Aik 4
Aik 4
La Jamaa
Fakultas Syariah IAIN Ambon
Jl. Dr. H. Tarmizi Taher Kebun Cengkeh Batu Merah Atas Ambon
E-mail: lajamaa26@gmail.com
Abstract: Domestic Violence in Fiqh Perspective. This study intends to explore the views of Islamic Jurists against
domestic violence and their perspective in preventing the violence in the house hold. According to Islamic jurisprudence,
domestic violence committed by a husband to his wife is against law. The violence itself can be implemented by many
forms such as physical, psychological, sexual, as well as economic violence. In order to give lesson, a husband is
allowed to beat his wife, if only not hurting her. On the other hand, a husband is obliged to fulfill economical,
pschychological and sexual needs of his wife. As a preventive measure, jurisprudence offer measures, such as
choosing a devout husband or wife to be maried and preventing children become a target of domestic violence.
Keywords: islamic jurisprudence, nushūz, domestic violence
Abstrak: Kekerasan dalam Rumah Tangga Perspektif Fikih. Studi ini bermaksud menggali pandangan ulama
fikih terhadap kekerasan dalam rumah tangga dan bagaimana upaya preventif dari tindak kekerasan dalam
rumah tangga tersebut. Menurut fikih Islam, kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan suami kepada
istri adalah haram hukumnya, baik kekerasan fisik, psikis, seksual, maupun ekonomi. Karena itu dispensasi
suami memukul istri yang nusyu hanyalah upaya edukatif namun tidak boleh menyakiti istri. Suami
diharamkan mengancam, mengabaikan nafkah batin, nafkah lahiriah, serta kebutuhan seksual istrinya.
Sebagai langkah preventif, fikih menawarkan langkah-langkah, antara lain memilih calon suami atau istri
yang taat beragama dan menghindarkan anak dari suasana kekerasan dalam rumah tangga.
Kata Kunci: fikih Islam, nusyu, kekerasan dalam rumah tangga
Pendahuluan ekonomi.
Pada prinsipnya Sebuah penelitian
Islam melalui Alquran terhadap tindak
dan Hadis kekerasan dalam rumah
memerintahkan suami tangga yang disidangkan
agar bergaul dengan Pengadilan Negeri
istri secara ma‘rūf serta Ambon diketahui bahwa
bersabar terhadap bentuk kekerasan yang
tindakan-tindakan istri dialami korban (istri
yang tidak disukainya. pelaku) adalah kekerasan
Dalam konteks ini relasi fisik, kekerasan psikis,
suami dan istri adalah dan kekerasan ekonomi.
relasi dua hati dan dua Dari sembilan putusan
jiwa untuk mewujudkan Pengadilan Negeri
kebahagiaan rumah Ambon tahun 2007 s.d.
tangga. Di samping itu 2011 yang dijadikan
Islam datang sampel penelitian
mengemban misi utama menunjukkan, kekerasan
untuk pembebasan, fisik sebanyak tujuh
termasuk pembebasan kasus (77,78%),
dari kekerasan, menuju kekerasan psikis
peradaban yang sebanyak satu kasus
(11,11%), dan kekerasan
egaliter.1
ekonomi sebanyak satu
Namun, realitas
kasus (11,11%).2
menunjukkan bahwa
banyak istri yang Kondisi ini diperparah
mengalami kekerasan oleh pandangan yang
dalam rumah tangga bias gender yang
yang dilakukan suaminya memahami bahwa
sendiri. Dari informasi Alquran membenarkan
media massa, baik media suami melakukan tindak
cetak maupun media kekerasan fisik kepada
elektronik, diketahui istri yang nusyu.
bahwa kekerasan dalam Bahkan, Muḥammad
rumah tangga telah Nawāwī al-Bantanī
memprihatinkan. membolehkan suami
Kekerasan yang memukul istrinya jika istri
dilakukan suami kepada tidak berhias sesuai
istri beragam bentuknya, keinginan suami,
yakni: kekerasan fisik, menampakkan
kekerasan psikis,
2
kekerasan seksual, dan Hasil pengolahan data
dari Putusan Pengadilan
kekerasan Negeri Ambon Nomor:
346/PID.B/2008/PN.AB;
Naskah diterima: 27
355/PID.B/2008/PN.AB; 56/
Oktober 2012, direvisi: 16
PID.B/2008/PN.AB;
Desember 2012, disetujui
368/PID.B/2009/PN.AB;
untuk terbit: 2 Januari
292/PID.B/2010/ PN.AB;
2013.
1 23/PID.B/2010/PN.AB;
Nurul Huda SA, Cakrawala
132/PID.B/ 2011/PN.AB; 88/
Pembebasan Agama,
PID.B/2007/PN.AB; dan
Pendidikan dan Perubahan 406/PID.B/2009/PN.AB.
Sosial, (Yogyakarta: Fajar
Pustaka Baru, 2002), h. 73.
66 Ahkam: Vol. XIII, No. 1, Januari 2013
wajahnya kepada orang lain, atau keluar rumah tanpa 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam
3
izin. Pandangan ulama harus dipahami sebagai hasil Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap
ijtihad yang keberlakuannya dalam masyarakat tidaklah seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya
bersifat mutlak dalam segala ruang dan waktu. Karena itu kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
konsep ”nusyu” dan ketentuan ”suami memukul istri yang psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga
nusyu” dalam Alquran perlu dipahami secara kontekstual termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
agar ajaran Islam senantiasa dapat dirasakan sebagai pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara
pelindung dan pemberi kedamaian dalam relasi istri melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. 8 Dengan
dengan suaminya. demikian kekerasan dalam rumah tangga merupakan
Demikian pula pandangan fikih mengenai kewajiban salah satu tindak pidana (jarīmah) yang tidak hanya
istri memenuhi kebutuhan biologis suaminya tidak harus sekadar urusan pribadi antara suami istri namun telah
dimaknai berlaku dalam kondisi apapun. Karena itu Hadis berkembang menjadi ranah publik.
