Anda di halaman 1dari 6

1.

Non-Discrimination

Yang dimaksud non-diskriminasi adalah penyelenggaraan perlindungan anak yang bebas dari
bentuk apapun tanpa memandang etnis, agama, keyakinan politik, dan pendapat-pendapat
lain, kebangsaan, jenis kelamin, ekonomi (kekayaan, ketidakkemampuan), keluarga, bahasa
dan kelahiran serta kedudukan dari anak dalam status keluarga. Untuk mengimplementasikan
prinsip ini pemerintah memiliki kewajiban untuk mengambil langkah-langkah yang layak
(Pasal 2 ayat 1 KHA). Artinya, meski setiap manusia, tidak terkecuali anak, memiliki
perbedaan satu sama lain, namun tidak berarti diperbolehkannya perbedaan perlakuan yang
didasarkan oleh suku, agama, ras, antar golongan, pendapat, latar belakang orang tua,
maupun hal lainnya. Oleh karena itu, negara sudah sepantasnya menjadi pelindung utama,
sekaligus menjamin terlindungnya semua anak dari segala bentuk diskriminasi., Dalam pasal
2 ayat 2 Konvensi Hak Anak “Negara-negara peserta wajib mengambil langkah-langkah yang
perlu untuk menjamin bahwa anak dilindungi dari semua bentuk diskriminasi atau hukuman
yang didasarkan pada status, kegiatan, pendapat yang dikemukakan atau keyakinan dari
orang tua anak, walinya yang sah, atau anggota keluarganya”. Dalam pasal 13 dan 77 UU
Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ditegaskan bahwa perlindungan anak dari
diskriminasi adalah hak yang dilindungi hukum dan bagi yang melanggar hak tersebut
dipidana, khususnya dalam bidang pengasuhan anak. Dan jauh sebelum lahirnya UU ini, hak
memperoleh perlindungan dari tindakan diskriminasi, khsusnya dalam bidang bantuan dan
pelayanan kesejahteraan telah dikukuhkan dalam pasal 8 UU Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak.
Apa yang telah dirumuskan di atas tentang non-diskriminasi ditemukan pula dalam ajaran
Islam. Dalam Al-Qur’an terdapat larangan tindakan diskriminatif (ahabbu ilaa ……min) pada
anak. Seperti digambarkan dalam surat Yusuf 12: 8. adalah Nabi Ya’kub lebih mencintai
Yusuf daripada anaknya yang lain, Bunyamin. Akibatnya Bunyamin dan saudara-saudara
yang lainnya makar pada Yusuf, dengan melakukan tindakan kekerasan kepadanya, yaitu
memasukkan Yusuf ke dalam Sumur. Ayat ini mengajarkan kepada kita agar tidak
diskriminatif dalam memperlakukan anak, lebih-lebih pada anak yatim. Allah berfirman
dalam surat Al-Nisa ayat 127: an taquumuu al-yataamaa bi al-qist (Hendaknya kamu berbuat
adil pada anak yatim).
Dalam beberapa hadits banyak ditemukan ajaran agar bersifat adil terhadap anak-anaknya.
Diantaranya Nabi melarang sikap orang tua yang diskriminatif. Nabi bersabda: ”Jika orang
tua ingin dihormati oleh anaknya maka sudah barang tentu anak harus dididik dengan sebaik-
baiknya dengan memperlakukan anak dengan adil, tidak memihak pada salah satu anak”.
Nabi Bersabda: ” Takutlah kalian kepada Allah dan berbuat adillah pada anak-anak kalian”.
(Ittakullaha wa’adiluu fii aulaadikum, HR. Muslim). Pada suatu ketika Nabi memberi
peringatan pada orang tua yang lebih mengutamakan anak laki-laki daripada anak perempuan
dalam hal memberikan curahan kasih sayang (HR. Bazaar) dan tentang kasus Nu’man yang
diskriminatif terhadap anak perempuan dalam hal memberikan pemberian (HR. Bukhari).
Larangan tindakan diskriminatif pada anak tidak saja dalam hal pemberian dalam bentuk
materi, tetapi juga dalam hal kejiwaan. Misalnya, tidak boleh diskriminatif dalam
mengexpressikan kegembiraan akan kehadiran anak waktu lahir antara kelahiran akan
perempuan dan alaki-laki. Allah berfirman, alangkah jeleknya bila memberikan penghargaan
yang tidak sama antara anak laki-laki dan perempuan “alaa saa-a maa yahkumuun” (QS.
AN-Nahl: 59).

