Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENYAJIAN KASUS

A. Identitas
Nama : An. AF
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 2 tahun 2 bulan
Agama : Islam
Alamat : Jalan Husien Hamzah Gg. H.M Husien no.17
Tanggal Lahir : 10 September 2015
Urutan Anak : Anak pertama dari satu bersaudara
Usia Ayah : 29 tahun
Usia Ibu : 27 tahun
Tanggal MRS : 03 Desember 2017
Identitas Ayah Ibu
Nama Tn. E Ny. Y
Umur 29 tahun 27 tahun
Pendidikan SMA SMA
Pekerjaan Karyawan Swasta Ibu rumah Tangga

B. Anamnesis (Dilakukan Alloanamnesis pada tanggal 04 Desember 2017


Pukul 05.30 diberikan oleh Ibu kandung )
1. Keluhan Utama
Kejang

2. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dibawa oleh orangtua pasien ke IGD RS Kota dengan
keluhan kejang yang dirasakan sejak pagi hari sebelum masuk rumah sakit
(03/12/2017). Kejang dirasakan muncul mendadak dan berlangsung ±10
menit. Saat kejang kaki dan tangan pasien menjulur kaku dengan kepala
terdongak keatas serta mata terbuka lebar dan pasien tidak sadarkan diri
dan tidak mengenal orang disekitarnya. Setelah kejang pasien terlihat
lemas, belum dapat berkomunikasi dan tatapan kosong, ±3 menit
kemudian pasien kembali mengalami kejang yang sama. Lama kejang
kedua terjadi ± 5 menit. Setelah kejang kedua pasien mengalami hal yang
sama seperti kejang pertama dan pasien kembali mengalami bangkitan
kejang yang berulang hingga 7 kali kejang pada hari itu dengan seling
waktu yang bervariasi diantara 3-5 menit diantara kejang dengan tidak

1
adanya pemulihan kesadaran. Ibu pasien kemudian membawa pasien ke
Instalasi Gawat Darurat (IGD), saat berada didalam IGD pasien sempat
mengalami kejang 3 kali dengan setiap selingan kejang nya pasien tidak
sadarkan diri. Saat kejang terakhir di IGD pasien kemudian sadar dan
dapat berkomunikasi dengan keluarga. Pasien 3 hari sebelumnya juga
mengeluhkan batuk dan flu. Pasien juga mengeluhkan BAB cair yang
dirassakan pertama kali 4 hari sebelumnya, BAB dirasakan 4 kali sehari
dengan konsistensi cair, ampas (+), darah (-), lendir (-). Pasien juga
mengeluhkan mual dan muntah sebanyak 4 kali berisi makanan yang
dimakan dan air. Demam sendiri dirasakan muncul pertama kali saat 1 hari
sebelum BAB cair, demam dirasakan terus meninggi dan terjadi terus
menerus selama 4 hari hingga awal kejang terjadi. Keluhan nyeri kepala
sendiri disangkal oleh ibu pasien.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


 Kejang pertama terjadi pada usia 4 bulan yang awalnya didahului oleh
demam dan hanya sebentar ± 5 menit dan tidak berulang dikatakan
oleh ibu pasien.
 Riwayat rawat inap di rumah sakit tidak ada.
 Riwayat alergi susu sapi tidak ada.
 Riwayat alergi pada kulit sebelumnya tidak ada.
 Riwayat trauma kepala tidak ada.
 Riwayat tertusuk paku atau benda tajam tidak ada

4. Riwayat Penyakit Keluarga


 Ayah pasien memiliki riwayat kejang pada saat kecil yang hampir
mirip seperti yang dialami oleh pasien.
 Alergi makanan dan obat tidak ada.
 Riwayat kejang jika demam tinggi tidak ada.
 Riwayat penyakit demam berdarah dengue tidak ada.
 Tidak ada anggota keluarga yang memiliki riwayat asma maupun
riwayat atopi lainnya.
 Tidak ada anggota keluarga yang memiliki riwayat penyakit jantung
bawaan.

5. Riwayat Kehamilan dan Persalinan

2
Selama kehamilan, ibu sering memeriksakan kandungan di puskesmas.
Antenatal care kurang lebih 7 kali di puskesmas, 2 kali pada trimester
pertama, 2 kali pada trimester kedua dan 3 kali pada trimester ketiga.
Selama kehamilan baik trimester pertama sampai ketiga, ibu pasien tidak
pernah mengeluhkan adanya masalah pada kehamilan. Riwayat sakit
campak maupun sakit berat lain saat kehamilan tidak ada. Riwayat
konsumsi obat atau jamu maupun herbal yang diluar pemberian dokter
tidak ada. Riwayat konsumsi alkohol dan merokok tidak ada.
Lahir cukup bulan dengan berat badan lahir 2800 gram panjang badan
42 cm, langsung menangis, tidak biru, tidak biru, tidak sesak dan
kesadaran alert. Persalinan normal ditolong bidan klinik.
Kesimpulan: Riwayat kehamilan dan persalinan baik

6. Riwayat Nutrisi
Pasien mendapatkan ASI eksklusif dari usia sejak lahir, ASI + MP Asi
7-9 bulan.
Kesimpulan: Riwayat nutrisi baik

7. Riwayat Imunisasi
Imunisasi yang sudah didapatkan yang di ingat oleh ibu pasien hanya
pemberian imunisasi polio. Ayah pasien tidak mau anaknya untuk di
imunisasi dikarenakan takut sang anak sakit.
Kesimpulan: Riwayat imunisasi tidak baik.

8. Riwayat Tumbuh Kembang


Pertumbuhan dan perkembangan pasien sesuai dengan usianya. Berat
badan dan panjang badan pasien bertambah dengan baik. Kesimpulan:
Riwayat tumbuh kembang baik.