yang menginformasikan bahwa malaikat akan mengutuk Dari penjelasan Undang-undang di atas dapat
istri jika tidak bersedia melayani kebutuhan seksual dipahami bahwa tindakan seseorang baru dapat
suaminya,4 perlu dipahami secara tepat pula. Karena diklasifikasikan sebagai kekerasan dalam rumah tangga
dalam realitasnya, ada suami yang memaksa istri jika tindakan tersebut menimbulkan kesengsaraan atau
melayani hasrat seksualnya pada saat istri haid, nifas, penderitaan baik secara fisik, seksual, pikologis, maupun
atau melakukan anal seks (dubur).5 Ada juga suami yang ekonomi, serta dilakukan oleh seseorang terhadap orang
mengawali hubungan seksual dengan kekerasan fisik, lain dalam lingkup rumah tangga. Tegasnya, antara
sehingga istri merasa diperkosa oleh suaminya sendiri, 6 pelaku dengan korbannya terdapat hubungan hukum
bahkan ada suami yang memaksa istri menjadi pelacur. dalam lingkup rumah tangga, misalnya suami kepada istri
Di samping itu banyak suami yang tidak bertanggung atau sebaliknya, orang tua kepada anak atau sebaliknya,
jawab terhadap kebutuhan sandang dan pangan anggota majikan terhadap pembantu rumah tangga atau
keluarga, sehingga anak istrinya menjadi terlantar. 7 sebaliknya, serta pihak lain yang berada dalam
Berdasarkan uraian di atas, tindak kekerasan dalam tanggungjawabnya. Jika tidak memenuhi unsur-unsur
rumah tangga yang dilakukan suami kepada istri perlu dimaksud, maka tindakan tersebut bukanlah kekerasan
dianalisis dari perspektif fikih Islam. Karena tidak sedikit dalam rumah tangga.
pelaku kekerasan dalam rumah tangga adalah Menurut Pasal 5 Undang-undang tersebut bentuk
Muslim. Penelitian ini bertujuan untuk membangun kekerasan dalam rumah tangga ada empat, yakni:
pemahaman yang benar bahwa hukum Islam anti kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan
kekerasan dalam rumah tangga. Di samping itu agar penelantaran rumah tangga (kekerasan ekonomi). 9
pelaku dapat menyadari kekeliruannya sekaligus Kekerasan fisik adalah perbuatan yang
dapat memberikan advokasi terhadap korban mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.
kekerasan dalam rumah tangga yang selama ini belum Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan
mendapatkan perlindungan hukum yang maksimal. ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/
Kekerasan dalam Rumah Tangga
atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Yang dimaksud kekerasan dalam rumah tangga Kekerasan seksual adalah pemaksaan hubungan
menurut pasal 1 butir 1 Undang-Undang RI Nomor seksual yang dilakukan terhadap orang yang
menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut atau
3 Lihat Muḥammad Nawāwī al-Bantanī, Sharḥ ‘Uqūd al-Lujjayn
fī Bayān al-Ḥuqūq al-Zawjayn (Surabaya: Dār al-‘Ilm, t.t.), h. 5. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah
Nawāwī al-Bantanī tidak bermaksud meligitimasi kekerasan fisik seorang dalam lingkup rumah tangga dengan orang
suami kepada istri, sebab pada bagian lain beliau mencantumkan lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Hadis-hadis yang menghargai perempuan, serta mengemukakan
agar suami memperlakukan istrinya dengan baik. Sedangkan kekerasan ekonomi adalah
4 Lihat Abū al-Ḥusayn Muslim ibn al-Ḥajjāj al-Qushayrī menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya,
al-Naysaburī, Ṣaḥiḥ Muslim, (Bayrūt: Dār al-Fikr, 1992 M/
padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
1412 H), Juz I, h. 663.
5Titiana Adinda, Kekerasan Terhadap Perempuan, persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan
(Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2008), h. 34.
6 Fathul Djannah, dkk., Kekerasan Terhadap Istri (Yogyakarta:
kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada
LKiS, 2007), h. 48.
8 Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 23
7 Sulistyowati Irianto dan L.I. Nurtjahyo, Perempuan di
Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Persidangan Pemantauan Peradilan Berperspektif
Tangga (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 2.
Perempuan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), h. 65. 9 Fathul Djannah, dkk., Kekerasan Terhadap Istri, h.
31.
14 Abu Yasid (ed.), Fiqh Realitas Respon Ma’had Aly Terhadap
Wa-
Ayat ini diturunkan untuk merespons permasalahan perantara itu tidak berlaku menurut syariat jika menurut
yang timbul dari Sahabat Sa‘ad ibn Rābi‘ pada saat pemikiran tidak akan menghasilkan maksudnya. 24 Jadi,
istrinya yang bernama Ḥabībah bint Zayd ibn Khārijah suami tidak boleh memukul istri hanya berdasarkan
ibn Abī Zuhayr durhaka, kemudian dia dipukul. Ayah emosinya semata, baik akibat mabuk, kalah judi, maupun
Ḥabībah tidak terima perlakuan Sa‘ad lalu diadukan kebencian semata kepada istri. Karena itu meskipun
kepada Rasulullah Saw., seraya berkata, ”Betapa suami diizinkan memberi penyadaran kepada istri dengan
rendahnya saya ini, karena suami anakku telah pukulan, namun suami tidak bisa memukul istri dengan
menampar wajahnya.” Rasulullah Saw. bersabda, cara-cara yang mengarah kepada kekerasan fisik. Karena
”Balaslah!” Namun sebelum Ḥabībah membalas pada ujung ayat nusyu (Q.s. al-Mā’idah [5]: 34) itu
tamparan suaminya, turunlah ayat di tersebut. 20 terdapat ancaman terhadap orang-orang yang berbuat
Keputusan Nabi Saw., membolehkan Ḥabībah melampaui batas terhadap istrinya.
membalas pukulan suaminya, mendapat protes kaum Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa pukulan
laki-laki di Madinah. Hal itu menunjukkan kuatnya kepada istri yang membangkang adalah pukulan ringan
dominasi kaum laki-laki di masa turunnya ayat ini.21 dengan menggunakan alat yang ringan pula, seperti sikat
Jadi, jika istri berbuat durhaka, suami harus gigi atau sejenisnya. Jadi, pukulan tersebut bukan
melakukan beberapa usaha perbaikan secara pukulan yang menindas, menyiksa, dan menyakiti istri,
bertahap. Pertama, menasihati dan mengingatkan apa tetapi pukulan yang mendidik, menyadarkan, dan
yang harus dilaksanakannya. Juga mengingatkan istri membina akhlak istri, dan bukan pukulan kekerasan dan
bahwa durhaka kepada suami akan menimbulkan membinasakan fisik istri. Cara-cara semacam itu akan
akibat yang tidak baik di dunia dan akhirat. Kalau direspons dengan baik oleh istri, sebab dia tidak
usaha ini gagal, melangkah pada usaha selanjutnya. merasakan adanya kekerasan fisik dari suaminya.
