Anda di halaman 1dari 39

LEMBAR PENGESAHAN

Presentasi kasus dengan judul :

“Infeksi Saluran Kemih”

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Budhi Asih

Periode 06 November 2017 – 14 Januari 2018

Disusun oleh :

Puji Lestari

030.12.211

Telah diterima dan disetujui oleh dr. Daniel Effendi, Sp.A

Selaku dokter pembimbing Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Budhi Asih

Jakarta, 04 November 2017

Mengetahui,

dr. Daniel Effendi, Sp.A

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat dan rahmatNya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan laporan kasus yang berjudul “Infeksi Saluran Kemih” pada
kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak. Laporan kasus ini disusun guna untuk memenuhi
tugas kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak di Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih
Jakarta. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak
yang telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian laporan kasus ini, terutama kepada
kepada dr. Daniel Effendi, Sp.A selaku pembimbing yang telah memberikan kesempatan dan
bimbingannya sehingga laporan kasus ini dapat terselesaikan.
Penulis berharap laporan kasus ini dapat menambah pengetahuan dan pemahaman
lebih lanjut mengenai tuberkulosis paru dengan anemia defisiensi besi, serta untuk memenuhi
tugas yang diberikan pada kepaniteraan klinik di Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih
Jakarta. Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan.
Oleh karena itu, penulis berharap kritik dan saran dari semua pihak guna menyempurnakan
makalah ini. Demikian penulis sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
berbagai pihak. Terimakasih.

Jakarta, 04 November 2017

Puji Lestari

2
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN.............................................................................................................1
KATA PENGANTAR......................................................................................................................2
DAFTAR ISI....................................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................4
BAB II KASUS................................................................................................................................5
BAB III TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................................20
A. DEFINISI..............................................................................................................................20
B. EPIDEMOLOGI....................................................................................................................20
C. ETIOLOGI.............................................................................................................................20
D. PATOGENESIS.....................................................................................................................21
E. KLASIFIKASI.......................................................................................................................22
F. DIAGNOSIS..........................................................................................................................27
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG..........................................................................................25
H. PENATALAKSANAAN.......................................................................................................25
I. KOMPLIKASI........................................................................................................................36
J. PROGNOSIS..........................................................................................................................38
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................39

BAB I
PENDAHULUAN
3
Infeksi saluran kemih (ISK) adalah infeksi yang terjadi pada ginjal dan saluran kemih dan
merupakan salah satu penyakit infeksi yang sering terjadi pada anak selain infeksi saluran
napas atas dan diare. ISK adalah adanya bakteri pada urin yang disertai dengan gejala infeksi.
Ada pula yang mendefinisikan ISK sebagai gejala infeksi yang disertai adanya
mikroorganisme patogenik pada urine, uretra, kandung kemih, atau ginjal. Insidens ISK masih
cukup tinggi dan sebagai penyakit infeksi yang hanya ditandai dengan demam, ISK
menempati urutan kedua penyakit infeksi yang paling sering setelah infeksi saluran
pernapasan atas (ISPA). Prevalensi pada anak perempuan berkisar 3-5% dan pada laki-laki
sekitar 1%.1
Tanda dan gejala ISK sangatlah bervariasi dan sebagian besar tergantung kepada faktor usia,
yang akan menjadi lebih spesifik seiring dengan bertambahnya usia. Demam merupakan hal
yang paling penting dan dapat menjadi satu-satunya manifestasi klinis ISK pada anak,
terutama pada bayi. Anak berusia 2 bulan sampai dengan 2 tahun yang menderita ISK perlu
mendapat perhatian khusus oleh karena gejala klinis yang tidak khas, cara mendapatkan
sampel urin yang invasif, dan mempunyai risiko terbesar untuk terjadinya kerusakan ginjal.2,3,4
Hampir semua ISK disebabkan oleh adanya invasi mikroorganisme ascending dari uretra ke
dalam vesika urinaria. Pada beberapa pasien tertentu invasi mikroorganisme dapat mencapai
ginjal. Agen penginfeksi yang paling sering adalah Eschericia coli, Proteus sp, Klebsiella s,
Serratia, dan Pseudomonas sp. Penyebab utama ISK adalah bakteri Eschericia coli (sekitar
80-90%). Pada vesika urinaria normal tidak dihuni oleh bakteri ataupun mikroba lain, karena
itu urin dalam ginjal maupun vesika urinaria biasanya dalam keadaan steril.5,6
Infeksi saluran kemih sendiri bisa dibedakan atas infeksi saluran kemih atas (seperti
pielonefritis atau abses ginjal) dan infeksi saluran kemih bawah (seperti sistitis atau uretritis).
Infeksi saluran kemih yang tidak ditangani dengan benar dapat menyebabkan komplikasi
seperti sepsis. Untuk menegakkan diagnosis infkesi saluran kemih itu sendiri harus ditemukan
adanya bakteri dalam urin melalui biakan atau kultur dengan jumlah yang signifikan atau
bermakna.7
Pada infeksi saluran kemih perlu mendapatkan perhatian khusus karena berbagai alasan
seperti misalnya ISK sering menjadi tanda adanya kelainan pada ginjal dan saluran kemih
yang serius seperti refluks vesiko-ureter (RVU) atau uropati obstruktif, salah satu penyebab
utama gagal ginjal terminal, dan ISK menyebabkan gejala yang tidak menyenangkan bagi
pasien yang menderitanya. Diperkirakan sekitar 20% kasus konsultasi pediatri terdiri dari
kasus ISK dan pielonefritis kronik.8
4
BAB II
KASUS
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
RS PENDIDIKAN : RSUD BUDHI ASIH
STATUS PASIEN KASUS II
Nama Mahasiswa : Puji Lestari Pembimbing : dr.Daniel Effendi, Sp.A
NIM : 030.12.211 Tanda tangan :

IDENTITAS PASIEN
Nama : An. IAD
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 16 tahun 8 bulan
Tempat/ tanggal lahir : Jakarta, 14 Maret 2001
Pendidikan : SMA
Alamat : Jl. Pisang Lama I No.12 RT 07 RW 01, Pulogadung, Jakarta Timur
Suku bangsa : Betawi
Agama : Islam
Anak ke- :1
No. RM : 01115183

ORANG TUA/ WALI

Ayah Ibu
Nama : Tn. D Nama : Ny. LS
Umur : 40 Umur : 42
Pekerjaan : Wiraswasta Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pendidikan : D3 Pendidikan : D3
Suku bangsa : Padang Suku bangsa : Betawi
Agama : Islam Agama : Islam
Alamat : Jl. Pisang Lama I No.12 RT Alamat : Jl. Pisang Lama I No.12 RT
07 RW 01, Pulogadung, Jakarta Timur 07 RW 01, Pulogadung, Jakarta Timur
Hubungan dengan orang tua : Pasien merupakan anak kandung.
5
I. ANAMNESIS
Dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis dengan ibu pasien di bangsal Dahlia
Timur pada tanggal 30 November 2017.
Keluhan utama : Muntah-muntah sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit.
Keluhan tambahan : Demam sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit, mual, warna
urin agak keruh, pusing, dan batuk berdahak.
A. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Budhi Asih dibawa orang tuanya dengan keluhan muntah-
muntah sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Muntah berfrekuensi ±5x perhari, berisi
makanan yang dimakan atau hanya berupa cairan berwarna kuning. Muntah darah (-), muntah
hitam (-). Demam sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam yang dirasa naik turun
namun tidak mengetahui suhu pastinya karena hanya diukur menggunakan telapak tangan. Ibu
pasien mengatakan demamnya tidak terlalu panas. Pasien juga mengatakan warna urinnya
agak keruh namun pasien tidak memperhatikan sejak kapan warna urin mulai keruh. Tidak
ada darah pada urin, rasa perih, terasa panas, serta nyeri saat buang air kecil disangkal. Untuk
frekuensi dan banyaknya urin setiap buang air kecil seperti biasa tidak ada keluhan. Mual (+),
buang air besar sempat cair tapi pasien mengatakan hanya 1x dan setelah itu kembali seperti
biasa, batuk (+) berdahak. Dahak berwarna putih kekuningan, terkadang sulit untuk
dikeluarkan. Kadang pasien juga mengeluhkan pusing kepada ibunya, pusing tidak berputar
namun terkadang matanya berkunang-kunang. Ibu pasien mengatakan adanya penurunan
nafsu makan.

B. Riwayat Penyakit yang Pernah Diderita

Penyakit Umur Penyakit Umur Penyakit Umur


Alergi (-) Difteria (-) Penyakit ginjal (-)
Cacingan (-) Diare (-) Penyakit jantung (-)
DBD (-) Kejang (-) Radang paru (-)
Otitis (-) Morbili (-) TBC (-)

Parotitis (-) Operasi (-) Lain-lain (-)

Kesimpulan riwayat penyakit yang pernah diderita: Pasien tidak pernah mengalami
gejala serupa sebelumnya.
6
C. Riwayat Kehamilan/ Persalinan

Morbiditas Anemia (-), hipertensi (-) penyakit jantung


KEHAMILAN kehamilan (-), penyakit paru (-), merokok (-),
infeksi (-)
Perawatan antenatal Rutin kontrol ke puskesmas setiap 1 bulan.

KELAHIRAN Tempat persalinan Rumah sakit

Penolong persalinan Dokter

Spontan
Cara persalinan
Penyulit : -

Masa gestasi 38 minggu

Berat lahir : 2.800 gram

Panjang lahir : 49 cm

Lingkar kepala : Ibu pasien tidak tahu

Keadaan bayi Langsung menangis (+)


Kemerahan (+)
Kuning (-)
Nilai APGAR : Ibu pasien tidak tahu
Kelainan bawaan : Tidak ada
Kesimpulan riwayat kehamilan/ persalinan : Pasien lahir secara spontan tanpa
penyulit, cukup bulan, berat badan lahir cukup.

