Anda di halaman 1dari 20

PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA

JUDUL PROGRAM

GELOMBANG MIGRASI DI SURIAH, KHUSUSNYA JERMAN

BIDANG KEGIATAN:

PKM GAGASAN TERTULIS

Diusulkan Oleh:

Fajar Suryo Prahasto 5112417035/ Angkatan 2017

Zarin Attaul Qudus 5112417032/ Angkatan 2017

Rizki Murwani Utami 5112417027/ Angkatan 2017

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

SEMARANG

2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia,
serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Gelombang
Migrasi Suriah di Uni Eropa, Khususnya Jerman
ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami berterima kasih pada
selaku Panitia PKM yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap karya ilmiah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita mengenai migrasi yang ada di Uni Eropa. Kami juga menyadari
sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh
sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah
kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran
yang membangun.
Semoga karya ilmiah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun dari Anda demi perbaikan karya
ilmiah ini di waktu yang akan datang.

DAFTAR ISI
PENDAHULUAN ....................................................................................................................................... 4
A. LATAR BELAKANG ............................................................................................................................ 4
B. Rumusan Masalah .................................................................................................................................. 6
C. Tujuan ..................................................................................................................................................... 6
2. PEMBAHASAN ...................................................................................................................................... 7
Studi Kasus: Imigran dari Suriah di Jerman ....................................................................................... 7
Jerman ..................................................................................................................................................... 8
Uni Eropa................................................................................................................................................. 9
Analisis Studi Kasus ............................................................................................................................. 10
Dari sudut pandang negara.............................................................................................................. 10
Dari sudut pandang people .............................................................................................................. 13
Migrasi dan globalisasi ..................................................................................................................... 15
3. PENUTUP.............................................................................................................................................. 18
A. KESIMPULAN..................................................................................................................................... 18
B. SARAN .................................................................................................................................................. 18
Daftar Pustaka .......................................................................................................................................... 19
1. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Isu imigran saat ini menjadi perhatian global seiring dengan maraknya gelombang imigran
dari Timur Tengah menuju negaraa-negara di Eropa. Imigrasi yang dilakukan warga Timur Tengah
ialah untuk mencari suaka guna mendapatkan status refugee atau pengungsi. Refugee menurut
Konvensi 1951 ialah seseorang yang meninggalkan negara asalnya menuju ke negara lain karena
adanya faktor ketakutan yang beralasan akan penganiayaan yang disebabkan adanya konflik baik
itu alasan ras, agama, kebangsaan,keanggotaan kelompok sosial dan keanggotaan pertai politik
tertentu, sehingga mereka tidak menginginkan perlindungan dari negara asalnya tersebut.
Konvensi 1951 awalnya diterapkan untuk mengatasi masalah pengungsi di Eropa sebelum tahun
1951, namun setelah tahun 1951 pergerakan pengungsi semakin menyebar tidak hanya berada di
wilayah Eropa saja tetapi juga di Afrika, tetapi para pengungsi ini tidak mendapatkan perlindungan
karena batas waktu yang ditetapkan oleh Konvensi 1951. Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB)
membuat Protokol tambahan 1967 mengenai Status Pengungsi untuk menghapuskan pembatasan
waktu dan posisi geografis yang dirumuskan sebelumnya pada Konvensi 1951. Badan PBB yang
menangani masalah pengungsi adalah UNHCR dan organisasi internasional ini berhak memberi
perlindungan kepada para imigran atau pencari suaka ketika mereka sudah diberikan status sebagai
refugee, dimana untuk mendapatkan status tersebut, para pencari suaka harus melalui proses yang
cukup panjang dan belum tentu dapat diakui status refugee.
Gelombang imigran yang terjadi di Eropa oleh warga Timur tengah terjadi karena faktor
konflik yang sedang berlangsung dikawasan tersebut. Mereka memilih Eropa sebagai negara
tujuan karena harapan memperoleh perlindungan dan kesejahteraan di negara Eropa, dan keadaan
pemerintahan negara dianggap stabil. Tercatat pada tahun 2015 lalu, PBB menyatakan bahwa lebih
dari 220.000 orang tewas akibat konflik yang terjadi di Suriah sejak Maret 2011, sedangkan di
Libya, jatuhnya rezim Khaddafi atas dukungan Eropa telah meninggalkan negara Libya dalam
kekacauan dan kondisi ini dimanfaatkan oleh sindikat penyelundupan manusia sebagai daerah
basis pengiriman pencari suaka dari Suriah ke Eropa, yang menyebabkan Eropa mengalami krisis
imigran terbesar setelah Perang Dunia II. Badan perbatasan Uni Eropa, melaporkan bahwa lebih
dari 310.000 pencari suaka telah menyeberangi laut Mediterania ke Eropa ditahun 2015, yang
meningkat sekitar 40% dari tahun 2014. Untuk menanggapi krisis imigran ini, negara-negara Uni
Eropa membuat kebijakan dalam penerimaan imigran sesuai dengan kepentingan negaranya.
Awalnya, sebagian besar pemerintah negara-negara Eropa cenderung tidak ingin menerima
pencari suaka, menahan laju pencari suaka masuk ke negaranya, dan mengatasi penyebab migrasi
dengan menggunakan opsi militer, salah satu penolakan yang dilakukan Uni Eropa ialah dengan
menolak kuota imigran yang bersifat mengikat dan memilih melaksanakan kuota sukarela. Namun,
gelombang pencari suaka yang terus datang memaksa Uni Eropa menyusun kuota imigran baru
yang lebih proposional.
Negara Jerman ialah salah satu negara Uni Eropa yang mendukung kuota lebih untuk para
imigran pencari suaka serta pengungsi. Jerman bersama negara Italia dan Perancis mendesak Uni
Eropa untuk menyusun kembali kuota imigran agar lebih adil supaya para migran tersebut dibagi
secara adil diseluruh negara anggota, serta meminta Uni Eropa untuk memperbaiki kesiapan terkait
masalah imigran terutama dalam hal pemenuhan kebutuhan para pencari suaka seperti tempat
tinggal dan makanan. Dalam isu imigran yang sedang terjadi saat ini, dapat dilihat bagaimana
pemerintah dan Uni Eropa khususnya Jerman dalam mengatasi gelombang imigran yang terjadi
di negaranya. Mereka dituntut untuk berlaku adil terhadap pencari suaka yang datang dengan
masyarakat negaranya sendiri agar tidak terjadinya konflik yang dapat merugikan salah satu pihak.
Isu migram ini memiliki potensi positif maupun negatif bagi negara tujuan, dari segi positifnya
para imigran dapat membantu meningkatkan perekonomian negara tersebut jika diijinkan bekerja
secara produktif disana, namun dari segi negatif ialah adanya potensi konflik seperti TOC, aksi
terosisme, penindasan etnis, serta semakin meningkatnya kemiskinan dan pengangguran jika
penumpukan imigran terus terjadi, dan untuk kemiskinan serta pengangguran ini dapat pula
dialami warga asli negara setempat karena adanya persaingan yang semakin banyak. Kondisi
gelombang pengungsi menjadi contoh adanya saling ketergantungan antar masyarakat
internasional, terbukti dengan bagaimana isu pengungsi disuatu negara dapat membawa dampak
langsung terhadap negara lainnya, yang juga hal ini menjadi contoh saling ketergantungannya
antar negara atas masalah tersebut. Namun bagaimanapun juga, para imigran memiliki hak asasi
yang sama dengan warga negara asli dalam memperoleh perlindungan. Terdapat hubungan yang
jelas terlihat antara persoalan pengungsi dengan Hak Asasi Manusia selain memang karena para
imigran tersebut mengungsi karena keadaan negaranya yang terjadi konflik dan penindasan,
penolakan maupun pembatasan dalam hal penerimaan mereka juga terkait dengan HAM, karena
sesungguhnya mereka berhak mendapat perlindungan di negara lain terutama terkait dengan
kemerdekaan dan keamanan diri mereka terancam. Untuk melihat kasus imigran ini, penulis
mencoba menjelaskan menggunakan beberapa pendakatan Open Borders dan Sovereign Right
serta menggunakan konsep Citizenship dalam menganalisa permasalahan migran yang terjadi di
Eropa saat ini dengan tujuan mencari tahu keadilan seperti apa yang diinginkan dalam penangan
isu migran terutama terkait kebijakan Uni Eropa dan Jerman.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana keadilan dari sudut pandang state, people, dan people-state dalam studi kasus
imigran Suriah?