Kedua, pisah ranjang, membiarkan istri tidur sendiri, Sebaliknya, jika suami yang melakukan pembangkangan,
tidak ditemani hingga damai. Sebab pada umumnya maka istri harus mencari sumber penyebabnya. Karena
perasaan istri akan guncang ketika ditinggal sendiri. sebagai manusia suami kadang-kadang sengaja
Jika sampai di sini istri masih membangkang, melakukan selingkuh dengan wanita lain sehingga
dilakukan usaha terakhir. Ketiga, memukulnya dengan istrinya marah. Hal ini bisa saja terjadi pada saat istri
batas tidak sampai mengakibatkannya jatuh sakit. sakit, tidak menarik lagi dalam pandangan suami,
Pukulan yang beradab, bukan pukulan yang biadab.22 sehingga suami cenderung murung, tidak peduli pada
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa dispensasi apa yang dilakukan istri, enggan berbicara, dan kadang-
Alquran kepada suami memukul istri, hanya berlaku kadang meremehkan dan menghina istrinya. Karena itu
dalam kondisi darurat, dan kondisi darurat itu harus dibutuhkan keterlibatan pihak ketiga untuk mendamaikan
diukur menurut ukurannya. Tindakan tersebut juga kedua belah secara adil, yakni masing-masing seorang
merupakan sarana pendidikan yang bersifat insidental juru damai dari pihak istri dan seorang dari pihak suami,
sebagai suatu pengecualian ketika upaya nasihat dan yang biasa dikenal dengan ḥakamayn, sesuai ketentuan
pisah ranjang gagal menyadarkan kekeliruan istri. 23 dalam Alquran berikut ini:
Dengan kata lain, suami harus yakin bahwa pukulan
اممَكَحعَوَ َنهلِِيهنَْععأَي َننعع َامم ََكعَح َاهوثَُعععبَ�ينعَافَ َاَم نهنْينْيععبَ�َ َقعاَقَ ن
ِّش َمينْهتيفنْ عنخي َنعنعإَِو َنعاََك ََهّلِِل َننعإ
itu akan berfungsi sebagai jalan untuk mencapai
tujuannya yaitu perbaikan dan hukuman terhadap hawa صيإِنْ َاديعَهنريَي َننإِ َا َنهلِِيهَنْأَي َنن
امهنُ�َبيينْبَ�َ َهّلِِل َقّنفوَيَ�ه َاحلَِِ ن
م َ ه َه
nafsu yang bersemayam pada jiwa si istri yang nusyu. َبخَ َامينلِِعمن
اير م
Jika tidak berhasil, maka suami harus menghentikannya, Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara
sebab yang dimaksudkan dari pemukulan hanya sebagai keduanya maka kirimlah seorang ḥakam dari keluarga
perantara untuk mewujudkan perbaikan. Sedangkan laki-laki dan seorang ḥakam dari keluarga perempuan.
Jika kedua orang ḥakam itu bermaksud meng-adakan
20 Abū ‘Abd Allāh Muḥammad ibn Aḥmad al-Anṣārī al- perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami
Qurṭubī, Al-Jāmi‘ Aḥkām al-Qur’ān, (Bayrūt: Dār al-Kutub istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
al-‘Ilmiyyah, 1993 M/1413 H), Jilid III, Juz VI, h. 110. Lihat Maha Mengenal. (Q.s. al-Nisā’ [4]: 35)25
pula Abū Bakr Muḥammad ib ‘Abd Allāh ibn al-‘Arabī, Aḥkām
al-Qur’ān, (Bayrūt: Dār al-Ma‘rifah, t.th.), Juz I, h. 415. Mengingat urgensi ḥakamayn ini, maka jika dari
21 Lihat Mansour Fakih, Analisis Gender & keluarga suami istri itu tidak ada orang yang pantas
Transformasi Sosial, (Y - gyakarta: Pustaka Pelajar, 2006),
Cet. X, h. 133. menjadi juru damai, maka bisa dikirim orang lain yang
22 Yūsuf al-Qaraḍawī, Hādī al-Islām Fatāwā
Mu‘āṣirah, terj. As’ad Yasin, Fatwa-Fatwa Kontemporer, 24 Abū Zakariyyā Muḥy al-Dīn ibn Sharf al-Nawāwī, al-
(Jakarta: Gema Insani Press, 1999), Jilid I, Cet. I, h. 500- Majmū’ Sharḥ al-Muhadhdhab, (Bayrūt: Dār al-Fikr, t.th.), Juz XVI, h.
501. 449.
23 Al-Khāṭib al-Sharbinī, Mughnī al-Muḥtāj, (Bayrūt: 25 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.
109.
Dār al-Fikr, t.th.), Juz III, h. 123.