D. Riwayat Perkembangan
 Pertumbuhan gigi I : 6 bulan (Normal: 5-9 bulan)
 Gangguan perkembangan mental : Tidak ada
 Psikomotor :
o Tengkurap : 3 bulan (Normal: 3-4 bulan)
o Duduk : 6 bulan (Normal: 6-9 bulan)
o Berdiri : 12 bulan (Normal: 9-12 bulan)
o Berjalan : 13 bulan (Normal: 12-18 bulan)
o Bicara : 12 bulan (Normal: 9-12 bulan)
7
 Perkembangan pubertas : Pasien mengalami menarche pada usia 13 tahun.
Kesimpulan riwayat pertumbuhan dan perkembangan : Tidak terdapat keterlambatan
perkembangan pasien, baik sesuai usia.

E. Riwayat Makanan

Umur
ASI/PASI Buah/ Biskuit Bubur Susu Nasi Tim
(bulan)
0–2 ASI - - -
2–4 ASI - - -
4–6 ASI - - -
6–8 ASI + + -
8 – 10 ASI + + +
10 -12 ASI + + +
Kesimpulan Riwayat Makanan : Pasien mendapat ASI eksklusif selama 6 bulan.
Dilanjutkan dengan pemberian makanan pendamping berupa bubur susu dan nasi tim
saring.

F. Riwayat Imunisasi

Vaksin Dasar ( umur ) Ulangan ( umur )


Hepatitis B 0 2 bulan 6 bulan - - -
DPT 2 4 bulan 6 bulan - - -
bula
n
Polio 2 4 bulan 6 bulan - - -
bula
n
BCG 2 bulan - - -
Campak 9 bulan - - -
MMR 15 bulan - - -
Kesimpulan riwayat imunisasi: Imunisasi dasar lengkap.
8
G. Riwayat Keluarga
a. Corak Reproduksi

Jenis Lahir Mati Keterangan


No Usia kelamin Hidup mati Abortus (sebab) kesehatan
1. 16 tahun Perempuan + - - - Pasien
2. 13 tahun Laki-laki + - - - Sehat
Kesimpulan corak reproduksi : Pasien merupakan anak pertama.

b. Riwayat Pernikahan

Ayah Ibu

Nama Tn. D Ny. LS

Perkawinan ke- 1 1

Umur saat menikah 24 tahun 26 tahun

Pendidikan terakhir D3 D3

Agama Islam Islam

Suku bangsa Padang Betawi

Keadaan kesehatan Sehat Sehat

Kosanguinitas - -

Kesimpulan Riwayat Keluarga :


Pada anggota keluarga pasien tidak ada yang menderita gejala atau penyakit yang
sama seperti yang dialami oleh pasien.
H. Riwayat Lingkungan
Pasien tinggal bersama dengan kedua orang tua dan adik pasien. Rumah merupakan
rumah pribadi, beratap genteng, berlantai keramik, dan berdinding tembok. Ventilasi
dan pencahayaan rumah baik. Sumber air bersih dari air tanah (jet-pump). Air yang
dikonsumsi dari air isi ulang merk Aqua. Rumah pasien terletak di kawasan penduduk
yang cukup padat.

9
Kesimpulan Riwayat lingkungan pasien: Rumah pasien berada di lingkungan yang
cukup padat penduduk dan lingkungan perumahan cukup baik.

I. PEMERIKSAAN FISIK
STATUS GENERALISATA
KEADAAN UMUM
Kesan Sakit : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Kesan Gizi : Gizi lebih
DATA ANTROPOMETRI
 Berat Badan : 68 kg
 Tinggi Badan : 155 cm
STATUS GIZI
 BB / U = 68/54 x 100% = 125% (gizi lebih)
 TB/U = 155/162 x 100% = 95,67% (gizi baik)
 BB/TB = 68/44 x 100 % = 154% (obesitas)
Kesimpulan status gizi: Dari ketiga parameter yang digunakan diatas didapatkan
kesan obesitas

TANDA VITAL
 Tekanan darah : 110/60 mmHg dilengan atas.
 Nadi : 70 x/ menit, kuat, isi cukup, ekual kanan dan kiri, regular
 Pernapasan : 20 x/ menit
 Suhu : 36,8° C
KEPALA : Normocephali, deformitas (-)
RAMBUT : Rambut hitam, distribusi merata dan tidak mudah dicabut.
WAJAH : Wajah simetris, tidak ada pembengkakan, luka atau jaringan parut
MATA:
Visus : tidak dilakukan Ptosis : -/-
Sklera ikterik : -/- Lagofthalmus : -/-
Konjungtiva anemis : -/- Cekung : -/-
Exophthalmus : -/- Kornea jernih : +/+
Enophtalmus : -/- Strabismus : -/-

10
Lensa jernih : +/+ Nistagmus : -/-
Refleks konvergensi : tidak dilakukan
Pupil : 3mm/3mm, bulat,isokor
Refleks cahaya : langsung +/+, tidak langsung +/+
TELINGA :
Bentuk : normotia Tuli : -/-
Nyeri tarik aurikula : -/- Nyeri tekan tragus : -/-
Liang telinga : lapang Serumen : -/-
Cairan : -/- Ruam merah : -/-
HIDUNG :
Bentuk : Simetris Napas cuping hidung : -/-
Sekret : -/- Deviasi septum :-
Mukosa hiperemis : -/- Konka eutrofi : +/+
BIBIR: Mukosa berwarna merah muda, kering (-), sianosis (-), pucat (-)
MULUT:
Oral hygiene cukup baik, halitosis (-), mukosa gusi berwarna merah muda, mukosa
pipi berwarna merah muda, arcus palatum simetris dengan mukosa palatum berwarna
merah muda.
Lidah : Normoglosia, pucat (-), ulkus (-), hiperemis (-) atrofi papil (-).
TENGGOROKAN:
Dinding posterior faring tidak hiperemis, uvula terletak di tengah, ukuran tonsil T1/T1
tidak hiperemis, kripta tidak melebar, tidak ada detritus.
LEHER:
Bentuk tidak tampak kelainan, tidak tampak pembesaran tiroid maupun kelenjar getah
bening. Tidak teraba pembesaran kelenjar tiroid dan kelenjar getah bening. Tidak
tampak deviasi trakea.
THORAKS :
 JANTUNG
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : tidak dilakukan
Perkusi : tidak dilakukan
Auskultasi: BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
 PARU
11
Inspeksi
Retraksi substernal (-), subcostal (-), intercostal (-), bentuk thoraks simetris pada
saat inspirasi dan ekspirasi, tidak ada pernafasan yang tertinggal.
Palpasi
Gerak napas simetris kanan dan kiri, vocal fremitus teraba simetris pada kedua
hemithoraks.
Perkusi
Sonor dikedua lapang paru.
Auskultasi
Suara napas vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-).
ABDOMEN :
Inspeksi :
Warna kulit sawo matang, ruam (-), umbilikus normal, gerak dinding perut saat
pernapasan simetris, gerakan peristaltik (-).
Auskultasi : Bising usus (+) 3x/menit.
Perkusi : Timpani pada seluruh regio abdomen.
Palpasi :
 Supel, nyeri tekan epigastrium (-), turgor kulit baik.
 Hepar : Tidak teraba membesar.
 Lien : Tidak teraba membesar.
ANOGENITALIA:
Jenis kelamin perempuan.
KGB :
 Preaurikuler : Tidak teraba membesar
 Postaurikuler : Tidak teraba membesar
 Submandibula : Tidak teraba membesar
 Supraklavikula : Tidak teraba membesar
 Aksilla : Tidak teraba membesar
 Inguinal : Tidak teraba membesar

EKSTREMITAS:

12
Simetris, tidak terdapat kelainan pada bentuk tulang, posisi tangan dan kaki, serta
sikap badan, tidak terdapat keterbatasan gerak sendi, akral hangat pada keempat
ekstremitas, sianosis (-), edema (-), capillary refill time <3 detik.

Tangan Kanan Kiri


Tonus otot Normotonus Normotonus
Sendi Aktif Aktif
Refleks fisiologis (+) (+)
Refleks patologis (-) (-)
Lain-lain Edema (-) Edema (-)
Ruam (-) Ruam (-)

Kaki Kanan Kiri


Tonus otot Normotonus Normotonus
Sendi Aktif Aktif
Refleks fisiologis (+) (+)
Refleks patologis (-) (-)
Lain-lain Edema (-) Edema (-)

J. PEMERIKSAAN PENUNJANG
LABORATORIUM

Tanggal 27/11/17 Hasil Nilai normal


Hematologi Rutin
Eritrosit 4,9 3,8-5,2 juta/ Ul
Hemoglobin 14,6 12,8-16,8 g/ dL
Hematokrit 43 35-47%
Leukosit 15,8 4,5-12,5 ribu/ μL
Trombosit 339 154-386 ribu/ μL
MCV 88,7 80-100 fL
MCH 29,9 26-34 pg
MCHC 33,7 32-36 g/ dL

13
RDW 11,1 <14%
Glukosa Darah Sewaktu 90 <100 mg/dL
Na 140 135-155 mmol/L
K 3,5 3,6-5,5 mmol/L
Cl 105 98-109 mmol/L

Tanggal 28/11/17 Hasil Nilai normal


Urine Lengkap
Warna Kuning Kuning
Kejernihan Agak keruh Jerinih
Glukosa Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
pH 6,5 4,6-8
Berat Jenis 1,005 1,005-1,030
Albumine Urine Negatif Negatif
Urobilinogen 0,2 0,1-1 E.U./dL
Nitrit Negatif Negatif
Darah Negatif Negatif
Esterase Lekosit 1+ Negatif
Sedimen Urine

