Anda di halaman 1dari 30

5.2.

7 Modul Penyakit Jantung Diabetes

1. Waktu

Mengembangkan Kompetensi Peny Jantung Diabetes 3 hari

Sesi dengan fasilitas pembimbing Waktu

1. 60 menit kuliah
2. 30 menit diskusi

2. TUJUAN
Mendiagnosa dan menerapi komplikasi kardiovaskular pada pasien
Diabetes diabetes yang bervariasi mulai dari gangguan toleransi
glukosa sampai insulin dependen diabetes dan komplikasinya

3. BATASAN
Mampu melakukan pemeriksaan, diagnosa, skrining, pencegahan,
komplikasi dan pengobatan yang tepat terhadap penyakit
jantung diabetes dan melakukan kerjasama dengan disiplin
ilmu yang lain dan staf medis dalam rangka pengelolaan
panyakit jantung diabetes.

4. KOMPETENSI PENGETAHUAN

1. Mampu menjelaskan defenisi diabetes mellitus


2. Menjabarkan peran diabetes terhadap terjadinya panyakit jantung koroner
yang meliputi :
- epidemiologi
- patofisiologi komplikasi kardiovaskular
- peran intervensi faktor resiko
- skrining dari PJK pada pasien diabetes
- skrining diabetes pada PJK (test glukosa oral)
3. Menjabarkan patofisiologi dari diabetes dan komplikasi kardiak dan non
kardiak.
4. Menjabarkan terapi meliputi diet, olag raga, obat hipoglikemik dan insulin.
5. Menjelaskan mengenai perkembangan baru mengenai konsep sindroma
metabolik

5. KOMPETENSI KETRAMPILAN

1. Membuat anamnesis dan melakukan pemeriksaan fisik yang tepat


2. Mengelola prevensi, diagnosis dan terapi dari diabetes dan komplikasi
kardiovaskular

1
3. Secara aktif berpartisipasi pada kerjasama dokter-dokter secara multidisiplin
dan mendukung staf medis dalam mengelola pasien diabetes dengan tepat
berdasarkan status penyakitnya dan komplikasinya

6. KOMPETENSI PERILAKU

1. Mengerti dengan pendekatan multidisiplin pada pasien dengan diabetes


2. Menyadari pentingnya pengenalan akan perjalanan penyakit dari prevensi
dini sampai pada terapi kerusakan organ permanen
3. Mengetahui pentingnya mengelola pasien asimtomatik untuk meningkatkan
prognosis.

7. CONTOH KASUS

Seorang wanita berumur 56 tahun masuk ke Intalasi Rawat Darurat dengan


keluhan perasaan sesak dan tidak enak di dada sebelah kiri dalam satu hari ini,
disertai sedikit nyeri yang timbul sekali-kali. Pasien selama ini kadang-kadang
darahnya tinggi dan tidak berobat teratur. Riwayat penyakit gula disangkal. Orang
tua perempuan dari pasien ini penderita darah tinggi dan sakit gula. Dan telah
meninggal dunia 7 tahun yang lalu akibat penyakit stroke.
TD 145/90 mmHg, TB 157 cm, BB 75 kg.

Prosedur diagnostik apa yang harus dilakukan untuk menegakkan diagnostik dan
penatalaksanaan selanjutnya?

PPDS melakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik serta interpretasi ECG dan
mengambil kesimpulan :

1. Penderita kemungkinan seorang penderita diabetes dan keluhan yang tidak


begitu jelas terhadap suatu IMA sering dijumpai pada pasien diabetes. Penderita
juga seorang penderita darah tinggi dan semua ini merupakan faktor resiko terhadap
IMA. Perlu dikakukan pemeriksaan ECG, enzim jantung, foto thoraks dan darah
lengkap segera mungkin.

2. Melakukan anamnese, pemeriksaan fisik dan mencari faktor resiko yang dijumpai
pada pasien ini, membaca hasil ECG, Foto thoraks dan Laboratorium darah

3. Membuat diagnosis, merencanakan pemilihan terapi dan memutuskan dirawat di


ruang mana (ICCU)

2
8. TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah mengikuti modul penyakit jantung diabetes peserta mampu untuk :

1. Mampu melakukan anamnese, pemeriksan fisik, membaca hasil laboratorium


terhadap pasien dengan penyakit jantung diabetes
2. Mampu menilai faktor-faktor resiko yang dipunyai pasien yang berhubungan
dengan penyakit jantung diabetes.
3. Mampu memutuskan diagnosis dan memilih terapi yang terbaik pada pasien
penyakit jantung diabetes
4. Mampu memilih jenis skrining yang sesuai untuk penderita diabetes dengan
PJK atau pada PJK dengan diabetes.

9. INSTRUMEN PENGUKURAN KOMPETENSI KOGNITIF

1. Diabetes Mellitus memberikan dampak komplikasi pada mikrovaskular maupun


makrovaskular, komplikasi mikrovaskular berupa nefropati, neuropati dan retinopati,
sedangkan makrovaskular berupa aterosklerosis koroner, serebral dan arteri perifer. (B)

2. The National Cholesterol education Program (NCEP) dan Adult Treatment Panel III (ATP-
III) merekomendasikan bahwa orang-orang dengan diabetes tanpa penyakit kardiovaskular
harus diterapi sama dengan orang orang-orang non diabetes yang punya penyakit
kardiovaskular. Dan diabetes dianggap penyakit yang sepadan dengan PJK. (B)

3. Skrining test dengan TreadMill exercise pada pasien dengan resiko rendah ( pasien tanpa
gejala, dan ECG resting normal ) merupakan test standar pilihan pertama. Begitu juga
dengan pada pasien diabetes dengan angina yang khas dan adanya gel Q patologis pada
ECG. (S)

4. Pemeriksaan OGTT merupakan pilihan utama dalam skrening diabetes pada PJK.
Terutama pasien dengan gangguan kardiovaskular, dimana terjadi gangguan
glukometabolik pada kebanyakan kasus hanya terjadi peningkatan pada glukosa 2 Jam PP
saja, sedangkan GDP normal. (B)

5. Pemeriksaan terhadap HbA1C sangat berguna dan direkomendasikan dalam proses


skrining pasien-pasien yang disangkakan diabetes, mendiagnosa diabetes dan juga
penilaian terhadap terapi. (S)

6. Resistensi insulin selain disebabkan oleh faktor genetik, juga disebabkan oleh karena
obesitas (terutama lemak visceral), aktifitas yang menurun, diet tinggi lemak, efek dari
tingginya glukosa (glukosa toxicity) dan meningkatnya kadar asam lemak bebas/FFA
(lipotoxicity). (B)

7. Beberapa ciri lesi atherosklerosis penderita diabetes yaitu : lebih sering mengenai Left
Main Artery, multivessel, diffuse dan mempunyai diameter pembuluh darah yang lebih kecil

3
disekitar sumbatan. Kaya lipid, dan didapatkan banyak pecahan plaqeu dan trombus intra
arteri koroner, serta kurang mampu beradapatasi terhadap suatu sumbatan dan dalam
membentuk kolateral pada saat infark. (B)

8. Pengenalan drug eluting stent pada pasien diabetes telah memberikan hasil yang lebih
baik dibanding bare-metal stent dalam restenosis post PCI, dengan angka retenosis yang
lebih rendah dibandingkan kelompok non-diabetes. (S)

9. Fokus utama managemen life-style adalah mengontrol glukosa darah dan faktor resiko
yang lain. Target yang ingin di capai disini adalah penurunan konsumsi lemak, dan
meningkatkan aktifitas fisik secara regular. (B)

10. Kriteria WHO terhadap Sindroma Metabolik adalah adanya gangguan toleransi glukosa
dan resistensi insulin dengan dua atau lebih tanda-tanda lain seperti hipertensi,
hipertrigliserida, kholesterol HDL yang rendah, dan obesitas sentral. (S)

10. KUESIONER TENGAH PELATIHAN

Pilih satu yang benar

1. Efek hiperglikemia pada pembuluh darah adalah sbb :


a. meningkatkan aktifitas eNOS
b. menekan pembentukan Advanced Glycation End ProducS (AGES)
c. menekan pembentukan Asimetrical Dimethilargini (ADMA)
d. meningkatkan produksi superoxide dan protein C kinase

2. Terganggunya fungsi trombosit penderita diabetes disebabkan oleh hal-hal sbb, kecuali :
a. meningkatkan pelepasan mediator-mediator yang akan meningkatkan agregasi
trombosit
b. terjadi peningkatan faktor-faktor koagulasi (faktor VII dan trombin )
c. terjadi peningkatan aktifitas trombomodulin
d. terjadi penigkatan produksi plasminogen aktifator inhibitor-1 ( PAI-1)

3. Fungsi NO pada pembuluh darah yang normal adalah sebagai berikut, kecuali :
a. sebagai zat vasodilator pembuluh darah
b. mencegah interaksi trombosit, leukosit dengan dinding pembuluh darah
c. meningkatkan aktiitas nuclear kappa B (NF-kB) sehingga terjadi vasodilatasi
d. mencegah kerusakan endothel pembuluh darah

4. Pada pasien diabetes mellitus terjadi peningkatan dari asam lemak bebas, hal ini
disebabkan karena : kecuali
a. akibat dari terjadinya resistensi insulin
b. akibat dari terjadinya defisiensi insulin
c. akibat dari pelepasan jaringan adiposa yang meningkat
d. karena terjadinya proses glikogenesis

5. Pemeriksan skrining terbaik yang bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak
bergejala dan mempunyai resiko terjadinya diabetes, menjaring mereka dengan impaired
glukosa tolerance dan impaired fasting glukose adalah :
a. pemeriksaan Hba1C

4
b. pemeriksaan gula darah puasa
c. pemeriksaan gula darah 2 jam PP
d. OGTT

11. PENILAIAN KINERJA PENGETAHUAN (ujian akhir)

12. INSTRUMEN PENGUKURAN KOMPETENSI PSIKOMOTOR

PENILAIAN KOMPETENSI PENYAKIT JANTUNG DIABETES

Pencatatan pada kompetensi penyakit Jantung Diabetes KODE


1. Anamnese dan pemeriksaan fisik
2. Interpretasi ECG 12 hantaran
3. Interpretasi hasil gula darah dan darah lengkap lainnya
4. Melakukan skrining pasien dm dengan pjk dan pjk dengan dm
5. Memutuskan pemilihan terapi yang tepat pada penyakit jantung diabetes
6. Melakukan pemeriksaan terhadap komplikasi kardiovaskular yang timbul
7. Memberikan penyuluhan terhadap penderita penyakit jantung diabetes

DAFTAR TILIK KINERJA

I Anamnese Penilaian
1. Riwayat pjk
2. Riwayat DM dan faktor resiko yang lain
3. Keluhan saat datang
4. Memenuhi kriteria penyakit jantung diabetes
II Pemeriksaan Fisik
5. Keadaan umum
6. Penilaian ECG dan laboratorium saat masuk
7. Penilaian status kardiologi
III Urutan dan interpretasi pemeriksaan
8. Analisa anamnese
9. Analisa pemeriksaan fisik
10. Analisa data hemodinamik
11. Analisa ECG dan Laboratorium
12. Membuat diagnosis
IV Penatalaksanaan Awal
13. Pemantauan terhadap keadaan pasien saat masuk
14. Pemantauan terhadap terapi yang akan diberikan
15. Pemantauan hasil terapi
V Pemantauan paska terapi
16. pemantauan tanda-tanda vital
17. Pemantauan terhadap komplikasi yang mungkin timbul

