Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

ABSES OTAK OTOGENIK

DISUSUN OLEH:

Arum Sekar Latih

1102012029

PEMBIMBING:

dr.Yozhita Sp.THT

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN THT

RS BHAYANGKARA TK. I RADEN SAID SUKANTO

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

PERIODE 25 DESEMBER 2017 – 27 JANUARI 2018


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas berkah, rahmat,

nikmat dan hidayah-Nya. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW pembawa

rahmat bagi seluruh alam, suri tauladan seluruh umat di dunia. Atas berkat rahmat dan

hidayah serta mengucapkan syukur kehadirat Ilahi Rabbi sehingga penulis dapat

menyelesaikan penulisan referat yang berjudul: Abses otak otogenik

Referat ini diajukan dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan untuk

menyelesaikan kepaniteraan ilmu penyakit THT. Terwujudnya referat ini adalah berkat

bantuan dan dorongan semangat baik berupa bimbingan, dukungan dan do’a dari berbagai

pihak. Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ungkapan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada: dr. Yhozita , Sp. THT sebagai pembimbing utama referat ini dan

Sahabat KOAS Stase THT RS. POLRI

Dalam menyelesaikan penulisan referat ini, penulis menyadari bahwa referat ini masih

jauh dari kesempurnaan yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan baik dari segi

materi maupun dari bahasa yang disajikan. Untuk itu penulis mohon maaf atas segala

kekhilafan, serta dengan tangan terbuka mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya

membangun.

Jakarta, 4 Desember 2017

2
BAB I

PENDAHULUAN

Abses otak otogenik adalah pengumpulan pus didalam serebrum atau

serebelum, sebagai akibat komplikasi otitis media supuratif yang lebih sering menjadi

penyebab dibandingkan otitis media akut. Abses otak otogenik ini dapat berakibat

fatal dan menyebabkan kematian.1

Abses otak otogenik biasanya ditemukan pada otitis media supuratif kronik

(OMSK) tipe maligna. Komplikasi otitis media terjadi apabila sawar (barrier)

pertahanan telinga tengah yang normal dilewati, sehingga memungkinkan infeksi

menjalar ke struktur di sekitarnya. Komplikasi dapat terjadi pada fase akut dari suatu

infeksi seperti akibat otitis media akut atau akibat destruksi dari aktivitas kronik

bioenzim (contohnya kolesteatoma) .2 Pembentukan abses akibat komplikasi otitis

media telah dikenal sejak zaman Morgagni (1682-1771'), seperti yang dikutip oleh

Levine dan De Souza. Morand (1768) melaporkan keberhasilan pada operasi abses

otak. Perkembangan tindakan operasi abses otak kemudian berkembang dengan pesat.

Pada tahun 1881 McEwen melaporkan keberhasilannya dalam menyembuhkan 18

kasus dari 19 kasus abses otak dengan operasi. Dandy (1926) melaporkan

keberhasilan pengobatan abses otak dengan aspirasi melalui burr hole, dan eksisi

abses dilaporkan oleh Vincent tahun 1936 seperti yang dijelaskan oleh haines.3 Abses

otak dapat mengenai semua kelompok umur. Bayi dan anak-anak mempunyai

kekerapan lebih tinggi. Laki-laki lebih banyak daripada perempuan, bahkan menurut

Browning dan Nunez Perbandingan antara laki - laki dan perempuan adalah 3 : 1.3,4,5

3
Abses otak dapat berbentuk multipel atau multilokuler. Banyak pengarang

yang melaporkan bahwa kebanyakan abses otak terletak pada serebrum (lobus

temporal) daripada di serebelum.3 Tomografi komputer merupakan atat diagnostik

terbaik untuk menegakkan abses otak otogenik.1,6 Penatalaksanaan adalah dengan

pemberian antibiotik parenteral diikuti dengan operasi untuk mengevakuasi abses dan

membersihkan sumber infeksi.13,6Abses otak masih berhubungan dengan angka

mortalitas dhn morbiditas yang tinggi, berkisar antara 7 - 60%.6

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Abses serebri otogenik (ASO) adalah abses (terbentuknya nanah) otak akibat

komplikasi intrakranial (didalam tulang tengkorak) oleh penyakit otitis media kronik

terutama yang disertai kolesteatom. Komplikasi ini merupakan komplikasi intrakranial

tersering kedua setelah meningitis.1,2 Komplikasi ini serius karena dapat mengancam jiwa

atau menjadi kondisi yang mengancam jiwa jika tidak ditangani dengan maksimal.