Leukosit 5-8 <5/LPB


Eritrosit 1-2 <2/LPB
Epitel positif Positif
Silinder Negatif Negatif
Kristal Negatif Negatif
Bakteri Negatif Negatif
Jamur Negatif Negatif

K. RESUME
14
Pasien datang ke IGD RSUD Budhi Asih dibawa orang tuanya dengan keluhan muntah-
muntah sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Muntah berfrekuensi ±5x perhari, berisi
makanan yang dimakan atau hanya berupa cairan berwarna kuning. Muntah darah (-), muntah
hitam (-). Demam sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam yang dirasa naik turun
namun tidak mengetahui suhu pastinya karena hanya diukur menggunakan telapak tangan. Ibu
pasien mengatakan demamnya tidak terlalu panas. Pasien juga mengatakan warna urinnya
agak keruh namun pasien tidak memperhatikan sejak kapan warna urin mulai keruh. Tidak
ada darah pada urin, rasa perih, terasa panas, serta nyeri saat buang air kecil disangkal. Untuk
frekuensi dan banyaknya urin setiap buang air kecil seperti biasa tidak ada keluhan. Mual (+),
buang air besar sempat cair tapi pasien mengatakan hanya 1x dan setelah itu kembali seperti
biasa, batuk (+) berdahak. Dahak berwarna putih kekuningan, terkadang sulit untuk
dikeluarkan. Kadang pasien juga mengeluhkan pusing kepada ibunya, pusing tidak berputar
namun terkadang matanya berkunang-kunang. Ibu pasien mengatakan adanya penurunan
nafsu makan. Riwayat menstruasi pasien, pasien mengalami menstruasi sejak usia 13 tahun,
menstruasi teratur 1 kali setiap bulan dan biasanya berlangsung selama 7 hari. Riwayat
imunisasi dasar lengkap. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis dengan
keadaan umum tampak sakit sedang, dan tekanan darah 110/60mmHg, nadi 70x/menit,
pernapasan 20x/menit, suhu 36,80c. Pada pemeriksaan laboratorium darah ditemukan
leukositosis (15,8 ribu/ μL). Pada pemeriksaan urinalisis didapatkan kejernihan urin agak
keruh, esterase lekosit 1+, leukosit 5-8/LPB, dan eritrosit 1-2/LPB.

L. DIAGNOSIS KERJA
 Infeksi Saluran Kemih
M. DIAGNOSIS BANDING
 Gastroenteritis Akut
 Urolithiasis
N. PEMERIKSAAN ANJURAN
 Kultur Urin
O. TATALAKSANA
 Non Medikamentosa
Edukasi :
 Komunikasi, informasi, dan edukasi orang tua pasien mengenai keadaan dan
penyakit pasien, hasil pemeriksaan, serta rencana pengobatan.

15
 Edukasi mengenai pentingnya menjaga kebersihan terutama bagian
organogenital

 Penyuluhan untuk menjaga daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi makanan


yang bersih dan bergizi.

 Edukasi untuk menghindari kebiasaan buruk seperti menahan kencing.

 Medikamentosa
 IVFD kaen 3B 3cc/kgBB/jam
 Inj. Ranitidine 2x1 amp
 Inj. Clanexy 3x1,2 gram
 Paracetamol 500 mg bila suhu ≥38˚C
 Ambroxol 3x1 tab
 Loratadine 2x10 mg

P. PROGNOSIS
Ad vitam : ad bonam
Ad functionam : ad bonam
Ad sanationam : ad bonam

Q. FOLLOW UP
Hari ke- Tanggal Keterangan
S. Demam (+), mual (+), muntah (-), menggigil (+),
batuk (+), pusing (+), BAB tidak ada keluhan, BAK
1 28/11/2017 masih keruh
O. KU: sakit sedang, K: compos mentis, TTV: TD
120/80 mmHg, Suhu= 37,5°C, Nafas= 24x/menit, Nadi
= 96x/menit
Laboratorium:
Leukosit 15,8 ribu/ μL
A.GEA
Obesitas
P. IVFD asering 2cc/KgBB/jam
PCT 500 mg bila suhu ≥38˚C
Ambroxol 3x1 tab

2 29/11/2017 S. Demam (-), mual (+), muntah (-), menggigil (-), batuk
16
(+), pusing (-), BAB tidak ada keluhan, BAK sudah
mulai jernih
O. KU: sakit sedang, K: compos mentis, TTV: TD
130/60mmHg, Suhu= 36,6°C, Nafas= 22x/menit, Nadi =
98x/menit
Laboratorium:
Kejernihan urin agak keruh
Esterase lekosit 1+
Leukosit 5-8/LPB
Eritrosit 1-2/LPB
A. Infeksi Saluran Kemih
Obesitas
IVFD Kaen 3B 3cc/KgBB/jam
PCT 500 mg bila suhu ≥38˚C
Ambroxol 3x1 tab
Inj. Clanexy 3x1,2 gram
Inj. Ranitidine 2x1 amp
Loratadine 2x10 mg

S. Demam (-), mual (-), muntah (-), menggigil (-), batuk


(+), pusing (-), BAB tidak ada keluhan, BAK sudah
3 30/11/2017 mulai jernih
O. KU: sakit sedang, K: compos mentis, TTV: TD
120/70mHg Suhu= 36,8°C, Nafas= 20x/menit, Nadi =
100x/menit
A. Infeksi Saluran Kemih
Obesitas
P. Venflon
Inj. Ranitidine 2x1 amp
Inj. Clanexy 3x1,2 gram
Loratadine 2x10 mg
Ambroxol 3x1 tab
PCT 500 mg bila suhu ≥38˚C

17
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Infeksi Saluran Kemih (ISK) merupakan istilah umum untuk berbagai keadaan tumbuh dan
berkembangnya bakteri dalam saluran kemih dengan jumlah yang bermakna. 14Bakteriuria
adalah keadaan ditemukannya bakteri dalam urin. Disebut bakteriuria bermakna bila
ditemukannya kuman dalam jumlah bermakna. Pengertian jumlah bermakna tergantung pada
cara pengambilan sampel urin. Bila urin diambil dengan cara mid stream, kateterisasi urin,
dan urine collector, maka disebut bermakan bila ditemukan kuman 105cfu (colony forming
18
unit) atau lebih dalam setiap mililiter urin segar, sedangkan bila diambil dengan cara aspirasi
supra pubik, disebutkan bermakna jika ditemukan kuman dalam jumlah berapa pun.9
2.2 Epidemiologi
Epidemiologi ISK pada anak bervariasi tergantung usia, jenis kelamin, dan faktor-faktor
lainnya. Insidens ISK tertinggi terjadi pada tahun pertama pada anak. Selama tahun pertama
kehidupan, prevalensi bakteriuria 0,9% pada anak perempuan dan 2,5% pada anak laki-laki,
atau dengan rasio penderita laki-laki : rasio wanita adalah 2,8-5,4 : 1, Sedangkan dalam tahun
pertama sampai tahun kedua kehidupan terjadi perubahan yang mencolok dimana rasio laki-
laki : rasio perempuan adalah 1:10. Prevalensi ISK pada anak usia 2 bulan sampai 2 tahun
adalah 5%. Insidens ISK pada anak usia kurang dari 6 tahun adalah 3-7% pada anak
perempuan dan 1-2% pada anak laki-laki. Insidens ISK pada anak remaja adalah 10%, dimana
7,8% diantaranya dijumpai pada anak perempuan.10
Prevalensi ISK pada neonatus berkisar antara 0,1% hingga 1%, dan meningkat menjadi 14%
pada neonatus dengan demam, dan 5,3% pada bayi. Beberapa penelitian juga menambahkan
bahwa sekitar 7% sampai 8% anak perempuan dan 2% anak laki-laki mengalami ISK selama
8 tahun pertama kehidupannya danISK jauh lebih sering terjadi pada anak laki-laki yang tidak
disunat.Pada anak perempuan, ISK pertama biasanya terjadi pada umur 5 tahun, dengan
puncaknya pada bayi dan anak-anak yang sedang toillete training. Setelah ISK pertama, 60%-
80% anak perempuan akan mengembangkan ISK yang kedua dalam 18 bulan.10
2.3 Etiologi
Infeksi saluran kemih dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme seperti bakteri,
virus, dan jamur, tetapi yang terbanyak adalah bakteri. Menurut WHO bakteri utama terkait
ISK pada anak-anak di negara berkembang adalah organisme gram negatif, seperti
Escherichia coli (80-90%). Kuman lain penyebab ISK yang sering adalah Proteus mirabilis,
Klebsiella pneumonia, Klebsiella oksitoka, Proteus vulgaris, Pseudomonas aeroginosa,
Enterobakter aerogenes, dan Morganella morganii, Stafilokokus, dan Enterokokus.9,11
Pada ISK kompleks, sering ditemukan kuman yang virulensinya rendah seperti Pseudomonas,
golongan Streptokokus grup B, Stafilokokus aureus atau epidermidis. Bila penyebabnya
Proteus, perlu dicurigai kemungkinan batu struvit (magnesium- ammonium-fosfat) karena
kuman Proteus menghasilkan enzim urease yang memecah ureum menjadi amonium,
sehingga pH urin meningkat menjadi 8-8,5. Pada urin yang alkalis, beberapa elektrolit seperti
kalsium, magnesium, dan fosfat akan mudah mengendap.9
2.4 Patogenesis
19
Patogenesis dari ISK ditentukan oleh mekanisme proteksi dan faktor predisposisi. Mekanisme
proteksi yaitu pengosongan vesika urinaria berkala dan pertahanan tubuh atau sistem imun
penjamu. Faktor predisposisi termasuk pengosongan vesika urinaria yang tidak komplit
menyebabkan urin residu (contohnya neurogenic bladder dan refluks vesikoureter), terapi
antibiotik sebelumnya (yang mana dapat mengeradikasi bakteri komensal dan menyebabkan
bakteri yang virulen dapat menyerang), anak laki-laki yang tidak disirkumsisi (disebabkan
kolonisasi bakteri di foreskin), dan faktor virulensi uropatogen.1
Anak dengan traktus urinarius yang abnormal lebih banyak menderita ISK yang disebabkan
organisme dengan virulensi lebih rendah seperti Pseudomonas atau Staphylococcus aureus.
Bakteri-bakteri ini merupakan flora yang sering mengkontaminasi genital dan kulit. Anak
yang terinfeksi bakteri Proteus memiliki risiko terbentuknya batu di saluran urinarius. Ini
terjadi karena bakteri memproduksi amoniak melalui metabolisme urea. Hal ini meningkatkan
pH urin, yang mana menyebabkan pembentukan presipitat garam kalsium dan magnesium
fosfat. Ini dapat muncul pada mukus dan debris sel yang disebabkan proses inflamasi dan
membuat lendir tebal yang mengisi saluran drainase lalu presipitat kimia dapat membuatnya
menjadi lebih padat. Pada sistem pelvikaliks dapat menjadi stag-horn calculi, dan pada ureter
menjadi bentuk seperti date stone.1,12
Bakteri patogen asalnya dari flora usus (E.coli) pasien sendiri yang berkoloni di area
periuretra. Lalu naik ke vesika urinaria dan memulai proses proliferasi dan invasi jaringan.
Toksin bakteri menyebabkan kemotaksis dan mengaktivasi granulosit. Ini diikuti pelepasan
radikal bebas dan produk lisosomal yang mana menyebabkan kerusakan jaringan dan
kematian dan fibrosis lanjut serta scarring.12,13