C. Tujuan
1. Mengetahui apakah telah tercapai atau belumnya keadilan bagi imigran Suriah
2. Mengetahui keadilan dalam sudut pandang state, people, dan state-people
3. Mengetahui reaksi dari Negara penerima suaka (German)
4. Mengetahui dampak positif dan negatif dari adanya imigran di Jerman
2. PEMBAHASAN

Studi Kasus: Imigran dari Suriah di Jerman


Lebih dari 250.000 warga Suriah telah kehilangan nyawa mereka setelah mengalami konflik
bersenjata di wilayahnya sejak tahun 2011. Konflik tersebut dimulai dengan protes dari kelompok
anti pemerintah atau pro demokrasi pada bulan Maret 2011 di sebelah selatan kota Deraa setelah
terjadi penangkapan dan penyiksaan terhadap sejumlah remaja yang melukis slogan-slogan
tentang revolusioner di dinding sekolah. Para demonstran juga mengingingkan pengunduran diri
presiden Bashar Al-Assad. Konflik semakin memanas ketika pasukan keamanan Suriah mulai
menggunakan kekerasan, seperti dengan menembaki para demonstran sehingga menewaskan
beberapa masyarakat sipil. Tingkat kekerasan pun juga semakin meningkat dan membuat Suriah
mengalami perang sipil dan sudah mencapai ibukota Damaskus dan kota Aleppo pada tahun 2012.
Namun konflik yang saat ini terjadi sudah mengalami perkembangan dan lebih dari sekedar
pertempuran antara masyarakat yang menentang presiden Bashar Al-Assad saja melainkan juga
muncul konflik-konflik lainnya antara mayoritas Sunni yang menentang Shia Alawite dan
permasalahan regional seperti munculnya kelompok Islamic State (IS). Sebuah komisi PBB yang
melakukan penyidikan menemukan bukti bahwa semua pihak yang berperang telah melakukan
kejahatan perang, antara lain: membunuh, melakukan penyiksaan, menghilangkan secara paksa,
memblokir akses terhadap makanan, air, dan pelayanan kesehatan bagi penduduk sipil. Oleh
karena itu kebanyakan penduduk Suriah sudah merasa tidak nyaman dan aman lagi bahkan mereka
juga merasa sudah tidak memiliki harapan hidup apabila tetap tinggal di Surih. Sehingga sudah
lebih dari 4,5 juta penduduk sejak awal konflik telah berpindah dari Suriah. Negara yang menjadi
tujuan mereka antara lain adalah negara tetangga, seperti: Lebanon, Turki dan Yordania.
Selain itu mereka juga memilih untuk berpindah ke negara-negara di Eropa untuk mendapatkan
harapan hidup yang lebih baik. Terdapat 3 jalur berbeda yang sering di lalui oleh penduduk Suriah
untuk bermigrasi, yaitu:
1) Melalui jalur darat menuju Yunani atau Bulgaria melewati Turki. Biasanya mereka yang
melewati jalur ini adalah mereka yang tidak memiliki visa. Sehingga setelah tiba di Eropa, mereka
akan menjadi wisatawan biasa atau sebagai migran gelap.
2) Melalui jalur udara langsung menuju salah satu negara di Eropa yang menjadi tujuan. Penduduk
Suriah yang masuk melewati jalur ini statusnya bisa sebagai wisatawan biasa yang berasal dari
negara ketiga yang terdaftar di perbatasan. Selain itu mereka juga bisa mengajukan permohonan
suaka atau tinggal dalam situasi tidak tentu dan tetap berada di negara tujuan pertama mereka saat
mencapai Eropa atau juga bisa melanjutkan perjalanan mereka ke negara lainnya.
3) Melalui jalur laut melintasi Mediterania menuju Yunani, Siprus, Malta atau Italia serta
memungkinkan juga untuk menuju Perancis dan Spantol. Biasanya penduduk yang memiliki
dokumen-dokumen yang kurang memilih untuk melewati jalur ini dan kemudian mengajukan
klaim suaka dan bergabung dengan para pencari suaka lainnya.
Berdasarkan pasal 14 (1) dalam Declaration of Human Rights 1948 dikatakan bahwa setiap orang
berhak untuk mencari dan menikmati suaka dari negara lain karena takut akan adanya penyiksaan,
dan setiap pencari suaka memiliki hak untuk tidak diusir atau dikembalikan secara paksa ketika
mereka telah sampai di suatu negara dengan cara yang tidak lazim, dan prinsip tersebutlah yang
dikenal dengan non-refoulment . Berdasar Konvensi tentang Status Pengungsi tahun 1951 dan
Protokol tahun 1967, seseorang dapat disebut pengungsi ketika ia memiliki dasar ketakutan yang
beralasan akan menjadi korban penyiksaan atas dasar ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada
kelompok sosial atau karena opini politik tertentu, dimana ia kemudian berada di luar negara asal
dan tak ingin kembali ke negara asalnya karena alasan akan menjadi korban penyiksaan
(persecution).