Hipocrates tahun 460 SM telah mencatat ada hubungan antara otore purulen (nanah di

telinga) disertai demam, penurunan kesadaran kemudian meninggal.3 Dari

patogenesisnya ASO merupakan proses supurasi fokal yang terjadi pada parenkim otak

(serebritis), dapat berlokasi di serebrum maupun serebelum.3

Abses otak otogenik sebagai komplikasi otitis media dan mastoiditis dapat ditemukan

di serebelum, fosa cranial posterior atau di lobus temporal, di fosa cranial media. Keadaan

ini sering berhubungan dengan tromboflebitis sinus lateralis, petrositis, atau meningitis.

Abses otak biasanya merupakan perluasan langsung dari infeksi telinga dan mastoiditis

atau tromboflebitis. Umumnya didahului oleh suatu abses ekstradural.

Komplikasi otitis media biasanya didapatkan pada pasien OMSK tipe bahaya, tetapi

OMSK tipe aman pun dapat menyebabkan suatu komplikasi, bila terinfeksi kuman yang

virulen. Hal ini terjadi apabila sawar pertahanan telinga tengah yang normal dilewati,

sehingga memungkinkan infeksi menjalar ke struktur disekitarnya. Pertahanan pertama

ialah mukosa kavum timpani yang mempu melokalisasi infeksi. Bila sawar ini runtuh, ada

dinding tulang kavum timpani dan sel mastoid. Bila sawar ini runtuh maka jaringan lunak

5
disekitarnya akan terkena. Runtuhnya periostium akan menyebabkan abses subperiosteal;

apabila infeksi mengarah ke dalam yaitu tulang temporal, akan menyebabkan paresis

n.fasialis atau labirinitis. Bila kearah cranial, akan menyebabkan abses ekstradural,

tromboflebitis sinus lateralis, meningitis dan abses otak.2

Bila sawar tulang terlampaui, suatu dinding pertahanan ketiga yaitu jaringan granulasi

akan terbentuk. Pada OMSA penyebaran biasanya melalui osteotromboflebitis (

hematogen ). Sedangkan pada kasus yang kronis, terjadi melalui erosi tulang. Cara

lainnya ialah toksin masuk melalui fenestra rotundum, meatus akustikus internus, duktus

perilimfatik dan duktus endolimfatik.2

B. ETIOLOGI

Streptococcus faecalis, Proteus spp, and Bacteroides fragilis adalah kuman-kuman

yang sering ditemukan pada abses serebri. Penelitian yang dilakukan di rumah sakit

Greek pada 21 pasien dengan abses serebri menunjukkan kuman pathogen yang sering

ditemukan adalah kuman gram negative anaerob seperti Bacteroides and Fusobacterlum

and aerobic Streptococcus yang diduga kuman ini bergantung dari dari mana asal abses

tersebut. Pada kolesteatoma merupakan media yang baik untuk pertumbuhan kuman jenis

Proteus dan Pseudomonas aeruginosa.

C. EPIDEMIOLOGI.

Pada era sebelum antibiotika, angka kejadian ASO sekitar 2.3% dari seluruh

komplikasi otits media kronik, namun pada era antibiotik dan perkembangan tehnik

operasi yang baik, kejadian komplikasi ASO ini berkurang manjadi 0.15 – 0.04%. Angka

kejadian ASO diperkirakan 1 per 10000 komplikasi intrakranial akibat otitis media, dan

rata-rata ditemukan 4-5 kasus pertahun dari laporan bagian bedah saraf di negara-negara

6
maju. Kejadian ASO didominasi oleh pria dengan perbandingan 2:1, dan terbanyak

dijumpai pada usia 30-45 tahun.