5
13. DAFTAR PERALATAN YANG DIPERLUKAN

I Pemeriksaan Fisik
1. Stetoskop
2. Tensimeter
3. ECG
4. Pemeriksaan Laboratorium
5. Oksigen
II Petugas Medis
1. Dokter Spesialis Jantung
2. Perawat jantung

14. MATERI YANG DIAJARKAN / TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Penyakit Jantung Diabetes

I. Definisi Diabetes Mellitus (DM)

Diabetes Mellitus (DM) adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan


karakteristik hiperglikemia kronis dan gangguan pada metabolisme karbohidrat, lemak dan
protein yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kombinasi keduanya.1

II. Peran Diabetes Mellitus Terhadap Penyakit Jantung Koroner

II.1. Epidemiologi

Prevalensi penderita DM di dunia saat ini adalah ± 195 juta jiwa dan akan terus
meningkat setiap tahunnya. Sekitar 97% diantaranya adalah penderita DM tipe 2. Jumlah ini
akan meningkat menjadi ± 330-500 juta pada tahun 2030. Kenaikan ini akan berdampak
pada peningkatan jumlah penderita diabetes dengan penyakit kardiovaskular. 2
Di Amerika,DM tipe 2 sekarang epidemi, terjadi peningkatan kasus sebanyak 61%
dari tahun 1990-2001, dan pada tahun 2005 ada sekitar 21 juta jiwa penderita DM tipe 2,
epidemi dari DM juga terus bertambah di negara berkembang. Di Indonesia pada tahun
2000 diperkirakan sekitar ± 8,4 juta penderita DM dan diperkirakan pada tahun 2030 nanti
menjadi ± 21,3 juta. 3
Meningkatnya kasus DM berhubungan dengan perubahan gaya hidup yang
menyebabkan kelebihan berat badan dan penurunan aktifitas fisik, perubahan lingkungan ini

6
diikuti dengan adanya predisposisi genetik, meningkatnya resistensi insulin yang akhirnya
menimbulkan kerusakan beta sel yang progresif. 3
Prevalensi diabetes secara spesifik meningkat dengan bertambahnya umur terutama
pada dekade 7 dan 8 pada wanita maupun pria. Prevalensi DM pada kelompok umur < 60
thn sekitar < 10 %, dan pada kelompok umur 60-69 thn 10-20%, pada yang lebih tua sekitar
15-20 %, diperkirakan ada sekitar 30-40 % yang punya resiko suatu saat menjadi diabetes.
Prevalensi IGT meningkat secara linier dengan umur, prevalensi ganguan hoemostasis
glukosa ini pada umur pertengahan sekitar 15 % dan pada yang lebih tua antara 35-40%. 4
Dua penelitian cohort besar yaitu Multipel Risk Faktor International Study dengan
5000 populasi laki-laki yang diikuti selama 12 tahun, menunjukkan angka kematian pada
pasien DM meningkat lebih dari 3 kali lipat dibandingkan dengan pasien non DM, dan The
Chicago Heart Association Project in Industry Study yang diikuti selama 22 tahun juga
menunjukkan hal yang sama. 4

II.2. Prediabetes dan Penyakit Jantung Koroner

Perubahan dari abnormalitas metabolik merupakan awal dari diabetes yaitu


Impaired Fasting Glukose (IFG) dan Impaired Gukose Tolerance (IGT). Perubahan ke arah
diabetes butuh waktu beberapa tahun dan sekitar 70% diantaranya menjadi diabetes. Pada
saat stadium prediabetik ini resiko untuk terjadinya penyakit kardiovaskular juga meningkat
dan ini berjalan terus seiring dengan perkembangan ke stadium diabetes, komplikasi ini
juga berjalan seiring dengan lama dan tingginya glukosa darah dan juga ditambah dengan
faktor-faktor resiko yang lain. 4,5
Dua keadaan prediabetik diatas masih diperdebatkan keadaan mana yang
meningkatkan resiko komplikasi penyakit kardiovaskular, oleh sebab itu secara klinis sangat
penting untuk mengetahui kedua nilai tersebut yang dihubungkan dengan meningkatnya
resiko penyakit kardiovaskular / Cardio Vaskular Disease (CVD). 4
Pada study Finnish yang terakhir juga melaporkan IGT merupakan independen risk
prediktor dari CVD dan peningkatan mortalitas. Pada Chicago Heart Study, dari 12.000 laki-
laki kulit putih dengan asimtomatik hiperglikemi ( KGD 1 jam PP > 200 mg/dl, akan
menigkatkan resiko mortalitas CVD dibandingkan dengan laki-laki dengan glukosa 1 jam PP
< 160 mg/dl. 4
Bukti yang paling nyata hubungan antara gangguan toleransi glukosa dengan
meningkatnya rasiko PJK telah di tunjukkan oleh DECODE Study, yang menganalisa data
dari lebih 10 penelitian prospektif cohort studi di Eropa pada lebih dari 22.000 subjek, dan
menyimpulkan bahwa kematian rata-rata dari semua kasus lebih tinggi secara bermakna
pada subjek diabetes dengan gangguan glukosa post prandial di banding yang normal.
Angka mortalitas juga meningkat signifikan pada subjek dengan IGT, tetapi tidak pada
subjek dengan IFT dan yang glukosa normal. Dengan analisa multivarian juga menunjukkan
peninggian glukosa 2 jam PP meningkatkan resiko mortalitas pada semua kasus CVD
setelah di sesuaikan / adjust dengan faktor resiko CVD yang lain, dan hal ini tidak terjadi
pada subjek dengan IFT. 4,5

II.3. Patofisiologi Komplikasi Penyakit Jantung Koroner pada Diabetes

Seperti yang sudah kita ketahui bahwa DM memberikan dampak komplikasi pada
mikrovaskular maupun makrovaskular, komplikasi mikrovaskular berupa nefropati, neuropati
dan retinopati, sedangkan makrovaskular berupa aterosklerosis koroner, serebral dan arteri
perifer. 4,6

7
Komplikasi pada penyakit kardio vaskular sangat berpengaruh pada tingkat
morbiditas dan mortalitas pasien DM. Dari berbagai penelitian disebutkan bahwa DM
berhubungan langsung dengan meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas terutama
penyakit jantung koroner (PJK). 7
Penyebab komplikasi PJK pada pasien DM bersifat multi faktorial, melibatkan
interaksi komplek dari berbagai keadaan seperti hiperglikemia, hiperlipidemia, stres
oksidatif, resistensi insulin / hiperinsulnemia, dan / atau hiperproinsulinemia serta
perubahan-perubahan pada proses koagulasi dan fibrinolisis. 7,8
Patofisiologi terjadinya komplikasi kardiovaskular pada diabetes didasari pada
terjadinya abnormalitas fungsi endothel dan otot polos pembuluh darah, dimana akan
mempermudah terjadinya trombosis yang berperan besar pada proses aterosklerosis dan
komplikasi-komplikasi yang lain. 6,8
II.3.1. Diabetes, Hiperglikemia dan Nitrit Oxide (NO)

Pada keadaan normal sel endotel secara aktif mengeluarkan bahan aktif Nitric
Oxide (NO), zat ini secara simultan dihasilkan oleh Endothelial NO synthase (eNOS)
dengan mengoksidasi 5 elektron dari guanidine-nitrogen L-arginine. Ketersediaan NO
secara terus menerus merupakan kunci dari pembuluh darah yang normal. 8
NO bekerja sebagai vasodilator pembuluh darah dan melindungi endothel pembuluh
darah dari kerusakan endogen seperti, aterosklerosis dengan memberikan signal untuk
mencegah interaksi platelet dan leukosit dengan dinding pembuluh darah, juga mencegah
proliferasi dan migrasi otot polos pembuluh darah. Sebaliknya pada keadaan NO yang
berkurang akan meningkatkan aktifitas transkripsi proinflamasi faktor yaitu Nuclear Factor
kappa B (NF-κB), yang menyebabkan terpaparnya melekul adhesi leukosit dan mensekresi
kemokin dan sitokin, keadaan ini akan menimbulkan migrasi dari monosit dan sel otot polos
pembuluh darah ke bagian intima dan membentuk sel busa (foam cells) , yang mendasari
awal perubahan morfologi terjadinya aterosklerosis. Ketersediaan NO Sangat bergantung
pada keseimbangan antara produksi oleh eNOS dan pemecahannya yang disebabkan
radikal bebas. 8,9,10
Konsentarsi glukosa intrasel dari sel endotel dicerminkan oleh glukosa ekstrasel.
Bukti dari banyak penelitian menunjukkan bahwa keadaan hiperglikemia akan menurunkan
NO endotel, yang mengakibatkan penurunan efek vasodilatasi pembuluh darah. 8
Hiperglikemia akan meningkatkan produksi beberapa zat reaktif oksigen (anion
superoxide) yang akan menginaktifkan NO ke bentuk peroxynitrite. Hiperglikemia awalnya
akan meningkatkan produksi anion superoxide melalui transfer oksigen dari mitokondria.
Superoxide anion ini kemudian merangsang endotel membentuk elemen-elemen sel yg
nantinya akan menghasilkan radikal bebas. Sebagai contoh aktifitas anion seperoxide
terhadap Protein C Kinase (PCK), dan sebaliknya juga, aktifitas dari PCK ini juga akan
merangsang pembentukan anion superoxide berikutnya. Aktifitas PKC berakibat pada
regulasi dan aktifasi pada NAD(P)H yang berikutnya menghasilkan anion superoxide, anion
superoxide akan mengaktifkan jalar hexosamine yang akan menurunkan aktifitas NOS dan
akhirnya akan mengganggu keseimbangan NO dan menginaktifkan efeknya. 8,9,10
Peningkatan anion superoxide dari mitokondria juga akan meningkatkan produksi
Advanced Glycation End Products (AGEs) intraseluler. Protein ini akan berefek pada fungsi
seluler dimana AGEs akan meningkatkan produksi radikal bebas. AGEs di bagian lain juga
akan merangsang Receptor AGEs (R-AGEs) , keadaan ini juga akan meningkatkan
produksi anion superoxide. 4,8,10
Hiperglikemia juga merangsang molekul stres oksidatif melalui peningkatan
dimethylarginine yang merupakan zat kompetitif dari NOS. Hipeglikemia juga meningkatkan
produksi “second messenger diacylglycerol “dari lipid yang akan mengaktifasi PCK, aktifasi
jalar ini akan menginhibisi jalur phosphatidylinositol 3 kinase, dengan demikian akan

8
mengurangi aktifitas Akt kinase dan aktifitas “ phosporilasi” pada NOS, sehingga produksi
NO berkurang. 8,9
Suatu enogenous kompetitor terhadap NO telah diketahui yang nantinya
memperantarai suatu kerusakan fungsi vasodilator endothel yaitu Asimetrical Dimethilarginin
(ADMA). Peningkatan secara langsung disebabkan oleh adanya resistensi insulin.
Akumulasi dari ADMA ini akan membuat kerja NO melemah. 10