Jerman
Dalam proses pengajuan suaka, Jerman saat ini menjadi sasaran utama dari para pencari
suaka di Uni Eropa. Pada tahun 2014, dari total 625.920 pengajuan suaka dibuat dan Jerman
menerima sekitar 202.645. Angka tersebut 2 kali lebih besar dibanding dengan negara terbesar
kedua, yaitu Swedia yang mendapat pengajuan suaka sebesar 81.180. Pada tahun 2015,
diperkirakan Jerman menerima 800.000 pengungsi yang sebagian besar berasal dari Suriah. Untuk
merespon hal tersebut, lembaga resmi Jerman tentang migrasi atau yang disebut The Office for
Migration and Refugees (BAMF) mulai meningkatkan kapasitasnya dengan menambah 1.000 staf
baru untuk memastikan bahwa proses pengajuan suaka bisa diproses secara cepat dan efisien.
Selain itu, BAMF juga menambah kantor pusat penerimaan imigran dan pengungsi yang berfungsi
sebagai basis administrasi yang terlibat dalam hal penerimaan serta penilaian aplikasi suaka.
Supaya mendapat perlindungan internasional di Jerman, para pencari suaka harus mendaftar di
kantor BAMF. Selanjutnya akan masuk dalam langkah distribusi bagi para pencari suaka yang
difasilitasi oleh sistem Erstverteilung von Asylbegehrenden (EASY). Sistem EASY akan
mengelola pencari suaka untuk mendapat fasilitas bantuan awal yang sesuai dan bertanggung
jawab untuk kesejahteraan mereka. Negara federal diwajibkan untuk mengambil sejumlah migrant
tertentu yang dihitung melalui sistem kuota berdasarkan penerimaan pajak dan jumlah populasi di
negara federal yang bersangkutan. Sistem kuota ini dikenal dengan Konigsteiner Key yang akan
memastikan distribusi secara proporsional para migran di seluruh wilayah Republik Federal
Jerman. Apabila pengajuan suaka telah secara resmi diterima oleh pemerintah, maka para pencari
suaka akan diberikan izin tinggal sementara dan diberikan status yang sama seperti penduduk
Jerman dalam sistem asuransi sosial. Mereka juga berhak atas kesejahteraan sosial, tunjangan
anak, tunjangan anak penggalangan, integrasi tunjangan, dan kursus bahas. Selain itu mereka akan
mendapatkan makanan gratis di pusat penerimaan ditambah dengan dana sebesar 143 Euro per
bulan untuk memenuhi kebutuhan dasar, dan 3 bulannya setelahnya akan mendapat maksimal 216
Euro, sementara bagi anak-anak akan diberikan 92 Euro tergantung pada usia mereka. Setelah 15
bulan, mereka akan mendapatkan penghasilan dasar sekitar 400 Euro per bulan ditambah biaya
akomodasi. Fasilitas-fasilitas tersebut diberikan oleh pemerintah Jerman sejalan dengan Konfensi
Wina di tahun 1951 dimana pemerintah Jerman setuju untuk menyediakan perlindungan
internasional bagi individu yang telah mengungsi dari negara asal mereka sebagai akibat dari
penganiayaan, perang, kelaparan atau kondisi lainnya yang mengancam hak asasi manusia.

Uni Eropa
Dasar hukum yang digunakan Uni Eropa untuk mengatur timigran atau pencari suaka adalah
Dublin Regulation (Dublin III). Konvensi Dublin pertama kali dilakukan di Irlandia pada tahun
1990 dan telah beberapa kali diubah dan versi yang saat ini digunakan adalah Dublin III. Hukum
ini menetapkan bahwa negara anggota harus bertanggung jawab dalam proses aplikasi dari pencari
suaka. Secara umum, negara dimana para pencari suaka pertama datang adalah negara yang
bertanggung jawab untuk melakukan proses aplikasi dan pengambilan sidik jari mereka untuk
memenuhi persyaratan proses permintaan suaka. Pencari suaka yang berpindah ke negara Eropa
lainnya setelah melakukan pendaftaran bisa dikirim kembali ke negara yang bertanggung jawab
untuk pertama kalinya untuk dilakukan proses yang bernama Dublin transfers. Namun, dalam
prakteknya dasar hukum ini sulit untuk dikendalikan karena dasar hukum ini akan merugikan
beberapa negara di wilayah perbatasan Uni Eropa, seperti Yunani. Beberapa negara di Eropa dan
lembaga-lembaga Uni Eropa telah menunjukkan dukungan dan solidaritasnya di bawah hukum
internasional dengan menawarkan tempat untuk pemukiman bagi para pengungsi. Namun, respon
perlindungan tersebut ditandai dengan munculnya beberapa masalah baru. Masalah tersebut antara
lain jumlah imigran yang semakin meningkat, sehingga muncul berita bahwa Uni Eropa pada
bulan Mei 2015 berencana untuk adanya skema redistribusi bagi para pencari suaka di Eropa.
Rencana tersebut bertujuan agar distribusi pencari suaka bisa lebih adil di seluruh 28 negara
anggota Uni Eropa. Tetapi rencana itu juga menuai sejumlah perdebatan antara pihak yang pro
dan kontra.