9. Riwayat Sosioekonomi, Tempat tinggal dan Lingkungan


Pasien merupakan anggota BPJS kelas III. Ayah pasien merupakan
karyawan swasta dan ibu pasien merupakan ibu rumah tangga. Pendidikan
kedua orang tua pasien yaitu SMA. Di rumah pasien tinggal bertiga
bersama kedua orang tua, serta kakek dan nenek pasien. Pasien tidur

3
sekamar dengan kedua orang tua, dan terpisah kamar dengan kakak
maupun kakek dan nenek pasien.
Kesimpulan: Tingkat pendidikan orang tua pasien menengah, tingkat
social ekonomi menengah ke bawah. Keluarga yang tinggal serumah
beresiko menularkan infeksi pada pasien.

C. Pemeriksaan Fisik (Dilakukan pada tanggal 04 Desember 2017)


1. Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
2. Kesadaran : Kompos mentis (E4 M6 V5)
3. Tanda Vital
a. Heart Rates : 128x/menit, reguler
b. Respirasi : 28x/menit
c. Suhu : 38,6o C
d. Sp.O2 : 97% tanpa menggunakan O2
Kesimpulan: suhu tubuh meningkat menandakan bahwa pasien
demam, saturasi masih dalam Batasan normal dengan angka 97%
tanpa menggunakan oksigen.
4. Status gizi
o Usia : 2 Tahun 1 Bulan
o Berat Badan : 8 kg
o Panjang Badan : 83 cm
o BB/U : Z < -3 SD (Severely Wasted)
o PB/U : -2 SD < Z < -0 SD (Normal)
o BB/PB : Z < -3 SD (Severly Wasted)
Kesimpulan : Status Gizi Buruk

5. Status Generalis
a. Kulit : sianosis (-)
b. Kepala : normocephali, wajah sembab (-).
c. Mata : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), injeksi
konjungtiva (-/-), cekung (-), refleks cahaya
langsung (+), pupil isokor (3mm/3mm)
d. Telinga : AS : sekret (-), meatus tidak eritem, tidak edem,
membran timpani tidak dinilai
AD : sekret (-), meatus tidak eritem, tidak edem,
membran timpani tidak dinilai
e. Hidung : rhinorhea (-), pembesaran konka nasalis inferior
(-/-)
f. Mulut : stomatitis (-), typhoid tongue (-)
g. Tenggorokan : faring hiperemis (-), pembesaran tonsil (T1/T1),
selaput (-)

4
h. Leher : pembesaran kelenjar getah bening tidak ada.
i. Dada : simetris saat statis dan dinamis, retraksi (-),
hiperinflasi (-)

j. Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba di SIC 5 linea midclavicula
sinistra, thrill (-)
Perkusi : batas kanan jantung di SIC 4 linea parasternal
dekstra, batas kiri jantung di SIC 5 linea
midclavicula sinistra, dan pinggang jantung di SIC
3 linea parasternal sinistra.
Auskultasi : S1 tunggal/ S2 split tak konstan, reguler, gallop
(-), murmur (-)
k. Paru
Inspeksi : bentuk dada simetris statis dan dinamis, retraksi
(-), hiperinflasi (-)
Palpasi : fremitus taktil sama kanan dan kiri
Perkusi : Sonor di lapang paru kanan
Auskultasi : suara nafas dasar: vesikuler (+/+), ronkhi (-/-
wheezing (-/-)
l. Abdomen
Inspeksi : simetris, benjolan/massa (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal, bruit (-)
Palpasi : soepel, bising usus (+) meningkat, nyeri tekan (-),
hepar dan lien tidak teraba, turgor kulit kembali
cepat.
Perkusi : timpani seluruh lapang abdomen
m. Genitalia : fimosis (-)
n. Anus/Rektum : ada
o. Ekstremitas : akral hangat, edema (-), CRT < 2 detik, ADP kuat
angkat

6. Status Neurologis
o GCS : E4 M6 V5
o Tanda rangsang meningeal
Kaku kuduk :-
Tanda laseq : >70o / >70o
Tanda kerniq : >135o / >135o
Brudzinski I :-
Brudzinski II :-

5
D. Pemeriksaan Penunjan
o Pemeriksaan Darah Rutin (Pemeriksaan tanggal 03 Desember 2017)
WBC = 10,42 x 103 /µL Segmen N# : 8,32 x 103 /µL
6
RBC = 3,78 x 10 /µL Limfosit# : 1,68 x 103 /µL
HGB = 10,0 g/dL Monosit# : 0,41 x 103 /µL
HCT = 28,6% Eosinofil# : 0,00 x 103 /µL
MCV = 75,7 fL Basofil# : 0,01 x 103 /µL
MCH = 26,5 pg Segmen N% : 79,9 %
MCHC = 35,0 g/dl Limfosit% : 16,1 %
3
PLT = 291 x 10 /µL Monosit% : 3,9 %
Eosinofil% : 0,0%
Basofil% : 0,1%

E. Resume
Anak laki-laki berusia 2 Tahun 1 Bulan diantar oleh ibu ke IGD dengan
keluhan kejang yang dirasakan sejak pagi hari. Kejang dirasakan berlangsung
±10 menit. Saat kejang kaki dan tangan pasien menjulur kaku dengan kepala
terdongak keatas serta mata terbuka lebar dan pasien tidak sadarkan diri dan
tidak mengenal orang disekitarnya.Kejang berualng beberapa kali dengan
selang 3 menit.
Pasien juga mengeluhkan BAB cair yang dirassakan pertama kali 4 hari
sebelumnya, BAB dirasakan 4 kali sehari dengan konsistensi cair, ampas (+),
darah (-), lendir (-). Pasien juga mengeluhkan mual dan muntah sebanyak 4
kali berisi makanan yang dimakan dan air. Demam sendiri dirasakan muncul
pertama kali saat 1 hari sebelum BAB cair, demam dirasakan terus meninggi
dan terjadi terus menerus selama 4 hari hingga awal kejang terjadi.