Gambar 1. Patogenesis Infeksi Saluran Kemih1


20
Patogenesis ISK adalah infeksi ascending dari bakteri yang berasal dari kolon, berkoloni di
perineum dan masuk ke kandung kemih melalui uretra. Infeksi pada kandung kemih akan
menimbulkan reaksi inflamasi, sehingga timbul nyeri pada suprapubik. Infeksi pada kandung
kemih ini disebut sistitis. Gejala yang timbul pada sistitis meliputi disuria (nyeri saat
berkemih), urgensi (rasa ingin miksi terus menerus), sering berkemih, inkontinensia, dan nyeri
suprapubik. Pada sistitis umumnya tidak terdapat gejala demam dan tidak menimbulkan
kerusakan ginjal.13
Pada beberapa kasus, infeksi akan menjalar melalui ureter ke ginjal sehingga timbul
pielonefritis. Pada keadaan normal, papilla pada ginjal memiliki mekanisme antirefluks yang
mencegah urin untuk memasuki tubulus kolektivus pada ginjal. Namun pada papilla, terutama
yang terletak pada bagian atas dan bawah ginjal, tidak memiliki mekanisme ini sehingga
refluks intrarenal bisa terjadi. Urin yang terinfeksi akan masuk kembali, menstimulasi
terjadinya respon imun dan inflamasi yang pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya luka
dan menimbulkan jaringan parut pada ginjal. Infeksi saluran kemih juga bisa terjadi secara
hematogen, misalnya pada endokarditis dan neonatus dengan bakteremia.14
Pada anak perempuan, bakteri gram negatif muncul pada area dari anus ke uretra. Pada anak
laki-laki, di mana organisme berkolonisasi di prepusium, kejadian ISK dapat diturunkan
dengan sirkumsisi. Mayoritas ISK pada bayi baru lahir menyebar melalui darah. Saat ini
sepsis yang disebabkan olehs E.coli gram negatif sering terjadi. Manifestasi klinis akan
terlihat beberapa hari berupa bakteriuria. Immunoglobulin yang terdapat dalam air susu ibu
mempunyai efek proteksi dan masuknya organisme ini sering terjadi pada bayi yang tidak
diberikan ASI. Hal ini juga terjadi pada Salmonella, Tuberculosis, Histoplasmosis, dan
parasit.15
2.5 Klasifikasi
ISK pada anak dapat dibedakan berdasarkan gejala klinis, lokasi infeksi, dan kelainan saluran
kemih. Berdasarkan gejala, ISK dapat dibedakan menjadi ISK asimtomatik dan simtomatik.
ISK asimtomatik adalah adanya temuan bakteriuria yang bermakna tanpa disertai dengan
gejala. Sedangkan ISK simtomatik yaitu terdapatnya bakteriuria yang bermakna disertai
gejala dan tanda klinik. ISK simtomatik dapat dibedakan lagi menjadi dua yaitu infeksi yang
menyerang parenkim ginjal, disebut pielonefritis dengan gejala utama demam, dan infeksi
yang terbatas pada saluran kemih bawah (sistitis) dengan gejala utama berupa gangguan miksi
seperti disuria, polakisuria, kencing mengedan (urgency).9,16

21
Berdasarkan lokasi infeksi, ISK dibedakan menjadi ISK atas dan ISK bawah. ISK atas (upper
UTI) merupakan ISK bagian atas terutama parenkim ginjal, lazimnya disebut sebagai
pielonefritis sedangkan ISK bawah (lower UTI) adalah bila infeksi di vesika urinaria (sistitis)
atau uretra. Batas antara atas dan bawah adalah vesikoureter junction.16
Berdasarkan kelainan saluran kemih, ISK dapat dibedakan menjadi ISK simpleks dan ISK
kompleks. ISK simpleks (simple UTI, uncomplicated UTI) adalah infeksi pada saluran kemih
yang normal tanpa kelainan struktural maupun fungsional saluran kemih yang menyebabkan
stasis urin. Sedangkan ISK kompleks (complicated UTI) adalah ISK yang disertai dengan
kelainan anatomik dan atau fungsional saluran kemih yang menyebabkan stasis ataupun aliran
balik (refluks) urin. Kelainan saluran kemih dapat berupa batu saluran kemih, obstruksi,
anomali saluran kemih, kista ginjal, parut ginjal, buli-buli neurogenik, benda asing,
divertikulum kandung kemih, ureterokel, dan sebagainya.8,16
Selain dari kelainan struktur anatomi, gangguan pada sistem fungsional atau fisiologisnya
juga dapat menyebabkan terjadinya infeksi saluran kemih atau keduanya saling berkaitan.
Pada bagian bawah uretra terdapat satu lapisan otot rangka yaitu sfingter uretra eksterna.
Sfingter ini diperkuat oleh seluruh diafragma pelvis. Dalam keadaan fisiologis sewaktu
kandung kemih melemas dan terisi, sfingter uretra interna dan eksterna tertutup untuk
mencegah urin keluar. Saat seseorang merasa ingin buang air kecil maka kandung kemih akan
berkontraksi dan sfingter uretran interna maupun eksterna akan melemas dan terbuka
sehingga urin dapan keluar. Pada keadaan tertentu seperti adanya kelainan anatomi, usia yang
sudah tua, dan lain-lain dapat menyebabkan peningkatan sisa urin dalam kandung kemih
akibat pengosongan kandung kemih yang kurang efektif. Residu kemih ini dapat menjadi
media pertumbuhan bakteri yang nantinya dapat menyebabkan terjadinya infeksi saluran
kemih.8,13
ISK non spesifik adalah ISK yang gejala klinisnya tidak jelas. Ada sebagian kecil (10-20%)
kasus yang sulit digolongkan ke dalam pielonefritis atau sistitis, baik berdasarkan gejala
klinik maupun pemeriksaan penunjang yang tersedia.16
2.6 Manifestasi klinis
Terdapatnya ISK harus dipertimbangkan berdasarkan presentasi klinis, usia anak, dan
intensitas reaksi inflamasi serta lokasi infeksi pada saluran kemih. Pada anak, ISK paling
banyak bermanifestasi sebagai demam yang tidak diketahui penyebabnya (fever of unknown
origin). Tanda dan gejala ISK sangatlah bervariasi dan sebagian besar tergantung kepada
faktor usia, yang akan menjadi lebih spesifik seiring dengan bertambahnya usia. Demam
22
merupakan hal yang paling penting dan dapat menjadi satu-satunya manifestasi klinis ISK
pada anak, terutama pada bayi.17
Pada masa neonatus, gejala klinik tidak spesifik dapat berupa apati, anoreksia, ikterus atau
kolestatis, muntah, diare, demam, hipotermia, tidak mau minum, oliguria, iritabel, atau
distensi abdomen. Peningkatan suhu tidak begitu tinggi dan sering tidak terdeteksi. Kadang-
kadang gejala klinik hanya berupa apati dan warna kulit keabu-abuan (grayish colour).(1)
Pada bayi sampai satu tahun, gejala klinik dapat berupa demam, penurunan berat badan, gagal
tumbuh, nafsu makan berkurang, cengeng, kolik, muntah, diare, ikterus, dan distensi
abdomen. Pada palpasi ginjal anak merasa kesakitan. Demam yang tinggi dapat disertai
kejang. Bakteremia atau sepsis lebih sering terjadi pada bayi yang menderita ISK disertai
demam dibandingkan anak yang berusia lebih tua, sehingga harus dievaluasi secara seksama
dan diberikan penanganan yang tepat.17
Pada umur lebih tinggi yaitu sampai 4 tahun, dapat terjadi demam yang tinggi hingga
menyebabkan kejang, muntah dan diare bahkan dapat timbul dehidrasi. Anak-anak yang
berusia lebih tua sudah dapat mengkomunikasikan gejala yang lebih spesifik antara sistitis
atau pyelonephritis, seperti; disuria, frekuensinya, urgensi, inkontinensia onset baru, nyeri
pinggang, rasa tidak nyaman pada daerah suprapubik.17,18
Pada pielonefritis dapat dijumpai demam tinggi disertai menggigil, gejala saluran cerna
seperti mual, muntah, diare. Tekanan darah pada umumnya masih normal, dapat ditemukan
nyeri pinggang. Gejala neurologis dapat berupa iritabel dan kejang. Nefritis bakterial fokal
akut adalah salah satu bentuk pielonefritis, yang merupakan nefritis bakterial interstitial yang
dulu dikenal sebagai nefropenia lobar.18
Pada sistitis, demam jarang melebihi suhu 38°C, biasanya ditandai dengan nyeri pada perut
bagian bawah, serta gangguan berkemih berupa frequensi, nyeri waktu berkemih, rasa tidak
nyaman pada daerah suprapubik, urgensi, kesulitan berkemih, retensio urin, dan enuresis.
Selain itu, anak juga dapat mengalami gejala muntah, diare, dan nyeri abdomen.18
Tabel Manifestasi klinis Infeksi Saluran Kemih pada anak18