Analisis Studi Kasus


Dari sudut pandang negara
Dalam kasus pergerakan masif migran Suriah, terdapat banyak negara yang memiliki hubungan
atau keterkaitan terhadap isu tersebut. Namun dalam analisis level negara ini, hanya akan dikaitkan
tiga negara saja yang terbagi sebagai negara asal, transit, dan penerima dalam isu migran Suriah.
Negara-negara tersebut, meliputi Suriah (sebagai negara asal atau pengirim), Lebanon (negara
transit), dan UE (negara penerima, secara khusus Jerman).
• Dalam konteks negara asal atau pengirim (Suriah Refugees)
Ketidakstabilan politik, ekonomi, dan sosial yang bersumber dari serangkaian teror dan ancaman
oleh beberapa kelompok radikal yang dapat dikatakan kelompok pemberontak terhadap
pemerintahan Suriah seperti kelompok radikal Islamic State Group (ISIS), Kurdish force, Jaish al
Fateh (aliansi antara kelompok the Nusra Front dan Ahrar al Sham) dan kelompok radikal lainnya.
Kelompok radikal dan pemberontak tersebut telah mengakibatkan ratusan orang terluka bahkan
meninggal dunia. Korban yang berjatuhan tidak hanya didominasi oleh kaum pria saja, melainkan
wanita dan anak-anak adalah korban terbesar. Jumlah korban meninggal lebih dari 200 orang dan
menelantarkan lebih dari 21 juta penduduk Suriah. Jumlah penduduk yang telah meninggalkan
Suriah berkisar 3.8 juta dan PBB mengidentifikasi sekitar 60 % penduduk Suriah dilanda
kemiskinan dan pengangguran drastis. Konflik Suriah dimulai pada Maret 2011 di kota Deraa
bagian selatan, dimana saat itu dipicu penyiksaan dan penangkapan remaja serta disisipkan tulisan
atau tanda perlawanan “revolusioner”. Selain itu, tanda tersebut meluas di area-area public salah
satunya di dinding sekolah. Pasukan keamanan PBB telah mendata bahwa korban yang berjatuhan
berjumlah 90.000 jiwa, terhitung dari bulan Juni 2013.
Selain kelompok pemberontak, terdapat kelompok pendukung pemerintahan Bashar Assad,
dimana terdiri dari golongan militer dan bertujuan untuk menumpas kelompok pemberontak di
Suriah. Menurut analisis kelompok kami, kedua aktor yang terlibat dalam konflik ini, sama-sama
bersalah atas penyebab konflik dan sangat jelas melanggar HAM karena keduanya tekah
melakukan pembunuhan, penyiksaan, penangkapan, pelecehan seksual, dan kejahatan lainnya.
Menurut sudut pandang kelompok ini, Suriah sebagai negara berdaulat dikatakan gagal dalam
memeberikan perlindungan kepada penduduknya, baik secara keamanan individu maupun
perseorangan. Sesuai tujuh prinsip the law of peoples John Rawls yaitu:
1. People (as organized by their government) merupakan masyarakat yang bebas, merdeka, dan
seluruh kebebasan mereka harus dihormati oleh semua orang.
2. People are equal and parties to their own agreements, setiap masyarakat setara dan setiap
keputusan yang dibuat sendiri harus dihargai oleh orang lain.
3. People have the right of self-defence but no right to war, setiap masyarakat berhak untuk
membela diri sendiri dari segala ancaman yang dirasakan tetapi pertahanan diri tidak ditujukan
untuk memicu konflik.
4. People are to observe a duty of nonintervention, setiap masyarakat berkewajiban untuk
mengamati fungsi dari prinsip non-intervensi.
5. People are to observe treaties and undertakings, setiap masyarakat berkewajiban untuk
mengamati segala bentuk perjanjian atau kesepakatan.
6. People are to observe certain specified restrictions on the conduct of war, setiap masyarakat
berkewajiban mengamati batasan tertentu dari perilaku kekerasan atau perang. Batasan ini dapat
dipahami sebagai bentuk pembelaan diri.
7. People are to honor human rights, setiap masyarakat harus patuh dan menghormati hak asasi
manusia.
Mengacu kepada ketujuh prinsip tersebut, tentu saja negara Suriah telah gagal dalam
memenuhi prinsip-prinsip masyarakat. Tetapi menurut analisis kelompok kami, ketujuh prinsip
tersebut akan bekerja maksimal pada negara dengan masyarakat teratur seperti negara-negara
maju, jika melihat kasus Suriah, antara pemerintah dan masyarakat sama-sama melakukan
pelanggaran terhadap prinsip-prinsip di masyarakat. Terbukti dengan tingginya tingkat kejahatan
seperti pembunuhan, penyiksaan, dan lainnya, sehingga penduduk Suriah merasa tidak nyaman di
negaranya sendiri dan pergi mencari suaka ke negara yang mereka tafsir aman.