F. Diagnosis
1. Diagnosis kerja :
- Status Epileptikus et causa Susp. Electrolyte Imbalance
- Diare Cair Akut dengan Dehidrasi Tidak Berat
2. Diagnosa banding :
- Kejang Demam Kompleks ec causa Bacterial Infection
- Meningoencephalitis

G. Tatalaksana
1. Non Medikamentosa
a. O2 Nasal Canule 1 Liter
b. Observasi TTV / 3 jam

6
2. Medikamentosa
 Rehidrasi Plan B (75 cc/kgbb/jam) dengan RL selama 6 jam
kemudian lanjut D5 ⅟4 NS 33 cc/jam
 Inj Ceftriaxone 800 mg/24 jam
 Inj. Dexmethason 1,2 mg/6 jam
 Inj. Phenytoin 20 mg/12 jam
 Inj. Ondancetron 1,6 mg/8 jam
 Inj. Ranitidin 15 mg/12 jam
 Paracetamol Infus 100 mg/4 jam k/p bila demam
 Zink syr 20 mg/24 jam
 Liprolac 1 sacchet /12 jam
 Imundo Syr ½ cth/8 jam
 Smecta ½ Sach / 8 jam

H. Prognosis
Ad Vitam : Bonam
Ad Functionam : dubia ad bonam
Ad Sanationam : dubia ad bonam

I. Follow up
 Selasa, 5 Desember 2017 Pukul 06.00

S Demam (-) Kejang (-) BAB Cair (+) 4 kali dari awal pasien masuk
hingga pagi, konsistensi cair (+) ampas (+) lendir (-) darah (-). BAK
pasien banyak. Mual (-) muntah (-).

O HR : 97 x/menit T : 37,4˚C
RR : 28 x/menit Sp.O2 : 98% Tanpa O2
Pemeriksaan Fisik : dbn

A - Status Epileptikus et causa Susp. Electrolyte Imbalance


- Diare Cair Akut dengan Dehidrasi Tidak Berat

P Tx Lanjut
 Rabu, 6 Desember 2017 Pukul 06.00

S Demam (-) Kejang (-) BAB Cair (+) 1 kali dari malam hingga pagi,
konsistensi cair (+) ampas (+) lendir (-) darah (-). BAK pasien
banyak. Mual (-) muntah (-).

O HR : 98x/menit T : 37,5˚C
RR : 28 x/menit Sp.O2 : 98% Tanpa O2

7
Pemeriksaan Fisik : dbn

A - Status Epileptikus et causa Susp. Electrolyte Imbalance


- Diare Cair Akut dengan Dehidrasi Tidak Berat

P - Ceftriaxone diganti dengan Meropenem 360 mg/8 jam


- Metronidazole Syrup ½ cth / 8 jam
- Tx Lain Lanjut
 Kamis, 7 Desember 2017 Pukul 05.45

S Demam (-) Kejang (-) BAB Cair (-) BAB sudah mulai berbentuk
lembek dan jumlah BAB 2 kali hingga pagi ini. BAK pasien
banyak. Mual (-) muntah (-).
O HR : 119 x/menit T : 37,0˚C
RR : 32 x/menit Sp.O2 : 98% Tanpa O2
Pemeriksaan Fisik : dbn

A - Status Epileptikus et causa Susp. Electrolyte Imbalance


- Diare Cair Akut dengan Dehidrasi Tidak Berat

P Tx Lanjut
 Jumat, 8 Desember 2017 Pukul 05.30

S Demam (-) Kejang (-) BAB Cair (-) BAB sudah mulai mengeras.
BAK pasien banyak. Mual (-) muntah (-).

O HR : 100 x/menit T : 36.9˚C


RR : 24 x/menit Sp.O2 : 98% Tanpa O2
Pemeriksaan Fisik : dbn

A - Status Epileptikus et causa Susp. Electrolyte Imbalance


- Diare Cair Akut dengan Dehidrasi Tidak Berat

P BLPL

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Defenisi
Status epileptikus didefenisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua
atau lebih rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara
kejang atau aktivitas kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit. Secara
sederhana dapat dikatakan bahwa jika seseorang mengalami kejang persisten
atau seseorang yang tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih harus
dipertimbangkan sebagai status epileptikus. Status epileptikus adalah gawat
darurat medik yang memerlukan pendekatan terorganisasi dan terampil agar
meminimalkan mortalitas dan morbiditas yang menyertai.1,2

B. Klasifikasi

Klasifikasi status epileptikus penting untuk penanganan yang tepat, karena


penanganan yang efektif tergantung pada tipe dari status epileptikus. Pada
umumnya status epileptikus dikarakteristikkan menurut lokasi awal bangkitan
yaitu area tertentu dari korteks (Partial onset) atau dari kedua hemisfer otak
(Generalized onset). Kategori utama lainnya bergantung pada pengamatan
klinis yaitu, apakah konvulsi atau non-konvulsi.3
Banyak pendekatan klinis diterapkan untuk mengklasifikasikan status
epileptikus. Satu versi mengkategorikan status epileptikus berdasarkan status
epileptikus umum (tonik-klonik, mioklonik, absens, atonik, akinetik) dan
status epileptikus parsial (sederhana atau kompleks). Versi lain membagi
berdasarkan status epileptikus umum (overt atau subtle) dan status epileptikus
non-konvulsi (parsial sederhana, parsial kompleks, absens). Versi ketiga
dengan pendekatan berbeda berdasarkan tahap kehidupan (batas pada periode
neonatus, infan dan anak-anak, anak-anak dan dewasa, hanya dewasa).3,4