23
2.7 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik lengkap penting dilakukan untuk menyingkirkan penyebab demam lainnya,
mencakup pemeriksaan abnormalitas genital (seperti fimosis pada anak laki-laki, adhesi labia
atau vulvovaginitis pada anak perempuan), pemeriksaan neurologis dasar, dan pemeriksaan
abdomen untuk mencari adanya massa atau feses yang dapat dipalpasi.19
Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa pemeriksaan fisis pada kasus ISK berusia 2 bulan
sampai dengan 2 tahun selain demam, jarang ditemukan kelainan. Kelainan yang mungkin
ditemukan adalah ikterus, nyeri ketuk sudut kosto vertebra, terdapat pembesaran ginjal, teraba
kandung kemih, teraba skibala, vulvitis, iritasi benda asing, balanitis, striktur uretra, fimosis
dan perlekatan labia. Tiga tanda klinis terbanyak yang didapatkan pada penelitian ini adalah
demam dengan suhu > 38oC sebanyak 28/50, balanitis 10/28 dan ikterus 5/50 subyek. Saleh
dkk mendapatkan pemeriksaan fisik normal pada 78,4%, edema 16%, nyeri suprapubik 2,7%,
nyeri pinggang 0,7% dan hipertensi 2% dari total 148 subyek penelitian.19

2.8 Pemeriksaan penunjang


1. Pemeriksaan urin
Diagnosis didasarkan kultur kuantitatif dari spesimen urine yang telah dikumpulkan. Urine
midstream bisa didapatkan pada anak yang telah dapat mengontrol kencing. Bayi atau anak di
bawah 2 tahun dengan demam tanpa sumber tampak sakit berat, antibiotik diberikan dan
contoh urin diambil untuk kultur dengan cara aspirasi suprapubik atau kateter. Aspirasi
suprapubik adalah pengambilan urin langsung dari kandung kemih dengan jarum yang lebih
dipilih untuk anak laki yang belum di khitan. Kemungkinan kontaminasi pada urin yang
diperoleh dengan kedua cara tersebut sangat kecil sehingga kedua cara tersebut merupakan
cara yang paling diandalkan.19

24
Namun bila bayi atau anak di bawah 2 tahun dengan demam tersebut tidak tampak sakit berat,
aspirasi suprapubik atau kateterisasi kadang dianggap berlebihan. Pada kondisi ini,
pengambilan contoh urin dapat dilakukan dengan cara yang tidak invasif, misalnya :
 Pada anak yang sudah cukup besar, dapat dilakukan pengambilan urin mid-stream.
 Pada bayi atau batita, dapat dilakukan pengambilan urin dengan urin mid-stream atau
kantung penampung urin yang dilekatkan pada perineum.
Pengambilan contoh urin dengan cara ini memiliki risiko kontaminasi yang rendah jika
sebelum pengambilan urin perineum dibersihkan dengan teliti, kantung penampung urin
segera dilepaskan setelah urin diperoleh, dan sediaan tersebut cepat diproses. Pada anak
perempuan, perineum harus dibersihkan dari depan ke belakang dengan semacam kassa yang
dibasahi air hangat tanpa antiseptik. Jika tidak dapat langsung diproses, sediaan harus
disimpan dalam suhu 40oC. Sediaan yang telah disimpan hingga 48 jam masih dapat
digunakan untuk kultur, namun tidak dapat digunakan untuk pemeriksaan mikroskopik karena
sel-sel yang ada sudah rusak.19
Yang dilakukan pada contoh urin itu adalah :
 Kultur : Kultur yang negatif akan menyingkirkan diagnosis ISK. Sedangkan pada
kultur yang positif, proses pengambilan contoh urin harus diperhatikan. Jika kultur
positif berasal dari aspirasi suprapubik atau kateterisasi, maka hasil tersebut dianggap
benar. Namun jika kultur positif diperoleh dari kantung penampung urin, perlu
dilakukan konfirmasi dengan kateterisasi atau aspirasi suprapubik.
 Urinalisis : Komponen urinalisis yang paling penting dalam ISK adalah esterase
leukosit, nitrit, dan pemeriksaan leukosit dan bakteri mikroskopik. Namun tidak ada
komponen urinalisis yang dapat menggantikan pentingnya kultur sehingga kultur tetap
merupakan keharusan untuk mendiagnosis ISK.
Anti Coated Bactery (ACB) dalam urin yang diperiksa dengan menggunakan fluorescein-
labeled anti-immunoglobullin merupakan tanda pielonefritis pada remaja dan dewasa
muda, namun tidak dapat dilakukan pada anak-anak. Selain itu, konsentrasi LDH iso-
enzyme tipe IV dan V meninggi dalam urin dapat mengindikasikan seseorang menderita
infeksi saluran kemih bagian atas.8
2. Pemeriksaan darah
Berbagai pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis
dan membedakan ISK atas dan bawah, namun sebagian besar pemeriksaan tersebut tidak
spesifik. Leukositosis, peningkatan nilai absolut neutrofil, peningkatan laju endap darah
(LED), C-reactive protein (CRP) yang positif, merupakan indikator non-spesifk ISK atas.

25
Kadar prokalsitonin yang tinggi dapat digunakan sebagai prediktor yang valid untuk
pielonefritis akut pada anak dengan ISK febris (febrile urinary tract infection) dan skar ginjal.
Sitokin merupakan protein kecil yang penting dalam proses inflamasi. Prokalsitonin, dan
sitokin proinflamatori (TNF-α; IL-6; IL-1β) meningkat pada fase akut infeksi, termasuk pada
pielonefritis akut.20
3. Pemeriksaan pencitraan
Tujuan dari studi pencitraan pada anak-anak dengan ISK adalah mengidentifikasi kelainan
anatomi yang mempengaruhi terhadap infeksi. Namun pemilihan pmeriksaan dengan imaging
yang sesuai untuk ISK pada anak masih merupakan kontroversi. Pemeriksaan pencitraan
sangat penting untuk melihat adanya kelainan anatomi maupun fungsional ginjal dan saluran
kemih, yang merupakan faktor risiko terjadinya ISK berulang dan jaringan parut ginjal.
Berbagai jenis pemeriksaan pencitraan antara lain ultrasonografi (USG), miksio-
sistouretrografi (MSU), PIV (pielografi inravena), skintigrafi DMSA (dimercapto succinic
acid), CT-scan atau magnetic resonance imaging (MRI). Dulu, PIV merupakan pemeriksaan
yang sering digunakan, tetapi belakangan ini tidak lagi rutin digunakan pada ISK karena
berbagai faktor antara lain efek radiasi yang multipel, resiko syok anafilaktik, risiko nekrosis
tubular akut, jaringan parut baru terlihat setelah beberapa bulan atau tahun, tidak dapat
memperlihatkan jaringan parut pada permukaan anterior dan posterior. PIV digunakan untuk
kasus tertentu, misalnya untuk melihat gambaran anatomi jika tidak jelas terlihat dengan USG
dan skintigrafi DMSA, misalnya ginjal tapal kuda.9

Gambar 2. Algoritma Pencitraan ISK pada anak usia < 6 bulan dan 6 bulan ­ 3 tahun9