• Dalam konteks negara transit, Lebanon dipilih menjadi negara yang dianalisis dalam paper ini
karena Lebanon merupakan negara transit terdekat dari Suriah (karena masih dalam region yang
sama) dan jumlah pengungsi Suriah yang masuk berjumlah 858. 641 jiwa dari 4. 965. 914 jiwa
masyarakat Lebanon, terbesar di kawasan Timteng pada tahun 2013. Dari data tersebut, terlihat
bahwa jumlah pengungsi migran yang masuk ke Lebanon tergolong besar dengan perbandingan
yang nyaris menyentuh angka 1:4. Namun begitu, Lebanon tetap bersedia menerima pengungsi
Suriah dengan dasar demi menegakkan hak-hak pengungsi dengan membuka perbatasannya
berdasarkan MoU UNHCR, meskipun Lebanon tidak meratifikasi Konvensi PBB tahun 1951
tentang pengungsi dan pencari suaka. Tidak diratifikasinya Konvensi PBB tahun 1951 tersebut
sedikit-banyak sebenarnya juga berpengaruh pada tindakan yang diambil oleh pemerintah
Lebanon dengan menyamakan status pengungsi tersebut dengan masyarakat lokal Lebanon.
Akibat dari hal tersebut, kemudian angka permasalahan, seperti kemsikinan di Lebanon
mengalami peningkatan di setiap sudut wilayah negara tersebut.
• Dalam konteks negara penerima, dalam hal ini adalah UE (dan juga Jerman), setelah gelombang
besar migran yang masuk ke kawasannya, lembaga tersebut kemudian berusaha membuat sebuah
kebijakan mengenai pembagian jatah (kuota) bagi setiap negara anggotanya. Kebijakan yang
dikeluarkan oleh UE tersebut tidak lepas dari banyaknya tuntutan dari negara-negara transit yang
menampung migran dalam jumlah besar dan tidak bisa membiarkan para pengungsi tersebut ke
luar negaranya karena kebijakan Aturan Dublin. Adanya sedikit ‘halangan’ dari Aturan Dublin
perihal pengaturan terhadap masalah migran tersebut. Selain itu, pembagian kuota tersebut juga
ditujukan untuk membatasi Jerman yang melakukan penerimaan secara besar-besaran terhadap
migran dari Suriah maupun negara-negara Timteng lainnya. Menurut catatan di awal tahun 2016,
Jerman telah menerima sebesar satu juta pengungsi dari berbagai negara Timteng dan tentunya hal
tersebut melampaui kuota yang telah diperkirakan oleh Jerman sendiri maupun UE. Selain alasan
sulit untuk membendung karena Jerman merupakan salah satu negara tujuan migran, terdapat
beberapa pertimbangan Jerman untuk menerima pengungsi Suriah maupun Timteng lainnya. Dari
faktor internal, yaitu demografi dengan semakin banyaknya angka penduduk lanjut usia dan tidak
produktif dan tidak didukung dengan jumlah kelahiran yang besar, mengancam pada sektor tenaga
kerja Jerman. Dari situ, Jerman berharap dapat memanfaatkan keberadaan pengungsi Suriah dan
Timteng untuk diberdayakan pada sektor pekerja kasar. Dan dari faktor eksternal adalah Jerman
bersedia menerima migran dalam jumlah besar tersebut karena faktor masa lalu, yaitu
masyarakatnya yang harus mengungsi ke luar negaranya akibat Perang Dunia II. Dan dari situ
dapat dikatakan, rasa kemanusiaan Jerman menjadi dan bersedia menerima pengungsi akibat tidak
ingin melihat penderitaan yang pernah dirasakan masyarakatnya terulang kembali oleh masyarakat
lain.
John Christman mengungkapkan teori distributive sebagai teori keadilan klasik mengikuti
Aristoteles, yaitu keadilan yang terkait dengan pembagian benefits dan burdens. Untuk kategori
yang termasuk benefits, hal-hal diantaranya ialah perlindungan hukum, pelayanan kesehatan,
pendidikan yang layak dan sebagainya, sedangkan untuk hal-hal yang menyangkut dengan burdens
ialah hal yang dibebankan kepada warganya seperti jumlah pajak dan wajib militer . Terdapat teori
sosialis dalam teori keadilan sosial, teori ini berpandangan bahwa masyarakat dapat merasa adil
apabila kebutuhan primer mereka dapat terpenuhi. Secara konkret, sosialisme mementingkan
permasalahan kaum buruh dalam konteks industrialisasi.

Dari sudut pandang people


• People in host countries
Dalam pandangan para pencari suaka, keadilan di Jerman tidaklah memenuhi syarat dalam
mencapai rasa adil. Hal ini dikarenakan banyak dari pengungsi Suriah di Jerman yang ‘ditendang’
maupun ‘dioper’ oleh Jerman sendiri karena alasan telah memenuhi batas kuota. Seharusnya,
refugee memiliki Civil Rights, yaitu hak yang sama dalam berbagai aspek, salah satunya hak dalam
memperoleh keadilan di negara Jerman. Hal ini dikarenakan di negara asalnya, yaitu Syria, para
pengungsi ini tidak mendapatkan social rights, yaitu hak dalam mendapatkan perlindungan dan
kesejahteraan ekonomi. Sehingga menurut para pengungsi ini, hanya negara-negara di Uni Eropa,
khususnya Jerman yang dapat memenuhi kedua aspek hak tersebut. Namun, karena adanya
penutupan perbatasan dengan alasan keamanan membuat pengungsi yang ‘ditendang’ tersebut
merasa tidak adil dan tidak puas dengan alasan tersebut. Namun, menurut pandangan warga yang
telah memasuki wilayah Jerman merasa adil, karena mereka menganggap bahwa di Jerman mereka
telah mendapatkan kedua hak tersebut, yaitu Social Rights dan Civil Rights. Mereka menganggap
bahwa Jerman merupakan negara yang ‘baik hati’ karena telah bersedia memberikan suaka dan
keamanan bagi mereka. Bahkan, ada pengungsi Syria yang memberikan ‘balas budi’ ke penduduk
Jerman dengan cara memberikan nasi, roti, dan sup . Dengan adanya hal ini, dapat disimpulkan
bahwa para pencari suaka yang telah memasuki wilayah Jerman telah mendapatkan rasa keadilan
bagi dirinya.