9
C. Epidemiologi
Status epileptikus merupakan suatu masalah yang umum terjadi dengan
angka kejadian kira-kira 60.000 – 160.000 kasus dari status epileptikus tonik-
klonik umum yang terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya. Pada sepertiga
kasus, status epileptikus merupakan gejala yang timbul pada pasien yang
mengalami epilepsi berulang. Sepertiga kasus terjadi pada pasien yang
didiagnosa epilepsi, biasanya karena ketidakteraturan dalam memakan obat
antikonvulsan. Mortalitas yang berhubungan dengan aktivitas kejang sekitar
1-2 persen, tetapi mortalitas yang berhubungan dengan penyakit yang
menyebabkan status epileptikus kira-kira 10 persen. Pada kejadian tahunan
menunjukkan suatu distribusi bimodal dengan puncak pada neonatus, anak-
anak dan usia tua.1
Dari data epidemiologi menunjukkan bahwa etiologi dari status epileptikus
dapat dikategorikan pada proses akut dan kronik. Pada usia tua status
epileptikus kebanyakan sekunder karena adanya penyakit serebrovaskuler,
disfungsi jantung, dementia. Pada negara miskin, epilepsi merupakan kejadian
yang tak tertangani dan merupakan angka kejadian yang paling tinggi.4

D. Etiologi dan Patofisiologi


Status epileptikus dapat disebabkan oleh berbagai hal. Ada tiga subtipe
utama status epileptikus pada anak: kejang demam lama, status epileptikus
idiopatik dimana kejang berkembang pada ada atau tidaknya lesi atau
serangan sistem saraf pusat yang mendasari, dan status epileptikus bergejala
bila kejang terjadi bersama dengan gangguan neurologis atau kelainan
metabolik yang lama.2
Kejang demam yang berlangsung selama lebih dari 30 menit, terutama
pada anak yang berumur kurang dari 3 bulan, merupakan penyebab status
epileptikus yang paling lazim. Kelompok idiopatik termasuk penderita
epilepsi yang mengalami penghentian antikonvulsan mendadak (terutama
benzodiazepin dan barbiturate) yang disertai dengan status epileptikus. Anak

10
epilepsi yang diberi antikonvulsan yang tidak teratur atau yang tidak taat
adalah lebih mungkin berkembang status epileptikus. Kurang tidur dan infeksi
yang menyertai cenderung menjadikan penderita epilepsi lebih rentan terhadap
status epileptikus. Mortalitas dan morbiditas pada penderita dengan kejang
lama dan status epileptikus adalah rendah. Status epileptikus karena penyebab
lain mempunyai mortalitas yang jauh lebih tinggi dan penyebab kematian
biasanya secara langsung dapat dianggap berasal dari kelainan yang
mendasari. Ensefalopati anoksik berat datang dengan kejang selama umur
beberapa hari, dan prognosis akhir sebagian berkaitan dengan pengurangan
dalam pengendalian kejang. Kelainan elektrolit, hipokalsemia, hipoglikemia,
intoksikasi obat, intoksikasi timah hitam, hiperpireksia ekstrem, dan tumor
otak terutama pada frontalis, merupakan penyebab tambahan status
epileptikus.2
Secara klinis dan berdasarkan EEG, status epileptikus dibagi menjadi lima
fase. Fase pertama terjadi mekanisme kompensasi, seperti peningkatan aliran
darah otak dan cardiac output, peningkatan oksigenase jaringan otak,
peningkatan tekanan darah, peningkatan laktat serum, peningkatan glukosa
serum dan penurunan pH yang diakibatkan asidosis laktat. Perubahan syaraf
reversibel pada tahap ini. Setelah 30 menit, ada perubahan ke fase kedua,
kemampuan tubuh beradaptasi berkurang dimana tekanan darah, pH dan
glukosa serum kembali normal. Kerusakan syaraf irreversibel pada tahap ini.
Pada fase ketiga aktivitas kejang berlanjut mengarah pada terjadinya
hipertermia (suhu meningkat), perburukan pernafasan dan peningkatan
kerusakan syaraf yang irreversibel.1,5
Aktivitas kejang yang berlanjut diikuti oleh mioklonus selama tahap
keempat, ketika peningkatan pernafasan yang buruk memerlukan mekanisme
ventilasi. Keadaan ini diikuti oleh penghentian dari seluruh klinis aktivitas
kejang pada tahap kelima, tetapi kehilangan syaraf dan kehilangan otak
berlanjut.6
Kerusakan dan kematian syaraf tidak seragam pada status epileptikus,
tetapi maksimal pada lima area dari otak (lapisan ketiga, kelima, dan keenam

11
dari korteks serebri, serebellum, hipokampus, nukleus thalamikus dan
amigdala). Hipokampus mungkin paling sensitif akibat efek dari status
epileptikus, dengan kehilangan syaraf maksimal dalam zona Summer. 1,5
Mekanisme yang tetap dari kerusakan atau kehilangan syaraf begitu
kompleks dan melibatkan penurunan inhibisi aktivitas syaraf melalui reseptor
GABA dan meningkatkan pelepasan dari glutamat dan merangsang reseptor
glutamat dengan masuknya ion natrium dan kalsium dan kerusakan sel yang
diperantarai kalsium.1
Etiologi status epileptikus antara lain alkohol, anoksia, antikonvulsan-
withdrawal, penyakit cerebrovaskular, epilepsi kronik, infeksi SSP, toksisitas
obat-obatan, metabolik, trauma, tumor. Komplikasi status epileptikus, yaitu :1,2
 Otak : Peningkatan Tekanan Intra Kranial, Oedema serebri, Trombosis
arteri dan vena otak, Disfungsi kognitif