2. The best of interest of child

Yang dimaksud dengan azas kepentingan yang terbaik bagi anak (the best of interest of child)
adalah bahwa dalam semua tindakan yang mengyangkut anak yang dilakukan oleh
pemerintah, masyarakat, badan legislatif, dan badan yudikatif, maka kepentingan yang
terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama (pasal 3 ayat I Konvensi Hak Anak).1
Dalam sejarah Islam baik pada masa Nabi Muhammad SAW maupun Khulafaurrasyidin
terdapat banyak peristiwa yang menggambarkan pemihakan Islam terhadap anak bila terjadi
peristiwa keluarga yang terkait dengan status dan kepentingan anak. Diantaranya dalan hal
dimana orang tua diberi kesempatan untuk mengelola harta anak, namun dalam perjalanannya
cenderung merugikan anak.
Salah satu contohnya adalah kasus hak harta anak. Disebutkan dalam riwayat, bahwa
“sesungguhnya anakmu adalah hasil kerja kerasmu yang paling baik, maka makanlah apa
yang kamu perlukan dari hasil anakmu” (HR. Ibnu Hibban). Hal serupa ditemukan dalam
riwayat Baihaqi dari Abu Hurairah berkata: bahwa pada suatu ketika ada seorang laki-laki
menemui Abu Bakar dan berkata bahwa “ Ayahku mengambil seluruh hartaku untuk
keperluannya dan tidak menyisakan sedikitpun”. Abu Bakar berkata, bahwa “ harta anakmu
itu tidak boleh digunakan seluruhnya” Ayah laki-laki berargumen, bahwa Rasulullah
bersabda, bahwa “ kamu dan hartamu adalah milik orang tuamu” Abu bakar menjawab, ya
betul, akan tetapi yang dimaksud adalah nafkah yang wajib.” ( HR. Ibnu Majah).2
Hadits tersebut di atas menunjukkan adanya hak yang dilindungi oleh Islam, dalam arti
ketaatan dan pengabadian adalah sentral kunci seorang muslim, namun pengabdian itu tidak
boleh merugikan hak-hak anak itu sendiri. Seperti disebutkan dalam Mu’jam Al-Mughni
tulisan Ibn Qudamah, bahwa pemanfaatan harta anak oleh orang tua harus memenuhi kriteria
sebagai berikut: 1). Tidak memberatkan dan tidak membahayakan si anak dan tidak
mengambil sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh si anak tersebut; 2). Harta dimaksud tidak
diberikan pada orang lain.3
Contoh lainnya adalah kasus wanita Al-Ghamidiyah. Ia memberitahukan kepada Nabi bahwa
ia hamil dari hasil zina. Nabi berkata “pulanglah sampai engkau melahirkan”. Ketika ia telah
melahirkan, ia datang lagi kepada Nabi dengan membawa bayinya. Nabi berkata” Pergilah,
kemudian susuilah anakmu itu sampai engkau menyapihnya”. Setelah selesai disapih, ia
datang lagi kepada Nabi bersama bayi, maka Nabi menyerahkan bayi itu kepada laki-laki
muslim. Setelah itu wanita tersebut dirajam (HR. Muslim). Hadits ini menunjukkan pada kita
betapa Nabi memberikan perlindungan terbaik pada anak. Walaupun ibunya melakukan
perbuatan melanggar hukum, namun anaknya tidak boleh dirugikan karena perbuatan salah
seorang ibu.