Di negara-negara berkembang, kejadian ASO di kawasan Asia hampir sama, dari

Nepal dilaporkan komplikasi intrakranial otitis media kronik (OMSK) sebanyak 4,72%

dengan dominasi pria (79%) dibanding wanita selama kurun waktu tujuh tahun, dan ASO

menempati urutan pertama yaitu 48,8 % diikuti meningitis 27,27%,8 ini berbeda dengan

negara barat dimana meningitis menempati urutan pertama komplikasi intrakranial otitis

media kronik.9 Di Indonesia belum ada data yang akurat tentang kejadian ASO ini, di

RSDK selama kurun waktu 2000 – 2006 dari data RM ditemukan 5 kasus ASO.

D. PATOGENESIS

Komplikasi otitis media didefenisikan sebagai penyebaran infeksi melewati batas

ruang pneumatisasi tulang temporal dan mukosa yang berhubungan. Penting untuk

memahami bagian yang terinfeksi, jalan penyebaran penyakit dan karakteristik dari penyakit.

Bagaimanapun patogenesis dari komplikasi melibatkan interaksi yang kompleks antara

organisme yang spesifik dan keadaan host. Respon dari host yang penting dianggap menjadi

penyebab terjadinya komplikasi adalah terbentukya jaringan granulasi yang menyebabkan

obstruksi untuk drainase dan aerasi dan destruksi dari struktur tulang dan selanjutya terbentuk

lingkungan yang anaerob.12 lnfeksi yang berasal dari rongga mastoid dapat menyebar ke

intrakranial melalui beberapa jalan yaitu :1,3,2

1. Melalui erosi pada tulang akibat proses infeksi akut maupun resorbsi oleh kolesteatom

atau osteitis pada infeksi kronik telinga tengah.

a. Komplikasi terjadi beberapa minggu atau lebih setelah awal penyakit.

b. Gejala prodromal infeksi lokal biasanya mendahului gejala infeksi yang lebih

luas.

7
c. Pada operasi dapat ditemukan lapisan tulang yang rusak diantara focus

supurasi dengan struktur sekitarnya. Struktur jaringan lunak yang terbuka

biasanya dilapisi oleh jaringan granulasi.

2. Penyebaran Hematogen.

Penyebaran secara retrograd trombofleblitis, melalui vena emisaria yang berjalan

menembus tulang dan dura ke sinus venosus, selanjutnya mengenai struktur

intrakranial.

a. Komplikasi terjadi pada awal suatu infeksi atau eksaserbasi akut, dapat terjadi

pada hari pertama atau kedua sampai hari kesepuluh.

b. Gejala prodromal tidak jelas seperti didapatkan pada meningitis lokal.

c. Pada operasi, didapatkan dinding tulang telinga tengah utuh, tulang serta

lapisan mukoperiosteal meradang dan mudah berdarah, sehingga disebut juga

mastoiditis hemoragika.

3. Penyebaran melalui Jalan yang Sudah Ada.

a. Komplikasi pada awal penyakit.

b. Ada serangan labirinitis atau meningitis berulang, mungkin ditemukan fraktur

tengkorak, riwayat operasi tulang atau riwayat otitis media yang sudah

sembuh.

c. Pada operasi dapat ditemukan jalan penjalaran melalui sawar tulang yang

bukan oleh karena erosi.

Proses pembentukan abses terjadi melalui 4 tahap, yaitu :1,3

1. Tahap invasi (initial encephalithis) yaitu abses di sub korteks akan menembus

substansia alba sehingga akan terjadi trombophlebitis, edema dan akhirnya

ensefalitis

8
2. Tahap lokalisasi abses (tahap laten) yaitu terjadi fokal nekrosis dan pencairan

yang secara cepat akan menimbulkan abses, kemudian mikroglial dan elemen-

elemen mesoblatik vaskuler dimobilisasi untuk membentuk kapsul yang dapat

terdeteksi dalam 2 minggu dari onset absesnya dan dalam 5 - 6 minggu kapsul

terbentuk sempurna dengan tebal 2 mm, ketika kapsul terbentuk edema disekitar

otak akan berkurang

3. Tahap pembesaran abses yaitu terjadi aktifitas lagi dalam asbes sehingga

menyebabkan ukuran abses meningkat dan menekan struktur sekitarnya.