 Gagal Ginjal : Myoglobinuria, rhabdomiolisis


 Gagal Nafas : Apnoe, Pneumonia, Hipoksia, Hiperkapni, Gagal nafas
 Pelepasan Katekolamin : Hipertensi, Oedema paru, Aritmia, Glikosuria,
dilatasi pupil, Hipersekresi, hiperpireksia
 Jantung : Hipotensi, gagal jantung, tromboembolisme
 Metabolik dan Sistemik : Dehidrasi, Asidosis, Hiper/hipoglikemia,
Hiperkalemia, Hiponatremia, Kegagalan multiorgan
 Idiopatik : Fraktur, tromboplebitis, DIC

E. Gambaran klinik1,3
Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk
mencegah keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum (Generalized
Tonic-Clonic) merupakan bentuk status epileptikus yang paling sering
dijumpai, hasil dari survei ditemukan kira-kira 44 sampai 74 persen, tetapi
bentuk yang lain dapat juga terjadi.
a. Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status
Epileptikus)

12
Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering
dihadapi dan potensial dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului
dengan tonik-klonik umum atau kejang parsial yang cepat berubah
menjadi tonik klonik umum. Pada status tonik-klonik umum, serangan
berawal dengan serial kejang tonik-klonik umum tanpa pemulihan
kesadaran diantara serangan dan peningkatan frekuensi.
Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik
yang melibatkan otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-
putus. Pasien menjadi sianosis selama fase ini, diikuti oleh hyperpnea
retensi CO2. Adanya takikardi dan peningkatan tekanan darah,
hyperpireksia mungkin berkembang. Hiperglikemia dan peningkatan laktat
serum terjadi yang mengakibatkan penurunan pH serum dan asidosis
respiratorik dan metabolik. Aktivitas kejang sampai lima kali pada jam
pertama pada kasus yang tidak tertangani.
b. Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status
Epileptikus)
Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum
mendahului fase tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode
kedua.
c. Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)
Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan
kehilangan kesadaran tanpa diikuti fase klonik. Tipe ini terjai pada
ensefalopati kronik dan merupakan gambaran dari Lenox-Gestaut
Syndrome.
d. Status Epileptikus Mioklonik
Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati. Sentakan
mioklonus adalah menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin
memburuknya tingkat kesadaran. Tipe dari status epileptikus tidak
biasanya pada enselofati anoksia berat dengan prognosa yang buruk, tetapi
dapat terjadi pada keadaan toksisitas, metabolik, infeksi atau kondisi
degeneratif.

13
e. Status Epileptikus Absens
Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia
pubertas atau dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan
status presen sebagai suatu keadaan mimpi (dreamy state) dengan respon
yang lambat seperti menyerupai “slow motion movie” dan mungkin
bertahan dalam waktu periode yang lama. Mungkin ada riwayat kejang
umum primer atau kejang absens pada masa anak-anak. Pada EEG terlihat
aktivitas puncak 3 Hz monotonus (monotonous 3 Hz spike) pada semua
tempat. Respon terhadap status epileptikus Benzodiazepin intravena
didapati.
f. Status Epileptikus Non Konvulsif
Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau
parsial kompleks, karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status
epileptikus non-konvulsif ditandai dengan stupor atau biasanya koma.
Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoia,
delusional, cepat marah, halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive
behavior), retardasi psikomotor dan pada beberapa kasus dijumpai
psikosis. Pada EEG menunjukkan generalized spike wave discharges,
tidak seperti 3 Hz spike wave discharges dari status absens.
g. Status Epileptikus Parsial Sederhana
a) Status Somatomotorik
Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu
jari dan jari-jari pada satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan
kaki pada satu sisi dan berkembang menjadi jacksonian march pada
satu sisi dari tubuh. Kejang mungkin menetap secara unilateral dan
kesadaran tidak terganggu. Pada EEG sering tetapi tidak selalu
menunjukkan periodic lateralized epileptiform discharges pada
hemisfer yang berlawanan (PLED), dimana sering berhubungan
dengan proses destruktif yang pokok dalam otak. Variasi dari status

14
somatomotorik ditandai dengan adanya afasia yang intermitten atau
gangguan berbahasa (status afasik).
b) Status Somatosensori
Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan
gejala sensorik unilateral yang berkepanjangan atau suatu sensory
jacksonian march.
h. Status Epileptikus Parsial Kompleks

Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari


frekuensi yang cukup untuk mencegah pemulihan diantara episode. Dapat
terjadi otomatisme, gangguan berbicara, dan keadaan kebingungan yang
berkepanjangan. Pada EEG terlihat aktivitas fokal pada lobus temporalis
atau frontalis di satu sisi, tetapi bangkitan epilepsi sering menyeluruh.
Kondisi ini dapat dibedakan dari status absens dengan EEG, tetapi
mungkin sulit memisahkan status epileptikus parsial kompleks dan status
epileptikus non-konvulsif pada beberapa kasus.

F. Penatalaksanaan
Status epileptikus merupakan salah satu kondisi neurologis yang
membutuhkan anamnesa yang akurat, pemeriksaan fisik, prosedur diagnostik,
dan penanganan segera mungkin dan harus dirawat pada ruang intensif (ICU).
Lini pertama dalam penanganan status epileptikus menggunakan
Benzodiazepin. Benzodiazepin yang paling sering digunakan adalah
Diazepam (Valium), Lorazepam (Ativan), dan Midazolam (Versed). Ketiga
obat ini bekerja dengan peningkatan inhibisi dari g-aminobutyric acid
(GABA) oleh ikatan pada Benzodiazepin-GABA dan kompleks Reseptor-
Barbiturat.2
Lorazepam memiliki volume distribusi yang rendah dibandingkan dengan
Diazepam dan karenanya memiliki masa kerja yang panjang. Diazepam sangat
larut dalam lemak dan akan terdistribusi pada depot lemak tubuh. Pada 25
menit setelah dosis awal, konsentrasi Diazepam plasma jatuh ke 20 persen dari