Gambar 1. Efek hiperglikemia pada endotel pembuluh darah. Di kutip dari 8


II.3.2. Diabetes, Asam Lemak Bebas dan Gangguan Endothel

Jumlah asam lemak bebas / Free Fatty Acid (FFA) dalam sirkulasi pasien diabetes
meningkat disebabkan pelepasan dari jaringan adiposa dan menurunnya pengambilan dari
otot skeletal. Peninggian dari FFA bebas ini menyebabkan gangguan pada endothel melalui
beberapa mekanisme termasuk peninggian produksi radikal bebas, aktifitas PKC dan
dislipidemia itu sendiri. Hal ini telah dibuktikan dengan memberi FFA melalui infus pada
binatang percobaan yang berakibat menurunnya vasodilatasi pembuluh darah, dan dengan
menginfus kembali dengan anti oxidan membuat vasodilatasi kembali. 8,9,11
FFA akan mengaktifasi sumber enzimatik oxidan intraselular, termasuk Pkc, NADPH
oxidase dan eNOS yang menghasilkan peningkatan dari superoxide yang akhirnya
menurunkan aktifitas dari NOS. 10
Respon dari liver terhadap meningkatnya FFA dengan meningkatkan produksi VLDL
dan ester colesterol dan akhirnya akan meningkatkan trigliserida dan berkurangnya aktifitas
lipoprotein lipase sehingga menimbulkan hipertrigliserida yang khas pada penderita
diabetes. Gangguan dari lipid ini menyebabkan perubahan pada morfologi dari LDL yang
sangat aterogenik (small dense LDL). Hipertrigliserida, rendahnya HDL dan tingginya LDL
berhubungan dengan ganguan fungsí dari endotel. 8,10,11

II.3.3. Diabetes, Endotel dan Vasokontriktor

9
Pada penderita diabetes disfungsi endotel tidak hanya disebabkan oleh menurunnya
NO saja, tetapi juga disebabkan oleh meningkatnya sintesa zat-zat vasokontriksi
prostanoids dan endotelin. Pada keadaan hiperglikemia ekspresi dan jumlah
siklooksigenase-2 mRNA meningkat dan keadaan ini telah dibuktikan pada beberapa
penelitian. 8
Pada keadan produksi endotelin yang berlebihan akan merangsang proses
inflamasi yang menyebabkan vasokontriksi dan proliferasi otot polos pembuluh darah. 10
II.3.4. Diabetes dan Otot polos pembuluh darah

Disregulasi dari fungsi otot polos pembuluh darah disebabkan kerusakan pada
fungsi syaraf simpatis, meningkatnya aktifitas PKC, produksi NF-κB dan radikal bebas.
Lebih lanjut diabetes juga akan mempertinggi migrasi sel otot polos pembuluh darah ke
dalam lesi atherosklerosis, sel tersebut akan melakukan replikasi dan menghasilkan matriks
ekstraselular dan akhirnya lesi tersebut menjadi matur. Pada lesi aterosklerosis proses
apoptosis juga meningkat. Kolaborasi dari sitokin akan merangsang síntesis kolagen dari
otot polos pembuluh darah dan meningkatkan produksi matriks metaloproteinase dan hal ini
akan meningkatkan tendensi terjadinya ketidakstabilan plak dan ruptur. 6,10

Gambar 2 : Efek dari abnormalitas metabolik pada penderita diabetes. Di kutip dari 6
II.3.5. Diabetes, Trombosis dan Koagulasi

Seperti yang telah diketahui bahwa pada penderita diabetes terjadi ganguan fungsi
trombosit, selain itu terjadi peningkatan ekspresi glikoprotein Ib dan IIb/IIIa, meningkatnya
adhesi trombosit dengan vWF dan interaksi trombosit. Hiperglikemia lebih lanjut merubah
fungsi trombosit melalui gangguan pada homeostasis Ca, dan juga pelepasan berbagai
mediator-mediator sehingga agregasi trombosit meningkat. 12
Pada penderita diabetes juga terjadi peningkatan koagulasi ( faktor VII dan trombin ),
tissue faktor, penurunan dari anti koagulan endogen ( trombomodulin), dan juga terjadi
peningkatan produksi Plasminogen Activator Inhibitor-I (PAI-I). yang merupakan inhibitor
fibrinolisis. Keadaan tersebut diatas akan meningkakan resiko terjadinya trombosis dan
rupturnya status plak pada pasien diabetes. 4,10

10
Gambar 3: Gangguan fungsi trombosis dan koagulasi pada diabetes. Di kutip dari 8
II.4. Peran Intervensi Terhadap Faktor Resiko

II.4.1. Intervensi terhadap Life-Style

Managemen Lifestyle seperti Diet dan latihan terbukti dapat menurunkan faktor
resiko terhadap penyakit kardio vaskular, seperti lipid, tekanan darah, berat badan dan
mengontrol glukosa. Selama ini intervensi terapi hanya berfokus kepada penurunan berat
badan, sekarang fokus utama managemen life-style adalah mengontrol glukosa darah dan
faktor resiko yang lain. Target yang ingin di capai disini adalah penurunan konsumsi lemak,
dan meningkatkan aktifitas fisik secara regular. 4,13
Pelaksanaan manejemen life-style harus meliputi peningkatan dari aktifitas fisik dan
diikuti penurunan berat badan, yang didasari dengan pembatasan pada intake kalori dan
lemak. Rekomendasi terhadap aktifitas fisik adalah melakukan olah raga selama 30 mnt
paling kurang 5 kali seminggu. Penurunan intake kalori sampai 1500 kal/hari, pengurangan
intake lemak sampai 30-35% dari total energi (10% monounsaturated) dan hindari lemak
trans, peningkatan up-take jenis fiber sampai 30 g/hari dan hindari jenis mono dan
polisakarida. Semua pasien diabetes juga diarahkan untuk tidak merokok, harus selalu
ditanyakan tentang status merokok setiap kunjungan, dan jika tidak bisa menghentikan
harus dikonsulkan ke ahlinya. 4,13
Beberapa penelitian menunjukkan perobahan gaya hidup dapat menurunkan resiko
terhadap kardiovaskular dan diabetes. Penurunan sekitar 7 % dari berat badan selama satu
tahun menunjukkan penurunan yang bermakna terhadap kejadian CVD. Guidelines
merekomendasi aktifitas fisik yang regular dan intensitas sedang. Aktifitas fisik tersebut juga
mengurangi semua faktor resiko kardiometabolik. 12
Edukasi dan non farmakologi life-style dapat memperbaiki kontrol metabolik dan
tekanan darah pada pasien diabetes seperti yang telah direkomendasikan.

II.4.2. Intervensi terhadap Hipertensi

Prevalensi penderita diabetes tinggi pada penderita hipertensi dibandingkan populasi


normal, dan penurunan tekanan darah akan menurunkan resiko PJK. Diabetes dan
hipertensi secara bersama-sama merupakan resiko terhadap atheroslerosis. Hipertensi

11
secara langsung akan meningkatkan tekanan dan kerusakan pada endotel pembuluh darah.
4

Penelitian epidemiologi dan studi klinik telah membuktikan peninggian TD pada


penderita diabetes merupakan faktor risiko untuk terjadinya komplikasi makro dan
mikrovaskular.
Penurunan tekanan darah harus dilakukan secara agresif. Pada penelitian UKPDS
dan The Hypertension Optimal Treadment (HOT) melaporkan bahwa terapi terhadap
tekanan darah yang agresif akan menurunkan insiden CVD. 4
Pada studi ACCORD yang melakukan penelitian untuk melihat efek pada TD S <
140 mmHg, yang membagi kelompok TD S < 120 mmHg dan TD S < 140 mmHG,
didapatkan bahwa pada penurunan TD S < 120 menurunkan ”CVD events” lebih bermakna
di bandingkan kelompok dengan TD S < 140 mmHg. 4
Penelitian lain juga menunjukkan pengunaan thiazid, ACE inhibitor, ARBs, Beta
Blocker dan Calsium channel blocker, menunjukkan perbaikan dan mencegah komplikasi
diabetes dan CVD events. 14
Pada pasien DM dengan hipertensi diharapkan tekanan darah bisa terkontrol
dibawah 130/80 mmHg. Dan penggunaan obat ACE inhibitor merupakan bahagian yang
penting dalam terapi.4,13
Rekomendasi target tekanan darah pasien diabetes adalah dibawah 130/80 mmHg.
Jika dapat ditoleransi dengan baik pasien diabetes dengan nefropathi harus diterapi dengan
target TD yang lebih rendah. 4

II.4.3. Intervensi terhadap Lipid

Dalam pencegahan terhadap risiko CVD sangat diperlukan perhatian terhadap efek
atherogenik dari dislipidemia, termasuk peningkatan dari trigliserida, randahnya HDL,
meningkatnya LDL small dense dan peningkatan dari kadar apolipoprotein B, semua
perubahan itu berhubungan dengan peningkatan resiko atherosklerosis. 15
Pada pasien DM tipe 2, Trigliserida biasanya meningkat, HDL secara umum
menurun dan LDL meningkat. Evaluasi terhadap LDL merupakan sasaran primer dari terapi
lipid, fokus terhadap LDL ini telah dibuktikan pada penelitian klinik, bahwa dengan
menurunkan LDL dengan statin menurunkan resiko mayor ”CVD events” pada penderita
diabetes. 4
Data studi observasi dari UKPDS menunjukkan bahwa peningkatan 38,7 mg/dl dari
LDL kolesterol akan meningkatkan ”CVD endpoints” sebesar 57%. Dan meningkatnya HDL
sebesar 4 mg/dl akan menurunkan ”CVD endpoints” sebesar 15%. Pada penelitian The
Heart Protection Study menunjukkan bahwa pasien-pasien diabetes Tipe 2 yang diterapi
dengan statin menunjukkkan penurunan resiko terhadap kejadian koroner sebesar 27%,
dan penununan ini menunjukkkan tidak ada perbedaan resiko pasien diabetes dengan non-
diabetes. Pada Scandinavian Sinvastatin Survival Study (4S), yang dilakukan terhadap
2200 penderita dengan PJK, didapatkan bahwa penurunan kolesterol berhubungan
dengan penurunan angka mortalitas kardiovaskular 42% dan total mortalitas30%. Sekitar 5
% dari pasien penelitian tersebut juga penderita diabetes, dan pada kelompok ini terjadi
penurunan sekitar 55% terhadap kejadian koroner. Pada penelitian lain, Colesterol and
Recurrent Events Trial (CARE), sekitar 14% pasien penelitian penderita diabetes dan
setelah dilakukan intervensi terjadi penurunan kejadian koroner sekitar 25%. Pada
penelitian Pravastatin Atorvastatin Evaluation and Infection Therapy (PROVE-IT) didapatkan
penurunan yang signifikan sekitar 16% terhadap kejadian kardiovaskular dengan
menurunkan serum LDL secara intensif. Hal yang sama juga ditunjukkan pada penelitian
Treat to New Target Trial (TNT) dapat menurunkan resiko sekitar 22% dibandingkan terapi
standar. 4,15,16