26
Gambar 3. Algoritma pencitraan ISK pada anak usia > 3 tahun9
2.9 Diagnosis
Diagnosis ISK ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium yang dipastikan dengan biakan urin kuantitatif. ISK serangan pertama umumnya
menunjukkan gejala klinik yang lebih jelas dibandingkan dengan infeksi berikutnya.
Gangguan kemampuan mengontrol kandung kemih, pola berkemih, dan aliran urin dapat
sebagai petunjuk untuk menentukan diagnosis. Demam merupakan gejala dan tanda klinik
yang sering dan kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala ISK pada anak.19,20
Pemeriksaan tanda vital termasuk tekanan darah, pengukuran antropometrik, pemeriksaan
massa dalam abdomen, kandung kemih, muara uretra, pemeriksaan neurologik ekstremitas
bawah, tulang belakang untuk melihat ada tidaknya spina bifida, perlu dilakukan pada pasien
ISK. Genitalia eksterna diperiksa untuk melihat kelainan fimosis, hipospadia, epispadia pada
laki-laki atau sinekia vagina pada perempuan.20
Pemeriksaan urinalisis dan biakan urin adalah prosedur yang terpenting. Oleh sebab itu
kualitas pemeriksaan urin memegang peran utama untuk menegakkan diagnosis. American
Academy of Pediatrics (AAP) membuat rekomendasi bahwa pada bayi umur di bawah 2
bulan, setiap demam harus dipikirkan kemungkinan ISK dan perlu dilakukan biakan urin.
Pada anak umur 2 bulan sampai 2 tahun dengan demam yang tidak diketahui penyebabnya,
kemungkinan ISK harus dipikirkan dan perlu dilakukan biakan urin, dan anak ditatalaksana
sebagai pielonefritis. Untuk anak perempuan umur 2 bulan sampai 2 tahun, AAP dibuat
patokan sederhana berdasarkan 5 gejala klinik yaitu: 1) Suhu tubuh 39°C atau lebih, 2)
27
Demam berlangsung dua hari atau lebih, 3) Ras kulit putih, 4) Umur di bawah satu tahun, 5)
Tidak ditemukan kemungkinan penyebab demam lainnya. Bila ditemukan 2 atau lebih faktor
risiko tersebut maka sensitivitas untuk kemungkinan ISK mencapai 95% dengan spesifisitas
31%.9,20
2.10 Tatalaksana
Tatalaksana ISK didasarkan pada beberapa faktor seperti umur pasien, lokasi infeksi, gejala
klinis, dan ada tidaknya kelainan yang menyertai ISK. Sistitis dan pielonefritis memerlukan
pengobatan yang berbeda. Keterlambatan pemberian antibiotik merupakan faktor risiko
penting terhadap terjadinya jaringan parut pada pielonefritis. Sebelum pemberian antibiotik,
terlebih dahulu diambil sampel urin untuk pemeriksaan biakan urin dan resistensi
antimikroba. Penanganan ISK pada anak yang dilakukan lebih awal dan tepat dapat mencegah
terjadinya kerusakan ginjal lebih lanjut.20
Sampai saat ini masih belum ada keseragaman dalam penanganan ISK pada anak, dan masih
terdapat beberapa hal yang masih kontroversi. Beberapa protokol penanganan ISK telah
dibuat berdasarkan hasil penelitian multisenter berupa uji klinis dan meta-analisis, meskipun
terdapat beberapa perbedaan tetapi protokol penanganan ini saling melengkapi. Secara garis
besar, tatalaksana ISK terdiri atas: 1) Eradikasi infeksi akut, 2) Deteksi dan tatalaksana
kelainan anatomi dan fungsional pada ginjal dan saluran kemih, dan 3) Deteksi dan mencegah
infeksi berulang.20,21
1) Eradikasi infeksi akut
Tujuan eradikasi infeksi akut adalah mengatasi keadaan akut, mencegah terjadinya urosepsis
dan kerusakan parenkim ginjal. Jika seorang anak dicurigai ISK, berikan antibiotik dengan
kemungkinan yang paling sesuai sambil menunggu hasil biakan urin, dan terapi selanjutnya
disesuaikan dengan hasil biakan urin. Pemilihan antibiotik harus didasarkan pada pola
resistensi kuman setempat atau lokal, dan bila tidak ada dapat digunakan profil kepekaan
kuman yang terdapat dalam literatur. Umumnya hasil pengobatan sudah tampak dalam 48-72
jam pengobatan. Bila dalam waktu tersebut respon klinik belum terlihat mungkin antibiotic
yang diberikan tidak sesuai atau mungkin yang dihadapi adalah ISK kompleks, sehingga
antibiotik dapat diganti. Selain pemberian antibiotik, dianjurkan untuk meningkatkan asupan
cairan.21
Penelitian tentang lama pemberian antibiotik pada sistitis menunjukkan tidak ada perbedaan
dalam outcome anak dengan pemberian antibiotik jangka pendek dibandingkan dengan jangka
panjang. Oleh karena itu, pada sistitis diberikan antibiotik jangka pendek.9,21
28
Biasanya, untuk pengobatan ISK simpleks diberikan antibiotik per oral selama 7 hari, tetapi
ada penelitian yang melaporkan pemberian antibiotik per oral dengan waktu yang lebih
singkat (3-5 hari), dan efektifitasnya sama dengan pemberian selama 7 hari.
NICE (National Institute for Health and Clinical Excellence) merekomendasikan penanganan
ISK fase akut, sebagai berikut:
 Bayi < 3 bulan dengan kemungkinan ISK harus segera dirujuk ke dokter spesialis anak,
pengobatan harus dengan antibiotik parenteral.
 Bayi ≥ 3 bulan dengan pielonefritis akut atau dengan ISK atas:
• Pertimbangkan untuk dirujuk ke spesialis anak .
• Terapi dengan antibiotik oral 7-10 hari, dengan antibiotik yang resistensinya masih
rendah berdasarkan pola resistensi kuman, seperti sefalosporin atau ko-amoksiklav.
• Jika antibiotik per oral tidak dapat digunakan, terapi dengan antibiotik parenteral, seperti
sefotaksim atau seftriakson selama 2-4 hari dilanjutkan dengan antibiotik per oral hingga
total lama pemberian 10 hari.
 Bayi ≥ 3 bulan dengan sistitis ISK bawah:
• Berikan antibiotik oral selama 3 hari berdasarkan pola resistensi kuman setempat. Bila
tidak ada hasil pola resistensi kuman, dapat diberikan trimetroprim, sefalosporin, atau
amoksisilin.
• Bila dalam 24-48 jam belum ada perbaikan klinis harus dinilai kembali, dilakukan
pemeriksaan kultur urin untuk melihat pertumbuhan bakteri dan kepekaan terhadap obat.9,21
Di negara berkembang didapatkan resistensi kuman uropatogen yang tinggi terhadap
ampisilin, kotrimoksazol, dan kloramfenikol, sedangkan sensitivitas sebagian besar kuman
patogen dalam urin mendekati 96% terhadap gentamisin dan seftriakson. Berbagai antibiotik
dapat digunakan untuk pengobatan ISK, baik antibiotik yang diberikan secara oral maupun
parenteral, seperti terlihat pada table berikut.
Tabel Pilihan antimikroba oral pada infeksi saluran kemih.9

Jenis antibiotik Dosis per hari


Amoksisilin 20-40 mg/kgbb/hari dibagi dalam 3 dosis
Sulfonamid
Trimetroprim (TMP) dan Sulfametoksazol 6-12 mg TMP dan 30-60 mg SMX
(SMX) /kgbb/hari dibagi dalam 2
Sulfisoksazol Dosis 120-150 mg/kgbb/hari dibagi dalam 4
dosis
Sefalosporin:
29
Sefiksim 8 mg/kgbb/hari dibagi dalam 2 dosis
Sefpodiksim 10 mg/kgbb/hari dibagi dalam 2 dosis
Sefprozil 30 mg/kgbb/hari dibagi dalam 2 dosis
Sefaleksin 50-100 mg/kgbb/hari dibagi dalam 4 dosis
Lorakarbef 15-30 mg/kgbb/hari dibagi dalam 2 dosis
Tabel Pilihan antimikroba parenteral pada infeksi saluran kemih.9

Jenis antibiotik Dosis per hari

Seftriakson 75 mg/kgbb/hari
Sefotaksim 150 mg/kgbb/hari dibagi setiap 6 jam
Seftazidim 150 mg/kgbb/hari dibagi setiap 6 jam
Sefazolin 50 mg/kgbb/hari dibagi setiap 8 jam
Gentamisin 7,5 mg/kgbb/hari dibagi setiap 6 jam
Amikasin 15 mg/kgbb/hari dibagi setiap 12 jam
Tobramisin 5 mg/kgbb/hari dibagi setiap 8 jam
Tikarsilin 300 mg/kgbb/hari dibagi setiap 6 jam
Ampisilin 100 mg/kgbb/hari dibagi setiap 6 jam

Pengobatan sistitis akut


Anak dengan sistitis diobati dengan antibiotik peroral dan umumnya tidak memerlukan
perawatan di rumah sakit, namun bila gejala klinik cukup berat misalnya rasa sakit yang
hebat, toksik, muntah dan dehidrasi, anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi pengobatan
parenteral hingga gejala klinik membaik. Lama pengobatan umumnya 5 – 7 hari, meskipun
ada yang memberikan 3-5 hari, 6 atau 7 hari.9
Untuk sistitis akut, direkomendasikan pemberian antibiotik oral seperti trimetoprim-
sulfametoksazol, nitrofurantoin, amoksisilin, amoksisilinklavulanat, sefaleksin, dan sefiksim.
Golongan sefalosporin sebaiknya tidak diberikan untuk menghindari resistensi kuman dan
dicadangkan untuk terapi pielonefritis. Menurut Garin dkk, pemberian sefiksim pada sistitis
akut terlalu berlebihan. ISK simpleks umumnya memberikan respon yang baik dengan
amoksisilin, sulfonamid, trimetoprim-sulfametoksazol, atau sefalosporin.9,21
Pengobatan pielonefritis