15
konsentrasi maksimal. Mula kerja dan kecepatan depresi pernafasan dan
kardiovaskuler (sekitar 10 %) dari Lorazepam adalah sama.7
Pemberian antikonvulsan masa kerja lama seharusnya dengan
menggunakan Benzodiazepin. Fenitoin diberikan dengan 18 sampai 20 mg/kg
dengan kecepatan tidak lebih dari 50 mg dengan infus atau bolus. Dosis
selanjutnya 5-10 mg/kg jika kejang berulang. Efek samping termasuk
hipotensi (28-50 %), aritmia jantung (2%). Fenitoin parenteral berisi Propilen
glikol, Alkohol dan Natrium hidroksida dan penyuntikan harus menggunakan
jarum suntik yang besar diikuti dengan NaCl 0,9 % untuk mencegah lokal
iritasi : tromboplebitis dan “purple glove syndrome”. Larutan dekstrosa tidak
digunakan untuk mengencerkan fenitoin, karena akan terjadi presipitasi yang
mengakibatkan terbentuknya mikrokristal.7,8

G. Penatalaksanaan
Status epileptikus merupakan salah satu kondisi neurologis yang
membutuhkan anamnesa yang akurat, pemeriksaan fisik, prosedur diagnostik,
dan penanganan segera mungkin dan harus dirawat pada ruang intensif (ICU).
Lini pertama dalam penanganan status epileptikus menggunakan
Benzodiazepin. Benzodiazepin yang paling sering digunakan adalah
Diazepam (Valium), Lorazepam (Ativan), dan Midazolam (Versed). Ketiga
obat ini bekerja dengan peningkatan inhibisi dari g-aminobutyric acid
(GABA) oleh ikatan pada Benzodiazepin-GABA dan kompleks Reseptor-
Barbiturat.2
Lorazepam memiliki volume distribusi yang rendah dibandingkan dengan
Diazepam dan karenanya memiliki masa kerja yang panjang. Diazepam sangat
larut dalam lemak dan akan terdistribusi pada depot lemak tubuh. Pada 25
menit setelah dosis awal, konsentrasi Diazepam plasma jatuh ke 20 persen dari
konsentrasi maksimal. Mula kerja dan kecepatan depresi pernafasan dan
kardiovaskuler (sekitar 10 %) dari Lorazepam adalah sama.7
Pemberian antikonvulsan masa kerja lama seharusnya dengan
menggunakan Benzodiazepin. Fenitoin diberikan dengan 18 sampai 20 mg/kg

16
dengan kecepatan tidak lebih dari 50 mg dengan infus atau bolus. Dosis
selanjutnya 5-10 mg/kg jika kejang berulang. Efek samping termasuk
hipotensi (28-50 %), aritmia jantung (2%). Fenitoin parenteral berisi Propilen
glikol, Alkohol dan Natrium hidroksida dan penyuntikan harus menggunakan
jarum suntik yang besar diikuti dengan NaCl 0,9 % untuk mencegah lokal
iritasi : tromboplebitis dan “purple glove syndrome”. Larutan dekstrosa tidak
digunakan untuk mengencerkan fenitoin, karena akan terjadi presipitasi yang
mengakibatkan terbentuknya mikrokristal.7,8

H. Penatalaksanaan
Status epileptikus merupakan salah satu kondisi neurologis yang
membutuhkan anamnesa yang akurat, pemeriksaan fisik, prosedur diagnostik,
dan penanganan segera mungkin dan harus dirawat pada ruang intensif (ICU).
Lini pertama dalam penanganan status epileptikus menggunakan
Benzodiazepin. Benzodiazepin yang paling sering digunakan adalah
Diazepam (Valium), Lorazepam (Ativan), dan Midazolam (Versed). Ketiga
obat ini bekerja dengan peningkatan inhibisi dari g-aminobutyric acid
(GABA) oleh ikatan pada Benzodiazepin-GABA dan kompleks Reseptor-
Barbiturat.2
Lorazepam memiliki volume distribusi yang rendah dibandingkan dengan
Diazepam dan karenanya memiliki masa kerja yang panjang. Diazepam sangat
larut dalam lemak dan akan terdistribusi pada depot lemak tubuh. Pada 25
menit setelah dosis awal, konsentrasi Diazepam plasma jatuh ke 20 persen dari
konsentrasi maksimal. Mula kerja dan kecepatan depresi pernafasan dan
kardiovaskuler (sekitar 10 %) dari Lorazepam adalah sama.7
Pemberian antikonvulsan masa kerja lama seharusnya dengan
menggunakan Benzodiazepin. Fenitoin diberikan dengan 18 sampai 20 mg/kg
dengan kecepatan tidak lebih dari 50 mg dengan infus atau bolus. Dosis
selanjutnya 5-10 mg/kg jika kejang berulang. Efek samping termasuk
hipotensi (28-50 %), aritmia jantung (2%). Fenitoin parenteral berisi Propilen
glikol, Alkohol dan Natrium hidroksida dan penyuntikan harus menggunakan

17
jarum suntik yang besar diikuti dengan NaCl 0,9 % untuk mencegah lokal
iritasi : tromboplebitis dan “purple glove syndrome”. Larutan dekstrosa tidak
digunakan untuk mengencerkan fenitoin, karena akan terjadi presipitasi yang
mengakibatkan terbentuknya mikrokristal.7,8