12
Trigleserida yang meningkat merupakan hal yang sering dijumpai pada penderita
diabetes, dan hal ini merupakan target kedua setelah LDL pada pengobatan dislipidemia.
Pada Helsinki Heart Study dilakukan pada 135 pasien DM tanpa kelainan CV dan diberikan
600 mg gemfribrozil 2 x 1 dibandingkan dengan kelompok lain yang mendapat placebo,
hasilnya dapat menurunkan rasiko relativ terhadap kematian akibat serangan jantung dan
infark jantung sebanyak 68 %. Pada Study FIELD yang dilakukan terhadap 9795 pasien
diabetes type 2, juga menurunkan 19 % total kematian ”CVD events ”dan ”non fatal infark
miokard”. 4,13
The National Cholesterol education Program (NCEP) dan Adult Treatment Panel III
(ATP-III) juga merekomendasikan bahwa orang-orang dengan diabetes tanpa penyakit
kardiovaskular harus diterapi sama dengan orang orang-orang non diabetes yang punya
penyakit kardiovaskular. Diabetes dianggap penyakit yang sepadan dengan PJK. 15
Rekomendasi target terapi dari total kholesterol adalah < 174 mg/dl, dan LDL < 97
mg/dl. Untuk penderita dengan resiko sangat tinggi target LDL < 70 mg/dl. 4

II.4.4. Intervensi terhadap Agregasi Platelet

Penurunan agregasi platelet dengan pemberian aspirin sangat efektif dan murah
untuk menurunkan angka mortalitas dan morbiditas pasien dengan PJK.
Keuntungan pemberian aspirin pada penderita diabetes telah banyak diketahui.
Pada meta analisis dari 145 penelitian menunjukkan pemberian aspirin telah menurunkan
angka moikard infark dan stroke. Setelah pemberian aspilet didapatkan resiko kearah PJK
sama dengan penderita yang non-diabetes. 16
Pada Studi ”Early Treatment of Diabetic Retinopathy ” yang memberikan aspirin
pada 3711 orang pasien DM didapatkan penurunan ”relativ risk untuk non fatal dan fatal
infark miokard” sebesar 0.83. Penelitian terhadap terapi anti-thrombotic menunjukkkan
bahwa dosis efektif optimal terapi aspirin dengan dosis 75 sampai 150 mg perhari, dengan
loading dose 150-300 mg dapat diberikan jika menginginkan efek yang lebih cepat. 4
Aspirin juga digunakan untuk mencegah risiko penyakit kardiovaskular pada pasien
DM dengan risiko tinggi yang lain seperti riwayat keluarga, hipertensi, perokok, dislipidemia
atau albuminuria.12,13
Penambahan suatu Thienopiridines (Ticlopidine, Clopidrogrel) yang bekerja dengan
inhibisi tehadap reseptor adenosin diphospat menguntungkan pada pasien unstable angina
dan infark non-ST elevasi. Penelitian CURE merekomendasikan penggunaan clopidrogrel
75 mg perhari yang dikombinasikan dengan 75-150 mg aspirin selama 9-12 bulan paska
sindroma koroner akut. Pada penelitian CAPRIE juga menunjukkan penambahan
clopidogrel memberikan proteksi yang lebih baik dari kematian akibat penyakit pembuluh
darah, reinfark, stroke dan kejadian iskemia pada pasien diabetes dan penyakit pembuluh
darah. 4

13
Gambar 4. Pendektan terapi diabetes dengan panyakit kardiovaskular. Dikutip dari 6

II.4.5. Intervensi terhadap Hiperglikemia

Target faktor resiko lain yang perlu dilakukan dalam mencegah PJK adalah terapi
terhadap glukosanya. Kontrol glukosa darah secara jelas terbukti menurunkan komplikasi
pada penderita diabetes. 4
Dari berbagai studi epidemiologi yang mendasari rekomendasi target glukosa darah
didapatkan kesimpulan, dengan peningkatan 1% dari A1c akan meningkatkan ”risiko relatif
dari CVD” sekitar 15% pada DM tipe 1 dan 18% pada DM tipe 2. Pada penelitian
”ACCORD” terhadap 10.000 pasien DM type 2 merekomendasikan nilai A1c yang harus
dicapai adalah ≈ 6 sampai 7.5 %. Pada penelitian the Diabetes Mellitus Insulin-Glukosa
Infusion Acut Myocardial Infarction (DIGAMI) pemberian insulin infus selama rawatan dan
diikuti selama 3 bulan dengan terapa intensif insulin, menurunkan angka kematian
kardiovaskular sekitar 29% dalam 1 tahun. Data tersebut mendukung bahwa kontrol
terhadap glukosa darah akan menurunkan resiko PJK. Pada penelitian the Second DIGAMI
yang membandingkan tiga jenis kelompok terapi pemberian insulin pada pasien diabetes
yang menderita IMA, menunjukkan kelompok terapi insulin infus lebih superior dibandingkan
konvensional. Dan hasil DIGAMI 2 juga menguatkan bahwa kadar glokosa darah
merupakan prediktor independent dalam mortalitas jangka panjang dari miokard infark pada
pasien diabetes, peningkatan sekitar 20% angka kematian jangka panjang terjadi setiap
kenaikan plasma glukosa 3 mmol/l. 4,16
Berdasarkan penilitian yang sudah dilakukan didapatkan keuntungan dengan
memberian insulin infus pada pasien yang menderita IMA dengan diabetes, dimana kontrol
glukosa akan didapatkan segera. Pada pasien-pasien yang dirawat dengan glukosa yang
relatif normal, dapat kita tangani dengan memberikan obat anti glukosa oral. 4
International Diabetes Association dan American Association of Clinical
Endocrinology merekomendasikan HbA1c ≤ 6,5, sedangkan American Diabetic Association
HbA1c ≤ 7.4,13
II.5. Skrining PJK pada Pasien Diabetes Mellitus

Diabetes dan penyakit kardiovaskular sering muncul seperti dua sisi mata uang,
disatu sisi Diabetes Mellitus (DM) muncul bersamaan dengan Penyakit Jantung Koroner

14
( PJK), dan pada sisi yang lain banyak penderita yang di diagnosa PJK berawal dari
diabetes atau prediabetes. 4
Pada pasien-pasien dengan diabetes yang tidak jelas menderita PJK, para klinisi
harus memutuskan melakukan pemeriksaan test awal terhadap PJK dan harus memikirkan
pemeriksaan apa yang harus dilakukan. Orang-orang dengan diabetes harus dilakukan
evaluasi terhadap adanya riwayat menderita PJK sebelumnya atau pernahkah mengalami
serangan jantung sebelumnya.16
Tidak semua penderita diabetes harus dilakukan test kardiovaskular.
Indikasi dilakukan test terhadap kardiovaskular pada penderita diabetes adalah: 16
1. Mempunyai gejala kardiak yang tipikal dan atipikal
2. ECG istirahat diduga suatu iskhemia atau infark
3. Menderita penyakit oklusi arteri perifer atau karotik
4. Orang-orang dengan sedentary lifestyle, umur > 35 tahun dan mempunyai rencana
melakukan program exercise yang berat
5. Mempunyai 2 atau lebih faktor risiko :
a. Total kolesterol ≥ 240 mg/dl, LDL ≥ 160 mg/dl, atau HDL < 35 mg/dl
b. Tekanan Darah > 140/90 mmHg
c. Perokok
d. Riwayat keluarga menderita PJK usia muda
e. Mikro/makroalbumin test yang positif

Secara umum pemilihan jenis pemeriksaan yang dilakukan pada penderita diabetes
sama dengan populasi non-diabetes. Jika skrining test dilakukan pada pasien dengan resiko
rendah ( pasien tanpa gejala, dan ECG resting normal ) pemilihan TreadMill exercise test
standar merupakan pilihan pertama. Tetapi pada pasien-pasien diabetes dengan angina
yang khas dan adanya gel Q patologis pada ECG , Ekhokardiografi (stress echo) dan
kateterisasi merupakan pilihan. 4
The European Society of Cardiology (ESC) dan The European Association for the
Study of Diabetes (EASD) telah membuat algoritma untuk membantu kita membuat
pendekatan terhadap hal tersebut, seperti pada gambar 5.4
II.6. Skrining Diabetes pada Pasien Penyakit Jantung Koroner

Diperkirakan bahwa lebih dari 50% dari pasien-pasien diabetes tidak terdiagnosa
dengan baik, karena penyakit diabetes pada awalnya tidak menunjukkan gejala klinis yang
khas dalam beberapa tahun, sehingga tidak terdiagnosa. Deteksi orang–orang yang tidak
terdiagnosa diabetes sangat penting dalam praktek klinik maupun kesehatan masyarakat,
karena prognosis sebagian pasien dapat diperbaiki dengan deteksi dan terapi yang lebih
awal. Bukti tidak langsung menunjukkan bahwa skrining awal terhadap diabetes akan
memberikan keuntungan dalam mencegah komplikasi kardivaskular. Dan skrining juga akan
mengidentifikasi pasien-pasien dengan gangguan toleransi glukosa sehingga dapat
dilakukan intervensi dengan perubahan gaya hidup ataupun obat-obatan yang akan
menurunkan atau mencegah terjadinya diabetes dan juga resiko PJK. 4
Data dari studi-studi epidemiologi menunjukkan bahwa skrening dengan
pemeriksaan gula darah 2 jam PP tidak akan mendapatkan pasien-pasien yang menderita
IFG, lebih dari itu pemeriksaan yang hanya pada kadar Gula darah Puasa (GDP) juga tidak
akan memberikan diagnosis akurat untuk menegakkan diagnosa diabetes. Sedangkan
dengan pemeriksaan dengan OGTT akan memberikan data yang lengkap sesuai kriteria
diagnostik. Oleh sebab itu pemeriksaan OGTT merupakan pilihan utama dalam skrening
diabetes pada PJK. Apalagi pasien-pasien dengan gangguan kardiovaskular, ketika terjadi
gangguan glukometabolik kebanyakan kasus terjadi peningkatan pada glukosa 2 Jam PP
saja, sedangkan GDP normal. Oleh sebab itu pemeriksaan GDP saja tidak berguna. 4

15
Pemeriksaan terhadap HbA1C sangat berguna dalam menilai metabolik kontrol dan
juga penilaian terhadap terapi. Tetapi HbA1C bukan suatu pemeriksaan yang
direkomendasikan dalam mendiagnosa diabetes. Peninggian dari HbA1C mungkin akan
mengidentifikasi orang-orang yang sudah menderita diabetes tanpa gejala ( lihat skema
diatas). 4

Gambar 5 : Algoritme pendekatan terhadap pasien PJK dan Diabetes. Dikutip dari 4
III. Patofisiologi Diabetes Mellitus, Komplikasi Kardiak dan Non Kardiak

III.1. Patofisiologi, Klasifikasi dan Diagnosis Diabetes Mellitus

Diabetes disebabkan oleh berbagai macam etiologi yang menyebabkan menurunnya


sekresi insulin atau/dan resistensi insulin. Kedua hal tersebut diatas disebabkan oleh
pengaruh faktor genetik ataupun faktor yang didapat. Pada awalnya peninggian glukosa
darah akan di kompensasi oleh peninggian jumlah sekresi insulin dari sel beta pankreas
(resistensi insulin). Setelah beberapa tahun terjadi penurunan fungsi dari sel pankreas
sehingga jumlah insulin yang diproduksi menurun dan terjadi peninggian glukosa darah.1
Sekarang ini telah diketahui bahwa dasar defek genetik adalah kerusakan pada sel
beta pangkreas. Kerusakan dari sel beta pangkreas ini menyebabkan menurunnya produksi
sekresi insulin dan ketidakmampuan untuk mengkompensasi saat terjadinya resistensi
insulin. 1,17
Pada individu dengan resistensi insulin yang tidak disertai kelainan genetik, sel
pangkreas akan mengkompensasi dengan meningkatkan produksi insulin untuk
mempertahankan kadar glukosa yang normal dan jika suatu saat produksi insulin menurun
akan berkembang menjadi diabetes. Pada orang dengan normal sel beta pangkreas
diabetes tidak akan berkembang sebagai lanjutan dari resistensi insulin. Resistensi insulin
selain disebabkan oleh faktor genetik, juga disebabkan oleh karena obesitas (terutama
lemak visceral), aktifitas yang menurun, diet tinggi lemak, efek dari tingginya glukosa
(glukosa toxicity) dan meningkatnya kadar asam lemak bebas/FFA (lipotoxicity). 17
Dasar dari abnormalitas pada metabolisme Karbohidrad, Lemak dan Protein adalah
akibat defisiensi kerja insulin pada target jaringan yang merupakan akibat dari kurangnya
insulin (defisiensi) dan/atau berkurangnya respon jaringan terhadap insulin (resistensi).
Akibatnya terjadi gangguan terhadap KH, lemak, dan protein akan timbul gejala yang khas
untuk penderita diabetes mellitus yaitu : Poliuria, Polidipsia, Poliphagia, Penuruna berat
badan dan Pruritus. 1