30
Para ahli sepakat bahwa antibiotik untuk pielonefritis akut harus mempunyai penetrasi yang
baik ke jaringan karena pielonefritis akut merupakan nefritis interstitialis. Belum ada
penelitian tentang lamanya pemberian antibiotik pada pielonefritis akut, tetapi umumnya
antibiotik diberikan selama 7-10 hari, meskipun ada yang menuliskan 7-14 hari atau 10-14
hari.9,21
Pemberian antibiotik parenteral selama 7 - 14 hari sangat efektif dalam mengatasi infeksi pada
pielonefritis akut, tetapi lamanya pemberian parenteral menimbulkan berbagai permasalahan
seperti masalah kesulitan teknik pemberian obat, pasien memerlukan perawatan, biaya
pengobatan yang relatif mahal, dan ketidaknyamanan bagi pasien dan orangtua, sehingga
dipikirkan untuk mempersingkat pemberian parenteral dan diganti dengan pemberian oral.
Biasanya perbaikan klinis sudah terlihat dalam 24-48 jam pemberian antibiotik parenteral.
sehingga setelah perbaikan klinis, antibiotik dilanjutkan dengan pemberian antibiotik peroral
sampai selama 7-14 hari pengobatan.9
Secara teoritis pemberian antibiotik yang lebih singkat pada anak mempunyai keuntungan
antara lain efek samping obat lebih sedikit dan kemungkinan terjadinya resistensi kuman
terhadap obat lebih sedikit. Pada kebanyakan kasus, antibiotik parenteral dapat dilanjutkan
dengan oral setelah 5 hari pengobatan bila respons klinik terlihat dengan nyata atau setidak-
tidaknya demam telah turun dalam 48 jam pertama. Tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa
pengobatan 14 hari lebih efektif atau dapat mengurangi risiko kekambuhan. Dianjurkan
pemberian profilaksis antibiotik setelah pengobatan fase akut sambil menunggu hasil
pemeriksaan pencitraan. Bila ternyata kasus yang dihadapi termasuk ke dalam ISK kompleks
(adanya refluks atau obstruksi) maka pengobatan profilaksis dapat dilanjutkan lebih lama.9
Pengobatan ISK pada neonatus
Pada masa neonatus, gejala klinik ISK tidak spesifik dapat berupa apati, anoreksia, ikterus,
gagal tumbuh, muntah, diare, demam, hipotermia, tidak mau minum, oliguria, iritabel, atau
distensi abdomen. Kemampuan neonatus mengatasi infeksi yang belum berkembang
menyebabkan mudah terjadi sepsis atau meningitis, terutama pada neonatus dengan kelainan
saluran kemih.9
Pengobatan terutama ditujukan untuk mengatasi infeksi bakteri Gram negatif. Antibiotik harus
segera diberikan secara intravena. Kombinasi aminoglikosida dan ampisilin pada umumnya
cukup memadai. Lama pemberian antibiotik pada neonatus dengan ISK adalah 10-14 hari.
Pemberian profilaksis antibiotik segera diberikan setelah selesai pengobatan fase akut.9
Bakteriuria asimtomatik
31
Pada beberapa kasus ditemukan pertumbuhan kuman > 10 5 cfu/mL dalam urin tanpa gejala
klinik, baik gejala klinik ISK bawah (disuria, urgency, dan frekuensi) ataupun gejala klinik
ISK atas seperti demam, menggigil, nyeri sekitar ginjal. Bakteri pada bakteriuria asimtomatik
biasanya bakteri dengan virulensi rendah dan tidak punya kemampuan untuk menyebabkan
kerusakan ginjal meskipun kuman tersebut mencapai ginjal.9
Secara umum disepakati bahwa bakteriuria asimtomatik tidak memerlukan terapi antibiotik,
malah pemberian antibiotik dapat menambah risiko komplikasi antara lain meningkatkan
rekurensi pada 80% kasus. Kuman komensal dan virulensi rendah pada saluran kemih dapat
menghambat invasi kuman patogen, dengan demikian kuman komensal tersebut dianggap
berfungsi sebagai profilaksis biologik terhadap kolonisasi kuman patogen.
Pengobatan suportif
Selain terapi kausal terhadap infeksi, pengobatan suportif dan simtomatik juga perlu
diperhatikan, misalnya pengobatan terhadap demam dan muntah. Terapi cairan harus adekuat
untuk menjamin diuresis yang lancar. Anak yang sudah besar dapat disuruh untuk
mengosongkan kandung kemih setiap miksi. Higiene perineum perlu ditekankan terutama
pada anak perempuan. Untuk mengatasi disuria dapat diberikan fenazopiridin HCl (Pyridium)
dengan dosis 7 – 10 mg/kgbb/hari. Perawatan di rumah sakit diperlukan bagi pasien sakit
berat seperti demam tinggi, muntah, sakit perut maupun sakit pinggang.9
2) Deteksi kelainan anatomi dan fungsional serta tata laksananya
Deteksi kelainan anatomi atau fungsional ginjal saluran kemih dilakukan untuk mencari faktor
predisposisi terjadinya ISK dengan pemeriksaan fisik dan pencitraan. Dengan pemeriksaan
fisik saja dapat ditemukan sinekia vagina pada anak perempuan, fimosis, hipospadia,
epispadia pada anak laki-laki. Pada tulang belakang, adanya spina bifida atau dimple
mengarah ke neurogenic bladder.15
Guideline AAP merekomendasikan USG ginjal dan voidingcyctoureterography (VCUG) atau
sistografi radionuklir pada anak kurang dari 2 tahun setelah ISK pertama. Untuk anak yang
lebih besar belum ada patokan. Dalam algoritme disebutkan bila respons klinik dalam 48 jam
pengobatan tidak nyata maka perlu biakan urin ulangan dan USG sesegera mungkin,
sedangkan MSU atau sistografi radionuklid dilakukan setelah kondisi klinis memungkinkan.
AAP tidak merekomendasikan pemakaian PIV dalam tata laksana ISK.15
Sebelum tahun 2006, perhimpunan dokter anak merekomendasikan pemeriksaan VCUG
dilakukan secara rutin pada semua anak dengan ISK febris pertama kali. Dengan pemeriksaan
ini, RVU ditemukan pada 20-40% pasien dan sebagian besar di antaranya RVU derajat
32
rendah. Berdasarkan State of art Conference Swedia, pada anak di atas 2 tahun, skintigrafi
DMSA dengan USG merupakan pemeriksaan yang dianjurkan. VCUG hanya dilakukan jika
skintigrafi DMSA abnormal.14,15
Hingga saat ini belum ada kesepakatan tentang seberapa jauh pemeriksaan pencitraan perlu
dilakukan. Para klinikus mengakui tidak ada satupun metode pencitraan yang secara tunggal
dapat diandalkan untuk mencari faktor predisposisi ISK. Masing-masing pemeriksaan tersebut
memiliki keunggulan dan kekurangan masing-masing, sehingga sering diperlukan kombinasi
beberapa pemeriksaan. Pilihan pemeriksaan pencitraan hendaknya ditentukan oleh tersedianya
alat pencitraan pada setiap tempat atau institusi.15
3) Deteksi dan mencegah infeksi berulang
Infeksi berulang terutama pielonefritis akut merupakan faktor yang berperan dalam terjadinya
parut ginjal. Diperkirakan 40 – 50% kasus ISK simtomatik akan mengalami infeksi berulang
dalam dua tahun pengamatan dan umumnya berupa reinfeksi, bukan relaps. Deteksi ISK
berulang dilakukan dengan biakan urin berkala, misalnya setiap bulan, kemudian dilanjutkan
dengan setiap 3 bulan. Jika terdapat ISK berulang, berikan antibiotik yang sesuai dengan hasil
biakan urin.16
Beberapa faktor berperan dalam terjadinya ISK berulang, terutama pada anak perempuan,
antara lain infestasi parasit seperti cacing tambang, pemakaian bubble bath, pakaian dalam
terlalu sempit, pemakaian deodorant yang bersifat iritatif terhadap mukosa perineum dan
vulva, pemakaian toilet paper yang salah, konstipasi, ketidak mampuan pengosongan
kandung kemih secara sempurna, baik akibat gangguan neurologik (neurogenic bladder)
maupun faktor lain nonneurogenic bladder, RVU, preputium yang belum disirkumsisi.16
ISK berulang dapat dicegah dengan meningkatkan keadaan umum pasien termasuk
memperbaiki status gizi, edukasi tentang pola hidup sehat, dan menghilangkan atau mengatasi
faktor risiko. Asupan cairan yang tinggi dan miksi yang teratur bermanfaat mencegah ISK
berulang. Pada kasus refluks dianjurkan miksi berganda (double micturation maupun tripple
micturation). Koreksi bedah terhadap kelainan struktural seperti obstruksi, refluks derajat
tinggi, urolitiasis, katup uretra posterior, ureterokel dan ureter dupleks yang disertai obstruksi
sangat bermanfaat untuk mengatasi infeksi berulang. Indikasi tindakan bedah harus dilihat
kasus perkasus. Risiko terjadinya ISK pada bayi laki-laki yang tidak disirkumsisi meningkat
3-15 kali dibandingkan dengan bayi laki-laki yang sudah disirkumsisi. Tindakan sirkumsisi
pada anak laki telah terbukti efektif menurunkan insidens ISK.16