• People in transit countries (Lebanon citizen)


Respon yang dikeluarkan oleh penduduk Lebanon pada awalnya bersifat positf, namun hal
ini tidak berlangsung lama. Hal ini disebabkan pada awalnya warga Lebanon ingin dianggap ‘baik’
oleh para pencari suaka, namun karena terlalu banyak menampung pencari suaka tersebut, banyak
sumber daya yang berkurang untuk ‘jatah’ warga Lebanon sendiri, contohnya adalah air. Lebanon
memiliki sumber daya air yang sedikit, sehingga dengan banyaknya pencari suaka membuat air
yang sedikit menjadi lebih sedikit karena adanya pencari suaka tersebut. Karena hal ini, warga
Lebanon menjadi menolak akan kehadiran para pencari suaka ini.
• People in receive countries (German citizen)
Pandangan awal warga Jerman sama seperti dengan pandangan warga Lebanon. Pada
awalnya mereka menerima namun lama kelamaan menjadi menolak dengan semakin banyaknya
pencari suaka sehingga membuat warga Jerman menolak adanya penambahan jumlah pencari
suaka yang akan memasuki wilayah Jerman. Pada awalnya, warga Jerman menerima para pencari
suaka ini dengan alasan Humanitarian, yaitu sebuah rasa kemanusiaan akan adanya keinginan
untuk membantu sesama dengan alasan kemanusiaan. Faktor lainnya adalah karena adanya rasa
kebersamaan, maksudnya adalah warga Jerman merasa harus membantu para pengungsi karena
dalam sejarah Jerman, setelah World War II banyak warga negara Jerman, khususnya Jerman
Timur menjadi pengungsi karena pada saat itu Jerman kalah dalam perang. Menurut Berthold
Damshauser, pemerhati masalah sosial di Bonn, rasa empati yang dimiliki oleh warga Jerman
terhadap orang-orang yang menderita . Namun, tidak sedikit juga masyarakat Jerman yang
menentang kedatangan para pencari suaka ini. Hal ini disebabkan karena adanya rakyat Jerman
yang menganut Neo-Nazi . Faktor lainnya adalah banyak dari warga Jerman yang takut akan
semakin sedikitnya lapangan pekerjaan di Jerman karena banyaknya lapangan pekerjaan yang
telah diisi oleh para pencari suaka dan khawatirnya warga Jerman akan adanya ancaman yang
mengancam stabilitas keamanan di negaranya, hal ini menyusul dengan adanya anggota dari ISIS
(Islamic State of Iraq and Syria) yang menyamar sebagai pengungsi seperti kejadian teror yang
terjadi di Paris, Prancis . Hal ini menyebabkan banyak dari warga Jerman yang menjadi takut akan
adanya aksi teror di Jerman dan membuat banyak dari warga Jerman melakukan demonstrasi untuk
mendesak pemerintahannya agar menutup wilayah perbatasannya.
• People secara umum
Apabila dilihat dari beberapa pemberitaan yang diperlihatkan oleh media, masih banyak
migrant yang terlantar di daerah perbatasan antar negara, hal ini disebabkan oleh banyaknya negara
di Eropa yang menutup wilayah perbatasannya dengan alasan telah terlalu banyak migrant yang
telah masuk dan ditambah lagi dengan adanya peristiwa Paris Attack yang menyebabkan
timbulnya Islamophobia. Menurut para migrant hal ini tentu tidak dirasakan adil, karena pada
dasarnya memiliki equality dalam hal Hak Asasi Manusia (HAM) dan karena adanya penutupan
wilayah perbatasan ini dianggap sebagai tidak adanya pengakuan dalam persamaan HAM. Apabila
dilihat dari perspektif cosmopolitan, hal ini juga dianggap tidak adil karena tidak adanya Global
Justice yang dirasakan oleh migrant itu sendiri. Mungkin bagi negara hal ini sudah adil karena
mereka telah melakukan pendekatan open borders dan bagi perspektif realis sendiri hal ini juga
telah adil, namun tidak halnya bagi migrant, karena dalam kasus ini dianggap negara-negara
anggota Europe Union tidak mengidahkan civil rights, yaitu hak dalam memperoleh kesetaraan
dalam berbagai aspek, salah satunya adalah keadilan. Sehingga kesimpulannya disini tidaklah adil
dan hal ini juga didukung oleh perspektif cosmopolitan yang berpendapat bahwa global justice
dapat tercapai apabila kedua belah pihak (people dan state) telah merasakan adil. Karena hanya
salah satu pihak saja yang merasakan adil, maka tidak dapat dikatakan bahwa tindakan yang
dilakukan oleh anggota EU tidaklah dapat mencapai global justice.
Migrasi dan globalisasi
Perpindahan manusia merupakan sebuah kegiatan yang dapat dikatan wajar di abad-21 ini.
Abad-21 merupakan sebuah era dimana batas-batas sebuah negara menjadi kurang terlalu
diperhatikan “tidak menjadi prioritas” dalam mengawal kedaulatan suatu negara. Hal ini
dibuktikan dengan sebuah fenomena terdapatnya kerjasama regional yang lebih memudahkan
masyarakat negara yang terdapat dalam regional tersebut dapat melintasi batas-batas negara
dengan mudah.
Perpindahan masyarakat dari negara A ke negara B mempunyai beberapa pengertian,
diantaranya adalah mobilitas manusia, maksut dari mobilitas manusia adalah perpindahan orang
dari negara A menuju negara B dalam waktu singkat. Pengertian yang ke-dua tentang perpindahan
yang melewati batas negara adalah migrasi. Migrasi adalah sebuah proses perpindahan manusia
dari negara A ke negara B dengan alasan ingin mencari penghidupan yang lebih baik dari segi
ekonomi. Migrasi merupakan sebuah fenomena mobilitas penduduk suatu negara melalui batas-
batas suatu negara dan budaya (Zlotniik dalam dewi:2010). Faktor yang mempengaruhi migrasi
bukan hanya dikarenakan faktor ekonomi, keamanan dan pemenuhan hak Asasi sebagai manusia
yang bernegara juga merupakan faktor pendukung yang cukup dominan dalam melihat fenomena
migrasi. Hal ini dibuktikan dengan terdapatnya perpindahan penduduk Syiria ke beberapa negara
UE yang dikarenakan kurang terpenuhinya hak mereka sebagai manusia yang bernegara dalam hal
keamanan.
Adanya sebuah fenomena migrasi tidak dapat dijauhkan dari adanya sebuah fenomena besar
yang masih abstrak dan mempunyai pengertian berbeda-beda oleh para ahli, yaitu globalisasi.
Globalisasi adalah sebuah fenomena terintegrasinya kehidupan masyarakat lokal suatu negara
dengan kehidupan global yang lebih luas diberbagai bidang. Banyak pengertian yang membahas
tentang globalisasi dianatanya adalah globalisasi dalam perspektif ekonomi. Dari perpeftif
ekonomi, globalisasi ditandai dengan sebuah proses liberalisasi ekonomi. Liberalisasi ekonomi
disini ditandai dengan semakin banyaknya kerjasama ekonomi baik antar negara dalam bentuk
bilateral ataupun multilateral dalam regional. Sedangkan globalisasi dalam perpektif budaya
adalah semakin homogennya kebudayaan di dunia internasional. Adanya fenomena homogenisasi
kebudayaan bukan merupakan sebuah fenomena tanpa ada sebab atau bersifat given, terjadinya
homogenisasi kebudayaan merupakan sebuah proses yang terjadi secara terstruktur dan disengaja.
Hal ini dapat dikatan adanya sebuah upaya untuk melakukan hegemoni kebudayaan dari suatu
negara superior kepada negara yang lebih inferior.
Membahas globalisasi tidak akan pernah ada habisnya jika dilihat dari satu-persatu
perspektif. Globalisasi dapat diartikan melalui perspektif politik, ekonomi, komikasi dan budaya.
Mengacu dengan pengertian globalisasi diatas bahwa pada dasarnya globalisasi adalah sebuah
hubungan interaksi antara masyarakat lokal dengan dunia global, hal ini juga membuat masyarakat
suatu negara tidak mempunyai penghalang untuk melintasi batas negara. Fenomena migrasi
merupakan sebuah fenomena yang mau tidak mau kita harus mengakui bahwa salah satu
penyebabnya adalah dengan adanya globalisasi. Dari aspek ekonomi, dengan adanya globalisasi
terjadinya migrasi dikarenakan adanya keinginan untuk memperbaiki taraf kehidupan suatu
masyarakat, dengan anggapan bahwa dengan mencari pekerjaan dinegara kaya akan dapat
memperbaiki kehidupan keluarga mereka, karena dianggap akan mendapatkan penghasilan yang
lebih daripada bekerja di negara asal.
Adanya globalisasi jika dilihat dari pendekatan politik, maka antar negara akan membentuk
sebuah kerjasama baik itu dalam bentuk kerjasama ekonomi, keamanan, militer, sosial, dan
kebudayaan. Bahkan, jika kerjasama yang dilakukan bukan hanya melibatkan dua negara atau
yang biasa kita sebut dengan kerjasama bilateral maka terdapat kemungkinan untuk membentuk
sebuah badan kerjasama sehingga membentuk sebuah institusi legal yang bergerak dalam sebuah
bidang. Seperti contoh IOM sebuah lembaga internasional yang bergerak dalam menangani maslah
migrasi. Terbentuknya IOM merupakan sebuah bentuk kesadaran masyarakat internasional
tentang keperduliannya terhadap migrasi. Disamping hal ini membuktikan adanya keperdulian
masyarakat internasional dengan migrasi, hal ini juga menandakan bahwa migrasi merupakan
sebuah tanggung jawab kolektif untuk kita jaga ketertibannya, karena didalam fenomena migrasi
tidak selalu lancar tanpa terdapat sebuah masalah. Sesuai dengan definisi dari migrasi yaitu setiap
orang yang telah bergerak dan melewati batas internasional secara yuridiksi atau meninggalkan
tempat tinggal yang biasa mereka gunakan untuk melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari baik
dengan cara sukarela atau tidak disengaja. Dengan adanya definisi tersebut dapat diasumsikan
bahwa tidak semua hal yang berhubungan dengan migrasi selalu berunsur positif atau dengan dasar
pendekatan secara ekonomis.
Dalam realitasnya, terjadinya sebuah migrasi juga dapat dikarenakan adanya sebuah unsur
ketidak sengajaan atau dapat dikatakan karena terpaksa. Hal ini dibuktikan dengan adanya para
imigran dari syiria ke beberapa negara UE.
3. PENUTUP