4. Tahap terminasi (ruptur abses) yaitu abses mendesak dinding kapsul sehingga

terbentuk abses multilokuler atau pecah ke dalam sistem ventrikuler dan rongga

subarakhinoid

E. GEJALA KLINIS.

Gejala klinis ASO meliputi gejala lokal di lobus temporalis dan gejala serebritis.

Gejala klinis dini yang patut dicurigai ASO antara lain :


-
riwayat OMKS disertai demam.
-
Gejala umum akibat tokiskasi : nyeri kepala, mual dan muntah.
-
Tanda nyata suatu abses otak ialah nadi yang lambat serta adanya serangan kejang
-
Gejala akibat lesi di lobus temporalis ;

o aphasia, kesulitan dalam memahami kata-kata (kelainan bicara umumnya

sensoris dan tak pernah motorik),

o gangguan pendengaran sentral yang umumnya dapat identifikasi,

o halusinasi akustik,

o gangguan penciuman,

9
o gangguan penglihatan seperti hemianopsia, neuropati saraf-saraf kranial mulai

dari N.III s/d N.VII, lesi silang pada traktus piramidalis.


-
Gejala-gejala serebritis, atau adanya abses serebelum yang dapat ditemukan antara

lain ;

o gangguan okulomotor, sistem postural,

o adanya nistagmus spontan pada sisi lesi,

o ataksia,

o tremor,

o dismetria,

o hipotonia,

o lesi yang menunjukkan perluasan ke regio sekitarnya seperti paralisis N. III,

V, VI, VII, IX dan X.

Pada stadium akut, naiknya suhu tubuh, nyeri kepala atau adanya tanda toksisitas

seperti malaise, perasaan mengantuk, somnolen atau gelisah yang menetap. Timbulnya nyeri

kepala di daerah parietal atau oksipital dan adanya keluhan mual, muntah yang proyektil serta

kenaikan suhu tubuh yang menetap selama terapi diberikan merupakan tanda komplikasi

intracranial.

Pembagian gejala klinis berdasarkan stadium :

1. stadium awal berhubungan dengan ensefalitis yang disebabkan invasi ke jaringan

otak. Gejalanya malaise, sakit kepala, demam, menggigil, mual, muntah. Gejalanya

biasanya ringan. Tidak jarang, gejala ini tidak diperhatikan.

2. Stadium dua/laten abses terlokalisasi dan gejalanya berkurang bahkan menghilang.

Dan jika ditemukan serangan epileptikal, tanda defisit neurologis.

10
3. Stadium tiga/manifestasi dapat ditemukan papil edema, perubahan-perubahan psikis,

tanda-tanda kelainan fokal seperti aphasia, alexia, agraphia, hemiplegia, serangan

epilepsi dan ataksia pada abses yang meluas ke sereberal, dapat juga ditemukan

gejala-gejala penyebaran ke organ-organ sekitar seperti paralisis nervi kraniales,

gangguan lapang pandang, gangguan sistem okulomotor dan posture.

4. Stadium empat/terminal abses pecah masuk kedaram ventriker atau ruang

subarakhnoid, kejadian ini biasanya diikuii dengan penurunan keadaan krinik dan

kematian pasien:1,3 dapat ditemukan tanda-tanda stupor, koma, bradikardia dan

pernafasan cheyne stokes (pernafasan yang lambat dan semakin cepat tanpa adanya

pola apneu).

Gejala abses serebelum biasanya lebih jelas daripada abses lobus temporal. Abses

serebelum dapat ditandai dengan ataksia, diddiadokokinetis, tremor intensif dan tidak tepat

menunjuk suatu objek.

Afasia dapat terjadi pada abses lobus temporal. Gejala lain yang menunjukkan adanya

toksisitas, berupa nyeri kepala, demam, muntah serta keadaan letargik. Selain itu sebagai

tanda yang nyata suatu abses otak ialah nadi yang lambat serta serangan kejang.

F. DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis

seringkali sulit ditegakkan terutama pada stadium dini.3,13 Adanya keluhan nyeri kepala

hebat disertai mual atau muntah, suhu tinggi, gangguan keseimbangan atau kaku kuduk pada

pasien OMSK merupakan tanda - tanda telah terjadinya komplikasi intrakranial. Penderita

tersebut harus dirawat dan diberikan antibiotika dosis tinggi secara intravena.