16
Klasifikasi dari diabetes didasarkan pada faktor etiologi dan dari perbedaan klinis
hiperglikemia. Empat klasifikasi dasar diabetes dari WHO adalah: diabetes tipe 1, tipe 2,
tipe lainnya dan diabetes gestasional. 4
Diabetes tipe 1 : DM tipe ini disebabkan oleh karena adanya defisiensi insulin yang
disebabkan adanya kerusakan pada sel beta pankreas. Biasanya terjadi pada usia muda,
tetapi bisa juga pada usia lebih tua. Meraka mempunyai antibodi yang akan merusak sel
beta pankreas, seperti antibodi asam glutamik dekarboksilase.
Diabetes tipe 2 : DM tipe ini disebabkan oleh kombinasi dari menurunnya sekresi
insulin dan menurunnya sensitifitas insulin. Pada tahap awal DM tipe 2 disebabkan oleh
adanya resistnsi insulin yang menyebabkan peninggian dari glukosa post prandial. Keadaan
ini diikuti oleh menurunnya fase pertama dari pengeluaran insulin dalam merespon
konsentrasi glukosa darah. Tipe ini hampir 90 % dari diabetes pada orang dewasa. Pasien-
pasien tipe ini biasanya gemuk dan kurang aktifitas.
Diabetes gestasional : DM tipe ini didasarkan pada setiap gangguan glukosa yang
berkembang selama kehamilan. Hampir 70% dari wanita dengan DM gestasi akan
berkembang menjadi diabetes di kemudian hari.
Diabetes tipe lain : Disini termasuk yang disebabkan defek genetik pada sel beta
pankreas, defek genetik pada kerja insulin, penyakit pada kelenjar eksokrin pankreas,
endokrinopati, penyebab obat-obatan atau zat kimia, infeksi, penyakit immun, sindroma
genetik lain seperti Down’s sindrom, Friedreich’s ataxia, Klinefelter’s sindrom, Wolfram
sindrom.
WHO juga telah merekomendasikan klasifikasi gangguan metabolisme glukosa
berdasarkan pemeriksaan glukosa puasa dan 2 jam post prandial, dan juga
merekomendasikan pemeriksaan dengan OGTT pembebanan standar 75 gram glukosa
harus dilakukan pada orang yang hiperglikemia diragukan. OGTT dilakukan pagi hari
dengan puasa 8 – 12 jam, sampel darah diambil sebelum dan 120 menit setelah diberikan
beban glukosa.
ADA (2003) dan WHO (1999) telah mengeluarkan kriteria baru untuk gangguan
metebolisme glukosa berdasarkan pemeriksaan glukosa darah puasa dan 2 jam post
prandial yaitu sbb: 4
1. Regulasi Glukosa Normal :
WHO : Kadar Glukosa Puasa <110 mg% ; 2 jPP <140 mg%.
ADA : Kadar Glukosa Puasa < 100 mg%.
2. Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT/ IFG) :
WHO : Kadar glukosa puasa > 110 mg% dan < 126 mg%; 2 jPP < 140 mg%.
ADA : Kadar glukosa puasa ≥ 100 mg% dan < 126 mg%.
3. Toleransi Glukosa Terganggu (TGT / IGT ) :
WHO : Kadar glukosa puasa < 126 mg% ; 2 jPP < 140 mg% dan < 200 mg%.
4. Diabetes Mellitus ( DM) :
WHO : Kadar glukosa puasa ≥ 126 mg% atau 2jPP > 200 mg%.
ADA : Kadar glukosa puasa ≥ 126 mg%.

Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik
DM dilakukan pada mereka yang menunjukkkan gejala / tanda DM, sedangkan
pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang
mempunyai resiko DM. Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien DM,
pasien toleransi Glukosa terganggu (TGT/IGT) dan glukosa darah puasa terganggu
(GDPT/IFG), sehingga bisa direncanakan langkah selanjutnya yang tepat untuk mereka.
Kelompok pre-diabetik ini jika tidak ditangani dengan baik sebahagian besar akan menuju
ke DM. 4

17
Diagnosa DM umumnya dipikirkan bila ada keluhan khas berupa poliuria, polidipsia,
polifagia, dan penurunan berat badan. Keluhan lain yang sering muncul adalah badan
lemah, kesemutan, gatal-gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria serta pruritus
vulva pada wanita. 4,17

III.2. Komplikasi Kardiak

III.2.1. Diabetes dan Sindroma Koroner Akut

Diabetes sering didapatkan pada pasien-pasien dengan Sindroma Koroner Akut


(SKA). Pada penelitian terakhir proporsi diabetes dengan SKA didapatkan sekitar 19-23%.
Pada pasien dengan SKA yang tidak diketahui adanya penyakit diabetes, kemudian
dilakukan pemeriksaan OGTT, didapatkan sekitar 65% dari pasien-pasien tersebut
mengalami gangguan regulasi glukosa, dari 25% pasien yang belum pernah didiagnosa
diabetes dan 40% pada yang sebelumnya sudah mengalami GDPT/IFG. Data dari The Euro
Heart Survey on Diabetes and the Heart yang mengambil data dari 25 negara
memperlihatkan bahwa, pada pasien-pasien yang masuk ke rumah sakit dengan diagnosa
PJK ketika dilakukan OGTT didapatkan sekitar 22% dari mereka menderita diabetes. Dan
didapatkan juga proporsi keseluruhan dari pasien-pasien diabetes dengan SKA sekitar 45%.
4

Laporan dari beberapa penelitian mengindikasikan dilakukan pemeriksaan glukosa


darah acak saat pasien masuk ke rumah sakit dengan diagnosa SKA. Tingginya konsentrasi
glukosa pada pasien diabetes walaupun sebelumnya tidak pernah didiagnosa diabetes
berhubungan kuat dengan outcome yang jelek pada saat dirumah sakit maupun jangka
panjang. 4
Studi The Landmark Diabetes Glukosa And Myocardial infarction (DIGAMI) dimana
pada pasien dengan SKA dan hiperglikemi kemudian diintervensi dengan insulin infus,
dalam 24 jam menunjukkkan penurunan yang bermakna dari glukosa pada pasien-pasien
tersebut, dan setelah dipertahankan kadar glukosa selama setahun menunjukkan
penurunan angka kematian sekitar 11 %. Efek yang bermanfaat masih didapatkan setelah
3-4 tahun follow-up dengan menurunkan angka kematian relatif sekitar 30%. Pada DIGAMI
II membuktikan bahwa gula darah yang terkontrol merupakan nilai prediksi yang kuat
terhadap penurunan angka kematian dalam 2 tahun. Pada The Schwabing Myocardial
Infarction Registry, telah dijelaskan tentang pentingnya perhatian terhadap hiperglikemi akut
pada pasien SKA. Intervensi terhadap hiperglikemia harus dilakukan pada pasien diabetes
maupun non diabetes, dan menunjukkan bahwa angka kematian dalam 24 jam maupun
total kematian pada pasien setelah terkontrol glukosanya sama dengan pasien yang non-
diabetes. 4
Pasien yang masuk ke rumah sakit dengan SKA dan sebelumnya penderita diabetes
mempunyai angka kematian yang tinggi selama di rumah sakit ( 11.7 %, 6.3 % dan 3.9 %
masing-masing pada PJK STEMI, PJK NSTEMI dan Angina Tak Stabil ). Diabetes juga
berhubungan dengan kematian jangka panjang dimana sekitar 15-34% setelah 1 tahun dan
43% setelah 5 tahun follow-up. 4
Komplikasi utama dari pasien dengan SKA adalah reinfark, disfungsi ventrikel kiri,
gagal jantung, instabilitas elektrik, stroke, dan kematian. Komplikasi ini secara signifikan
lebih sering terjadi pada pasien dengan diabetes. Tingginya angka kematian pada pasien
dengan diabetes tersebut disebabkan oleh kekacauan pada gluko-metabolik. Dimana
peningkatan glukosa pada setiap tingkatan akan merubah subtrat energi metabolisme,
termasuk resistensi insulin, peningkatan asam lemak bebas dan oksidatif stres. Metabolik-

18
metabolik ini akan makin tinggi pada saat serangan akut infark miokard, ketika nyeri dada,
sesak nafas, dan kecemasan yang disebabkan oleh meningkatnya tonus adrenergik. 4
Pasien-pasien diabetes sering mengalami infark yang luas, menurunnya
kemampuan vasodilatasi, menurunnya aktifitas fibrinolitik, meningkatnya aktifitas agregasi
trombosit, disfungsi saraf autonom dan juga kemungkinan terjadi kardiomiopati. Semua
faktor-faktor diatas harus menjadi pertimbangan dalam mengobati seorang penderita
diabetes dan SKA. Salah satu hal yang sering didapatkan akibat efek dari gangguan saraf
autonom pasien diabetes adalah hilangnya simptom yang spesifik dari suatu SKA.
Dilaporkan bahwa prevalensi dari silent iskemia sekitar 10-20% dibandingkan 1-4% pada
non-diabetes. 4
III.2.2. Diabetes dan Revaskularisasi Koroner