I. Status Epileptikus Refrakter


Pasien dengan kejang yang rekuren, atau berlanjut selama lebih dari 60
menit. Walaupun dengan obat lini pertama pada 9-40 % kasus. Kejang
berlanjut dengan alasan yang cukup banyak seperti, dosisnya di bawah kadar
terapi, hipoglikemia rekuren, atau hipokalsemia persisten. Kesalahan
diagnosis kemungkinan lain: tremor, rigor dan serangan psikogenik dapat
meniru kejang epileptik. Mortalitas pada status epileptikus refrakter sangat
tinggi dibandingkan dengan yang berespon terhadap terapi lini pertama.1,3
Dalam mengatasi status epileptikus refrakter, beberapa ahli menyarankan
menggunakan Valproat atau Phenobarbitone secara intravena. Sementara yang
lain akan memberikan medikasi dengan kandungan anestetik seperti
Midazolam, Propofol, atau Tiofenton. Penggunaan ini dimonitor oleh EEG,
dan jika tidak ada kativitas kejang, maka dapat ditapering. Dan jika berlanjut
akan diulang dengan dosis awal.8

J. Protokol Penatalaksanaan Status Epileptikus (EFA, 1993)7,8


Pada : awal menit
1. Bersihkan jalan nafas, jika ada sekresi berlebihan segera bersihkan (bila
perlu intubasi)
- Periksa tekanan darah
- Mulai pemberian Oksigen
- Monitoring EKG dan pernafasan
- Periksa secara teratur suhu tubuh
- Anamnesa dan pemeriksaan neurologis

18
2. Kirim sampel serum untuk evaluasi elektrolit, Blood Urea Nitrogen, kadar
glukosa, hitung darah lengkap, toksisitas obat-obatan dan kadar
antikonvulsan darah; periksa AGDA (Analisa Gas Darah Arteri)
3. Infus NaCl 0,9% dengan tetesan lambat
4. Berikan 50 mL Glukosa IV jika didapatkan adanya hipoglikemia, dan
Tiamin 100 mg IV atau IM untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
wernicke’s encephalophaty
5. Lakukan rekaman EEG (bila ada)
6. Berikan Lorazepam (Ativan) 0,1 sampai 0,15 mg per kg (4 sampai 8 mg)
intravena dengan kecepatan 2 mg per menit atau Diazepam 0,2 mg/kg (5
sampai 10 mg). Jika kejang tetap terjadi berikan Fosfenitoin (Cerebyx) 18
mg per kg intravena dengan kecepatan 150 mg per menit, dengan
tambahan 7 mg per kg jika kejang berlanjut. Jika kejang berhenti, berikan
Fosfenitoin secara intravena atau intramuskular dengan 7 mg per kg per 12
jam. Dapat diberikan melalui oral atau NGT jika pasien sadar dan dapat
menelan.

Pada : 20 sampai 30 menit, jka kejang tetap berlangsung

1. Intubasi, masukkan kateter, periksa temperatur


2. Berikan Fenobarbital dengan dosis awal 20 mg per kg intravena dengan
kecepatan 100 mg per menit

Pada : 40 sampai 60 menit, jika kejang tetap berlangsung


Mulai infus Fenobarbital 5 mg per kg intravena (dosis inisial), kemudian
bolus intravena hingga kejang berhenti, monitoring EEG; lanjutkan infus
Pentobarbital 1 mg per kg per jam; kecepatan infus lambat setiap 4 sampai 6
jam untuk menetukan apakah kejang telah berhenti. Pertahankan tekanan
darah stabil. Atau Berikan Midazolam (Versed) 0,2 mg per kg, kemudian pada
dosis 0,75 sampai 10 mg per kg per menit, titrasi dengan bantuan EEG. Atau
Berikan Propofol (Diprivan) 1 sampai 2 mg per kg per jam. Berikan dosis
pemeliharaan berdasarkan gambaran EEG.

19
20
K. Prognosis
Hasil neurologis pasca status epileptikus telah membaik secara bermakna
sejak penemuan unit perawatan intensif modern dan manajemen agresif kejang
yang lama. Angka mortalitas status epileptikus adalah sekitar 5% pada
kebanyakan seri. Kebanyakan kematian terjadi pada kelompok bergejala,
kebanyakan darinya mempunyai kelainan SSS serius dan mengancam jiwa
sebelum mulainya status epileptikus. Bila tidak ada serangan neurologis
progresif atau gangguan metabolic, morbiditas status epileptikus adalah
rendah.2

21
BAB III
PEMBAHASAN

Status epileptikus (SE) didefenisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua


atau lebih rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang
atau aktivitas kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit.1 Terdapat banyak
defenisi tentang status epileptikus, menurut journal BCMJ 2011 peneliti James
Lee et al, SE adalah kejang yang kontinu dalam waktu 30 menit atau kejang
berulang dalam 30 menit tanpa ada fase sadar diantaranya. 9 Sedangkan
Neurocritical Care Society menyebutkan kejang lebih dari 5 menit atau berulang
lebih dari 5 menit tanpa ada fase sadar. 21 Kejang yang lebih dari 7 menit akan
berlanjut terus sedikitnya selama 30 menit.10 Pada kasus, pasien kejang lebih
kurang 30 menit terus menerus dan tidak sadar, sehingga diagnosis status
epileptikus pada pasien sudah tepat dan pasien juga telah ditegakkan diagnosis
epilepsy sejak usia 4 bulan.
Status epileptikus dapat disebabkan kelainan elektrolit, hipokalsemia,
hipoglikemia, intoksikasi obat, intoksikasi timah hitam, hiperpireksia ekstrem, dan
tumor otak terutama pada frontalis.2 Kejang demam yang berlangsung selama
lebih dari 30 menit, terutama pada anak yang berumur kurang dari 3 bulan,
merupakan penyebab status epileptikus yang paling lazim. Kelompok idiopatik
termasuk penderita epilepsi yang mengalami penghentian antikonvulsan
mendadak (terutama benzodiazepin dan barbiturate) yang disertai dengan status
epileptikus. Anak epilepsi yang diberi antikonvulsan yang tidak teratur atau yang
tidak taat adalah lebih mungkin berkembang status epileptikus. Kurang tidur dan
infeksi yang menyertai cenderung menjadikan penderita epilepsi lebih rentan
terhadap status epileptikus.2
Pasien mengalami demam batuk pilek dan sesak napas sejak 3 hari serta
mengalami BAB cair sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Pada pemeriksaan
labor ditemukan peningkatan segmen Neutrofil# 8,32 x 103 /µL dan Neutrofil%
79,9 %. Hal tersebut jelas menggambarkan adanya proses infeksi yang disebabkan
oleh bakteri, yaitu pasien mengalami Bab cair. Pada pasien dengan diare akan

