027-33.

Anda mungkin juga menyukai