A. KESIMPULAN
Berdasarkan beberapa pemahaman yang didapatkan pada penjelasan diatas, termasuk studi
kasus, yang dapat kami simpulkan disini adalah, dalam mencapai keadilan, khusunya untuk
migran. Dalam mendapatkan keadilan, tidak semua pendekatan dapat digunakan, namun hanya
beberapa saja yang secara operasionalisasi dapat digunakan.
Pada studi kasus kami, keadilan yang didapatkan oleh pengungsi dan keadilan yang
didapatkan oleh negara berbeda, karena pada dasarnya definisi dan rasa keadilan berbeda dari tiap-
tiap entitas. Keadilan menurut migran adalah ketika ia menginginkan beberapa haknya terpenuhi,
seperti civil rights dan social rights yang lebih mengedepankan hak dalam mencapai keadilan dan
hak dalam merasakan aman atau perlindungan dari negara ke setiap individu. Namun, keadilan
bagi negara adalah ketika mereka membuka wilayahnya kepada migran dan menerapkan kuota
dalam membuka wilayahya. Hal ini disebabkan ketika Jerman membuka wilayahnya, maka
mereka ingin ‘berbagi’ sedikit sumber daya yang mereka miliki kepada para migran tersebut.
Ketika Jerman membuka wilayahnya dan memberlakukan system kuota, hal ini dikarenakan
pemerintah Jerman berpendapat bahwa apabila terlalu banyak migran yang masuk akan membuat
pemerintah kewalahan dalam mengatur migran tersebut dan takut akan kekhawatiran bahwa
stabilitas keamanan mereka juga bisa terancam.
Pendekatan kuota yang digunakan di Jerman sebenarnya tidak sepenuhnya disetujui oleh
negara-negara anggota Europe Union, karena menurut mereka dengan adanya pendekatan system
kuota, tidak semua negara dapat menerimanya, apalagi jikalau kuota tersebut dibagi sama rata
kepada seluruh negara anggota EU.