3. Survival and Development of Child

Yang dimaksud dengan asas hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan adalah
hak asasi yang paling mendasar bagi anak yang dilindungi oleh negara, pemerintah
masyarakat, keluarga, dan orang tua (pasal 2 UU Nomor 23 Tahun 2002). Kelangsungan
hidup serta perkembangan anak adalah sebuah konsep hidup anak yang sangat besar dan
harus dipandang secara menyeluruh demi anak itu sendiri. Hal ini dapat dilihat pada
permasalahan hidup sehari-hari yang menyangkut kehidupan anak, misalnya memilih jalur
pendidikan anak, yang biasanya seringkali menjadi keputusan sepihak orang tua atau wali
anak, tanpa memandang keinginan anak itu sendiri.
Berangkat dari hal ini pulalah Konvensi Hak Anak memandang pentingnya pengakuan serta
jaminan dari negara bagi kelangsungan hidup dan perkembangan anak, seperi dinyatakan
dalam asal 6 ayat 1, bahwa negara-negara peserta mengakui bahwa setiap anak memiliki hak
yang melekat atas kehidupan (inherent right to life)”, serta ayat 2 “ negara-negara peserta
secara maksimal mungkin akan menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan anak
(survival and development of child)”. Lebih lanjut Konvensi Hak Anak memperhatikan
masalah perkembangan fisik anak (pasal 27 paragraf 3, pasal 26); perkembangan mental,
terutama menyangkut pendidikan (pasal 28-29); termasuk pendidikan bagi anak-anak cacat
(pasal 23); perkembangan moral dan spiritual (pasal 14); Perkembangan sosial, terutama
menyangkut hak untuk memperoleh informasi, menyatakan pendapat, dan berserikat (pasal
12, 13, 17); dan perkembangan anak secara budaya (pasal 30 dan 31).
Dari pasal-pasal tersebut dapat dirumuskan bahwa ada empat domain hak perkembangan
anak yang perlu diperhatikan, yaitu fisik, mental, sosial, dan spiritual anak. Untuk itu ada
kewajiban semua pihak baik negara, pemerintah, masyarakat dan orang tua mewujudkan hak
anak sebagai realisasi hak asasi manusia. Dan kewajiban itu ternyata bukan saja kewajiban
kemanusiaan, tetapi lebih jauh dari itu adalah kewajiban agama. Dalam ajaran Islam anak
adalah bukan saja anugerah Allah, tetapi juga adalah amanah. Secara social, kedudukan anak
merupakan kekayaan bagi keluarga dan bangsa dan memiliki fungsi strategis seagai penerus
generasi dan pemilik masa depan. Untuk itu kehadiran anak harus dipenuhi hak-haknya
sebagai pengejewantahan rasa syukur dan kecintaannya pada Allah seperti difirmankan oleh
Allah “lainsyakartum la azidannakum …. (QS. Ibrahim: 7).

Implementasi syukur tersebut diwujudkan dalam keharusan memberi nama yang baik dan
melaksanakan aqiqah sebagai perwujudan pengakuan awal kehidupan masyarakat. Pemberian
nama pada anak dalam Islam memenuhi dua kriteria. Pertama, nama yang baik, yaitu
sebagaimana disabdakan oleh Nabi bahwa “Inna ahabba asmaaikum illlahi ‘abdullahi wa
‘abdurrahmani (HR. Muslim). Selanjutnya nama tidak boleh terlalu berat bagi anak. Allah
berfirman “yuridullahu bikumul Yusra”. Maka Nabi bersabda “Asdakuhaa Harits wa Hamam
wa Aqabahuhaa hurban wan morratun” (dan yang paling benar adalah Harits dan Hamam,
dan yang paling jelek adalah Harb dan Morrah (HR. Abu Dawud). Jadi dengan demikian
memberi nama pada anak tidak boleh sangat memberatkan anak.