La Jamaa: Kekerasan dalam Rumah Tangga Perspektif Fikih
69
melindungi istri dari tindakan kekerasan yang Menurut M. Quraish Shihab, kata ḍaraba memiliki
mungkin dilakukan suaminya. Karena konflik banyak arti. Orang yang bepergian (musafir)
rumah tangga tersebut sangat terbuka peluang disebutkan dalam Alquran dengan ḍaraba fi al-arḍ.34
suami melakukan kekerasan kepada istrinya. Jelasnya, ḍaraba dalam Alquran mempunyai beberapa
Di samping itu, dispensasi pukulan mendidik istri makna, antara lain: menimpa, meliputi, bepergian,
nusyu itu tidak boleh dilakukan secara semena-mena memukul, perumpamaan, menutup, dan membunuh.
oleh suami. Dalam hal ini Ibn Ḥajar al-Asqalanī (773-852 Dari makna-makna tersebutlah kemudian sebagian
H) mengatakan bahwa secara global memukul istri itu ulama tafsir memahami makna ḍaraba bukan secara
dibolehkan dengan tujuan mendidiknya bila suami harfiahnya namun lebih kepada makna metaforis
melihat sikap istri yang tidak disukainya sementara sehingga tidak terkesan Alquran menoleransi kekerasan
keharusan istri menaatinya. Namun jika dirasa dengan yang dilakukan suami kepada istrinya. Karena itu menurut
ancaman saja sudah cukup, maka yang demikian itu Muḥammad ‘Abduh (1849-1905 M), yang dimaksud
lebih baik. Jika tujuan sudah bisa dicapai dengan isyarat, ḍaraba bukanlah makna harfiahnya yang berkonotasi
maka tidak usah dengan tindakan. Hal ini karena penganiayaan atau kekerasan fisik, melainkan dalam
tindakan pukulan bisa menyebabkan terjadinya makna metaforisnya, yakni “mendidik” atau “memberi
pertentangan yang merusak hubungan suami istri, pelajaran”. Menurut ‘Abduh, memukul istri bukan perintah
kecuali dalam urusan yang berkaitan dengan maksiat menganiaya istri, sebab itu harus ditakwilkan sebagai
upaya memperbaiki perilaku atau akhlak tercela
kepada Allah.29 Pukulan kepada istri yang membangkang
dari istri (ْجاتيح َرَمأَ َوهفَ َليوَ َأتل َلىا َجاتيفركنْتسلِِمارَملنابِ َت سَيلَ َءاسنْل َبرض ََ َي َن
َ ه ْين
hanyalah sarana edukatif dan pembinaan akhlak istri, dan
bukan tujuan. Hal yang menjadi prioritas utama adalah 30 Lihat al-Qurṭubī, Al-Jāmi‘ Aḥkām al-Qur’ān, Juz VI, h.
terwujudnya tujuan, yaitu ”kesadaran istri atas 113.
31 Muḥammad Rashīd al-Uwayyid, Min Ajl Taḥrīr Ḥaqīqī li al-
26 Abū al-Walīd Muḥammad ibn Aḥmad ibn Muḥammad ibn Mar’ah, terj. Ghazali Mukri, Pembebasan Perempuan, (Yogyakarta:
Aḥmad ibn Rushd al-Qurṭubī al-Andalūsī, Bidāyah Mujtahid wa ’Izzan Pustaka, 2002), Cet. I, h. 2.
Nihāyah al-Muqtaṣid, (Semarang: Toha Putra, t.th.), Juz II, h. 74. 32 Al-Khaṭīb al-Sharbinī, Mughnī al-Muḥtāj, (Bayrūt:
27 Abū Ḥāmid Muḥammad ibn Muḥammad al-Ghazālī, Dār al-Fikr, t.th.), Jilid III, h. 360.
Iḥyā’ ’Ulūm al-Dīn, (Bayrūt: Dār al-Fikr, 1991 M/1411 H), Juz 33 Al-Rāghib al-Asfahanī dalam Ashgar Ali Engineer, The
II, Cet. III, h. 55-56. Qur’an Women and Modern Society, terj. Agus Nuryatno,
28 Ismā‘īl Ḥaqqī al-Buruswī, Tafsīr Rūḥ al-Bayān, terj. Pembebasan Perempuan, (Yogyakarta: LKiS, 2007), Cet. II, h. 71.
Syihabuddin, Terjemah Tafsir Ruhul Bayan, (Bandung: CV 34 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta:
Diponegoro, 1996), Juz V, Cet. I, h. 75. Lentera Hati, 2005), Vol. II, Cet. II, h. 431. Makna ḍaraba secara
29 Aḥmad ibn ‘Alī ibn Ḥajar al-Asqalānī, Fatḥ al-Bārī bahasa antara lain berarti bepergian, melakukan sesuatu,
Sharḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, (Bayrūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, bergerak. Lihat Abū al-Faḍl Jamāl al-Dīn Muḥammad ibn Mukrim
1989 M/1410 H), Juz IX, Cet. I, h. 379. ibn Manẓūr al-Afrīqī al-Miṣrī, Lisān al-’Arab, ((Bayrūt: Dār ṣadr,
1990 M/ 1410H), Juz I, Cet. I, h. 544-545.
70 Ahkam: Vol. XIII, No. 1, Januari 2013 keluar dari rumah: و َل َو َهجوَل َبرضِت َل.َ حبقت َ َتيبل َفَ َلا َرَجته َل َو. Abū
Dāwūd,
Sunan Abū Dāwūd, (Indonesia: Maktabah Dahlan, [t.th.]),
35
َ (َ ةدسافل َقلِِخلا َةبلِِغ َو َةئيبل َداسفَ َلحا َف Jilid I, h. 475.
Perlu dijelaskan, walaupun ada sejumlah ulama dan 37
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Al-Tafsīr al-Kabīr (Mafātīh al-Ghayb),
mufassir yang menggunakan makna “memukul” dalam (Bayrūt: Dār al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1990 M/1410 H), Jilid V,
pengertian fisik, namun tindakan itu hanya dibolehkan Juz X, h. 73.