11
Gejala yang sering ditemukan pada keadaan sebelum terjadinya komplikasi intrakranial

antara lain ialah

1) otore persisten, biasanya sekret bau dan konsistensinya menjadi lebih kental.

2) Nyeri terus menerus pada telinga disertai perubahan kualitas pus yang biasanya

diiringi sakit kepala hebat.

3) Demam tinggi yang diikuti hipersensitivitas, toksemia, fotofobia dan

iritabilitas.

4) Kaku leher dan malaise yang menandakan mikroorganisme telah mencapai

cairan serebrospinal.3

Kangsaranak dkk " dalam penelitiannya menjelaskan gejala dan tanda yang

terjadi pada 87 pasien dengan komplikasi intrakranial, antara lain

1) meningkatnya otore,

2) terlihatnya jaringan granulasi dan kolesteatom,

3) demam,

4) sakit kepala

5) penurunan kesadaran dan

6) gangguan penglihatan.

Dengan adanya Tomografi komputer, diagnosis dapat ditegakkan dengan cepat

dan tepat, maka dapat ditunjukkan letak dan perluasan abses serta apakah abses sudah

terbentuk atau belum. Gambaran abses otak pada tomografi komputer berupa pusat

hipodens yang berisi lekosit dan debris nekrotik, dikelilingi cincin penyangatan zat

kontras, disekitarnya tampak daerah hipodens akibat edema otak. .1,3 Pemeriksaan

12
MRI dapat dilakukan apabila diagnosis cenderung kearah abses otak atau serebritis

tetapi pada pemeriksaan tomografi komputer tidak dijumpai adanya abses atau

serebritis. Kelebihan pemeriksaan dengan MRI adalah gambaran lebih jelas antara

daerah yang edema dengan dengan jaringan otak disekelilingnya dan hal ini dapat

mendiagnosis adanya abses otak pada stadium lebih dini, gambaran MRI memberikan

penilaian yang lebih akurat adanya penyebaran ke daerah ekstraparenkim yang

digambarkan dengan hiperdensitas intraventrikuler dan penyangatan di daerah

periventrikuler.1

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG.

Pemeriksaan penunjang untuk mendeteksi adanya abses otak ialah CT Scan, MRI,

Angiografi, radiologi. Pemeriksaan LCS mungkin akan memperlihatkan kadar protein yang

meninggi serta tekanan yang meningkat. Pemeriksaan paling akurat adalah melalui CT scan.

Pada stadium-stadium awal, gambarannya mungkin hampir sama dengan meningitis,

dimana tidak ditemukan enhancment pada pemberian kontras. Pada stadium awal

terbentuknya abses, mulai terdeteksi adanya ireguler enhancment pada tepi abses.

Pada abses yang nyata akan ditemukan enhancment berupa cincin yang merupakan

gambaran kapsul kolagen yang mengelilingi abses. Namun perlu pula di

pikirkan kemungkinan lain adanya enhancment cincin ini selain abses yaitu metastasis tumor

otak, tumor-rumor otak primer (utamanya adalah astrositoma drajat 4), granuloma, hematom

serebri yang mulai mengalami resolusi.

H. PENGOBATAN.

13
Pengobatan abses otak ialah dengan antibiotika parenteral dosis tinggi ( protocol

terapi komplikasi intrakanial ), dengan tanpa operasi untuk melakukan drainase dari lesi.

Selain itu, pengobatan dengan antibiotika harus intensif. Mastoidektomi dilakukan untuk

membuang sumber infeksi, pada waktu keadaan umum lebih baik. Singkatnya, pengobatan

terdiri dari pemberian antibiotic dosis tinggi secepatnya, penatalaksanaan operasi infeksi

primer di mastoid pada saat yang optimum, bedah saraf bila perlu.