Kedua, sosialisasi nama dan membangun kedekatan dengan masyarakat. Untuk itu, anak
setelah berumur 7 hari wajib dilaksanakan aqiqah. Yaitu sebagaimana dicontohkan oleh Nabi
: “Gulla ghulaamin rahinun bi’aqiqatihi tuzbahu ‘anhu yauma saabi’hi wa yulhaqu ra’suha
wa yusamma”. Artinya, “Setiap anak itu tergadaikan sebab aqiqahnya. Hewan tersebut
disembelih darinya pada hari ketujuh dan bayi itu dipotong rambutnya dan ia diberi nama”.
Diantara faedah dari aqiqah, sebagaimana penjelasan Ibn Al-Qayyim bahwa aqiqah
merupakan bentuk kurban yang dipersembahkan pada Allah sebagai rasa syukur pada Allah,
serta dimaksudkan untuk menghilangkan rasa kikir dan membangun kedermawanan serta
keakraban dengan masyarakat.
Dalam Islam anak mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan. Keharusan ini dapat
dilihat dalam satu kisah Ju’alan. Ada suatu ketika ada seseorang pria mengadukan anaknya
yang durhaka kepada Khalifah Umar seraya berkata “ Apakah kamu tidak takut kepada Allah
bila kamu durhaka kepada orang tua ini”? Lalu anak itu menjawab, “wahai amirul mukminin,
apakah ada hak bagi anak dari ayahnya ? Ya, ada, yaitu dilahirkan dari ibunya, memberikan
nama yang baik dan mengajarkannya kitab suci”. Anak itu berkata” demi Allah, ibuku hanya
seorang budak yang dibeli dengan harga 400 dirham, ia tidak memberi nama yang baik, tetapi
memberi nama Ju’alan, dan tidak mengajarku kitab suci walaupun hanya satu ayat. Kemudian
Umar berpaling pada ayahnya dan berkata,” engkaulah yang durhaka kepada anakmu, bukan
anakmu yang durhaka, pergilah dari sini,” (HR. Thabrani). Dalam bidang ekonomi, anak juga
memiliki hak yang harus dilindungi. Allah berfirman, “ Wa alalmauluudi lahu rizkuhunna wa
qiswatuhanna bil ma’ruuf ( dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu
dengan cara yang ma’ruf) “Al-Baqarah: 233 Nabi bersabda: “qafaa bima itsman
ayyudhoyyi’a man yakuutu” (cukuplah dosanya bagi orang yang menyia-nyiakan orang
berhak diberi hak dirinya”. (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