38 Muḥammad Rashīd al-Uwayyid, Min Ajl Taḥrīr
dalam kondisi yang sangat terpaksa (darurat), bukan Ḥaqīqī li al-Mar’ah, h. 6-7.
bersifat anjuran, apalagi kewajiban. Selain itu, dalam 39 Al-Turmudhī, Sunan al-Turmudhī wa Huwa al-Jāmi’ al-
Ṣaḥīḥ,
melakukan pemukulan tersebut harus tetap menghindari
(Indonesia: Maktabah Dahlan, [t.th.]), Juz II, h. 315.
tindakan penganiayaan. Untuk itu, ada beberapa
ketentuan yang harus diperhatikan oleh suami jika
terpaksa memukul istrinya, di antaranya: (1) dilarang
memukul dengan menggunakan alat, seperti tongkat dan
sejenisnya; (2) dilarang memukul pada bagian wajah; (3)
dilarang memukul hanya pada satu bagian tertentu; dan
(4) dilarang memukul yang dapat menimbulkan cedera,
apalagi hingga cacat.36
Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa kalaupun
pemukulan secara fisik terpaksa dilakukan suami, namun
tidak dapat disalahgunakan sebagai penganiayaan. Suami
juga dilarang memukul istri pada tiga kondisi, yaitu: Pertama,
memukul istri tanpa melalui tahapan nasihat dan pisah
tempat tidur dengan istri.37 Kedua, memukul yang bersifat
dendam dan ingin menang sendiri.38 Ketiga, memukul yang
menyakitkan, karena pukulan yang dikehendaki ayat itu,
adalah pukulan mendidik, bukan pukulan keras yang dapat
meninggalkan bekas, atau sampai mematahkan tulang.
Nabi Saw. bersabda:
َّّ َّه
نْأَ َبأَ َنثدحا ن أيَّ� َ ن ْ�ونرَمع َنن ع نَاميلِِس
ّه ّّّّنّ ن َ َ َّ ْلقَا َصوَحلا ََّن
ََّ نْي َّنْيّ ه َنْيَ ََّ بِيّ نْيّ ي
ِب
َّملِِسو ىّلِِص هّلِِل نهيَلِِع نهّلِِل لنوَسر عم َعاديونل َةجح َدنهش
َّ ََّ َ ّهّ َ َنْي َّ َّّ َ ََّّ َّ َ َنّ َ ََّ َ َه َّ
َّحاي ّي َمف ن
َّ َّ َّّ َّّ َ
َث
صقَِّ َثُينندل َفَن مة ّن َرَكَذف ظعوَو رَكَذو َنهيَلِِع َنبثأَو َهلِِل ََد
َّ َنْي
ّه َّ َّّ ََّ َ َّ َّ َّ ََّ َ َّ َّ َّ
لأ َلَقفَ اوصوَت�ساو ءانّسنْنلبِ ارَبيخ اَننَإِفَ ه ّنْ نةاوع مكد َنع َ �َ
ّي
ْنْ ن َّ َ ي َّ ّ َ ّه ّم
َي َ ي َّ َّ ّه َ َّ ينْنَْ َي
َّّّ َّ ي ّه َسَيل
نلإِا ََكنلَِِذ َرَبيَغ َائيش َنبنْنم
ن ن ْن
َةةشٍحافبَ َنيتأَي أ نوَكنيلِِمت
َّ َّ َّ َّّنْي ََّّ َّ نْي َهَّّّ َ َنْيمّ ي َّّي
َي ْن
ن ن
ََ�ابرض َنوَبرضِاو َعجاضِيمنْل َفَ َنوَرَجهاَفَ َنيلِِنْعف ّنَف َإِا
م � ِب � ٍةن ة
ّّّ َّ م َ ّيّهّهّ ه ََّّ نّ َّ َّ نّ َّ يّنْ ه َه ْهَّّ نَّّ نْيّ َ ََّ ن
ّي
ْن
39
)يذمتل َهاورَ)…حربِ�م َرَبيَغ
ّّيَّّ هَ َنة
َي
Dari Sulaymān ibn ’Amr al-Aḥwaṣ, bapaknya
َّ ََّفَ َاللِِنل
حا
59 )نْ َله َأجرا َ(رَواه َمسلِِم
َ كا َ َإِانَذا َوضِعها َ ني
ّهّ ينْم َ ََ ََّ َّ
Dari Abū Dhar bahwa para sahabat Nabi Saw. berkata,
“Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah memiliki
kelebihan pahala yang tidak kami miliki. Mereka salat
seperti kami juga salat, mereka puasa seperti kami
puasa, mereka bersedekah dari kelebihan hartanya (dan
hal ini tidak miliki). Nabi Saw. menjawab, ”Bukankah
Allah telah menjadikan hal-hal lain sebagai sedekah.
Tiap tasbīḥ itu sedekah, tiap takbīr itu sedekah, setiap
taḥmīd itu sedekah, tiap tahlīl itu sedekah, amar ma‘rūf
itu sedekah, mencegah perbuatan munkar itu sedekah,
dan pada kemaluan setiap orang di antaramu itu ada
sedekahnya”. Para sahabat bertanya, ”Wahai Rasulullah,
apakah seseorang di antara kami apabila menyalurkan
syahwatnya mendapat pahala?” Rasulullah Saw
menjawab, ”Benar, bukankah apabila dia
menyalurkannya pada yang haram dia berdosa?
Demikianlah, ketika ia menyalurkannya pada yang
halal, maka ia mendapat pahala.” (H.r. Muslim)
Ahkam: Vol. 72
XIII, No. 1, Januari 2013
ْن َ
َّ
ْن ن َّ ن ن هلرل َاعد
َهتأَت َ َ�تابفَ بضَغ نا َهتأَرَما ن هشانرَفَ َ�َملِِف َانذإِا
ِلىإ
ََّّّ َّ نْي َّ ّنْي َّ َّنْي ََ َه َّّه ََّّ
60
)ملِِسم َهاورَ) َحبصت َتح
ّ ن َّ ةكنئِِلَِِيمنْل َاهبتنَْعلَ َاهبيَلِِع
َّ ّهّ َّ هّي َّ ََّ تي َ ََّ َ َيَي
ْن
Dari Abū Hurayrah R.a., berkata, Rasulullah Saw.