Prosedur revaskularisasi diindikasikan pada pasien diabetes mulai dari penyakit


jantung iskemik yang asimptomatik sampai dengan STEMI, SKA dan pencegahan kematian
jantung mendadak. Tetapi harus selalu dipertimbangkan dengan cermat bahwa, resiko suatu
tindakan lebih tinggi pada pasien diabetes dibandingkan non-diabetes. Pasien dengan
diabetes sering mendapatkan ateroskerosis yang berat dan sangat besar kemungkinan
membutuhkan suatu revaskularisasi. Pemilihan strategi untuk tindakan harus selalu
mempertimbangkan bahwa resiko terjadinya re-stenosis dan re-oklusi pada graf pasien
tersebut sangat besar. 4
Pasien dengan diabetes atau hiperglikemi memiliki respon yang beragam terhadap
terapi infark jantung. Secara umum beberapa bukti menunjukkkan tindakan PCI lebih baik
dari trombolitik pada STEMI. Walaupun trombolitik kurang efektif pada pasien diabetes,
revaskularisasi dan reperfusi dengan PCI juga kurang efektif pada PJK yang diffuse dengan
diameter yang kecil dan juga mempunyai kecendrungan re-stenosis yang tinggi. 4
Angka morbiditas dan mortalitas perioperatif CABG pasien diabetes masih lebih
tinggi dibandingkan dengan non-diabetes walaupun telah diterapi dengan insulin. Pasien
diabetes yang menjalani PCI juga lebih jelek angka survival dibanding non-diabetes, dan
berhubungan dengan restenosis yang masih tinggi. 18
Beberapa patofisiologi yang digambarkan dari atherosklerosis pasien diabetes
sehingga memberi respon yang lebih jelek dibanding non-diabetes adalah adanya
abnormalitas dari metabolik dan hematologi pada DM seperti hiperglikemia, resistensi
insulin, dislipidemia, inflamasi dan trombofilia. Platelet pada penderita diabetes akan
merangsang pembentukan reseptor GPIIb/IIIa, dan akan meningkatkan proses agregasi dan
bersama-sama dengan hiperglikemi merusak endothel dan akhirnya terjadi trombosis
koroner. 4,18
Bentuk anatomi dari atherosklerosis pada pasien diabetes juga berpengaruh
terhadap re-stenosis dan prognosis. Pada autopsi dan studi angiografi didapatkan beberapa
ciri orang lesi atherosklerosis penderita diabetes, yaitu lesi lebih sering mengenai Left Main
Artery, multivessel, diffuse dan mempunyai diameter pembuluh darah yang lebih kecil
disekitar sumbatan. Pembuluh darahnya juga kaya lipid dan semua keadaan ini sangat
mungkin untuk ruptur. 18
Pada penelitian angioskopi pasien diabetes dengan angina stabil didapatkan
banyak pecahan plaqeu dan trombus intra arteri koroner. Arteri penderita diabetes kurang
mampu beradapatasi terhadap suatu sumbatan dan dalam membentuk kolateral pada saat
infark. 18,19
Pada penelitian the Bypass Angioplasty Revaskularization Investigation (BARI),
didapatkan angka survival rate 5 thn pada pasien diabetes lebih baik dengan tindakan
CABG dibandingkan PTCA (ballon). Pada penelitian the Arterial Revaskularization Study
(ARTS) juga didapatkan angka 1 tahun free-event survival lebih rendah pada pasien yang
diterapi dengan stent dibanding dangan CABG. Penggunaan dari Gp Iib/IIIa inhibitor pada

19
saat pemasangan stent menurunkan angka kematian infark miokard dan target
revaskularisasi dalam 6 bulan. Pada penelitian the Emory Angioplasty vs Surgery (EAST)
dan the Coronery Angioplasty vs Bypass Revaskularization Investigation (CABRI)
melaporkan tindakan CABG memberikan angka survival lebih baik dibanding PCI terutama
pada pasien dengan multivessel disease. Dan penggunaan graft dari arteri mammaria juga
lebih baik dibandingkan dengan graft dari vena saphenous. 4,18,19
Pengenalan drug eluting stent pada pasien diabetes telah memberikan hasil yang
lebih baik dibanding bare-metal stent dalam restenosis post PCI, tetapi angka retenosis
masih tetap tinggi dibandingkan kelompok non-diabetes. 18,19
Penelitian intravaskular ultrasound dan analisa histologi spesimen mendapatkan
bahwa percepatan re-stenosis pada pasien diabetes disebabkan oleh tingginya proliferasi
dan deposit matrik ektraselular di pembuluh darah koroner. Dan pada serial ultasound
intravaskular pada pasien hiperinsulin menunjukkkan peningkatan proliferasi jaringan intima
pembuluih darah post pemasangan stent koroner. 18,19

Gambar 5: indikasi pasien diabetes untuk revaskularisasi.dikutip dari 18

III.2.3. Diabetes Mellitus dan Gagal Jantung

Gagal jantung didapatkan sekitar 12% pada pasien diabetes dibandingkan dengan
tanpa diabetes, hal ini menunjukkan hubungan yang kuat antara diabetes dan gagal
jantung. Pada penelitian Farmingham yang diikuti selama 18 thn, melaporkan kejadian
gagal jantung pada diabetes meningkat dua kali pada laki-laki dan lima kali pada wanita
dibandingkan dengan pasien non-diabetes. 4
Prognosis pasien gagal jantung dengan diabetes menurun. Diabetes juga faktor
prognostik kematian yang tinggi pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri. Penelitian pada
populasi umum dari Reykjavik melaporkan, terjadi penurunan angka harapan hidup yang
signifikan pada pasien gagal jantung dan abnormal glukosa, walaupun setelah di
adjustment dengan faktor resiko lain dan PJK. 4
Rekomendasi terapi dari gagal jantung dan diabetes dengan ACE-inhibitor, ARB dan
beta bloker yang merupakan pilihan pertama. Diuretik dan aldosteron bisa mengurangi
gejala dan sebagai obat tambahan pada gagal jantung. 4

20
III.2.4. Diabetes Mellitus dan Kardiomiopati

Wilson Tang dkk, telah menjelaskan hubungan antara diabetes dengan gagal
jantung yang merupakan efek dari resistensi insulin pada miokard. Pada tahun 1972, pada
penelitian autopsi histopatologi terhadap pasien diabetes dengan ventrikel kiri yang
hipertropi, didapatkan jaringan yang spesifik terhadap diabetik kardiomiopati. 4
Gagal Jantung merupakan sindroma klinis sedangkan kardiomiopati merupakan
perubahan struktur yang abnormal akibat resistensi insulin yang telah dialami jaringan
miokard. Diabetes tidak hanya menyebabkan disfungsi miokard, tetapi juga terjadi
gannguan lain seperti penurunan aliran darah miokard, dan juga gangguan keseimbangan
antara pengambilan glukosa dan aliran darah miokard sehingga mengganggu glukosa
masuk ke sel, pasien diabetes juga mengalami keterbatasan dalam kompensasi
hiperkinetik dari jaringan yang masih sehat/non infark yang disebabkan neuropati dari saraf
outonom. Kardiomiopati secara klinis biasanya muncul dengan gangguan sistolik, diastolik
ventrikel kiri dan gangguan neurohumoral. 4
Disfungsi miokard pada pasien diabetes kemungkinan besar disebabkan adanya
gangguan metabolik pada tingkat sel miokard. Pada keadaan normal jalur utama sumber
energi untuk sel jantung adalah dari oksidasi Asam Lemak Bebas dan sebagian kecil
melalui oksidasi glukosa. Ketika terjadi suatu iskemia miokard dan kenaikan tekanan intra
ventrikular akan terjadi perubahan produksi energi ATP dari FFA ke Glukosa. Produksi
energi miokard dari glukosa ini sangat menurun ( sekitar 10 % ) sehingga terjadi oksidasi
FFA yang lebih banyak. Masalahnya adalah pada proses oksidasi FFA diperlukan oksigen
lebih banyak sementara otot miokard kekurangan oksigen. Pada bagian lain penderita
diabetes sendiri juga mengalami peningkatan dari FFA akibat dari peningkatan tonus
simpatis, resistensi insulin dan insufisiensi insulin, hal ini akan menyebabkan penimbunan
kronis FFA dan hasil metaboliknya pada miokard sehingga terjadi disfungsi miokard. 4

III.3. Komplikasi non Kardiak

Diabetes meningkatkan resiko relatif terhadap penyakit Cerebrovaskular ( stroke,


CVA) 2.5 – 4.1 kali pada laki-laki dan 3.6 – 5.8 kali pada wanita. Walaupun resiko lain
terhadap stroke telah dikoreksi, resiko terhadap kardio vaskular tetap meningkat sebanyak 2
kali. Hal ini membuktikan bahwa diabetes merupakan faktor resiko kuat terhadap stroke dan
kematian. Komplikasi diabetes seperti proteinuria, retinopati, dan neuropati automomik juga
meningkatkan resiko terhadap stroke. Tipe dari stroke biasanya adalah iskemik, dan rasio
antara iskemi dan hemoragik lebih tinggi pada pasien diabetes dibanding populasi normal. 4
Pasien dengan stroke dan diabetes harus diterapi dengan prinsip yang sama dengan
pasien tanpa diabetes. Optimalisasi dari kondisi metabolik termasuk kontrol terhadap
glukosa darah harus segara dilakukan pada setiap keadaaan stroke. Menormalkan tekanan
darah telah direkomendasi pada semua pasien diabetes untuk pencegahan maupun terapi
stroke. Pemberian statin, aspilet telah direkomendasikan dengan prinsip yang sama
dengan pasien tanpa stroke. 4
Diabetes meningkatkan resiko 2 – 4 kali terhadap penyakit pembuluh darah perifer.
Manifestesi gejala dari penyakit ini adalah Claudicatio intermitten dan iskemia limb kritikal,
dan kedua kondisi tersebut meningkat pada populasi diabetes. Kerusakan sirkulasi tungkai
disebabkan komplikasi diabetes terhadap mikro dan makrovaskular pembuluh darah.
Prevalensi dari penyakit ini meningkat dangan penambahan umur, lamanya diabetes dan
neuropati perifer. Penyakit pembuluh darah perifer ini merupakan marker dari proses
atherosklerosis keseluruhan pada pasien dangan gejala maupun tidak, paling sering
didapatkan dengan kelainan di koroner dan penyakit cerebrovaskular. Diagnosis yang cepat

21
pada pasien diabetes sangat penting dalam usaha pencegahan penyakit ini seperti juga
prediksi terhadap resiko terhadapa kardiovaskular. 4
Obstruksi pembuluh darah pada pasien dengan diabetes biasanya lokasinya lebih ke
distal. Tempat yang khas untuk lokasi tersebut adalah arteri poplitea atau pembuluh darah
distal dari tungkai. Gejala dari iskemi tungkai pada pasien diabetes dengan neuropati perifer
biasanya tidak khas dan samar-samar. Pasien biasanya merasakan lelah pada tungkai atau
hanya ke tidak mampuan untuk berjalan di tempat yang normal. Pemeriksaan phisik
sangat penting dalam menegakkan diagnosis, palpasi nadi dan inspeksi dari tungkai sangat
penting. Pemeriksaan yang objektif untuk penyakit pembuluh darah perifer adalah dengan
mengukur ankle-brachial blood pressure index yaitu rasio antara tekana arteri setinggi
pergelangan kaki dan arteri brakhial dengan tekanan yang tinggi. Penggunaaan dopplers
juga sangat membantu dalam menegakkan diagnosis. 4
Nilai ankle-brachial blood pressure index dibawah 0.5 atau tekanan ankle dibawah
50 mmHg mengindikasikan kerusakan yang berat pada sirkulasi kaki. Jika nilai ankle-
brachial blood pressure index diatas 1.3 mengindikasikan buruknya tekanan pada pembuluh
darah. Ini disebabkan oleh proses atherosklerosis pada tunika media arteri. 4
Menghentikan merokok dan olah raga yang teratur sangat penting dalam terapi.
Terapi terhadap hipertensi harus dikakukan, tetapi hati-hati pada pasien dengan iskemik
kritikal limp dan pada pasien yang tekanan di distalnya sangat rendah dimana hal ini
berbahaya untuk mempertahankan jaringan perifer. Target dari tekanan arteri distal adalah
pada level tekanan arteri yang cukup memberikan darah ke distal. Anti agregasi aspirin
diindikasikan pada semua kasus, dan pada kasus tertentu clopidrogel, dipiridamol dan
antikoagulan dengan low melocular weight heparin merupakan pilihan. 4