B. SARAN
Dalam mencapai keadilan yang memiliki perbedaan definisi dari tiap-tiap entitas, maka
sebaiknya dilakukan pendekatan secara mendalam terhadap kebutuhan yang khusus akan keadilan
tersebut. Dan tentunya, tiap-tiap negara dipersilahkan untuk memakai sistem pendekatan yang
berbeda-beda sesuai dengan budaya dan kemampuan negara itu sendiri. Dengan begitu, baik
negara maupun migran akan mendapatkan hak yang sama yaitu keadilan.
Daftar Pustaka

 UNHCR Indonesia, “Pengungsi”. Diakses pada 28 Desember 2016, dari


http://www.unhcr.or.id/id/siapa-yang-kami-bantu/pengungsi
 Simbolon, Ria Rosianna. (2014), “PENUNDAAN RATIFIKASI KONVENSI 1951 DAN
PROTOKOL 1967 TENTANG STATUS PENGUNGSI OLEH PEMERINTAH INDONESIA”. 2
(2), 449-460. Diakses dari http://ejournal.hi.fisip-unmul.ac.id/site/wp-
content/uploads/2014/06/ejournal%20(RIA%20ROSIANNA%20SIMBOLON)%20(06-10-
14-05-30-35).pdf
 Pujayanti, Adirini. (2016) “ISU PENCARI SUAKA DAN KEBIJAKAN UNI EROPA”. Diakses
dari http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/info_singkat/Info%20Singkat-VII-17-I-P3DI-
September-2015-16.pdf
 Lembar Fakta no.20, “HAK ASASI MANUSIA DAN PENGUNGSI”. Diakses pada 28
Desember 2016, dari http://pusham.uii.ac.id/files.php?type=data&lang=id&id=12
 Seglow, J. (2006). “Immigration and Global Justice”. London: Royal Holloway University of
London
 J. S. Fetzer, J. S. (2016). “Open Borders and International Migration Policy”. New York:
Palgrave Macmillan
 Brown, G. W. & Held, D. (2010). “The Cosmopolitanism Reader”. London: Polity Press
 Goodin, R. E. (1995). “Utilitarianism as a Public Philosophy”. London: Cambridge
University Press
 Nursalikah, Ani. (2015, 04 September). Hungaria Perketat Hukum bagi Imigran. Republika.
Diakses dari
http://www.internasional.republika.co.id/berita/internasional/global/15/09/04/nu5dl6366-
hungaria-perketat-hukum-bagi-imigran
 Cohen. (1999). Dalam Kymlicka dan Norman; Carens (2000). Citizenship. (2006). Diakses
dari http://www.plato.stanford.edu/entries/citizenship/
 Heywood. (1994). Dalam Gabriel de la paz. Citizenship Identity and Social Inequality.
Diakses dari http://www.civiced.org/pdfs/delaPazGabriel.pdf
 Marshall, T. H. (1950). Citizenship and Social Class and Other Essays. London: Cambridge
University Press
 Lucy Rodgers, David Gritten, James Offer dan Patrick Asare. (2016, 11 Maret). Syria: The
Story of The Conflict. BBC. Diakses dari http://www.bbc.com/news/world-middle-east-
26116868
 Fargues, Phillippe dan Fandrich, Christine. (2014). The European Response to the Syrian
Refugee Crisis What Next? Halaman 11. Diakses dari
http://www.migrationpolicycentre.eu/docs/MPC%202012%2014.pdf
 S1-2014-250596-introduction.pdf, Diakses pada tanggal 29 Desember 2016 dari
http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=download&sub=DownloadFile&act=view&ty
p=html&id=79520&ftyp=potongan&potongan=S1-2014-250596-introduction.pdf
 Lee, Erica. (2015). European Migration Crisis: Germany’s Response. Halaman 6. Diakses
pada tanggal 26 Desember 2016 dari
http://www.iiea.com/ftp/Publications/2015/Germany_migration_crisis_Germany%27s_respon
se.pdf
 BAMF. (2015). The Distribution of Asylum Applicants. Diakses pada tanggal 28 Desember
2016 dari
http://www.bamf.de/EN/Migration/AsylFluechtlinge/Asylverfahren/Verteilung/verteilung-
node.html
 Federal Ministry of the Interior. Asylum and Refugee Policy in Germany. Diakses pada
tanggal 28 Desember 2016 dari http://www.bmi.bund.de/EN/Topics/Migration-
Integration/Asylum-Refugee-Protection/Asylum-Refugee-Protection_Germany/asylum-
refugee-policy-germany_node.html
 Reuters. (2015). Factbox: Benefits Offered to Asylum Seekers in European Countries. Diakses
pada tanggal 28 Desember 2016 dari http://www.reuters.com/article/us-europe-migrants-
benefits-factbox-idUSKCN0RG1MJ20150916
 Lyons, Patrick J. (2015, 16 September). Explaining the Rules for Migrants: Borders and
Asylum. The New York Times. Diakses dari
http://www.nytimes.com/2015/09/17/world/europe/europe-refugees-migrants-rules.html
 Seeberg, Peter. (2015). Will a Quota Plan for Asylum Seekers Work —and Why Not? Halaman
1. Diakses pada 28 Desember 2016 dari http://www.sdu.dk/-
/media/files/om_sdu/centre/c_mellemoest/videncenter/artikler/2015/august/150727_seeberg.p
df

Anda mungkin juga menyukai