bersabda, “Apabila seorang suami mengajak istrinya
ke tempat tidurnya, tetapi istri tidak melayaninya,
kemudian suami tidur dalam keadaan marah
kepadanya, maka malaikat melaknatnya hingga pagi
hari (subuh). (H.r. Muslim)
Sikap suami yang memaksa istri melacurkan diri yang diemban suami yang harus dilaksanakan,
untuk tujuan komersil pada hakikatnya telah menjurus kecuali istri memberi kesempatan ditangguhkan
kepada pemaksaan untuk berzina bahkan perbudakan atau dimaafkan tidak dibayar atas kerelaan istri,
terhadap istri. Sedangkan pemaksaan melacurkan diri sesuai firman Allah berikut ini:
dan berzina dilarang dalam Islam. Memperbudak حَانج َلَومةضِيع نرفَ َنعّهروجهأَ َّن هوَتَآفَ َنعّهبينْنْنم َ ن
َهبَ َمنْهتيعنْت�َيمَنْتسيانْ َاَمف
ي ه ه َ ََ ه َ ه ه
seseorang, termasuk istri, sama artinya telah
اميمنلَِِع َناََك َ َّهلِِل َننّإِ َنةضِ َنيفيَنْل َنديعنْبَ�َي َنن َنهبَ َمينْ يهتنْيضَارَت�َ َامَنيفَ َمينْهكينْيَلَِِع
mematikan jiwanya. Walaupun ia masih bernyawa dan
َّ
beraktivitas, namun pada hakikatnya ia telah mati امينكَح
م
karena kebebasaannya telah hilang. … maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di
Begitu pula kekerasan seksual dalam rumah tangga, antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya
(dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan
berupa pemaksaan anal seks kepada istri (liwat). Karena tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang
anal seks secara medis bisa menimbulkan penderitaan kamu telah saling merelakannya. Sesungguhnya Allah
(rasa sakit) bagi istri pada anusnya dan Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. (Q.s. al-
Islam mengharamkan anal seks. Nisā’ [4]: 24)71
Dari urain di atas, fikih Islam tampaknya anti Pada hakikatnya mahar bukanlah harga
terhadap kekerasan psikis dan seksual yang seorang wanita (istri) secara materi, akan tetapi
dilakukan suami kepada istrinya. mahar merupakan lambang (tanda) kecintaan
suami terhadap istrinya, serta “lambang
Kekerasan Ekonomi dalam Rumah Tangga kesiapan dan kesediaan suami untuk memberi
Berikut ini beberapa bentuk kekerasan nafkah lahir kepada istri dan anak-anaknya.”72
ekonomi dalam keluarga. Pertama, pengabaian Kewajiban pemberian mahar yang dibebankan
mahar istri. Menurut fikih Islam, berkewajiban kepada suami dan bukan kepada istri pada hakikatnya
memenuhi hak-hak material istrinya, baik berupa berkaitan dengan realitas sosial bahwa laki-lakilah
mahar, nafkah, pakaian, dan tempat tinggal. yang biasanya berinisiatif mengungkapkan perasaan
Salah satu kewajiban suami kepada istrinya sebelum cintanya kepada perempuan dan meminangnya, bukan
dilangsungkan akad pernikahan adalah memberikan sebaliknya. Untuk menegaskan ketulusannya dan
mahar atau ṣidāq. Menurut Wahbah al-Zuhaylī (l. 1932 M), untuk perhatian perempuan (calon istri), laki-laki perlu
istri berhak mendapatkan material dari suaminya: mahar memberikan sesuatu kepadanya sebagai mahar.
dan nafkah. 67 Dalam kaitan ini menurut Ibn Rushd (w. 595 Karena perempuan memiliki kecantikan, kelembutan,
H), fukaha sepakat bahwa mahar itu termasuk syarat dan daya tarik tersendiri, yang menyebabkan laki-laki
sahnya nikah sehingga tidak boleh diadakan persetujuan terpikat hatinya untuk melamarnya. 73 Perempuan
untuk ditiadakan ( اوقفتعا هكعرت َىلِِع َوطعاوتل َزِويَ َل َهنْعأَ َو َةحصعل َطعوَرَش َنع َطعرش mencintai seorang laki-laki yang mencintainya dari
)هنْععأَ َىلِِععع.68َ Karenaَ mahar merupakan hak milik istri sehingga lubuk hatinya. Perempuan menilai mahar sebagai bukti
kebenaran janji dan kesungguhan cinta suami. Karena
tidak boleh ditiadakan oleh orang lain, baik wali maupun
suami, kecuali istri sendiri yang merelakan mahar tidak
itu mahar disebut juga ṣidāq (kebenaran), sebab
perlu dibayar oleh suaminya. Kewajiban ini hanya sekali melalui sarana inilah perempuan dapat mengetahui
dalam kebenaran cinta suami.74
suatu ikatan pernikahan, sebagaimana firman Allah, Bila mahar berupa utang, maka harus benar-benar
ُدص مَةلنناهوتاءو ءاّسنْل نّنتهَاق ه
... ّين َّ ََّ َ ََّ, “Berikanlah maskawin (mahar) dianggap sebagai utang suami yang harus dilunasi,
kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian seperti utang-utang yang lain. Perampasan hak mahar
dengan penuh kerelaan…” (Q.s. al-Nisā [4]: 4).69 istri tergolong dosa besar, sehingga ada ungkapan
Mahar yang telah disepakati antara calon mempelai orang bijak bahwa ”Allah mengampuni semua dosa
laki-laki dan calon mempelai perempuan (calon suami pada hari kiamat kecuali mahar wanita (istri), orang
istri) pada saat akan menikah harus dibayar oleh suami. yang merampas upah pekerjanya, dan yang menjual
Karena mahar adalah “tanggung jawab dan amanah” 70 71 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.
121.
67 Wahbah al-Zuhaylī, Al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, Juz VII, 72M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas
h. Berbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 2001), Cet. XII, h. 156.
327. 73 Lihat Ibrāhīm Âminī, Ikhtiyār al-Zawj, terj. Muhammad
68 Abū al-Walīd Muḥammad ibn Aḥmad ibn Muḥammad Taqi,
ibn Aḥmad ibn Rushd al-Qurṭubī al-Andalūsī, Bidāyah Kiat Memilih Jodoh Menurut Al-Qur’an dan Sunnah, (Jakarta: PT
Mujtahid wa Nihāyah al-Muqtaṣid, Juz II, h. 14. Lentera Basritama, 1996), Cet. I, h. 156.