33
Pemberian antibiotik profilaksis merupakan upaya pencegahan ISK berulang yang sudah
sejak lama dilaksanakan, namun belakangan ini pemberian antibiotik profilaksis menjadi
kontroversial dan sering diperdebatkan.16
Pemberian profilaksis
Antimikroba profilaksis dosis rendah yang diberikan dalam jangka lama telah digunakan
secara tradisional terhadap pasien yang rentan terhadap berulangnya pielonefritis akut atau
ISK bawah. Terapi profilaksis tersebut sering diberikan pada anak risiko tinggi seperti RVU,
uropati obstruktif, dan berbagai kondisi risiko tinggi lainnya. Namun demikian, efektivitas
antibiotik profilaksis ini sering dipertanyakan dan masih kontroversial.9,21
Antibiotik profilaksis bertujuan untuk mencegah infeksi berulang dan mencegah terjadinya
jaringan parut ginjal. Berbagai penelitian telah membuktikan efektivitas antibiotik profilaksis
menurunkan risiko terjadinya ISK berulang pada anak, dan kurang dari 50% yang mengalami
infeksi berulang selama pengamatan 5 tahun. Antibiotik profilaksis dimaksudkan untuk
mencapai konsentrasi antibiotik yang tinggi dalam urin tetapi dengan efek yang minimal
terhadap flora normal dalam tubuh. Beberapa antibiotik dapat digunakan sebagai profilaksis.
Pemberian profilaksis menjadi masalah karena beberapa hal antara lain kepatuhan yang
kurang, resistensi kuman yang meningkat, timbulnya efek samping (gangguan saluran cerna,
skin rashes, hepatotoksik, kelainan hematologi, sindrom Stevens-Johnson), dan tidak nyaman
untuk pasien.9,21
NICE merekomendasikan bahwa antibotik profilaksis tidak rutin diberikan pada bayi dan
anak yang mengalami ISK untuk pertama kali. Antibiotik profilaksis dipertimbangkan pada
bayi dan anak dengan ISK berulang. Selain itu direkomendasikan juga bahwa jika bayi dan
anak yang mendapat antiboitik profilaksis mengalami reinfeksi, maka infeksi diterapi dengan
antibiotik yang berbeda dan tidak dengan menaikkan dosis antibiotik profilaksis tersebut.
Belum diketahui berapa lama sesungguhnya jangka waktu optimum pemberian antibiotik
profilaksis. Ada yang mengusulkan antibiotik profilaksis diberikan selama RVU masih ada
dan yang lain mengusulkan pemberian yang lebih singkat. Pada ISK kompleks pemberian
profilaksis dapat berlangsung 3 - 4 bulan. Bila ternyata kasus yang dihadapi termasuk ke
dalam ISK kompleks (adanya refluks atau obstruksi) maka pemberian profilaksis dapat
dilanjutkan lebih lama.
Antibiotik yang digunakan untuk profilaksis:
• Trimetoprim :1-2 mg/kgbb/hari
• Kotrimoksazol
34
- Trimetoprim : 1-2 mg/kgbb/hari
- Sulfametoksazol : 5-10 mg/kgbb/hari
• Sulfisoksazol : 5-10 mg/kgbb/hari
• Sefaleksin : 10-15 mg/kgbb/hari
• Nitrofurantoin : 1 mg/kgbb/hari
• Asam nalidiksat : 15-20 mg/kgbb/hari
• Sefaklor : 15-17 mg/kgbb/hari
• Sefiksim : 1-2 mg/kgbb/hari
• Sefadroksil : 3-5 mg/kgbb/hari
• Siprofloksasin : 1 mg/kgbb/hari.
Selain antibiotik, dilaporkan juga penggunaan probiotik sebagai profilaksis yaitu
Lactobacillus rhamnosus dan Laktobasilus reuteri (L. fermentum); serta cranberry juice.9,21
Indikasi rawat
Tidak semua pasien yang menderita ISK perlu untuk dirawat inap, hanya yang memiliki
kondisi tertentu saja yang mengindikasikan adanya rawat inap. ISK yang memerlukan
tindakan rawat inap antara lain, ISK pada neonatus, pielonefritis akut, ISK dengan komplikasi
seperti gagal ginjal, hipertensi, ISK disertai sepsis atau syok, ISK dengan gejala klinik yang
berat seperti rasa sakit yang hebat, toksik, kesulitan asupan oral, muntah dan dehidrasi. ISK
dengan kelainan urologi yang kompleks, ISK dengan organisme resisten terhadap antibiotik
oral atau terdapat masalah psikologis seperti orangtua yang tidak mampu merawat anak.20
2.11 Komplikasi
ISK yang tidak ditangani secara adekuat dapat menyebabkan timbulnya komplikasi jangka
pendek seperti gagal ginjal akut, bakteremia, sepsis, dan meningitis. Sedangkan komplikasi
ISK jangka panjangnya adalah terbentuknya jaringan parut ginjal, hipertensi, gagal ginjal,
serta komplikasi pada masa kehamilan seperti preeklampsia. Parut ginjal terjadi pada 8-40%
pasien setelah mengalami episode pielonefritis akut. Faktor risiko terjadinya parut ginjal
antara lain usia muda, keterlambatan pemberian antibiotik dalam tatalaksana ISK, infeksi
berulang, RVU, dan obstruksi saluran kemih.9,20
2.12 Prognosis
Mortalitas yang berhubungan dengan ISK sangat jarang terjadi di negara maju. Sistitis dapat
menyebabkan gangguan pada pengosongan kandung kemih dan membutuhkan antibiotik,
namun tidak berhubungan dengan kerusakan ginjal jangka panjang. Gejala dalam
pengosongan kandung kemih yang timbul hanya bersifat sementara dan bahkan dapat
35
menghilang dalam 24-48 jam setelah pengobatan yang efektif. Morbiditas yang terkait dengan
pielonefritis ditandai dengan gejala sistemik, seperti demam, sakit perut, muntah, dan
dehidrasi, bahkan dapat terjadi sepsis.21
Anak-anak dengan pielonefritis dapat berkembang menjadi peradangan fokal pada ginjal
(focal pyelonephritis) atau abses ginjal. Setiap radang parenkim ginjal dapat menyebabkan
pembentukan parut. Sekitar 10-30% anak-anak dengan ISK dapat menyebabkan timbulnya
beberapa jaringan parut ginjal. Namun, tingkat jaringan parut yang diperlukan untuk
berkembang menjadi sekuele jangka panjang tidak diketahui. Deteksi dini dan pengobatan
segera akan sangat dibutuhkan agar komplikasi jangka panjang bisa dihindari. Tapi tentu saja
yang paling penting adalah pencegahan dengan cara menjaga higien dan sebaiknya pasien
yang pernah menderita ISK benar-benar diperhatikan agar tidak terjadi ISK berulang.21

36
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS

Terdapatnya ISK harus dipertimbangkan berdasarkan presentasi klinis, usia anak, dan
intensitas reaksi inflamasi serta lokasi infeksi pada saluran kemih. Pada anak, ISK paling
banyak bermanifestasi sebagai demam yang tidak diketahui penyebabnya (fever of unknown
origin).Tanda dan gejala ISK sangatlah bervariasi dan sebagian besar tergantung kepada
faktor usia, yang akan menjadi lebih spesifik seiring dengan bertambahnya usia. Diagnosis
ISK ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium yang
dipastikan dengan biakan urin kuantitatif. Pada pasien ini didapatkan demam yang sudah
berlangsung sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Tidak ada keluhan yang bermakna
seputar miksi seperti gangguan kemampuan mengontrol kandung kemih, pola berkemih, dan
aliran urin, hanya didapatkan warna urin yang agak keruh. Pada pemeriksaan laboratorium
darah ditemukan leukositosis (15,8 ribu/ μL). Pada pemeriksaan urinalisis didapatkan
kejernihan urin agak keruh, esterase lekosit 1+, leukosit 5-8/LPB, dan eritrosit 1-2/LPB.
Berdasarkan gejala klinis dan temuan laboratorium tersebut sudah dapat diberikan terapi
untuk infeksi saluran kemihnya.

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Rusdidjas, Ramayati R, Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Sardevi SO.Infeksi


saluran kemih. Dalam Buku ajar nefrologi anak. Edisi 2. Jakarta: IDAI; 2002.
h. 142-57.
2. Gupta P, Mandal J, Krisnamurthy S, Barathi D, Pandit N. Profile of urinary
tract infections in paediatric patients. Indian J Med Res.2015;141:473-7.
3. Habib S. Highlights for management of a child with a Urinary Tract Infection.
International Journal of Pediatrics. 2012;1-7. doi: 10.1155/2012/943653
4. Tsai JD, Lin CC, Yang SS. Diagnosis of pediatric urinary tract infections.
Urological Science. 2016;27:131-4. doi: 10.1016/j.urols.2016.10.001
5. Sukandar E. Infeksi Saluran Kemih. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed 5.
Interna Publishing; 2010.p.1011
6. Widayati A, Wirawan IPE, Kurharwanti AMW. Kesesuaian Pemilihan
Antibiotika Dengan Hasil Kultur Dan Uji Sensitivitas Serta Efektivitasnya
Berdasarkan Parameter Angka Lekosit Urin Pada Pasien Infeksi Saluran
Kemih Rawat Inap Di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta (Juli – Desember
2004). Yokyakarta : Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma;2005.
7. Gardjito W, Puruhito, Iwan A et all. Saluran Kemih dan Alat Kelamin Lelaki.
Dalam : Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : Penerbit EGC;2005.
8. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Unit Kerja Koordinasi Nefrologi.
Konsensus Infeksi Saluran Kemih pada Anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia; 2011
9. Pardede SO, Tambunan T, Alatas H, Trihono PP, Hidayati EL. Konsensus
Infeksi Saluran Kemih Pada Anak. Ed ke-1. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia 2011.
10.Elder JS. Urinary tract infections. Dalam : Kliegman RM, Behrman RE,
Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatric. Edisi Ke-
18. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007.
11.Robino L, Scavone P, Araujo L, Algorta G, et al. Intracellular Bacteria in the
Pathogenesis of Escherichia coli Urinary Tract Infection in Children. Clinical
Infectious Diseases2014;59(11):e158–64
12.Scanlon VC, Sanders T. Essential of Anatomy and Physiology. 5 th ed. US: FA
Davis Company; 2007
13.Guyton and Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-2. Jakarta : CV
Sagung Seto; 2007. h.1-15.
14. Purnomo BB. Dasar-dasar urologi. Edisi ke-2. Jakarta: CV Sagung Seto; 2007.
h. 1-15.
15.MacGregor J. Introduction to the anatomy and physiology of children, second
edition. Oxon: Routledge; 2008. h. 110-20.
16.Alatas H. Perkembangan fisiologi ginjal dan gangguan sistem kemih-kelamin
pada neonatus. Dalam: Markum AH, penyunting. Buku ajar ilmu kesehatan
anak. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1999. h. 337-9
17.Haris S, Sarindah A, Yusni, Raihan. Kejadian Infeksi Saluran Kemih di Ruang
Rawat Inap Anak RSUD Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Sari Pediatri, Vol. 14,
No. 4, Desember 2012;235-40
38
th
18.Elder JS. Urinary Tract Infections in Nelson Textbook of Pediatrics. 20 ed.
Philadhelpia: Elsevier; 2016. p. 2556-62.
19. Ayazi P, Mahyar A, Hashemi HJ, Khabiri S. Urinary Tract Infections in
Children. Iranian J Pediatr Soc. 2010;2(1):9-14
20. Miesien, Tambunan T, Munasir Z. Profil klinis Infeksi Saluran Kemih
pada Anak di RS. Dr. Cipto Mangunkusumo. Sari Pediatri, Vol. 7, No. 4, Maret
2006;200-6
21. Fisher JD. Pediatric Urinary Tract Infection. Diakses pada tanggal 2
November 2017 di http://emedicine.medscape.com/article/969643

39

Anda mungkin juga menyukai