IV. Terapi Menyeluruh Pasien Diabetes Mellitus


IV.1. Terapi Diet dan Olah Raga
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam
hal karbohidrat, protein, dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut
:Karbohidrat 60-70%, Protein 10-15%, Lemak 20-25%.
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut dan kegiatan
jasmani untuk mencapai dan memper tahankan berat badan idaman.
Untuk kepentingan klinik praktis, dan menghitung jumlah kalori, penentuan status gizi
memanfaatkan Rumus Broca, yaitu: BB idaman = (TB – 100) – 10%
Status gizi : Berat Badan kurang = < 90% BB idaman , Berat Badan normal = 90 - 110% BB
idaman, Berat Badan lebih = 110 - 120% BB idaman, Gemuk = > 120% BB idaman
Jumlah kalori yang diperlukan dihitung dari berat badan idaman dikalikan kebutuhan
kalori basal (30 Kkal/kg BB untuk laki-laki dan 25 Kkal/kg BB untuk wanita). Kemudian
ditambah dengan kebutuhan kalori untuk aktivitas (10 - 30%; untuk atlet dan pekerja berat
dapat lebih banyak lagi, sesuai dengan kalori yang dikeluarkan dalam kegiatannya), koreksi
status gizi (gemuk dikurangi, kurus ditambah) dan kalori yang diperlukan untuk menghadapi
stres akut (infeksi, dan sebagainya) sesuai dengan kebutuhan.
Makanan sejumlah kalori terhitung, dengan komposisi tersebut di atas dibagi dalam 3
porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%) dan sore (25%) serta 2-3 porsi (makanan
ringan, 10 - 15%) di antaranya. Pembagian porsi tersebut sejauh mungkin disesuaikan
dengan kebiasaan pasien untuk kepatuhan pengaturan makanan yang baik. Untuk pasien
DM yang mengidap pula penyakit lain, pola pengaturan makan disesuaikan dengan
penyakit penyertanya. Perlu diingatkan bahwa pengaturan makan pasien DM tidak berbeda
dengan orang normal, kecuali jumlah kalori dan waktu makan yang terjadwal. Untuk

22
kelompok sosial ekonomi rendah, makanan dengan komposisi karbohidrat sampai 70 - 75%
juga memberikan hasil yang baik.
Latihan jasmani secara teratur (3 - 4 kali seminggu) selama kurang lebih 30 menit,
yang sifatnya sesuai CRIPE (continuous, rhythmical, interval, progressive, endurance
training). Sedapat mungkin mencapai zona sasaran 75 - 85% denyut nadi maksimal (220 -
umur), disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penyakit penyerta. Sebagai contoh
olahraga ringan adalah berjalan kaki biasa selama 30 menit, olahraga sedang adalah
berjalan cepat selama 20 menit dan olahraga berat misalnya jogging. 20

IV.2. Obat hipoglikemia

Regimen terapi terhadap hiperglikemia dalam mencapai target yang diinginkan


adalah Diet, Strategi gaya hidup, obat oral hipoglikemia, dan insulin. Pemilihan jenis obat
harus diputuskan oleh para klinisi dan target glukosa darah harus dicapai seoptimal
mungkin.

Jika pasien telah menerapkan pengaturan makan dan kegiatan jasmani yang teratur
namun pengendalian kadar glukosa darahnya belum tercapai dipertimbangkan pemakaian
obat berkhasiat hipoglikemik oral maupun suntikan
Pada umumnya pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis
rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan kadar glukosa darah
pasien. Kalau dengan sulfonilurea atau metformin sampai dosis maksimal ternyata sasaran
kadar glukosa darah belum tercapai, perlu dipikirkan kombinasi 2 kelompok obat
hipoglikemik oral yang berbeda (sulfonilurea + metformin atau metformin + sulfonilurea,
acarbose + metformin atau sulfonilurea). Kombinasi OHO dosis kecil dapat pula digunakan
untuk menghindari efek samping masing-masing kelompok obat. Dapat pula diberikan
kombinasi ketiga kelompok OHO bila belum juga dicapai sasaran yang diinginkan, atau ada
alasan klinik di mana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai.
Kalau dengan dosis OHO maksimal baik sendiri-sendiri ataupun secara kombinasi
sasaran glukosa darah belum tercapai, dipikirkan adanya kegagalan pemakaian OHO. Pada
keadaan demikian dapat dipakai kombinasi OHO dan insulin. 20

IV.2.1. Obat Hipoglikemik Oral (OHO)

Pada umumnya dalam menggunakan obat hipoglikemik oral, baik golongan


sulfonilurea, metformin maupun inhibitor glukosidase alfa, harus diperhatikan benar fungsi
hati dan ginjal. Tidak dianjurkan untuk memberikan obat-obat tersebut pada pasien dengan
gangguan fungsi hati atau ginjal. 20,21

Sulfonilurea :
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas. Oleh sebab itu merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan
normal dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih.
Untuk menghindari risiko hipoglikemia yang berkepanjangan, pada pasien usia lanjut obat
golongan sulfonilurea dengan waktu kerja panjang sebaiknya dihindari.

Biguanid (Metformin) :

23
Obat golongan ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati di samping
juga efek memperbaiki ambilan glukosa perifer. Obat golongan ini terutama dianjurkan
dipakai sebagai obat tunggal pada pasien gemuk. Biguanid merupakan kontraindikasi pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan
hipoksemia (misalnya pasien dengan penyakit serebro kardiovaskular). Obat biguanid dapat
memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan
bersamaan atau sesudah makan.

Inhibitor Glukosidase Alfa (Acarbose):


Obat golongan ini mempunyai efek utama menurunkan puncak glikemik sesudah makan,
terutama bermanfaat untuk pasien dengan kadar glukosa darah puasa yang masih normal.
Biasanya dimulai dengan dosis 2 kali 50 mg setelah suapan pertama waktu makan. Jika
tidak didapati keluhan gastrointestinal, dosis dapat dinaikkan menjadi 3 kali 100 mg. Pada
pasien yang menggunakan acarbose jangka panjang perlu pemantauan faal hati dan ginjal
secara serial, terutama pasien yang sudah mengalami gangguan faal hati dan ginjal. 20

Tabel 1. Obat Hipoglikemik Oral. dikutip dari 20

Obat Dosis awal Dosis maksimal Pemberian sehari


yg dianjurkan
Golongan Sulfonilurea
Glibenklamid 2,5 mg 15-20 mg 1-2 kali
Gliklasid 80 mg 240 mg 1-2 kali
Glikuidon 30 mg 120 mg 2-3 kali
Glipisid 5 mg 20 mg 1-2 kali
Glipisid GITS 5 mg 20 mg 1 kali
Glimepirid 1 mg 6 mg 1 kali
Klorpropamid 50 mg 500 mg 1 kali
Golongan Biguanid
Metformin 500 mg 2500 mg 1-3 kali
Golongan inhibitor glukosidase alfa
Acarbose 50 mg 300 mg 3 kali

IV.2.2. Insulin

Insulin umumnya diberikan dengan suntikan di bawah kulit (subkutan). Pada


keadaan khusus diberikan intramuskular atau intravena secara bolus atau drip. Insulin dapat
diberikan tunggal (satu macam insulin kerja cepat, kerja menengah atau kerja panjang),
tetapi dapat juga diberikan kombinasi insulin kerja cepat dan kerja menengah, sesuai
dengan respons individu terhadap insulin, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar glukosa

24
darah harian. Untuk menyuntik insulin kombinasi kerja cepat dan menengah atau panjang,
diperlukan teknik khusus untuk mencampur kedua macam insulin tersebut dalam satu
semprit. Lokasi penyuntikan juga harus diperhatikan benar, demikian pula mengenai rotasi
tempat suntik. Apabila diperlukan, sejauh sterilitas penyimpanan terjamin, semprit insulin
dapat dipakai lebih dari satu kali (sampai satu minggu) oleh pasien yang sama. Jarum
suntik dapat dipakai sampai dirasakan tidak nyaman lagi.
Harus diperhatikan benar konsentrasi insulin (U40, U100). Dianjurkan dipakai
konsentrasi yang tetap (U40 atau U100), tidak berganti-ganti, dengan semprit yang sesuai
(semprit U40 untuk insulin U40, semprit U100 untuk insulin U100). 20,21

Tabel 2 : Jenis dan lama kerja insulin.dikutip dari 20

Jenis Awitan kerja (jam) Puncak kerja (jam) Lama kerja (jam)
Insulin kerja pendek 0,5 - 1 2-4 5-8
Insulin kerja menengah 1-2 4 - 12 8 - 24
Insulin kerja panjang 2 6 - 20 18 - 36
Insulin campuran 0,5 - 1 2 - 4 dan 6 -12 8 - 24

V. Sindroma Metabolik

Pada tahun 1988, Reaven menggambarkan suatu sindroma yang terdiri dari
kumpulan beberapa abnormalitas seperti : resistensi insulin, hiperinsulinemia, hiperglikemia,
peningkatan Very Low Density lipoprotein Trigesirida, penurunan HDL-kolesterol dan
peninggian tekanan darah. Kemudian sindroma ini menjadi sindroma metabolik. Sekarang
ini beberapa komponen lain termasuk dalam kumpulan ini yaitu adanya marker-marker
inflamasi, mikroalbuminuria, hiperuricemia, abnormalitas pada proses fibrinolitik dan
koagulasi darah.4
Sindroma metabolik sangat menarik perhatian perhatian karena berkaitan dengan
faktor resiko PJK. Pada tahun 1988 WHO menyepakati suatu istilah yang mengganti
sindroma resistensi insulin dengan nama baru yaitu sindroma metabolik. Kriteria WHO
tersebut menekankan adanya gangguan toleransi glukosa dan resistensi insulin dengan dua
atau lebih tanda-tanda lain seperti hipertensi, hipertrigliserida, kholesterol HDL yang rendah,
obesitas sentral dan mokroalbuminuria. Pada tahun 2001 The National Cholesterol
education Program (NCEP) dan Adult Treatment Panel III (ATP-III) mengeluarkan defenisi
sindroma metabolik yang lebih menekankan pada batasan yang mudah didiidentifikasi oleh
klinisi, dengan tidak memasukkan insulin resisten dan mikroalbuminuria yang sehari-hari
relatif sulit diperiksa. 22
Sampai sekarang ini paling tidak sudah 5 definisi dari Sindroma metabolik, dimulai
dari WHO tahun 1998 kemudian direvisi tahun1991, The European group for Study of
Insulin Resisten (EGIR) 1999, The National Cholesterol Education program (NCEP) dan
Adult Treatment Panel III (ATP-III) 2001, The American Association of Clinical Endocrinology
(AACE) 2003, dan The International Diabetes Federation (IDF) Consensus panel. Defenisi
dari WHO dan EGIR terutama digunakan untuk tujuan penelitian, NCEP dan AACE
digunakan untuk kegunaan klinis, sedangkan IDF secara luas digunakan untuk praktek
klinis.4
Penelitian-penelitian yang berhubungan dengan sindroma metabolik dan resiko
mortalitas dan morbiditas masih jarang, terutama yang membandingkan defenisi-definisi