69 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 74 Ibrāhīm Âminī, Ikhtiyār al-Zawj, h. 157.
115.
70 Abū al-A‘lā al-Mawdūdī, Ḥuqūq al-Zawjayn, h. 121.
La Jamaa: Kekerasan dalam Rumah Tangga Perspektif Fikih
75
kemitrasejajaran.88
Persepsi positif (positive thinking) suami seperti itu akan
senantiasa berusaha menghindari tindak kekerasan dalam
interaksi dengan istrinya. Jika ada masalah dengan istri,
maka suami akan menghindarkan anak-anaknya dari
suasana yang kurang kondusif bagi perkembangan mental
anak-anaknya di kemudian hari, agar anak-anaknya tidak
mengalami proses pembelajaran sosial, melalui peniruan
(teori modeling dari Bandura)89 dari sikap orang tuanya
dalam menyelesaikan masalah. Kondisi lingkungan keluarga
seperti itu berdasarkan teori ekologi Bronfenbrenner90
sangat berpengaruh positif terhadap perilaku dan
kepribadian anak-anaknya di kemudian hari, yakni tidak
mewariskan perilaku kekerasan kepada anak-anaknya atau
“teori hereditas”.
Persepsi positif suami tersebut lahir dari kesadaran
bahwa istrinya merupakan amanah Tuhan kepada suami.
Suami bertanggung jawab untuk memperlakukan istri
secara baik dan membahagiakan istrinya, sehingga bagi
suami ideologi patriarki yang mengakar dalam kehidupan
sosial masyarakat tidak harus diterapkan secara utuh jika
bertentangan dengan perwujudan keluarga sakinah.
Bahkan, memperlakukan istri secara
baik termasuk salah satu kecerdasan spiritual, dalam maupun ekonomi, maka terekam dalam memori
arti bahwa suami yang memiliki keberagamaan yang otak anak sekaligus akan memengaruhi cara
baik (taat kepada Allah dan Rasul-Nya) akan sanggup berpikir dan bertindak anak. Akan terbangun
menghindari tindak kekerasan dalam pergaulan rumah dalam pikirannya adanya penggunaan kekerasan
tangga dengan istrinya. Baginya, memperlakukan istri dalam penyelesaian masalah rumah tangga.
dengan kasar adalah suatu kesalahan atau dosa yang Jelasnya, sesuai dengan ”teori pembelajaran sosial”
akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak. anak yang sering menyaksikan kekerasan yang dilakukan
Dalam konteks inilah pentingnya memilih calon suami oleh bapak kepada ibunya akan menjadi sebuah proses
atau istri yang taat beragama secara konsisten. penguatan langsung sekaligus tanpa disadari kedua
Jadi, memilih suami atau istri yang taat beragama orang tuanya telah memberikan dorongan dalam proses
diharapkan dapat menghindarkan istri dari tindak meniru dan belajar melalui pengamatan yang dikenal
kekerasan suami dalam lingkup rumah tangga. Suami dengan konsep meniru atau modeling.92
yang taat beragama (religius) pada umumnya memiliki Jika demikian, maka anak akan melakukan kekerasan
kematangan emosional (kecerdasan emosional) yang yang sama pula terhadap pasangannya. Dengan
baik serta berpikir positif dalam merespons sikap istri demikian orang tua sebagai pendidik dan suri teladan
yang tidak disenanginya sehingga tidak menimbulkan memiliki peran yang strategis dalam meminimalisasi
kekerasan dalam rumah tangga. kekerasan dalam rumah tangga secara dini. Karena itu
orang tua harus menghindarkan anak-anak dari suasana
Menghindarkan Anak dari Suasana perselisihan antara kedua orang tuanya. Tegasnya, akan
Kekerasan dalam Rumah Tangga mewariskan perilaku kekerasan kepada anaknya
Tidak kalah pentingnya juga dalam upaya berdasarkan “teori hereditas”. Penulis memandang,
menghindari kekerasan dalam rumah tangga adalah akibat lanjutan dari beberapa teori kekerasan adalah
pendidikan anak dalam keluarga karena karakter dasar ”teori hereditas.” Suasana dan lingkungan kekerasan
manusia sangat bergantung pada bangunan awal orang yang dialami seseorang hanya akan memengaruhinya
tua mengolah dan membimbing langsung anak-anaknya. untuk melakukan kekerasan dalam rumah tangga jika
Terlebih ketika anak berinteraksi dengan kedua orang terjadi pewarisan kekerasan itu kepada dirinya.
tuanya lebih banyak dibandingkan dengan waktu anak di Jikapun terpaksa terjadi pertikaian, maka sedapat
sekolah dan lingkungan masyarakat. mungkin tidak disaksikan oleh anak-anak. Dalam
kaitan ini Islam melarang suami mengeluarkan kata-kata
Pada usia itulah anak mendapat bimbingan
langsung dari kedua orang tuanya. Apa saja yang kotor terhadap istri di hadapan anak-anaknya, 93
dipraktikkan orang tua sangat mungkin diterima demikian pula sebaliknya. Hal ini di samping
mentah-mentah dan akan menjadi bagian yang dimaksudkan untuk menjaga harkat dan martabat istri,
tidak terlupakan bagi sang anak. Pada masa juga sebagai tindakan edukatif terhadap anak-anak
”peka” ini, orang tua dituntut berhati-hati dalam dari perilaku kekerasan dalam rumah tangga sehingga
menyosialisasikan nilai-nilai, baik nilai-nilai sosial, anakpun tidak akan melakukan kekerasan kepada istri
budaya, maupun agama kepada anak-anaknya. mereka di kemudian hari.