1. Antibiotik.

Pasien harus dirawat dan diberi Ab dosis secara IV. Dimullai dari ampisilin 4 x 200-

400 mg/kgBB/hari, Kloramfenikol 4 x 0,5-1 g/hari untuk orang dewasa atau 60-100

mg/kgBB/hari untuk anak. Pemberian metronidazol 3 x 400-600 mg/hari juga

dipertimbangkan. ( 7-15 hari )

Ab diberikan disesuaikan dengan kemjuan klinis dan hasil biakan dari secret telinga

ataupun LCS. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan lab, foto mastoid, dan CT Scan.

 Jika CT Scan ada terlihat tanda abses, pasien segera dikonsul ke Bedah Saraf

untuk drainase otak segera. Mastoidektomi dapat dilakukan bersama-sama

atau kemudian.

 Bila bedah saraf tak segera melakukan operasi, pengobatan medikamentosa

dilanjutkan sampai 2 minggu, lalu dikonsul lagi ke bedah saraf.

Mastoidektomi dilakukan sebelum atau sesudah bedah saraf melakukan

operasi otak. Bila saat itu KU pasien buruk atau suhu tinggi, maka dilakukan

analgesia lokal.

 Jika CT Scan tak terlihat ada abses dan KU pasien baik, maka segera

dilakukan mastoidektomi dengan anesthesia umum atau analgesia lokal. Bila

KU pasien buruk atau suhu tinggi, maka pengobatan medikamentosa

14
dilanjutkan sampai 2 minggu, lalu segera dilakukan mastoidektomi dengan

analgesia lokal.

 Jika CT Scan tak dapat dibuat, pengobatan medikamentosa diteruskan sampai

2 minggu untuk kemudian dilakukan mastoidektomi. Bila KU tetap buruk atau

suhu tetap tinggi, dilakukan mastoidektomi dengan analgesia lokal.

2. Pembedahan

Pada ASO meliputi eksisi atau aspirasi melalui jalur temporal atau sub-oksipital

tergantung dari lokasinya yang kemudian diikuti oleh mastoidektomi. Saat ini

pembedahannya dilakukan secara simultan/bersamaan baik diawali oleh eradikasi

absesnya terlebih dahulu dilanjutkan dengan mastoidektomi ataupun sebaliknya,

namun masih banyak juga para ahli bedah syaraf melakukan dua tahap

pembedahan.15 Saat ini eradikasi absesnya lebih dipilih melalui jalur kausa

primernya yaitu dari mastoid (trans mastoid approach) daripada melalui jalur

oksipital/temporal. Secara teknis, pengambilan abses melalui jalur mastoid lebih

mudah karena tinggal mengikuti arah perluasan ke intrakranialnya melalui mastoid.

Pemeriksaan pre-operatif yang teliti melalui penunjang CT scan sangat membantu

dalam memandu keberhasilan eradikasi ASO ini, sehingga aspirasi abses sudah mulai

ditinggalkan kecuali kondisi-kondisi tertentu.

I. PROGNOSIS

Prognosis ditentukan banyak faktor antara lain: keterlambatan atau kesalahan

diagnosis, lokasi abses, lesi multipel atau multilokuler, adanya ruptur ventrikel (kematian

mencapai 80 - 100%), koma, etiologi oleh jamur, pemberian antibiotika yang tidak tepat,

juga dipengaruhi besar abses, umur dan ada tidaknya perluasan abses. sejak digunakan

15
tomografi komputer untuk diagnosis, angka kematian menurun 40,9% menjadi 4,3%.3

Neely 12 dan wispeley 13 menyebutkan sekuele neurologik masing-masing terjadi 35%

dan 30% - 55% , epilepsi atau fokus epilepsi terjadi 29% kasus dan tampak lebih sering

setelah evakuasi pus. Levine dan de souza ' juga melaporkan bahwa setelah reseksi abses

akan terjadi kejang, bahkan menurut wispeley 13 maupun Ludman 14 masing -masing

setelah keberhasilan terapi dari abses otak di lobus temporal pada 70% dan 35% dan 90%

penderita akan timbul kejang epilepsi dan dibutuhkan antikonvulsan. Penyembuhan abses

akan diikuti terjadinya kejang epilepsi pada 50% penderita dewasa dan biasanya serangan

pertama akan timbul 6 - 12 bulan setelah tindakan operasi' Penyembuhan pada anak di

bawah 10 tahun tidak tampak adanya gejala sisa.