25
diatas dengan resiko CVD. Beberapa penelitian di Eropa menunjukkan bahwa sindroma
metabolik berhubungan dengan meningkatnya CVD dan semua penyebab kematian. Tetapi
pada penelitian the Second National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) di
Amerika menunjukkan hal yang tidak konsisten, dimana hanya didapatkan hubungan
peningkatan yang sedang / moderat dari sindroma metabolik dengan CVD, tetapi tidak
signifikan terhadap semua penyebab kematian, PJK, ataupun stroke. Penelitian terakhir
menunjukkan bahwa defenisi dari NCEP terhadap metabolik sindrome lebih lemah dalam
memprediksi terjadinya suatu diabetes atau CVD. Lawlor dkk terakhir menunjukkan bahwa
estimasi dari setipa definisi tersebut adalah sama atau lebih rebdah dari pada faktor-faktor
individual. Oleh karena itu faktor individual menjadi nilai prosnostik tambahan terhadap
prediksi suatu mortalitas dari CVD. Walaupun setiap definisi dari sindroma metabolik
merupakan beberapa faktor resiko tetapi masih kontroversial. Ditambah bahwa beberapa
formula untuk prosnostik tidak akurat dapat memprediksi CVD. 4
Beberapa kesimpulan tentang Sindroma Metabolik telah disepakati oleh group
komite dan telah menjadi konsensus adalah :23
1. Sindroma Metabolik merupakan kumpulan dari berbagai karekteristik klinis yang
berhubungan dengan meningkatnya resiko PJK dan DM tipe2.
2. Sindroma Metabolik tidak memiliki ciri yang spesifik tersendiri, akan tetapi
mempunyai komponen variasi yang luas bergantung individu, ras dan etnik.
3. Sindroma Metabolik bukan merupakan target utama dalam menurunkan kejadian
kardiovaskular, akan tetapi faktor resiko yang timbul pada pasien SM seperti
merokok, peningkatan LDL kholesterol, dan tekanan darah merupakan target utama
dalam menurunkan resiko CV pada pasien sindroma metabolik.
4. Group konsensus juga berkesimpulan masih perlunya penelitian tambahan untuk
menilai aspek-aspek dari sindroma metabolik untuk memperjelas penyebabnya, dan
untuk menjawab apakah terapi spesifik untuk sindroma metabolik sendiri lebih baik
daripada terapi terhadap masing-masing faktor rasiko yang timbul.

V.1. Patogenesis Sindroma Metabolisme

Mekanisme yang dipercaya menyebabakan terjadinya sindroma metabolik hingga


saat ini bersumber dari resistensi insulin dan obesitras sentral (viseral). Lemak sentral
secara metabolik lebih aktif di perifer. Penumpukan dari sel lemak akan menyebabkan
peningkatan asam lemak bebas dari hasil lipolisis, yang akan menurunkan resistensi insulin.
Peningkatan darai FFA ini di lever akan meningkatkan proses glukoneogenesis, yang akan
meningkatkan produksi glukosa dan menurunkan ekstraksi insulin sehinnga terjadi
hiperinsulinemia. Di otot terjadi penurunan pemakaian glukosa oleh sel otot. Sel lemak juga
akan mengeluarkan sitokin (adipositokin) seperti angiotensin, TNF alfa, resistin dan leptin
yang berhubungan dengan penurunan resistensi terhadap insulin. TNF alfa menyebabkan
resistensi dengan cara menghambat aktivitas tirosin kinase pada reseptor insulin dan
menurunklan ekspresi glukosa tranporter-4 (GLUT-4) di sel lemak dan otot. Adinopectin
suatu zat yang dapat menurunkan resistensi insulin akan menurun pada pasien sindroma
metabolik. Resistensi insulin dan hiperinsulinemia ini akhirnya akan menyebabkan
perubahan metabolik, sehingga timbul hipertensi, dislipidemia, peningkatan terhadap respon
inflamasi dan koagulasi, melalui mekanisme yang komplek; diantaranya mekanisme
disfungsi endothel dan oksidatif stres. Resistensi insulin semakin lama semakin berat,
sehingga terjadi hiperglikemia dan manifestasi DM tipe2. 24
V. 2. Manajemen Klinik Sindroma Metabolik

26
Tujuan utama terapi sindroma metabolik adalah menurunkan resiko klinis penyakit
atherosklerosis, dan juga untuk mencegah resiko terjadinya diabetes pada pasien-pasien
yang belum dijumpai gejala diabetes. 22
Lini pertama terapi adalah menekan faktor resiko mayor yaitu berhenti merokok,
menurunkan LDL kolesterol, tekanan darah dan glukosa ke batas optimal. Untuk terapi
jangka panjang, terapi gaya hidup/lifestyle merupakan intervensi lini pertama untuk
menurunkan faktor resiko metabolik, intervensi ini terutama ditujukan untuk menurunkan
berat badan pada pasien obese atau over weight, meningkatkan aktivitas fisik dan
modifikasi diet. Perubahan diatas akan menurunkan faktor resiko mayor secara simultan.
Pada pasien dengan high risk ( PJK dengan DM) harus diberikan terapi spesifik terhadap
resiko dan harus diterapi secara intensiv. 22,24
Tidak ada obat spesifik yang direkomendasikan untuk penderita dengan sindroma
metabolik. Terapi bergantung kepada setiap faktor resiko yang muncul yaitu dislipdemia,
hipertensi, gangguan toleransi glukosa, gangguan terhadap fibrinolitik dan koagulasi darah.
22,24

VI. Ringkasan

Prevalensi diabetes di dunia pada umumnya dan di Indonesia khususnya terus


meningkat. Peningkatan ini akan berdampak pada tingginya angka morbiditas dan
mortalitas yang disebabkan oleh komplikasi diabetes, terutama terhadap penyakit
kardiovaskular.
Penyakit Kardiovaskular, terutama aterosklerosis, merupakan penyebab terbanyak
dari morbiditas dan mortalitas penderita diabetes. Diabetes mellitus juga akan
meningkatkan resiko komplikasi penyakit kardiak dan non-kardiak lainnya.
Patofisiologi komplikasi pada diabetes adalah gangguan pada endotel pembuluh
darah, pada otot polos pembuluh darah dan fungsi trombosit. Abnormalitas metabolik pada
diabetes seperti hiperglisemia, meningkatnya FFA, insulin resisten mendasari terjadinya
proses aterosklerosis vaskular, diikuti dengan gangguan keseimbangan NO, meningkatnya
oksidatif stress, aktifitas AGEs, gangguan fungsi platelet dan meningkatnya faktor-faktor
protrombosis.
Dengan mengetahui mekanisme dari komplikasi ini, mungkin akan memberikan
strategi baru, sehingga dapat mengurangi morbidatas dan mortalitas.
Intervensi terhadap faktor resiko merupakan tindakan yang sangat tepat dalam
mencegah meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas penyakit diabetes dengan
penyakit kardio vaskular. Oleh sebab itu tindakan skrining pasien diabetes terhadap
penyakit jantung koroner maupun skrining penyakit jantung koroner terhadap diabetes
sangat diperlukan.
Penatalaksanan yang paripurna dimulai dari pengenalan faktor resiko dan
pengetahuan akan komplikasi vaskular, serta penatalaksanaan yang tidak hanya berfokus
pada kontrol glikemik tapi juga terhadap komplikasi yang akan timbul melalui manajemen
gaya hidup, terapi agresif terhadap glukosa yang optimal, tercapainya tekanan darah yang
normal, koreksi terhadap gangguan lipid dan memperbaiki fungsi platelet akan mengurangi
angka morbiditas dan mortalitas penyakit jantung diabetes.

15. KEPUSTAKAAN

1. American Diabetes Association: Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus.


Diabetes Care. 2005; 28(S1):S37-S42

27
2. Wild S, Roglic G, Green A, Sicree R, King H: Global prevalence of diabetes: Estimates for
the year 2000 and projections for 2030. Diabetes Care.2004; 27:1047–1053.

3. Nathan DM, Davidson MB, DeFronzo RA, et al. Impaired fasting glucose and impaired
glucose tolerance. Diabetes Care. 2007; 30: 753-759.

4. Ryden L, Standt E, Barnik M, Betteridge J, et al. Guidelines on diabetes, pre diabetes,


and cardiovaskular disease: The task force on diabetes and cardiovaskular disease of the
European Society of Cardiology (ESC) and of the European Association for the Study of
Diabetes (EASD) . European Heart Journal. 2007; 28: 88-136.

5. Singleton JR, Smith AG, Russell JW, Feldman EL. Microvaskular complication of
impaired glucose tolerance. Diabetes. 2003; 52: 2867-2873.

6. Beckman JA, Creager MA, Libby P: Diabetes and atherosclerosis: epidemiology,


pathophysiology, and management. JAMA.2002; 287:2570–2581.

7. Bloomgarden ZT. The epidemiology of complication. Diabetes Care. 2002; 25: 924-933.

8. Creager MA, Luscher TF, Cosentino F, Beckman JA. Diabetes and vaskular disease
pathophysiology, clinical consequences, and medical therapy : Part I. Circulation. 2003; 108:
1527-1532.

9. De Vriese AS, Verbeuren TJ, Van de Voorde J, et al. Endothelial dysfunction in diabetes.
Br J Pharmacol. 2000;130:963-974.

10. Beckman JA. Libby P. Creager MA. Diabetes Mellitus, the Metabolic Syndrome, and
Atherosclerotic Vaskular Disease. In: Braunwald’s Heart Disease. 7th ed. Elsevier Saunders.
2005; 1035-1043

11. Krauss RM. Lipid and lipoproteins in patients with type 2 diabetes. Diabetes Care. 2004;
27: 1496-1505.

12. Vinik AI, Erbas T, Park TS, et al. Platelet dysfunction in type 2 diabetes. Diabetes Care.
2001;24:1476-1485.

13. Buse JB, Ginsberg HN, Bakris GL, et al. Primery prevention of cardiovaskular disease in
people with diabetes mellitus: A scientific statement from the American Heart Association
and the American Diabetes Association. Circulation. 2007; 115: 114-126

14. Luscher TF, Creager MA, Beckman JA, Cosentino F. Diabetes and vaskular disease
pathophysiology, clinical consequences, and medical therapy : Part II. Circulation. 2003;
108: 1655-1661.

15. Tuomilehto J, Lindstrom J, Qiao Q. Strategies for the prevention of type 2 diabetes and
cardiovaskular disease. European Heart Journal 2005; 7 (Supp D) :D18-D22

16. Richard K. Consensus development confrence on the diagnosis of coronary heart


disease in people with diabetes. Diabetes care 1998; 21(9)

28
17.Gerich JE. Clinical Significance, Pathogenesis, and Management of Postprandial
Hyperglicemia. Arch Intern Med. 2003;163:1306-1316

18. Flaherty JD, Davidson CJ. Diabetes and coronary revaskularization. JAMA
2005;293(12):1501-8

19. Smith SC, Faxon D, Cascio W, Schaff H, Gardner T, et all. Revaskularization in diabetic
patients. Circulation 2002;105:165-169

20. Naskah Lengkap Konsensus Pengelolaan Diabetes Mellitus di Indonesia. PB PERKENI


1998

21. Robertson C, Drexler AT. Update on Diabetes Diagnosis and Management. JADA; 134:
16(S)-23

22. Grundy SM, Cleeman JI, Daniels SR, Donato KA, Eckel RH, et all. Diagnosis and
management of metabolic syndrome: An American Heart Association / National Heart,
Lung, and Blood Institute Scientific Statement. 2005;112:285-290

23. Greenland P. critical questions about the metabolic syndrome.


Circulation.2005;112:3675-3676

24. Grundy SM. Metabolic syndrome: a multiplex cardiovaskular risk factor.


JCEM.2007;92(2):399-404

29
30

Anda mungkin juga menyukai