22
kehilangan baik natrium maupun air, tetapi kehilangan air melebihi kehilangan
natrium. Kehilangan hipotonik sebenarnya dapat disebabkan oleh renal (diuresis
osmotik) atau ektrarenal (diare atau berkeringat). Manifestasi neurologis
mendominasi pasien dengan hipernatremia dan biasanya diakibatkan oleh
dehidrasi selular. Kelemahan, letargi, dan hiperrefleksi dapat berlanjut menjadi
kejang, koma, bahkan kematian. Gejala ini lebih berhubungan dengan
perpindahan air keluar dari sel otak daripada kadar absolut hipernatremia.
Penurunan cepat dari volume otak dapat menyebabkan rupturnya vena cerebral
dan mengakibatkan perdarahan fokal intraserebral atau subarakhnoid. Kejang dan
kerusakan neurologis serius biasa terjadi, terutama pada anak dengan
hipernatremia akut ketika kadar natrium plasma melebihi 158 mEq/L.
Hipernatremia kronik biasanya lebih dapat ditoleransi daripada bentuk akut.
Setelah 24–48 jam, osmolalitas intraseluler mulai meningkat akibat peningkatan
konsentrasi inositol dan asam amino (glutamin dan taurin). Sejalan dengan
peningkatan zat terlarut intraseluler, cairan dalam sel saraf pun mulai kembali
normal.

BAB IV
KESIMPULAN

23
Anak laki-laki berusia 2 Tahun 1 Bulan diantar oleh ibu ke IGD dengan
keluhan kejang yang dirasakan sejak pagi hari. Kejang dirasakan berlangsung
±10 menit. Saat kejang kaki dan tangan pasien menjulur kaku dengan kepala
terdongak keatas serta mata terbuka lebar dan pasien tidak sadarkan diri dan
tidak mengenal orang disekitarnya.Kejang berualng beberapa kali dengan
selang 3 menit.
Pasien juga mengeluhkan BAB cair yang dirassakan pertama kali 4 hari
sebelumnya, BAB dirasakan 4 kali sehari dengan konsistensi cair, ampas (+),
darah (-), lendir (-). Pasien juga mengeluhkan mual dan muntah sebanyak 4
kali berisi makanan yang dimakan dan air. Demam sendiri dirasakan muncul
pertama kali saat 1 hari sebelum BAB cair, demam dirasakan terus meninggi
dan terjadi terus menerus selama 4 hari hingga awal kejang terjadi.
Status epileptikus dapat disebabkan kelainan elektrolit, hipokalsemia,
hipoglikemia, intoksikasi obat, intoksikasi timah hitam, hiperpireksia ekstrem,
dan tumor otak terutama pada frontalis.2 Kejang demam yang berlangsung
selama lebih dari 30 menit, terutama pada anak yang berumur kurang dari 3
bulan, merupakan penyebab status epileptikus yang paling lazim.
Pada pasien dengan diare akan kehilangan baik natrium maupun air, tetapi
kehilangan air melebihi kehilangan natrium. Kehilangan hipotonik sebenarnya
dapat disebabkan oleh renal (diuresis osmotik) atau ektrarenal (diare atau
berkeringat). Manifestasi neurologis mendominasi pasien dengan
hipernatremia dan biasanya diakibatkan oleh dehidrasi selular. Kelemahan,
letargi, dan hiperrefleksi dapat berlanjut menjadi kejang, koma, bahkan
kematian.

DAFTAR PUSTAKA

1. Huff JS. Status Epilepticus. http://emedicine.medscape.com/article/793708


[diakses tanggal 20 Desember 2017]

24
2. Haslam HA. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15. Vol 3. Dalam: editor
Behrman, Kliegman, Arvin. Status Epileptikus. Jakarta : EGC; 2000. pp 2067-
68
3. Christian M. Korff Douglas R. Nordli Jr. Current Pediatric Therapy, 18th ed.
In: Burg DF, editor. Status Epilepticus. USA: Saunders; 2006.
4. Cavazos JE, Spitz M. Status Epilepticus.
http://emedicine.medscape.com/article/1164462 [diakses tanggal 20 Desember
2017]
5. Lazuardi S. Buku Ajar. Neurologi Anak. Dalam: editor Soetomenggolo T,
Ismael S. Pengobatan Epilepsi. Jakarta: BP IDAI; 2000.pp 237-38
6. Hassan R, Alatas H. Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2. Epilepsi. Jakarta:
FKUI;2005.pp 855-59
7. Ilae. Status Epilepticus. http://www.ilae-epilepsy.org/visitors/Documents/10-
statusepilepticus.pdf [ diakses tanggal 20 Desember 2017]
8. Heafield MT. Managing Status Epilepticus. BMJ. Edisi 8 April 2000.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1117894/ [diakses tanggal 20
Desember 2017]
9. Lee J, et al. Guideline for the management of convulsive status epilepticus in
infants and children. Issue: BCMJ, Vol. 53, No. 6, July, August 2011, page(s)
279-285
10. Gretchen MB, et al. Guidelines for the Evaluation and Management of Status
Epilepticus. Neurocrit Care 2012 DOI 10.1007/s12028-012-9695-z

25

Anda mungkin juga menyukai