4. Recognition for free expression

Prinsip keempat dari prinsip dasar perlindungan anak adalah penghargaan terhadap pendapat
anak. Yang dimaksud dengan prinsip ini adalah penghormatan atas hak-hak anak untuk
berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan terutama jika
menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya dan mainan yang dikehendaki. (pasal
12 ayat 1 Konvensi Anak dan pasal 10 dan penjelasan Pasal 2 UU Nomor 23/2002). Lebih
jauh dalam pasal 6 disebutkan prinsip tersebut dimaksudkan untuk memberi kebebasan
kepada anak dalam rangka mengembangkan kreativitas dan intelektualitasnya (kecerdasan
intelektual) sesuai dengan tingkat usia anak. Namun yang perlu digaris bawahi bahwa
ketentuan pasal ini juga menegaskan bahwa pengembangan kreativitas dan intelektualiatas
tersebut masih tetap berada dalam bimbingan orang tuanya (Penjelasan pasal 6 UU No.
23/2002).
Dalam pandangan Islam, anak tidak saja memiliki kebebasan menyatakan pendapat, tetapi
juga didorong untuk mampu menyampaikan pendapatnya dan mengekspressikan
kesenangannya secara leluasa. Misalnya, Rasulullah tidak pernah menyela sekelompok anak
yang mengekspressikan kesenangannya dalam sebuah arena permainan, kecuali beliau
mengucapkan salam dan ikut menjaga dan menyaksikan, karena Nabi senang pada
kegembiraan dan keceriaan anak yang sedang bercanda dan bermain (HR. Ahmad).
Yang menarik dari pentauladanan Nabi dalam memperlakukan anak adalah tidak pernah
membunuh gagasan (shut down), tetapi justru memberikan inspiring pada anak dengan
menghindari kata-kata yang menghina (famaa kaala lahuu uffun) dan meninggalkan kata-kata
mendikte (walaa alla shana’ta –HR. Bukhari Muslim). Yang banyak ditampilkan Nabi
adalah kearifan dalam memperlakukan anak. Misalnya, ketika terjadi perbedaan pendapat
dengan anak-anak beliau memperlakukan secara bijaksana dengan menggunakan kata-kata
“fashabrun alaihinna (sabarlah terhadap mereka)”. Kemudian “faahsin shuhbatahunna”
(bergaulah dengan baik sesama mereka) (HR. Ahmad).
Sejalan dengan ini, Al-Ghazali menyarankan dalam kitab Ihya’Ulumuddin Juz 3, bahwa
janganlah memperbanyak ucapan mencelah anak karena hal tersebut akan membuat anak
meremehkan celaan, yang pada gilirannya akan membuat anak tidak menghargai nasehat-
nasehat orang tua. Karena itu, pendapat seorang anak perlu dihargai, kalaupun tidak
sependapat dengannya jangan sampai keluar kata-kata mendikte apalagi mencela, apalagi
menghentikan expressi pendapat anak (HR. Ahmad).
Hal lain yang perlu dicontoh adalah bagaimana Rasulullah sangat menghargai hak anak untuk
berpendapat. Pada suatu ketika pada sebuah majlis, Nabi duduk bersama anak pada sebelah
kanan dan orang tua duduk di sebelah kiri. Nabi bermaksud mendahulukan memberikan
makanan kepada orang yang lebih tua tersebut, namun beliau meminta pendapat pada anak
tersebut. Ternyata anak dimaksud keberatan untuk didahului, karena itu Rasullah
memberikan makanan pada anak terlebih dahulu (HR. Bukhari dan Muslim). Hal serupa
terjadi pada dialog antara Usamah dan Umar di hadapan Abu Bakar sesaat setelah Rasulullah
meninggal tentang apakah perang dilanjutkan apakah tidak. Ketika itu Umar masih umur 18
tahun, namun sebelum kebijakan perang diambil Abu bakar meminta Usamah untuk meminta
pendapat Umar.
Apa yang digambarkan dalam riwayat tersebut menunjukkan pada kita bahwa dalam ajaran
Islam, pendapat anak sangat dihormati dan bahkan pula selalu didorong untuk memiliki
keberanian berpendapat sejak dini. Sebagaimana pula dilakukan Khalifah Umar memberi
motivasi pada anak-anak untuk berani berpendapat dalam majlis orang dewasa. Contoh
kongkrit: Umar bertanya pada mereka: “Apa yang saudara ketahui tentang sebab turunnya
surat Al-Baqarah ayat 266” Mereka menjawab “Allah yang lebih tahu”, Lalu Umar marah
dan terus mendorong agar diantara mereka ada yang menjawabnya dengan ilmu pengetahuan.
Maka, salah satu dari sekian anak-anak, yaitu Ibnu Abbas menjawabnya bahwa ayat trsebut
menggambarkan seorang kaya yang beramal namun tidak memperoleh pahala dari Allah
karena setelah itu mereka berbuat maksiat (HR. Bukhari Muslim).
Dari apa yang telah diulas secara singkat diatas, kita sampai pada pemikiran bahwa ternyata
antara Islam dan CRC ( Convention on the Right of the Child) memiliki kesamaan prinsip
dasar dalam memberikan perlindungan anak, bahkan yang ditampilkan dalam Islam bukan
saja teori, tetapi juga praktek dan tauladan dari Raslulullah dan para sahabatnya. Maka,
tidaklah heran bila prinsip dasar tersebut diadopsi secara utuh oleh Negara Republik
Indonesia dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Anda mungkin juga menyukai