Meskipun jarang kepustakaan yang menyebutkan rekurensi abses otak, tetapi

sebenarnya hal ini dapat terjadi meskipun angka kejadiannya sangat kecil.14

memperkirakan sekirtar 8% abses otak terjadi rekurensi oleh karena kapsul abses yang

tidak terabsorbsi sempurna' sedangkan Singh 18 meraporkan adanya rekurensi abses

intrakranial sebesar 2% selama januari 1985 - Desember 1990 pada 268 penderita yang

telah diterapi antibiotika maupun tindakan operasi. Kangsaranak dkk'.1 dalam

pengalamannya selama 13 tahun (1978 - 1990 pada OMSK dengan komplikasi

intrakranial, angka rekurensi abses otak otogenik, sebesar 5%- 8% pada penderita yang

telah dilakukan operasi mastoid.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Harris JP, Kim DW, Darrow DH. Complication of Chronic Otitis media

dalam surgery of the ear and the temporal bone. Second edition. Lippincott

Williams& Wilkins. 2005. p.219-229

2. Helmi, Djaafar ZA, Restuti RD. Komplikasi Otitis media supuratif dalam

Buku ajar llmu kesehatan Telinga Hidung tenggorok Kepala leher. Edisi

Ketujuh. Balai penerbit FKUI. 2012 .p.78-84.

3. Levine SC, De Souza c. lntracranial complication of otitis media in

GlassockSchambaugh surgery of the ear. Fifth edition. Ontario decker

1nc.2003. p. 443- 462

4. Thapa N, Shrivastav RP. lntracranial complication of chronic suppurative

otitis media, attico-antral type: Experience at TUTH. J Neuroscience 1 : 36-39.

2004

5. Nunez DA, Browning GG> Risk of developing an intracranial abscess. J

Laryngol Otol. 1990; 104 p. 468-72

6. Ashoor AA, Fachartzt. Otogenic brain abscess management. Bahrain

medical Bulletin. Vol. 27, No. 1. 2005

7. Wysocki J. lntracranial suppurative complications in ENT practice. A

survey of clinical and experimental data. Med Sci monit. 1997;3(2). p.279-84

8. Chen PT et al. Otogenic brain abscess - a case report. Kaohsiung J Med Sci

16. 2000. p. 162-65

17
9. Austin DF. Complication of ear disease in Ballenger JJ. Disease of the nose,

throath, ear, head and neck. 14fr edition. Lea and febinger. 2000. p. 1 139-46

10.Djaafar A, et al. Otitis media supuratif kronik dengan abses intrakranial

diagnosis dan penatalaksanaan. Kumpulan naskah Konas Perhati ke Vlll,

Ujung Pandang. 1999. p. 413-25

11. Kangsaranak J, et al. lntreacranial Complication of Suppurative Otitis

Media : 13 years experience. Volume 16, Number 1. 2001. 1A4-9

12. Neely JG, Arts HA. lntratemporal and intracranial complication of otitis

media in Bailey BJ & Johnson JT Head and Neck Surgery otolaryngology.

Fourth Edition. Lippincot William & Wilkins. 2006. p.2A47-48

13. Wispeley B, Dacey RG, scheld WM. Brain abscess. ln: lnfection of the

central nervous system. Scheld WM et al. Eds. Raven Press, New York 2008.

p. 457-86

14. Ludman H. Complication of Suppurative otitis media in : Scott Brown's.

Otolaryngology. 5sedition. Booth JB Editors. Butterworths. 2000. p. 264-91

15. Helmi. Otitis Media Supuratif kronik,ln : Otitis Media Supuratif Kronik

pengetahuan dasar, terapi medik, mastoidektomi, timpanoplasti. Balai penerbit

FK Ul Jakarta. 2009. p.55-72

16. Bluestone CD, Klein JO. Complication and Sequele : intracranial. In :

Bluestone CD editor. Otitis media in infants and children. Second Edition. WB

Saunders CO. 2005. p. 293-303

18
17. Signh B, Maharaj TJ. Radical mastoidectomy: its place in otitic

intracranial complication. J laryngol otol. 2000 ; 107 . p. 1 1 13-8

19

Anda mungkin juga menyukai