Peran strategis yang bisa dilakukan oleh keluarga Begitu pula dalam interaksi orang tua dengan anak-
adalah: (1) orang tua hendaknya bisa tampil sebagai anaknya. Sebagai orang tua tidak perlu marah kalau
pendidik dan suri teladan yang baik; (2) orang tua sebagai dikritik anak-anaknya. Tidak perlu malu mengaku salah di
pemberi motivasi; (3) orang tua sebagai fasilitator; dan hadapan anak-anaknya kalau ada kesalahan yang harus
diakui. Bila orang tua terlalu tertutup justru akan berakibat
(4) orang tua bertindak sebagai penyaring
fatal. Anak akan mencari figur lain di luar rumah sebagai
informasi bagi anaknya.91
Orang tua sebagai suri teladan mempunyai suri teladan. Jadi, pendidikan anak dalam keluarga harus
diarahkan kepada suri teladan orang tua yang
pengaruh besar terhadap perkembangan kejiwaan
menghindari kekerasan dalam penyelesaian masalah
anak. Jika anak sering melihat orang tuanya bertengkar
sehingga anakpun akan menghindari kekerasan
yang disertai dengan kekerasan, baik fisik, psikologis,
Mawdūdī, ‘Abu A‘lā, Ḥuqūq al-Zawjayn, Terj. Abu Amir Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun
Izza Rasyid Isma’il, Menjaga Keutuhan Rumah 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga Islami dengan Menjaga Hak Suami Istri, Tangga, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
Yogyakarta: Absolut, t.th. Riḍā, Muḥammad Rashīd, Al-Qur’ān al-Karīm (Tafsir
Miṣrī, al-, Abū al-Fāḍil Jamāl al-Dīn Muḥammad al-Manār), Beirūt: Dār al-Ma‘rifah, 1973 M/1393
ibn Mukrim ibn Manẓūr al-Afrīqī, Lisān H.
al-‘Arab, Bayrūt: Dār al-Fikr, 1990 M/ 1401 H. S.A., Nurul Huda, Cakrawala Pembebasan Agama,
Mudzhar, M. Atho (ed.), Wanita dalam Masyarakat Pendidikan dan Perubahan Sosial, Yogyakarta: Fajar
Indonesia: Akses Pemberdayaan dan Kesempatan, Pustaka Baru, 2002.
Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2001. Shāfi‘ī, al-, Abū ‘Abd Allāh Muḥammad ibn Idrīs,
Mulia, Siti Musdah, Muslimah Reformis Perempuan Mukhtaṣar Kitāb al-Umm fi al-Fiqh, Terj. Imron
Pembaru Keagamaan, Bandung: Mizan, 2004. Rusadi dkk, Ringkasan Kitab al-Umm, Jakarta:
Nawāwī, al-, Abū Zakariyyā Muḥy al-Dīn ibn Sharaf, Pustaka Azzam, 2004.
Al-Majmū‘ Sharḥ al-Muhadhdhab, Bayrūt: Shahrūr, Muḥammad, Al-Kitāb wa al-Qur’ān:
Dār al-Fikr, t.th. Qirā’ah Mu‘aṣirah, Terj. Sahiron Syamsuddin
Naysābūrī, al-, Abū al-Ḥusayn Muslim ibn al- dan Burhanuddin Dzikri, Prinsip dan Dasar
Ḥajjāj al-Qushayrī, Ṣaḥīḥ Muslim, Bayrūt: Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer,
Dār al-Fikr, 1992 M/1412 H. Yogyakarta: elSAQ Press, 2007.
Nur, Iffatin, “Kejahatan Seksual Berbasis Jender Sharbīnī, al-, Muḥammad al-Khaṭīb, Mughnī al-
dalam Wacana Hukum Pidana Islam”, dalam Muhtāj, Bayrūt: Dār al-Fikr, t.th.
Jurnal Dinamika Penelitian STAIN Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Mishbah, Jakarta:
Tulungagung, Vol. 1, Nomor 1, Agustus 2001. Lentera Hati, 2005.
Putusan Pengadilan Negeri Ambon Nomor: 346/ -----------, Wawasan Al-Qur’ân: Tafsir Maudhu’i atas
PID.B/2008/PN.AB; 355/PID.B/2008/PN.AB; 56/ Berbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 2001
PID.B/ 2008/ PN.AB; 368/PID.B/2009/PN.AB; Sokah, Umar Asasuddin, Membina Rumah Tangga
292/PID.B/2010/PN.AB; 23/PID.B/2010/PN.AB; Sakinah Tinjauan Psikologis Sosial
132/PID.B/ 2011/PN.AB; 88/PID.B/2007/PN.AB; dan Agama,
dan 406/PID.B/2009/PN.AB. Yogyakarta: AK. Group dan Indra Buana, 1995.
Qaraḍawī, al-, Yūsuf, Al-Ḥalāl wa al-Ḥarām fi al-Islām, Subhan, Zaitunah, Tafsir Kebencian Studi Bias Gender
Terj. Wahid Ahmadi, Halal dan Haram dalam Islam, dalam Tafsir Qur’an, Yogyakarta: LKiS, 1999.
Surakarta: Era Intermedia, 2000. Turmudhī, al-, Sunan al-Turmudhī wa Huwa al-Jāmi‘
Qaraḍawī, al-, Yūsuf, Hādī al-Islām Fatāwā Mu‘āṣirah, al-Ṣaḥīḥ, Indonesia: Maktabah Dahlan, t.th.
Terj. As’ad Yasin, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jakarta: Uwayyid, al-, Muḥammad Rashīd, Min Ajl Taḥrīr
Gema Insani Press, 1999. Ḥaqīqī li al-Mar’ah, Terj. Ghazali Mukri, Pembebasan
Qurṭubī, al-, Abū ‘Abd Allāh Muḥammad ibn Aḥmad Perempuan, Yogyakarta: ’Izzan Pustaka, 2002.
al-Anṣārī, Al-Jāmi’ Aḥkām al-Qur’ān, Bayrūt: Dār Yasid, Abu (ed.), Fiqh Realitas Respon Ma’had Aly
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993 M/ 1413 H. Terhadap Wacana Hukum Islam Kontemporer,
Quṭub, Muḥammad, Islam the Misunderstood Religion. Yogykarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Terj. Fungky Kusnadi Timur, Islam Agama Zuhaylī, al-, Wahbah, Al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh,
Pembebas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001. Damaskus: Dār al-Fikr, 1989.
Rāzī, al-, Fakhr al-Dīn, Al-Tafsīr al-Kabīr
(Mafātīh al-Ghayb), Bayrūt: Dār al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1990 M/1410 H.